OPTIMAL
Disusun oleh
Dosen Pengampu
2024
Pendahuluan
Pada era zaman saat ini, sumber informasi dengan adanya teknologi
sangat cepat sekali penyebarannya. Peranan teknologi informasi yang ada
tentunya tidak dapat mengabaikan fungsi sumber daya manusia yang ada, karena
manusia memiliki peran penting dalam menjalankan sumber daya lain yang ada
dalam sebuah organisasi. Manusia dipandang sebagai salah satu sumber daya
yang mampu untuk menggerakkan sumber daya lain yang ada dalam sebuah
organisasi termasuk dengan adanya teknologi yang kian lama semakin canggih.
Keberhasilan suatu organisasi baik besar maupun kecil bukan semata-mata
ditentukan oleh sumber daya alam atau teknologi yang tersedia, melainkan banyak
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang berperan dalam
merencanakan, malaksanakan, dan mengendalikan organisasi (Manullang, 2005).
2
dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi sehingga dapat meraih
kesuksesan dan berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya di samping
kehidupan akhiratnya.
Keberadaan etos kerja yang tinggi dalam diri para karyawan dalam suatu
perusahaan akan membuat para karyawan tersebut efektif dalam bekerja. Sikap
bertanggung jawab, keinginan dan keberanian untuk melakukan inovasi pada
proses kerja di perusahaan merupakan perwujudan dari keberadaan etos kerja
yang tinggi dalam diri para karyawan. Sebagai hasilnya, kinerja karyawan akan
terus meningkat dan berdampak terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan
(Sutisna, 2012).
3
suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, pikiran,
dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai
hamba Allah yang menundukan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian
dari masyarakat yang terbaik (khairul ummah) atau dengan kata lain dapat juga
kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yaitu sifat khusus dari perasaan
moral dan kaidah-kaidah etis sekelompok orang. Menurut Sinamo (2005:5), etos
kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan
fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral.
Tasmara (2002:27), menjelaskan bawa Etos kerja Islam adalah sikap kepribadian
yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja
untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusianya, melainkan juga sebagai
manifestasi dari amal saleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang
sangat luhur. Menurut Asifudin (2004:234), merupakan karakter dan kebiasaan
manusia berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan/aqidah Islam
yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos kerja Islam adalah
akhlak dalam bekerja sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga dalam
melaksanakannya tidak perlu lagi dipikir-pikir karena jiwanya sudah meyakini
sebagai sesuatu yang baik dan benar. (Sono et al., 2017)
4
bersifat mendarah daging. Dia merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan
pekerjaan yang terbaik, bahkan sempurna. Oleh karena itu, etos bukan sekedar
kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi, dia adalah martabat,
harga diri, dan jati diri seseorang. Sehingga, dalam etos tersebut terkandung
gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal,
lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas yang sesempurna
mungkin.
Secara lebih hakiki, bekerja bagi seorang muslim merupakan ibadah bukti
pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Illahi
agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan
sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos terbaik. Jika kerja adalah ibadah dan
status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja
pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau
fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan
langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana
individuallah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing.
Yang dimaksud tujuan kerja adalah target yang ingin dicapai oleh
seseorang dalam bekerja. Tujuan dalam kerja sebenarnya tidak lepas dari latar
belakang yang menjadi motivasi seseorang dalam bekerja. Hal penting yang
senantiasa melatar belakangi seseorang dalam mencapai tujuan dalam bekerja
adalah faktor kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan manusia terdiri atas dua
macam kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan material dan kebutuhan spiritual.
5
Kebutuahan spiritual sangat penting peranannya dalam memotivasi seseorang
untuk melakukan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan material.
Dalam kaitannya dengan tujuan dan motivasi kerja, Hadari Nawawi (2001)
mengemukakan bahwa, ada dua macam motivasi yang mendorong manusia ke
arah tujuan kerjanya, yaitu: motivasi intristik dan motivasi ekstrintik. Motivasi
intristik adalah motivasi yang menyertai seseorang bekerja dengan dedikasi tinggi
karena merasa memperoleh kesempatan untuk tujuan dapat mengaktualisasikan
diri dengan maksimal, sedangkan motivasi ekstrintik adalah motivasi yang
menyertai seseorang bekerja dengan cukup dedikasi karena tujuan ingin
memperoleh uang atau gaji tinggi.
6
prestasi tertentu. Ketiga adalah motivasi yang didorong oleh kekuatan dari dalam
atau kekuatan batin (inner motivation), yaitu kekuatan yang mendasari tujuan
hidupnya. (Prabu Mangkunegara, 2007).
Di samping tujuan dan motivasi, ada juga beberapa unsur yang turut
menentukan tinggi rendahnya etos kerja seseorang, sebagaimana dikemukakan
Hadari Nawawi bahwa, setidaknya ada lima unsur-unsur etos kerja, yang apabila
lima unsur tersebut baik maka baiklah etos kerja seseorang dan apabila lima unsur
tersebut jelak maka jeleklah etos kerja seseorang. Lima unsur etos kerja tersebut
adalah motivasi kerja, tujuan kerja, pola kerja, semangat kerja dan tekat kerja.
Lima unsur inilah yang banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur tinggi
rendah etos kerja seseorang.
7
Yusuf Qardhawi (1996:12) menjelaskan, bahwa Agama Islam
memiliki beberapa karakteristik, salah satu di antaranya adalah wasatiyah
atau dengan istilah lain tawazun, yaitu sikap hidup pertengahan atau sikap
seimbang antara kehidupan material dan spiritual. Ini artinya sebagai
seorang Muslim harus dapat menyeimbangkan antara dua kutub
kehidupan yaitu kehidupan material yang bersifat duniawi dan kehidupan
spiritual yang bersifat ukhrawi.
Nilai moderat inilah yang mengantarkan dan mengisyartkan umat
Islam menempatkan diri sebagai umat pertengahan, kelompok moderat
dibanding dengan umat-umat lain yang cenderung berlebih-lebihan di
antara salah satu aspek yang berlawanan. Misalnya ada umat yang
cenderung kepada spiritual belaka sehingga mengabaikan aspek fisik
material, yang cenderung hidup bertapa mengasingkan diri dari halayak
ramai, pantang kawin, dan berpuasa sepanjang waktu. Tetapi sebaliknya
terdapat pula golongan yang berwawasan keduniaan belaka dan
menganggap akhirat tidak penting, ini penganut faham materialisme dan
sekulerisme, mereka tidak mau tahu tentang Tuhan dan agama serta tidak
percaya adanya hari pembalasan di hari kiamat. (Hamzah Ya’qub, 1992;
62)
’Aqidah, syari‘ah Islam menolak keduanya dan mengambil jalan
lurus, yaitu jalan moderat sesuai dengan satusnya sebagai ummah
wasatiyah (ummat pertengahan), sebagaimana difirmankan Allah dalam al-
Qur’an surat Al Baqarah: 143, yang artinya: Dan demikianlah kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), sebagai umat pertengahan, agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.
Ayat ini memberikan penjelasan bahwa umat Islam bukanlah
ummat yang ekstrim dan radikal, yang condong pada salah satu aspek
kehidupan saja, akan tetapi umat Islam adalah umat yang berupaya
berpegang teguh pada prinsip keseimbangan hidup, keselarasan hidup
dan prinsip inilah yang mewarnai etos kerjanya, sehinga kerja-kerja
ekonomi dan ibadah pun menjadi selaras dan seimbang, dalam arti
masing-masing dikerjakan sesuai dengan jadwal waktunya.
Islam memiliki banyak kelebihan, yang dengannya dapat
membedakan dengan agama lainnya. Di antara kelebihan Islam adalah
8
adanya asas keseimbangan, wawasan keselarasan dan keserasian antara
duniawi dan ukhrawi, antara material dan spiritual, antara lahir dan batin,
antara kerja guna memenuhi kebutuhan keluarga dengan ibadah.
Dalam ayat lain, Allah berfirman : Artinya : Dan carilah karunia yang
Allah berikan kepadmu di negeri akherat , tetapi jangnlah kamu lupakah
bagianmua di dunia.(Qs. Al Qashash:77). Melalui ayat tersebut Allah
hendak memberikan informasi tentang pentingnya keharmonisan atau
keseimbangan antara kerja-kerja ukhrawi tanpa melupakan kerja-kerja
ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup duniawi.
Tentang pentingnya keseimbangan antara dua aspek kehidupan
manusia (material dan spiritual) telah disinggung oleh Rasulullah
Muhammad Saw melalui sabdanya: Berusahalah untuk urusan duniamu
seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan berusahalah untuk urusan
akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok pagi. (Al Hadis: Ibnu
Asakir)
Hadis tersebut menganjurkan kepada manusia, khususnya umat
Islam tentang pentingnya dua tempat kehidupan, yaitu, Pertama, tentang
pentingnya kehidupan dunia. Jika manusia ingin meraih sukses dan
berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya, maka manusia harus
memacu dirinya untuk bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin,
dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi. Kedua, tentang
pentingnya kehidupan akherat. Jika manusia ingin meraih sukses dan
berhasil dalam kehidupan akheratnya, maka manusia harus meningkatkan
spiritualitasnya, mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga akhirnya
diperoleh ketenangan jiwa.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat duniawi, seorang
muslim dituntut berikhtiar semaksimal mungkin, baik secara lahir maupun
batin. Ikhtiar lahir dilakukan dengan berusaha seoptimal mungkin sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki, dalam arti harus memiliki etos kerja atau
semangat kerja tinggi, dan ikhtiar batin dilakukan dengan banyak berdhikir
dan berdo’a memohon pertolongan hanya kepada Allah Swt. Bekerja keras
yang dibarengi dengan berdzikir dan berdo’a inilah yang menjadi ciri khas
etos kerja seorang muslim, jika hal ini terrealisasi dalam kehidupannya,
9
maka dapat menghasilkan rizki yang halal dan diridlai Allah, yang pada
akhirnya akan mendapatkan keberkahan dan keuntungan dunia akherat.
Setelah bekerja keras, berdzikir dan berdo‘a, maka berhasil
tidaknya diserahkan keputusan akhirnya kepada Allah Swt. Di sinilah posisi
tawakkal atau berserah diri dan ridla dalam menerima keputusan Allah.
Apabila keputusan Allah sesuai dengan usaha keras dan permohonan,
berarti kesuksesan yang diraih (kaya), maka diharuskan untuk
mensyukurinya, namun apabila ternyata keputusan Allah tidak sesuai
dengan yang diharapkan, dalam arti gagal (miskin), maka harus bersabar
dan tabah mengahadapinya.
Konsep ajaran Islam tersebut apabila dijadikan pegangan hidup
setiap muslim, maka akan mendapatkan ketenangan hidup dalam
menghadapi segala situasi dan kondisi apapun. Sukses tidak sombong dan
gagalpun tidak akan berputus harapan, apalagi putus asa. Sikap Syukur
apabila sukses dan sabar apabila gagal, akan menjadikan kita punya sikap
qana‘ah, yang pada gilirannya akan membawa ketenangan dan
ketentraman dalam hidup. Dan inilah hakekat kebahagiaan hidup yang
sebenarnya.
b. Pentingnya Spiritualitas dalam Kerja
Banyak faktor yang turut menentukan dalam suatu pekerjaan. Di
antaranya adalah faktor spiritualitas (mental, jiwa), sehebat apapun
peralatan canggih yang digunakan di jaman modern ini, jika pekerja-
pekerja tidak memiliki mentalitas dan semangat kerja tinggi maka tujuan
pekerjaan tidak akan dapat tercapai.
Pembangunan jiwa (spiritual) harus didahulukan daripada
pembangunan badan (fisik), dalam arti pembangunan fisik material tidak
akan terlaksana dan terwujud jika para pelaku pembangunan tidak memiliki
kematangan spiritual. Karenanya spiritualitas dalam karja menjadi hal yang
sangat urgen.
Hamzah Ya’qub (1992) menjelaskan bahwa ada beberapa sikap
kematangan spiritual yang perlu diperhatikan dalam menghadapi
pekerjaan di antaranya:
1. Niat ikhlas. Niat merupakan kemantapan tujuan luhur untuk apa
pekerjaan itu dilakukan. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup muslim
10
yang bekerja dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt. Islam
memberikan petunjuk pada umatnya, agar dalam setiap aktivitas dunia
yang dilaksanakannya tidak boleh keluar dari tujuan taqarrub dan
ibadah. Walaupun pekerjaan itu formalnya duniawi, tetapi hakekatnya
bernilai ibadah jika disertai niat yang ihlas karena Allah Swt. Dengan
demikian ihlas merupakan energi batin yang akan membentengi diri
seseorang dari segala bentuk perbuatan kotor dalam bekerja, seperti
korupsi, mencuri, berbohong, menipu, dan lainnya, karena itu
termasuk jalan haram yang amat dibenci oleh Allah Swt.(Toto
Tasmara:2004).
2. Kemauan Keras (‘azam). Untuk mengembangkan usaha apapun
bentuknya, agar dapat maju dan sukses maka diperlukan kemauan
keras, tekat membaja. Hal ini merupakan bahan bakar yang dapat
menggerakkan seseorang berbuat dan bertindak. Karya besar dimulai
dari kemauan keras, tanpa kemauan keras sangat kecil kemungkinan
untuk maju dan sukses. Tidak ada keberhasilan kecuali dengan usaha
yang sungguh-sungguh walaupun terkadang menyakitkan. Jadi
kemauan keras (‘azam) harus selalu menghiasi sikap hidup para
pekerja atau usahawan muslim. Apabila sudah ber‘azam maka
kebulatan tekat tentang berhasil dan tidaknya diserahkan sepenuhnya
kepada Allah, inilah arti tawakkal yang sebenarnya.
3. Ketekunan (istiqamah). Istiqamah adalah daya tahan mental dan
kesetiaan melakukan sesuatu yang telah direncanakan sampai ke
batas akhir suatu pekerjaan. Istiqamah juga berarti tidak mudah
berbelok arah betapapun kuatnya godaan untuk mengubah
pendiriannya, ia tetap pada niat semula. Walaupun dihadapkan
dengan segala rintangan, ia masih tetap berdiri (konsisten), ia tetap
menapaki jalan yang lurus, tetap tangguh menghadapi badai, tetap
berjalan sampai batas, tetap berlayar sampai ke pulau, walaupun
sejuta halangan menghadang. Ini bukan idialisme, tetapi sebuah
karakter yang melekat pada jiwa seorang muslim yang memiliki
semangat tauhid yang tangguh. (Toto Tasmara: 2004).
4. Kesabaran. Kesabaran adalah sikap hidup seorang muslim yang
sangat berharga. Sikap ini sangat dibutuhkan dalam berjuang dan
11
bekerja, dan ini termasuk akhlakul karimah yang seharusnya
diperjuangkan dalam hidup. Berbagai hambatan dan tantangan akan
dapat ditanggulangi selama kesabaran masih melekat dan bersemi
dalam jiwa manusia. Ahli hikmah mengatakan bahwa kesabaran itu
pahit laksana jadam, tetapi buahnya manis bagaikan madu. Kenyataan
hidup mengatakan bahwa orang-orang yang sukses dan berhasil
mencapai kemajuan dalam hidup karena mereka memiliki kesabaran
dalam mengatasi berbagai ujian dan cobaan dalam
kehidupan.(Hamzah Ya’qub: 1992).
12
keras, ada dorongan untuk membuahkan sesuatu yang bermanfaat.( Toto
Tasmara:2004). Dengan kata lain dapat dipahami bahwa tidaklah beriman
atau tidaklah sempurna iman seseorang yang hanya menyakini dalam hati
dan mengucap dalam kata, tetapi hampa dalam perbuatan. Pandai
membuat pernyataan, tetapi bodoh mewujudkannya dalam kenyataan.
13
Dalam perjalanan sejarah ulama-ulama terdahulu, seperti Imam
Ghazali, Imam Suyuti, Imam Bukhari, Imam Muslim, al-Kindi, Ibn Rusdi,
Ibn Khaldun, Fahrurrazi, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyum dan sejumlah ulama-
lainnya adalah ulama-ulama Islam yang berhasil mengukir sejarah dunia
dengan berbagai prestasi yang luar biasa, dan itu semuanya dapat
diraihnya bukan dengan sikap malas atau santai, melainkan dicapainya
dengan semangat kerja atau etos kerja yang sangat tinggi.1 Jadi tujuan
mereka bekerja hanyalah untuk memperoleh ridla Allah dan demi kejayaan
umat Islam. Mereka bekerja dalam rangka beribadah pada Allah Swt.
Karena itu hasil yang diperoleh benar-benar berkah dan bermanfaat baik
bagi dirinya maupun umat Islam secara keseluruhan.
Kesemuanya itu menjadi bukti bahwa etos kerja tinggi pada hakikatnya
sudah menyatu dalam kehidupan tokoh-tokoh panutan umat Islam,
semenjak Nabi Muhammad Saw, sahabat khulafaur rasyidin, ulama-ulama
klasik, ulama-ulama modern dan seterusnya diwarisi oleh sejumlah
masyarakat Islam di berbagai negeri, termasuk di Indonesia.
Jikalau kemudian ada umat Islam yang beretos kerja rendah, hal itu
pasti bukan disebabkan oleh ajaran Islam yang salah, melainkan karena
faktor pemahaman manusia terhadap ajaran Islam yang keliru atau sangat
dimungkinkan adanya faktor lain di luar ajaran Islam seperti karena
orientasi dalam bekerja mereka berubah, yakni tidak lagi sesuai dengan
konsep Islam, maka yang terjadi adalah kehancuran. Hal ini terbukti dalam
sejarah, yakni ketika umat Islam silau oleh dunia dan lupa akan akhirat,
tujuannya bukan untuk mengharap ridla Allah melainkan untuk
mendapatkan harta sebanyak banyaknya, menumpuk-numpuk kekayaan
dan bersenang-senang, maka akhirnya umat Islam jatuh ke lembah
kemunduran dan menjadi umat yang termarjinalkan oleh situasi dan
kondisi jaman, yang pada akhirnya tidak memiliki sesuatu yang berarti dan
patut dibanggakan.
14
pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan
bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya,
memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan. Adapun ciri ciri
tersebut adalah:
15
membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan
perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i’tiqad).
e. Istiqomah atau kuat pendirian
Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten
(dari bahasa Latin consistere; harmony of conduct or practice with
profession; ability to be asserted together without contradiction), yaitu
kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan
mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus
berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu
mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetap teguh
pada komitmen, positif dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi
yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang
kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap
penuh gairah.
f. Disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin (Latin: disciple,
discipulus, murid, mengikuti dengan taat), yaitu kemampuan untuk
mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi
yang sangat menekan.
g. Konsekuen dan berani menghadapi tantangan
Ciri lain dari pribadi muslim yang memiliki budaya kerja adalah
keberaniannya menerima konsekuensi dari kuputusannya. Bagi mereka,
hidup adalah pilihan (life is a choice) dan setiap pilihan merupakan
tanggung jawab pribadinya.
h. Memiliki sikap percaya diri (self confidence)
Sikap percaya diri dapat kita lihat dari beberapa ciri kepribadiannya yang
antara lain sebagai berikut:
1) Mereka berani menyatakan pendapat atau gagasannya sendiri
walaupun hal tersebut beresiko tinggi, misalnya menjadi orang yang
tidak populer atau malah dikucilkan.
2) Mereka mampu menguasai emosinya; ada semacam self regulation
yang menyebabkan dia tetap tenang dan berpikir jernih walaupun
dalam tekanan yang berat (working under pressure).
16
3) Mereka memiliki independensi yang sangat kuat sehingga tidak mudah
terpengaruh oleh sikap orang lain walaupun pihak lain adalah
mayoritas. Baginya, kebenaran tidak selalu dicerminkan oleh kelompok
yang banyak.
i. Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan
baru dan asli (new and original: using or showing use of tha imagination to
create new ideas or things) sehingga diharapkan hasil kinerjanya dapat
dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif.
j. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan merupakan ciri bagi
muslim yang bertaqwa. Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan,
bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan cara
melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala
tuntutan.
k. Bahagia karena melayani
Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan
kepeduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan
pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetik keuntungannya,
tidak hanya di akhirat, tetapi di duniapun mereka sudah merasakannya.
l. Memiliki harga diri
Harga diri (dignity, self esteem) merupakan penilaian menyeluruh
mengenai diri sendiri, bagaimana ia menyukai pribadinya, harga diri
mempengaruhi kreatifitasnya, dan bahkan apakah ia akan menjadi
seorang pemimpin atau pengikut.
m. Memiliki jiwa kepemimpinan
Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus
memainkan peran (role) sehingga kehadiran dirinya memberikan
pengaruh pada lingkungan.
n. Berorientasi ke masa depan
Seorang pribadi muslim yang memiliki etos kerja tidak akan berkata, ”ah,
bagaimana nanti,” tetapi dia akan berkata,”nanti, bagaimana?” dia tidak
mau berspekulasi dengan masa depan dirinya. Dia harus menetapkan
17
sesuatu yang jelas dan karenanya seluruh tindakannya diarahkan kepada
tujuan yang telah dia tetapkan.
o. Hidup berhemat dan efisien
Dia akan selalu berhemat karena seorang mujahid adalah seorang pelari
marathon, lintas alam, yang harus berjalan dan lari jarak jauh. Karenanya,
akan tampaklah dari cara hidupnya yang sangat efisien di daam mengelola
setiap ”resources” yang dimilikinya. Dia menjauhkan sikap yang tidak
produktif dan mubazir karena mubazir adaah sekutunya setan yang maha
jelas. Dia berhemat bukanlah dikarenakan ingin memupuk kekayaan
sehingga melahirkan sikap kikir individualistis, melainkan dikarenakan ada
satu reserve bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan secara lurus, ada
up and down, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan
terjadi di masa yang akan datang.
p. Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship)
Dia memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi, yaitu kesadaran dan kemampuan
yang sangat mendalam (ulil abab) untuk melihat segala fenomena yang
ada di merenung, dan kemudian bergelora semangatnya untuk
mewujudkan setiap perenungan batinnya dalam bentuk yang nyata dan
realistis.
q. Memiliki jiwa bertanding (fastabiqul khoirot)
Semangat bertanding merupakan sisi lain dari citra seorang muslim yang
memiliki semangat jihad. Panggilan untuk bertanding dalam segala
lapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan penuh rasa
tanggung jawab.
r. Mandiri
Karena sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat
pada jiwa yang merdeka, sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk
dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu
mengaktualisasikan asset, kemampuan, serta potensi Ilahiahnya yang
sungguh sangat besar nilainya.
s. Haus mencari ilmu
Seorang yang mempunyai wawasan keilmuan tidak pernah cepat
menerima sesuatu sebagai taken for granted, karena sikap pribadinya
yang kritis dan tak pernah mau menjadi kerbau jinak, yang hanya mau
18
manut kemana hidungnya ditarik. Dia sadar bahwa dirinya tidak boleh ikut-
ikutan tanpa pengetahuan karena seluruh potensi dirinya suatu saat akan
diminta pertanggungjawaban dari Allah SWT (al-Isra’: 36).
t. Memiliki semangat perantauan
Mereka ingin memjelajahi hamparan bumi, memetik hikmah, mengambil
pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Jiwa perantauannya
mengantarkan dirinya untuk mampu mandiri, menyesuaikan diri, dan
pandai menyimak dan menimbang budaya orang lain. Hal ini
menyebabkan dirinya berwawasan universal, tidak terperangkap dalam
fanatisme sempit, apalagi kauvinisme yang merasa bahwa hanya bangsa
dan negaranya sajalah yang paling unggul.
u. Memperhatikan kesehatan dan gizi
Mens sana in corpore sano, bagi seorang muslim bukanlah hanya sebagai
motto olah raga, tetapi dia bagian dari spirit atau gemuruh jiwanya,
meronta dan haus untuk berprestasi.
v. Tangguh dan pantang menyerah
Izin Allah adalah sunnatullah yang berlaku universal. Bukan milik ummat
Islam saja tapi milik siapapun. Siapa yang menolak sunnah maka dia telah
menolak nikmat Allah. Maka, bekerja keras, ulet, dan pantang menyerah
adalah ciri dan cara dari kepribadian muslim yang mempunyai etos kerja.
Keuletan merupakan modal yang sangat besar di dalam menhadapi
tantangan dan tekanan (pressure), sebab sejarah telah banyak
membuktikan betapa banyak bangsa yang mempunyai sejarah pahit,
namun akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi, kohesivitas
kelompok, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi
lingkungannya.
w. Berorientasi pada produktifitas
Seorang muslim akan berhitung efisien, artinya selalu membuat
perbandingan antara jumlah keluaran (performance) dibandingkan
dengan energi (waktu tenaga) yang dia keluarkan (produktifitas: keluaran
yang dihasilkan berbanding dengan masukan dalam bentuk waktu dan
energi).
x. Memperkaya jaringan silahturahmi
19
Bersilaturrahmi berarti membuka peluang dan sekaligus mengikat simpul-
simpul informasi dan menggerakkan kehidupan. Manusia yang tidak mau
atau enggan bersilaturrahmi untuk membuka cakrawala pergaulan
sosialnya atau menutup diri dan asyik dengan dirinya sendiri, pada
dasarnya dia sedang mengubur masa depannya. Dia telah mati sebelum
mati.
y. Memiliki semangat perubahan (spirit of change)
Pribadi yang memiliki etos kerja sangat sadar bahwa tidak akan ada satu
makhluk pun di muka bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali
dirinya sendiri. Betapapun hebatnya seseorang untuk memberikan
motivasi, hal itu hanyalah kesia-sian belaka, bila pada diri orang tersebut
tidak ada keinginan untuk dimotivasi.
Kesimpulan
20
Daftar Pustaka
Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islami. Yogyakarta: UII Press.
Hadari Nawawi, (2001), Managemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang
Kompetitif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Indica, I Wayan Marsalia. 2013. Pengaruh Etos Kerja Islami dan Gaya
Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasional dan
Kinerja Karyawan
Sono, N. H., Hakim, L., & Oktaviani, L. (2017). Prosiding Seminar Nasional dan
Call For Paper Ekonomi dan Bisnis. Jember.
Sutisna, Entis. 2012. Etos Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan Pada CV. Pratama Jaya Ciamis. Bandung: e-lib UNIKOM.
Toto Tasmara, (1995), Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
21