Disusun oleh :
FAIZAL MASKUR
193300516091
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Isu Kesetaraan Gender Dihadapan Hukum
Dan Lembaga Peradilan” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Ummu Salamah, S.Ag., M.A pada mata kuliah Hukum
dan Gender.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ummu Salamah, S.Ag., M.A selaku dosen mata
kuliah Hukum dan Gender yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis,
Kelompok 16
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta
perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-
namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan
sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya,
dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa
kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan
tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan
pada laki-laki.
Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial
yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan
ekonomi. Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis,
namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender-dalam bentuk
kesenjangan dan perbedaan-dalam tingkatan yang berbeda-beda. Seringkali dibutuhkan
waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini. Suasana ketidakadilan ini terkadang
bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi.
Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh factor social budaya masyarakat, sehingga lahirlah beberapa anggapan
tentang peran social dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan social atas laki-laki
dan perempuan itu antara lain perempuan dikenal sebagai mahluk lemah lembut, cantik
emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat di
atas dapat dipertukarkan dan dapat berubah dari waktu ke waktu.Artinya ada perempuan
kuat dan rasional, ada pula laki-laki lembut dan irasional.1
1
Mansour Fakih. 1996.Analisis Gender & Transportasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 9.
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui alasan kesetaraan gender diperlukan.
2. Untuk mengetahui macam-macam isu gender dalam kehidupan sosial
3. Untuk mengetahui contoh bukti ketidakadilan gender terhadap perempuan
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bias gender dalam praktik peradilan
5. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum yang digunakan
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai isu
kesetaraan gender dihadapan hukum dan lembaga peradilan. Serta juga diharapkan sebagai
sarana pengembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di bangku
perkuliahan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2 Macam-Macam Isu Gender Dalam Kehidupan Sosial
4
Stereotype terhadap menimbulkan kesan negative yang merupakan keharusan
disandang oleh perempuan. Stereotype itu merupakan salah satu bentuk ketidakadilan
gender. Misalnya suatu dugaan bahwa perempuan itu suka bersolek untuk menarik
lawan jenis. Jika terjadi perkosaan, selalu disimpulkan bahwa kejadian tersebut berawal
dari perempuan, tanpa harus menganalisa terlebih dahulu sisi lain sebagai factor
penyebab terjadinya perkosaan.Oleh karena itu kasus perkosaan dipandang sebagai
kesalahan perempuan. Selain itu perempuan sebagai orang lemah fisik dan intelektual,
sehingga tidak layak menjadi pemimpin, karena ia sarat dengan keterbatasan tidak
sebagaimana laki-laki.
Bentuk lain dari ketidak adilan gender adalah tindak kekerasan terhadap
perempuan baik berbentuk fisik maupun psikis. Kekerasan itu muncul akibat dari ada
anggapan laki-laki supermasi terhadap berbagai sector kehidupan. Fenomena itu
dimasyarakat dianggap sebagai suatu yang sangat wajar jika perempuan menerima
perlakuan tersebut. Kekerasan terhadap perempuan mempunyai beberapa tingkatan
yaitu: perkosaan, pemukulan, penganiayaan, pembunuhan, prostitusi sebagai bentuk
eksploitasi perempuan dalam dunia kerja dan hiburan, pemaksaan sterilisasi dalam
keluarga berencana dan serta pelecehan seksual dengan suntuhan atau ungkapan yang
merendahkan martabat perempuan. Seluruh tindak tersebut dapat digolongkan
pelanggaran hak asasi manusia yang semestinya dihormati oleh siapa pun tanpa
memandang gendernya.
5
gender, tentu saja harus memahami dulu konsep kesetaraan. Kesetaraan bukan dalam
arti sama rata dan tidak ada perbedaan. Dalam kontek tersebut kesetaraan lebih tepat
dimaknai dengan keadilan dan keseimbangan.3
Peristiwa tersebut sudah cukup sebagai bukti atau gambaran akan rendahnya
penegakan hukum untuk keamanan bagi kaum perempuan. Jika yang dikatakan selama ini
bahwasannya perempuan itu lemah justru para laki-laki,hukum,serta pihak manapun
seharusnya melindungi bukan malah semakin menindas. Banyak kejadian pelecehan
kepada perempuan yang belum di usut,mereka cenderung takut karena posisinya merasa
tidak ada yang membela atau dari segi hal lainnya seperti tidak adanya derajat tinggi
6
ketimbang pelakunya sehingga mereka akan kalah apabila melaporkan kejadian yang
dialaminya, sehingga mereka membungkam semua yang telah terjadi.
Pada kasus tersebut, seharusnya pihak Universitas dengan sigap merespon dan
segera mengambil tindakan tegas guna melindungi mahasiswanya tersebut. Karena
dengan respon meminta untuk tidak memberitahukan pada siapapun malah akan menjadi
sebuah tindakan perlindungan terhadap pelaku sehingga akan sangat membahayakan bagi
mahasiswa atau korban lainnya. Tentunya pelecehan tersebut nantinya akan mempunyai
dampak tersendiri bagi korban (perempuan). Dampak negatif pada korban pelecehan
seksual yang umumnya dialami perempuan seperti kondisi gangguan mental, penyintas
biasanya cenderung merasa mudah gemetar, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Banyak
oknum yang mengabaikan dan malah menjadikan peristiwa tersebut menjadi bahan
candaan sampai kepada bulying bagi korbannya. Hal ini harus kebih diperhatikan
kebijakannya serta hukuman bagi semua warga baik individu, masyarakat,maupun
dimanapun tempat kita berada, agar pelaku lebih mempunyai efek jera terhadap
tindakannya itu.
7
Perempuan korban sering dianggap sebagai penyebab atau pemberi peluang
terjadinya tindak pidana karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi
sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya padawaktu
dan lokasi tertentu
3
Mansoir Fakih, Op Cit, hal. 12-13
4
Harjono, Perlindungan Hukum(Membangun Sebuah konsep hukum), makalah, tanpa tahun, hlm. 2.
5
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Nusa Media, Bandung,
2014, hlm. 84.
8
Dikatakan sebagai upaya hukum preventif karena perlindungan hukum ini
dilakukan dalam rangka mencegah dari kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap
hak masyarakat sebagai subyek hukum. Dalam upaya hukum preventif ini upaya yang
dilakukan dapat dengan cara memberikan peringatan, teguran atau somasi, keberatan,
sampai dengan peng-aduan. Selanjutnya mengenai hukum korektif dilakukan untuk
memberikan koreksi atas pelanggaran terhadap hak masyarakat yang dilakukan oleh
lembaga non peradilan seperti pejabat admi-nistrasi negara.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan, serta
kepastian hukum yang adil mengenai perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dengan
asumsi yang demikian maka segala tindakan diskriminasi (terutama terhadap
perempuan) sangatlah dilarang.
Diskriminasi adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia
(HAM). Dengan demikian, diskriminasi terhadap perempuan melanggar hak asasi
manusia perempuan, sehingga pemberdayaan perempuan diperlukan agar perempuan-
perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar. Negara memiliki
tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadapperempuan karena
berkembangnya praktik diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan
berbagai persoalan yang menjadi tanggung jawab negara, seperti kemiskinan,
menguatnya fundamentalisme ataupun konservatisme agama dan budaya, serta
pembatasan hak-hak perempuan baik dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang
publik untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum
perempuan tersebut.
9
Feminist jurisprudence adalah aliran filsafat hukum yang berdasarkan pada
kepercayaan atas kesetaraan politik, ekonomi, dan sosial berbasis gender.6 Sebagai
sebuah kajian dalam ilmu hukum, feminist jurisprudence mulai eksis pada tahun
1960-an. Feminist jurisprudence memegang peran penting dalam bidang ilmu
hukum atas pemikirannya yang mempengaruhi banyak perdebatan tentang kekerasan
seksual dan domestik, ketidaksetaraan di tempat kerja, dan diskriminasi berbasis
gender. Melalui berbagai pendekatan, kaum feminis telah mengidentifikasi
komponen-komponen gender dan implikasi gender dari norma hukum dan
implementasinya yang tampak netral, sehingga menyebabkan hukum yang
mempengaruhi pekerjaan, perceraian, hak reproduksi, pemerkosaan, kekerasan
dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual semuanya telah merugikan perempuan
sepanjang sejarah kehidupan manusia, sehingga harus direkonstruksi.7
Salah satu upaya gerakan feminisme dalam rangka perlindungan hukum bagi
perempuan dari tindakan diskriminasi adalah melalui instrumen hukum. Hukum
sebagai salah satu instrumen dalam sistem hukum nasional yang merupakan produk
pemikiran manusia yang sengaja dibuat untuk melindungi korban darisemua bentuk
kejahatan. Pembentukan hukum sebagai instrumen untuk melindungi hak-hak
individu dan masyarakat sangat relevan dan terkait dengan program untuk
melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Keterkaitan tersebut sangat mendalam
dengan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia.8
10
b) Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah tindak atau aturan
khusus sementara, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yang ada.
c) Negara tidak saja menjamin, tetapi juga merealisasi hak perempuan.
d) Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto.
e) Negara tidak saja harus akuntabel dan mengaturnya di ranah publik, tetapi juga
di ranah privat (keluarga) dan sektor swasta.
9
Asep Nursobah, diakses pada 3 November 2021
(https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/registry- news/1894-inilah-bukti-komitmen-ma-untuk-
meningkatkan-kesetaraan-gender-di-pengadilan)
11
2.5 Bias Gender Dalam Praktik Peradilan
Bias gender adalah perilaku yang didasari oleh stereotipe maskulinitas dan
feminitas yang akhirnya berdampak kepada keuntungan bagi pihak laki-laki dan
merugikan perempuan. Bias gender dapat juga terjadi dalam praktik peradilan, antara
lain disebabkan oleh perilaku atau keputusan yang dibuat oleh APH dalam
melaksanakan tugasnya.
12
2.6 Dasar Hukum
Upaya dalam rangka memberikan hak dan akses kepada keadilan terhadap
perempuan berhadapan dengan hukum belum selesai hanya dengan adanya Perma No.
3 Tahun 2017 semata. Masih banyak hal yang perlu dilakukan bukan hanya oleh
Mahkamah Agung tetapi juga berbagai pihak dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap perempuan. Ketua Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Prof.
Takdir Rahmadi menyampaikan bahwa perlunya memastikan Perma 3/2017 dapat
berjalan, pentingnya kerjasama dan koordinasi antara kementerian lembaga seperti
Kementerian Hukum dan HAM, KPPPA, Kementerian Keuangan, BaPPENAS,
kepolisian, kejaksaan agar akses keadilan terhadap perempuan dapat dicapai dan
dilaksanakan.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan dan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sertaperlakuan
yang sama dihadapan hukum. Dengan asumsi yang demikian maka segala tindakan
diskriminasi (terutama terhadap perempuan) sangatlah dilarang.
Dengan adanya pengakuan persamaan hak warga negara, berarti antara laki- laki
dengan perempuan tidak ada perbedaan. Diakuinya prinsip persamaan di hadapan
hukum dan pemerintahan di dalam UUD menunjukkan para pendiri negara Indonesia,
sebelum mendirikan negara, sadar betul tentang arti pentingnya perlindungan terhadap
hak asasi manusia itu.
10
Lihat misalnya Lisa Wulansari (editor), 2009, Buku Referensi Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan
terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta: Komnas Perempuan, hlm. 66-91.
13
Secara yuridis, dalam tataran internasional maupun nasional, Instrumen hukum
dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui tentang adanya prinsip
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam tataran implementasi
penyelenggaraan negara, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
Kaum perempuan selalu tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang ekonomi,
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun dalam bidang politik.
11
Aga Natalis.2020. “Reformasi Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan: Telaah
Feminist Jurisprudence” Jurnal Crepido, Volume 02, Nomor 01, Juli 2020, hlm.21.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (1993). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Handayani, SH., MH, D. A. (n.d.). Mewujudkan Keadilan Gender Melalui Perlindungan
Hukum Terhadap Perempuan. Jurnal Rechtstaat Nieuw Vol.1 No.1, 20-28.
Hartanti, E. (2008). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
I Putu Gede Arya Ery Pratama, D. P., & Purwanti, N. K. (2014). Perjanjian Alih
TeknologiDalam Perusahaan PT. Samsung Dalam Pengembangan Penanam Modal
(Studi Kasus di PT. Samsung Denpasar - Bali). Jurnal Kertha Semaya Vol. 02 No.5,,
6.
Ilmar, A. (2017). Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Kairupan, D. (2014). Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Korupsi, T. P. (2011). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Bagian Hukum Kepegawaian.
Mamudji, S. S. (2009). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Natalis, A. (2020). Reformasi Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Bagi
Perempuan; Telaah Feminist Jurisprudence. Jurnal Crepido Vol 02 Nomor 01, 13-21.
Nations, U. (2004). The Global Program Against Corruption : United Nations Anti-
Corruption Toolkit. Vienna: UNODC.
Ninik, R. (2012). Kesetaraan Gender Dalam Aturan Hukum dan Implementasi di Indonesia
Gender Equality In The Rule Of Law In Indonesian and Implementation. Jurnal
Legislasi Indonesia Vol 9, No 1 .
Saidin, O. (2004). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Supasti Dharmawan, d. (2017). Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta:
Deepublish.
Tjitrosoedibio, S. d. (1973). Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Utomo, T. S. (2010). Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
16