Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PRAKTIKUM

MK. PATOLOGI KLINIK

Pemeriksaan untuk Penetapan Hypothyroidism


Dosen : Dr. drh. Retno Wulansari M.Si.

Disusun Oleh :

Mumtasya Karima Putri B04190055

Nabila Martha Ludi M. B04190056

Rizal Maulana B04190073

Shepti Laras B04190080

Erin Decole Himawan B04190095

Kelompok 1

DIVISI PENYAKIT DALAM


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipotiroidisme merupakan penyakit kronis yang berhubungan dengan kekurangan
hormon tiroid, tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3) yang dapat diakibatkan kegagalan dari
kelenjar tiroid dalam memproduksi hormon tersebut (Chiovato et al. 2019). Hipotiroidisme
diakui sebagai gangguan endokrin penting pada anjing, dan sering menjadi penyebab munculnya
berbagai keluhan. Diagnosisnya tidak pernah langsung karena hasil yang menunjukkan
hipotiroidisme dapat terjadi karena berbagai alasan pada anjing dengan fungsi tiroid normal atau
eutiroid (Mooney 2011). Hipotiroidisme pada anjing secara umum menunjukkan gejala klinis
berupa penurunan tingkat metabolisme dan manifestasi dermatologis; namun, banyak tanda
klinis lain yang dikaitkan dengan hipotiroidisme. Ada bukti kuat untuk hubungan sebab akibat
antara hipotiroidisme dan berbagai kelainan neurologis, namun hubungan antara hipotiroidisme
dan manifestasi lain, seperti disfungsi reproduksi, penyakit jantung klinis, dan kelainan perilaku,
kurang signifikan (Scott-Moncrieff 2007).
Hipotiroidisme kongenital (kretinisme) jarang terjadi pada kucing namun merupakan
salah satu penyebab paling umum dari dwarfisme yang tidak proporsional pada anak kucing dan
jauh lebih baik dicirikan daripada bentuk kucing sudah dewasa (Peterson 2015). Kucing dapat
mengalami hipotiroidisme namun hipotiroidisme kongenital jarang terjadi pada kucing. Gejala
klinis dengan kucing yang menderita hipotiroidisme kongenital paling banyak dilaporkan adalah
yang ditunjukkan sebagai dwarfisme atau kretinisme yang tidak proporsional. Gejala ini
termasuk dengan kepala lebar yang membesar, leher pendek, dan tungkai pendek pada kucing
(Golinelli et al. 2022). Hipotiroidisme menjadi salah satu kelainan endokrin yang penting pada
kedokteran hewan dan sering menjadi parameter untuk berbagai keluhan yang muncul dari
pemilik hewan. Diagnosisnya tidak pernah pasti karena hasil yang menunjukkan hipotiroidisme
dapat terjadi karena berbagai alasan pada hewan seperti anjing dengan fungsi tiroid normal atau
eutiroid (Mooney 2011).

1.2 Tujuan
Makalah problem based learning ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari
metode pemeriksaan untuk penetapan Hypothyroidism.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis
Diagnosis hipotiroid terutama ditegakkan melalui pemeriksaan kadar thyroid stimulating
hormone (TSH) dan free tiroksin (FT4) dalam darah. Hal ini dikarenakan manifestasi klinis
hipotiroid sangat bervariasi dan gejalanya tidak spesifik. Peningkatan kadar TSH disertai dengan
penurunan kadar FT4 menandakan suatu proses hipotiroid primer, sedangkan peningkatan kadar
TSH dengan kadar FT4 normal menandakan kemungkinan hipotiroid subklinis. Sementara itu,
diagnosis hipotiroid sekunder ditentukan apabila terjadi penurunan kadar TSH dan FT4
(Halawani et al. 2018). Nilai normal TSH berkisar antara 0,3 – 4,0 µIU/mL dan Free thyroxine
(fT4) yaitu 0,8 - 2,0 ng/dL. Apabila kadar TSH tinggi dan nilai fT4 kurang dari normal maka
orang tersebut menderita hipotiroid (Nurcahyani 2017).

2.1.1 Pemeriksaan TSH


Pemeriksaan TSHs merupakan pemeriksaan menggunakan sampel darah yang
diambil dari pembuluh darah vena di lengan untuk mengukur konsentrasi
thyroid-stimulating hormone (TSH) dalam darah. Thyroid-stimulating hormone (TSH)
adalah hormon yang berfungsi merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon
thyroxine (T4) dan triiodothyronine (T3). Fungsi TSH dipengaruhi oleh thyrotropin
releasing hormone (TRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus untuk mempertahankan
konsentrasi yang stabil dari hormon tiroid dalam darah. TSH merupakan glikoprotein
dengan berat molekul ± 28.000 dalton, terdiri dari 2 subunit yang berbeda, alfa dan beta.
Konsentrasi TSH dalam darah sangat rendah, namun sangat penting untuk mengatur
fungsi tiroid yang normal (Wirawati 2017).

2.1.1.1 Pemeriksaan TSH dengan metode ECLIA


Pemeriksaan TSH metode ECLIA menggunakan prinsip sandwich dengan
waktu pemeriksaan selama 18 menit. Prosedur pemeriksaannya antara lain 1)
inkubasi pertama: 50 ul sampel, antibodi spesifik TSH monoclonal biotinilasi dan
antibodi spesifik T4 yang dilabel dengan komplek ruthenium membentuk
komplek sandwich. 2) Inkubasi kedua: setelah ditambahkan mikropartikel yang
dilapisi streptavidin, komplek yang terbentuk berikatan dengan fase solid melalui
interaksi biotin dengan streptavidin. 3) Campuran reaksi diaspirasi dalam cell
pengukur dimana mikropartikel secara magnetic ditangkap pada permukaan
elektroda. Substansi yang tidak berikatan dibuang melalui Procell. Aplikasi
voltase (tegangan) pada elektroda kemudian menginduksi emisi
chemiluminescent yang diukur oleh photomultiplier. 4) Hasil ditetapkan melalui
kurva kalibrasi yang merupakan instrumen yang dihasilkan secara khusus oleh
kalibrasi 2 titik dan master kurva dihasilkan melalui reagen barcode. Sampel
sebaiknya tidak diambil pada pasien yang mendapatkan terapi biotin dosis tinggi (
> 5mg/ hari). Rentang nilai untuk TSH adalah 0.270 – 4.20 μIU/mL. dengan batas
deteksi terendah adalah 0.005 μIU/mL.

2.1.1.2 Pemeriksaan TSH metode ELFA


Pengujian TSH metode ELFA menggunakan prinsip sandwich
dengan waktu Pemeriksaan 40 menit. Sampel diambil dan di transfer ke
dalam SPR yang mengandung antibodi TSH berlabel fosfatase alkalin
(conjugate). Antigen menangkap anti antibodi yang dilapisi SPR dan
membentuk komplek sandwich. Komponen yang tidak terikat dieliminasi
pada langkah penyucian. Kemudian ditambahkan substrat 4-methyl
umbelliferyl fosfat, enzim mengkatalisis reaksi hidrolisis substrat menjadi
4-methyl-umbelliferon (produk fluoresen) dan dibaca pada panjang
gelombang 450 nm.

2.1.1.3 Pemeriksaan TSH metode ELISA


Pemeriksaan TSH berdasarkan prinsip ELISA menggunakan
antibodi monoklonal terhadap TSH. Mouse monoclonal anti TSH antibody
digunakan sebagai fase padat (dalam microwells). Anti TSH antibody dari
goat digunakan dalam larutan enzim konjugat (horseradish peroxidase).
Sampel akan bereaksi dengan 2 antibodi tersebut, sehingga molekul TSH
akan diikat di antara fase padat dan enzyme-linked antibody. Setelah
inkubasi 60 menit pada suhu ruang, wells dicuci dengan diluted wash
buffer untuk menghilangkan antibodi berlabel yang tidak terikat.
Ditambahkan TMB substrate solution dan diinkubasi selama 20 menit,
sehingga terbentuk warna biru. Pembentukan warna biru dihentikan
dengan menambahkan stop solution, sehingga warna berubah menjadi
kuning. Konsentrasi TSH berbanding lurus dengan intensitas warna
sampel. Absorbans diukur secara spectrophotometric pada 450 nm.

Gambar 1. Prinsip Pemeriksaan TSH


2.1.2 Pemeriksaan FT4
Pemeriksaan free T4 (FT4) merupakan pemeriksaan menggunakan sampel darah
yang diambil dari pembuluh darah vena di lengan untuk mengukur konsentrasi thyroxine
(T4) dalam bentuk bebas (tidak terikat dengan protein) dalam darah. Thyroxine (T4)
adalah salah satu dari dua hormon utama yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Hormon
tiroid utama lainnya disebut triiodothyronine (T3). T4 dan T3 secara bersama-sama
mempunyai fungsi untuk mengatur metabolisme tubuh. Hampir sebagian besar T4
ditemukan dalam bentuk terikat dengan protein di dalam darah. Sisanya dalam jumlah
kecil tidak terikat dengan protein yang disebut sebagai free T4, dan merupakan bentuk
aktif biologis dari hormon (Wirawati 2017).

2.1.2.1 Pemeriksaan fT4 dengan metode ECLIA


Pemeriksaan fT4 metode ECLIA menggunakan prinsip kompetitif dengan
waktu pemeriksaan selama 18 menit. Prosedur pemeriksaannya antara lain 1)
inkubasi pertama: 15 μl sampel, dan antibodi spesifik T4 yang dilabel dengan
komplek ruthenium. 2) Inkubasi kedua: setelah ditambahkan biotin dan
mikropartikel yang dilapisi streptavidin, komplek yang terbentuk berikatan
dengan fase solid melalui interaksi biotin dengan streptavidin. 3) Campuran reaksi
diaspirasi dalam cell pengukur dimana mikropartikel secara magnetik ditangkap
pada permukaan elektroda. Substansi yang tidak berikatan dibuang melalui
Procell. Aplikasi voltase (tegangan) pada elektroda kemudian menginduksi emisi
chemiluminescent yang diukur oleh photomultiplier. 4) Hasil ditetapkan melalui
kurva kalibrasi yang merupakan instrumen yang dihasilkan secara khusus oleh
kalibrasi 2 titik dan master kurva dihasilkan melalui reagen barcode. Sampel
sebaiknya tidak diambil pada pasien yang mendapatkan terapi biotin dosis tinggi (
> 5mg/ hari). Rentang nilai untuk fT4 adalah 12 – 22 pmol/L atau 0.93 –
1.7ng/dL, dengan batas deteksi terendah adalah 0.300 pmol/L atau 0.023ng/dL.

2.1.2.2 Pemeriksaan fT4 metode ELFA


Pengujian fT4 metode ELFA menggunakan prinsip kompetitif dengan
waktu pemeriksaan 40 menit. Sampel diambil dan di transfer ke dalam SPR yang
mengandung antigen fT4 berlabel fosfatase alkalin (conjugate). Kompetisi terjadi
antara antigen sampel dan antigen berlabel untuk antibodi fT4 yang melapisi
bagian dalam SPR. Kemudian ditambahkan substrat 4-methyl umbelliferyl fosfat,
enzim akan mengkatalisis reaksi hidrolisis substrat menjadi 4-methyl-umbelliferon
sebagai produk fluoresen dan dibaca pada panjang gelombang 450 nm.

2.1.2.3 Pemeriksaan fT4 dengan metode EIA


Pemeriksaan fT4 menggunakan prinsip solid phase competitive enzyme
immunoassay. Sampel serum pasien, standar dan Thyroxine Enzyme Conjugate
Working Reagent ditambahkan pada well yang telah di-coated dengan antibodi
monoklonal anti T4. FT4 yang ada pada spesimen pasien dan T4 berlabel
conjugate akan berkompetisi untuk berikatan dengan antibodi. Setelah inkubasi
selama 60 menit pada suhu kamar, wells dicuci untuk menghilangkan T4
conjugate yang tidak terikat. Larutan H2O2/TMB ditambahkan dan diinkubasi
selama 20 menit hingga terbentuk warna biru. Pembentukan warna biru
dihentikan dengan menambahkan 3N HCl dan absorbans dibaca secara
spektrofotometri pada 450 nm. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan
jumlah enzim yang ada dan berbanding terbalik dengan jumlah fT4 pada sampel,
selanjutnya kadar fT4 dalam sampel dapat dihitung berdasarkan pemeriksaan
standar fT4 dengan cara yang sama.

Gambar 2. Prinsip Pemeriksaan FT 4


III. PEMBAHASAN

3.1 Perubahan parameter yang umum dijumpai pada pemeriksaan laboratorium


Langkah pertama dalam mendiagnosis hipotiroidisme adalah pengukuran T4 dan TSH.
Pengukuran ini juga akan membedakan hipotiroidisme primer dan sekunder. Peningkatan kadar
TSH dengan penurunan kadar T4 biasanya menunjukkan hipotiroidisme primer. Etiologi
hipotiroidisme primer ini kemudian ditentukan oleh penyelidikan lebih lanjut seperti mengukur
antibodi anti-TPO dan anti-thyroglobulin (anti-Tg). Ketika kadar TSH meningkat dengan kadar
T4 normal, hipotiroidisme dianggap subklinis. Pada sisi lain, diagnosis sekunder hipotiroidisme
dibuat ketika ada tingkat TSH dan T4 menurun. Tingkat hypothalamic Thyrotropin Releasing
Hormone (TRH) lebih lanjut diukur untuk menentukan lokasi yang tepat dari patologi di
hipotiroidisme sekunder (Halawani et al. 2018).
Contoh kasus seekor anjing Labrador betina berusia tujuh tahun adalah dipresentasikan di
Society of Prevention of Cruelty ke rumah sakit Hewan (SPCA), Chennai dengan riwayat
alopecia dengan pruritis dan selama tiga bulan terakhir juga diobati dengan ivermectin dan
antijamur sampo oleh dokter hewan lainnya tidak berhasil sembuh. Telah dilakukan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan sampel darah dikumpulkan untuk uji hematologi (Hb,
PCV, Jumlah eritrosit dan jumlah leukosit) dan estimasi biokimia termasuk hati tes fungsi hati
(ALT), tes fungsi ginjal (BUN dan kreatinin) dan tes fungsi tiroid (T3, T4 dan TSH). Sebagai
tambahan, slide apusan darah disiapkan dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk jumlah
leukosit dan untuk kehadiran dari hemoparasit. Kerokan kulit dikumpulkan dan diperiksa di
bawah mikroskop untuk keberadaan ektoparasit. Berdasarkan temuan laboratorium, anjing
dalam kasus dirawat dengan natrium Levothyroxine (Eltroxin tab) @ 20 g/kg berat badan PO,
setiap 12 jam dan suplemen vitamin juga (Ramesh et al. 2018)
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya alopesia bilateral. Hewan ditemukan kusam dan
menunjukkan alopecia simetris pada kedua sisi tubuh dengan penebalan kulit dan sedikit bercak
eritematosa. Parameter hematologis ditemukan dalam batas normal (Tabel 1) kecuali adanya
leukositosis sedang.

Tabel 1. Hematology- complete blood count


Tabel 2. Differential leukocyte count

Tabel 3. Biochemical estimations- liver function and Kidney function tests

Perhitungan leukosit menunjukan kejadian neutrofilik dan eosinofilik (Tabel 2). Tes
fungsi hati dan tes fungsi ginjal menunjukan tidak ada kelainan (Tabel 3). Namun, tes fungsi
Tiroid mengungkapkan nilai abnormal (Tabel 4). Penurunan yang nyata pada T3 dan T4 diamati
sementara peningkatan yang nyata dalam TSH dapat diamati, mengkonfirmasi hipotiroid.
Pemeriksaan mikroskopis kulit apusan kesan mengungkapkan adanya Malassezia. Penurunan
nilai T3, T4 dan TSH pada anjing Labrador dengan alopecia berhubungan dengan
hipotiroidisme. Perubahan dermatologis lebih sering terjadi dan diamati pada 60-80% anjing
hipotiroid (Harith 2017).

Gambar 3. Labrador 7 tahun, betina alopecia-hypothyroidism sebelum diobati


Gambar 4. Labrador 7 tahun, betina, alopecia-hypothyroidism setelah diobati

Perubahan kimia klinis dan hematologi hipotiroid anjing yang paling umum adalah
hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia (Mooney 2011). Selain hiperkolesterolemia dan
hipergliseridemia, euglikemia dapat terlihat saat metabolisme fructosamine Co ditentukan dan
konsentrasi di atas rentang normal. Menurut Reusch et al. (2002), penyebabnya adalah semakin
lambatnya metabolisme fructosamine pada pasien hipotiroid. Anjing yang mengalami hipotiroid
didapatkan sekitar 50-70% terkena gejala ringan, anemia moderat, dan non-regeneratif serta
Leptocytes juga dapat sering dideteksi menggunakan metode smear (Panciera 2001).

Gambar 5. Perubahan Kimia Klinis dan Hematologi (Scott-Moncrieff 2015)


IV. SIMPULAN
Hipotiroidisme pada anjing dapat didiagnosa dengan mengamati anamnesa, gejala klinis,
uji parameter hematologis, dan utamanya dengan memeriksa kadar TSH dan fT4 dalam darah.
Gejala klinis hipotiroidisme pada anjing antara lain adanya alopecia bilateral, dan eritematosa.
Perubahan parameter yang umum ditemukan pada pemeriksaan laboratorium adalah gambaran
leukosit yang menunjukkan kejadian neutrofilik dan eosinofilik, dan adanya perubahan kimia
yaitu hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, dan euglikemia.
Daftar Pustaka

Chiovato L, Magri F, Carle A. 2019. Hypothyroidism in context: Where we’ve been and where
we’re going. Advances in Therapy. 36(2): 47-58.
Golinelli S, Tardo AM, Vecchiato CG, Guido EA, Perfetti S, Diana A, Fracassi F. 2022.
Evaluation of weight gain, clinicopathological and radiographic changes after early
diagnosis and treatment of congenital hypothyroidism in cats. Veterinary Sciences. 9(3):
140.
Halawani MS, Nughays RO, Altemani AF. 2018. Causes, diagnosis, and management of
hypothyroidism. The Egyptian Journal of Hospital Medicine. 71(1): 2250-2.
Haritha GS, Saritha G, NaliniKumari K 2017. Malasseziosis Associated with Hypothyroidism-A
Clinical Report in a Dog. Dairy and Vet Sci J. 2(2):1-2.
Mooney CT. 2011. Canine hypothyroidism: A review of aetiology and diagnosis. New Zealand
Veterinary Journal. 59(3): 105-114.
Nurcahyani, Yusi D. 2017. Sensivitas dan spesivitas instrument skrinning hipotiroid untuk
diagnosis hipotiroid pada anak batita di daerah endemik GAKI. Jurnal Media Gizi Mikro
Indonesia. 8(2):89 – 102.
Panciera DL et al.: Reproductive Effects of Prolonged Experimentally Induced Hypothyroidism
in Bitches. Journal of Veterinary Internal Medicine, 26: 326–333 (2012)
Peterson ME. 2015. Primary goitrous hypothyroidism in a young adult domestic longhair cat:
diagnosis and treatment monitoring. Journal of Feline Medicine and Surgery Open
Reports. 1(2): 1-2
Ramesh S, Sokkalingam R, Subapriya S, Soundararajan C, Muthukrishnan S. Hypothyroidism in
a dog-A case Report. Int. J. Curr. Microbiol. App. Sci.7(12): 3686-9.
Reusch CE, Gerber B, Boretti FS. 2002. Serum fructosamine concentrations in dogs with
hypothyroidism. Vet Res Comm. 26(7): 531-536.
Scott-Moncrieff JC. 2007. Clinical signs and concurrent diseases of hypothyroidism in dogs and
cats. Veterinary Clinics of North America: Small Animal Practice. 37(4): 709-722.
Scott-Moncrieff JC. 2015. Hypothyroidism. Di dalam: Feldman EC, Reusch CE, Scott-Moncrieff
JC. editor. Canine and Feline Endocrinology 4th ed. St.Louis (MO): Elsevier. hlm.
77-135.
Wirawati IAP. 2017. Pemeriksaan tiroid [Skripsi]. Denpasar(ID): Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai