Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250
mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler.
Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas.
Nainggolan, G., & Sinto, R. (2010). Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Maj Kedokt Indon, 60(2).
● Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 mTmenit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginja
Husna, N. C. (2012). Gagat ginjal kronis dan penanganannya: literatur review. FIKkeS, 3(2).
3. Nefropati diabetik
● Deteksi nefropati diabetik dan penanggulangan mikroalbuminuria
Deteksi dini nefropati diabetik dilakukan dengan pemeriksaan mikroalbuminuria,
dan merupakan prosedur rutin dalam penanganan diabetes melitus. The American
Diabetes Association (ADA) merekomendasikan pemeriksaan mikroalbuminuria
setiap tahun pada DMTI dan DMTTI setelah 5 tahun menderita sakit.1 Pada
DMTI dengan lama sakit lebih dari 5 tahun harus dilakukan pemeriksaan UAER
dengan pemeriksaan urin 24 jam atau pemeriksaan rasio albumin/kreatinin pada
urin pagi hari. Jika UAER mencapai 20 µg/menit (30 mg/hari), atau rasio
albumin/kreatinin >30 µg/mg, pemeriksaan tersebut harus diulang 3-6 bulan
kemudian untuk mendiagnosis mikroalbuminuria. Jika hasil pemeriksaan ulangan
menunjukkan hasil <20 µg/menit, pasien diperlakukan sebagai pada tahap awal.
Jika hasil pemeriksaan UAER menunjukkan peningkatan, terindikasi pemberian
penghambat ACE untuk menghambat progresivitas nefropati. Ketoasidosis,
diuretik, penyakit akut, penyakit jantung, infeksi saluran kemih, menstruasi,
hipertensi berat, kontrol gula darah yang buruk, latihan berat, dan berbagai
penyakit ginjal nondiabetik dapat menyebabkan pengeluaran albumin. Oleh sebab
itu pemeriksaan UAER perlu diulang 3-6 bulan kemudian agar mikroalbuminuria
yang terjadi diyakini karena nefropati diabetik dan bukan oleh sebab lain
Setelah diagnosis mikroalbuminuria ditegakkan, dilakukan tata laksana
terhadap efek hiperfiltrasi ginjal, yaitu 1. mengontrol hiperglikemia, 2.
mengontrol hipertensi dengan agresif, 3. pengontrolan selektif terhadap dilatasi
arteriol dengan memberikan penghambat ACE untuk menurunkan tekanan
transglomerulus kapiler, dan 4. restriksi protein diet (sebab asupan tinggi protein
akan menyebabkan peningkatan perfusi ginjal).
Mikroalbuminuria persisten atau yang tidak berkurang dengan
pengontrolan gula darah, terindikasi untuk pemberian penghambat ACE.
Penghambat ACE dapat menurunkan tekanan kapiler glomerulus tetapi tidak
dapat mencegah penebalan MBG. Angiotensin dapat bekerja sebagai growth
factor terhadap sel mesangium dan otot polos dan merangsang sintesis fibronektin
sel mesangium. Meningkatnya produksi fibronektin sel mesangium pada keadaan
hiperglikemia dapat dihambat oleh penghambat ACE kaptopril. Peningkatan
produksi kolagen sel mesangium akibat stimulasi glukosa dapat dihambat oleh
enapril. Kaptopril dapat menghambat MMPs 72-kd dan 92 kd, kolagenase tipe IV,
sehingga menyebabkan penimbunan MES. Lisinopril yaitu penghambat ACE
nonsulfhidril akan menghambat metalloproteinase dan efeknya lebih besar
dibandingkan kaptopril.
Committee of the Council on Diabetes Mellitus of the National Kidney
Foundation merekomendasikan pemantauan terhadap pemberian penghambat
ACE pada nefropati diabetik sebagai berikut: a.) ukur UAER setiap 6 bulan, b.)
periksa kadar kreatinin dan kalium serum 7-10 hari setelah terapi dimulai dan
kemudian diperiksa minimal setiap 3 bulan. c.) periksa darah tepi setiap 3 bulan.
Jika terdapat peningkatan kadar kreatinin serum 0,5 mg/dL atau kalium >
5mEq/L, pasien dirujuk ke nefrologis. Pemberian penghambat ACE dimulai
dengan dosis yang paling rendah dan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
keadaan. Jika mikroalbuminuria menurun dengan penghambat ACE dosis rendah
dan tekanan darah serta kreatinin serum stabil, maka dosis obat tidak perlu
diubah. Jika mikroalbuminuria makin bertambah, maka dosis obat perlu
disesuaikan.10 Kaptopril biasanya diberikan dengan dosis 0,3–2 mg/kgbb/hari
dengan dosis maksimal 5 mg/kgbb/hari. Enalapril diberikan dengan dosis 0,1 dan
maksimal 1 mg/kgbb/hari. Lisinopril diberikan dengan dosis 0,1 dan maksimal 1
mg/kgbb/hari.
Pada DMTTI, pemberian antagonis reseptor angiotensin II dapat
melindungi ginjal (renal protective) tanpa mempengaruhi tekanan darah,
sedangkan pemberian penghambat ACE tidak direkomendasikan. Meskipun
terdapat penelitian yang membuktikan manfaat pemberian antagonis reseptor
angiotensin II pada DMTI, namun obat ini baru digunakan apabila pasien tidak
tolerans terhadap penghambat ACE, misalnya terjadi efek samping berupa batuk
● Penanggulangan diabetes
Tata laksana diabetes melitus meliputi pengontrolan gula darah, perbaikan
kebiasaan hidup, pemberian insulin, dan program latihan. Pengontrolan gula darah
terbukti dapat menurunkan kejadian albuminuria, mencegah penurunan LFG dan
terjadinya nefropati. Mempertahankan keadaan metabolik dalam keadaan normal
dapat mencegah kerusakan vaskular. Perlu dilakukan pemantauan gula darah
(home glucose monitoring) dan mengukur hemoglobin glikosilat atau HbA1C.
Pengendalian kadar glukosa darah terbukti menurunkan komplikasi
mikrovaskular. Pada DMTI, kontrol gula darah yang efektif dan kadar
hemoglobin glikosilat yang normal menurunkan risiko terjadinya
mikroalbuminuria, menurunkan risiko terjadinya hipertensi, dan memperlambat
progresivitas nefropati atau GGT.2The Diabetes Control and Complications Trial
(DCCT) (1993) melaporkan bahwa setelah 9 tahun, dengan pencegahan primer
kejadian mikroalbuminuria sebesar 16%, lebih rendah dibandingkan dengan tanpa
pencegahan primer yaitu 27%. Setelah 9 tahun, insidens mikroalbuminuria pada
kelompok yang mendapat pencegahan sekunder adalah 26% sedangkan pada
kelompok yang mendapat terapi konvensional adalah 42%. Progresivitas
terjadinya penyakit ginjal kronik atau GGT lebih rendah pada pasien dengan
kontrol gula darah yang intensif dibandingkan dengan yang tidak intensif
4. Batu Ginjal
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis
batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi, dan mengurangi obstruksi
yang terjadi. Menurut Adi Putra (2016) penatalaksaan penyakit batuginjal di bagi menjadi
dua terapi yaitu terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.
1. Terapi Farmakologi
Banyak minum air putih dapat membantu kerja ginjal lebih lancar untuk memecah
kelebihan mineral yang jadi penyebab terbentuknya batu ginjal.
Aktivitas olahraga sangat diperlukan oleh pasien yang mempunyai penyakit batu
ginjal. Cukup dengan melakukan olahraga yang ringan sampai sedang, keringat
yang keluar pada saat berolahraga juga membawa garam dan mempertahankan
kalsium tetap di tulang, sehingga tidak masuk ke ginjal dan urin dimana batu
ginjal terbentuk.
Adi Putra, M., & Fauzi, A. (2016). Nephrolithiasis. Nefrolitiasis, Majority. Vol. 5(2).
5. Tumor Ginjal
a. Pembedahan
Nefroktomi radikal di lakukan bila tumor belum melewati garis tengah dan belum
menginfiltrasi jaringan lain. Pengeluaran kelenjar limfe retroperitoneall total tidak
perlu dilakukan tetapi biopsi kelenjar di daerah hilus dan paraaorta sebaiknya
dilakukan. Pada pembedahan perlu diperhatikan ginjal kontralateral karena
kemungkinan lesi bilateral cukup tinggi. Apabila ditemukan penjalaran tumor ke
vena kava, tumor tersebut harus diangkat.
b. Radioterapi
c. Kemoterapi
Prinsip dasar kemoterpai adalah suatu cara penggunaan obat sitostatika yang
berkhasiat sitotoksik tinggi terhadap sel ganas dan mempunyai efek samping yang
rendah terhadap sel yang normal. Terapi sitostatika dapat diberikan pra maupun
pasca bedah didasarkan penelitian sekitar 16-32% dari tumor yang mudah ruptur.
Biasanya, jika diberikan prabedah selama 4-8 minggu. Jadi, tujuan pemberian
terapi adalah untuk menurunkan resiko ruptureintraoperatif dan mengecilkan
massa tumor sehingga lebih mudah di reseksi total.
1) Hermatoma ginjal
Tumor kecil dan tanoa menimbulkan keluhan tidak perlu diobati, hanya
saja memerlukan evaluasi berkala yang teratur untuk mengetahui
perkembangan besarnya massa tumor. Jika tumor menjadi semakin besar
dan sangat mengganggu perlu dieprtimbangkan untuk tindakan
nefrektomi.
2) Adenokarsinoma Ginjal
c) Imuno terapi: harganya sangat mahal dan hasil terapi dengan obat-
obatan ini masih belum jelas.
3) Nefroblastoma
4) Tumor wilm dikenal sebagai tumor yang radiosensitif. Akan tetapi radio
terapi dapat mengganggu pertumbuhan anak dan menimbulkan penyulit
jantung, paru dan hati
5) Tumor pelvis renalis
6. Sindrom Nefrotik
1) Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari)
atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing
diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi.
2) Diet
3) Terapi antikoagulan
4) Terapi Obat
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh
yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan
siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3x12,5 mg), kalsium
antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Gunawan, C.A. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu
Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD
A.Wahab Sjahranie Samarinda.