Anda di halaman 1dari 4

Untuk nyeri ringan dapat diberikan obat parasetamol maupun obat antiiflamasi non steroid.

Obat
golongan ini mempunyai kelebihan dalam mengurangi nyeri yang berasal dari kulit, otot, dan tulang.
Selain itu, golongan in mempunyai efek menurunkan dosis opioid untuk nyeri moderat maupun
berat. Dengan begitu diharapkan efek samping opioid dapat dikurangi. Obat-obat yang umum
digunakan adalah paracetamol (dosis 650 mg setiap 4 jam), Ibuprofen (400-600 mg setiap 6 jam),
Ketoprofen (25-60 mg setiap 6-8 jam) dan Asam Mefenamat (250-500 mg setiap 6-8 jam).

Nyeri moderat dapat ditanggulangi dengan pemberian opioid lemah seperti tramadol maupun
codein. Dosisnya adalah 50-100mg setiap 8-12 jam untuk tramadol dengan dosis maksimal 400mg /
hari. Untuk codein dapat diberikan120-360 mg setiap 3-4 jam.

Nyeri berat biasanya ditanggulangi dengan immediate release morphine. Preparat ini mempunyai
waktu paruh 2-4 jam. Dosis obat ini adalah 10-20mg setiap 3-4 jam, dengan dosis maksimal 400 mg /
hari. Setelah kebutuhan harian dapat ditentukan, preparat dapat diubah menjadi sustained release
morphine. Morphine jenis in dapat diberikan setiap 8-12 jam. Kombinasi dengan golongan
parasetamol dan AINS juga bisa dilakukan.Bila kita telah menggunakan sustainedrelease morphine,
immediate release morphine dapat diberikan sebagai breaktrough pain

Efek samping pemberian morphine adalah sedasi, konstipasi, dan mual. Sedasi yang berlebihan
dapat diberikan dextroamphetamine atau methylphenidate 5mg setiap pagi.Konstipasi dapat
diberikan stool softener seperti senna, cascara, magnesium sitrat, atau lactulosa. mual dapat
diberikan metoclopramide oral. Pasien yang mengalami toleransi opioid memerlukan peningkatan
(eskalasi) dosis opioid untuk mempertahankan efek analgesik yang sama. Toleransi psikologis,
dengan ciri-ciri perubahan status mental, sangat jarang terjadi pada pasien kanker.

Obat-obat ajuvan sangat berguna untuk pasien / yang berespon jelek terhadap opioid. Obat-obat ini
mempunyai tempat yang penting di perawatan paliatif. Contoh obat ini adalah anti kejang
(gabapentin 300 mg), antidepresan (amitriptilin 12,550 mg), kortikosteroid, pelemas otot,
biphosphonat, dan osteoclast inhibitor.
Aspirin dan ibuprofen berfungsi selain sebagai analgetik, juga bisa untuk antinflamasi dengan jalan
menghambat aktivitas enzim COX1 dan 2. Akan tetapi pemberian obat inhibitor COX1 dan 2
sekaligus, akan menyebabkan perdarahan lambung. Enzim COX2 berkaitan dengan proses
angiogenesis dan pertumbuhan massa kanker, sehingga dengan pemberian preparat inhibitor COX2
berpotensi memperlambat progresifitas kankernya.

Preparat opioid merupakan kelompok analgetik yang termasuk dalam pedoman WHO untuk
manajemen nyeri sedang hingga berat (Level 2B). Pada beberapa kasus yang tidak menunjukkan
perbaikan klinis optimal, bisa diberikan terapi kombinasi dengan analgetik adjuvan. Preparat fentanil
(termasuk transdermal) tidak dianjurkan diberikan sebagai lini pertama penderita nyeri (temasuk
akibat kanker), apabila masih berespons dengan opioid lainnya (Level 2B).

Keluhan nyeri neuropatik penderita kanker dapat menggunakan preparat ad juvan, seperti
antikejang (gabapentin, pregabalin), antidepressant (SSRIs, SNRIs, golongan trisiklik, venfalaksin),
agonis NMDA (ketamin), kortikosteroid, atau anestetik lokal lidokain) (Level 3C). Beberapa preparat
opioid baru diproduksi, guna memberikan efektivitas terapi yang lebih baik dan efek samping yang
lebih rendah pada nyeri sedang sampai berat (Level 1A).

Oksikodon merupakan derivat dari thebaine, memiliki metabolisme dalam tubuh yang berbeda
dengan morfin, dan digunakan untuk penderita lanjut usia maupun dengan gangguan fungi hepar.
Preparat ini bisa dipergunakan sebagai terapi jangka pendek maupun panjang.

Nalokson merupakan golongan antagonis reseptor opioid dan tidak menyebabkan konstipasi seperti
opioid pada umumnya. Kombinasi antara OKsikodon dan nalokson lebih dari 160/80mg per hari
memiliki efektivitas kinis perbaikan nyeri yang baik (Level 1B).

Hidrokodon merupakan opioid yang dimetabolisme di hepar (enzim stokrom P450) dengan
menghambar aktivitas CYP3A4, sehinga konsentrasi plasmany meningkat. Hidromorfon merupakan
metabolit aktivitas dari hidrokodon yang lebih poten dan aktivitasnya lebih besar , serta diekskresi
melalui ginjal.

Tapentadol merupakan analgetik peroral yang bekerja secara sentral sebagai agonis reseptor dan
inhibitor reuptake noreefineprin.Derivat ini efektif terhadap keadaan hipereksitasi dan nyeri sedang
sampai berat pada kanker.

Fentanil transdermal dan buprenorfin merupakan alternatif dari morfin, terutama bagi penderita
dengan disfagia.

Metadon merupakan opioid sintesis yang bwwerakibat fatal berupa aritmia,waktu paruh
panjang,dan dapat menembus sawar darah otak.

Preparat morfin yang sering diberikan neuroaksial, seperti diamorfin, fentanil,sufentanil atau
hidromorfon; bertujuan memodulasi reseptor opioid pre- dan pasca sinaptik di kornu dorsalis
medula spinalis, seta memberikan perbaikan klinis hingga 10-30%. Komplikasi fatal bisa terjadi
apabila menembus duramater dan masuk cairan serebrospinalis (CSS) menyebabkan retensi urin
atau menekan fungsi pernapasan.

Dosis pemberian intratekal dan epidural memiliki perbedaan, yaitu 1 intratekal: 10 epidural: 100
intravena/ subkutan atau 300 per oral. Preparat anestetik lokal dosis rendah (30-60mg/day) bersifat
memblokade kanal Na dan menurunkan transmisi nyeri, serta bisa dikombinasikan dengan morfin.
Preparat lain yang juga bisa diberikan adalah alfa-2 agonis yang bekerja di serabut saraf aferen pre-
dan pascasinaps di kornu dorsalis dan ganglion simpatis, serta menurunkan pelepasan
neurotransmiter (SP, CGRP) seperti klonidin, midazolam, atau ketamin.

Anda mungkin juga menyukai