Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS
“ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KASUS HELLP SYNDROME”

Dosen: Tina Handayani N., Ns., M.Kep

Disusun Oleh:
KELOMPOK 6

Errieke Dwi Sudarwati 1910913320001


Gusti Akhmad Riqi Pujianur 1910913210031
Idza Nur Rayyan Ukhti Sholehah 1910913220032
Muhammad Sajidannor 1910913110004
Nova Widiyanti 1910913220024
Puteri Romaisha Asy-Syaffa Azra An-Nizar 1910913220027
Ridha Khairina 1910913220020
Risdawati 1910913220035
Shofy Aristia Wardani 1910913220029

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai keperawatan
kritis ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Kritis.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang bagi
para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarbaru, 06 Oktober 2022

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 4
1.2 Tujuan .................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 6
2.1 Definisi Hellp Syndrome ....................................................................... 6
2.2 Etiologi Hellp Syndrome....................................................................... 6
2.3 Menisfestasi Klinis Hellp Syndrome .................................................... 7
2.4 Klasifikasi Hellp Syndrome .................................................................. 8
2.5 Patofisiologi Hellp Syndrome ............................................................... 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang Hellp Syndrome ......................................... 10
2.7 Penatalaksanaan Hellp Syndrome ..................................................... 10
BAB III PATHWAY ........................................................................................ 12
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN ............................................................ 13
4.1 Kasus .................................................................................................. 13
4.2 Pengkajian.......................................................................................... 15
4.3 Analisis Data ...................................................................................... 18
4.4 Diagnosis Keperawatan ..................................................................... 21
4.5 Rencana Keperawatan ....................................................................... 21
4.6 Implementasi Keperawatan............................................................... 33
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 40
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzym, Low Platelet
count) adalah kondisi yang berpotensi mengancam jiwa merupakan bentuk
berat dari preeklamsia akibat perkembangan plasenta yang abnormal diikuti
produksi faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan endotelium (Maharani,
2022). Sindrom HELLP diketahui karena kerusakan pada endotel hepatik
yang diikuti oleh aktivitas trombosit disertai agregasi dan pada akhirnya
menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi trombosit (Wulandari, 2022).
Gejala klinis yang khas adalah nyeri perut kuadran kanan atas atau
epigastrium, mual dan muntah. Nyeri perut bagian atas mungkin berfluktuasi,
seperti kolik (Amrullah, 2022).
Sindrom HELLP terjadi pada sekitar 0,5 hingga 0,9% dari semua
kehamilan dan pada 10 hingga 20% kasus dengan preeklamsia berat
(Amrullah, 2022). Pendapat yang dikemukakan oleh World Health
Organization (WHO), di negara berkembang, kematian maternal berkisar
antara 750-1.000 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di negara maju
kematian maternal berkisar antara 5-10 per 100.000 kelahiran hidup. Survei
terakhir SDKI tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran
hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia (Wulandari,
2022).
Wanita dengan sindrom HELLP parsial memiliki gejala yang lebih
sedikit dan komplikasi yang berkembang lebih sedikit dibandingkan dengan
sindrom HELLP lengkap. Namun, sindrom HELLP parsial atau tidak lengkap
dapat berkembang menjadi bentuk gangguan yang lengkap. Pembalikan
sebagian atau total dari sindrom juga kadang-kadang terjadi, meskipun jarang
(Amrullah, 2022). Pasien dengan sindrom HELLP rentan terhadap insidensi
stroke, penyakit jantung, ruptur plasenta, kebutuhan transfusi, efusi pleura,
dan infeksi. Pada pasien sindrom HELLP, dapat terjadi koagulopati dan
disfungsi berat organ multipel (Maharani, 2022).

4
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
mengenai asuhan keperawatan dengan kasus Hellp Syndrome.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi Hellp Syndrome.
2. Untuk mengetahui etiologi Hellp Syndrome.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis Hellp Syndrome.
4. Untuk mengetahui klasifikasi Hellp Syndrome.
5. Untuk mengetahui patofisiologi Hellp Syndrome.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada pasien Hellp
Syndrome.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien Hellp
Syndrome.
8. Untuk mengetahui pathway pada Hellp Syndrome.
9. Untuk menentukan asuhan keperawatan pada pasien Hellp
Syndrome.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Hellp Syndrome
Sindrom HELLP pertama kali dijabarkan oleh Weinstein tahun 1982
yang merupakan diagnosa untuk beberapa kumpulan kondisi preeklamsia
parah, meliputi hemolisis (H), elevated liver enzim (EL), dan low platelet
count (LP) (Akbar, dkk., 2020). Bersama dengan preeklampsia, sindroma
HELLP adalah penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada ibu hamil
di dunia. Sindrom HELLP merupakan suatu variasi preeklampsia berat yang
disertai trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/mm3), hemolisis
(gambaran darat tepi ditemukan burr cell, schistocyte atau spherocytes serta
kadar dehydrogenase laktat > 600 IU/L), peningkatan kadar enzim hati
(aspartate aminotransferase/AST > 70 IU/L), dan bilirubin total > 1,2 mg/dL.
(Soegijanto, 2016).
HELLP biasanya berkembang secara tiba-tiba dalam kehamilan (Usia
Kehamilan/UK 27-37 minggu) atau pada masa puerperium. Sebagai salah
satu bentuk kriteria dari preeklampsia berat, HELLP memiliki onset yang
juga mengawali proses gangguan pada perkembangan dan fungsi plasenta,
dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang secara akumulatif akan
mengganggu endothelium melalui aktivasi platelet, vasokonstriktor, dan
menyebabkan terganggunya kehamilan normal yang ditunjukkan dengan
abnormalitas relaksasi vaskular (Hartawan, 2018). Sindrom HELLP
umumnya berkembang pada masa kehamilan dan menifestasi klinik yang
muncul umumnya tidak spesifik. Beberapa respons yang dilaporkan
diantaranya malaise, gejala influenza, dan nyeri epigastrik. Keluhan ini akan
memberat di malam hari, membaik di siang hari, dan dapat memburuk
dengan cepat (Samutri, dkk., 2022).

2.2 Etiologi Hellp Syndrome


Etiologi dari sindrom HELLP ini selalu dihubungkan dengan
preeklampsia, walaupun etiologi dari preeklampsia sampai saat ini juga
belum dapat diketahui dengan pasti. Patogenesis dari preeklampsia sendiri
6
terfokus pada aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Namun, penyebab dari
perubahan endotel ini belum diketahui dengan pasti. Sindrom HELLP ini
merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan endotel mikrovaskular dan
aktivasi dari trombosit intravaskular. Sindrom HELLP dijumpai pada wanita
yang mempunyai riwayat sindrom HELLP sebelumnya atau ada saudara yang
mengalami sindrom HELLP. Dilaporkan adanya varian genetik tertentu yang
dikaitkan dengan sindrom HELLP. Berbeda dengan preeklampsia, sindrom
HELLP banyak dijumpai pada multigravida dibandingkan primigravida
(Akbar, dkk., 2020).

2.3 Menisfestasi Klinis Hellp Syndrome


Gejala klinis sindrom HELLP yang paling sering terjadi adalah nyeri
kuadran kanan atas (80% pasien) dan edema (50-60% pasien) (Rehatta, dkk.,
2019). Gejala klinis sindrom HELLP dapat digambarkan sebagai berikut
(Soegijanto, 2016).
1. Paling sering pada usia kehamilan di bawah 36 minggu.
2. Biasanya penderita mengeluh nyeri badan beberapa hari sebelum gejala-
gejala menjadi nyata.
3. Kemudian timbul nyeri perut kanan atas atau nyeri ulu hati.
4. Pada akhirnya diikuti gejala mual dan muntah serta nyeri kepala.
5. Beberapa penderita memperhatikan gejala-gejala seperti viral syndrome
like symptom.
6. Terjadi penambahan berat badan yang cukup berarti.
7. Hipertensi dan proteinuria mungkin tidak ada atau ringan.
Tanda maupun gejala sangat bervariasi, bahkan beberapa penderita
tidak memperhatikan adanya gejala-gejala preeklampsia, sehingga sering kali
terjadi salah diagnosis. Ibu hamil yang mempunyai salah satu dari gejala di
atas hendaknya melakukan pemeriksaan darah lengkap. Bila jumlah trombosit
< 100.000 mm3, enzim-enzim hati dan hapusan darah tepi harus diperiksa.
Gejala-gejala lainnya yang juga bisa munsul seperti kejang-kejang, tenesmus,
hematemesis, melena, hematuria, perdarahan gusi, nyeri pinggang dan bahu,

7
hipoglikemia berat sampai koma, hiponatremia sampai kekacauan mental,
penglihatan kabur, dan ikterus (Soegijanto, 2016).

2.4 Klasifikasi Hellp Syndrome


Dua sistem klasifikasi diagnostik utama saat ini digunakan untuk
klasifikasi sindrom HELLP yaitu klasifikasi Tennessee dan klasifikasi
Mississippi. Dalam sistem klasifikasi Tennessee, diagnosis sindrom HELLP
membutuhkan kehadiran ketiga komponen utama, sedangkan sindrom
HELLP parsial atau tidak lengkap hanya terdiri dari satu atau dua elemen dari
triad. Berdasarkan klasifikasi Tennessee, sindrom HELLP dapat
dikelompokkan sebagai berikut (Hartawan, 2018).
1. Sindrom HELLP yaitu jumlah trombosit ≤ 100.000/mm3, SGOT atau
SGPT ≥ 70 IU/L, LDH ≥ 600 IU/L.
2. HELLP parsial/inkomplit yaitu PEB (preeklampsia berat) ditambah satu
atau dua elemen dari ELLP (peningkatan enzim liver dan jumlah platelet
rendah/tidak terdapat hemolisis), EL (peningkatan enzim liver), LP
(jumlah platelet yang rendah).
Klasifikasi beratnya sindrom HELLP berdasarkan Mississippi triple
class system, dapat dikelompokkan sebagai berikut (Hartawan, 2018).
1. Sindrom HELLP kelas 1, didapatkan peningkatan enzim hati, hemolisis,
dan jumlah trombosit < 50.000/mm3, SGOT atau SGPT ≥ 70 IU/L, LDH
≥ 600 IU/L.
2. Sindrom HELLP kelas 2, didapatkan jumlah trombosit > 50.000 - ≤
100.000/mm3, SGOT atau SGPT ≥ 70 IU/L, LDH ≥ 600 IU/L.
3. Sindrom HELLP kelas 3, didapatkan jumlah trombosit > 100.000 - ≤
150.000/mm3, SGOT atau SGPT ≥ 70 IU/L, LDH ≥ 600 IU/L.

2.5 Patofisiologi Hellp Syndrome


Dasar patofisiologi sindrom HELLP adalah adanya aktivasi endotel
pembuluh darah, trombosit, hemolisis dan kerusakan hati. Adanya kegagalan
invasi dari trofoblas dalam menginvasi tunika muskularis arteri spiralis,
menyebabkan vasokonstriksi arterial pada bagian uteroplasenta. Kegagalan
8
ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel trofoblas dalam mengekspresikan
integrin yang merupakan molekul pelekat (adhesion molecules) atau
kegagalan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dalam
mengekspresikan integrin. Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah
intervilus, hipoksia dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin.
Selanjutnya, hal tersebut akan mengakibatkan efek terhambatnya
pertumbuhan janin intrauterin (PJT). Akibat kerusakan dari endotel ini terjadi
pelepasan zat-zat vasoaktif, di mana tromboksan (TXA2) meningkat
dibandingkan dengan prostasiklin (PgI2). Adanya perubahan respon imun ibu
terhadap trofoblas akibat dari perubahan polymorphism HLA-G (human
leucocyte antigens – G) terhadap trofoblas, menyebabkan terjadinya proses
imunologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan
invasi dari trofoblas (Trifathrisna, 2017).
Proses imunologis akibat perubahan respon imun ibu juga
mempengaruhi terjadinya kerusakan sel endotel, ini terbukti dengan
dilepaskannya sel mediator pada sel endotel. Kerusakan dari sel endotel
menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2,
penurunan produksi dari nitric oxide dan merangsang terjadinya agregasi dari
trombosit yang seterusnya akan mengakibatkan vasospasme. Dengan
berkurangnya fungsi endotel, menyebabkan bertambahnya tahanan vaskuler,
meningkatnya produk peroksida lipid dan meningkatnya aktifitas radikal
bebas. Anion peroksida ini mengganggu keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2
sehingga TXA2 menjadi lebih dominan. Anion peroksida juga menambah
agregasi trombosit, serta menyebabkan asam lemak tak jenuh pada membran
fospolipid mengalami konversi menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid ini
menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut. Kerusakan integritas endotel
diikuti dengan hilangnya kapasitas vasodilator, yang mana dapat dinilai
dengan meningkatnya respon terhadap angiotensin II dan noradrenalin.
Kerusakan dari sel endotel arteri spiralis mengakibatkan hipoksia dan
seterusnya menjadi aterosis akut. Aterosis akut ditandai dengan adanya
diskontinuitas dari sel endotel, gangguan fokal pada membrana basalis,
deposisi trombosit, terbentuknya mural trombus dan akhirnya terjadi nekrosis
9
fibrinoid. Dengan rangsangan dari trombosit growth factor terjadi perubahan
proliferasi yang tidak teratur pada tunika intima, dan pada tunika media
mengakibatkan hiperplasia. Aterosis akut ini merupakan keadaan yang
patognomonis pada preeklampsia. Walaupun aterosis akut ini dapat juga
terjadi pada keadaan hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit ginjal
maupun lupus. Efek semua kejadian yang telah disebutkan di atas terjadilah
gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan koagulasi pada ibu yang
selanjutnya menjadi sindrom HELLP (Trifathrisna, 2017).

2.6 Pemeriksaan Penunjang Hellp Syndrome


Adapun pemeriksaan penunjang Sindrom Hellp menurut Putri et al (2019),
yaitu:
1. Darah oerifer lengkap
2. Golongan darah, rhesus, dan uji pencocokan silang
3. Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
4. Fungsi ginjal (ureum, kreatininserum)
5. Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
6. USG: terutama jika ada indikasi gawat janin dan/atau IUGR

2.7 Penatalaksanaan Hellp Syndrome


Tatalaksana sindrom HELLP menurut Manuaba dkk adalah:
1. Tentukan dan stabilkan kondisi antepartum
1) Bila terjadi DIC koreksi kelainan koagulasinya
2) Berikan serangan mendadak dengan memberikan MgSO4
3) Obati hipertensinya yang berat
4) Lakukan refrral ketempat yang dapat mengatasinya
5) Lakukan USG atau CT scan bila dicurigai hematoma liver
2. Evaluasi kesejahteraan janinnya
1) Lakukan NST (Nonstress Test)
2) Lakukan profil biofisiknya
3) USG biometri
3. Evaluasi kemantangan paru bila umur hamil <35 minggu
10
1) Bila mature terminasi hamilnya
2) Bila belum berikan steroid diikuti persalinan

11
BAB III
PATHWAY

12
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Kasus
Pasien seorang wanita,usia 34 tahun, gravida 3 paritas 1 abortus 1
hamil 24 minggu, janin intra uterine fetal death. Pasien datang dikarenakan
kejang seluruh badan selama 5 menit sekitar 30 menit yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Pasien selama ini kontrol antenatal rutin di bidan. Satu
hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri ulu hati lalu periksa
ke bidan dan diberikan obat maag. Tiga puluh menit sebelum masuk rumah
sakit pasien kejang dan di rumah sakit pasien kejang selama 3 menit.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran glasgow coma
scale (GCS) 14 E3M6V5, jalan nafas bebas, frekuensi nafas 30 kali per
menit, tekanan darah 180/110 mmHg, nadi 130 kali per menit, suhu 37,2 o C.
Pasien berat badan 68 kg, tinggi 165 cm, IMT 24,9 kg/m2. Pemeriksaan
status generalis menunjukkan konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik, serta
jantung, paru-paru, dan vertebra tidak terdapat kelainan. Pada pemeriksaan
abdomen denyut jantung janin tidak ditemukan. Pasien dilakukan
pemasangan kateter dan didapatkan urin keluar kurang lebih 300 cc gross
hematuria.
Hasil laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 14.1 gr%,
hematokrit 40.9%, leukosit 24.000 mg/ dL, trombosit 94.000 mg/dL, GDS
121 mg/dL. Kadar enzim hepar SGOT 350 IU/L dan SGPT 285 IU/L. Ureum
47 mg/dL dan kretinin 1,1 mg/ dL. Pemeriksaan urinalisis didapatkan protein
+3, leukosit 10–12 /LPB, eritrosit 8–10/LPB. Hasil pemeriksaan rontgen
thoraks didapatkan jantung dan paru tidak tampak kelainan. Pasien
didiagnosis eklampsia TD 180/110 mmHg dan sindroma HELLP
(trombositopenia 94.000 mg/dL, SGOT 350 IU/L dan SGPT 285 IU/L).
Terapi yang diberikan MgSO4 4 gr intravena (IV) selama 20 menit
dilanjutkan 1 gram/jam; ranitidin 50 mg IV; deksametason 10 mg IV;
ceftriakson 1 gram IV. Tindakan anestesia yang dipilih pada pasien ini adalah
dengan pembiuasan umum. Dilakukan informed consent mengenai rencana
pembiusan beserta resiko-resiko yang dapat terjadi. Setelah mengerti dan
13
setuju dengan rencana tindakan yang akan dilakukan, alat-alat dan obat untuk
pembiusan umum dan emergency dipersiapkan, dilakukan pemasangan
monitor untuk memantau tanda vital pasien selama operasi.
Pasien dalam posisi supine di atas meja operasi dilakukan
preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3 sampai 5 menit tanpa
memberikan tekanan positif. Kemudian dilakukan penekanan krikoid,
diberikan propofol 2 mg/kg, fentanyl 2 mcg/kg, lidokain 1,5 mg/kg dan
rokuronium 1,2 mg/kg intravena. Setelah obat pelumpuh otot bekerja
dilakukan intubasi. Intubasi menggunakan laringoskopi dengan pipa
endotrakeal nomor 6,5 kemudian dihubungkan dengan circuit breathing dan
dilakukan pemasangan pipa nasogastrik. Tindakan selanjutnya dilakukan
setting ventilator dengan volume tidal 8 ml/kg, RR 14 x/menit, PEEP 5
cmH2O, FiO2 : N2O = 50% : 50%. Dilakukan pemeliharaan dengan
sevofluran 0,75 MAC dengan 1,5 volume %. Setelah bayi dan plasenta lahir
diberikan oksitosin drip 20 internasional unit (IU) dalam 500 ml Ringer laktat
(RL). Selama operasi berlangsung dilakukan monitoring hemodinamik.
Operasi berjalan selama 30 menit, perdarahan selama operasi sekitar 1000 ml.
Pasien kemudian dilakukan observasi di ICU untuk penanganan lebih lanjut.
Pasca operasi intubasi tetap dipertahankan dan disambung dengan
ventilator. Ventilator disetting dengan pressure control 14 cmH2O,
respiratory rate (RR) 12x/menit, PEEP 7 cmH2O dan FiO2 50%. Pasien
diberikan clear fluid melalui pipa nasogastrik dengan air putih 30 cc/jam
dinaikkan bertahap sampai dengan makan cair serta posisi kepala head up
30o. Pasien diberikan analgetik morfin 1 mg/jam IV dan sedasi propofol 7
mg/ jam IV ditambah dengan midazolam 2 mg/jam IV. Pasien diberikan
omeprazole 1x40 mg IV dan antibiotik diberikan ceftriakson 2x1 gr IV.
Selama perawatan di ICU hari pertama hemodinamik dan kondisi pasien
belum stabil dengan tekanan darah 160/100 mmHg dan nadi 115x/menit serta
diuresis 0,6 ml/kg/jam. Diberikan methyldopa 3x500 mg melalui pipa
nasogastrik dan deksametasone 2x10 mg IV.
Pada hari ke dua pasien dilakukan ekstubasi dan tetap dilakukan
pemantauan hemodinamik dan diuresis. Selama pemantauan hari kedua di
14
ICU, didapatkan kesadaran pasien kompos mentis dan tanda vital pasien
relatif stabil dengan SpO2 98- 100% oksigen nasal kanul 4 L/menit, tekanan
darah 140/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit dan RR 20x/menit. Diuresis
selama 24 jam didapatkan sekitar 0,8 ml/kg/jam dengan warna urin sudah
mulai kuning. Balanced cairan harian didapatkan positif 800 ml. Hasil
laboratorium post operasi hemoglobin 11 gr%, hematocrit 32%, leukosit
25.500 mg/dL, trombosit 120.000 mg/dL, GDS 115 mg/dL. Kadar enzim
hepar SGOT 345 IU/L dan SGPT 290 IU/L. Ureum 50 mg/dL dan kretinin
2,8 mg/dL.

4.2 Pengkajian
1. Identitas Pasien
1) Nama : Ny.X
2) Umur : 34 Tahun
3) Jenis Kelamin : 0000-20022-Xxxx-X
4) Status Kehamilan : G3p1a1
5) Usia Kehamilan : 24 Minggu
6) Status Janin : Intra Uterine Fetal Death
2. Keluhan Utama
Tiga puluh menit sebelum masuk rumah sakit pasien kejang dan di rumah
sakit pasien kejang selama 3 menit.
3. Alasan Masuk RS
Pasien datang dikarenakan kejang seluruh badan selama 5 menit sekitar 30
menit yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien selama ini kontrol
antenatal rutin di bidan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluh nyeri ulu hati lalu periksa ke bidan dan diberikan obat maag.
4. Riwayat Alergi
Tidak terkaji
5. Riwayat Penyakit Sekarang
Tidak terkaji
6. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien 1x mengalami keguguran
15
7. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terkaji
8. Pengkajian Fisik
1) Pengkajian Primer
a. Airway
Hari Pertama:
Terpasang ventilator disetting dengan pressure control 14 cmH2O,
respiratory rate (RR) 12x/menit, PEEP 7 cmH2O dan FiO2 50%.
Tekanan darah 160/100 mmHg dan nadi 115x/menit serta diuresis
0,6 ml/kg/jam
Hari Kedua:
Ekstubasi dan tetap dilakukan pemantauan hemodinamik dan
diuresis, tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit
dan RR 20x/menit
b. Breathing
Hari Pertama:
Respiratory rate (RR) 12x/menit, PEEP 7 cmH2O dan FiO2 50%
Hari Kedua:
SpO2 98- 100% oksigen nasal kanul 4 L/menit.
c. Circulation
Hari Pertama:
Tekanan darah 160/100 mmHg dan nadi 115x/menit serta diuresis
0,6 ml/kg/jam.
Hari Kedua:
Tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit dan RR
20x/menit
2) Pengkajian Sekunder
d. Breath
Hari Pertama:
Pasien Terpasang Ventilator
Hari Kedua:
Ventilator sudah tidak terpasang
16
e. Blood
Hari Pertama:
Tekanan darah 160/100 mmHg dan nadi 115x/menit serta diuresis
0,6 ml/kg/jam.
Hari Kedua:
Tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit dan RR
20x/menit
f. Brain
Hari Pertama:
Pasien diturunkan tingkat kesadarannya saat prosedur dan pasca
tindakan operasi (Kondisi Tersedasi)
Hari Kedua:
Pasien sadar dengan status compos mentis
g. Bladder
Pasien masih terpasang kateter di hari pertama dan kedua
h. Bowel
Tidak ada di kasus
i. Bone
Tidak ada di kasus
9. Pengakajian Pskiologi
Tidak Terkaji
10. Pengkajian Sosial
Tidak Terkaji
11. Pengkajian Spiritual
Tidak Terkaji
12. Pengkajian Budaya
Tidak Terkaji
13. Hasil Pemeriksaan Laboratorium:
Hasil laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 14.1 gr%, hematokrit
40.9%, leukosit 24.000 mg/ dL, trombosit 94.000 mg/dL, GDS 121
mg/dL. Kadar enzim hepar SGOT 350 IU/L dan SGPT 285 IU/L.
Ureum 47 mg/dL dan kretinin 1,1 mg/ dL. Pemeriksaan urinalisis
17
didapatkan protein +3, leukosit 10–12 /LPB, eritrosit 8–10/LPB. Hasil
pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan jantung dan paru tidak tampak
kelainan.

4.3 Analisis Data


MASALAH
NO DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
DO : Ketidakefektifan Takipnea
1. RR 30x/menit pola nafas b.d
2. TD 180/110 Hiperventilasi
1. 3. Nadi 130x/menit
4. Terpasang Nasal kanul
4l/menit hari kedua
DS : -
DO : Hambatan 1. Peningkatan
1. Nadi 130x menit saat ventilasi spontan nadi
pemeriksaan pertama b.d keletihan otot 2. Penggunaan
2. Nadi 115x permenit di pernafasan alat bantu
ICU pasca operasi pernafasan
3. Pasien terintubasi
dengan ventilator yang
disetting dengan
2. volume tidal 8 ml/kg,
RR 14 x/menit, PEEP
5 cmH2O, FiO2 : N2O
= 50% : 50%. (Saat
operasi) dan
dipertahankan dengan
setting pressure
control 14 cmH2O,
respiratory rate (RR)

18
MASALAH
NO DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
12x/menit, PEEP 7
cmH2O dan FiO2
50%. (pasca operasi)
DS : -
DO : Risiko gangguan 1. Pemberian obat
1. Pasien nyeri ulu hati fungsi hati b.d yang tidak sesuai
dan diberikan obat penyalahgunaan 2. Enzim hepar
maag oleh bidan obat abnormal
2. Terdapat hematuria
pada urin pasien
3. Kadar enzim hepar
SGOT 350 IU/L dan
SGPT 285 IU/L.
3.
(Pemeriksaan awal)
4. Kadar enzim hepar
SGOT 345 IU/L dan
SGPT 290 IU/L.
Ureum 50 mg/dL dan
kretinin 2,8 mg/dL
5. Proteinuria +3
6. Sklera ikterik
DS : -
DO : Hambatan Hambatan beraktivitas
1. .Pasien terpasang eleminasi urine
kateter urin b.d obstruksi
4. 2. Jumlah urin keluar anatomi pada
300cc bercampur darah wanita
3. Diuresis 0,6 ml/kg/jam
DS : -

19
MASALAH
NO DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
DO : Risiko infeksi b.d 1. Pemasangan
1. Pemasangan kateter prosedur invasif kateter urin
2. Prosedur bedah 2. Prosedur bedah
abdominal invasif pada area
3. Bekas area operasi abdomen
5.
4. Trombosit 94.000
mg/dL (H1)
5. Trombosit 120.000
(H+2)
DS: -
DO : Risiko Syok b.d 1. Perdarahan
1. TD 180/100 prosedur 2. TD tidak stabil
pemeriksaan awal dan pembedahan
6. 160/100 ketika di ICU
2. Perdarahan selama
operasi sekitar 1000 ml
DS: -
DO: Dukacita b.d Kematian orang
1. Keguguran janin intra uterine fetal terdekat
7.
DS: - death

DO: Hambatan Pasca Operasi


1. Dihari pertama Mobilitas Fisik
pasien terpasang b.d program
8. ventilator pembatasan
2. Pasien terpasang gerak
kateter urin
DS: -

20
MASALAH
NO DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
DO: Defisiensi Kehamilan Berisiko
1. Pasien memiliki Pengetahuan b.d
9.
riwayat keguguran Kurang Informasi

DS: -

4.4 Diagnosis Keperawatan


1) Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi
2) Hambatan ventilasi spontan b.d keletihan otot pernafasan
3) Risiko gangguan fungsi hati b.d penyalahgunaan obat
4) Hambatan eleminasi urine b.d obstruksi anatomi pada Wanita
5) Risiko infeksi b.d prosedur invasive
6) Risiko Syok b.d prosedur pembedahan
7) Dukacita b.d intra uterine fetal death
8) Hambatan Mobilitas Fisik b.d program pembatasan gerak
9) Defisiensi Pengetahuan b.d kurang Informasi

4.5 Rencana Keperawatan


No. Diagnosis NOC NIC
1. Ketidakefektif Setelah dilakukan intervensi Monitor pernafasan (3350)
an pola nafas keperawatan selama 1 x 24  Monitor kecepatan,
b.d jam, pola nafas meningkat irama, kedalaman, dan
Hiperventilasi dengan kriteria hasil: kesulitan bernafas
Status Pernafasan (0415)  Monitor saturasi
1. Frekuensi pernafasan oksigen pada pasien
dari skala 1 (deviasi yang tersedasi (SaO2,
berat) ditingkatkan SvO2, SpO2) sesuai
menjadi skala 3 protokol yang ada
(normal).  Catat perubahan pada
2. Kedalaman inspirasi
21
No. Diagnosis NOC NIC
dari skala 1 (deviasi saturasi O2, volume
berat) ditingkatkan tidal akhir CO2 dan
menjadi skala 3 perubahan nilai
(normal). Analisa gas darah
3. Irama pernafasan dengan tepat
dari skala 1 (deviasi Terapi oksigen (3320)
berat) ditingkatkan  Pertahankan kepatenan
menjadi skala 3 jalan nafas
(normal).  Monitor aliran oksigen
4. Penggunaan otot  Periksa perangkat
bantu nafas dari (alat) pemberian
skala 1 (deviasi oksigen secara berkala
berat) ditingkatkan untuk memastikan
menjadi skala 3 bahwa konsentrasi
(normal). (yang telah) ditentukan
sedang diberikan
 Konsultasikan dengan
tenaga esehatan
lainnya mengenai
penggunaan oksigen
tambahan selama
kegiatan diluar atau
tidur
 Pantau adanya tanda-
tanda keracunan
oksigen dan kejadian
atelettasis
2. Hambatan Setelah dilakukan intervensi Bantuan ventilasi (3390)
ventilasi keperawatan selama 1 x 24  Pertahankan kepatenan
spontan b.d jam, hambatan ventilasi jalan nafas

22
No. Diagnosis NOC NIC
keletihan otot spontan berkurang dengan  Monitor efek-efek
pernafasan kriteria hasil: perubahan posisi pada
Status Pernafasan: oksigenasi : ABG,
Ventilasi (0403) SaO2, SvO2, tidal
1. Frekuensi pernafasan akhir CO2, QSP/Qt,
dari skala 1 (deviasi tingkat A-aDO2
berat) ditingkatkan  Ajarkan Teknik
menjadi skala 3 pernapasan dengan
(normal). tepat
2. Kedalaman inspirasi  Monitor pernafasan
dari skala 1 (deviasi dan status oksigenasi
berat) ditingkatkan Menejemen ventilasi
menjadi skala 3 mekanik : invasif (3300)
(normal).  Monitor apakah
3. Irama pernafasan terdapat gagal nafas
dari skala 1 (deviasi  Pastikan alaram
berat) ditingkatkan bentilator menyala
menjadi skala 3  Monitor seting
(normal). ventilator, termasuk
4. Penggunaan otot suhu dan kelembaban
bantu nafas dari dari udara yang di
skala 1 (deviasi hirup secara rutin
berat) ditingkatkan
 Cek secara teratur
menjadi skala 3 semua sambungan
(normal). ventilator
 Lakukan suksion jika
ada suara nafas
abnormal dan/atau
peningkatan terkanan
inspirasi

23
No. Diagnosis NOC NIC
3. Risiko Setelah dilakukan intervensi Manajeman Pengobatan
gangguan keperawatan selama 1 x 24 (2380)
fungsi hati b.d jam, risiko gangguan fungsi  Tentukan obat apa
penyalahguna hati berkurang dengan yang diperlukan dan
an obat kriteria hasil: kelola menurut resep
Fungsi Liver (0803) dan/atau protocol
1. Peningkatan  Monitor efektifitas
aspartate cara pemberian obat
aminotransferase yang sesuai
(AST)(SGOT) dari  Monitor efek samping
skala 1 (sangat obat
terganggu)  Konsultasikan dengan
ditingkatkan menjadi professional perawatan
skala 4 (sedikit kesehatan lainnya
terganggu) untuk meminimalkan
2. Peningkatan alanine jumlah dan frekuensi
aminotransferase obat yang dibutuhkan
(AST)(SGPT) dari agar didapatkan efek
skala 1 (sangat terapeutik
terganggu) Identifikasi Risiko (6610)
ditingkatkan menjadi  Kaji ulang Riwayat
skala 4 (sedikit Kesehatan masa lalu
terganggu) dan dokumentasikan
3. Nyeri abdomen dari bukti yang
skala 1 (sangat menunjukan adanya
terganggu) penyakit medis,
ditingkatkan menjadi diagnose keperawatan
skala 4 (sedikit serta perawatannya
terganggu)  Identifikasi adanya
sumber-sumber agensi

24
No. Diagnosis NOC NIC
untuk membantu
menurunkan faktor
risiko
 Pertimbangkan
pemenuhan terhadap
perawatan dan medis
dan keperawatan
4. Hambatan Setelah dilakukan intervensi Bantuan perawatan diri
eleminasi keperawatan selama 1 x 24 (1800)
urine b.d jam, hambatan eleminasi  Berikan bantuan
obstruksi urin berkurang dengan sampai pasien mampu
anatomi pada kriteria hasil: melakukan perawatan
wanita Eleminasi Urine (0803) diri sendiri
1. Jumlah urin dari  Bantu pasien
skala 1 (sangat menerima kebutuhan
terganggu pasien terkait dengan
ditingkatkan menjadi kondisi
skala 4 (sedikit ketergantungannya
terganggu terganggu)  Ajarkan
2. Warna urin dari skala orangtua/keluarga
1 (sangat terganggu untuk mendukung
ditingkatkan menjadi kemandirian dengan
skala 4 (sedikit membantu hanya
terganggu terganggu) Ketika pasien tak
3. Darah terlihat dalam mampu melakukan
urin dari skala 1 perawatan diri
(sangat terganggu Katerisasi urin (0580)
ditingkatkan menjadi  Monitor intake dan
skala 4 (sedikit output
terganggu terganggu)  Tempatkan kantung

25
No. Diagnosis NOC NIC
drinase di bawah
permukaan kandung
kemih
 Pertahankan sistem
drainase kemih
tertutup dan terhalang
 Dokumentasikan
perawatan termasuk
ukuran kateter, jenis
kateter, dan jumlah
pengisian bola.
 Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
perawatan kateter yang
tepat
5. Risiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Kontrol Infeksi (6540)
b.d prosedur keperawatan selama 1 x 24  Bersihkan lingkungan
invasive jam, risiko infeksi berkurang dengan baik setelah
dengan kriteria hasil: digunakan untuk
Kontrol Risiko: Proses setiap pasien
Infeksi (1924)  Ganti peralatan
1. Mempertahankan perawatan per pasien
lingkungan yang sesuai protocol
bersih dari skala 1  Ajarkan pasien dan
(tidak pernah keluarga mengenai
menunjukkan) tanda dan gejala
menjadi skala 3 infeksi dan kapan
(kadang harus melaporkannya
menunjukkan) kepada penyedia
2. Memonitor perawatan Kesehatan

26
No. Diagnosis NOC NIC
perubahan status  Ajarkan pasien dan
kesehatan dari skala anggota keluarga
1 (tidak pernah mengenai bagaimana
menunjukkan) menghindari infeksi
menjadi skala 3 Perawatan selang :
(kadang perkemihan (1876)
menunjukkan)  Jaga kebersihan tangan
3. Melakukan tindakan sebelum, selama , dan
segera untuk setelah pemasangan
mengurangi risiko serta manipulasi
dari skala 1 (tidak kateter
pernah  Hindari memiringkan
menunjukkan) kantung urine, atau
menjadi skala 3 meter untuk
(kadang mengosongkan atau
menunjukkan) mengukur keluaran
urin (yaitu Tindakan
pencegahan
peningkatan
kontaminasi)
 Catat karakteristik
drainase urin
 Ganti alat drainase
urin secara berkala,
seperti yang
diindikasikan dan per
protocol keluarga
 Bersihkan kateter urin
eksternal pada meatus
 Bersihkan daerah

27
No. Diagnosis NOC NIC
sekitar kulit berkala
6. Risiko Syok Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Syok (4260)
b.d prosedur keperawatan selama 1 x 24  Monitor status
pembedahan jam, risiko syok berkurang sirkulasi (misalnya,
dengan kriteria hasil: tekanan darah, warna
Keparahan Kehilangan kulit, temperature
Darah kulit, bunyi jantung,
1. Kehilangan darah nadi, dan irama,
yang terlihat dari kekuatan dan kualitas
skala 1 (berat) nado perifer, dan
ditingkatkan ke skala pengisian kapiler)
4 (ringan)  Periksa urin terhadap
2. Penurunan tekanan adanya darah dan
darah sistol dari protein sesuai
skala 1 (berat) kebutuhan
ditingkatkan ke skala  Berikan cairan melalui
4 (ringan) IV dan atau oral sesuai
kebutuhan
 Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai
tanda/gejala syok yang
mengancam nyawa
Pengurangan perdarahan
(4020)
 Identifikasi penyebab
perdarahan
 Monitor pasien akan
perdarahan secara
ketat
 Monitor jumlah dan

28
No. Diagnosis NOC NIC
sifat kehilangan darah
 Monitor status cairan,
termasuk asupan
(intake) dan haluaran
(output)
 Atur ketersediaan
produk-produk darah
untuk transfuse, jika
perlu
 Pertahankan kepatenan
akses IV
7. Dukacita b.d Setelah dilakukan intervensi Dukungan Emosional (5270)
intra uterine keperawatan selama 1 x 24  Eksplorasi apa yang
fetal death jam, dukacita berkurang memicu emosi pasien
dengan kriteria hasil:  Rangkul atau sentuh
Resolusi Berduka (1304) pasien dengn penuh
1. Menyatakan dukungan
menerima  Bantu pasien
kehilangannya dari mengenali
skala 1 (tidak pernah perasaannya seperti
menunjukkan) adanya cemas, marah
ditingkatkan ke skala atau sedih
4 (sering  Diskusikan
menunjukkan) konsekuensi dari tidak
2. Melewati fase mengatasi perasaan
berduka dari skala 1 bersalah dan malu
(tidak pernah  Berikan dukungan
menunjukkan) selama fase
ditingkatkan ke skala menyangkal (denial),
4 (sering marah, tawar-menawar

29
No. Diagnosis NOC NIC
menunjukkan) dan fase menerima
3. Mengekspresikan dalam fase berduka
harapan positif Dukungan Keluarga (7140)
mengenai masa  Nilailah reaksi emosi
depan dari skala 1 keluarga terhadap
(tidak pernah kondisi pasien
menunjukkan)  Dukung harapan yang
ditingkatkan ke skala realistis
4 (sering  Fasilitasi komunikasi
menunjukkan) akan
kekhawatiran/perasaan
antara pasien dan
keluarga atau antar
anggota keluarga
 Tingkatkan hubungan
saling percaya dengan
keluarga
 Bantu anggota
keluarga melalui
proses berduka dan
kematian jika
diperlukan
Fasilitasi Proses Berduka
(5290)
 Identifikasi kehilangan
 Dengarkan ekspresi
berduka
 Buat pernyataan
empatik mengenai
duka cita

30
No. Diagnosis NOC NIC
 Bantu
mengidentifikasi
strategi-strategi koping
pribadi
 Bantu
mengidentifikasi
kebutuhan untuk
modifikasi gaya hidup
8. Hambatan Setelah dilakukan intervensi Terapi latihan: Ambulasi
Mobilitas keperawatan selama 1 x 24 (0221)
Fisik b.d jam, hambatan mobilitas  Terapkan/sediakan alat
program fisik berkurang dengan bantu (tongkat, walker,
pembatasan kriteria hasil: atau kursi roda) untuk
gerak Pergerakan (0208) ambulasi jika pasien tidak
 Keseimbangan dari skala stabil
3 (cukup terganggu)  Bantu pasien dengan
menjadi 5 (tidak ambulasi awal dan jika
terganggu) diperlukan
 Bergerak dengan mudah  Bantu pasien untuk
dari skala 3 (cukup berpindah sesuai
terganggu) menjadi 5 kebutuhan
(tidak terganggu)
kemampuan berpindah
(0210)
 Berpindah dari dari
tempat tidur ke kursi dari
skala 2 (banyak
terganggu) menjadi skala
4 (sedikit terganggu)
 Berpindah dari kursi ke

31
No. Diagnosis NOC NIC
tempat tidur dari skala 2
(banyak terganggu)
menjadi skala 4 (sedikit
terganggu)
9. Defisiensi Setelah dilakukan intervensi Pendidikan kesehatan
pengetahuan keperawatan selama 1 x 24 (5510)
b.d kurang jam, defisiensi pengetahuan  Targetkan sasaran pada
informasi dapat teratasi dengan kriteria kelompok berisiko tinggi
hasil: dan rentan usia yang akan
Pengetahuan Kehamilan mendapat menfaat besar
 Tanda-tanda peringatan dari Pendidikan Kesehatan
komplikasi kehamilan  Bantu individu, keluarga,
dari skala 1 (tidak ada dan masyarakat untuk
pengetahuan) menjadi 4 memperjelas keyakinan
(pengetahuan banyak) dan nilai-nilai Kesehatan
 Rumuskan tujuan dalam
program Pendidikan
kesehatan
Peningkatan kesadaran
Kesehatan (5515)
 Gunakan komunikasi yang
sesuai dan jelas
 Gunakan Bahasa yang
sederhana
 Bicara perlahan
 Berkomunikasi dengan
mempertimbangkan
kesesuaian budaya,
kesesuaian usia, dan
kesesuaian jenis kelamin

32
4.6 Implementasi Keperawatan
No Diagnosis Keperawatan Implementasi
1. Ketidakefektifan pola 1. Mengatur posisi pasien semifowler
napas 2. Melakukan monitor pernapasan
3. Memberikan stabilisasi dan membukan
jalan napas dengan memberikan terapi O2
4. Lakukan kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian terapi
2. Hambatan ventilasi 1. Melakukan monitor penafasan
spontan 2. Memastikan alarm ventilator menyala
3. Memonitor setting ventilator
3. Risiko gangguan fungsi 1. Menentukan obat yang diperlukan sesuai
hati resep dan protokol
2. Melakukan monitor terkait efektifitas cara
pemberian obat sesuai dengan kondisi
pasien
3. Melakukan monitor terhadap efek samping
obat
4. Melakukan konsultasi dengan tim medis
dalam proses keperawatan dan pemberian
obat
4. Hambatan eleminasi urine 1. Memberikan bantuan kepada pasien untuk
melakukan perawatan diri
2. Menempatkan kantung drainase kemih
tertutup dan terhalang
3. Mengajarkan pasien serta keluarga
mengenai perawatan kateter yang tepat
5. Risiko infeksi 1. Membersihkan lingkungan dengan baik
2. Mengganti peralatan perawatan sesuai
dengan protokol

33
No Diagnosis Keperawatan Implementasi
3. Mengganti alat drainase urin secara berkala
4. Membersihkan kateter urin ekternal pada
meatus
6. Risiko syok 1. Melakukan monitor status sirkulasi
2. Memeriksa urin terhadap adanya darah dan
protein sesuai dengan kebutuhan
3. Memberikan cairan melalui intra vena dan
atau oral sesuai dengan kebutuhan pasien
4. Melakukan monitor terhadap status cairan
pasien
5. Melakukan monitor jumlah dan sifat
kehilangan darah pada pasien
7. Dukacita 1. Melakukan ekplorasi terkait hal apa saja
yang bisa memicu emosi pasien
2. Membantu pasien mengenali perasaan yang
sedang dialami pasien, seperti perasaan
berduka, sedih yang sekarang sedang
dialami pasien
3. Melakukan dukungan terhadap pasien
selama fase kehilangan
4. Menilai reaksi emosi keluarga terhadap
kondisi pasien
5. Meningkatkan hubungan saling percaya
dengan pasien dan keluarga
8. Hambatan mobilitas fisik 1. Perawat menyediakan alat bantu jalan, kursi
roda untuk pasien
2. Membantu pasien dalam berjalan dan atau
melakukan aktifitas yang memerlukan
mobilisasi
9. Defisiensi pengetahuan 1. Membantu pasien dalam memperjelas

34
No Diagnosis Keperawatan Implementasi
informasi mengenai kesehatan ataupun
penyakit yang diderita pasien, guna
meningkatkan pencegahan dan proses
penyembuhan pada pasien
2. Merumuskan Pendidikan kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan pasien terkait
sindrom atau keluhan kesehatan yang
sedang diderita
3. Meningkatkan pengetahuan pasien dengan
mempertimbangkan kesesuaian budaya,
adat, bahasa, serta jenis kelamin pasien.

4.7 Evaluasi Keperawatan


No Diagnosis Keperawatan Evaluasi (Hari Pertama)
1. Ketidakefektifan pola S: - (Pasien dalam keadaan kejang)
napas O:
1. RR 30x/menit
2. TD 180/110
3. Nadi 130x/menit
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
2. Hambatan ventilasi S: - (Pasien dalam keadaan kejang)
spontan O:
1. RR 30x/menit
2. TD 180/110
3. Nadi 130x/menit
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
3. Risiko gangguan fungsi S: Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati
hati O:

35
1. Terdapat hematuria pada urin pasien
2. Kadar enzim hepar SGOT 350 IU/L dan
SGPT 285 IU/L. (Pemeriksaan awal)
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
4. Hambatan eleminasi urine S: -
O:
1. Pasien terpasang kateter urin
2. Jumlah urin keluar 300cc bercampur
darah
3. Diuresis 0,6 ml/kg/jam
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
5. Risiko infeksi S: -
O:
1. Pemasangan kateter
2. Prosedur bedah abdominal
3. Bekas area operasi
4. Trombosit 94.000 mg/dL (H1)
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
6. Risiko syok S: Pasien dalam keadaan kejang
O:
1. TD 180/100 pemeriksaan awal dan
160/100 ketika di ICU
2. Perdarahan selama operasi sekitar 1000 ml
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
7. Dukacita S: Pasien masih merasa kehilangan dikarenakan
keguguran dan anak pasien meninggal (kematian
orang terdekat)

36
O: -
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
8. Hambatan mobilitas fisik S: -
O:
1. Dihari pertama pasien terpasang ventilator
2. Pasien terpasang kateter urin
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
9. Defisiensi pengetahuan S: -
O: Pasien memiliki riwayat keguguran
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

No Diagnosis Keperawatan Evaluasi (Hari Kedua)


1. Ketidakefektifan pola S: Pasien mengatakan tidak merasa sesak nafas
napas (tingkat kesadaran compos mentis)
O: Tanda vital pasien relatif stabil dengan,
SpO2 (saturasi oksigen) 98- 100% (Normal)
tekanan darah 140/90 mmHg, (Normal)
frekuensi nadi 100x/menit (Normal)
RR 20x/menit. (Normal)
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
2. Hambatan ventilasi S: Pasien mengatakan tidak merasa sesak nafas
spontan (tingkat kesadaran compos mentis)
O: Tanda vital pasien relatif stabil dengan,
SpO2 (saturasi oksigen) 98- 100% (Normal)
tekanan darah 140/90 mmHg, (Normal)
frekuensi nadi 100x/menit (Normal)
RR 20x/menit. (Normal)

37
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
3. Risiko gangguan fungsi S: -
hati O: Diuresis selama 24 jam didapatkan sekitar 0,8
ml/kg/jam dengan warna urin sudah mulai
kuning. Balanced cairan harian didapatkan positif
800 ml.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
4. Hambatan eleminasi urine S: -
O: Diuresis selama 24 jam didapatkan sekitar 0,8
ml/kg/jam dengan warna urin sudah mulai
kuning. Balanced cairan harian didapatkan positif
800 ml.
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
5. Risiko infeksi S: -
O: trombosit 120.000 mg/dL
Pasien masih terpasang kateter di hari kedua
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
6. Risiko syok S: Pasien sudah sadar dan dalam tingkat
kesadaran compos mentis dengan tanda vital
relative stabil
O: Tanda vital pasien relatif stabil dengan,
SpO2 (saturasi oksigen) 98- 100% (Normal)
tekanan darah 140/90 mmHg, (Normal)
frekuensi nadi 100x/menit (Normal)
RR 20x/menit. (Normal)
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan

38
7. Dukacita S: Pasien masih merasa kehilangan dikarenakan
keguguran dan anak pasien meninggal (kematian
orang terdekat)
O: -
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
8. Hambatan mobilitas fisik S: -
O: Pasien terpasang kateter urin
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
9. Defisiensi pengetahuan S: -
O: Pasien memiliki riwayat keguguran
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

39
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzym, Low Platelet
count) adalah kondisi yang berpotensi mengancam jiwa merupakan bentuk
berat dari preeklamsia akibat perkembangan plasenta yang abnormal diikuti
produksi faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan endotelium (Maharani,
2022). Sindrom HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan
endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular (Akbar, dkk.,
2020). Gejala klinis sindrom HELLP yang paling sering terjadi adalah nyeri
kuadran kanan atas (80% pasien) dan edema (50-60% pasien) (Rehatta, dkk.,
2019). Gejala-gejala lainnya yang juga bisa munsul seperti kejang-kejang,
tenesmus, hematemesis, melena, hematuria, perdarahan gusi, nyeri pinggang
dan bahu, hipoglikemia berat sampai koma, hiponatremia sampai kekacauan
mental, penglihatan kabur, dan ikterus (Soegijanto, 2016). Dua sistem
klasifikasi diagnostik utama saat ini digunakan untuk klasifikasi sindrom
HELLP yaitu klasifikasi Tennessee dan klasifikasi Mississippi (Hartawan,
2018). Dasar patofisiologi sindrom HELLP adalah adanya aktivasi endotel
pembuluh darah, trombosit, hemolisis dan kerusakan hati (Trifathrisna, 2017).

40
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Muhammad I. A., Tjokroprawiro, Brahmana A. & Hendarto, H. (2020).
Obstetri Praktis Komprehensif. Surabaya: Airlangga University Press.
Amrulloh, F. W., & Sari, R. D. P. (2022). Penggunaan Kortikosteroid pada
Sindrom HELLP. Jurnal Kesehatan Saintika Meditory, 5(1), 21-29.
Hartawan, I Gusti Agung Gede U. (2018). Eclampsia, HELLP Syndrome, Acute
Respiratory Distress Syndrome, and Pneumonia. Denpasar: Universitas
Udayana.
Maharani, M. I., & Bisri, D. Y. (2022). Manajemen Anestesi pada Pasien Seksio
Sesarea dengan Preeklamsia, Sindrom HELLP, dan Gagal Jantung.
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia, 5(1).
Manuaba., Manuaba C., & Manuaba F. Pengantar Kuliah Obstetri. (n.d.). (n.p.):
Egc.
Putri, Lidia A., Mudlikah, S. (2019). Buku Ajar Obstetri dan Ginekologi. (n.d.).
(n.p.): Guepedia.
Rehatta, N. M., Hanindito, E., Tantri, A. R., Redjeki, I. S., Soenarto, R. F., Bisri,
D. Y., Musba, A. M., & Lestari, M. I. (2019). Anestesiologi dan Terapi
Intensif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Samutri, E., Fatimah, & Wulandari, Ari S. (2022). Asuhan Keperawatan Masa
Perinatal dengan Menyelaraskan 3N (NANDA NOC NIC) dan 3S (SDKI
SLKI SIKI) Disertai Contoh Kasus dan Proses Keperawatannya.
Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management.
Soegijanto, S. (2016). Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di
Indonesia Jilid 5. Surabaya: Airlangga University Press.
Trifathrisna, A. N. (2017). Perbedaan Luaran Maternal dan Prenatal
Preeklampsia Berat dengan Sindrom HELLP dan Sindrom HELLP
Parsial. Semarang: Universitas Diponegoro.
Wulandari, W., & Pangesti, W. D. (2022). Prevalensi Preeklamsi dengan
Komplikasi di Rumah Sakit Rujukan Kabupaten Banyumas Tahun 2017-
2020. Jurnal Kebidanan Harapan Ibu Pekalongan, 9(1), 1-15.

Anda mungkin juga menyukai