0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
5 tayangan2 halaman
Ahmadiyah mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1918 melalui majalah dan 1920 oleh Prof. Maulana H. Kwadja Kamaluddin. Pada 1924, dua muballig Ahmadiyah datang ke Yogyakarta dan disambut oleh Muhammadiyah. Hubungan Ahmadiyah dan Muhammadiyah mulai renggang pada 1926 setelah penyimpangan Ahmadiyah diungkapkan.
Ahmadiyah mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1918 melalui majalah dan 1920 oleh Prof. Maulana H. Kwadja Kamaluddin. Pada 1924, dua muballig Ahmadiyah datang ke Yogyakarta dan disambut oleh Muhammadiyah. Hubungan Ahmadiyah dan Muhammadiyah mulai renggang pada 1926 setelah penyimpangan Ahmadiyah diungkapkan.
Ahmadiyah mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1918 melalui majalah dan 1920 oleh Prof. Maulana H. Kwadja Kamaluddin. Pada 1924, dua muballig Ahmadiyah datang ke Yogyakarta dan disambut oleh Muhammadiyah. Hubungan Ahmadiyah dan Muhammadiyah mulai renggang pada 1926 setelah penyimpangan Ahmadiyah diungkapkan.
Ahmadiyah mulai dikenal sejak tahun 1918 melalui majalah
Islamic Review edisi Melayu
yang terbit di Singapura. Akan tetapi Ahmadiyah baru diperkenalkan secara langsung oleh tokohnya sendiri pada tahun 1920. Tokoh tersebut bernama Prof. Maulana H. Kwadja Kamaluddin, seorang tokoh Ahmadiyah Lahore sekaligus seorang Ahmadi yang membawa misi Islam di London dan Eropa, serta redaktur surat kabar Islam Review yang menerbitkan artikel- artikel tentang agama Islam dan juga merupakan Imam Masjid Woking, Surrey, London . Ia datang ke Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1920 untuk berobat sekaligus melihat keadaan di Surabaya. Pada tahun 1924, Ahmadiyah Lahore mulai dikenal di Yogyakarta, dikarenakan kedatangan dua orang muballig Ahmadiyah langsung dari Hindustan, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig secara tiba-tiba dan tidak jelas siapa yang mengundang keduanya. Menurut Muhammadiyah, Wali Ahmad Baig mengungkapkan bahwa sebenarnya ia ingin ke Manila, namun karena tidak ada biaya hidup yang cukup, terpaksa ia tinggal di Indonesia. Namun sumber lain mengungkapkan bahwa keduanya sebenarnya berniat ke Cina dan hanya singgah di Indonesia. Tetapi setelah mendengar berita mengenai penyiaran agama Kristen di Jawa yang sangat kuat dan sukses, baik ketika mereka berada di Singapura maupun di Jawa, mereka membatalkan niatnya untuk ke Cina dan tetap tinggal di Jawa, dan mereka melaporkan perubahan rencana ini kepada Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore (Shadr Anjuman Isyati Islam) di India, serta meminta agar dikirimkan muballig lain ke Cina. Kedatangan mereka awalnya disambut baik dan dibantu oleh organisasi Muhammadiyah. Hal ini terbukti dengan tinggalnya Wali Ahmad Baig di rumah Haji Hilal di Kauman, tempat kelahiran Muhammadiyah dan pusat aktivitas Islam di Yogyakarta. Selain itu, Pengurus Besar Muhammadiyah sendiri juga menyambut mereka dalam kongresnya yang diadakan pada tahun 1924. Pada kongres tersebut Maulana Ahmad memperoleh kehormatan memberikan sambutan dalam bahasa Arab, sementara wali Ahmad Baig memberi sambutan dalam bahasa Inggris, karena kurang fasih berbahasa Arab. Pada tahun 1926, hubungan Ahmadiyah dengan Muhammadiyah mulai renggang, setelah mereka mengetahui adanya penyimpangan terhadap sunnah, yang terdapat pada doktrin-doktrin yang dibawa oleh Ahmadiyah Lahore. Sumber lain mengatakan bahwa perubahan sikap tersebut terjadi ketika pada tahun 1927, seorang ulama dari India yang sebenarnya belum jelas asal-usulnya maupun karya-karyanya, yaitu Abdul Alim al-Siddiqi, datang untuk bertemu tokoh-tokoh Islam, dan ketika memberi pengajian umum, ia secara gamblang menjelaskan penyimpangan-penyimpangan Ahmadiyah. Dan hal inilah yang membuat tokoh-tokoh Muhammadiyah berbalik membenci Ahmadiyah. Akhirnya mereka mengundang Wali Ahmad Baig untuk membicarakan masalah ini, dan setelah itu Wali Ahmad Baig pindah ke Purwokerto.