Anda di halaman 1dari 21

BAGAIMANA ETOS KERJA MUSLIM UNTUK MENCAPAI PRESTASI YANG

OPTIMAL

Essay ini disusun untuk memenuhi tugas UAS Agama Islam

Disusun oleh

Adinda Dwi Putri Juniasari (30523007)

Dosen Pengampu

Safari Hasan, S.IP.,M.MRS

PROGRAM STUDI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN

FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KOTA KEDIRI

2024
Pendahuluan

Agama Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan


manusia baik kehidupan spiritual maupun kehidupan material termasuk di
dalamnya mengatur masalah etos kerja. Secara implisit banyak ayat al Qur’an
yang menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, diantaranya dalam Quran surat
al Insirah: 7-8, yang artinya ”Apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), maka
kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Adapun dalam sebuah
hadis diriwayatkan oleh Aisyah ra, rasulullah saw. Pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia
itqan (menyempurnakan) pekerjaannya.” (HR. Thabrani)

Pada era zaman saat ini, sumber informasi dengan adanya teknologi
sangat cepat sekali penyebarannya. Peranan teknologi informasi yang ada
tentunya tidak dapat mengabaikan fungsi sumber daya manusia yang ada, karena
manusia memiliki peran penting dalam menjalankan sumber daya lain yang ada
dalam sebuah organisasi. Manusia dipandang sebagai salah satu sumber daya
yang mampu untuk menggerakkan sumber daya lain yang ada dalam sebuah
organisasi termasuk dengan adanya teknologi yang kian lama semakin canggih.
Keberhasilan suatu organisasi baik besar maupun kecil bukan semata-mata
ditentukan oleh sumber daya alam atau teknologi yang tersedia, melainkan banyak
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang berperan dalam
merencanakan, malaksanakan, dan mengendalikan organisasi (Manullang, 2005).

Pendekatan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia


dapat dilakukan melalui pendekatan psikologis dan organisasi, budaya serta
agama. Menurut Mangkunegara (2005:04) bahwa dalam hubungan dengan
pencapaian kerja individu dan organisasi di era globalisasi perlu dilandaskan
pendekatan psikologi dan organisasi, pendekatan budaya serta agama. Peran
sumber daya manusia dalam memajukan suatu perusahaan sangatlah penting.
Salah satu pendekatan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah
melalui pendekatan agama. Dalam agama Islam terdapat konsep etos kerja Islami
yang berlandaskan Al Quran serta contoh dari Nabi Muhammad SAW.

Dalam Al Qur’an dan Hadis dianjurkan kepada manusia, khususnya umat


Islam agar memacu diri untuk bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin,

2
dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi sehingga dapat meraih
kesuksesan dan berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya di samping
kehidupan akhiratnya.

Manusia adalah suatu makhluk yang diarahkan dan terpengaruh suatu


keyakinan yang mengikatnya, salah atau benar keyakinan tersebut niscaya
mempengaruhi perilaku orang bersangkutan (Nuwair dalam Asifudin, 2004:30). Ali
dan Owaihan dalam Marsalia (2008:02) menjelaskan bahwa sejak awal masa
muslim, khususnya umat muslim telah menawarkan pandangan pada pekerjaan
dan telah merumuskan secara jelas mengenai konsep etos kerja. Etos kerja erat
kaitannya dengan nilai-nilai kerja yang diyakini dan dimiliki oleh seorang karyawan,
yang nantinya mempengaruhi sikap karyawan dalam bekerja.

Keberadaan etos kerja yang tinggi dalam diri para karyawan dalam suatu
perusahaan akan membuat para karyawan tersebut efektif dalam bekerja. Sikap
bertanggung jawab, keinginan dan keberanian untuk melakukan inovasi pada
proses kerja di perusahaan merupakan perwujudan dari keberadaan etos kerja
yang tinggi dalam diri para karyawan. Sebagai hasilnya, kinerja karyawan akan
terus meningkat dan berdampak terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan
(Sutisna, 2012).

Salah satu faktor yang menentukan terhadap meningkatnya kinerja


karyawan adalah faktor kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang baik akan
menyebabkan meningkatnya kinerja karyawan. Kepuasan kerja dapat diperoleh
apabila seorang karyawan mendapatkan pengaturan yang baik dari sebuah
organisasi. Namun, apabila karyawan tidak mendapatkan pengaturan yang baik
maka akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja akan semakin menurun, pada
akhirnya cenderung berprilaku negatif seperti aksi demontrasi, mogok kerja, dan
sebagainya.

Salah satu metode dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia


tersebut sehingga berdampak terhadap kepuasan kerja yang pada akhirnya akan
meningkatkan kinerja karyawan ialah melalui etos kerja islam yang memiliki
pengertian yaitu suatu karakter dan kebiasaan manusia berkenaan dengan kerja,
terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islam yang merupakan sikap hidup
mendasar terhadapnya. Menurut Tasmara (2002:15), etos kerja Islam adalah

3
suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, pikiran,
dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai
hamba Allah yang menundukan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian
dari masyarakat yang terbaik (khairul ummah) atau dengan kata lain dapat juga
kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.

Bagaimana sebenarnya ajaran Islam tentang Etos kerja dan bagaimana


umatnya seharusnya bekerja? Melalui makalah ini, penulis mencoba memaparkan
tentang Etos kerja dalam perspektif Islam dengan pendekatan teoritis maupun
praktis, dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi umat Islam sekaligus
dapat memotivasi diri untuk bekerja keras. Dan dapat menambah khazanah
keilmuan semakin mendalam. (Saifullah, 2010)

Definisi Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yaitu sifat khusus dari perasaan
moral dan kaidah-kaidah etis sekelompok orang. Menurut Sinamo (2005:5), etos
kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan
fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral.
Tasmara (2002:27), menjelaskan bawa Etos kerja Islam adalah sikap kepribadian
yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja
untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusianya, melainkan juga sebagai
manifestasi dari amal saleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang
sangat luhur. Menurut Asifudin (2004:234), merupakan karakter dan kebiasaan
manusia berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan/aqidah Islam
yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos kerja Islam adalah
akhlak dalam bekerja sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga dalam
melaksanakannya tidak perlu lagi dipikir-pikir karena jiwanya sudah meyakini
sebagai sesuatu yang baik dan benar. (Sono et al., 2017)

Menurut Arifin (2007:63), Maka secara lengkapnya ”etos’’ ialah karakteristik


dan sikap, kebiasaan, serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus
tentang seseorang individu atau sekelompok manusia. Tasmara (2002:15),
menambahkan penjelasan bahwa dari kata etos ini, di kenal pula kata etika, etiket,
yang hampir mendekati pada pengertian ahklak atau nilai yang berkaitan dengan
baik buruk (moral). Makna nilai moral merupakan suatu pandangan batin yang

4
bersifat mendarah daging. Dia merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan
pekerjaan yang terbaik, bahkan sempurna. Oleh karena itu, etos bukan sekedar
kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi, dia adalah martabat,
harga diri, dan jati diri seseorang. Sehingga, dalam etos tersebut terkandung
gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal,
lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas yang sesempurna
mungkin.

Secara lebih hakiki, bekerja bagi seorang muslim merupakan ibadah bukti
pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Illahi
agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan
sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos terbaik. Jika kerja adalah ibadah dan
status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja
pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau
fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan
langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana
individuallah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang membedakan


antara etos kerja dan etos kerja islam adalah kaitannya dengan nilai serta cara
meraih tujuannya. Bagi seorang muslim yang bekerja merupakan ibadah, ibadah
pada dasarnya adalah wajib, sehingga bekerja merupakan kewajiban yang hakiki
dalam menggapai ridho Allah SWT. Ini lah yang dinamakan etos kerja Islam,
dimana etos kerja Islam merupakan semangat dan sikap kerja yang total dan
dilandasi dengan niatan semua karena Allah SWT, sehingga pekerjaanya
mendatangkan materi dan juga mendatangkan amal.

Tujuan dan Motivasi Kerja

Yang dimaksud tujuan kerja adalah target yang ingin dicapai oleh
seseorang dalam bekerja. Tujuan dalam kerja sebenarnya tidak lepas dari latar
belakang yang menjadi motivasi seseorang dalam bekerja. Hal penting yang
senantiasa melatar belakangi seseorang dalam mencapai tujuan dalam bekerja
adalah faktor kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan manusia terdiri atas dua
macam kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan material dan kebutuhan spiritual.

5
Kebutuahan spiritual sangat penting peranannya dalam memotivasi seseorang
untuk melakukan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan material.

Dalam kaitannya dengan tujuan dan motivasi kerja, Hadari Nawawi (2001)
mengemukakan bahwa, ada dua macam motivasi yang mendorong manusia ke
arah tujuan kerjanya, yaitu: motivasi intristik dan motivasi ekstrintik. Motivasi
intristik adalah motivasi yang menyertai seseorang bekerja dengan dedikasi tinggi
karena merasa memperoleh kesempatan untuk tujuan dapat mengaktualisasikan
diri dengan maksimal, sedangkan motivasi ekstrintik adalah motivasi yang
menyertai seseorang bekerja dengan cukup dedikasi karena tujuan ingin
memperoleh uang atau gaji tinggi.

Dari paparan tersebut patutlah disepakati bahwa bekerja yang benar


mempunyai tujuan ganda yaitu ukhrawi yaitu ingin mendapat pahala mencari
keridlaan Allah Swt, karena bernilai ibadah dan duniawi dalam arti ingin mendapat
imbalan materi materi berupa uang atau gaji, guna mencukupi kebutuhan hidup
keluarganya. Namun perlu diperhatikan bahwa tujuan bersifat material berarti
imbalan upah, gaji yang setimpal, terkadang disalah artikan dengan memperoleh
imbalan sebanyak-banyaknya yang ujung-ujungnya hanya dipakai untuk
bersenang-senang (hedonisme) serta pamer pada sesama dalam kedudukan
sosial, yang pada akhirnya menghalalkan bergai cara, seperti menipu, korupsi dan
lain-lain.

Tentang motivasi kerja, Anwar Prabu Mangkunegara (2007) memberikan


definisi motivasi kerja dengan mengutip pendapat Ernest J.McCormick sebagai
berikut: Work motivation is defined as conditions which influence the arousal,
direction, and maintenance of behaviors relevant in work settings (Motivasi kerja
adalah kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara
perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja).

David C. Mc Clelland berkomentar, ada tiga motivasi yang dimiliki oleh


seseorang dalam bekerja, yaitu: Pertama, motivasi yang didasarkan atas
ketakutan (fear motivation). Dia melakukan sesuatu karena takut jika sesuatu yang
buruk akan terjadi, misalnya orang patuh pada bos karena takut dipecat dari
pekerjaannya. Kedua, motivasi karena ingin mencapai sesuatu (achievement
motivation). Seseorang mau melakukan sesuatu karena ingin mencapai suatu

6
prestasi tertentu. Ketiga adalah motivasi yang didorong oleh kekuatan dari dalam
atau kekuatan batin (inner motivation), yaitu kekuatan yang mendasari tujuan
hidupnya. (Prabu Mangkunegara, 2007).

Dengan tidak melebihkan dan melemahkan berbagai teori dan pendapat di


atas, penulis menyimpulkan bahwa motivasi kerja yang mampu membentuk
seseorang beretos kerja tinggi adalah kebutuhan untuk berprestasi yang didorong
oleh kekuatan spiritual sehingga mampu melaksanakan kewajiban pekerjaannya
dengan amanah penuh tanggung jawab.

Di samping tujuan dan motivasi, ada juga beberapa unsur yang turut
menentukan tinggi rendahnya etos kerja seseorang, sebagaimana dikemukakan
Hadari Nawawi bahwa, setidaknya ada lima unsur-unsur etos kerja, yang apabila
lima unsur tersebut baik maka baiklah etos kerja seseorang dan apabila lima unsur
tersebut jelak maka jeleklah etos kerja seseorang. Lima unsur etos kerja tersebut
adalah motivasi kerja, tujuan kerja, pola kerja, semangat kerja dan tekat kerja.
Lima unsur inilah yang banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur tinggi
rendah etos kerja seseorang.

Etos Kerja dalam Perspektif Islam

Agama Islam adalah agama yang di dalamnya mengatur seluruh aspek


kehidupan manusia baik kehidupan spiritual yang bersifat ukhrawi maupun
kehidupan material yang bersifat duniawi termasuk di dalamnya mengatur
masalah Etos kerja.

Secara implisit banyak ayat al Qur’an yang menganjurkan umatnya untuk


bekerja keras, dalam arti umat Islam harus memiliki etos kerja tinggi, diantaranya
dalam Quran surat al Insirah: 7-8, yang artinya ”Apabila kamu telah selesai (dari
satu urusan), maka kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Ayat
ini menganjurkan kepada manusia, khususnya umat Islam agar memacu diri untuk
bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin, dalam arti seorang muslim
harus memiliki etos kerja tinggi sehingga dapat meraih sukses dan berhasil dalam
menempuh kehidupan dunianya di samping kehidupan akheratnya.

a. Keseimbangan antara Kerja dan Ibadah

7
Yusuf Qardhawi (1996:12) menjelaskan, bahwa Agama Islam
memiliki beberapa karakteristik, salah satu di antaranya adalah wasatiyah
atau dengan istilah lain tawazun, yaitu sikap hidup pertengahan atau sikap
seimbang antara kehidupan material dan spiritual. Ini artinya sebagai
seorang Muslim harus dapat menyeimbangkan antara dua kutub
kehidupan yaitu kehidupan material yang bersifat duniawi dan kehidupan
spiritual yang bersifat ukhrawi.
Nilai moderat inilah yang mengantarkan dan mengisyartkan umat
Islam menempatkan diri sebagai umat pertengahan, kelompok moderat
dibanding dengan umat-umat lain yang cenderung berlebih-lebihan di
antara salah satu aspek yang berlawanan. Misalnya ada umat yang
cenderung kepada spiritual belaka sehingga mengabaikan aspek fisik
material, yang cenderung hidup bertapa mengasingkan diri dari halayak
ramai, pantang kawin, dan berpuasa sepanjang waktu. Tetapi sebaliknya
terdapat pula golongan yang berwawasan keduniaan belaka dan
menganggap akhirat tidak penting, ini penganut faham materialisme dan
sekulerisme, mereka tidak mau tahu tentang Tuhan dan agama serta tidak
percaya adanya hari pembalasan di hari kiamat. (Hamzah Ya’qub, 1992;
62)
’Aqidah, syari‘ah Islam menolak keduanya dan mengambil jalan
lurus, yaitu jalan moderat sesuai dengan satusnya sebagai ummah
wasatiyah (ummat pertengahan), sebagaimana difirmankan Allah dalam al-
Qur’an surat Al Baqarah: 143, yang artinya: Dan demikianlah kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), sebagai umat pertengahan, agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.
Ayat ini memberikan penjelasan bahwa umat Islam bukanlah
ummat yang ekstrim dan radikal, yang condong pada salah satu aspek
kehidupan saja, akan tetapi umat Islam adalah umat yang berupaya
berpegang teguh pada prinsip keseimbangan hidup, keselarasan hidup
dan prinsip inilah yang mewarnai etos kerjanya, sehinga kerja-kerja
ekonomi dan ibadah pun menjadi selaras dan seimbang, dalam arti
masing-masing dikerjakan sesuai dengan jadwal waktunya.
Islam memiliki banyak kelebihan, yang dengannya dapat
membedakan dengan agama lainnya. Di antara kelebihan Islam adalah

8
adanya asas keseimbangan, wawasan keselarasan dan keserasian antara
duniawi dan ukhrawi, antara material dan spiritual, antara lahir dan batin,
antara kerja guna memenuhi kebutuhan keluarga dengan ibadah.
Dalam ayat lain, Allah berfirman : Artinya : Dan carilah karunia yang
Allah berikan kepadmu di negeri akherat , tetapi jangnlah kamu lupakah
bagianmua di dunia.(Qs. Al Qashash:77). Melalui ayat tersebut Allah
hendak memberikan informasi tentang pentingnya keharmonisan atau
keseimbangan antara kerja-kerja ukhrawi tanpa melupakan kerja-kerja
ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup duniawi.
Tentang pentingnya keseimbangan antara dua aspek kehidupan
manusia (material dan spiritual) telah disinggung oleh Rasulullah
Muhammad Saw melalui sabdanya: Berusahalah untuk urusan duniamu
seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan berusahalah untuk urusan
akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok pagi. (Al Hadis: Ibnu
Asakir)
Hadis tersebut menganjurkan kepada manusia, khususnya umat
Islam tentang pentingnya dua tempat kehidupan, yaitu, Pertama, tentang
pentingnya kehidupan dunia. Jika manusia ingin meraih sukses dan
berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya, maka manusia harus
memacu dirinya untuk bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin,
dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi. Kedua, tentang
pentingnya kehidupan akherat. Jika manusia ingin meraih sukses dan
berhasil dalam kehidupan akheratnya, maka manusia harus meningkatkan
spiritualitasnya, mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga akhirnya
diperoleh ketenangan jiwa.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat duniawi, seorang
muslim dituntut berikhtiar semaksimal mungkin, baik secara lahir maupun
batin. Ikhtiar lahir dilakukan dengan berusaha seoptimal mungkin sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki, dalam arti harus memiliki etos kerja atau
semangat kerja tinggi, dan ikhtiar batin dilakukan dengan banyak berdhikir
dan berdo’a memohon pertolongan hanya kepada Allah Swt. Bekerja keras
yang dibarengi dengan berdzikir dan berdo’a inilah yang menjadi ciri khas
etos kerja seorang muslim, jika hal ini terrealisasi dalam kehidupannya,

9
maka dapat menghasilkan rizki yang halal dan diridlai Allah, yang pada
akhirnya akan mendapatkan keberkahan dan keuntungan dunia akherat.
Setelah bekerja keras, berdzikir dan berdo‘a, maka berhasil
tidaknya diserahkan keputusan akhirnya kepada Allah Swt. Di sinilah posisi
tawakkal atau berserah diri dan ridla dalam menerima keputusan Allah.
Apabila keputusan Allah sesuai dengan usaha keras dan permohonan,
berarti kesuksesan yang diraih (kaya), maka diharuskan untuk
mensyukurinya, namun apabila ternyata keputusan Allah tidak sesuai
dengan yang diharapkan, dalam arti gagal (miskin), maka harus bersabar
dan tabah mengahadapinya.
Konsep ajaran Islam tersebut apabila dijadikan pegangan hidup
setiap muslim, maka akan mendapatkan ketenangan hidup dalam
menghadapi segala situasi dan kondisi apapun. Sukses tidak sombong dan
gagalpun tidak akan berputus harapan, apalagi putus asa. Sikap Syukur
apabila sukses dan sabar apabila gagal, akan menjadikan kita punya sikap
qana‘ah, yang pada gilirannya akan membawa ketenangan dan
ketentraman dalam hidup. Dan inilah hakekat kebahagiaan hidup yang
sebenarnya.
b. Pentingnya Spiritualitas dalam Kerja
Banyak faktor yang turut menentukan dalam suatu pekerjaan. Di
antaranya adalah faktor spiritualitas (mental, jiwa), sehebat apapun
peralatan canggih yang digunakan di jaman modern ini, jika pekerja-
pekerja tidak memiliki mentalitas dan semangat kerja tinggi maka tujuan
pekerjaan tidak akan dapat tercapai.
Pembangunan jiwa (spiritual) harus didahulukan daripada
pembangunan badan (fisik), dalam arti pembangunan fisik material tidak
akan terlaksana dan terwujud jika para pelaku pembangunan tidak memiliki
kematangan spiritual. Karenanya spiritualitas dalam karja menjadi hal yang
sangat urgen.
Hamzah Ya’qub (1992) menjelaskan bahwa ada beberapa sikap
kematangan spiritual yang perlu diperhatikan dalam menghadapi
pekerjaan di antaranya:
1. Niat ikhlas. Niat merupakan kemantapan tujuan luhur untuk apa
pekerjaan itu dilakukan. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup muslim

10
yang bekerja dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt. Islam
memberikan petunjuk pada umatnya, agar dalam setiap aktivitas dunia
yang dilaksanakannya tidak boleh keluar dari tujuan taqarrub dan
ibadah. Walaupun pekerjaan itu formalnya duniawi, tetapi hakekatnya
bernilai ibadah jika disertai niat yang ihlas karena Allah Swt. Dengan
demikian ihlas merupakan energi batin yang akan membentengi diri
seseorang dari segala bentuk perbuatan kotor dalam bekerja, seperti
korupsi, mencuri, berbohong, menipu, dan lainnya, karena itu
termasuk jalan haram yang amat dibenci oleh Allah Swt.(Toto
Tasmara:2004).
2. Kemauan Keras (‘azam). Untuk mengembangkan usaha apapun
bentuknya, agar dapat maju dan sukses maka diperlukan kemauan
keras, tekat membaja. Hal ini merupakan bahan bakar yang dapat
menggerakkan seseorang berbuat dan bertindak. Karya besar dimulai
dari kemauan keras, tanpa kemauan keras sangat kecil kemungkinan
untuk maju dan sukses. Tidak ada keberhasilan kecuali dengan usaha
yang sungguh-sungguh walaupun terkadang menyakitkan. Jadi
kemauan keras (‘azam) harus selalu menghiasi sikap hidup para
pekerja atau usahawan muslim. Apabila sudah ber‘azam maka
kebulatan tekat tentang berhasil dan tidaknya diserahkan sepenuhnya
kepada Allah, inilah arti tawakkal yang sebenarnya.
3. Ketekunan (istiqamah). Istiqamah adalah daya tahan mental dan
kesetiaan melakukan sesuatu yang telah direncanakan sampai ke
batas akhir suatu pekerjaan. Istiqamah juga berarti tidak mudah
berbelok arah betapapun kuatnya godaan untuk mengubah
pendiriannya, ia tetap pada niat semula. Walaupun dihadapkan
dengan segala rintangan, ia masih tetap berdiri (konsisten), ia tetap
menapaki jalan yang lurus, tetap tangguh menghadapi badai, tetap
berjalan sampai batas, tetap berlayar sampai ke pulau, walaupun
sejuta halangan menghadang. Ini bukan idialisme, tetapi sebuah
karakter yang melekat pada jiwa seorang muslim yang memiliki
semangat tauhid yang tangguh. (Toto Tasmara: 2004).
4. Kesabaran. Kesabaran adalah sikap hidup seorang muslim yang
sangat berharga. Sikap ini sangat dibutuhkan dalam berjuang dan

11
bekerja, dan ini termasuk akhlakul karimah yang seharusnya
diperjuangkan dalam hidup. Berbagai hambatan dan tantangan akan
dapat ditanggulangi selama kesabaran masih melekat dan bersemi
dalam jiwa manusia. Ahli hikmah mengatakan bahwa kesabaran itu
pahit laksana jadam, tetapi buahnya manis bagaikan madu. Kenyataan
hidup mengatakan bahwa orang-orang yang sukses dan berhasil
mencapai kemajuan dalam hidup karena mereka memiliki kesabaran
dalam mengatasi berbagai ujian dan cobaan dalam
kehidupan.(Hamzah Ya’qub: 1992).

Keempat sikap hidup yang menunjukkan kematangan spiritual


seseorang tersebut, seharusnya dijadikan motor penggerak kehidupan
seorang muslim dalam menghadapi pekerjaan, sehingga akan
memperoleh hasil secara maksimal dalam arti sukses dalam kehidupan
duniawi maupun ukhrawinya. Hal inilah yang seharusnya
diimplementasikan dalam kehidupan seorang Muslim.

Islam bukanlah agama langit, melainkan sekaligus agama yang dapat


membumi (workable). Penghargaan Islam terhadap budaya kerja bukan
sekedar pajangan alegoris, penghias retorika, pemanis bahan pidato,
indah dalam pernyataan, tetapi kosong dalam kenyataan. Bekerja yang
didasarkan pada prinsip-prinsip iman, bukan saja menunjukkan seorang
muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai
hamba Allah (‘abdullah). Maksudnya, hanya di tangan hamba Allah yang
beriman, apapun yang dilakukan tidak mungkin cacat atau rusak,
sehingga pantaslah jika mereka diberi amanah, karena mereka sudah
membuktikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya (al-amin,
credible). Ini artinya, hanya orang Islam yang tangguh imannya, yang
dapat menjadi pekerja keras dan beretos kerja tinggi.

Iman bukanlah sekedar percaya, iman bukanlah pernyataan yang


tersembunyi tanpa bukti, melainkan merupakan pelita jiwa yang
menerangi seluruh pori-pori syaraf batin yang mendorong seseorang
untuk berbuat menggapai prestasi kerja dalam mengemban misi
kehidupannya. Iman akan bermakna bila berwujud dalam gerak kerja

12
keras, ada dorongan untuk membuahkan sesuatu yang bermanfaat.( Toto
Tasmara:2004). Dengan kata lain dapat dipahami bahwa tidaklah beriman
atau tidaklah sempurna iman seseorang yang hanya menyakini dalam hati
dan mengucap dalam kata, tetapi hampa dalam perbuatan. Pandai
membuat pernyataan, tetapi bodoh mewujudkannya dalam kenyataan.

Berdasarkan sejumlah riwayat, kehidupan Rasulullah, para sahabat


dan banyak dari kalangan ulama salaf, ternyata mereka layak dijadikan
suri tauladan, tidak hanya di bidang ibadah, melainkan di bidang aktivitas
duniawipun mereka menunjukkan memiliki etos kerja tinggi. Dalam
kehidupan Rasulullah sendiri, jika dicermati beliau selalu berusaha
memanfaatkan waktu untuk melakukan kerja dan perbuatan mulia, baik
berupa ibadah mahdah, menuanaikan kewajiban untuk dirinya sendiri dan
keluarga, berbuat baik kepada sesama, mengatur dan melaksanakan
jihad, dakwah dan lainya. Jadi Rasulullah sendiri adalah seorang figur
yang memiliki etos kerja amat tinggi.

Para sahabat terdahulu (khulafaur Rasyidin) juga banyak yang


mempunyai sikap kerja yang mencerminkan etos kerja tinggi dan sangat
mengagumkan, seperti Abu Bakar, sebelum menjadi khalifah beliau
adalah pedagang yang setiap hari pergi ke pasar melakukan jual-beli.
Bahkan sampai beberapa waktu setelah diangkat menjadi khalifah
pekerjaan itu masih dijalani. Khalifah berikutnya, Umar bin al-Khattab,
selain termashur amat sederhana dan jujur, sejarah mencatatnya sebagai
pemimpin yang suka bekerja keras dan penuh tanggung jawab. Demikian
juga Usman ibn Affan, ia merupakan sosok hartawan murah hati,
pengusaha besar yang sukses dan ia mempunyai sifat teliti, tekun, rajin
dan pekerja keras. Dan khalifah terakhir, Ali bin Abi Talib, ia dikenal
sebagai pemimin yang jauh dari sifat malas, dan merupakan khalifah yang
sangat giat dalam mengurusi kepentingan ummat. Ia amat menghargai
waktu dan senatiasa mengabadikan waktunya untuk melakukan amal
kebajikan.( Asifuddin, ). Jadi hasil kerja keras, berupa harta benda yang
diperoleh para sahabat selama bekerja bukan untuk membangun rumah
mewah atau berfoya-foya, melainkan untuk menolong umatnya yang
membutuhkan dan membantu tegaknya syiar dan perjuangan Islam.

13
Dalam perjalanan sejarah ulama-ulama terdahulu, seperti Imam
Ghazali, Imam Suyuti, Imam Bukhari, Imam Muslim, al-Kindi, Ibn Rusdi,
Ibn Khaldun, Fahrurrazi, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyum dan sejumlah ulama-
lainnya adalah ulama-ulama Islam yang berhasil mengukir sejarah dunia
dengan berbagai prestasi yang luar biasa, dan itu semuanya dapat
diraihnya bukan dengan sikap malas atau santai, melainkan dicapainya
dengan semangat kerja atau etos kerja yang sangat tinggi.1 Jadi tujuan
mereka bekerja hanyalah untuk memperoleh ridla Allah dan demi kejayaan
umat Islam. Mereka bekerja dalam rangka beribadah pada Allah Swt.
Karena itu hasil yang diperoleh benar-benar berkah dan bermanfaat baik
bagi dirinya maupun umat Islam secara keseluruhan.

Kesemuanya itu menjadi bukti bahwa etos kerja tinggi pada hakikatnya
sudah menyatu dalam kehidupan tokoh-tokoh panutan umat Islam,
semenjak Nabi Muhammad Saw, sahabat khulafaur rasyidin, ulama-ulama
klasik, ulama-ulama modern dan seterusnya diwarisi oleh sejumlah
masyarakat Islam di berbagai negeri, termasuk di Indonesia.

Jikalau kemudian ada umat Islam yang beretos kerja rendah, hal itu
pasti bukan disebabkan oleh ajaran Islam yang salah, melainkan karena
faktor pemahaman manusia terhadap ajaran Islam yang keliru atau sangat
dimungkinkan adanya faktor lain di luar ajaran Islam seperti karena
orientasi dalam bekerja mereka berubah, yakni tidak lagi sesuai dengan
konsep Islam, maka yang terjadi adalah kehancuran. Hal ini terbukti dalam
sejarah, yakni ketika umat Islam silau oleh dunia dan lupa akan akhirat,
tujuannya bukan untuk mengharap ridla Allah melainkan untuk
mendapatkan harta sebanyak banyaknya, menumpuk-numpuk kekayaan
dan bersenang-senang, maka akhirnya umat Islam jatuh ke lembah
kemunduran dan menjadi umat yang termarjinalkan oleh situasi dan
kondisi jaman, yang pada akhirnya tidak memiliki sesuatu yang berarti dan
patut dibanggakan.

Ciri Etos Kerja Islam

Tasmara (2002:103), Ciri – ciri orang yang mempunyai dan menghayati


etos kerja Islam akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan

14
pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan
bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya,
memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan. Adapun ciri ciri
tersebut adalah:

a. Kecanduan terhadap waktu


Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang
menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu
detik berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito paling
berharga yang dianugerahkan Allah SWT secara gratis dan merata kepada
setiap orang. Apakah dia orang kaya atau miskin, penjahat atau orang alim
akan memperoleh jatah deposito waktu yang sama, yaitu 24jam atau 1.440
menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari. Tergantung kepada
masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan depositonya
tersebut.
b. Memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja
Islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas yang diambil dari bahasa Arab
mempunyai arti bersih, murni (tidak terkontaminasi), sebagai antonim dari
syirik (tercampur). Ibarat ikatan kimia air (H2O), dia menjadi murni karena
tidak tercampur apapun, dan bila sudah tercampur sesuatu (misalnya CO2)
komposisinya sudah berubah dan dia bukan lagi murni H2O. Kata ikhlas
dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin sincerus: pure) yang
berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar yang keluar dari
hati nuraninya yang paling dalam (based on what is truly and deeply felt,
free from dissimulation).
c. Memiliki kejujuran
Di dalam jiwa seorang yang jujur itu terdapat komponen nilai ruhani yang
memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan sikap
moral yang terpuji (morally upright).
d. Memiliki komitmen
Yang dimaksudkan dengan commitment (dari bahasa Latin: committere, to
connect, entrust-the state of being obligated or emotionally impelled)
adalah keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga

15
membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan
perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i’tiqad).
e. Istiqomah atau kuat pendirian
Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten
(dari bahasa Latin consistere; harmony of conduct or practice with
profession; ability to be asserted together without contradiction), yaitu
kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan
mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus
berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu
mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetap teguh
pada komitmen, positif dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi
yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang
kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap
penuh gairah.
f. Disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin (Latin: disciple,
discipulus, murid, mengikuti dengan taat), yaitu kemampuan untuk
mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi
yang sangat menekan.
g. Konsekuen dan berani menghadapi tantangan
Ciri lain dari pribadi muslim yang memiliki budaya kerja adalah
keberaniannya menerima konsekuensi dari kuputusannya. Bagi mereka,
hidup adalah pilihan (life is a choice) dan setiap pilihan merupakan
tanggung jawab pribadinya.
h. Memiliki sikap percaya diri (self confidence)
Sikap percaya diri dapat kita lihat dari beberapa ciri kepribadiannya yang
antara lain sebagai berikut:
1) Mereka berani menyatakan pendapat atau gagasannya sendiri
walaupun hal tersebut beresiko tinggi, misalnya menjadi orang yang
tidak populer atau malah dikucilkan.
2) Mereka mampu menguasai emosinya; ada semacam self regulation
yang menyebabkan dia tetap tenang dan berpikir jernih walaupun
dalam tekanan yang berat (working under pressure).

16
3) Mereka memiliki independensi yang sangat kuat sehingga tidak mudah
terpengaruh oleh sikap orang lain walaupun pihak lain adalah
mayoritas. Baginya, kebenaran tidak selalu dicerminkan oleh kelompok
yang banyak.
i. Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan
baru dan asli (new and original: using or showing use of tha imagination to
create new ideas or things) sehingga diharapkan hasil kinerjanya dapat
dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif.
j. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan merupakan ciri bagi
muslim yang bertaqwa. Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan,
bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan cara
melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala
tuntutan.
k. Bahagia karena melayani
Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan
kepeduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan
pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetik keuntungannya,
tidak hanya di akhirat, tetapi di duniapun mereka sudah merasakannya.
l. Memiliki harga diri
Harga diri (dignity, self esteem) merupakan penilaian menyeluruh
mengenai diri sendiri, bagaimana ia menyukai pribadinya, harga diri
mempengaruhi kreatifitasnya, dan bahkan apakah ia akan menjadi
seorang pemimpin atau pengikut.
m. Memiliki jiwa kepemimpinan
Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus
memainkan peran (role) sehingga kehadiran dirinya memberikan
pengaruh pada lingkungan.
n. Berorientasi ke masa depan
Seorang pribadi muslim yang memiliki etos kerja tidak akan berkata, ”ah,
bagaimana nanti,” tetapi dia akan berkata,”nanti, bagaimana?” dia tidak
mau berspekulasi dengan masa depan dirinya. Dia harus menetapkan

17
sesuatu yang jelas dan karenanya seluruh tindakannya diarahkan kepada
tujuan yang telah dia tetapkan.
o. Hidup berhemat dan efisien
Dia akan selalu berhemat karena seorang mujahid adalah seorang pelari
marathon, lintas alam, yang harus berjalan dan lari jarak jauh. Karenanya,
akan tampaklah dari cara hidupnya yang sangat efisien di daam mengelola
setiap ”resources” yang dimilikinya. Dia menjauhkan sikap yang tidak
produktif dan mubazir karena mubazir adaah sekutunya setan yang maha
jelas. Dia berhemat bukanlah dikarenakan ingin memupuk kekayaan
sehingga melahirkan sikap kikir individualistis, melainkan dikarenakan ada
satu reserve bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan secara lurus, ada
up and down, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan
terjadi di masa yang akan datang.
p. Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship)
Dia memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi, yaitu kesadaran dan kemampuan
yang sangat mendalam (ulil abab) untuk melihat segala fenomena yang
ada di merenung, dan kemudian bergelora semangatnya untuk
mewujudkan setiap perenungan batinnya dalam bentuk yang nyata dan
realistis.
q. Memiliki jiwa bertanding (fastabiqul khoirot)
Semangat bertanding merupakan sisi lain dari citra seorang muslim yang
memiliki semangat jihad. Panggilan untuk bertanding dalam segala
lapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan penuh rasa
tanggung jawab.
r. Mandiri
Karena sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat
pada jiwa yang merdeka, sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk
dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu
mengaktualisasikan asset, kemampuan, serta potensi Ilahiahnya yang
sungguh sangat besar nilainya.
s. Haus mencari ilmu
Seorang yang mempunyai wawasan keilmuan tidak pernah cepat
menerima sesuatu sebagai taken for granted, karena sikap pribadinya
yang kritis dan tak pernah mau menjadi kerbau jinak, yang hanya mau

18
manut kemana hidungnya ditarik. Dia sadar bahwa dirinya tidak boleh ikut-
ikutan tanpa pengetahuan karena seluruh potensi dirinya suatu saat akan
diminta pertanggungjawaban dari Allah SWT (al-Isra’: 36).
t. Memiliki semangat perantauan
Mereka ingin memjelajahi hamparan bumi, memetik hikmah, mengambil
pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Jiwa perantauannya
mengantarkan dirinya untuk mampu mandiri, menyesuaikan diri, dan
pandai menyimak dan menimbang budaya orang lain. Hal ini
menyebabkan dirinya berwawasan universal, tidak terperangkap dalam
fanatisme sempit, apalagi kauvinisme yang merasa bahwa hanya bangsa
dan negaranya sajalah yang paling unggul.
u. Memperhatikan kesehatan dan gizi
Mens sana in corpore sano, bagi seorang muslim bukanlah hanya sebagai
motto olah raga, tetapi dia bagian dari spirit atau gemuruh jiwanya,
meronta dan haus untuk berprestasi.
v. Tangguh dan pantang menyerah
Izin Allah adalah sunnatullah yang berlaku universal. Bukan milik ummat
Islam saja tapi milik siapapun. Siapa yang menolak sunnah maka dia telah
menolak nikmat Allah. Maka, bekerja keras, ulet, dan pantang menyerah
adalah ciri dan cara dari kepribadian muslim yang mempunyai etos kerja.
Keuletan merupakan modal yang sangat besar di dalam menhadapi
tantangan dan tekanan (pressure), sebab sejarah telah banyak
membuktikan betapa banyak bangsa yang mempunyai sejarah pahit,
namun akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi, kohesivitas
kelompok, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi
lingkungannya.
w. Berorientasi pada produktifitas
Seorang muslim akan berhitung efisien, artinya selalu membuat
perbandingan antara jumlah keluaran (performance) dibandingkan
dengan energi (waktu tenaga) yang dia keluarkan (produktifitas: keluaran
yang dihasilkan berbanding dengan masukan dalam bentuk waktu dan
energi).
x. Memperkaya jaringan silahturahmi

19
Bersilaturrahmi berarti membuka peluang dan sekaligus mengikat simpul-
simpul informasi dan menggerakkan kehidupan. Manusia yang tidak mau
atau enggan bersilaturrahmi untuk membuka cakrawala pergaulan
sosialnya atau menutup diri dan asyik dengan dirinya sendiri, pada
dasarnya dia sedang mengubur masa depannya. Dia telah mati sebelum
mati.
y. Memiliki semangat perubahan (spirit of change)
Pribadi yang memiliki etos kerja sangat sadar bahwa tidak akan ada satu
makhluk pun di muka bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali
dirinya sendiri. Betapapun hebatnya seseorang untuk memberikan
motivasi, hal itu hanyalah kesia-sian belaka, bila pada diri orang tersebut
tidak ada keinginan untuk dimotivasi.

Kesimpulan

Dari beberapa pendapat dan penjelasan di atas di simpulkan bahwa Etos


Kerja Islam adalah sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat
mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan
kemanusianya, melainkan juga sebagai manifestasi dari amal saleh dan oleh
karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur. Bagi seorang muslim,
bekerja merupakan ibadah, ibadah pada dasarnya adalah wajib, sehingga bekerja
merupakan kewajiban yang hakiki dalam menggapai ridho Allah SWT. Sehingga
dari hal diatas menunjukkan bahwa Etos Kerja Islam mempunyai hubungan positif
terhadap kinerja karyawan. Hal ini didukung pandangan Islam, dimana suatu
kewajiban moral bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin
melaksanakan semua syari’ah (aturan) Islam dalam segala aspek kehidupan,
termasuk pencaharian kehidupan ekonomi dan khususnya pada urusan etika
dalam bekerja.

20
Daftar Pustaka

Anwar Prabu Mangkunegara, (2007), Mangemen Sumber Daya Manusia


Perusahan, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Arifin Johan. 2007. Fiqih Perlindungan Konsumen. Semarang: Rasail.

Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islami. Yogyakarta: UII Press.

Hadari Nawawi, (2001), Managemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang
Kompetitif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Indica, I Wayan Marsalia. 2013. Pengaruh Etos Kerja Islami dan Gaya
Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasional dan
Kinerja Karyawan

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Perencanaan dan Pengembangan


Sumberdaya Manusia. Bandung: PT. Refika Aditama

Manullang, M. 2005. Dasar-dasar Manajemen. Yogyakarta : Gadjah Mada


University Press.

Saifullah. (2010). ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM.


Sinamo, Jansen. 2005. Delapan Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju
Sukses. Bogor: Grafika Mardi Yuana

Sono, N. H., Hakim, L., & Oktaviani, L. (2017). Prosiding Seminar Nasional dan
Call For Paper Ekonomi dan Bisnis. Jember.

Sutisna, Entis. 2012. Etos Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan Pada CV. Pratama Jaya Ciamis. Bandung: e-lib UNIKOM.

Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islam. Jakarta:Gema Insani


Press

Toto Tasmara, (1995), Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

21

Anda mungkin juga menyukai