Anda di halaman 1dari 26

PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL AKUT

Gagal ginjal akut terjadi disebabkan oleh penurunan dan kerusakan nefron yang mengakibatkan
fungsi ginjal yang progresif menghilang. Total laju filtrasi glomerolus (GFR) dan klirens
mengalami penurunan sedangkan terjadi peningkatan pada Blood urea nitrogen dan kreatin.
Kemudian nefron yang masih ada menjadi hipertrofi karena fungsinya untuk menyaring menjadi
lebih banyak. Hal ini berakibat pada ginjal, dimana ginjal kehilangan kemampuan dalam
mengentalkan urine. Ditahap ekskresi urine dikeluarkan dalam jumlah besar sehingga pasien
mengalami kehilangan cairan. Tubulus pada akhirnya akan kehilangan kemampuan dalam
menerima elektrolit dan urine yang dibuang mengandung banyak sodium yang mengakibatkan
terjadinya poliuri.

Berdasarkan mekanisme penyebabnya, gagal ginjal akut dapat dibagi menjadi pre-renal, renal, dan
post-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal akibat hipovolemia atau
menurunnya volume sirkulasi yang efektif misalnya pada sepsis dan gagal jantung, serta
disebabkan oleh gangguan hemodinamik intrarenal seperti pada pemakaian antiinflamasi non-
steroid. GGA renal disebabkan oleh kelainan pada komponen vaskular ataupun tubuler ginjal
secara langsung misalnya akibat vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis
interstitial, zat-zat nefrotoksik, dan sebagainya yang menimbulkan vasokonstriksi intrarenal,
iskemia dan penurunan laju filtrasi ginjal. GGA post-renal biasanya disebabkan adanya obstruksi
intrarenal dan ekstra renal yang mengganggu aliran darah ginjal.

REFERENSI
Maskoen TT, Akbar D. Injuri Ginjal Akut Akibat Sepsis pada Pasien di ICU. JAI (Jurnal
Anestesiologi Indonesia) [Online]. 2023 Sep;18(1):69-85.
https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.49464.

Farmakologi Gagal Ginjal Akut

• Eritropoietin: berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah dalam tubuh
• Bikarbonat: Gagal ginjal akut juga dapat menyebabkan asidosis yang perlu dikoreksi
dengan menggunakan bikarbonat
• Fomepizole: Obat ini digunakan untuk mengatasi keracunan etilen glikol atau metanol
• Antiobiotik golongan penicilin, obat yang digunakan sebagai pilihan pertama adalah
amoxicillin 50mg/kgBB diberikan secara peroral dengan dosis maksimal 1000mg/hari
selama 10 hari
• Pada pasien dengan penyakit ringan seperti batuk dan pilek pilihan antibiotiknya golongan
sefalosporin yaitu ceftriaxone
• Pada pasien dengan edema tungkai dan edema paru diberikan diuretik yaitu furosemide

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian farmakologi gagal ginjal akut

• Resusitasi cairan: Jika AKI disebabkan oleh kondisi hipovolemia akibat sepsis, luka bakar,
dehidrasi, atau perdarahan, maka resusitasi cairan diperlukan untuk mengatasi kekurangan
cairan
• Pengobatan dengan diuretik: Pengobatan dengan diuretik tidak disarankan untuk mencegah
gagal ginjal akut, kecuali bila terbukti adanya kelebihan cairan tubuh. Furosemid dapat
digunakan untuk mengeluarkan cairan pada saat ginjal masih berespon dengan obat ini
• Koreksi asidosis: Gagal ginjal akut juga dapat menyebabkan asidosis yang perlu dikoreksi
dengan menggunakan bikarbonat
• Diet dan kontrol gula darah: Pasien dengan AKI perlu mengikuti diet yang sesuai dan
mengontrol gula darah. Asupan kalori dan protein harus disesuaikan dengan kondisi pasien

Penatalaksanaan Gagal Ginjal Akut

Ada tiga sasaran dalam penatalaksanaan GGA yaitu:

1. Mengatasi perluasan kerusakan ginjal


2. Mencegah perluasan kerusakan ginjal
3. Mempercepat pemulihan fungsi ginjal

Ketiga sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara yaitu:


1. Secara konservatif, yaitu dengan obat-obatan tertentu
2. Secara aktif atau terapi pengganti yaitu dengan dialisis

Pertama kali yang harus diupayakan dalam penatalaksanaan GGA ini ialah mengatasi komplikasi
yang ada, karena hal ini merupakan penyebab kematian utama pada penderita. Komplikasi tersebut
adalah. :

1. Hiperkalemia

Hiperkalemia dapat mengakibatkan fibrilasi ventrikel dan henti jantung (cardiac


arrest). Diagnosis hiperkalemia, di samping dapat dilakukan dengan mengukur kadar
kalium plasma, juga dapat dengan melihat gambaran EKG sambil menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium. Tindakan harus sudah diambil bila kadar kalium plasma lebih
dari 6,5, meg/L." Tindakan-tindakan yang diambil pada hiperkalemia meliputi:

• Pemberian Ca Glukonas intravena


• Pemberian Natrium Bikarbonat
• Pemberian Glukosa Insulin
• Pemberian Kathion Exchange Resin
2. Asidosis metabolik Mengatasi asidosis metabolik dilakukan dengan memberikan Na bikar-
bonat. Hal in hendaknya dilakukan secara hati-hati untuk menghindari ter-jadinya alkalosis
metabolik yang justru bersifat lebih fatal. Dosis Na bi-karbonat ditetapkan dengan terlebih dahulu
melakukan pemeriksanaan analisis gas darah. Dalam keadaan tidak bisa melakukan pemeriksaan
analisis gas darah, Na bikarbonat dapat diberikan maksimal dengan dosis 100 meq/L/24 jam.
3. Gagal pernapasan sering terjadi pada GGA. Hal in dapat disebabkan oleh karena edema
paru, acute respiratory distress syndrome, infeksi paru, emboli paru dan lain sebagainya. Untuk
mengatasi keadaan in penderita perl dirawat di ruang perawatan intensip.
4. 1Hipertensi gawat harus segera diatasi dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi
yang bekerja cepat. Tekanan darah penderita harus diturunkan dalam waktu 1 jam. Obat yang
dipakai adalah obat yang dapat diberikan parenteral seperti diaksozid, Na nitroprusid, klonidin,
furesemid. Di samping keadaan-keadaan gawat di atas, beberapa hal lain yang harus dilakukan
dalam penatalaksanaan GGA adalah: Diet, keseimbangan air dan elektrolit; Furosemid dosis
tinggi; Pencegahan infeksi; Hindarkan pemberian obat-obat yang bersifat nefrotoksik; Terapi
simtomatik.

Terapi aktif

Terapi aktif atau terapi pengganti dilaksanakan dengan melakukan dialisis, baik hemodialisis
mapun peritoneal dialisis. Tindakan ini dilaksanakan atas indikasi-indikasi tertentu, walaupun
pada tempat-tempat yang mempunyai fasilitas dialisis, ada kecenderungan untuk melakukannya
secara dini (early dialysis). Pemilihan jenis tindakan, apakah dialisis peritoneal atau hemodialisis
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan individual penderita.

KASUS GGA
Pasien adalah seorang bayi laki-laki Spanyol berusia 20 hari dengan berat badan 2,5 kg,
dipindahkan dari unit neonatal pada hari kesembilan setelah koreksi bedah tetralogi Fallot dan
atresia paru. Saat masuk ke unit perawatan intensif pediatrik, bayi membutuhkan ventilasi
mekanis, infus obat vasoaktif (dopamin 6 mcg/kg/menit, dobutamin 10 mcg/kg/menit, dan
milrinon 0,5 mcg/kg/menit) dan furosemid dalam infus kontinu 0,4 mg/kg/jam. Pasien telah
menerima pengobatan dengan vankomisin dan amikasin hingga 2 hari sebelumnya. Pada
pemeriksaan, terdapat edema umum yang ditandai. Pemeriksaan darah awal menunjukkan kadar
kreatinin 0,5 mg/dL, ureum 75 mg/dL, albumin 2,8 g/dL, natrium 132 mmol/L, kalium 4,6
mmol/L, dan klorida 96 mmol/L. Untuk mengurangi dosis obat vasoaktif intravena, diputuskan
untuk memberikan digitalis kepada pasien, dengan meresepkan dosis digoksin 10 mcg/kg secara
enteral. Empat jam setelah pemberian obat, anak tersebut mengalami oliguria progresif, dengan
penurunan diuresis dari 4 menjadi 1,5 mL/kg/jam, dan tanpa perubahan pada keadaan
hemodinamik (tekanan darah 65/40 mmHg, laktat 1,1 mmol/L, denyut jantung 140 bpm). Tes
darah menunjukkan peningkatan kreatin menjadi 0,7 mg/dL dan urea menjadi 89 mg/dL dan
penurunan natrium menjadi 121 mmol/L. Tidak ada gejala klinis neurologis atau perubahan pada
echografi serebral yang menunjukkan adanya edema serebral.
Hasil urinalisisnya normal. Awalnya, untuk menyingkirkan hipovolemia, ekspansi volume
dilakukan dengan albumin 5% (20 mL/kg). Intravena Penggantian natrium intravena dimulai
menurut persamaan (135 - 121) × 0,6 × berat badan (kg) dalam 24 jam dan dosis dopamin
ditingkatkan dari 7,5 menjadi 15 mcg/kg/menit untuk meningkatkan tekanan darah rata-rata dan
memperbaiki perfusi ginjal. Selanjutnya, karena oliguria yang menetap, infus furosemid
ditingkatkan dari 0,4 menjadi 1 mg/kg/jam, meskipun tidak ada perbaikan pada diuresis. Bagan
pengobatan ditinjau ulang dan kesalahan terdeteksi. Alih-alih digoksin, indometasin telah
diresepkan dengan dosis 25 mg (10 mg/kg), yang 50 hingga 100 kali lebih tinggi daripada dosis
terapeutik.
Awalnya, diputuskan untuk mempertahankan pendekatan konservatif. Anak tersebut tetap
stabil secara hemodinamik tetapi mengalami anuria dan peningkatan edema; oleh karena itu,
hemofiltrasi vena terus menerus dimulai setelah 12 jam. Terapi ini dilanjutkan selama 33 jam,
dengan keseimbangan negatif 25 mL/jam, setelah itu diuresis dan fungsi ginjal pulih (Tabel 1).
Perjalanan selanjutnya baik dan bayi dipulangkan dari unit perawatan intensif pediatrik dengan
kadar kreatinin 0,2 mg/dL, urea 15 mg/dL dan diuresis normal. Tidak ada perubahan fungsi ginjal
yang terdeteksi pada tindak lanjut berikutnya.

Data Subjektif
• Tidak ada/Tidak terkaji

Data Objektif
• Pasien adalah bayi laki-laki Spanyol berusia 20 hari dengan berat badan 2,5 kg.
• Pasien dipindahkan dari unit neonatal pada hari kesembilan setelah tetralogi Fallot dan
operasi korektif atresia paru.
• Saat masuk ke unit perawatan intensif pediatrik, bayi membutuhkan ventilasi mekanis,
infus obat vasoaktif (dopamin 6 mcg/kg/menit, dobutamin 10 mcg/kg/menit, dan milrinon
0,5 mcg/kg/menit), dan infus furosemid secara terus menerus dengan dosis 0,4 mg/kg/jam.
• Pasien telah menerima pengobatan dengan vankomisin dan amikasin sampai 2 hari
sebelumnya.
• Pemeriksaan darah awal menunjukkan edema yang signifikan, dengan kadar kreatinin 0,5
mg/dL, urea 75 mg/dL, albumin 2,8 g/dL, natrium 132 mmol/L, kalium 4,6 mmol/L, dan
klorida 96 mmol/L.
• Pasien diberi resep digoxin 10 mcg/kg dosis enteral untuk mengurangi dosis obat vasoaktif
intravena.
• Empat jam setelah pemberian obat, pasien mengalami oliguria progresif, dengan
penurunan diuresis dari 4 menjadi 1,5 mL/kg/jam, dan tidak ada perubahan pada keadaan
hemodinamik (tekanan darah 65/40 mmHg, laktat 1,1 mmol/L, denyut jantung 140
kali/menit).
• Pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kreatinin menjadi 0,7 mg/dL dan urea
menjadi 89 mg/dL dan penurunan natrium menjadi 121 mmol/L.
• Pasien tidak memiliki gejala neurologis klinis atau perubahan pada USG otak yang
mengindikasikan edema serebral, dan urinalisis normal.
• Pasien tetap stabil secara hemodinamik tetapi mengalami anuria dan peningkatan edema;
oleh karena itu, hemofiltrasi vena terus menerus dimulai setelah 12 jam.
• Bagan pengobatan ditinjau ulang, dan terdeteksi adanya kesalahan. Alih-alih digoksin,
indometasin telah diresepkan dengan dosis 25 mg (10 mg/kg), yang 50 hingga 100 kali
lebih tinggi dari dosis terapeutik.

Etiologi/Penyebab
Penyebab Gagal Ginjal Anak : Prerenal
Prerenal (pra = sebelum + renal = ginjal) artinya akar masalahnya diluar ginjal akan tetapi
akan mempengaruhi ginjal karena sesuatu tersebut akan berhubungan dengan ginjal.
Sesuatu tersebut adalah berkaitan dengan suplai darah, yakni karena penurunan suplai
darah ke ginjal.
• Hipovolemia (volume darah yang rendah)
• Dehidrasi karena kehilangan cairan tubuh
• Asupan cairan kurang;
• Obat- obatan
• Aliran darah yang abnormal ke dan dari ginjal karena penyumbatan arteri atau vena
ginjal.
Etiologi atau penyebab kasus ini tidak secara eksplisit dinyatakan dalam informasi yang
diberikan. Namun, dapat disimpulkan bahwa kondisi pasien mungkin disebabkan oleh komplikasi
pasca-operasi bedah korektif untuk tetralogi Fallot dan atresia paru. Pasien membutuhkan ventilasi
mekanis, infus obat vasoaktif, dan infus furosemid terus menerus, yang mungkin mengindikasikan
tingkat keparahan kondisinya. Pasien juga menerima pengobatan dengan vankomisin dan amikasin
hingga 2 hari sebelumnya, yang mungkin menunjukkan kemungkinan infeksi. Tes darah awal
menunjukkan edema yang signifikan, yang mungkin disebabkan oleh kelebihan cairan atau kondisi
lain yang mendasarinya. Resep digitalis selanjutnya dan kesalahan yang terdeteksi dalam rencana
perawatan mungkin telah berkontribusi pada oliguria pasien dan kondisi yang memburuk.
Hemofiltrasi dimulai untuk mengatasi anuria dan edema, yang mungkin mengindikasikan
disfungsi ginjal. Secara keseluruhan, etiologi kasus ini mungkin multifaktorial dan memerlukan
evaluasi dan manajemen lebih lanjut.

Masalah
Pemberian indometasin (Obat Golongan NSAID) yang telah diresepkan dengan dosis 25 mg, yang
50 hingga 100x lebih tinggi dari dosis terapeutik. Sehingga terjadi anuria dan peningkatan edema.

Diagnosis Keperawatan 1
• Gangguan Eliminasi Urine
(DO: Pasien tetap stabil secara hemodinamik tetapi mengalami anuria dan peningkatan
edema)
Luaran Keperawatan
• Sensasi berkemih dapat meningkat dengan baik (Gangguan Eliminasi Urine)
Intervensi Keperawatan 1
• Monitor tanda-tanda vital dan status cairan secara teratur untuk memantau fungsi ginjal
dan mengidentifikasi perubahan yang mungkin terjadi
• Monitor hasil laboratorium seperti kadar ureum dan kreatinin untuk mengevaluasi fungsi
ginjal
• Berikan terapi cairan intravena sesuai kebutuhan untuk menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit
• Kolaborasi dengan tim medis untuk memantau efek samping obat dan menyesuaikan dosis
obat jika diperlukan
• Edukasi pasien dan keluarga tentang pentingnya mengikuti rencana perawatan, termasuk
penggunaan obat-obatan dengan benar dan menghindari penggunaan obat-obatan yang
dapat menyebabkan toksisitas ginjal
Diagnosis keperawatan 2
• Kelebihan volum cairan
(DO: anak masih mengalami peningkatan edema)
Luaran Keperawatan
• Terbebas dari edema
Intervensi keperawatan
• Fluid management
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2. Kaji lokasi dan luas edema
3. Monitor vital sign
Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis

Patofisiologi gagal ginjal kronis melibatkan kerusakan dan menurunnya nefron dengan kehilangan
fungsi ginjal yang progresif. Ketika laju filtrasi glomerulus menurun dan bersihan menurun,
nitrogen urea serum meningkat dan kreatinin meningkat. Nefron tersisa yang masih berfungsi
mengalami hipertrofi ketika mereka Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan untuk
mengosentrasi urin secara adekuat. Untuk melanjutkan terkzat terlarut yang besar. ekskresi zat
terlarut, volume keluaran urine meningkat sehingga pasien rentan mengalami kehilangan cairan.
Tubulus kehilangan kemampuan untuk mereabsorpsi elektrolit secara bertahap. Terkadang,
hasilnya adalah pembuangan garam sehingga urine mengandung banyak natrium dan memicu
terjadinya poliuria berat. Ketika kerusakan ginjal berlanjut dan terjadi penurunan jumlah nefron
yang masih berfungsi, laju filtrasi glomerulus total menurun lebih jauh sehingga tubuh tidak
mampu mengeluarkan kelebihan air, garam, dan produk limbah lainnya melalui ginjal. Ketika laju
filtrasi glomerulus kurang dari 10-20 ml/min, tubuh akan mengalami keracunan ureum. Jika
penyakit tidak diatasi dengan dialisis atau transplantasi, hasil akhir dari gagal ginjal stadium akhir
adalah uremia dan kematian (Yasmara, 2016)

Farmakologi Gagal Ginjal Kronis

Meskipun sering diberikan antihipertensi multipel, dianjurkan dimulai dengan obat tunggal dengan
dosis rendah kemudian ditingkatkan secara perlahan sampai tekanan darah terkontrol, kecuali pada
pasien dengan hipertensi emergensi dan urgensi yang membutuhkan penurunan tekanan darah
dengan segera. Target tekanan darah yang ingin dicapai adalah di bawah persentil 90 atau <130/80
mmHg.16 Obat ACE inhibitors dan angiotensin II type 1 receptor blockers (ARBs ) merupakan
pilihan pertama karena mempunyai efek renoprotektif. Calcium channel blocker dipakai sebagai
terapi tambahan pada hipertensi yang resisten. 10,22,23,24 Pada pasien dengan hipervolemia,
tiazid dan loop diuretic dapat diberikan untuk mengontrol kelebihan cairan. Tiazid digunakan
sebagai terapi lini pertama pada PGK derajat ringan sedang, namun kurang efektif pada LFG di
bawah 60 mL/menit/1,73 m², dan menjadi tidak efektif pada LFG di bawah 30 mL/menit/1,73 m².
Diuretik yang dianjurkan pada PGK stadium 4 dan 5 adalah furosemid.
Kelainan elektrolit diobati sesuai dengan gangguan yang terjadi. Target terapi asidosis metabolik
akibat PGK adalah menjaga bikarbonat serum dalam rentang 20-22 mEq/L dengan memberikan
suplemen natrium bikarbonat.Hiperfosfatemia ditatalaksana dengan diet rendah fosfat, obat
pengikat fosfat, mengontrol kadar hormon paratiroid, bila perlu dilakukan dialisis. Diet rendah
fosfat sulit dilakukan, sementara hemodialisis tiga kali/minggu hanya mampu mengekskresi 900
mg fosfat, sehingga obat pengikat fosfat paling banyak digunakan seperti kalsium karbonat,
kalsium asetat, atau sevelamer.

Tujuan terapi osteodistrofi renal pada PGK adalah mencegah deformitas tulang dan normalisasi
kecepatan pertumbuhan dengan intervensi diet rendah fosfat dan terapi farmakologi berupa
pengikat fosfat dan vitamin D.

Terapi vitamin D dimulai ketika pasien menderita PGK stadium tiga. Dosis dinaikkan secara
bertahap, bergantung kepada kadar fosfat serum dan kadar hormon paratiroid. Pasien dengan PGK
stadium 2-4 mulai diberi kalsitriol (vitamin D aktif) pada saat kadar 25-hidroksivitamin D
>30ng/mL dan kadar hormon paratiroid serum di atas nilai normal.

Pada PGK stadium lima dan kadar hormon paratiroid >300 pg/mL. Kalsitriol diberikan untuk
menurunkan kadar hormon paratiroid sampai kadar 200-300 pg/mL. Kalsitriol diberikan secara
intermiten, baik melalui intravena maupun oral. Pada pasien dialisis peritoneal,pemberian
kalsitriol dosis awal 0,5-1,0 µg tiga kali/minggu.

Terapi gagal tumbuh dimulai dengan dukungan nutrisi yang adekuat dan menjaga keseimbangan
asam basa. Hormon pertumbuhan (GH) dapat diberikan untuk mengejar keterlambatan
pertumbuhan.Terapi GH dengan dosis 28 IU/m2/minggu selama satu tahun dapat meningkatkan
tinggi badan sebesar 3,8 cm/tahun.

Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronis

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis melibatkan penerapan langkah-langkah yang mengurangi


risiko kardiovaskular, meminimalkan cedera ginjal lebih lanjut, dan memperlambat laju
perkembangan kerusakan ginjal. Tabel di bawah ini menjelaskan rencana penatalaksanaan pada
penyakit ginjal kronis berdasarkan stadium dan laju filtrasi glomerulus
Tabel 1. Rencana Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronis

Stadium GFR Rencana Penatalaksanaan

(ml/menit/1,73m2)

Stadium ≥ 90 Terapi penyakit yang mendasari, penatalaksanaan pada kondisi


1 komorbid, evaluasi progresivitas dari perburukan fungsi ginjal,
dan memperkecil risiko kardiovaskular

Stadium 60-89 Menghambat progresivitas dari perburukan fungsi ginjal


2

Stadium 30-59 Evaluasi dan penatalaksanaan pada komplikasi yang terjadi


3

Stadium 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal


4

Stadium < 15 Terapi pengganti ginjal


5

Penatalaksanaan spesifik terhadap penyakit yang mendasari (underlying disease) harus dilakukan
sebelum terjadi penurunan pada GFR pasien dan ginjal pasien dalam ukuran normal. Apabila GFR
pasien telah menurun sampai 20-30% dari normal, maka penatalaksanaan terhadap underlying
disease tidak memiliki manfaat yang banyak.

Penyakit yang paling banyak dikaitkan dengan penyakit ginjal kronis adalah hipertensi dan
diabetes. Kontrol tekanan darah dan gula darah yang baik dengan pemberian obat antidiabetes dan
antihipertensi akan menghambat dan mencegah kerusakan lebih lanjut.

Indikasi Rujukan Ke Ahli Nefrologi


Pemantauan terhadap penurunan GFR pada pasien penyakit ginjal kronis dengan komorbid
bertujuan untuk mencegah perburukan fungsi ginjal. Pemantauan dilakukan pada pasien dengan
faktor komorbid seperti hipertensi dan atau diabetes mellitus yang tidak terkontrol, penyakit
kardiovaskular, dan penyakit gangguan ginjal lainnya. Tabel di bawah menjelaskan kondisi
komorbid yang memerlukan rujukan ke ahli nefrologi.

Tabel 2. Parameter Rujukan Pasien dengan Komorbid pada Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit Komorbid Keterangan

Diabetes Mellitus GFR <60 mL/menit/1,73 m2

Hipertensi ACR ≥70 mg/mmol (kecuali pada pasien dengan hipertensi yang
disertai dengan diabetes yang terkontrol.

Gagal Ginjal Akut ACR ≥30 mg/mmol bersama dengan adanya hematuria

Penyakit Kardiovaskular Penurunan berkelanjutan GFR ≥25% dan

perubahan stadium penyakit atau penurunan berkelanjutan GFR ≥15


mL/menit/1,73 m2 atau lebih dalam waktu 12 bulan

Kelainan pada struktur Memerlukan rujukan apabila disertai dengan hipertensi yang tidak
ginjal dan trakutus terkontrol dengan baik, meskipun setidaknya pasien telah diberikan
urinarius empat agen antihipertensi dengan dosis terapi yang disesuaikan

Keterangan:

GFR = Laju Filtrasi Glomerulus

ACR = Albumin Creatinin Ratio


KASUS
Seorang laki-laki Afrika-Amerika berusia 17 tahun yang sebelumnya sehat kecuali tekanan darah
tinggi datang ke rumah sakit rujukan dengan riwayat batuk, muntah, sakit kepala, edema wajah,
dan kram ekstremitas bawah selama 4 hari. Sehari sebelum masuk rumah sakit, dia juga
memperhatikan penurunan produksi urin. Di rumah sakit rujukan, ia ditemukan menderita
hipertensi dengan kreatinin serum 52 mg/dL (4597 mol/L) dan dipindahkan ke unit perawatan
intensif pediatrik kami untuk evaluasi dan perawatan lebih lanjut. Pasien dilahirkan dalam usia
kehamilan cukup bulan dan tidak ada masalah kesehatan yang berarti. Pasien selama kunjungan
rutin ke klinik diketahui memiliki tekanan darah tinggi oleh dokter perawatan primernya tetapi
tidak ada evaluasi lebih lanjut yang dilakukan karena tekanan darah tersebut disebabkan oleh
obesitasnya. Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya dan tidak mengonsumsi obat apa
pun. Tidak ada riwayat penyakit ginjal, cuci darah, atau transplantasi ginjal yang signifikan pada
anggota keluarga mana pun.

Saat masuk rumah sakit, pasien tercatat dalam keadaan tidak demam, hipertensi dengan tekanan
darah 179/93 mmHg dan denyut jantung 88 denyut per menit, dan takipnea dengan laju pernapasan
40an tetapi saturasi 100% pada udara ruangan. Pengukuran antropometri nya menunjukkan tinggi
badannya 180 cm, berat badannya menjadi 115 kg, dan indeks massa tubuhnya menjadi > 99%.
Hasil positif terkait pada pemeriksaan fisik meliputi obesitas, gangguan pernapasan dengan hidung
melebar, edema periorbital bilateral, dan edema ekstremitas bawah bilateral. Hasil laboratorium
menunjukkan pasien mengalami azotemia dengan kadar nitrogen urea darah (BUN) 203 mg/dL
dan kreatinin serum 52 mg/dL yang diukur dengan metode enzimatik. Dia menderita asidosis
metabolik parah dengan bikarbonat 10 mmol/L. Pasien juga mengalami ketidakseimbangan
elektrolit yang parah termasuk hiponatremia (126 mmol/L), hiperkalemia (6,3mmol/L),
hiperfosfatemia (10,5 mg/dL), hipokalsemia (5,3mg/dL), dan anemia berat dengan hemoglobin 5,1
g/dL. Kadar hormon paratiroid meningkat sebesar 682 pg/mL (normal 11-80 pg/mL). Dipstick
urin menunjukkan 3+ protein dan 2+ darah dan rasio protein urin terhadap kreatinin meningkat
pada 14 (normal <0,2). Pemeriksaan serologis termasuk tingkat komplemen, antibodi antinuklear,
antibodi sitoplasma antinuklear, dan antibodi antifosfolipid negatif. Rontgen dada signifikan untuk
kardiomegali dan edema paru. Ekokardiogram menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri yang parah.
USG ginjal menunjukkan ginjal kecil, ekogenik bilateral (ginjal kanan 7.7×5.2×4,8cm; ginjal kiri
8.7×4.3× 4,1 cm) konsisten dengan ginjal displastik. Pasien segera menjalani hemodialisis untuk
kelebihan cairan dan memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit. Anemia dan ketidakseimbangan
elektrolitnya perlahan diperbaiki. Dia saat ini dialihkan ke dialisis peritoneal menunggu
transplantasi ginjal.

Pengkajian
A. Identitas
Nama : An. A
Umur : 17 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki

B. Riwayat Kesehatan
Batuk, muntah, sakit kepala, edema wajah, dan kram ekstremitas bawah selama 4 hari

DS :
DO :
• Kadar gula darah dalam tubuh meningkat atau naik disertai sakit kepala
• Laju pernapasan menjadi pendek dan cepat(Takipnea)

Penurunan jantung
DS: Pasien memperhatikan penurunan produksi urin
DO:
• Kreatinin serum 52 mg/dL
• Azotemia dengan kadar nitrogen urea darah (BUN) 203 mg/dL
• Asidosis metabolik parah dengan bikarbonat 10 mmol/L.
• Pasien mengalami ketidakseimbangan elektrolit yang parah
• hiponatremia (126 mmol/L)
• hiperkalemia (6,3mmol/L)
• hiperfosfatemia (10,5 mg/dL)
• hipokalemia (5,3mg/dL)
• Indek masa tubuh >99%
• BB 115 kg

Diagnosa keperawatan
1. DX: Hipervolemia (D. 0022) b.d GGK
DO:
• Edema paru
• Edema pada bagian ekstremitas bawah
• Edema pada wajah
• Edema periorbital bilateral
• Hb: 5,1 g/dL
• Pasien mengalami ketidakeimbangan elektrolit parah
• Penurunan produksi urin

Hasil NOC
• Status nutrisi dari asupan makanan dan cairan: Jumlah makanan dan cairan yang masuk ke
dalam tubuh selama periode 24 jam

Intervensi NIC
• Manajemen cairan: Meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi akibat
kadar cairan yang abnormal atau di luar harapan
• Pemantauan cairan: Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan
• Manajemen eliminasi urine: Mempertahankan pola eliminasi urine yang optima

2. DX: Ketidakefektifan pola nafas (00032) b.d Edema paru


DS:
DO:
• Takipnea
• RR: 40x/menit
• Pernafasan cuping hidung
Hasil NOC
Setelah dilakukan intervensi keperawatan 1x24 jam diharapkan:
• Status pernapasan: Kepatenan jalan nafas: Jalur nafas trakeobronkial bersih dan terbuka
untuk pertukaran gas
• Status tanda vital: Tingkat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah dalam rentang normal

Intervensi NIC
• Manajemen jalan napas: Memfasilitasi kepatenan jalan napas
• Pemantauan tanda vital: Mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskuler,
pernapasan, dan suhu tubuh pasien untuk menentukan dan mencegah komplikasi

3. Dx: Penurunan curah jantung (00029)b.d Hipertensi


Ds:
Do:
• BB: 115 kg
• TB: 180 cm
• TD: 179/93 mmHgN: 88 ×/menit
• Kardiomegali (rontgen thorax)
• Hipertrofi ventrikel kiri (ekokardio)

Hasil NOC
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3×24 jam diharapkan
• Status tanda vital: Tingkat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah dalam rentang normal
• Keefektifan Pompa Jantung (0040):
• Tekanan darah dalam rentang normal
• Denyut nadi perifer dalam rentang normal
• Edema paru dari skala 2 cukup berat menjadi skala 4 ringan
• Peningkatan berat badan yang signifikan dapat menurun
• Urin output dapat meningkat
Intervensi NIC
• Perawatan jantung (4040)
• Monitor tanda-tanda vital secara rutin
• Catat tanda dan gejala penurunan curah jantung
• Monitor keseimbangan cairan
• Lakukan penilaian komprehensif pada sirkulasi perifer (cek nadi perifer, edema,
warna dan suhu ekstremitas)
• Monitor toleransi aktivitas pasien
• Monitor sesak nafas, kelelahan, takipnea
• Evaluasi perubahan tekanan darah
• Berkolaborasi dengan DPJP dalam pemberian terapi farmakologi
4. Dx : Anemia
Ds :
Do : Hb: 5,1 g/dl
Hasil NOC

Intervensi NIC
Prioritas Masalah
1. Hipervolemia (D. 0022)
2. Ketidakefektifan pola nafas (00032)
3. Anemia
4. Penurunan curah jantung (00029)
Pengertian GNA
Glomerulonefritis Akut (GNA) merupakan suatu istilah untuk menunjukkan gambaran klinis
akibat perubahan perubahan struktur dan faal dari peradangan akut glomerulus. Gambaran klinis
yang menonjol adalah kelainan dari urin (proteinuria, hematuria, silinder eritrosit), penurunan LFG
disertai oligouri, bendungan sirkulasi, hipertensi, dan sembab. Meskipun penyakit ini dapat
mengenai semua umur, tetapi GNA paling sering didapatkan pada anak berumur 2–10 tahun.

Patofisiologi GNA
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Dugaan hubungan antara glomerulonefritis
akut dan infeksi streptokokus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan
alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman
Streptococcus β haemolyticus golongan A, dan meningkatnya titer antistreptolisin pada serum
penderita. Diduga mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah suatu proses kompleks imun
dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam darah dan
komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun yang beredar dalam darah
dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan
terjadi kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan
mikrokoagulasi (Geetha D, 2005). Periode laten antara infeksi streptokokus dengan
kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme
penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistem imun pejamu pada stimulus antigen dengan
produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya
melintas pada membran basal glomerulus. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan
lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat
lesi (Noer MS, 2002). Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan
membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi
sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin
meningkatnya kebocoran kapiler glomerulus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat
keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria
(Sekarwana HN, 2001). Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus
akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya autoantibodi terhadap IgG yang
telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek imun yang bersirkulasi, kemudian
mengendap dalam ginjal (Maker SP, 1992). Pada kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop
cahaya menunjukkan kelainan minimal. Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel
mesangial dan matriks. Pada kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel
yang difus disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen kapiler.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron, adanya cedera kompleks imun diperlihatkan oleh endapan-
endapan terpisah atau gumpalan karakteristik pada mesangium, subendotel, dan epimembranosa.
Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan terlihat
molekul antibodi seperti IgG, IgM (atau IgA serta komponen-komponen komplemen seperti C3,
C4 dan C2.
Pasek, M. S. (2013, December). GLOMERULONEFRITIS AKUT PADA ANAK PASCA
INFEKSI STREPTOKOKUS. In Prosiding Seminar Nasional MIPA.

Farmakologi GNA
1) Bila anuria berlangsung lama (5-7) hari, maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan
beberapa cara misalnya dialisis peritonium hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakkan ini
kurang efektif, transfusi tukar. Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan
teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan ada kalanya menolong juga.
2) Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini pemberian
furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.

3) Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita
tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi
seperti gagal jantung, edema, dan oliguria maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.

4) Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya
glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi streptococcus yang mungkin
masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritrisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan
karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan
kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali.

5) Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativum dan oksigen.
6) Obat pengendali tekanan darah, seperti ACE Inhibitors.

8) Obat kortikosteroid dan imunosupresif untuk menurunkan respons sistem imun yang menyerang
ginjal

2. Penatalaksanaan GNA
Tindakan plasmaferesis dan terapi pengganti ginjal (seperti dialisis atau transplantasi ginjal) dapat
dipertimbangkan pada glomerulonefritis derajat berat.
Plasmaferesis
Plasmaferesis disarankan pada glomerulonefritis rapidly progressive tipe anti-GBM.
Plasmaferesis dapat dilakukan tiap hari dengan penggantian 4 liter dan dengan albumin sebagai
cairan pengganti selama 2–3 minggu.
Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
Terapi ini merupakan pilihan terakhir pada tata laksana glomerulonefritis. Indikasi dialisis adalah
saat ada LFG yang <15 ml/menit/1,73 m2, asidosis berat, hiperkalemia, gangguan elektrolit,
uremia, dan overload cairan >10%.
PATOFISIOLOGI GLOMERULONEFRITIS KRONIK

A. Pengertian
Gromerulonefritis Kronik (GNC) Suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus dengan diagnosis klinis berdasarkan ditemukannya hematuria dan protenuria
yang menetap. Kelainan ini dapat terjadi akibat GNA yang tidak membaik ataupun timbul
secara spontan.

B. Tahapan GNK
1. Peradangan Awal: Glomerulonefritis kronik sering dimulai dengan peradangan pada
glomerulus ginjal. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti infeksi, autoimunitas,
atau kelainan genetik. Peradangan ini merusak glomerulus dan mengganggu fungsi
normalnya.
2. Deposisi Imun: Beberapa bentuk glomerulonefritis kronik, seperti glomerulonefritis lupus
atau glomerulonefritis berulang, melibatkan deposisi kompleks imun di glomerulus. Ini
dapat memicu peradangan dan merusak jaringan ginjal.
3. Fibrosis dan Skar: Seiring waktu, peradangan yang berlanjut dapat menyebabkan fibrosis
atau penggantian jaringan ginjal yang sehat dengan jaringan parut. Ini mengganggu fungsi
glomerulus dan tubulus ginjal.
4. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (GFR): Akibat peradangan dan fibrosis, laju filtrasi
glomerulus (GFR) menurun. GFR adalah ukuran utama fungsi ginjal yang mengukur
kemampuan ginjal untuk menyaring darah. Penurunan GFR dapat menyebabkan
penumpukan produk limbah dalam darah.
5. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi): Glomerulonefritis kronik seringkali menyebabkan
peningkatan tekanan darah (hipertensi). Tekanan darah tinggi dapat merusak lebih lanjut
pembuluh darah ginjal dan glomerulus.
6. Proteinuria: Kerusakan pada glomerulus juga dapat menyebabkan protein keluar ke dalam
urine (proteinuria). Kehilangan protein ini dapat mempengaruhi keseimbangan cairan
dalam tubuh.
7. Gangguan Elektrolit: Gangguan elektrolit seperti hiperkalemia (kadar kalium tinggi dalam
darah) dan asidosis metabolik (peningkatan kadar asam dalam darah) dapat terjadi akibat
gangguan fungsi ginjal.

C. Patofisiologi GNK
Gambaran umum patofisiologi glomerulonefritis:
1. Peradangan Glomerulus : Glomerulonefritis sering kali dimulai dengan reaksi peradangan
dalam glomerulus. Ini dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti infeksi, penyakit autoimun,
atau paparan zat toksik.
2. Deposisi Imun kompleks : Dalam beberapa kasus, sistem kekebalan tubuh memproduksi
antibodi yang menyerang dan merusak glomerulus. Hal ini dapat menghasilkan
pembentukan kompleks imun di dalam glomerulus, yang kemudian dapat merusak jaringan
ginjal.
3. Kerusakan Membran Basal : Glomerulonefritis dapat menyebabkan kerusakan pada
membran basal glomerulus, yang merupakan lapisan penting dalam proses penyaringan
darah. Ini dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring zat-zat dengan benar.
4. Penumpukan Toksin dan Zat Berbahaya : Karena kerusakan pada glomerulus, ginjal
mungkin tidak mampu mengeluarkan zat-zat berbahaya dan sisa-sisa metabolisme dari
darah dengan efisien. Ini dapat mengakibatkan penumpukan toksin dalam tubuh.
5. Hiperfiltrasi : Kompensasi oleh bagian ginjal yang sehat dapat mengakibatkan hiperfiltrasi,
di mana glomerulus yang tersisa harus bekerja lebih keras untuk menggantikan yang rusak.
Ini dapat menyebabkan stres tambahan pada ginjal yang sehat.
6. Gejala dan Komplikasi : Hasil dari patofisiologi ini dapat berupa gejala seperti edema
(pembengkakan), hipertensi (tekanan darah tinggi), dan proteinuria (kehilangan protein
dalam urin). Jika tidak diobati, glomerulonefritis dapat berkembang menjadi penyakit
ginjal kronis.
D. Pathway GNK

Penatalaksanaan Glomerulonephritis Kronis (GNC


Tujuan penatalaksanaan penyakit ginjal kronis adalah untuk menangani penyebab primer
gangguan ginjal, menghilangkan atau meminimalkan kondisi-kondisi komorbid, mencegah atau
memperlambat penurunan fungsi ginjal, menangani gangguan metabolik yang terkait dengan
penyakit ginjal kronik, mencegah dan menangani penyakit kardiovaskular, dan
mengoptimalisasikan pertumbuhan dan perkembangan. Pasien dengan penyakit ginjal kronis harus
menjalani evaluasi untuk menentukan diagnosis jenis penyakit ginjal, kondisi komorbid, stadium
kerusakan ginjal menurut LFG, komplikasi terkait tingkat LFG, faktor-faktor risiko penurunan
fungsi ginjal, dan faktor-faktor risiko bagi penyakit kardiovaskular. (Ervina, et., al, 2015)

Penatalaksanaan glomerulonefritis kronis (GNK) tergantung pada jenis GNK yang ada dan tingkat
keparahannya. Namun, beberapa langkah umum dalam penanganan GNK kronis meliputi:
1. Pengendalian Tekanan Darah: Penting untuk mengendalikan tekanan darah, biasanya
dengan obat antihipertensi seperti ACE inhibitor atau ARB.
2. Terapi Imunosupresif: Pada beberapa kasus, penggunaan obat imunosupresif seperti
kortikosteroid, siklofosfamid, atau azathioprine mungkin diperlukan untuk mengurangi
peradangan dan kerusakan pada glomerulus.
3. Diet Seimbang: Mengatur diet yang sesuai dengan panduan dokter, termasuk pembatasan
asupan protein, garam, dan cairan, tergantung pada kondisi pasien.
4. Kontrol Gula Darah: Jika pasien memiliki diabetes, kontrol gula darah yang baik sangat
penting untuk melindungi fungsi ginjal.
5. Terapi Dialisis atau Transplantasi Ginjal: Pada tahap lanjut GNK kronis, mungkin
diperlukan terapi dialisis atau transplantasi ginjal.
6. Pengobatan Penyakit Penyerta: Pengobatan penyakit lain yang mungkin menjadi penyebab
atau komplikasi GNK kronis, seperti penyakit lupus atau penyakit autoimun lainnya.
7. Pemantauan Rutin: Pasien GNK kronis harus menjalani pemeriksaan rutin oleh dokter,
termasuk tes fungsi ginjal dan tes darah.
8. Gaya Hidup Sehat: Menerapkan gaya hidup sehat dengan menghindari merokok, alkohol,
dan menjaga berat badan yang sehat.

Referensi:
Ervina, L., Bahrun, D., & Lestari, H. I. (2015). Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik pada Anak.
Majalah Kedokteran Sriwijaya, 47(2), 144-149.
Tobe, R. A. (2019). Asuhan Keperawatan Komprehensif Pada An. JU Dengan Diagnosa
Glomerulus Nefritis Akut di Ruang Mawar RSUD Prof. Dr. WZ Johannes Kupang (Doctoral
dissertation, Poltekkes Kemenkes Kupang).
Salifu M. Chronic Glomerulonephritis. Medscape. 2017.
https://emedicine.medscape.com/article/239392-clin.
Levy J. Glomerulonephritis. Epocrates. 2018.
https://online.epocrates.com/diseases/20711/Glomer.
Arimura Y, Muso E, Fujimoto S, et al. Evidence-based clinical practice guidelines for rapidly
progressive glomerulonephritis 2014. Clin Exp Nephrol. 2016;20(3):322–41.
Fleming GM. Renal replacement therapy review: Past, present and future. Organogenesis.
2011;7(1):2–12.
Yusria, L. & Suryaningsih, R. (2020). Diagnosis dan Manajemen Glomerulonefritis Kronik.

Studi kasus GNC


Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun datang dengan ibu nya ke IGD RS Ulin Banjarmasin dengan
keluhan kencing berwarna merah tanpa nyeri berkemih namun hilang timbul semenjak > 3 bulan
yang lalu, terdapat bengkak pada mata dan terdapat kejang, dengan sebelumnya didahului oleh
keluhan sakit kepala dan muntah-muntah. Hasil pengkajian perawat kepada ibu, ibu mengatakan
bahwa anak mengalami penurunan nafsu makan dan minum kurang dari biasanya, buang air besar
masih normal, buang air kecil lancar dan berwarna gelap. Tidak ada perdarahan gusi maupun
mimisan. Anak juga tidak menderita batuk dan pilek. Ibu mengatakan anak pernah mengalami
infeksi kulit 1 bulan sebelum timbul edema. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil suhu: 37,8°C,
denyut nadi: 96x/menit, respirasi: 24 x/menit dan tekanan darah : 130/90 mmHg. Pemeriksaan
pada kepala menunjukkan adanya edema pada palpebra, dan ada nyeri pada tungkai. Pemeriksaan
laboratorium urinalisis mikroskopik didapatkan hasil eritrosit penuh, Urea meningkat yaitu 52
mg/dl dan hasil ASTO positif.
Pengkajian
• DS: kencing berwarna merah tanpa nyeri berkemih namun hilang timbul semenjak > 3
bulan yang lalu, terdapat bengkak pada mata dan terdapat kejang, dengan sebelumnya
didahului oleh keluhan sakit kepala dan muntah-muntah. Ibu mengatakan bahwa anak
mengalami penurunan nafsu makan dan minum kurang dari biasanya, buang air besar
masih normal, buang air kecil lancar dan berwarna gelap. Tidak ada perdarahan gusi namun
sering mimisan dalam 1 minggu 2-3x mimisan. Anak juga tidak menderita batuk dan pilek.
Ibu mengatakan anak pernah mengalami infeksi kulit 1 bulan sebelum timbul edema.
• DO: suhu: 37,8°C, denyut nadi: 96x/menit, respirasi: 24 x/menit dan tekanan darah : 130/90
mmHg.suhu: 37,8°C, denyut nadi: 96x/menit, respirasi: 24 x/menit dan tekanan darah :
130/90 mmHg. Pemeriksaan pada kepala menunjukkan adanya edema pada palpebra, dan
ada nyeri pada tungkai.
No Analisis Data Diagnosis Keperawatan

1 DS: Hipertermia

ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d

Anda mungkin juga menyukai