Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DIABETIK KETOASIDOSIS
A. Definisi
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin
absolute atau relative dan peningkatan hormone kontra legulator (glukagon, katekolamin,
kortisol dan hormon pertumbuhan), yang menyebabkan keadaan hipergilkemi (Brunner and
Suddart, 2002).
Ketoasidosis Diabetik adalah suatu keadaan darurat akibat gangguan metabolic diabetes
mellitus berat yang disifati oelh adanya trias hiperglikemi, asidosis, dan ketonemi (Adam,
2001).
Ketoasidisis Diabetikum (KAD) merupakan salah satu kompliasi akut DM akibat defisiensi
hormone insulin yang tidak dikenal dan bila tidak mendapat pengobatan segera akan
menyebabakan kematian (Arif Mansjoer, 2001).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah
keadaan dekompensasi kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis
dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relative. KAD merupakan
komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat
darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan dapat sampai
menyebabkan syok.

B. Etiologi
Terdapat pada orang yang diketahui diabetes oleh adanya stressor yang meningkatkan
kebutuhan akan insulin, ini dapat terjadi jika diabetes tidak terkontrol karena ketidak
mampuan untuk menjalani terapi yang telah ditentukan. Pencetus yang sering infeksi,
stressor-stersor utama lain yang dapat mencetuskan diabetic ketoasidosis adalah pembedahan,
trauma, terapi dengan steroid dan emosional

C. Patofisiologi
Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun absolut yang disertai peningkatan
hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth
hormone, menyebabkan hiperglikemia disertai peningkatan lipolisis dan produksi keton,
yakni : asetoasetat, β-hidroksibutirat dan aseton yang merupakan asam kuat dan dapat
menyebabkan asidosis metabolik. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik yang
mengakibatkan dehidrasi dan kehilangan mineral dan elektrolit

D. Manifestasi Klinis
1. Poliuria
2. Polidipsi
3. Pengelihatan kabur
4. Lemah
5. Sakit kepala
6. Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau > pada saat berdiri)
7. Anoreksia
8. Mual
9. Muntah
10. Nyeri abdomen
11. Nafas aseton
12. Hiperventilasi
13. Perubahan status mental (sadar, letargik, koma)
14. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)
15. Terdapat keton di urin
16. Nafas berbau aseton
17. Badan lemas
18. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotik
19. Kulit kering
20. Keringat
21. Kussmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolic

E. Komplikasi
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian akibat KAD adalah:
2. Terlambat didiagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma.
3. Pasien belum tahu bahwa ia menyandang DM.
4. Sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat, seperti: renjatan
(syok), stroke, dan lain-lain.
5. Kurangnya fasilitas laboratorium yang menunjang suksesnya penatalaksanaan KAD
Komplikasi yang dapat terjadi akibat KAD yaitu:
a. Oedema paru
b. Hipertrigliserida
c. Infark miokard akut
d. Hipoglikemia
e. Hipokalsemia
f. Hiperkloremia
g. Oedema otak
h. Hipokalemia

F. Penatalaksanaan
Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan
ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada.
Pengawasan ketat, keadaan umum buruk masuk HCU/ICU.
Tujuan penatalaksanaan :
1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi),
2. Menghentikan ketogenesis (insulin),
3. Koreksi gangguan elektrolit,
4. Mencegah komplikasi,
5. Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus.

Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD :


1. Penilaian Klinik Awal
a. Pemeriksaan fisik (termasuk berat badan), tekanan darah, tanda asidosis
(hiperventilasi), derajat kesadaran (GCS), dan derajat dehidrasi.
b. Konfirmasi biokimia: darah lengkap (sering dijumpai gambaran lekositosis), kadar
glukosa darah, glukosuria, ketonuria, dan analisa gas darah.

Resusitasi
a. Pertahankan jalan napas.
b. Pada syok berat berikan oksigen 100% dengan masker.
c. Jika syok berikan larutan isotonik (normal salin 0,9%) 20 cc/KgBB bolus.
d. Bila terdapat penurunan kesadaran perlu pemasangan naso-gatrik tube untuk
menghindari aspirasi lambung.
e. Observasi Klinik

2. Pemeriksaan dan pencatatan harus dilakukan atas :


a. Frekwensi nadi, frekwensi napas, dan tekanan darah setiap jam.
b. Suhu badan dilakukan setiap 2-4 jam.
c. Pengukuran balans cairan setiap jam.
d. Kadar glukosa darah kapiler setiap jam.
e. Tanda klinis dan neurologis atas edema serebri :
f. EKG : untuk menilai gelombang T, menentukan tanda hipo/hiperkalemia.
g. Keton urine sampai negatif, atau keton darah (bila terdapat fasilitas).
3. Rehidrasi
Penurunan osmolalitas cairan intravaskular yang terlalu cepat dapat meningkatkan
resiko terjadinya edema serebri.
Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Tentukan derajat dehidrasi penderita.
b. Gunakan cairan normal salin 0,9%.
c. Total rehidrasi dilakukan 48 jam, bila terdapat hipernatremia (corrected Na)
rehidrasi dilakukan lebih perlahan bisa sampai 72 jam.
d. 50-60% cairan dapat diberikan dalam 12 jam pertama.
e. Sisa kebutuhan cairan diberikan dalam 36 jam berikutnya.

4. Penggantian Natrium
a. Koreksi Natrium dilakukan tergantung pengukuran serum elektrolit.
b. Monitoring serum elektrolit dapat dilakukan setiap 4-6 jam.
c. Kadar Na yang terukur adalah lebih rendah, akibat efek dilusi hiperglikemia yang
terjadi.
d. Artinya : sesungguhnya terdapat peningkatan kadar Na sebesar
1,6 mmol/L setiap peningkatan kadar glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100
mg/dL.
e. Bila corrected Na > 150 mmol/L, rehidrasi dilakukan dalam > 48 jam.
f. Bila corrected Na < 125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi
dengan NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi.
g. Kondisi hiponatremia mengindikasikan overhidrasi dan meningkatkan risiko
edema serebri.

5. Penggantian Kalium
Pada saat asidosis terjadi kehilangan Kalium dari dalam tubuh walaupun konsentrasi di
dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya Kalium intraseluler ke
ekstraseluler. Konsentrasi Kalium serum akan segera turun dengan pemberian insulin
dan asidosis teratasi.
a. Pemberian Kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi,
dan pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kg BB/hari atau 40
mmol/L cairan.
b. Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian Kalium harus ditunda.

6. Penggantian Bikarbonat
a. Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan pada awal resusitasi.
b. Terapi bikarbonat berpotensi menimbulkan:
1) Terjadinya asidosis cerebral.
2) Hipokalemia.

3) Excessive osmolar load.

4) Hipoksia jaringan.

5) Terapi bikarbonat diindikasikan hanya pada asidossis berat (pH < 7 dengan
bikarbonat serum < 5 mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal, dan pada
syok yang persistent.

6) Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kg BB dengan pengenceran dalam


waktu 1 jam, atau dengan rumus: 1/3 x (defisit basa x KgBB). Cukup
diberikan ¼ dari kebutuhan.

7. Pemberian Insulin
a. Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi.
b. Insulin yang digunakan adalah jenis Short acting/Rapid Insulin (RI).
c. Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah
walaupun insulin belum diberikan.
d. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam pada
anak < 2 tahun.
e. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1
unit/ml atau bila tidak ada syringe pump dapat dilakukan dengan microburet (50
unit dalam 500 mL NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi.
f. Penurunan kadar glukosa darah (KGD) yang diharapkan adalah 70-100
mg/dL/jam.
g. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 ½ Salin.
h. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL (target).
i. Bila KGD < 150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan
D10 ½ Salin.
j. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.
k. Jangan menghentikan insulin atau mengurangi sampai < 0,05 unit/kg BB/jam.
l. Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap diperlukan untuk
menghentikan ketosis dan merangsang anabolisme.
m. Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang
kondisi penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan respon
pemberian insulin.
n. Pada kasus tidak didapatkan jalur IV, berikan insulin secara intramuskuler atau
subkutan. Perfusi jaringan yang jelek akan menghambat absorpsi insulin.

8. Tatalaksana edema serebri


Terapi harus segera diberikan sesegera mungkin saat diagnosis edema serebri dibuat,
meliputi:
a. Kurangi kecepatan infus.
b. Mannitol 0,25-1 g/kgBB diberikan intravena dalam 20 menit (keterlambatan
pemberian akan kurang efektif).
c. Ulangi 2 jam kemudian dengan dosis yang sama bila tidak ada respon.
d. Bila perlu dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator.
e. Pemeriksaan MRI atau CT-scan segera dilakukan bila kondisi stabil.

9. Fase Pemulihan
Setelah KAD teratasi, dalam fase pemulihan penderita dipersiapkan untuk: 1) Memulai
diet per-oral. 2) Peralihan insulin drip menjadi subkutan.
a. Memulai diet per-oral.
1) Diet per-oral dapat diberikan bila anak stabil secara metabolik (KGD <
250 mg/dL, pH > 7,3, bikarbonat > 15 mmol/L), sadar dan tidak
mual/muntah.
2) Saat memulai snack, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x
sampai 30 menit sesudah snack berakhir.
3) Bila anak dapat menghabiskan snacknya, bisa dimulai makanan utama.
4) Saat memulai makanan, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x
sampai 60 menit sesudah makan utama berakhir.

b. Menghentikan insulin intravena dan memulai subkutan.


1) Insulin iv bisa dihentikan bila keadaan umum anak baik, metabolisme
stabil, dan anak dapat menghabiskan makanan utama.
2) Insulin subkutan harus diberikan 30 menit sebelum makan utama dan
insulin iv diteruskan sampai total 90 menit sesudah insulin subkutan
diberikan.
3) Diberikan short acting insulin setiap 6 jam, dengan dosis individual
tergantung kadar gula darah. Total dosis yang dibutuhkan kurang lebih 1
unit/kg BB/hari atau disesuaikan dosis basal sebelumnya.
4) Dapat diawali dengan regimen 2/7 sebelum makan pagi, 2/7 sebelum
makan siang, 2/7 sebelum makan malam, dan 1/7 sebelum snack
menjelang tidur

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Glukosa.
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien mungkin
memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian lainnya mungkin
memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang biasanya bergantung pada
derajat dehidrasi.
Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar
glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa
yang berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak
memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai
400-500 mg/dl.

b. Natrium.
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk setiap
100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh
sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat
dengan jumlah yang sesuai.

c. Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan perawatan.
EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat potasium.

d. Bikarbonat.
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah (6,8-
7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan kompensasi
respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi badan
keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam
darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion
untuk menilai derajat asidosis.
e. Sel darah lengkap (CBC)
Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai pergeseran
kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.

f. Gas darah arteri (ABG).


pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH measurements.
Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas darah vena pada
pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada ABG. Karena perbedaan
ini relatif dapat diandalkan dan bukan dari signifikansi klinis, hampir tidak ada alasan
untuk melakukan lebih menyakitkan ABG. Akhir CO2 pasang surut telah dilaporkan
sebagai cara untuk menilai asidosis juga.

g. Keton.
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu, ketonuria dapat
berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang mendasarinya.

h. β-hidroksibutirat.
Serum atau hidroksibutirat β kapiler dapat digunakan untuk mengikuti respons
terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L dianggap normal,
dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk ketoasidosis diabetik
(KAD).

i. Urinalisis (UA)
Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi saluran
kencing yang mendasari.

j. Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg / dL) / 2.8.
Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan koma biasanya
memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari > 330
mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.

k. Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme kronis),
maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.

l. Tingkat BUN meningkat.


Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.

m. Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi pada
dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan BUN serum
yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami insufisiensi
renal.Pengobatan efektif kasus ketoasidosis diabetik yang hebat
(http://library.usu.ac.id, 2003)

n. Tabel: Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian) metabolik pada
diabetes.

Diabetic Hyperosmolar
ketoacidosis non ketoticcoma Asidosis laktat
(KAD) (HONK)
Glukosa plasma Tinggi Sangat tinggi Bervariasi
Ketone Ada Tidak ada Bervariasi
Asidosis Sedang/hebat Tidak ada Hebat
Dehidrasi Dominan Dominan Bervariasi
Hiperventilasi Ada Tidak ada Ada

2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan cara:
a. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya tes
ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah
kondisi stress.
b. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
c. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
d. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
e. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya
aterosklerosis.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Anamnesis :
 Riwayat DM
 Poliuria, Polidipsi
 Berhenti menyuntuk insulin
 Demam dan infeksi
 Nyeri perut, mual, mutah
 Penglihatan kabur
 Lemah dan sakit kepala
 Pemeriksan Fisik :
 Ortostatik hipotensi (sistole turun 20 mmHg atau lebih saat berdiri)
 Hipotensi, Syok
 Nafas bau aseton (bau manis seperti buah)
 Hiperventilasi : Kusmual (RR cepat, dalam)
 Kesadaran bisa CM, letargi atau koma
 Dehidrasi

Pengkajian gawat darurat :


A. Pengkajian Primer
1) Airways
 Kepatenan jalan napas
 Stridor, gargling/ snoring
2) Breathing
 Bunyi napas ronkhi, wheezing, krekels, bronkovesikuler
 Frekuensi pernapasan lebih dari 24 kali/menit
 Irama ireguler dangkal
 Ekspansi dada tidak prnuh, penggunaan otot bantu pernapasan
3) Circulation
 Tekanan darah, nadi (irama, frekuensi, kekuatan)
 Capillary refill,akral,suhu,sianosis
 Bunyi jantung (mur-mur, gallop)
 Intake-output,diaphoresis

4) Disability
 Tingkat kesadaran (nilai GCS)
 Refleks cahaya pada pupil (isokor/ anisokor)
5) Exposure
 Adanya jejas lain
 Data penunjang, misalnya pemeriksaan laboratorium

B. Pengkajian Sekunder
Pengkajian head to toe
a. Data subyektif :
 Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit sekarang
 Status metabolik : intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori, infeksi atau
penyakit-penyakit akut lain, stress yang berhubungan dengan faktor-faktor
psikologis dan social, obat-obatan atau terapi lain yang mempengaruhi glikosa
darah, penghentian insulin atau obat anti hiperglikemik oral.

b. Data Obyektif :
1. Aktivitas / Istirahat
Gejala :
 Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan
istrahat/tidur
Tanda :
 Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas
Letargi/disorientasi, koma

2. Sirkulasi
Gejala :
 Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dan kesemutan pada
ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, takikardia.
Tanda :
 Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/tidak ada,
disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas, kering, dan kemerahan,
bola mata cekung.

3. Integritas / Ego
Gejala :
 Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan
dengan kondisi
Tanda :
 Ansietas, peka rangsang

4. Eliminasi
Gejala :
Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar, kesulitan
berkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen, diare.

Tanda :
Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi oliguria/anuria,
jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen
keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare)

5. Nutrisi/Cairan
Gejala :
 Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatan
masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa
hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid)
Tanda :
 Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen, muntah,
pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan
gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)

6. Neurosensori
Gejala :
 Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,
parestesi, gangguan penglihatan
Tanda :
 Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut), gangguan
memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendon dalam menurun
(koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA).

7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati

8. Pernapasan
Gejala :
 Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen
(tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda :
 Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi pernapasan
meningkat

9. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
Tanda :
Demam, diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya kekuatan
umum/rentang gerak, parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika
kadar kalium menurun dengan cukup tajam)

10. Seksualitas
Gejala :
 Rabas vagina (cenderung infeksi)\
 Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita

11. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala :
 Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi. Penyembuhan yang
lambat, penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan
fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak
memerlukan obat diabetik sesuai pesanan.
 Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengaturan diet,
pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah.
B. DIAGNOSA PRIORITAS
1. Kerusakan ventilasi spontan berhubungan dengan faktor metabolik
2. Pola napas tidak efektif berhubungan hiperventilasi
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume aktif
C. INTERVENSI
1. Kerusakan ventilasi spontan berhubungan dengan faktor metabolik
a. Tujuan :
 Efektifnya jalan nafas
 Pengeluaran secret yang efektif
 Bebas dari dispnea
b. Intervensi
 Kaji respon pergantian status pernafasan klien (ekspirasi-inspirasi)
 Monitor dispnea dan penurunan RR
 Kaji riwayat klien penyakit kronik pernafasan
 Suction apabila diperlukan
 Kolaborasi dengan klien dan keluarga untuk pemasangan intubasi dan ventilator
 Kolaborasi pemberian analgesic dan sedative jika diperlukan
 Lakukan analisa gas darah, dan tidal volume
 Gunakan komunikasi efektif pada klien
 Jelaskan pada keluarga tentang keadaan klien yang mengalami dispnea, atau gangguan
paru

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan


a. Tujuan :
 Pola nafas pasien kembali teratur.
 Respirasi rate pasien kembali normal.
 Pasien mudah untuk bernafas.

b. Intervensi:
 Kaji status pernafasan dengan mendeteksi pulmonal.
 Berikan terapi fisik dada termasuk drainase postural.
 Penghisapan untuk pembuangan lendir.
 Identifikasi kemampuan dan berikan keyakinan dalam bernafas.
 Kolaborasi dalam pemberian farmakologi.

3. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volum aktif


a. Tujuan :
 TTV dalam batas normal
 Pulse perifer dapat teraba

 Turgor kulit dan capillary refill baik


 Keseimbangan urin output
 Kadar elektrolit normal

b. Intervensi
 Kaji riwayat durasi/intensitas mual, muntah dan berkemih berlebihan
 Monitor vital sign dan perubahan tekanan darah orthostatic
 Monitor perubahan respirasi: kussmaul, bau aceton
 Observasi kualitas nafas, penggunaan otot asesori dan cyanosis
 Observasi ouput dan kualitas urin.
 Timbang BB
 Pertahankan cairan 2500 ml/hari jika diindikasikan
 Ciptakan lingkungan yang nyaman, perhatikan perubahan emosional
 Catat hal yang dilaporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung.
 Obsevasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi
tidak teratur dan adanya distensi pada vaskuler

Kolaborasi :
1) Pemberian NaCl 0,9% dengan atau tanpa dextrosa
2) Albumin, plasma, dextran
3) Pertahankan kateter terpasang
4) Pantau pemeriksaan laboratorium :
 Hematokrit
 BUN/Kreatinin
 Osmolalitas darah
 Natrium
 Kalium
5) Berikan Kalium sesuai indikasi
6) Berikan bikarbonat jika pH <7,0
7) Pasang NGT dan lakukan penghisapan sesuai dengan indikasi
DAFTAR PUSTAKA

Bare, Brenda and Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). Buku Ajar Keperwatan Medikal Bedah  Bruner and
Suddarth . Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Faizi Muhammad & Nety FE (2005), The Managemen of Diabetes Ketoacidosis in Children,

Robert Priharjo, S.Kp, M. Sc, RN (2002), Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2, EGC, Jakarta.
Defisiensi Insulin Berat

↓ Ambilan glukosa ↑ Katabolisme protein ↑ Lipolisis

↑ Asam ↑ Kehilangan ↑ Gliserol ↑ Asam lemak


Amino nitrogen bebas

Hiperglikemia ↑ Glukoneogenesis ↑ Ketogenesis

↑ Ketonemia

Diuresis Osmotik Kehilangan ↑ Ketonuria


elektrolit urine

Kehilangan hipotonik

Hiperosmolaritas Penipisan Volume Ketoasidosis

Koma Syok Asidosis metabolik

Anda mungkin juga menyukai