Anda di halaman 1dari 12

1.

Gagal ginjal akut


Tata Laksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa
AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah
pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI
adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi
pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap
pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang
cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat
dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum
● Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit
dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi
pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun
2005 (tabel 5).

● Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat
kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.
Diuretik yang bekerja menghambat Na+ /K+ -ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik
dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak
klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik,
sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan
mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada
tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan
mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa
rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko
ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78).20,21 Meskipun demikian, pada keadaan
tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan
kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan
diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:
⮚ Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak
dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau
dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam
15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
⮚ Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250
mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler.
Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas.

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler


sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap
oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan
kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi
eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul
pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain
menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol
tidak memperbaiki prognosis pasien.

Dopamin dosis rendah (0,5-3 µg/kgBB/menit) secara historis digunakan


dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2
di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal, menghambat Na+ /K+ -ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran
darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh
terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien
serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti
agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji
klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI

Nainggolan, G., & Sinto, R. (2010). Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana.  Maj Kedokt Indon, 60(2).

2. Gagal ginjal kronik


Penatalaksanaan
● Terapi konservatil
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya laal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit
⮚ Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk iangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
⮚ Kebutuhan iumlah kalori Kebutuhan iumlah kalori (sumber energi) untuk
GGK harus adekuat dengan tuiuan utama yaitu mempertahankan
keseimbangan positil nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara
status gizi.
⮚ Kebutuhan cairan Bila ureum serum > '150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 liter Per hari. d. Kebutuhan
elektrolit dan mineral .Kebutuhan iumlah mineral dan elektrolit bersifat
individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease)
● Terapi simptomatik
⮚ Asidosis metabolil< harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodlum bicarbonat) harus segera
diberikan intavena bila pH < 7,35 atau serum bikarbonat < 20 mEq/l.
⮚ Anemia Transfusi rlarah misalnya Paked Red Cel/ (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak
⮚ Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan
keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (c/rief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinalyang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai
anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan si mtomatik.
⮚ Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
⮚ Kelainanneuromuscular. Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu
ter,api hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
⮚ Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
⮚ Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari
kelainan kardiovaskular yang diderita.

● Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 mTmenit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginja

Husna, N. C. (2012). Gagat ginjal kronis dan penanganannya: literatur review. FIKkeS,  3(2).

3. Nefropati diabetik
● Deteksi nefropati diabetik dan penanggulangan mikroalbuminuria
Deteksi dini nefropati diabetik dilakukan dengan pemeriksaan mikroalbuminuria,
dan merupakan prosedur rutin dalam penanganan diabetes melitus. The American
Diabetes Association (ADA) merekomendasikan pemeriksaan mikroalbuminuria
setiap tahun pada DMTI dan DMTTI setelah 5 tahun menderita sakit.1 Pada
DMTI dengan lama sakit lebih dari 5 tahun harus dilakukan pemeriksaan UAER
dengan pemeriksaan urin 24 jam atau pemeriksaan rasio albumin/kreatinin pada
urin pagi hari. Jika UAER mencapai 20 µg/menit (30 mg/hari), atau rasio
albumin/kreatinin >30 µg/mg, pemeriksaan tersebut harus diulang 3-6 bulan
kemudian untuk mendiagnosis mikroalbuminuria. Jika hasil pemeriksaan ulangan
menunjukkan hasil <20 µg/menit, pasien diperlakukan sebagai pada tahap awal.
Jika hasil pemeriksaan UAER menunjukkan peningkatan, terindikasi pemberian
penghambat ACE untuk menghambat progresivitas nefropati. Ketoasidosis,
diuretik, penyakit akut, penyakit jantung, infeksi saluran kemih, menstruasi,
hipertensi berat, kontrol gula darah yang buruk, latihan berat, dan berbagai
penyakit ginjal nondiabetik dapat menyebabkan pengeluaran albumin. Oleh sebab
itu pemeriksaan UAER perlu diulang 3-6 bulan kemudian agar mikroalbuminuria
yang terjadi diyakini karena nefropati diabetik dan bukan oleh sebab lain
Setelah diagnosis mikroalbuminuria ditegakkan, dilakukan tata laksana
terhadap efek hiperfiltrasi ginjal, yaitu 1. mengontrol hiperglikemia, 2.
mengontrol hipertensi dengan agresif, 3. pengontrolan selektif terhadap dilatasi
arteriol dengan memberikan penghambat ACE untuk menurunkan tekanan
transglomerulus kapiler, dan 4. restriksi protein diet (sebab asupan tinggi protein
akan menyebabkan peningkatan perfusi ginjal).
Mikroalbuminuria persisten atau yang tidak berkurang dengan
pengontrolan gula darah, terindikasi untuk pemberian penghambat ACE.
Penghambat ACE dapat menurunkan tekanan kapiler glomerulus tetapi tidak
dapat mencegah penebalan MBG. Angiotensin dapat bekerja sebagai growth
factor terhadap sel mesangium dan otot polos dan merangsang sintesis fibronektin
sel mesangium. Meningkatnya produksi fibronektin sel mesangium pada keadaan
hiperglikemia dapat dihambat oleh penghambat ACE kaptopril. Peningkatan
produksi kolagen sel mesangium akibat stimulasi glukosa dapat dihambat oleh
enapril. Kaptopril dapat menghambat MMPs 72-kd dan 92 kd, kolagenase tipe IV,
sehingga menyebabkan penimbunan MES. Lisinopril yaitu penghambat ACE
nonsulfhidril akan menghambat metalloproteinase dan efeknya lebih besar
dibandingkan kaptopril.
Committee of the Council on Diabetes Mellitus of the National Kidney
Foundation merekomendasikan pemantauan terhadap pemberian penghambat
ACE pada nefropati diabetik sebagai berikut: a.) ukur UAER setiap 6 bulan, b.)
periksa kadar kreatinin dan kalium serum 7-10 hari setelah terapi dimulai dan
kemudian diperiksa minimal setiap 3 bulan. c.) periksa darah tepi setiap 3 bulan.
Jika terdapat peningkatan kadar kreatinin serum 0,5 mg/dL atau kalium >
5mEq/L, pasien dirujuk ke nefrologis. Pemberian penghambat ACE dimulai
dengan dosis yang paling rendah dan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
keadaan. Jika mikroalbuminuria menurun dengan penghambat ACE dosis rendah
dan tekanan darah serta kreatinin serum stabil, maka dosis obat tidak perlu
diubah. Jika mikroalbuminuria makin bertambah, maka dosis obat perlu
disesuaikan.10 Kaptopril biasanya diberikan dengan dosis 0,3–2 mg/kgbb/hari
dengan dosis maksimal 5 mg/kgbb/hari. Enalapril diberikan dengan dosis 0,1 dan
maksimal 1 mg/kgbb/hari. Lisinopril diberikan dengan dosis 0,1 dan maksimal 1
mg/kgbb/hari.
Pada DMTTI, pemberian antagonis reseptor angiotensin II dapat
melindungi ginjal (renal protective) tanpa mempengaruhi tekanan darah,
sedangkan pemberian penghambat ACE tidak direkomendasikan. Meskipun
terdapat penelitian yang membuktikan manfaat pemberian antagonis reseptor
angiotensin II pada DMTI, namun obat ini baru digunakan apabila pasien tidak
tolerans terhadap penghambat ACE, misalnya terjadi efek samping berupa batuk

● Kontrol tekanan darah


Pengendalian tekanan darah yang efektif akan memperlambat penurunan
LFG dan progresivitas terjadinya penyakit ginjal kronik. Berbagai penelitian telah
membuktikan efektivitas antihipertensi memperlambat terjadinya nefropati
diabetik. Untuk menanggulangi hipertensi, terapi inisial yang direkomendasikan
adalah penghambat ACE. Pada pemberian penghambat ACE, perlu diwaspadai
terjadinya penurunan fungsi ginjal akut dan hiperkalemia. Hiperkalemia dapat
terjadi karena insufisiensi ginjal atau hipoaldosteronism hiporeninemia. Sebagai
antihipertensi pilihan kedua adalah diuretik dosis rendah, penghambat reseptor
a(a-receptor blocker), dan calsium channel blocker. Diuretik efektif untuk
menurunkan tekanan darah dan bekerja secara sinergistik dengan penghambat
ACE. Pemberian nifedipin dapat menyebabkan penurunan kadar insulin sehingga
menimbulkan peningkatan kadar gula darah.2 Pada DMTI, b blockers dan
potassium sparing diuretics sebaiknya dihindari atau kalau diberikan perlu
perhatian khusus. b blockers seperti propranolol dapat meyulitkan pengontrolan
kadar gula darah, menghambat terjadinya hipoglikemia dan memperlambat
penyembuhan, menimbulkan efek yang tidak baik terhadap metabolisme
lipoprotein, serta menyebabkan hiperkalemia. Pada diabetes melitus dengan
normoalbuminuria dan normotensi, peningkatan tekanan darah sistolik pada
malam hari dapat menyebabkan mikroalbuminuria. Pada pasien seperti ini, dapat
diberikan penghambat ACE sebelum terjadi nefropati insipien.

● Penanggulangan diabetes
Tata laksana diabetes melitus meliputi pengontrolan gula darah, perbaikan
kebiasaan hidup, pemberian insulin, dan program latihan. Pengontrolan gula darah
terbukti dapat menurunkan kejadian albuminuria, mencegah penurunan LFG dan
terjadinya nefropati. Mempertahankan keadaan metabolik dalam keadaan normal
dapat mencegah kerusakan vaskular. Perlu dilakukan pemantauan gula darah
(home glucose monitoring) dan mengukur hemoglobin glikosilat atau HbA1C.
Pengendalian kadar glukosa darah terbukti menurunkan komplikasi
mikrovaskular. Pada DMTI, kontrol gula darah yang efektif dan kadar
hemoglobin glikosilat yang normal menurunkan risiko terjadinya
mikroalbuminuria, menurunkan risiko terjadinya hipertensi, dan memperlambat
progresivitas nefropati atau GGT.2The Diabetes Control and Complications Trial
(DCCT) (1993) melaporkan bahwa setelah 9 tahun, dengan pencegahan primer
kejadian mikroalbuminuria sebesar 16%, lebih rendah dibandingkan dengan tanpa
pencegahan primer yaitu 27%. Setelah 9 tahun, insidens mikroalbuminuria pada
kelompok yang mendapat pencegahan sekunder adalah 26% sedangkan pada
kelompok yang mendapat terapi konvensional adalah 42%. Progresivitas
terjadinya penyakit ginjal kronik atau GGT lebih rendah pada pasien dengan
kontrol gula darah yang intensif dibandingkan dengan yang tidak intensif

Pardede, S. O. (2016). Nefropati diabetik pada anak.  Sari Pediatri, 10(1), 8-17.

4. Batu Ginjal
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis
batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi, dan mengurangi obstruksi
yang terjadi. Menurut Adi Putra (2016) penatalaksaan penyakit batuginjal di bagi menjadi
dua terapi yaitu terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.

1. Terapi Farmakologi

a. ESWL (Extracorporeal Shockwava Lithotripsy) adalah tindakan operasi


memecahkan batu ginjal dari luar tubuh dengan menggunakan gelombang kejut.
Rata-rata penanganan adalah antara 1000-3000 gelombang kejut. Batu akan
dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil sehingga mudah dikeluarkan di saluran
kemih. Operasi ESWL ini sering dilakukan dirumah sakit karena memiliki
kelebihan dari operasi ESWL tidak ada sayatan yang dilakukan pada kulit dan
nyeri pasca operasi yang dialami minimal. Kekurangan ESWL adalah
membutuhkan beberapa perawatan dan adanya prosedur tambahan.
b. PCNL (Percutanes Nephro Litholapaxy) adalah salah satu tindakan endourologi
untuk mengeluarkan batu yag berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan
alat endoskopi ke dalam kalises melalui insisi pada kulit. Batu akan dipecah
menjadi lebih kecil. Kelebihan PCNL adalah tidak ada prosedur tambahan setelah
tindakan ini jadi bisa direkomendasikan untuk mengobati pasien penderita batu
ginjal.
c. Bedah terbuka atau tindakan bedah
Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat litotripsor atau alat gelombang
kejut. Pengangkatan batu ginjal secara bedah merupakan mode utama. Namun
demikian saat ini bedah dilakukan hanya pada 1-2% pasien.

Jenis pembedahan yang dilakukan antara lain :

1) Pielolititomo adalah jika batu berada di piala ginjal.

2) Nefrotomi adalah bila batu terletak di dalam ginjal atau nefrektomi.

3) Ureterolitotomi adalah bila batu berada di dalam ureter.

4) Sistolitotomi adalah jika batu berada di kandung kemih.

d. Terapi konservatifa dan terapi ekspulsif medikamentosa (TEM)

Terapi dengan menggunakan medikamentosa ini ditujukan pada kasus dengan


batu yang ukurannya masih kurang dari 5mm, dapat juga diberikan pada pasien
yang belum memiliki indikasi pengeluaran batu secara aktif. Terapi konservatif
terdiri dari peningkatan asupan minum dan pemberian diuretic, blocker, seperti
tamsulosin, manjamen rasa nyeri pasien, khususnya pada kolik, dapat dilakukan
dengan pemberian simpatolitik, atau antiprostaglandin, analgesic, pemantauan
berkala setiap 1-14 hari sekali selama 6 minggu untuk menilai posisi batu dan
derajat hidronefrosis.

2. Terapi Non Farmakologi

a) Minum air banyak

Banyak minum air putih dapat membantu kerja ginjal lebih lancar untuk memecah
kelebihan mineral yang jadi penyebab terbentuknya batu ginjal.

b) Olahraga secara teratur

Aktivitas olahraga sangat diperlukan oleh pasien yang mempunyai penyakit batu
ginjal. Cukup dengan melakukan olahraga yang ringan sampai sedang, keringat
yang keluar pada saat berolahraga juga membawa garam dan mempertahankan
kalsium tetap di tulang, sehingga tidak masuk ke ginjal dan urin dimana batu
ginjal terbentuk.

c) Menghindari beberapa makanan yang mengandung alcohol dan makanan cepat


saji seperti garam, kopi, soda, alcohol, daging sapi, telur, keju, kacang-kacangan,
minuman manis, makanan ringan, makanan kaleng, gorengan, dan kentang.
d) Tidak menahan bila ingin kemih
e) Menjaga dengan baik kebersihan organ intim
f) Dengan menggunakan tanaman herbal kumis kucing dan meniran.

Adi Putra, M., & Fauzi, A. (2016). Nephrolithiasis. Nefrolitiasis, Majority. Vol. 5(2).

5. Tumor Ginjal

Tujuan pengobatan tumor ginjal adalah mengusahakan penyembuhan dengan komplikasi


dan morbiditas serendah mungkin. Biasanya dianjurkan kombinasi pembedahan,
radioterapi dan kemoterapi. Dengan terapi kombinasi ini dapat diharapkan hasil yang
memuaskan. Jika secara klinis tumor masih berada dalam stadium dini dan ginjal
disebelah kontra lateral normal, dilakukan nefrektomi radikal.

a. Pembedahan

Nefroktomi radikal di lakukan bila tumor belum melewati garis tengah dan belum
menginfiltrasi jaringan lain. Pengeluaran kelenjar limfe retroperitoneall total tidak
perlu dilakukan tetapi biopsi kelenjar di daerah hilus dan paraaorta sebaiknya
dilakukan. Pada pembedahan perlu diperhatikan ginjal kontralateral karena
kemungkinan lesi bilateral cukup tinggi. Apabila ditemukan penjalaran tumor ke
vena kava, tumor tersebut harus diangkat.

b. Radioterapi

Rradioterapi dapat mengganggu pertumbuhan anak dan menimbulkan penyulit


jantung, hati dan paru. Karena itu radioterapi hanya diberikan pada penderita
dengan tumor yang termasuk golongan patologi prognosis buruk atau stadium III
dan IV. Jika ada sisa tumor pasca bedah juga di berikan radioterapi. Radioterapi
dapat juga di gunakan untuk metastase ke paru, otak, hepar serta tulang.

c. Kemoterapi

Prinsip dasar kemoterpai adalah suatu cara penggunaan obat sitostatika yang
berkhasiat sitotoksik tinggi terhadap sel ganas dan mempunyai efek samping yang
rendah terhadap sel yang normal. Terapi sitostatika dapat diberikan pra maupun
pasca bedah didasarkan penelitian sekitar 16-32% dari tumor yang mudah ruptur.
Biasanya, jika diberikan prabedah selama 4-8 minggu. Jadi, tujuan pemberian
terapi adalah untuk menurunkan resiko ruptureintraoperatif dan mengecilkan
massa tumor sehingga lebih mudah di reseksi total.

Penanganan pada beberapa jenis tumor ginjal antara lain :

1) Hermatoma ginjal

Tumor kecil dan tanoa menimbulkan keluhan tidak perlu diobati, hanya
saja memerlukan evaluasi berkala yang teratur untuk mengetahui
perkembangan besarnya massa tumor. Jika tumor menjadi semakin besar
dan sangat mengganggu perlu dieprtimbangkan untuk tindakan
nefrektomi.

2) Adenokarsinoma Ginjal

a) Nefrektomi: tumor yang masih dalam stadium dini dilakukan


nefrektomi radikal yaitu mengangkat ginjal beserta kapsula gerota.

b) Hormonal: penggunaa terapi hormonal belum banyak diketahui


hasilnya.

c) Imuno terapi: harganya sangat mahal dan hasil terapi dengan obat-
obatan ini masih belum jelas.

d) Radial eksterna: radiasi eksterna tidak banyak memberi manfaat pada


adenokarsinoma ginjal karena tumor ini adalah tumor yang radioresisten.

e) Sitotastika demikian pula pemakaian sitotastika tidak banyak


memberikan manfaat pada tumor ginjal.

3) Nefroblastoma

a) Sitotastika pemberian ini diberikan sebelum pembedahan dan


dilanjutkan beberapa seri setelah pembedahan dengan memberikan hasil
yang cukup memuaskan.

b) Radiasi eksterna: tumor wilms memeberikan respon yang cukup baik


terhadap radio terapi.

c) Nefrektomi radikal merupakan terpai terpilih apabila tumor belum


melewati garis tengah dan belum menginflitrasi jaringan lain.

4) Tumor wilm dikenal sebagai tumor yang radiosensitif. Akan tetapi radio
terapi dapat mengganggu pertumbuhan anak dan menimbulkan penyulit
jantung, paru dan hati
5) Tumor pelvis renalis

Tumor ini kurang memberikan respon pada pemberian sitostatika maupun


radiasi ekaterna. Terapi yang paling baik untuk tumor ini pada stadium
awal.

NNurarif A. H & Kusuma H, 2015, Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa


medis & Nanda nic-noc. Yogyakarta: media action.
Syvia A.Price Marylin., 2000.: Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit edisi 7.
Penerbit Buku kedokteran EGC. Jakarta.

6. Sindrom Nefrotik

Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit


dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria, mengontrol
edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus
dicari dan diberi terapi, dan obat- obatan yang menjadi penyebabnya disingkirkan.

1) Diuretik

Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari)
atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing
diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi.

2) Diet

Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari


karbohidrat. Diet rendah garam (1-2 gr/hari), rendah lemak harus diberikan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu,
asupan yang rendah protein adalah aman, dapat mengurangi proteinuria dan
memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan menurunkan tekanan
intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan dianjurkan pada pasien
yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1.0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan
vitamin D dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin ini

3) Terapi antikoagulan

Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi antikoagulan dengan


heparin harus dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan untuk mencapai waktu
tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya
penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi heparin intravena, antikoagulasi
oral dengan warfarin dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat diatasi.

4) Terapi Obat

Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu


prednisone 1 1,5 mg/kgBB/hari atau 60 mg/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 -
6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance
(5 - 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2
minggu. Bila padasaat tapering off, keadaan penderita memburuk kembali (timbul
edema, protenuri), diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian
tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani
sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal
glomerular lesion (MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik
lupus glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan
pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk
mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan
vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak
kasus penurunan proteinuria sampai 75 %.

Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh
yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan
siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.

Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3x12,5 mg), kalsium
antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.

Gunawan, C.A. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu
Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD
A.Wahab Sjahranie Samarinda.

Sukandar E. Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman. Soekaton U, Waspadji


S et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-
305.

Anda mungkin juga menyukai