Anda di halaman 1dari 6

Tugas Esai Ujian Akhir Semester

SOSIOLOGI AGAMA
Tsana Khairunnisa—205120100111019—B3

Mentoring Poligami Sebagai Bentuk Normalisasi Diskriminasi Terhadap


Perempuan

Latar Belakang
Pada akhir tahun 2021, dunia maya dihebohkan dengan kegiatan mentoring yang
dilakukan oleh salah satu pemuka agama. Mentoring yang dilakukan oleh seorang pria yang
akrab dipanggil kiai ini merupakan mentoring poligami. Oleh sebab itu, profesi yang
digelutinya menjadi topik yang ramai dibicarakan banyak pihak, khususnya para pegiat
kesetaraan gender. Bukan karena hal sepele, poligami yang diajarkan kepada banyak kliennya
dapat mengundang diskriminasi para perempuan. Tidak hanya itu, cara beliau mengemas
praktik mentoringnya juga menjadi pembicaraan khalayak ramai karena menggunakan unsur
Agama Islam.

A. Pendahuluan

Mentoring adalah proses pengajaran yang dilakukan antara dua orang atau lebih dan
memerlukan pengawasan atau dukungan lebih lanjut dan kontinu agar pengetahuan yang
diberikan bisa diterima atau bahkan dijalankan dengan baik. Pihak yang memberikan
pengetahuan disebut dengan mentor, sedangkan penerima pengetahuan biasa disebut dengan
mentee. Mentoring sendiri memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah fungsi rehabilitatif,
fungsi pengembangan, dan juga fungsi pencegahan. Serangkaian proses pengajaran dapat
disebut sebagai mentoring jika meliputi proses belajar yang terprogram, kisah pengalaman
dari mentor, dan juga hubungan yang dinamis antara pemberi pengetahuan dengan penerima
pengetahuan atau mentor dengan mentee-nya.

Poligami terdiri dari dua pokok kata dalam Bahasa Yunani, yakni polu yang berarti
banyak dan gamein yang berarti kawin. Berdasarkan pengertian secara etimologis tersebut,
poligami berarti perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang mengawini lebih dari satu
pasangan dalam waktu yang bersamaan (Suprapto 1990). Poligami sendiri dapat dilakukan
oleh laki-laki, ataupun perempuan. Hanya saja, karena ada istilah lain ketika perempuan yang
mengawini banyak laki-laki dalam satu waktu yang disebut sebagai poliandri, maka
penggunaan kata poligami ditujukan kepada laki-laki yang mengawini banyak perempuan
dalam satu waktu yang sama (Departemen dan Kebudayaan RI 1998). Poligami dapat
dilakukan dengan dasar tujuan yang berbeda-beda, baik karena budaya yang turun temurun,
Tugas Esai Ujian Akhir Semester
SOSIOLOGI AGAMA
Tsana Khairunnisa—205120100111019—B3

untuk mendapat keturunan, anjuran agama untuk menolong perempuan, atau bahkan hanya
karena hawa nafsu dan gengsi.

Stratifikasi merupakan perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang disusun


secara bertingkat atau biasa disebut sebagai hierarki. Menurut Max Weber, stratifikasi sosial
adalah penggolongan masyarakat yang masuk ke dalam sistem sosial tertentu ke dalam
lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan juga hak istimewa.
Sedangkan menurut Cuber, stratifikasi adalah pola hierarki yang didasarkan pada status sosial
yang dimiliki. Stratifikasi juga dapat terjadi dalam hidup beragama, karena dominasi
mayoritas penganutnya, ajaran dalam agama itu sendiri, ataupun perasaan superior yang
dimiliki kelompok agama tertentu terhadap kelompok lain (Yusuf 2013). Dalam kehidupan
sehari-hari diskriminasi umumnya dapat ditemui dalam kasus rasisme, patriarki, dan lain-lain.

Berdasarkan pendahuluan yang diuraikan penulis, praktik mentoring poligami yang


dijalankan oleh beberapa oknum masyarakat, yang salah satunya dilakukan oleh pemuka
agama berpotensi untuk menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Mentoring poligami
ini akan meningkatkan angka para suami untuk melakukan poligami. Umumnya, perempuan
yang menjadi istri pertama atau istri kedua tidak memiliki kebebasan untuk ikut memutuskan
dan ikut berpendapat tindak poligami yang dilakukan oleh suami ataupun calon suaminya.
Poligami bisa menjadi tindakan kekerasan jika dilakukan tanpa izin dari istri pertama, yang
mana hal ini sebenarnya sudah cukup banyak terjadi di Indonesia. Setelah praktik poligami
dijalankanpun, banyak terjadi ketidak adilan dalam berumah tangga yang berakhir pada
kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.

B. Pembahasan

Praktik Mentoring Kiai Hafidin


Salah satu pegiat mentoring poligami adalah Kiai Haji Afidin, yang merupakan
pendiri sebuah pondok pesantren di Banten. Pengetahuan yang ia sampaikan kepada para
mentee-nya adalah pengetahuan yang berkisar pada poligami dan juga berumah tangga yang
ideal, menurut sudut pandangnya. Untuk setiap sesinya, harga yang diberikan kepada para
peserta mentoring bermacam-macam. Biaya yang dikeluarkan mulai dari ratusan ribu rupiah
untuk satu kali sesi mentoring secara daring, hingga jutaan rupiah untuk rangkaian sesi
mentoring yang berkelanjutan dan dilakukan secara tatap muka. Meskipun terbilang mahal,
Tugas Esai Ujian Akhir Semester
SOSIOLOGI AGAMA
Tsana Khairunnisa—205120100111019—B3

mentoring yang diselenggarakan Kiai Hafidin ini memiliki banyak peminat. Upaya promosi
yang dilakukannya memerlukan biaya sekitar satu atau dua juta perbulan untuk memasang
iklan di Instagram. Iklan yang disuguhkan berbalut dengan narasi agama serta jaminan surga
untuk para istri yang tunduk pada suaminya yang berpoligami. Upaya promosi yang
dilakukannya cukup efektif, mengingat norma agama memiliki pengaruh yang besar terhadap
masyarakat Indonesia.

Praktik Poligami Kiai Hafidin


Tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan, Kiai Hafidin juga mempraktekan
poligami dalam kehidupannya. Sehingga, bisa dikatakan bahwa ia praktisi dari poligami itu
sendiri. Berdasarkan liputan yang dilakukan narasi, Kiai memiliki empat orang istri dari enam
kali pernikahan, dua diantaranya diceraikan karena alasan yang berbeda. Salah satu mantan
istrinya diceraikan dengan alasan bahwa kiai masih ingin memiliki banyak anak sedangkan
sang mantan istri sudah menopause. Mantan istri yang lain diceraikan karena dirasa sudah
tidak cocok untuk bersama. Dari keseluruhan pernikahannya, kiai memiliki dua puluh lima
anak. Dari segi ekonomi, ia mengaku bahwa kondisi ekonominya tidak bisa dibilang sangat
bagus, hanya secukupnya saja. Hafidin mengungkapkan bahwa ia mendukung praktik
poligami yang bisa dilakukan siapa saja dengan kondisi ekonomi apapun, baik rendah atau
tinggi selama pembagiannya dirasa adil (Hanifan, Aqwam F. Sumandoyo 2021).

Berdasarkan hasil liputan yang sama, kiai mengaku bahwa ia tidak meminta izin
untuk berpoligami terlebih dahulu kepada istrinya yang sudah ada. Ia hanya memberi info
ketika walimah atau pesta pernikahan hendak dilaksanakan. Menurutnya, ia tidak perlu
meminta izin kepada istri karena istri bukan Kepala Dinas. Selain itu ia meyakini bahwa
istrinya selalu mengiyakan segala tindakannya sebagai perwujudan istri yang baik dan
salihah. Di sisi lain, dari sudut pandang para istrinya yang juga diwawancarai oleh tim narasi,
pernikahan poligami yang dijalankan mendapat campur tangan dari pihak ketiga, yakni
keluarga. Dua dari tiga istri yang diwawancarai mengaku bahwa mereka dijodohkan dengan
sang kiai. Sedangkan satu istri lainnya dilamar langsung oleh kiai dan mendapat dorongan
dari orang tuanya untuk menikah dengan kiai meskipun menjadi istri ke sekian.

Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Perempuan


Tindakan poligami dapat mendorong tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Bahkan menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Tugas Esai Ujian Akhir Semester
SOSIOLOGI AGAMA
Tsana Khairunnisa—205120100111019—B3

berdasarkan hasil aduan yang diterima lembaganya, praktik poligami memang tindakan
kekerasan terhadap perempuan. Poligami yang dialami istri kedua dan seterusnya umumnya
hanya berlandaskan nikah siri, sehingga dihitung sebagai perkawinan tidak tercatat. Selain
itu, berdasarkan aduan yang diterima komnas perempuan banyak juga terjadi kekerasan
dalam rumah tangga karena adanya poligami. Baik pernikahan yang tidak tercatat ataupun
kdrt yang terjadi dalam rumah tangga termasuk ke dalam kategori kekerasan terhadap
perempuan yang tentunya masuk juga ke dalam diskriminasi terhadap perempuan. Tidak
hanya itu, poligami juga berpotensi untuk membuat istri merasa tidak nyaman dan inferior.
Jika hal ini terjadi secara berkelanjutan, maka istri bisa saja tersakiti secara psikis bahkan
fisik (Wardah n.d.).

Pengaruh Kiai Hafidin dan Praktik Mentoringnya sebagai Pemuka Agama


Sebagai seorang pemuka agama, tentunya promosi praktik poligami yang dijalani oleh
kiai hafidin ini memiliki dampak yang cukup besar. Terlebih, berada di tengah kondisi
masyarakat Indonesia yang mudah dipengaruhi oleh segala sesuatu yang berkiatan dengan
agama. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, promosi mentoring yang dilakukan kiai
hafidin dibalut dengan iming-iming surga bagi perempuan yang bersedia untuk dimadu
ataupun menjadi istri ke sekian. Narasi yang dibeberkan dalam promosinya juga berfokus
pada poligami merupakan ibadah. Seorang istri harus selalu menuruti dan mengiyakan segala
tindakan yang dilakukan suami sebagai perwujudan istri yang salihah. Istri salihah dalam
mentoring yang dijalankannya menyatakan bahwa seorang istri harus selalu memeberikan
pelayanan terbaik kepada suaminya. Bahkan jika suami marah atau berbuat salah, istri salihah
harus selalu mewajarkan hal tersebut.

Poligami dalam Pandangan Islam


Sejatinya, dalam islam tidak pernah mengajarkan atau memerintahkan praktik
poligami, karena poligami sendiri sudah berjalan sebelum Islam lahir atau sebelum Nabi
Muhammad menyebarkan ajaran Islam kepada umatnya. Kehadiran Islam sejatinya hanya
mengatur praktik poligami serta syarat-syarat mengenai poligami. Dalam berumah tangga,
Islam juga mengajarkan mengenai kesetaraan serta ruang bagi kedua belah pihak untuk
berdiskusi bersama untuk segala hal, meskipun tanggung jawab terbesar memang dipegang
oleh suami.

Dampak Praktik Poligami yang Menjamur


Tugas Esai Ujian Akhir Semester
SOSIOLOGI AGAMA
Tsana Khairunnisa—205120100111019—B3

Berdasarkan banyak penelitian serta aduan yang diterima oleh komnas perempuan,
kebanyakan poligami berujung pada kesengsaraan bagi istri dan anak. Dari segi ekonomi,
keuangan harus diatur sedemikian rupa agar dapat adil kepada setiap istri. Bahkan ukuran adil
bagi suami belum tentu adil bagi istri dan juga anak. Dari segi peran keluarga, anak yang
lahir dari keluarga dengan praktik poligami lebih merasakan absennya sosok ayah. Bahkan
jika kita lihat kembali melalui apa yang dijalani oleh Kiai Hafidin, ia menormalisasi praktik
poligami pada suami dengan taraf ekonomi yang tidak selalu tinggi. Jika hal ini terlanjur
normal pada masyarakat Indonesia, maka permasalahan sosial akan meningkat. Baik tingkat
ketidakadilan dalam rumah tangga, kdrt, gizi buruk, pendidikan, yang tidak merata, bahkan
kriminalitas berpotensi meningkat dengan pesat.

Kesimpulan

Mentoring poligami yang marak belakangan ini menjadi ancaman bagi kaum
perempuan. Fenomena yang terus menjamur ini dikhawatirkan akan meningkatkan angka
poligami yang mayoritas praktiknya berujung pada kesengsaraan bagi perempuan. Terlebih,
upaya promosi serta praktiknya dibalut dengan unsur keagamaan yang mudah memengaruhi
masyarakat Indonesia. Poligami dapat menjadi diskriminasi karena didalamnya seringkali
terdapat kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan itu meliputi tindak poligami yang
dilakukan tanpa izin istri, perasaan tidak nyaman antar istri, perasaan inferior terhadap suami
ataupun istri lainnya, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam praktik poligami
itu sendiri. Salah satu pegiat mentoring poligami ini adalah Kiai Hafidin, yang juga
mempraktikan kegiatan terkait dalam kehidupannya. Dalam menjalani poligami, ia
melanggar beberapa hal yang seharusnya menjadi setara dalam hubungan rumah tangga,
sehingga terdapat diskriminasi dalam rumah tangganya tersebut. Bentuk-bentuk diskriminasi
yang terjadi adalah pernikahan yang dilakukan tanpa seizin istri tua, adanya intervensi dari
pihak ketiga terhadap calon istri, pola pikir di mana istri diharuskan untuk selalu tunduk dan
patuh kepada suami dalam keadaan buruk sekalipun, hingga normalisasi kondisi ekonomi
yang tidak terlalu baik untuk menjalankan poligami. Sebagai pemuka agama yang
menjalankan praktik mentoring dengan balutan agama, hal yang dilakukan Kiai Hafidin dapat
memengaruhi masyarakat dalam jumlah besar. Jika praktik poligami dengan pola pikir yang
sama dengan Hafidin langgeng dalam masyarakat, maka diskriminasi terhadap perempuan
Tugas Esai Ujian Akhir Semester
SOSIOLOGI AGAMA
Tsana Khairunnisa—205120100111019—B3

akan terus meningkat. Tidak hanya itu, masalah-masalah sosial lainnya pun berpotensi
meningkat seiring dengan peningkatan praktik poligami.

Daftar Pustaka:
Departemen dan Kebudayaan RI. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. edited by B.
Pustaka. Jakarta.
Hanifan, Aqwam F. Sumandoyo, Arbi. 2021. “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami
Berbayar.”
Suprapto, Bibit. 1990. Liku-Liku Poligami. Yogyakarta: Al Kautsar.
Wardah, Fathiyah. n.d. “Komnas Perempuan: Praktik Poligami Adalah Kekerasan Terhadap
Perempuan.” Voa Indonesia.
Yusuf, Wibisono M. 2013. Sosiologi Agama. Vol. 53. edited by Z. Rahman, Taufiq M.
Mubarok. Bandung: Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Anda mungkin juga menyukai