Anda di halaman 1dari 12

Metode ijtihad hukum Dewan

Hisbah

Oleh: Misbah Hussudur


Mengenal Dewan Hisbah
PERSIS memiliki lembaga fatwa yang bernama Dewan Hisbah PERSIS, yang sebelumnya bernama Majlis
ulama PERSIS. Majlis ulama PERSIS secara resmi berdiri setelah melalui muktamar PERSIS keenam di Bandung
tanggal 15-18 Desember 1956. Dewan Hisbah merupakan lembaga hukum yang dimiliki PERSIS. Pada periode
kepemimpinan Isa Anshary (1948-1960), lembaga ini disebut dengan Lembaga Majelis Ulama. Keberadaan PERSIS
dikenal luas sejak awal justru karena keberadaan lembaga hukumnya yang telah lahir secara informal sebelum
dideklarasikannya PERSIS.
Salah satu fungsi utama Dewan Hisbah PERSIS adalah melakukan pengkajian hukum Islam, dengan tetap
berpegang pada semangat untuk melahirkan pemikiranpemikiran hukum dan aspek-aspek keagamaan lainnya, yang
sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun demikian perlu diketahui bahwa paradigma kembali pada
ajaran al-Qur’an dan alSunnah bukan semata-mata milik Hisbah PERSIS, dan juga tidak hanya dikemukakan oleh
tokoh-tokoh orgnasisasi keagamaan tersebut, tetapi juga dipegang teguh oleh Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU,
dan para ulama fiqh adab ke II hijriyah, dan mereka masing-masing memiliki metode kajian sumber ajaran tersebut
(Rosyada, 1993: 136).
Sejarah Singkat Dewan Hisbah
Semula, institusi fatwa ini tidak bernama Dewan Hisbah, tetapi bernama Majlis Ulama Persis (Majlis Ulama Persatuan Islam berdiri melalui
Muktamar PERSIS ke VI tanggal 15-18 Desember 1956 di Bandung), namun dikemudian hari, lembaga ini dirubah namanya menjadi Dewan
Hisbah. Perubahan ini terkait dengan kondisi internal dan eksternal Persatuan Islam sebagai ormas Islam dalam perjalanan sejarahnya. Perubahan
nama ini dilakukan merupakan hasil keputusan Muktamar ke VIII Persis tahun 1967 di Bangil Jawa Timur.
Majlis Ulama untuk pertama kalinya dipimpin oleh A. Hasan. Setelah berganti nama dengan Dewan Hisbah, maka yang memimpin adalah Abdul
Qadir Hasan karena waktu itu A. Hasan telah wafat. Kemudian karena Abdul Qadir Hasan mengajukan pengunduran diri karena alasan kesehatan,
maka digantikan oleh K.H. Abdurrahman. Setelah wafatnya Abdurrahman, jabatan ketua Dewan Hisbah dijabat oleh K.H. Abdullah. Pada
Muktamar ke 10 di Garut Jawa Barat K.H. Abdullah diganti oleh K.H.E. Sar’an (PP. PERSIS, 1990: 6).
Penggantian nama tersebut di atas tentu diharapkan lebih memaksimalkan peran dan fungsi lembaga fatwa itu bagi organisasi dalam menjalankan
fungsinya. Dengan cara demikian, fungsi ulama yang sebelumnya hanya melakukan, pembahasan, pengkajian serta melahirkan pemikiran
keagamaan, diperluas dengan melakukan kontrol terutama terhadap fungsionaris PP Persis berserta anggota jam’iyahnya di samping menjawab
persoalan-persoalan keagamaan yang berkembang.
Lembaga Dewan Hisbah adalah salah satu lembaga dalam Jam’iyah PERSIS yang merupakan salah satu realisasi dari pasal 36 Qanun Dakhili.
Berdasarkan Qanun itu, Dewan Hisbah merupakan dewan pertimbangan dan pengkaji hal-hal yang berhubungan dengan syar’iyah yang dibentuk
oleh pusat pimpinan. Kedudukan Dewan Hisbah dalam PERSIS sangat strategis oleh karena di dalamnya berkumpul ulama-ulama sebagai warats
al-ambiya, oleh karena itu, Dewan Hisbah mi menjadi penyangga keberlangsungan PERSIS sebagai organisasi Islam modernis.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan rumusan tugas Dewan Hisbah seperti dirumuskan dalam Qanun Asasi: (1) Meneliti hukum-hukum Islam. (2)
Menyusun petunjuk pelaksanakaan ibadah bagi anggota jam’iyah. (3) Mengawasi pelaksaan hukum Islam. (4) memberikan teguran kepada anggota
Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran hukum melalui Pimpinan Pusat (ibid: 181).
Mekanisme Ijtihad di Kalangan PERSIS Menempuh Cara
seperti para Sahabat dan para Imam Madzhab Mujtahidin,
Pengambilan Istinbath Hukumnya sebagai berikut:
Jika tidak terdapat dalam dalil Al Qur'an
dan Sunnah atau atsar sahabat,
Bila tidak terdapat dalma dalil Al Qur'an,
metode qiyas, istihsan, dan maslahah
keterangan atau dalil dari Sunnah dicari. Bila
al-mursalah digunakan dalam masalah-
terdapat pendapat diadakan penelitian hadist,
masalah sosial.
baik dari segi sanad maupun matan, sebagai
langkah untuk melakukan pentarjihan.

Jika tidak terdapat juga dalilnya dalam Sunnah,


atsar sahabat dicari dengan cara yang sama pada
Mencari keterangan dari Al-Qur'an, termasuk meneliti butir kedua, tetapi dengan penekanan tidak
tafsir bi al ma 'tsur dan tafsir bi al-mauqul al-mahmud. berlawanan dengan Al Qur'an dan Sunnah yang
Bila terdapat perbedaan dan penafsiran, peneliti secara shahih, termasuk dalam ijma' sahabat.
sungguh-sungguh segera diberlakukan. Kalau perlu
diadakan al-tarjih thariqat al-jam'i.
ASAS UTAMA ADALAH AL-QUR’AN DAN AL-SUNNAH
SEBAGAI SUMBER HUKUM
Rumusan dalam beristidlal dengan al-Qur’an:

Mendahulukan makna zhahir al-


Menerima dan meyakini isi
Qur'an daripada ta'wil dan
0 Brainstorm.
memilih cara-cara tafwid dalam
hal-hal yang menyangkut
0 Sales.
kandungan al-Qur’an
sekalipun tampaknya

1 masalah I'tiqadiyah (akidah).


2 bertentangan dengan ‘aqly
dan ‘adiy.

Manageme
0 Mendahulukan makna haqiqi
nt.
daripada makna kecuali jika 0 Apabila ada ayat al-Qur'an yang
Idea.
bertentangan dengan hadist bila tidak
ada alasan (majazi qarinah).
3 4 ditemukan jalan untuk di jama’ maka
didahulukan ayat al-Qur'an.
Menerima tafsir para sahabat

0 Menerima adanya nasikh dalam


Brainstorm.
al-Qur'an tetapi tidak menerima
adanya ayat-ayat yang
0 dalam memahami ayat-ayat al-
Sales.
Qur'an dan mengambil
penafsiran sahabat yang lebih
5 mansukh. 6 ahli jika perbedaan penafsiran
para sahabat.

Manageme Dalam menafsirkan al-Qur’an


0 Mengutamkan tafsir bi al-
nt.
Ma'tsur daripada bi ar-Ra'yi 0 Idea.
lebih mendahulukan mantuq
daripada mafhum serta
(akal/logika).
7 8 menggunakan kaidah usuliyyah
lugawiyyah dan kaidah fiqhiyyah.
Dalam beristidlal dengan
hadist:
a. Menggunakan hadist shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
b. Menerima kaidah: »‫( «األحاديث الضعيفة يقوى بعضها بعضا‬hadis-hadis da’if satu sama lain adalah saling menguatkan), jika kedha'ifan hadist
tersebut dari segi dabt (karena su’ul hifzi dan mukhtalit) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an atau Hadits lain yang shahih.
c. Menerima kaidah: »‫( «األحاديث الضعيف يعمل في فضائل‬hadis da’if dapat diamalkan daam hal keutamaan amal), karena keutamaan amal
juga termasuk sendi-sendi agama yang harus berdasarkan hadis sahih.
d. Menerima hadits shahih sebagai tasyri yang mandiri, sekalipun bukan merupakan bayan al-Qur'an.
e. Menerima hadits Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas hadits tersebut shahih atau hasan.
f. Hadis Mursal Sahabiy dan Mauquf bi Hukmi al-Marfu’ yang dipakai sebagai hujah selama sanad hadis tersebut sahih atau hasan
dan tidak bertentangan dengan hadis sahih yang lainnya.
g. Hadis Mursal Tabi’iy dijadikan hujah apabila hadis tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ittisal-nya hadis tersebut.
h. Menerima hadis-hadis sebagai bayan terhadap al-Qur’an.
i. Menerima kaidah »‫( «الصحابة كلهم عدول‬sahabat-sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam semuanya dinilai ‘adil “dalam periwayatan
hadis”)
j. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu jelas sighat
tahammulnya menunjukkan ittisal.
k. Menerima kaidah »‫( «الجرح مقدم على التعديل‬anggapan jarh ‘cacat seorang perawi’ harus didahulukan daripada anggapan ‘adil/siqat)
dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Jika yang menjarh menjelaskan jarhnya, maka didahulukan jarh dari ta’dil. (b) Jika yang
menjarh tidak menjelaskan sebab jarhnya maka didahulukan ta’dil. (c) Bila yang menjarh tidak menjelaskan sebab jarhnya tetapi
tidak seorangpun yang menyatakan ta’dil, maka jarhnya bisa diterima.

7
Asas kedua selain dengan al-Qur’an
dan al-Sunnah

Melakukan ijtihad dengan mempertimbangkan Qiyas dan Ijma’, sedang sumber hukum
Islam yang masih diperselisihkan adalah Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, Sadd al-
Dzari’ah,syar’u man qablana, qaul sahabiy dan ‘urf dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
1. Tidak menerima ijma’ secara mutlak kecuali ijma’ sahabat.
2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdah, dan menerima qiyas dalam masalah ibadah
gair mahdah selama memenuhi persyaratan qiyas.
3. Menerima qaidah-qaidah, maslahah mursalah, Istishab, Sadd al-Dzari’ah, syar’u man qablana,
qaul sahabiy dan ‘urf.
 Ijma' ialah bersatunya sahabat Nabi Muhammad Saw. catau bersatunya sebagian dari mereka dengan tidak mendapat teguran
dari sebagian yang lain, pada mewajibkan/melarang suatu perkara yang tak ada hukumnya dalam Qur'an atau hadis, maupun
dalam urusan ibadah ataupun keduniaan. Atau bersatunya sebagian Ulama pada mewajibkan/melarang suatu urusan keduniaan
yang tidak ada hukumnya dalam Qur'an atau hadis.
 Qiyas : ialah cara memahami keterangan Al-Qur'an atau hadis dengan mengacukan hukum pada illah-nya, kepada sebabnya.
 Maslahah Mursalah ialah jika ada sesuatu yang memberikan mashlahat untuk umum, cocok dengan pertimbangan akal dan
kebutuhan, tetapi tidak terdapat dasar hukum yang pasti, maka perbuatan tersebut dapat diamalkan dan disebut Mashlahah
Mursalah.
 Istihsan : ialah seorang mujtahid berpaling dari tuntutan qiyas jaliy kepada qiyas khafiy, atau dari hukum kulliy kepada hukum
istisna'i (pengecualian) karena suatu dalil yang berkesan pada nalarnya dapat menguatkan hal berpaling ini.
 Istishab : ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.
 Sadd Al-Zari'ah ialah sumber syariat yang diamalkan dan digunakan untuk membantu mengetahui hukum-hukum dan meng
Istibath-nya.
 Syar'u Man Qablana : ialah apa yang menerima penghapusan berupa bagian-bagian amaliah agama dan apa yang ada pada
syariat-syariat para nabi sebelumnya.
 Qaul Sahabi: ialah apa yang ternukil dari sahabat Nabi Saw. berupa perkara yang telah ditetapkan dalam fatwa atau
keputusannya tentang suatu kejadian syar'i yang tidak ada nas dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
 Al-'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun meninggalkan suatu perbuatan.
Sikap Dewan Hisbah tentang Bid’ah Dan Madzhab

1. Dewan Hisbah lebih memilih meninggalkan sesuatu yang


dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah daripada
mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.
2. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab.
Pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dan
masukan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang
sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah.
Daftar Pustaka
Abdul Basith, Gungun. Perubahan Fatwa Hukum: Analisis Terhadap Istinbath Hukum Dewan Hisbah
Persatuan Islam. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial.
Dewan Hisbah Persatuan Islam. 2018. Turuq Al-Istinbath (Metodologi Pengambilan Hukum). Bangil:
Persis Pers.
Kamiluddin, Uyun. 1999. Menyorot Ijtihad PERSIS, Fungsidan Peranan Pembinaan Hukum Islam Di
Indonesia. Bandung: Tafakur.
Rosyadi, Imran. 2007. Metode Penetapan Hukum Dewan Hisbah Persis. Jurnal Suhuf. Vol. 19, No. 2.
Tasliyah, Nihayatut. 2018. Dewan Hisbah Sebagai Lembaga Otoritas Keagamaan PERSIS. Jurnal
Istidlal. Vol. 2, No. 1.
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai