Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

HUKUM DAN GENDER

“ Isu Kesetaraan Gender Dihadapan Hukum Dan Lembaga Peradilan ”

Disusun oleh :

FAIZAL MASKUR
193300516091

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Isu Kesetaraan Gender Dihadapan Hukum
Dan Lembaga Peradilan” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Ummu Salamah, S.Ag., M.A pada mata kuliah Hukum
dan Gender.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ummu Salamah, S.Ag., M.A selaku dosen mata
kuliah Hukum dan Gender yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 08 Februari 2022

Penulis,

Kelompok 16

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................................ii
BAB I ........................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Makalah ................................................................................................................. 2
1.4 Manfaat Makalah ............................................................................................................... 2
BAB II.......................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 3
2.1 Perlunya Kesetaraan Gender ............................................................................................. 3
2.2 Macam-Macam Isu Gender Dalam Kehidupan Sosial ...................................................... 4
2.3 Contoh Bukti Ketidakadilan Terhadap Perempuan .......................................................... 6
2.4 Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan ..................................................................... 7
2.5 Bias Gender Dalam Praktik Peradilan ............................................................................ 12
2.6 Dasar Hukum .................................................................................................................. 13
BAB III ...................................................................................................................................... 15
PENUTUP.................................................................................................................................. 15
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 15
3.2 Saran ............................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta
perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-
namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan
sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya,
dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa
kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan
tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan
pada laki-laki.

Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial
yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan
ekonomi. Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis,
namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender-dalam bentuk
kesenjangan dan perbedaan-dalam tingkatan yang berbeda-beda. Seringkali dibutuhkan
waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini. Suasana ketidakadilan ini terkadang
bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi.

Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh factor social budaya masyarakat, sehingga lahirlah beberapa anggapan
tentang peran social dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan social atas laki-laki
dan perempuan itu antara lain perempuan dikenal sebagai mahluk lemah lembut, cantik
emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat di
atas dapat dipertukarkan dan dapat berubah dari waktu ke waktu.Artinya ada perempuan
kuat dan rasional, ada pula laki-laki lembut dan irasional.1

1
Mansour Fakih. 1996.Analisis Gender & Transportasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 9.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Mengapa Kesetaraan Gender Diperlukan ?


2. Apa Saja Macam-macam Issu Gender Dalam Kehidupan Sosial ?
3. Apa Saja Contoh Bukti Ketidakadilan Terhadap Perempuan ?
4. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan ?
5. Apa Yang Dimaksud Bias Gender Dalam Praktik Peradilan?
6. Apa Saja Dasar Hukum Yang Digunakan ?

1.3 Tujuan Makalah

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui alasan kesetaraan gender diperlukan.
2. Untuk mengetahui macam-macam isu gender dalam kehidupan sosial
3. Untuk mengetahui contoh bukti ketidakadilan gender terhadap perempuan
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bias gender dalam praktik peradilan
5. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum yang digunakan

1.4 Manfaat Makalah

Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai isu
kesetaraan gender dihadapan hukum dan lembaga peradilan. Serta juga diharapkan sebagai
sarana pengembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di bangku
perkuliahan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perlunya Kesetaraan Gender


Kesetaraan gender diperlukan karena dalam masyarakat masih terjadi berbagai
ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Tercermin pada masih rendahnya
kualitas hidup dan peran perempuan termasuk tingginya kasus kekerasan terhadap
perempuan. Ada kesenjangan dalam hal akses dan partisipasi dalam pembangunan dan
penguasaan sumber daya antara perempuan dan laki-laki. Sementara itu peran serta
partisipasi perempuan juga masih rendah dalam berbagai bidang.

Kesetaraan gender secara intrinsik terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan


sangat penting bagi realisasi hak asasi manusia untuk semua orang. Tujuan keseluruhan
kesetaraan gender adalah terciptanya masyarakat di mana perempuan dan laki-laki
menikmati kesempatan, hak dan kewajiban yang sama di semua bidang kehidupan.
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ada saat kedua jenis kelamin dapat berbagi
secara setara dalam distribusi kekuatan dan pengaruh; memiliki kesempatan dan akses yang
sama untuk mendapatkan hak-haknya, serta benar-benar terbebas dari paksaan dan
intimidasi.

Kesetaraan gender yang dimaksud adalah kesetaraan substantif yang memberikan


perhatian khusus pada peran dan fungsi reproduksi perempuan, serta pada kesenjangan atau
ketimpangan gender yang ada selama ini, dengan memastikan bahwa kebijakan dan praktik
yang ada tidak mendiskriminasi perempuan berdasarkan fungsi reproduksinya.
Contoh :
 Cuti melahirkan tidak dapat dianggap mendiskriminasi laki-laki;
 Kebijakan aksi afirmatif 30% keterwakilan perempuan di bidang politik
adalah untuk mengejar ketertinggalan dan mengatasi kesenjangan akses
dan peran perempuan di bidang politik

3
2.2 Macam-Macam Isu Gender Dalam Kehidupan Sosial

Macam-macam issu gender dalam kehidupan social antara lain :

1. Marginalisasi terhadap perempuan


2. Penempatan perempuan pada posisi subordinasi
3. Sterotype perempuan
4. Kekerasan perhadap perempuan
5. Beban kerja yang lebih berat dari laki-laki

Dalam prakteknya dikehidupan sehari-hari, keadilan juga harus diberlakukan


dalam perspektif gender. Artinya, tidak boleh ada pembeda strata antara hak laki-
laki dan perempuan baik dalam bidang pendidikan, politik,ekonomi, sosial, hingga
budaya. Dalam rangka penegakkan keadilan gender,agama memiliki peran penting
untuk memerangi ajaran dan ujaran yang mengarah pada diskriminasi gender.

Namun, perempuan dengan anggapan dasar, bahwa perempuan itu irasional,


emosional, lembut, menyebabkan ditempatkan pada peran-peran yang kurang penting,
potensi perempuan dianggap sebagian besar masyarakat kurang fair, mengakibatkan
mereka sulit mendapatkan posisi strategis dalam komunitasnya, terutama yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan tidak sebagaimana halnya laki-laki.
Agama sering dipakai pengukuh dan pandangan semacam itu, sehingga perempuan
selalu menjadi bagian dari laki-laki.

Perlakuan diskriminatif dan stereotip gender terhadap perempuan dalam sistem


peradilan berbanding lurus dengan aksesibilitas perempuan untuk mendapatkan
keadilan. Semakin perempuan mengalami diskriminasi dan/atau stereotip negatifmaka
akan semakin terbatas akses perempuan terhadap keadilan.2

4
Stereotype terhadap menimbulkan kesan negative yang merupakan keharusan
disandang oleh perempuan. Stereotype itu merupakan salah satu bentuk ketidakadilan
gender. Misalnya suatu dugaan bahwa perempuan itu suka bersolek untuk menarik
lawan jenis. Jika terjadi perkosaan, selalu disimpulkan bahwa kejadian tersebut berawal
dari perempuan, tanpa harus menganalisa terlebih dahulu sisi lain sebagai factor
penyebab terjadinya perkosaan.Oleh karena itu kasus perkosaan dipandang sebagai
kesalahan perempuan. Selain itu perempuan sebagai orang lemah fisik dan intelektual,
sehingga tidak layak menjadi pemimpin, karena ia sarat dengan keterbatasan tidak
sebagaimana laki-laki.

Bentuk lain dari ketidak adilan gender adalah tindak kekerasan terhadap
perempuan baik berbentuk fisik maupun psikis. Kekerasan itu muncul akibat dari ada
anggapan laki-laki supermasi terhadap berbagai sector kehidupan. Fenomena itu
dimasyarakat dianggap sebagai suatu yang sangat wajar jika perempuan menerima
perlakuan tersebut. Kekerasan terhadap perempuan mempunyai beberapa tingkatan
yaitu: perkosaan, pemukulan, penganiayaan, pembunuhan, prostitusi sebagai bentuk
eksploitasi perempuan dalam dunia kerja dan hiburan, pemaksaan sterilisasi dalam
keluarga berencana dan serta pelecehan seksual dengan suntuhan atau ungkapan yang
merendahkan martabat perempuan. Seluruh tindak tersebut dapat digolongkan
pelanggaran hak asasi manusia yang semestinya dihormati oleh siapa pun tanpa
memandang gendernya.

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender melalui maerginalisasi, subordinate,


stereotype, tindak kekerasan, dan beban kerja yang tidak proposional dilakukan oleh
laki-laki dalam segala komunitas yang ada. Hal dapat menjadi dilingkungan keluarga,
di tempat kerja, di tempat umum yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang tidak peka
terhadap persoalan gender dan kemanusiaan, oleh karena itu wawasan tentang gender
tidak ditentukan oleh status social, tingkat pendidikan, dan professional, namun lebih
dipengaruhi oleh wawasan tentang BUKU AJAR GENDER DALAM HUKUM 9
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
gender tersebut. Untuk mengikis konstruksi social budaya yang tidak berkeadilan
2
Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesiadan MaPPI FHUI, Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: AIPJ, 2018, hlm. 10.

5
gender, tentu saja harus memahami dulu konsep kesetaraan. Kesetaraan bukan dalam
arti sama rata dan tidak ada perbedaan. Dalam kontek tersebut kesetaraan lebih tepat
dimaknai dengan keadilan dan keseimbangan.3

2.3 Contoh Bukti Ketidakadilan Terhadap Perempuan


Adapun kasus yang akan kami bahas pada makalah ini, yaitu tentang dugaan
pelecehan seksual di Universitas Riau. Berawal dari seorang mahasiswa yang menjadi
korban tersebut akan melakukan bimbingan skirpsi di ruangan terduga pelaku yang saat
itu mereka hanya berdua. Terduga pelaku kemudian bertanya soal pekerjaan dan
kehidupan sehari-hari. Korban lantas dibuat kaget karena terduga pelaku mengucapkan
kata 'i love you'. Bimbingan skripsi itu berlanjut hingga selesai dan saat korban akan pamit
dan bersalaman, tangannya tiba-tiba dipegang dan tubuh sang dosen mendekat. Terduga
pelaku, sambung korban, mencium pipi dan kening dan kemudian mengatakan, "mana
bibir, mana bibir.". Lalu korban mendorong terduga pelaku dan meninggalkan ruangan
tersebut dalam keadaan takut dan gemetar.

Setelah kejadian itu, korban sempat menghubungi sekretaris jurusan untuk


melaporkan kejadian tersebut dan meminta agar mengganti dosen pembimbing. Namun,
korban justru diminta untuk tidak memberitahu kejadian itu kepada siapa pun. Korban
juga ditelepon oleh terduga pelaku sehingga semakin tertekan. Sehingga pada 5
November 2021, korban melaporkan terduga pelaku ke Mapolresta Pekanbaru.Eksekutif
Mahasiswa Universitas Riau mendesak Rektor memberhentikan sementara dosen yang
diduga menjadi pelaku pelecehan seksual kepada mahasiswinya. Presiden Mahasiswa
Unri, Kaharudin, mengatakan pemberhentian sementara itu sesuai Permendikbudristek
Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di
perguruan tinggi selama pemeriksaan, Rektor memberhentikansementara terduga pelaku
sebagai pendidik dan dekan.

Peristiwa tersebut sudah cukup sebagai bukti atau gambaran akan rendahnya
penegakan hukum untuk keamanan bagi kaum perempuan. Jika yang dikatakan selama ini
bahwasannya perempuan itu lemah justru para laki-laki,hukum,serta pihak manapun
seharusnya melindungi bukan malah semakin menindas. Banyak kejadian pelecehan
kepada perempuan yang belum di usut,mereka cenderung takut karena posisinya merasa
tidak ada yang membela atau dari segi hal lainnya seperti tidak adanya derajat tinggi
6
ketimbang pelakunya sehingga mereka akan kalah apabila melaporkan kejadian yang
dialaminya, sehingga mereka membungkam semua yang telah terjadi.

Pada kasus tersebut, seharusnya pihak Universitas dengan sigap merespon dan
segera mengambil tindakan tegas guna melindungi mahasiswanya tersebut. Karena
dengan respon meminta untuk tidak memberitahukan pada siapapun malah akan menjadi
sebuah tindakan perlindungan terhadap pelaku sehingga akan sangat membahayakan bagi
mahasiswa atau korban lainnya. Tentunya pelecehan tersebut nantinya akan mempunyai
dampak tersendiri bagi korban (perempuan). Dampak negatif pada korban pelecehan
seksual yang umumnya dialami perempuan seperti kondisi gangguan mental, penyintas
biasanya cenderung merasa mudah gemetar, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Banyak
oknum yang mengabaikan dan malah menjadikan peristiwa tersebut menjadi bahan
candaan sampai kepada bulying bagi korbannya. Hal ini harus kebih diperhatikan
kebijakannya serta hukuman bagi semua warga baik individu, masyarakat,maupun
dimanapun tempat kita berada, agar pelaku lebih mempunyai efek jera terhadap
tindakannya itu.

2.4 Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan

Secara harafiah pengertian frase perlindungan hukum, merupakan istilah yang


pada dasarnya berhubungan dengan jaminan hukum terhadap seseorang untuk
menikmati hak-hak yang dimilikinya, baik yang bersifat hak publik, maupun hak-hak
privatnya, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum bagi seseorang yang
memiliki hak-hak tersebut. Perlindungan hukum, menurut Harjono dapat diartikan
sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang
diberikan oleh hukum.4

Perlindungan hukum atas kasus kekerasan terhadap perempuan belum


mendapatkan perhatian yang maksimal baik dari pemerintah, masyarakat maupun
aturan hukum yang ada. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia belum memberikan
perlindungan yang maksimal atas kasus kekerasan terhadap perempuan, maka perlu
dilakukan terobosan atau pembaharuan sistem hukum kearah sistem hukum yang lebih
berspektif gender, yakni Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus
Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP)

7
Perempuan korban sering dianggap sebagai penyebab atau pemberi peluang
terjadinya tindak pidana karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi
sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya padawaktu
dan lokasi tertentu

Perempuan korban sering juga dianggap membiarkan peristiwa/ tindak pidana


yang dialaminya karena ia tidak secara jelas berupaya untuk melakukanperlawanan,
menempatkan dirinya terus-menerus di bawah kuasa pelaku, ataupun mudah terbujuk
dengan janji dan/atau tipu muslihat dari pelaku. Adanya persepsi bahwa perempuan
menikmati atau turut serta menjadi penyebab terjadinya tindak pidana merupakan
sikap menyalahkan korban (blaming the victim) dan akibat dari kuatnya budaya
patriarki

Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan hendaknya memiliki


derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap pria, karena setiap orang
memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Indonesia
sebagai suatu negara hukum, negara harus mengakui dan melindungi HAM setiap
individu tanpa membedakan jenis kelamin, kedudukan, dan latar belakangnya,
sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dan menempatkan
kedudukan bagi setiap orang tanpa terkecuali pada posisi yang sama dihadapan
hukum.5

Perlindungan hukum meliputi perlindungan atas hak masyarakat yang


merupakan hasil transformasi kepentingannya, sehingga dapat dihormati, dilindungi
dan dipenuhi, yang dapat dipenuhi secara efektif apabila disediakan upaya hukum
yudisial dan upaya hukum non yudisial. Upaya hukum yudisial merupakan upaya
tersebut dilakukan oleh lembaga peradilan dalam rangka penegakan hukum, dan
istilah ini juga biasa disebut dengan istilah upaya hukum korektif. Sedangkan yang
dimaksud upaya hukum non yudisial meliputi upaya hukum yang bersifat preventif.

3
Mansoir Fakih, Op Cit, hal. 12-13
4
Harjono, Perlindungan Hukum(Membangun Sebuah konsep hukum), makalah, tanpa tahun, hlm. 2.
5
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Nusa Media, Bandung,
2014, hlm. 84.

8
Dikatakan sebagai upaya hukum preventif karena perlindungan hukum ini
dilakukan dalam rangka mencegah dari kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap
hak masyarakat sebagai subyek hukum. Dalam upaya hukum preventif ini upaya yang
dilakukan dapat dengan cara memberikan peringatan, teguran atau somasi, keberatan,
sampai dengan peng-aduan. Selanjutnya mengenai hukum korektif dilakukan untuk
memberikan koreksi atas pelanggaran terhadap hak masyarakat yang dilakukan oleh
lembaga non peradilan seperti pejabat admi-nistrasi negara.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan, serta
kepastian hukum yang adil mengenai perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dengan
asumsi yang demikian maka segala tindakan diskriminasi (terutama terhadap
perempuan) sangatlah dilarang.

Diskriminasi adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia
(HAM). Dengan demikian, diskriminasi terhadap perempuan melanggar hak asasi
manusia perempuan, sehingga pemberdayaan perempuan diperlukan agar perempuan-
perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar. Negara memiliki
tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadapperempuan karena
berkembangnya praktik diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan
berbagai persoalan yang menjadi tanggung jawab negara, seperti kemiskinan,
menguatnya fundamentalisme ataupun konservatisme agama dan budaya, serta
pembatasan hak-hak perempuan baik dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang
publik untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum
perempuan tersebut.

Munculnya istilah diskriminasi terhadap perempuan tentu saja tidak terlepas


dari hadirnya gerakan feminisme. Seluruh gerakan feminis berangkat dari kesadaran
akan diskriminasi, ketidaksetaraan, ataupun ketidak adilan terhadap perempuan.
Feminisme sebagai teori perubahan sosial dan pembangunan merupa- kan gejala baru,
tepatnya ketika gerakan feminis merespon dan melakukan kritik terhadap teori
pembangunan yang berkembang pesat sekitar tahun 1976.

9
Feminist jurisprudence adalah aliran filsafat hukum yang berdasarkan pada
kepercayaan atas kesetaraan politik, ekonomi, dan sosial berbasis gender.6 Sebagai
sebuah kajian dalam ilmu hukum, feminist jurisprudence mulai eksis pada tahun
1960-an. Feminist jurisprudence memegang peran penting dalam bidang ilmu
hukum atas pemikirannya yang mempengaruhi banyak perdebatan tentang kekerasan
seksual dan domestik, ketidaksetaraan di tempat kerja, dan diskriminasi berbasis
gender. Melalui berbagai pendekatan, kaum feminis telah mengidentifikasi
komponen-komponen gender dan implikasi gender dari norma hukum dan
implementasinya yang tampak netral, sehingga menyebabkan hukum yang
mempengaruhi pekerjaan, perceraian, hak reproduksi, pemerkosaan, kekerasan
dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual semuanya telah merugikan perempuan
sepanjang sejarah kehidupan manusia, sehingga harus direkonstruksi.7

Salah satu upaya gerakan feminisme dalam rangka perlindungan hukum bagi
perempuan dari tindakan diskriminasi adalah melalui instrumen hukum. Hukum
sebagai salah satu instrumen dalam sistem hukum nasional yang merupakan produk
pemikiran manusia yang sengaja dibuat untuk melindungi korban darisemua bentuk
kejahatan. Pembentukan hukum sebagai instrumen untuk melindungi hak-hak
individu dan masyarakat sangat relevan dan terkait dengan program untuk
melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Keterkaitan tersebut sangat mendalam
dengan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia.8

Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan


Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan,
ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara, ketidaksetaraan
perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, diskriminas, dampak
psikis yang dialami korban.

Sebagai upaya melindungi perempuan dari diskriminasi menurut Konvensi


CEDAW, negara mempunyai kewajiban yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Menjamin hak perempuan melalui hukum, peraturan perundang-undangan dan


kebijakan, serta menjamin hasilnya.
6
Neeuro Tandon, 2008, Feminism: A Paradigm Shift, New Delhi, Atlantic Publishers & Distributors, hlm 123.
7
Reformasi Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan: Telaah Feminist Jurisprudence.
Jurnal Crepido, Volume 02, Nomor 01, Juli 2020, hlm.18.
8
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, hlm. 33.

10
b) Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah tindak atau aturan
khusus sementara, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yang ada.
c) Negara tidak saja menjamin, tetapi juga merealisasi hak perempuan.
d) Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto.
e) Negara tidak saja harus akuntabel dan mengaturnya di ranah publik, tetapi juga
di ranah privat (keluarga) dan sektor swasta.

Adapun komitmen MA terhadap peningkatan kesetaraan gender di peradilan


adalah representasi hakim peradilan pada unsur pimpinan pengadilan. Ketua MA
mengungkapkan seorang hakim agung perempuan pernah menduduki posisi nomor
dua di MA sebagai Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, yaitu Ibu Mariana Sutadi
dan saat ini MA memiliki 5 hakim agung perempuan.9

Terkait dengan peluang hakim perempuan menduduki jabatan pimpinan, Ketua


MA menjelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak membuat preferensi sebuah
jabatan berdasarkan jenis kelamin tertentu melainkan berdasarkan parameter objektif
melalui mekanisme fit and proper test. Hal ini merupakan salah satu bentuk
pendukung bagi kemajuan kesetaraan gender.

Upaya-upaya lain dalam konteks pembangunan struktur hukum juga dilakukan


melalui sejumlah penguatan kapasitas bagi apara’t penegak hukum melalui
pendidikan hukum yang berperspektif hak asasi manusia dan gender. Walaupun
demikian, hal ini belum sepenuhnya berhasil mengatasi kendala yang masih kental
ditemukan dalam penanganan kasus yang dialami perempuan korban. Proses
bolakbaliknya perkara antara penyidik dengan penuntut umum masih saja dialami
oleh perempuan korban kekerasan yang berupaya menempuh upaya hukum atas
kekerasan atau tindak pidana yang dialaminya. Masih kuatnya penyidik berpegang
pada adagium “satu bukti bukan bukti” seringkali menyulitkan perempuan korban,
terutama korban kekerasan seksual, untuk mendapatkan keadilan.

9
Asep Nursobah, diakses pada 3 November 2021
(https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/registry- news/1894-inilah-bukti-komitmen-ma-untuk-
meningkatkan-kesetaraan-gender-di-pengadilan)

11
2.5 Bias Gender Dalam Praktik Peradilan

Bias gender adalah perilaku yang didasari oleh stereotipe maskulinitas dan
feminitas yang akhirnya berdampak kepada keuntungan bagi pihak laki-laki dan
merugikan perempuan. Bias gender dapat juga terjadi dalam praktik peradilan, antara
lain disebabkan oleh perilaku atau keputusan yang dibuat oleh APH dalam
melaksanakan tugasnya.

Laki-Laki Sebagai Kepala Keluarga dan Pencari Nafkah, Konstruksisosial


dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari
nafkah seringkali menjadi dasar pertimbangan untuk sanksi yang lebih ringan.
Sementara dalam realitasnya ada cukup banyak perempuan yang harus menjadi
pencari nafkah utama dalam keluarga.

Menyalahkan Korban (Victim Blaming), Dalam perkara kekerasan seksual


seringkali perempuan yang menjadi korban disalahkan karena cara berpakaian,
perilaku, berada pada tempat dan waktu yang salah, atau tidak melakukan perlawanan.
Dalam perkara perceraian, perempuan sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya
perceraian, misalnya karena tidak dapat menjadi isteri yang baik, tidak dapat
mengurus dan melayani suami, atau tidak dapat memberikan keturunan.

Ketergantungan Perempuan, Konstruksi sosial dalam masyarakat


menempatkan perempuan sebagai pihak yang sangat bergantung pada laki-laki secara
ekonomi dan/atau psikis. Hal ini dapat mempengaruhi jalan keluar yangdiberikan oleh
APH, misalnya meminta PBH untuk berdamai, atau memberikan sanksi ringan untuk
pelaku.

12
2.6 Dasar Hukum

Upaya dalam rangka memberikan hak dan akses kepada keadilan terhadap
perempuan berhadapan dengan hukum belum selesai hanya dengan adanya Perma No.
3 Tahun 2017 semata. Masih banyak hal yang perlu dilakukan bukan hanya oleh
Mahkamah Agung tetapi juga berbagai pihak dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap perempuan. Ketua Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Prof.
Takdir Rahmadi menyampaikan bahwa perlunya memastikan Perma 3/2017 dapat
berjalan, pentingnya kerjasama dan koordinasi antara kementerian lembaga seperti
Kementerian Hukum dan HAM, KPPPA, Kementerian Keuangan, BaPPENAS,
kepolisian, kejaksaan agar akses keadilan terhadap perempuan dapat dicapai dan
dilaksanakan.

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjelaskan adanya


pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali.
Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara
mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang
agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan dan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sertaperlakuan
yang sama dihadapan hukum. Dengan asumsi yang demikian maka segala tindakan
diskriminasi (terutama terhadap perempuan) sangatlah dilarang.

Dengan adanya pengakuan persamaan hak warga negara, berarti antara laki- laki
dengan perempuan tidak ada perbedaan. Diakuinya prinsip persamaan di hadapan
hukum dan pemerintahan di dalam UUD menunjukkan para pendiri negara Indonesia,
sebelum mendirikan negara, sadar betul tentang arti pentingnya perlindungan terhadap
hak asasi manusia itu.

10
Lihat misalnya Lisa Wulansari (editor), 2009, Buku Referensi Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan
terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta: Komnas Perempuan, hlm. 66-91.

13
Secara yuridis, dalam tataran internasional maupun nasional, Instrumen hukum
dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui tentang adanya prinsip
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam tataran implementasi
penyelenggaraan negara, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
Kaum perempuan selalu tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang ekonomi,
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun dalam bidang politik.

Konsep hukum yang berkeadilan bagi perempuan, bahwa hukum harus


menjamin perempuan untuk berhak hidup bermartabat dan bebas tanpa rasa takut,
yang dapat terwujud dengan menerapkan tipe hukum responsif, karena tipe hukum
responsif mengakui adanya pluralisme hukum. Salah satu dampak pluralisme hukum
adalah luasnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam proses
pembuatan hukum. Upaya mewujudkan partisipasi perempuan dalam pembuatan
hukum dilakukan dengan menerapkan konsep pemberdayaan perempuan (women
empowerment). Pemberdayaan lebih dari sekedar persoalan partisipasi tetapi juga
mencakup bahwa perempuan merasa mampu dan berhak untuk membuat keputusan
hukum secara pribadi. Pemberdayaan perempuan mencakup 3 (tiga) dimensi, yaitu
dimensi pribadi, dimensi rasional, dan dimensi kolektif. Urgensi pemberdayaan
perempuan dalam proses pembuatan hukum adalah hukum yang dihasilkan akan lebih
efektif dan istimewa, karena perempuan lebih memahami dirinya sendiri serta
hubungannya dengan lingkungan sosial.11

11
Aga Natalis.2020. “Reformasi Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan: Telaah
Feminist Jurisprudence” Jurnal Crepido, Volume 02, Nomor 01, Juli 2020, hlm.21.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi HAM wajib


memeberikan perlindungan terhadap kaum perempuan. Perlindungan terhadap
perempuan sangatlah penting karena selama ini kaum perempuan sering mendapatkan
perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif bahkan sering kali juga kaum perempuan
mendapatkan kekerasan baik secara fisik, mental maupun seksual.

Dalam rangka perlindungan hukum bagi perempuan tersebut oleh gerakan


feminisme adalah melalui instrument hukum. Bentuk perlindungan hukum bagi
perempuan yang berhadapan dengan hukum belum dapat terimplementasikan dengan
baik, karena pada kenyataanya masih banyak perempuan di Indonesia yangberhadapan
dengan hukum sangat sulit mendapat perlakuan keadilan meskipun di Indonesia sendiri
telah menerbitkan perangkat hukum nasional dan perangkat hukum internasional
seperti, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

3.2 Saran

Diharapkan agar pemerintah beserta aparat hukum dalam memangani


permasalahan mengenai kesetaraan gender tersebut dilaksanakan dengan sebenar-
benarnya, seadil-adilnya demi melindungi derajat dan martabat perempuan. Karena
gender (perempuan) tidak bisa dan tidak adil jika menjadi acuan atas dasar diskriminasi
yang menimpa kaum perempuan. Dan perempuanpun berhak mendapatkan keadilan
atas derita yang didapatkannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (1993). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Handayani, SH., MH, D. A. (n.d.). Mewujudkan Keadilan Gender Melalui Perlindungan
Hukum Terhadap Perempuan. Jurnal Rechtstaat Nieuw Vol.1 No.1, 20-28.
Hartanti, E. (2008). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
I Putu Gede Arya Ery Pratama, D. P., & Purwanti, N. K. (2014). Perjanjian Alih
TeknologiDalam Perusahaan PT. Samsung Dalam Pengembangan Penanam Modal
(Studi Kasus di PT. Samsung Denpasar - Bali). Jurnal Kertha Semaya Vol. 02 No.5,,
6.
Ilmar, A. (2017). Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Kairupan, D. (2014). Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Korupsi, T. P. (2011). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Bagian Hukum Kepegawaian.
Mamudji, S. S. (2009). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Natalis, A. (2020). Reformasi Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Bagi
Perempuan; Telaah Feminist Jurisprudence. Jurnal Crepido Vol 02 Nomor 01, 13-21.
Nations, U. (2004). The Global Program Against Corruption : United Nations Anti-
Corruption Toolkit. Vienna: UNODC.
Ninik, R. (2012). Kesetaraan Gender Dalam Aturan Hukum dan Implementasi di Indonesia
Gender Equality In The Rule Of Law In Indonesian and Implementation. Jurnal
Legislasi Indonesia Vol 9, No 1 .
Saidin, O. (2004). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Supasti Dharmawan, d. (2017). Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta:
Deepublish.
Tjitrosoedibio, S. d. (1973). Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Utomo, T. S. (2010). Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.

16

Anda mungkin juga menyukai