Anda di halaman 1dari 36

BAB IV

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PROFESIONALISME GURU

4.1 Profesi Guru sebagai Panggilan Jiwa


Berbagai teori yang dikemukakan ahli manajemen sumberdaya
manusia, menyatakan orang yang secara sadar dan bebas memilih profesi
tertentu berhak disebut sebagai manusia profesional (Hans, 2006). Lebih lanjut
Hans (2006) menyatakan “Sebenarnya semua orang mempunyai darma,
panggilan dan kewajiban suci dalam hidup ini, baik sebagai anggota keluarga,
warga negara, warga dunia, dan hamba Allah”. Secara subyektif, rasa
terpanggil datang dari hati sebagai tanggapan atas panggilan Tuhan,
panggilan Ibu Pertiwi, bangsa dan negara, atau panggilan dari situasi khusus,
misalnya kedamaian, kekeluargaan, keadilan, kemanusiaan atau kebenaran.
Menurut Filsuf Kant (Danim, 2002), kesadaran akan darma ini disebutnya
sebagai kesadaran moral yang pada gilirannya melahirkan kehendak Kant
itulah kebaikan tertinggi, budi paling luhur yang diterjemahkannya sebagai
tugas paling suci.
Pemahaman dan penghayatan bahwa profesi adalah panggilan suci,
sekaligus menjadikan bukti bahwa manusia memang merupakan mahluk
sosial, yang oleh karena kesadaran moralnya mampu memberi tanggapan
dinamis atas fakta moral dari luar dirinya dalam bentuk panggilan jiwa untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut. Seterusnya Hans (2006) menyatakan
bahwa apabila rasa terpanggil itu cukup kuat, orang akan bekerja dengan
motivasi kuat, yaitu motivasi superior yang unggul dibandingkan dengan
motivasi yang cuma sebatas mencari uang saja. Ia akan menghayati
pekerjaan tersebut sebagai tugas suci dengan misi yang bersifat transkenden.
Berkaitan dengan profesionalisme ini ada dua pokok yang menarik
perhatian dari keterangan Encyclopedia-nya Parsons mengenai
profesionalisme itu. Pertama, manusia profesional tidak dapat digolongkan

55
sebagai kelompok kapitalis atau kelompok kaum buruh. Juga tidak dapat
dimasukkan sebagai kelompok administrator atau birokrat. Kedua, manusia
profesional adalah kelompok tersendiri yang bertugas memutar roda
organisasi, dengan leadership status. Jelasnya manusia profesional
merupakan lapisan kepemimpinan dalam memutar roda organisasi itu.
Kepemimpinan di segala tingkat, mulai dari tingkat atas melalui pemimpin
menengah sampai kepada pemimpin tingkat bawah.
Dalam perkembangan, profesionalisme mengandung beberapa
unsur, yaitu unsur keahlian dan unsur panggilan, unsur kecakapan teknik dan
kematangan etik, unsur akal dan moral. Kesemua itu merupakan kebulatan
dari unsur kepemimpinan. Jadi, jika berbicara tentang profesionalisme tidak
dapat dilepaskan dari masalah kepemimpinan dalam arti luas (Purwanto,
2002).
Kemampuan dan pengalaman merupakan guru yang terbaik. Tanpa
kesanggupan untuk menarik pelajaran dari pengalamannya, seseorang tidak
akan mengalami proses kemajuan dan pematangan dalam pekerjaan. Orang
yang sudah puas dengan perolehan tanda lulus atau gelar sarjana dan tidak
meneruskan proses belajarnya, akan mengalami kemunduran dalam dunia
yang dinamis ini dan akan tertinggal dari yang lain. Anggapan yang
menyatakan profesionalisme dapat diharapkan muncul sekedar anjuran,
adalah tidak benar. Untuk itu perlu dikemukakan beberapa ciri profesionalisme
sebagai berikut:
1) Menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil (perfect results),
sehingga dituntut untuk selalu mencari peningkatan mutu.
2) Memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang hanya dapat
diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan.
3) Menuntut ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tak mudah puas atau
putus asa sampai hasil tercapai.
4) Memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyahkan oleh keadaan
terpaksa atau godaan iman seperti harta dan kenikmatan hidup.
5) Memerlukan adanya kebulatan pikiran dan perbuatan, sehingga terjaga
efektifitas kerja yang tinggi (Whitty, 2006).

56
Menurut Stoltz (2005) “manusia profesional bagaikan seorang
pendaki gunung (climber)”. Lebih lanjut Stoltz (2005) menyatakan bahwa
seorang pendaki gunung selalu menganggap bahwa sukses itu berada di
puncak gunung, yang untuk mencapainya dibutuhkan kerja keras, perjuangan,
motivasi, dan tidak mudah menyerah. Selain itu pendaki gunung seumur
hidupnya membaktikan diri pada pendakian, tanpa menghiraukan latar
belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Seorang
climber memikirkan kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis
kelamin, ras, cacat fisik atau mental, dan hambatan lain dalam menghadapi
pendakiannya.
Dengan prinsip seperti inilah, maka seseorang mampu mencapai
kesuksesan, Faqi (2005) menawar 10 kunci yang dilakukan untuk mencapai
sukses, yaitu: 1) motivasi sebagai penggerak utama, 2) sumberdaya diri, 3)
keahlian, 4) perencanaan untuk menuju jalan kesuksesan, 5) tindakan sebagai
jalan menuju kekuatan, 6) proyeksi menuju jalan kenyataan, 7) komitmen, 8)
fleksibelitas, 9) kesabaran, dan 10) kedisiplinan. Disamping itu untuk
mencapai sukses diperlukan etos kerja untuk menjadi seorang yang
profesional.
Hans (2006) menyatakan ada delapan etos kerja keprofesionalan
yang berfungsi sebagai navigator menuju kesuksesan. Kedelapan etos kerja
profesional tersebut berupa anggapan kerja adalah: 1) rahmat, 2) amanah, 3)
panggilan, 4) aktualisasi, 5) ibadah, 6) seni, 7) kehormatan, 8) pelayanan.
Kegiatan pengembangan sumberdaya guru dilakukan dalam bentuk
pendidikan dan latihan yang kegiatannya merupakan suatu siklus yang harus
dilakukan secara terus-menerus. Hal ini dilakukan karena organisasi
pendidikan terus berkembang sebagai salah satu bentuk antisipasi perubahan
yang terjadi di luar pendidikan tinggi. Oleh karena itu seperti dikatakan oleh
Sudarmayanti (2001) kemampuan sumberdaya guru yang dimiliki organisasi
terus-menerus ditingkatkan seirama dengan kemajuan dan perkembangan
pendidikan tinggi.

57
Pengembangan profesional guru di sekolah berhubungan dengan
produktivitas kerjanya yang berprinsip bahwa “Kerja hari ini harus lebih baik
dari kemarin dan hasil hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Sikap seperti ini
akan mendorong seorang guru menjadi lebih dinamis, kreatif, inovatif, dan
terbuka serta kritis dalam mencari perbaikan dan peningkatan mutu.
Produktivitas kerja yang tinggi ditentukan oleh unjuk kerja atau prestasi kerja
yang tinggi. Sedangkan unjuk kerja sangat tergantung pada motivasi kerja dan
proses manajemen yang ditentukan oleh kondisi sosial, iklim kerja, dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Robbins (2001) menjelaskan bahwa “an organization is productive if it
achieves its goals, and does so by tranferring inputs to outputs at the lowest
cost. As such, productivity implies a concern for both effectiveness and
efficiency”. Berdasarkan pendapat tersebut produktivitas organisasi harus
menekankan pada efektifitas dan efisiensi. Kedua hal tersebut sangat
ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia yang berkualitas. Saat ini
telah berkembang kesadaran bahwa sumberdaya manusia bukan sematamata
sebagai alat yang menghasilkan jasa produksi, tetapi dipandang sebagai aset
organisasi yang harus selalu ditingkatkan kualitasnya melalui upaya
menciptakan lingkungan kerja yang kondusif yang dapat menghasilkan
prestasi.
Mengacu kepada kunci kesuksesan dan etos kerja profesional, maka
ada beberapa faktor yang diperkirakan dapat membentuk seorang guru
menjadi profesional. Dari deskripsi teori yang telah dikemukakan di atas,
variabel yang turut mempengaruhi derajat profesionalisme bagi seseorang
yang menjalani profesi guru, adalah: 1) panggilan jiwa yang
diimplementasikan dalam bentuk pengabdian, 2) keinginan belajar untuk
mengembangkan diri, 3) motivasi berprestasi, 4) kepakaran dalam bidang
pengabdian masyarakat, 5) kemandirian dalam menjalani profesi, 6)
penguasaan ICT, dan 7) kepemimpinan sekolah. Dari variabel tersebut, maka
guru profesional akan memberikan dampak kepada peningkatan mutu hasil
belajar siswa.

58
4.2 Panggilan Jiwa untuk Memasuki Profesi Guru
Panggilan Jiwa diartikan sebagai keinginan seseorang memasuki
sebuah profesi yang sudah pasti dilatarbelakangi oleh panggilan jiwa terhadap
profesi tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Covey (2005) ada delapan
kebiasaan manusia yang sangat efektif, yang salah satu diantaranya adalah
menemukan suara panggilan jiwa dan mengilhami orang lain untuk
menemukan suara kemerdekaan jiwanya.
Menurut Tirtamihardja dan Sulo (2000) panggilan jiwa sering disebut
dengan istilah lain seperti kata hati (conscience of man) atau hati nurani, lubuk
hati, suara hati, pelita hati, dan lain sebagainya. Conscience atau kata hati
adalah pengertian yang mengikutsertakan atau pengertian yang mengikuti
perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang
akan, yang sedang dan yang telah diperbuatnya, bahkan mengerti juga akibat
dari perbuatannya sebagai manusia untuk manusia lainnya. Dengan sebutan
pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah
kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik dan
buruknya perbuatan sebagai manusia. More (Sutisna, 1991) menyatakan
seorang profesional terikat oleh panggilan hidup dan dalam hal ini
memperlakukan pekerjaan sebagai perangkat norma kepatuhan dan perilaku.
Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan panggilan jiwa adalah keinginan yang tinggi dalam diri seseorang
untuk memilih salah satu profesi yang disenanginya. Panggilan jiwa semata
ditujukan kepada tuntutan hati nurani terhadap satu perbuatan yang dianggap
baik.
Selanjutnya dibahas karakteristik panggilan jiwa. Faktor utama yang
membuat seseorang menjadi profesional adalah panggilan jiwanya untuk
mengabdi pada profesi yang dipilih. Seperti dikatakan de Mello (1991) bahwa
tiap orang terlahir ke dunia dengan panggilan yang spesifik. Panggilan hidup
itu dijalani tiap orang terutama melalui pekerjaannya. Jadi pekerjaan
merupakan panggilan yang kita penuhi untuk menjawab suara Sang
Pemanggil Agung. Jika orang mengingkari panggilannya ia akan gagal, bukan
karena ia dihambat untuk sukses, tetapi mustahil orang sukses di bidang yang

59
bukan panggilannya. Sebaliknya, orang akan berhasil ketika ia menemukan
dan melaksanakan panggilan jiwanya. Alasannya, tiap orang pasti dilengkapi
dengan potensi dan kemampuan untuk melakukan panggilan itu.
Menurut Hans (2006) sebenarnya kita semua mempunyai darma,
panggilan, dan kewajiban suci dalam hidup ini, baik sebagai anggota keluarga,
warga organisasi, warga negara, warga dunia, atau hamba Allah. Sehingga,
seseorang yang memilih pekerjaan sebagai guru, harus dilandasi oleh
panggilan untuk mendarma baktikan segenap kemampuannya pada dunia
pendidikan. Dengan landasan panggilan jiwanya inilah seseorang akan sukses
menjalankan tugas profesinya sebagai guru.
Anoraga dan Suyati (1995) menyatakan orang yang memiliki
panggilan jiwa biasanya dilandasi bakat dalam dirinya. Karena bakat
merupakan unsur yang paling penting dalam mencapai kesuksesan bekerja.
Bagaimana seorang dapat bekerja dengan baik kalau pada dirinya tidak
memiliki bakat (talent) sama sekali terhadap apa yang dikerjakannya. Namun
bakat bawaan bukanlah kunci untuk penguasaan karena bakat perlu diasah
untuk pengembangan lebih lanjut. Tidak sedikit orang yang memiliki bakat
tetapi tidak menghasilkan apa-apa dari bakat tersebut.
Selain itu guru yang dilandasi oleh panggilan jiwa yang memiliki
unsur pengabdian. Hal ini bermakna bahwa memilih profesi guru bukan untuk
mencari keuntungan pribadi. Sebagaimana dinyatakan Sofiah (2004), “Suatu
profesi bukan bermaksud untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, baik
dalam arti ekonomi maupun dalam arti psikis, tetapi untuk mengabdi pada
masyarakat”. Seseorang yang memiliki panggilan jiwa disertai dengan
komitmen yang tinggi dalam menjalani profesinya. Sahertian (2000)
menyatakan seorang yang memiliki komitmen akan sanggup bekerja keras.
Dari konsep-konsep yang dikemukakan di atas, disimpulkan
beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi panggilan jiwa seseorang.
Menurut Covey (2005) beberapa komponen yang menjadi faktor yang
berpengaruh pada panggilan jiwa seseorang yaitu (1) bakat, (2) gairah, (3)
kebutuhan, dan (4) hati nurani. Sedangkan Tirtamihardja dan Sulo (2000)
menyatakan panggilan jiwa itu ditentukan oleh: (1) kemampuan seseorang

60
untuk memilih yang baik atau buruk, (2) kecerdasan akal budi, dan (3)
kepekaan emosi. Semua ini terangkum dalam satu perbuatan yang disebut
moral.
Jabatan guru merupakan pekerjaan yang sudah mendapat
pengakuan penuh sebagai sebuah profesi. Menurut Sikun Pribadi dalam
Soetjipto dan Kosasi (1999) yang dimaksud dengan profesi adalah suatu
pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan
dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang
tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Masuk ke suatu
profesi bukan bermaksud mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, baik dalam
arti ekonomis, maupun dalam arti psikis, tetapi untuk pengabdian kepada
kepentingan masyarakat. Hal ini menurut Supriyadi (1999) “Profesi tidak boleh
sampai merugikan, merusak, atau menimbulkan malapetaka bagi orang lain
dan bagi masyarakat. Sebaliknya, profesi itu harus berusaha menimbulkan
kebaikan, keberuntungan, dan kesempurnaan serta kesejahteraan bagi
masyarakat.”
Menurut Ndraha (1999) bagi orang yang memiliki kemampuan
bekerja keras akan selalu menganggap bekerja adalah:
1) Kesenangan, hobi yang berkaitan dengan leisure sampai pada
sumberdaya yang workaholic.
2) Gengsi atau prestise yang berhubungan dengan status sosial dan
jabatan. Jabatan struktural jauh lebih diidamkan daripada jabatan
fungsional.
3) Panggilan jiwa yang berhubungan dengan bakat. Dari sini timbul
profesionalisme dan pengabdian kepada pekerjaan.
4) Pengabdian kepada antar sesama yang dilaksanakan dengan tulus dan
tanpa pamrih.
5) Pernyataan syukur atas kehidupan di dunia ini; bekerja dilakukan
seakan-akan kepada dan dari kemuliaan Tuhan dan bukan kepada
manusia; oleh karena itu orang bekerja penuh antusias.
6) Bekerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa,
kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan.

61
Lebih lanjut Purwanto (2002) menyatakan pengabdian diri berarti lebih
mengutamakan kepentingan orang banyak. Misalnya, profesi dalam bidang
hukum adalah untuk kepentingan kliennya bila berhadapan dengan
pengadilan, profesi kedokteran adalah untuk kepentingan pasien agar cepat
sembuh penyakitnya, profesi kependidikan adalah untuk kepentingan
siswanya, profesi pertanian adalah untuk meningkatkan produksi pertanian
agar masyarakat lebih sejahtera dalam bidang pangan. Dengan demikian,
pengabdian yang diberikan oleh profesi tersebut harus sesuai dengan bidang
pekerjaan tertentu.

4.3 Terpanggil Menjadi Guru


Memilih profesi guru berarti terpanggil untuk melakukan pengabdian
pada pekerjaan di bidang pendidikan. Seorang yang memasuki profesi
sebagai tenaga pengajar berarti mau mengabdikan dirinya sebagai pelayanan
kepada masyarakat, karena masyarakat bagian dari medan pelayanan.
Sampai di sini Hans (2006) menegaskan bahwa kata darma, panggilan, dan
profesi bermakna sejajar, yaitu tugas suci yang harus dilaksanakan pada
tingkat personal.
Tuntutan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, yang dalam hal
ini adalah masyarakat yang belajar di lingkungan pendidikan lebih disebabkan
oleh keinginan untuk mendarma-baktikan segenap kemampuan sebagai
anggota sebuah profesi. Stoltz (2005) menyatakan jauh di dalam diri tiap
individu terdapat kerinduan yang mendalam untuk menjalani kehidupan yang
benar, yang agung, dan memberi sumbangan nyata dan sungguh merasa
penting, serta untuk membuat perbedaan nyata. Mungkin saja individu
tersebut meragukan dirinya sendiri dan kemampuannya melakukan hal
tersebut, tetapi ia ingin mengetahui keyakinannya yang mendalam bahwa ia
dapat menjalani kehidupan seperti itu. Tiap individu memiliki potensi di dalam
dirinya, yang merupakan hak dimilikinya sejak lahir berupa anugerah yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia.

62
Satu kekuatan paling ampuh bagi individu yang terpanggil akan
tugasnya adalah kesediaannya melaksanakan tugas tersebut betapapun
beratnya. Seperti misalnya seorang laskar yang mau berangkat ke medan
pertempuran, karena merasa terpanggil melaksanakan tugas tersebut.
Individu yang terpanggil jiwanya tidak memperhitungkan untung atau rugi yang
akan didapatkannya. Semuanya dilaksanakan dengan semangat yang
berkobar-kobar, sebagai wujud dari pemberian darma baktinya kepada tugas
tersebut.
Menurut Anoraga & Suyati (1995) yang dimaksud dengan bakat
adalah “kemampuan dasar yang menentukan sejauhmana kesuksesan
individu memperoleh keahlian atau pengetahuan tertentu apabila individu
diberi pelatihan secara khusus”. Selain itu ada juga orang memiliki
kemampuan tanpa melalui pelatihan, inilah yang disebut dengan bakat.
Sebagaimana dinyatakan oleh Stoltz (2005) bahwa memang tidak diragukan
lagi, dalam kehidupan ini ada orang-orang lebih berbakat dibandingkan
dengan yang lain. Ada yang dianugerahi kecerdasan luar biasa, bakat khusus,
jasmani yang sangat kuat, keluarga yang penuh kasih sayang, masyarakat
yang kokoh dan sumberdaya yang tidak terbatas. Sementara ada juga yang
sangat kekurangan.
Di dalam bekerja, baik di rumah maupun di kantor diperlukan bakat
yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Keterlibatan individu dalam
pekerjaan yang mendayagunakan bakat dan mengobarkan semangat hidup
muncul dari kebutuhan, sehingga individu tersebut merasa terdorong oleh
nuraninya untuk memenuhi kebutuhan. Di situlah letak suara panggilan jiwa
individu yang mengarah kepada kepuasan batinnya.
Tiap organisasi yang melibatkan orang untuk melaksanakan
tugasnya dituntut memiliki komitmen. Personil yang terlibat aktif dalam suatu
kegiatan, harus sanggup membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Inilah yang
dinamakan komitmen. Sahertian (2000) mengartikan komitmen sebagai
“kecenderungan dalam diri seseorang untuk merasa terlibat aktif dengan
penuh rasa tanggung jawab”.

63
Personil yang telah memiliki komitmen harus sanggup memilih satu
dari beberapa alternatif yang dianggapnya baik. Sebelumnya Nawawi (2003)
menyatakan komitmen adalah “suatu keputusan atau perjanjian seseorang
dengan dirinya sendiri, untuk melakukan atau tidak melakukan, berhenti atau
meneruskan perbuatan atau kegiatan”. Selanjutnya Nawawi (200)
menyatakan, “komitmen merupakan penetapan di dalam diri seorang untuk
menerima atau menolak satu atau lebih tujuan dan menuntun perbuatan atau
kegiatan”.
Selain itu orang yang telah menetapkan komitmen untuk dirinya akan
sanggup bekerja keras. Hal ini dilakukan karena adanya rasa konsekuen
dengan apa yang ia ucapkan. Clickman dalam Sahertian (2000) mengatakan
“komitmen lebih luas dari kepedulian, sebab dalam pengertian komitmen
tercakup arti usaha dan dorongan serta waktu yang cukup banyak.” Arikunto
(1996) menyatakan “komitmen bukan sekedar keterlibatan saja. Komitmen
adalah kesediaan seseorang untuk terlibat aktif dalam suatu kegiatan dengan
tanggung jawab yang tinggi”.
Pada dasarnya, komitmen dimiliki oleh semua orang yang terlibat
dalam kegiatan organisasi. Robbins (2001) mengatakan “semua orang secara
alamiah memiliki komitmen.” Namun komitmen tiap orang tidak pernah sama.
Ada orang tingkat komitmennya rendah dan ada pula yang tingkat
komitmennya tinggi. Hal ini ditentukan oleh perkembangan dan proses
kejiwaan yang bersifat alamiah. Castetter (1996) juga menyatakan komitmen
seseorang itu dapat bertambah atau berkurang. Bertambah dan berkurangnya
komitmen seseorang terhadap tugasnya sangat dipengaruhi oleh sikap.
Pendapat Sherly yang dikutip oleh Arikunto (1996) bahwa “sikap orang beralih
atau berganti sesuai dengan perkembangannya. Sikap seseorang sewaktu ia
masih muda tidak akan sama setelah ia berusia lanjut”.
Sebagai pengajar, guru harus lebih tertuju pada tugas merencanakan
dan melakukan pembelajaran. Dalam hal ini dituntut komitmen yang tinggi dari
tiap guru untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Amstrong
dalam Sudjana (1999) mengatakan bahwa guru sebagai manusia mempunyai
tugas dan tanggung jawab pembelajaran, tanggung jawab dalam memberikan

64
bimbingan, tanggung jawab dalam mengembangkan profesi, tanggung jawab
dalam mengembangkan kurikulum, dan tanggung jawab membina hubungan
dengan masyarakat.
Pada lembaga pendidikan, komitmen seorang guru tidak saja pada
saat mengajar di kelas. Tetapi diperlihatkan saat menentukan supervisi
pembelajaran. Law & Glover (2000) menyatakan “tingkat komitmen guru di
Sekolah yang perlu diperhatikan adalah pada saat menentukan supervisi
pembelajaran”. Supervisi pembelajaran yang sudah ditentukan secara matang
dirasakan tidak akan ada gunanya apabila para guru tidak memiliki komitmen
dengan apa yang dibuatnya. Komitmen yang ada dalam diri seorang guru
merupakan modal utama dalam mengabdi pada lembaga pendidikan.
Sebagai pengajar dan pendidik, guru harus mampu memberi
bimbingan kepada siswa, termasuk membantu memecahkan masalah yang
dihadapi oleh siswa. Di samping sebagai pendidik, guru juga diwajibkan
memberi penilaian dan mentransfer ilmu pengetahuan. Semua ini akan dapat
berhasil apabila ada komitmen yang tinggi dalam diri guru untuk mengabdikan
dirinya kepada tugas.
Seorang guru yang memiliki komitmen melaksanakan tugasnya
dituntut memiliki loyalitas yang tinggi, baik kepada pimpinan maupun kepada
organisasi profesinya. Sudjana (1999) mengatakan “orang yang memiliki
komitmen tinggi biasanya menunjukkan loyalitas dan kemampuan
profesionalnya. Sudjana (1999) menambahkan “Seorang bawahan yang
loyalitasnya tinggi kepada atasan atau lembaganya, biasanya menunjukkan
kepatuhan, rasa hormat kesetiaan serta disiplin yang sangat tinggi”.
Kesetiaan bukan ditunjukkan dengan sanggup bertahan di dalam
suatu lembaga dan sanggup tidak pindah ke lembaga lain. Hal ini dijelaskan
oleh Robbins (2001) “Apabila ada orang pindah dari suatu organisasi ke
organisasi lain belum tentu loyalitasnya rendah, atau tidak memiliki komitmen
yang tidak dapat diandalkan.”
Kesediaan menerima komitmen datangnya dari dalam diri seseorang.
Kemudian sifat ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan di sekitarnya.
Seringkali orang yang memiliki komitmen tinggi tidak menunjukkan kepada

65
orang lain secara terbuka. Karena komitmen merupakan perjanjian seseorang
dengan dirinya sendiri untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Akan tetapi
menurut Sudjana (1999) “Komitmen yang ditunjukkan lebih baik daripada tidak
ditunjukkan.” Selanjutnya Ouchi yang dikutip oleh Robbins (2001) menyatakan
“Meskipun bukan sesutu yang negatif, banyak orang menghindar dari
komitmen.” Karena komitmen membuat seorang menjadi terikat.
Dalam organisasi pendidikan seperti sekolah, diperkirakan semua
guru memiliki komitmen, karena tiap guru memiliki tanggung jawab. Tanggung
jawab dan tugas yang dipikul oleh guru dapat terlaksana dengan baik apabila
guru mempunyai komitmen tinggi terhadap semua tugas yang dibebankan
kepadanya. Bafadal & Fallon (2007) menyatakan “Guru yang kurang memiliki
komitmen biasanya bekerja semata-mata memandang dirinya sendiri, dan
kurang berusaha mengembangkan diri”. Arikunto (1996) juga menyatakan:
“Guru yang tidak memiliki komitmen tampaknya hanya bertindak atas dasar
keperluan diri sendiri, dan hanya melakukan pekerjaan yang menjadi
kewajibannya saja, dia tidak akan mencoba berusaha meningkatkan hasil
pekerjaan.” Seterusnya Sahertian (2000) menyatakan bahwa “Guru yang
kurang memiliki komitmen juga kurang memiliki kepedulian terhadap tugas,
kebutuhan para siswanya, teman sejawat ataupun atasan langsung. Guru
yang memiliki komitmen biasanya memiliki perhatian kepada siswanya,
sesama guru dan kepada tugas pokoknya yaitu mengajar”.
Meskipun guru memiliki komitmen, tetapi tingkat komitmen pada tiap
guru tidak akan sama. Menurut Sherly dalam Sahertian (2000) “Guru yang
berusia muda mempunyai semangat serta rencana hidup yang lebih bergairah
daripada guru yang berusia di atas setengah abad”. Selanjutnya Sherly
menyatakan “Guru yunior berambisi dalam meniti karirnya. Sedang guru
senior semangat dalam meniti karirnya sudah mulai kurang. Ini disebabkan
guru yang sudah tua sudah tidak mampu membuat komitmen dalam
menjalankan tugas”.
Sedangkan bagi guru yang berusia muda, tiap saat dituntut
meningkatkan komitmen dan kepeduliannya terhadap tiap perubahan tugas
dan profesinya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Full dalam Sahertian

66
(2000) disimpulkan bahwa guru yunior bertugas lebih banyak mempedulikan
kelangsungan hidup profesinya.
Dari berbagai hasil penelitian yang dikutip oleh Sahertian (2000)
dinyatakan bahwa “Guru yang memiliki komitmen tinggi ditentukan oleh
pengaruh internal yang ada pada guru itu sendiri. Selain itu komitmen
seseorang kepada tugasnya ditentukan pula oleh pemahaman terhadap
konsep yang dimilikinya”. Para guru yang memiliki pemahaman konseptual
tinggi terhadap masalah kependidikan, akan memilih hubungan lebih positif
dengan siswanya maupun dengan rekan sejawat dan pimpinan.
Seseorang yang terpanggil jiwanya mempunyai perasaan puas
dengan pelaksanaan tugas yang sudah dikerjakannya. Orang yang terpanggil
jiwanya selalu menganggap bahwa pekerjaan adalah ibadah, diwujudkan
dalam cinta terhadap pekerjaan atau mencintai melalui bekerja (Gibran, 2000).
Ibadah yang diwujudkan dalam bentuk kasih sayang kepada sesama,
termasuk atasan, rekan sekerja, bawahan, dan pelanggan. Hans (2006)
menyatakan bahwa “kerja memang ibadah, atau bisa juga sebentuk ibadah”.
Agama mengajar agar manusia berbuat kebajikan sebesar-besarnya dan
menjauhi kemungkaran sebisanya. Intinya, kita turut berkarya membangun
yang baik, benar, dan adil sebanyak-banyaknya.
Hans (2006) menyatakan “Kerja sebagai ibadah sesungguhnya
adalah tindakan memberi atau membaktikan (the act of giving) kepada Tuhan
yang kita abadikan.” Hakikat dari ibadah adalah memberi. Meskipun ada
ungkapan “lebih bahagia memberi daripada menerima”, tetapi secara umum
menerima lebih disukai daripada memberi. Kebanyakan orang lebih suka
berpikir “Apa yang bisa kudapat untuk diriku?” Mengapa demikian? Menurut
Hans (2006) karena hakikat memberi belum dipahami dengan benar dan
mendalam. Dalam The Art of Loving (Fromm, 1976) dinyatakan bahwa
memberi adalah ekspresi tertinggi potensi kemanusiaan individu. Dalam tindak
memberi sesungguhnya individu sedang mengalami kekuatan, kekayaan, dan
kemampuannya. Pengalaman puncak dan vitalitas tertinggi tersebut akan
memenuhi seluruh jagad hati individu dengan sukacita dan rasa bahagia.
Disitulah individu merasakan kelimpahan. Tatkala memberi, in spending our

67
ability, individu mengalami hidup sehidup-hidupnya sehingga individu
mengalami sukacita dan kebahagiaan otentik. Memberi lebih membahagiakan
daripada menerima bukan karena individu kita kekurangan, tetapi karena
dalam tindak memberi itulah terletak ekspresi kehidupan yang paling dinamis
(Fromm, 1976).

4.4 Belajar untuk Mengembangkan Diri


Pengembangan diri dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk mengembangkan sumberdaya diri dengan cara menggali semua potensi
yang ada dalam diri. Belajar untuk pengembangan diri dilakukan secara terus-
menerus sampai akhir hayat, sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, budaya, lingkungan sosial, dan sebagainya. Pengembangan diri
tidak dapat dipisahkan dari proses belajar karena pengembangan diri
merupakan suatu rangkaian dalam kegiatan belajar. Jadi dalam
pengembangan diri ada suatu proses peningkatan kemampuan ke arah yang
lebih baik. Dengan demikian dalam belajar pengembangan diri, seseorang
dituntut selalu terus belajar. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan
seperti meningkatkan kualifikasi pendidikan, mengikuti berbagai pelatihan,
mengikuti berbagai macam kursus, seminar, lokakarya, workshop. Dari
berbagai komponen inilah disimpulkan sebagai konsep belajar untuk
mengembangkan diri, yang meliputi: (1) menggali potensi diri, dan (2)
mengikuti proses profesionalisasi. Artinya, belajar untuk pengembangan diri
dapat dilakukan melalui lembaga formal maupun kegiatan non-formal.
Belajar untuk pengembangan diri pada sebuah profesi sering disebut
dengan istilah profesionalisasi. Adapun profesionalisasi dimaknai sebagai
suatu proses untuk menjadikan suatu pekerjaan memperoleh status
profesional. Danim (2002) menyatakan bahwa: “Profesionalisasi adalah
proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang
suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau
perbuatan yang diinginkan oleh profesi itu.”

68
Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu
peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Seterusnya Danim
(2002) menyatakan aktualisasi dari profesionalisasi itu antara lain dengan
melakukan penelitian, diskusi antar anggota profesi, penelitian dan
pengembangan, melakukan ujicoba mengikuti forum ilmiah, studi mandiri dari
berbagai sumber media, studi lanjutan, studi banding, observasi praktikal, dan
beberapa langkah lain yang dituntut oleh persyaratan profesi.
Cakupan proses profesionalisasi ini cukup luas, dinamis, berlangsung
lama melalui berbagai tahap, yang menurut Supriyadi (1999) ”... dalam proses
ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan, termasuk penataran,
pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat
terhadap profesi, pengakuan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas
calon dan imbalan secara bersama menentukan pengembangan
profesionalisme seseorang termasuk guru.
Philip Kochman dalam Usman (2001) menyatakan seorang yang
ingin memiliki kemampuan profesional mengutamakan perbaikan diri dan
perkembangan dalam usaha-usaha pelayanan. Hal senada sebelumnya telah
dikemukakan oleh Makmun (1996) bahwa “Proses usaha menuju ke arah
terpenuhinya persyaratan suatu jenis model pekerjaan ideal adalah
profesionalisasi”. Proses profesionalisasi bagi seorang profesional harus
berlangsung secara kontinyu selama hidupnya, dan hanya akan berakhir
dengan fase kematian jasadnya sang profesional.
Bagaimana membantu guru agar dapat bertumbuh dalam
jabatannya? Menurut pendapat Sahertian (2000) seorang guru harus tampak
bugar (fitness) dalam penampilannya. Ia seorang yang gemar membaca, suka
belajar terus-menerus, terbuka untuk menerima ide baru (inovasi) dan sadar
akan tanggung jawab profesionalnya. Tugas pelayanan telah menyatu dalam
dirinya, sehingga belajar dan mengajar telah menjadi karir hidup (life career)
baginya. Lebih lanjut Sahertian (2000) mengungkapkan beberapa usaha
dalam membantu pengembangan profesi, antara lain: 1) Selalu belajar dan
mengembangkan dorongan ingin tahu. 2) Selalu ada kesediaan untuk
memperoleh pengetahuan dan informasi yang baru. 3) Selalu peka dan peduli

69
terhadap tuntutan kemanusiaan dan kepekaan sosial, sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya. 4) Menumbuhkan minat
dan gairah terhadap tugas mengajar, karena tugas mengajar sudah menyatu
dengan hidupnya.
Hans (2006) berpendapat bahwa “pengembangan diri ditujukan untuk
mencapai kesuksesan. Pencapaian kesuksesan tersebut dibutuhkan strategi
pengembangan diri. Tiap orang memendam hasrat menjadi lebih sukses, baik
secara fisik, intelektual, emosional, sosial, finansial, maupun spiritual”. Lebih
lanjut Hans (2006) menjelaskan bahwa secara fisik tiap orang ingin lebih
sehat, penuh energi dan vitalitas. Secara intelektual tiap orang ingin lebih
mampu memecahkan masalah. Secara emosional tiap orang ingin lebih
mampu merelakan apa yang dipikirkan sekarang untuk mendapatkan suatu
yang lebih bernilai kemudian. Secara sosial tiap orang ingin lebih mampu
berinteraksi dan saling menguntungkan dengan orang yang berlatar belakang
berbeda. Secara finansial tiap orang ingin meningkatkan kondisi keuangan
dari posisi berjuang mencapai posisi aman, dan kalau mungkin mencapai
posisi dan berkelimpahan. Secara spiritual tiap orang ingin meninggal dunia
dalam keadaan yang baik.
Pengembangan diri perlu dilakukan oleh guru. Bertitik tolak pada
pengertian ini, maka yang dimaksud dengan guru di sini adalah tenaga
pengajar yang memiliki kemampuan sehingga ia mampu melakukan tugas dan
fungsinya sebagai guru secara maksimal. Guru adalah orang yang terdidik
dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang layak di bidangnya.
Belajar untuk pengembangan diri disebut oleh Covey (2005) dengan istilah “
mengasah gergaji”. Mengasah gergaji yang dimakudkan oleh Covey sama
dengan mengasah kemampuan melalui proses belajar secara berulang, di
mana pengetahuan dan keterampilan yang tidak pernah diasah, dan menjadi
tumpul akan pengembangan diri merupakan proses untuk menempa
seseorang menjadi profesional dalam bidang profesi yang ditekuninya.

70
4.5 Belajar Menjadi Profesional
Selaku tenaga profesional guru harus memberi pelayanan prima.
Sebagai manusia profesional, guru selalu berkeinginan untuk belajar terus-
menerus, membina hubungan dengan rekan sejawat, berdisiplin
melaksanakan tugasnya dan meningkatkan kompetensinya sebagai tenaga
kependidikan. Di dalam kompetensi profesional ini tercakup kinerja yang
bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu. Beberapa aspek tugas
kependidikan tercermin dari dimensi kognisi, seperti memahami materi yang
diajarkan dan mengenal strategi belajar mengajar. Dimensi afeksi, tanggung
jawab profesional, sedangkan dimensi psikomotor adalah kemampuan
melakukan sesuatu secara fisik.
Setelah seseorang memasuki sebuah profesi, maka akan ada proses
profesionalisasi dalam rangka mencapai derajat pengembangan diri yang lebih
tinggi. Profesionalisasi merupakan proses mencapai tingkat profesional.
Danim (2002) menyatakan “Profesionalisasi merupakan proses peningkatan
kualifikasi para anggota penyandang profesi mencapai kriteria standar ideal
dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh para penyandang profesi
itu”. Pencapaian tingkat profesional tersebut, harus mengikuti berbagai macam
kegiatan sebagai bentuk proses profesionalisasi. Danumihardja (2000)
mengartikan profesionalisasi sebagai “pengembangan menurut profesional”.
Berkenaan dengan peningkatan pendidikan guru, maka dilakukan
preservice education, yaitu pendidikan sebelum seorang mempunyai jabatan
tertentu. Di samping itu ada yang disebut dengan istilah inservice education
(pendidikan dalam jabatan), artinya seorang sudah menjabat guru, lalu belajar
lagi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Misalnya guru berkualifikasi
lulusan strata satu (S1) pendidikan dan ingin melanjutkan ke jenjang strata
dua (S2) dan lulusan ingin melanjutkan ke S3 atau ingin mengikuti pendidikan
spesialis dan mengikuti inservice training, seperti pelatihan, penataran,
lokakarya, seminar, dan berbagai usaha pertumbuhan (Tirtamihardja dan Sulo,
2000).
Dalam profesionalisasi terdapat dua strategi belajar untuk
mengembangkan diri, yaitu: (1) strategi datang (come strategy) dan (2)

71
Strategi pergi (go strategy). Strategi datang adalah para peserta pelatihan
datang dari berbagai daerah ke tempat diselenggarakannya kegiatan latihan,
misalnya di ibukota Negara Republik Indonesia (Jakarta) atau tempat
diselenggarakannya program pelatihan. Sebaliknya strategi pergi adalah para
peserta pelatihan menunggu di daerahnya untuk dilatih oleh pelatih yang
datang dari pusat pelatihan.
Berkenaan dengan hal tersebut, konsep dasar yang melatarbelakangi
peningkatan kualitas guru melalui pendidikan adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Supriyadi dan Jalal (2001) bahwa dalam kenyataannya,
mutu guru amat beragam. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa tingkat
penguasaan bahan ajar dan keterampilan dalam menggunakan metode
mengajar inovatif kurang. Tiap guru dituntut meningkatkan kemampuan diri,
melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan
dengan jabatannya sebagai guru.

4.6 Motivasi Berprestasi


Membicarakan tentang konsep motivasi berprestasi tidak luput dari
pembahasan tentang teori motif dan prestasi kerja. Karena kedua kata ini
memiliki makna berbeda, motif diartikan sebagai sebentuk dorongan yang ada
pada diri seseorang, sumbernya dapat berasal dari dalam (inner) maupun dari
luar diri. Sedangkan prestasi kerja diartikan sebagai hasil yang dicapai dalam
bentuk mutu produktivitas kerja.
Manusia merupakan mahluk sosial yang mengalami perkembangan
terus-menerus. Manusia berbuat dan bertindak karena adanya faktor dari
dalam dan faktor berasal dari luar dirinya. Seseorang dapat berbuat sesuatu
karena didorong oleh kekuatan yang datang dari dalam dirinya. Misalnya
mengapa orang berlari, tentu saja ada pendorong dari dalam maupun dari luar
yang menyebabkan ia berlari.
Adapun dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk
berbuat disebut 'motif'. Pengertian motif menurut Anoraga dan Suyati (1995)
adalah “daya gerak yang mencakup dorongan, alasan, dan kemauan yang
timbul dari dalam diri seseorang sehingga menyebabkan ia berbuat sesuatu”.

72
Menurut Danumihardja (2003) “Motif merupakan tenaga yang mendorong
manusia bertindak atau tenaga di dalam diri seseorang untuk berbuat”. Sesuai
dengan pengertian tersebut di atas ”motif” adalah sesuatu yang dapat
menimbulkan dorongan berbuat pada diri seseorang sehingga ia berbuat atau
melakukan tindakan.

Semua proses yang bertujuan merealisasikan motif, disebut motivasi.


Danumihardja (2003) menyatakan istilah motivasi berasal dari kata
'motivation', yang berarti pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang
menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Motivasi
diartikan faktor yang mendorong orang bertindak dengan cara tertentu.
Kemudian Winardi (2001) berpendapat bahwa motivasi adalah pembangkitan
atau penimbulan motif, dapat pula sebagai kegiatan menjadi motif.
Selanjutnya Hamalik (2002) mengemukakan bahwa motivasi merupakan
fungsi dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi. Ia merupakan suatu
proses yang terjadi dalam diri manusia atau suatu proses psikologis.
Seseorang yang kelihatan sibuk adalah orang yang tinggi motivasinya.
Padahal mungkin saja ia pegawai yang sedang melarikan diri dari kekurangan
psikologi. Sebaliknya, ada sekelompok orang yang sedang berbincang-
bincang sering pula dianggap sebagai kelompok orang yang kurang atau
malah tidak mempunyai motivasi. Pendeknya kita sering menghubungkan
motivasi hanya dengan tindakan atau perilaku yang tampak nyata. Ini mungkin
benar dan mungkin pula tidak benar, sebab motivasi sesungguhnya
merupakan proses psikologis dalam diri yang mana terjadi interaksi antara
sikap, kebutuhan, persepsi, proses belajar, dan pemecahan masalah.
Dari pendapat di atas, pengertian motif lebih ditekankan pada faktor
yang mendorong seseorang berbuat. Sedangkan motivasi adalah proses yang
mendorong tercapainya motif. Dengan demikian, tiap orang melakukan
perbuatannya, mau tidak mau ada faktor pendorong atau alasan tertentu atau
kemauan tertentu yang melatar belakanginya.

73
Fadzil (2007) mengemukakan bahwa untuk mengembangkan
motivasi diri terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan, yaitu:
1) Do not worry if you make mistakes. Making mistakes is one way we can
learn and improve in our life.
2) Feel happy about your life. Happiness generates more positive energy within
you. This energy is important to keep you more optimistic & enthusiastic about
your life.
3) Get out of your comfort zone. You need to learn to get into unfamiliar
surroundings to explore better opportunities.
4) Think the unthinkable. Nothing will stop you from thinking of goals you
want to achieve.
5) Read and listen to inspirational materials. You have to start spending time
reading motivational books and listening to inspirational tapes.
6) Resolve problems instead of running away. Your ride to success
destination will not be smooth all the time.
7) Appreaciate every moment of your life. Think of what your life really is.
8) Appreciate every moment you have currently.
9) Finish what you start. Once you have started something, finish it.
10) Face challenges one at a time. Challenges come to us almost all the
time.
11) Care less about what people say. You may hear a lot of bad things
people say about you.

Jadi dapat disimpulkan bahwa motif tiap orang akan berbeda-beda


sesuai dengan apa yang menjadi penyebabnya. Tentu saja bagi tiap guru,
motif yang ingin dicapainya ada berbagai macam, salah satu diantaranya
adalah motivasi berprestasi dalam melaksanakan tiap tugasnya. Menurut
Hamalik (2002) bahwa di dalam teori motif ada dua golongan motif, yaitu: (1)
teori tukar menukar dan teori harapan; dan (2) teori motif kebutuhan.
Sardiman (2001) menyatakan “suatu dorongan yang menjadi pangkal orang
melakukan sesuatu atau bekerja, misalnya motif orang bekerja disebabkan

74
oleh: (a) ingin mendapat nafkah hidup, (b) ingin mendapat kekayaan, (c)
prestise/kehormatan dalam masyarakat, dan (d) memperjuangkan ide”
disebutnya sebagai motivasi.
Dalam teori ”motif harapan” dikemukakan bahwa “motif seseorang
dalam organisasi bergantung pada harapannya. Seseorang akan mempunyai
motif yang tinggi untuk berprestasi dalam organisasi kalau ia berkeyakinan
bahwa dari prestasi itu harapannya akan tercapai”. Hal ini berarti bahwa
seseorang yang tidak mempunyai harapan, maka prestasinya tidak akan
meningkat.

Pada tiap organisasi sudah barang tentu apa yang diinginkan oleh
anggota organisasi akan berbeda. Perbedaan ini mungkin karena adanya
pengaruh perbedaan kepribadian, dasar pendidikan, latar belakang
pengalaman, perbedaan pendapat atau perbedaan faktor lainnya. Namun ada
harapan yang sama pada tiap orang tanpa melihat perbedaan tersebut.
Siagian, et al (2002) menyatakan bahwa harapan para pegawai pada
organisasi biasanya tercermin dalam: kondisi kerja yang baik, merasa
diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut
nasibnya, cara pendisiplinan yang diplomatis, penghargaan yang wajar atas
prestasi kerja yang tinggi, kesetiaan pimpinan terhadap bawahannya,
penggajian yang adil dan wajar, kesempatan promosi dan berkembang di
dalam organisasi, adanya pengertian pimpinan jika bawahan menghadapi
masalah pribadi, jaminan dan diperlakukan adil dan objektif, dan pekerjaan
menarik dan penuh tantangan.
Menurut Siagian, et al (2002) “Sebenarnya harapan pegawai
tersebut bersifat individual, maka dapat dipahami kalau seorang pemimpin
organisasi mendapat kesulitan dalam menghadapi masalah motif ini”.
Kesulitan yang dihadapi adalah bagaimana memberikan tingkat kepuasan
memadai kepada tiap anggota organisasi yang berada di bawah pimpinannya,
bagaimana menentukan dengan tepat apa sesungguhnya yang menjadi
harapan bawahannya. Schien dalam Makmun (1996) mengemukakan kriteria
pekerja profesional memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja, merupakan

75
dasar bagi pilihan jabatan tersebut, sehingga jabatan tersebut akan dikerjakan
dengan sepenuh hati.
Seorang pimpinan berusaha mengetahui apakah yang menjadi
harapan bawahannya, terutama dalam hubungan antara pegawai dengan
pekerjaannya. Dengan kata lain untuk dapat menimbulkan dan meningkatkan
semangat kerja dan gairah kerja, maka rahasianya adalah pimpinan
mengetahui dengan tepat kebutuhan para pegawai yang bilamana dipenuhi
dapat menimbulkan atau meningkatkan kepuasan para pegawai tersebut.
Kewajiban seorang pimpinan mencari dan memenuhi kebutuhan bawahan.

Dalam teori kebutuhan dinyatakan bahwa yang menjadi kebutuhan


seseorang merupakan dasar baginya melakukan motivasi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa salah satu motif utama seseorang menjadi anggota
organisasi adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan. Kebutuhan yang hendak
dipuaskan seseorang mempunyai bentuk beraneka ragam dan bobot nilai
tertinggi akan menuntut pemuasan terlebih dahulu daripada kebutuhan yang
bobot nilainya lebih rendah. Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, maka
bobotnya menjadi berkurang dan tidak lagi dirasakan sebagai kebutuhan
mendesak. Selanjutnya kebutuhan kedua akan nampak sebagai kebutuhan
mendesak dan menuntut segera dipuaskan, setelah terpenuhi maka beralih
kepada kebutuhan ketiga dan seterusnya.
Menurut Maslow (Sardiman, 2001) ada lima macam kebutuhan
manusia itu didasarkan kepada kekuatan potensi dan desakan urgensinya.
Kelima kebutuhan tersebut adalah:
(1) Kebutuhan dasar manusia sehari-hari untuk makan, minum, dan
bertempat tinggal (fisiologis).
(2) Kebutuhan memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan perlindungan
(rasa aman).
(3) Kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan menyenangi
(sosial).
(4) Kebutuhan memperoleh kehormatan, penghargaan dan pujian
(mencerminkan diri).
(5) Kebutuhan memperoleh kebanggaan, keagungan, dan kekaguman
(aktualisasi diri).
76
Dari kelima tingkat kebutuhan tersebut di atas jelas terlihat bahwa
harmonisasi tujuan pribadi dengan tujuan organisasi tidak terbatas hanya
pada hal-hal yang bersifat material saja melainkan menyangkut pula
kebutuhan yang bersifat sosial dan spiritual.
Motif yang dikemukakan di sini adalah motif untuk mencapai prestasi,
motivasi berprestasi ini bagian dari motif untuk memperoleh kehormatan,
penghargaan dan pujian (Robbins, 2001). McCleland (Sardiman, 2001)
menyatakan dalam motivasi itu terdapat tiga kebutuhan yang harus terpenuhi,
yaitu: kebutuhan akan pencapaian prestasi (need of achievement, nAch),
kebutuhan akan kekuasaan (need of power, nPow), dan kebutuhan akan
ikatan dan kelekatan (need for affiliation, nAff).
McCleland dan para pakar lain telah mengemukakan teori tiga
kebutuhan yang menjadi motif utama dalam pekerjaan. Kebutuhan itu meliputi
kebutuhan akan pencapaian prestasi, yakni dorongan untuk unggul, untuk
berprestasi menurut serangkaian standar, untuk berusaha keras supaya
berhasil; kebutuhan akan kekuasaan: merupakan kebutuhan untuk membuat
orang lain berperilaku dengan cara yang sebenarnya tidak akan mereka
lakukan jika tidak dipaksa; dan kebutuhan akan afiliasi merupakan keinginan
akan hubungan antarpribadi dalam persahabatan yang erat. Dari ketiga
kebutuhan itu, kebutuhan akan pencapaian prestasi paling banyak diteliti.
Bagi guru motivasi berprestasi itu menyangkut tiga hal pokok yaitu
motivasi berprestasi dalam melakukan pembelajaran, motivasi berprestasi
dalam melakukan penelitian, dan motivasi berprestasi dalam melaksanakan
pengabdian pada masyarakat. Berbagai tugas yang dibebankan pada tiap
guru tidak hanya menyangkut tiga aspek itu saja, melainkan juga tugas
pembimbingan kepada siswa dan tugas administratif lainnya.
Orang yang kebutuhan akan pencapaian prestasinya tinggi akan
berjuang meraih prestasi pribadi daripada meraih fasilitas jabatan dan imbalan
atas kesuksesan. Orang tersebut mempunyai keinginan untuk melakukan
sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien daripada yang telah dilakukan
sebelumnya. Mereka lebih menyukai pekerjaan yang menawarkan tanggung
jawab pribadi guna mencari solusi masalah, yang mana ia dapat menerima

77
umpan balik yang cepat dan tidak ambigu atas kinerja yang memberitahu
apakah pekerjaannya telah membaik, dan di mana ia dapat menetapkan
sasaran yang menantang tetapi masih terjangkau.
Motivasi berprestasi dalam sebuah organisasi pendidikan tidak dapat
dipisahkan dengan pelaksanaan sistem karir. Menurut Winardi (2001)
peningkatan motivasi berprestasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1)
kemampuan melaksanakan tugas, (2) memiliki kecakapan, dan (3) mampu
meraih pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Motivasi berprestasi bagi guru
ditujukan pada pelaksanaan tugas pendidikan; memiliki kecakapan
membimbing siswa, dan melaksanakan tugas administrasi, dapat meraih
pangkat/jabatan yang lebih tinggi. Dari ketiga bidang tersebut, guru akan
mendapat suatu penghargaan berupa peningkatan karir sebagai bentuk
prestasi yang harus dicapai.

4.7 Prestasi Kerja Guru


Motif berhubungan erat dengan kinerja, dan kinerja berpengaruh
kepada tingkat produktivitas yang dihasilkan. Motif menurut Goleman (Stein &
Book, 2002) merupakan “kecenderungan emosi untuk memudahkan meraih
sasaran seperti dorongan berprestasi”. Sudarmayanti (2001) menggambarkan
orientasi berprestasi (achievement orientation) merupakan derajat kepedulian
atau derajat usaha seseorang untuk berprestasi dalam pekerjaannya,
sehingga ia berusaha bekerja dengan baik atau di atas standar. Adapun yang
termasuk dalam kompetensi ini meliputi orientasi pada hasil, efisiensi, standar,
perbaikan, dan optimalisasi penggunaan sumberdaya.
Produktivitas yang tinggi merupakan prestasi. Menurut Robbins
(2001) tinggi rendahnya produktivitas tergantung pada tiga aspek, yakni
prestasi akademik, kreativitas, dan pemimpin. Seorang yang prestasi
akademik atau intelegensinya tinggi mempunyai kecenderungan kreatif,
berprestasi, dan akhirnya mempunyai produksi tinggi. Tentu saja gambaran
yang diberikan ini berdasarkan hasil produksi yang didapat.

78
Prestasi merupakan penampilan kerja yang berhasil dalam
menghasilkan produktivitas yang tinggi. Produktivitas tersebut dapat berbentuk
hasil yang sempurna, tinggi nilainya, banyak jumlahnya, dan sebagainya yang
didemonstrasikan dalam penampilan kerja. Castetter (1996) menyatakan ada
beberapa faktor individu yang menyebabkan tidak efektifnya penampilan kerja,
yaitu kelemahan intelektual, kelemahan psikologis, kelemahan fisiologis,
motivasi, personalitas, keusangan atau ketuaan, preparasi posisi, dan
orientasi nilai. Kelemahan intelektual ternyata akan menurunkan penampilan
kerja seseorang. Dengan kata lain apabila intelegensi seseorang rendah,
maka produktivitas orang tersebut juga rendah, dan sebaliknya. Walaupun
pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena tidak sedikit orang yang tingkat
intelegensinya rendah dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Menurut Winardi (2001) “Kinerja merupakan hasil perpaduan dari
kecakapan dan motif tertentu, yang variabelnya dihasilkan dari sejumlah faktor
yang saling mempengaruhi”. Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa
motivasi berprestasi bagi seorang guru merupakan dorongan pada seseorang
untuk mencapai kesuksesan dalam mencapai prestasi kerja yang sempurna
sehingga layak disebut sebagai profesional.

4.8 Kepakaran
Seseorang yang pakar pada bidang tertentu sering disebut sebagai
seorang yang memiliki keahlian khusus. Kepakaran pada intinya menunjukkan
kompetensi yang dikuasai oleh seorang. Kompetensi itu sendiri merupakan
kepemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang persyaratan
oleh suatu jabatan atau profesi.
Berkaitan dengan implikasi kompetensi individu, Uno (2007)
mengemukakan bahwa competence adalah capacity for action, yaitu kapasitas
yang dimiliki seseorang untuk beraktivitas. Sedangkan orang yang memiliki
kompetensi khusus, disebut dengan istilah sebagai seorang pakar. Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia “pakar” berarti orang yang memiliki keahlian
khusus. Jadi kepakaran diartikan juga sebagai orang yang mempunyai
keahlian di bidang ilmu pengetahuan tertentu dan telah diakui oleh banyak

79
orang. Kemampuan seorang pakar akan berbeda dengan kemampuan
masyarakat awam, kemampuan seorang pakar bila diukur akan berada di atas
nilai rata-rata. Menurut Sunarno (2005) pakar bidang ilmu berarti orang yang
mempunyai keahlian di bidang ilmu pengetahuan tertentu. Kepakaran seorang
guru merupakan penguasaannya pada suatu disiplin ilmu berdasarkan kajian
teoritis ataupun metodologis konseptual. Sedangkan ahli merupakan seorang
yang menekuni bidang khusus atau keahlian pada cabang tertentu, misalnya
pada ilmu kedokteran.
Apa yang dikemukakan para ahli tentang kepakaran para pengelola
pendidikan, tidak ada yang sama rinciannya. Rumusan yang diutarakan
sangat bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun dari berbagai
definisi yang dikemukakan para ahli, ada satu kesamaan, pengertian
kepakaran itu diidentikkan dengan kemampuan, kompetensi, keahlian,
kecakapan, kepintaran, kecerdasan. Oleh karena tiap istilah tersebut memiliki
makna yang hampir sama, maka semua istilah tersebut dipakai dalam tulisan
ini secara bergantian sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Uno (2006) kompetensi yaitu suatu penampilan yang
rasional yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan penuh
kesenangan. Dari batasan tersebut kompetensi adalah suatu penampilan
spesifik yang rasional sebagai harmoni dan pemilikan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan oleh tugas pekerjaan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan penuh keberhasilan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepakaran
merupakan karakter sikap, perilaku atau kemauan serta kemampuan yang
relatif stabil dari seseorang ketika menghadapi kondisi kerja dengan
menggunakan kemampuan intelektualnya termasuk keahlian khusus yang
diperoleh atas dasar pengetahuan, pendidikan dan latihan.
Tiap orang yang layak disebut pakar pada suatu profesi memiliki
beberapa karakteristik, yang tentu saja tidak dimiliki oleh orang awam.
Menurut Usman (2001) untuk menjalankan profesi, seseorang yang layak
disebut pakar harus memiliki keahlian dan keterampilan. Supriyadi (1999)
menyatakan “profesi menunjukkan pekerjaan atau jabatan yang menuntut

80
keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi tersebut”. Parelius
& Parelius dalam Usman (2001) memberikan batasan tentang pekerjaan
profesi itu menuntut adanya spesialisasi secara menjurus (highly specialized),
dilandasi oleh pengetahuan khusus (esoteric knowledge), pendidikan tinggi
dengan program pendidikan dan latihan yang matang.
Begitu juga Ornstein & Levine dalam Soetjipto dan Kosasi (1999)
menyatakan orang yang disebut pakar memerlukan bidang ilmu dan
keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak tiap orang dapat
melakukannya). Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori praktik
(teori baru dikembangkan dari hasil penelitian).
Sanusi dkk (1991) mengemukakan ciri utama orang yang layak
disebut pakar dalam profesi yaitu: (1) memiliki keterampilan/keahlian tertentu;
(2) keterampilan/ keahlian yang dituntut untuk pemecahan masalah dengan
menggunakan teori dan metode ilmiah; (3) berdasarkan pada batang tubuh
disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit yang bukan hanya sekedar
pendapat khalayak umum; (4) memerlukan pendidikan tingkat pendidikan
tinggi dengan waktu yang cukup lama; (5) proses pendidikan untuk jabatan itu
juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai profesional itu sendiri.
Satria (2007) menyatakan untuk menjadi seorang pakar dibutuhkan
persiapan yang relatif lama dan menjurus, disertai oleh kegiatan intelektual
yang ulung dan anggotanya memiliki pengetahuan serta kecakapan khusus.
Begitu juga Sutisna (1991) mengutif pendapat More menyebutkan ciri seorang
yang layak disebut pakar, menguasai pengetahuan yang berguna dan
keterampilan atas dasar latihan spesialisasi atau pendidikan yang sangat
khusus. Schien dalam Makmun (1996) berpendapat bahwa seorang
profesional itu memiliki pengetahuan khusus dan keterampilan yang
diperolehnya dalam pendidikan yang cukup lama, dan memiliki pengetahuan
spesifik.
Uno (2007) mengemukakan bahwa berkaitan dengan kompetensi
individu digambarkan sebagai karakteristik dasar seorang pekerja yang
menggunakan bagian kepribadiannya yang paling dalam mempengaruhi
perilakunya ketika ia menghadapi pekerjaan, yang akhirnya berpengaruh pada

81
kemampuan menghasilkan prestasi kerja. Kompetensi itu terbentuk dari lima
karakteristik, yaitu (1) watak, (2) motif, (3) konsep diri, (4) pengetahuan, dan
(5) keterampilan.
Ciri khusus kompetensi adalah perpaduan antara semangat atau
keinginan dan sikap kuat dengan pengetahuan dan keterampilan optimal yang
dimiliki seseorang dengan semangat yang didukung keahlian dan
keterampilan. Jadi kompetensi merupakan unsur pelaksanaan kerja yang
diperlukan untuk memungkinkan anggota bekerja dengan cara tertentu yang
didukung oleh keinginan dan kegairahan atau motivasi.
Kompetensi keterampilan dan pengetahuan cenderung dapat dilihat,
karena berada di permukaan. Kedua kompetensi ini relatif mudah dikem-
bangkan, misalnya melalui pengalaman dan pelatihan. Sedangkan kompetensi
konsep diri, watak dan motif bersifat tersembunyi lebih dalam dan berperan
sebagai sumber dari kepribadian, lebih sulit untuk dikembangkan.
Hubungan antar karakteristik tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

Watak

Motivasi Pengetahuan

Kompetensi
Individu

Konsep Diri Keterampilan

Sumber : Uno (2007)


Gambar 5. Konsep Kompetensi Individu

Pertama, motif merupakan gambaran pada diri seseorang tentang


suatu yang dipikirkan atau diinginkannya, dan merupakan dorongan
mewujudkan cita-cita atau memenuhi ambisinya ketika ia menduduki jabatan/

82
posisi baru. Kedua, watak merupakan karakteristik mental seseorang yang
konsisten merespon rangsangan, tekanan, situasi atau informasi. Ketiga,
konsep diri merupakan gambaran tentang nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh
seseorang, serta bayangan diri atau sikap pada masa depan ideal yang dicita-
citakan, yang diharapkan dapat terwujud melalui kerja dan usahanya.
Keempat, pengetahuan merupakan kemampuan seseorang yang terbentuk
dari informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang kajian tersebut. Kelima,
keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik atau
mental.
Horby (Makmun, 1996) menyatakan kompetensi yaitu: 1) Kompetensi
pada dasarnya menunjukkan kepada kecakapan atau kemampuan untuk
mengerjakan suatu pekerjaan. 2) Kompetensi pada dasarnya merupakan
suatu sifat (karakteristik) orang (kompeten yang memiliki kecakapan, daya
(kemampuan) otoritas (kewenangan), kemahiran (keterampilan),
pengetahuan, dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang diperlukan. 3)
Kompetensi menunjukkan kepada tindakan (kinerja) rasional yang dapat
mencapai tujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi. Dengan
demikian menurut Makmun (1996) makna kompetensi tersebut di atas, dapat
dimaklumi jika kompetensi dipandang sebagai pilarnya atau terasnya kinerja
dari suatu profesi.
Tiap individu yang menekuni profesi diharapkan memiliki dukungan
kompetensi atas kepakarannya. Uno (2007) menyatakan daya pikir dan
keahlian itu mencakup kompetensi berikut:
(1) Berpikir analitis (analytical thinking), merupakan kemampuan untuk
memahami situasi atau masalah dengan cara menguraikan masalah
menjadi bagian yang lebih rinci atau mampu untuk mengamati implikasi
keadaan tahap demi tahap berdasarkan pemahaman dan pengalaman
masa lalu.
(2) Berpikir konseptual (conceptual thinking) yaitu kemampuan memahami
situasi atau permasalahan dengan cara memandangnya sebagai satu
kesatuan mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi pola keterkaitan
antara masalah yang bersifat maya (tidak nampak) atau kemampuan

83
mengidentifikasi masalah mendasar dalam situasi yang komplek.
(3) Keahlian teknik (expertise) yaitu penguasaan pengetahuan eksplisit
berupa keahlian atau keterampilan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
serta motivasi untuk mengembangkan, menggunakan, dan
mendistribusikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain.

Whitty (2006) melakukan kajian tentang kompetensi insani yang


memiliki unsur intelektual dan kerjasama. Unsur intelektual terkait dengan
profesi yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan yang dianggap cerminan
inteligensi. Hal ini dibangun melalui proses pendidikan, keterampilan yang
biasanya dikaitkan dengan talenta dan dikembangkan melalui pelatihan,
kemampuan (ability), yang biasanya dikaitkan dengan kemampuan fisik dan
daya tahan seseorang dalam kegiatan kerja.
Seorang guru profesional diharuskan memiliki keahlian, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Sahertian (2000) bahwa “seorang profesional itu dapat
dilihat dari empat dimensi, salah satu diantaranya adalah keahlian (expert)”.
Lebih lanjut Sahertian menyatakan bahwa “keahlian pertama kali harus dimiliki
oleh seorang guru dalam bidang ilmu pengetahuan yang diajarkan dan juga
ahli dalam tugas mendidik.” Seorang guru tidak hanya menguasai materi
pembelajaran yang diajarkan kepada siswa, tetapi juga mampu
membelajarkan penguasaan konsep pengetahuan yang diajarkan.
Kepakaran atau kompetensi yang dimiliki oleh seseorang
berhubungan erat dengan kinerja profesi. Sedangkan kinerja berpengaruh
kepada tingkat produktivitas yang dihasilkan. Produktivitas tinggi merupakan
gambaran dari kesuksesan yang berhasil dicapai. Menurut Stoltz (2005)
“kesuksesan tidak ditentukan oleh tingkat kecerdasan intelegensi (IQ) dan
kecerdasan emosional (EQ) saja, tetapi juga ditentukan oleh kecerdasan
mengatasi kesulitan (AQ). Hal ini mengindikasikan bahwa seorang pakar
memiliki ketiga ciri ini.
Sedangkan Tilaar (2000) mengemukakan kinerja tidak dapat
dipisahkan dari perilaku pekerja berkenaan dengan motivasi, kemampuan
berpikir dan keterampilan dari jabatan. Sutermeister (Robbin, 2001)

84
menyatakan “kinerja merupakan hasil perpaduan dari kecakapan dan
motivasi, tiap variabel dihasilkan dari sejumlah faktor yang saling
mempengaruhi”. Pandangan ini senada dengan pendapat Mitchell dan Larson
(Robbin, 2001) yang menyatakan bahwa kinerja yang baik dapat dipengaruhi
oleh kecakapan dan motivasi.

Kepakaran berhubungan dengan kompetensi dalam penguasaan


bidang ilmu pengetahuan dan pembelajaran. Guru adalah seseorang yang
berdasarkan pendidikan dan keahliannya dengan tugas utama mengajar,
sehingga harus memenuhi kompetensi sebagai pendidik. Kompetensi itu
sendiri merupakan kepemilikan pengetahuan dan kemampuan yang dituntut
jabatan atau profesi.
Berkaitan dengan implikasi kompetensi individu, Devenport (Law &
Glover, 2000) mengemukakan bahwa kompetensi adalah capacity for action
yang merupakan kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja. Selanjutnya
Fattah (1999) mengemukakan bahwa para anggota organisasi bisnis maupun
organisasi publik, hendaknya selalu memperhatikan masalah learning
organization yang mengacu pada perhatian menyeluruh terhadap lima disiplin,
yang menghendaki agar anggota organisasi memiliki: (1) keahlian pribadi, (2)
model mental, (3) visi bersama, (4) pembelajaran tim, dan (5) pemikiran
sistem.
Di lingkungan pendidikan di Indonesia telah ditetapkan empat jenis
kompetensi yang harus dikuasai oleh guru. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, keempat kompetensi tersebut
adalah: (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi
personal, dan (4) kompetensi sosial. Keempat jenis kompetensi tersebut
merupakan satu kesatuan yang bulat dan tidak terpisahkan satu sama lainnya.
Hammond & Bransford (2005) mengembangkan kompetensi yang
berhubungan dengan pembelajaran yang dilakukan tenaga kependidikan.
Kompetensi tersebut dinamakan framework for understanding teaching and
learning yang terdiri dari knowledge of learners and their development in social
contexts, knowledge of subject matter and curriculum goals, knowledge of
teaching.

85
Profil seorang ilmuwan atau pakar sesungguhnya adalah orang jujur
dan pekerja keras, tekun dengan mengandalkan ketajaman pikiran, berpikir
secara objektif, analitis, kritis, dan sistematik, mampu menggabungkan aspek
intuitif, teologis, filosofis, dan metafisik yang melengkapi fokus pemikiran
empiris rasional yang bertumpu pada ketajaman nalar belaka. Pencapaian
semua itu dibutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Perkembangan
karir fungsional menyita waktu dan proses yang cukup lama. Selain itu disiplin
kepakaran ditentukan oleh tingkat keahlian dan kompetensi yang dikuasai.
Adams & Dickey (Hamalik, 2002) menyimpulkan terdapat 13 peran
guru profesional di dalam situasi pembelajaran. Tiap peran menuntut
kompetensi atau keterampilan mengajar. Dalam tulisan ini hanya disebutkan
beberapa keterampilan yang dipandang “inti” untuk tiap peran guru, yaitu guru
sebagai:
1) Pengajar, menyampaikan ilmu pengetahuan perlu memiliki keterampilan
memberi informasi.
2) Pemimpin di kelas, perlu memiliki keterampilan cara memimpin kelompok
siswa.
3) Pembimbing, perlu memiliki keterampilan cara mengarahkan dan
mendorong kegiatan belajar siswa.
4) Pengatur lingkungan, perlu memiliki keterampilan mempersiapkan,
menyediakan alat dan materi belajar.
5) Partisipan, perlu memiliki keterampilan cara memberi saran,
mengarahkan pemikiran siswa dan memberikan penjelasan.
6) Ekspeditur, perlu memiliki keterampilan menyelidiki sumber masyarakat
yang akan digunakan.
7) Perencana, perlu memiliki keterampilan cara memilih dan meramu materi
pembelajaran secara profesional.
8) Supervisor, memiliki keterampilan mengawasi kegiatan siswa.
9) Motivator, memiliki keterampilan memotivasi siswa belajar.
10) Penanya, perlu memiliki keterampilan cara bertanya yang merangsang
siswa berpikir dan cara memecahkan masalah.

86
11) Pengajar, perlu memiliki keterampilan cara memberi penghargaan
terhadap siswa yang berprestasi.
12) Evaluator, perlu memiliki keterampilan cara menilai siswa secara objektif,
kontinyu, dan komprehensif.
13) Konselor perlu memiliki keterampilan cara membantu siswa yang
mengalami kesulitan tertentu.

4.9 Kemandirian
Konsep kemandirian pada hakikatnya bersumber dari motivasi
internal yang dimiliki seseorang. Covey (2005) menyatakan bahwa di dalam
kehidupan manusia ada tiga komponen penting yang harus dilalui, yaitu:
ketergantungan kepada orang lain, (2) kemandirian, dan (3)
kesalingtergantungan. Ketiga komponen tersebut secara terus menerus terjadi
dalam kehidupan manusia.
Covey (2005) menyatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan
untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan
bertindak, serta tidak tergantung kepada orang lain secara emosional. Pada
intinya kemandirian mencerminkan keinginan yang mengakar untuk mengatur
diri sendiri, kemampuan untuk mengikuti pikiran sendiri dan berusaha
mewujudkan keinginan yang ditentukan sendiri.
Kemandirian merupakan prestasi. Jika individu tidak ingin mencapai
kemandirian sejati, adalah bodoh untuk berusaha mengembangkan
keterampilan dalam hubungan manusia. Lebih lanjut Covey (2005)
menyatakan bahwa “kemandirian adalah penghargaan diri”. Penghargaan diri
merupakan kemampuan menghormati dan menerima diri sendiri sebagai
pribadi, yang pada dasarnya baik. Selain itu penghargaan diri itu memahami
kelebihan dan kekurangan diri. Makna lain dari penghargaan diri adalah
menyukai diri sendiri sehingga tidak perlu berusaha membuat orang lain
terkesima. Covey (2005) lebih lanjut menyatakan bahwa kemandirian juga
berarti aktualisasi diri, yang merupakan kemampuan mengejewantahkan
(mengaktualisasikan) kemampuannya yang potensial.

87
Kemandirian diartikan sebagai aktivitas yang berlangsung karena
didorong kemauan, pilihan dan tanggung jawab sendiri, yang diperankan oleh
guru yang membina siswa dalam proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan
konsep kemandirian dalam bekerja dijelaskan Tirtamihardja dan Sulo (2000)
yang “bertumpu pada prinsip individu bekerja hanya akan sampai kepada
memperoleh hasil dari pekerjaannya, mulai dari keterampilan, pengembangan
nalar, pembentukan sikap, sampai kepada penemuan diri sendiri.”
Kemandirian adalah segenap aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang untuk melaksanakan keinginannya yang mengakar, mengarahkan
dan mengendalikan diri sendiri; tidak bergantung kepada orang lain; mengatur
diri sendiri, pilihan sendiri, tanggung jawab sendiri; menghargai diri sendiri;
dan melakukan aktualisasi diri. Danim (2002) menyatakan kemandirian itu
adalah: “…orang yang biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan
mengabdikan diri pada pengguna jasa disertai rasa tanggung jawab atas
kemampuan profesionalnya, atau penampilan seseorang yang sesuai dengan
ketentuan profesi”.
Ornstein & Levine dalam Soetjipto dan Kosasi (1999) menyatakan
kemandirian itu”… otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup
kerja tertentu yang tidak diatur oleh orang luar”. Sanusi dkk (1991)
menyatakan “tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan
judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya. Dalam
praktiknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari
campur tangan orang luar. Kochman dalam Usman (2001) berpendapat
seorang yang mandiri itu mempunyai otonomi yang luas dan dalam banyak hal
menentukan standarnya sendiri.
Tenaga kependidikan memiliki kemandirian yang memenuhi semua
sifat profesional. Untuk itu guru harus profesional dalam melaksanakan
tugasnya. Pendapat More (Sutisna, 1993) menyatakan guru mandiri
memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali.
Schien (Makmun, 1996) mengemukakan kriteria pekerja profesional
mempunyai otonomi dalam bertindak mengenai apa yang baik bagi klien. Dia
adalah orang yang lebih tahu tentang apa yang baik bagi klien daripada klien
itu sendiri.
88
Berarti kemandirian itu bersumber dari dalam diri sendiri. Al Faqi
(2005) menyatakan “motivasi internal dapat membuat seseorang mampu
mengarahkan kekuatan diri secara maksimal untuk merealisasikan keinginan
yang besar” Terutama bagi guru di lingkungan tempatnya bertugas, harus
memiliki kemampuan mandiri. Selanjutnya Al Faqi (2005) menyatakan akibat
yang ditimbulkan oleh motivasi internal tersebut adalah: 1) Penyebab
bangkitnya seseorang untuk melakukan berbagai hal, lebih dari biasanya. 2)
Kekuatan yang terpendam di balik kesuksesan seseorang. 3) Perselisihan
yang menjelaskan perbedaan hidup manusia. 4) Kekuatan yang mendorong
seseorang menanam “bunga” pada diri sendiri daripada menunggu orang
menyediakan. 5) Cahaya yang terpancar dari diri sendiri. 6) Raksana yang
tidur, yang berada dalam diri sendiri dan menunggu untuk dibangunkan.
Kemandirian juga merupakan motivasi internal yang merupakan
potensi diri yang besar. Sebagaimana dinyatakan oleh Emerson yang dikutip
Murdoko (2006) “Sesuatu yang berada di depan dan di belakang kita dianggap
sangat kecil dibandingkan dengan yang ada di dalam diri”. Tiap orang perlu
mengolah apa yang ada di dalam dirinya. Selanjutnya Murdoko (2006)
menyatakan untuk mengefektifkan pengelolaan diri diperlukan empat pilar
kualitas pribadi. Keempat pilar ini merupakan indikator pengelola diri, yaitu: (1)
kesadaran diri, (2) pengaturan diri, (3) pembiasan diri, (4) evaluasi diri.
Tiap kemandirian menuntut kecerdasan emosi. Menurut Goleman
(Stein & Book, 2002) dalam kecerdasan emosi terdapat dua kecakapan yang
meliputi (1) kecakapan pribadi yaitu mengelola diri sendiri, dan (2) kecakapan
sosial. Dalam kecakapan pribadi tercakup kesadaran diri, yaitu mengetahui
kondisi diri sendiri, kesukaan, sumberdaya dan institusi seperti kesadaran
emosi merupakan pengenalan emosi diri sendiri beserta efeknya. Penilaian
diri secara teliti akan mengetahui kekuatan dan batas diri sendiri. Percaya diri
merupakan keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri. Selain itu dalam
kecerdasan emosi Goleman (Stein & Book, 2002) terdapat pengaturan diri
yaitu mengelola kondisi dan sumberdaya diri seperti pengendalian diri.
Pengendalian diri adalah mengelola emosi dan desakan hati yang rusak. Sifat
dapat dipercaya yaitu memelihara kejujuran dan integritas, kewaspadaan
untuk bertanggung jawab atas kinerja pribadi.

89
Guru perlu mandiri, karena sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, ada alasan yang dapat memperkuat konsep
kemandirian guru. Semiawan dkk (1998) mengemukakan alasannya bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan yang pesat sehingga tidak
mungkin lagi guru mengajarkan semua konsep kepada siswa. Di samping,
kemungkinan juga tidak perlu karena kemampuan manusia yang terbatas
untuk menampung ilmu. Jalan keluarnya adalah guru dari sejak dini dibia-
sakan bersikap selektif terhadap informasi yang membanjirinya, mencari
dengan menggunakan berbagai sumber dan media.
Guru perlu belajar memiliki sikap mandiri, sebagaimana sikap
seseorang yang harus dapat melepaskan ketergantungan kepada orang lain.
artinya guru harus aktif mencari sendiri materi terbaru tanpa perintah dari
pihak manapun. Termasuk dalam hal ini, guru mandiri dalam mengembangkan
kemampuan intelektualnya dan kemajuan karir.

90

Anda mungkin juga menyukai