Fr rehab narkoba
1. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya
baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu
diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat
tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter butuh
kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala kecanduan narkoba tersebut.
2. Tahap rehabilitasi nonmedis, tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia
sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat
rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat
rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program therapeutic
communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan keagamaan, dan lain-lain.
3. Tahap bina lanjut (after care), tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan
bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja
namun tetap berada di bawah pengawasan.
Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus
terhadap proses pulihan seorang pecandu.
Dalam penanganan pecandu narkoba, di Indonesia terdapat beberapa metode terapi dan
rehabilitasi yang digunakan yaitu :
1. Cold turkey; artinya seorang pecandu langsung menghentikan penggunaan narkoba/zat adiktif.
Metode ini merupakan metode tertua, dengan mengurung pecandu dalam masa putus obat tanpa
memberikan obat-obatan. Setelah gejala putus obat hilang, pecandu dikeluarkan dan
diikutsertakan dalam sesi konseling (rehabilitasi nonmedis). Metode ini bnayak digunakan oleh
beberapa panti rehabilitasi dengan pendekatan keagamaan dalam fase detoksifikasinya.
2. Metode alternatif
Keempat obat di atas telah banyak beredar di Indonesia dan perlu adanya kontrol penggunaan
untuk menghindari adanya penyimpangan/penyalahgunaan obat-obatan ini yang akan berdampak
fatal.
4. Therapeutic community (TC); metode ini mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika
Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat
dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC, merupakan program yang
disebut Drug Free Self Help Program. program ini mempunyai sembilan elemen yaitu partisipasi
aktif, feedback dari keanggotaan, role modeling, format kolektif untuk perubahan pribadi,
sharing norma dan nilai-nilai, struktur & sistem, komunikasi terbuka, hubungan kelompok dan
penggunaan terminologi unik. Aktivitas dalam TC akan menolong peserta belajar mengenal
dirinya melalui lima area pengembangan kepribadian, yaitu manajemen perilaku,
emosi/psikologis, intelektual & spiritual, vocasional dan pendidikan, keterampilan untuk
bertahan bersih dari narkoba.
5. Metode 12 steps; di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan
narkoba, pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12 langkah. Pecandu
yang mengikuti program ini dimotivasi untuk mengimplementasikan ke 12 langkah ini dalam
kehidupan sehari-hari.
- http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelTrithab&op=detail_arti
Fr ttg lepra
Penatalaksanaan lepra, atau juga dikenal dengan kusta atau Morbus Hansen, adalah
menggunakan obat antilepra seperti dapson dan rifampicin. Pada tahun 1982, WHO menetapkan
regimen terapi yang digunakan baik untuk pasien lepra pausibasiler (PB) ataupun pasien lepra
mulitibasiler (MB) adalah MDT (Multi Drug Therapy).
MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat antilepra dimana salah satunya adalah rifampicin
yang merupakan obat bakterisidal kuat. Obat antilepra selain rifampicin bersifat bakteriostatik
yaitu menghambat pertumbuhan bakteri. Pengobatan MDT tidak mengobati kecacatan yang
sudah terjadi. Pengobatan MDT bertujuan untuk memutuskan rantai penularan, mencegah
terjadinya cacat atau mencegah kecacatan bertambah parah, memperpendek masa pengobatan,
mencegah terjadinya resistensi kuman serta meningkatkan keteraturan berobat. [10]
Lepra Pausibasilar
Regimen terapi untuk pasien lepra pausibasilar (PB) berbeda antara anak dan dewasa.
Dewasa
Pada pasien dewasa, lama pengobatan berkisar antara 6 – 9 bulan. Pengobatan dibagi menjadi
obat bulanan dan harian.
Lama pengobatan berkisar 6 – 9 bulan. Pengobatan dibagi menjadi dua, yaitu obat bulanan dan
harian.
Lama pengobatan berkisar 6 – 9 bulan. Pengobatan dibagi menjadi dua, yaitu obat bulanan dan
harian.
Lepra Multibasilar
Regimen terapi untuk pasien lepra multibasilar (MB) berbeda antara anak dan dewasa.
Dewasa
Lama pengobatan berkisar 12 – 18 bulan. Pengobatan dibagi menjadi dua, yaitu obat bulanan dan
harian.
1 tablet Clofazimine 50 mg
Lama pengobatan berkisar 12 – 18 bulan. Pengobatan dibagi menjadi dua, yaitu obat bulanan dan
harian.
Lama pengobatan berkisar 12 – 18 bulan. Pengobatan dibagi menjadi dua, yaitu obat bulanan dan
harian.
Untuk pasien anak dibawah 5 tahun, dosis anak berdasarkan berat badan:
Rifampicin: 10 – 15 mg/kgBB
Dapson: 1-2 mg/kgBB
Kondisi Khusus
Berikut ini adalah regimen pengobatan untuk pasien dengan kondisi khusus:
Pasien ibu hamil dan menyusui: regimen MDT aman dikonsumsi untuk ibu hamil dan menyusui.
Pasien lepra yang menderita Tuberkulosis: Obat anti TB dapat diberikan bersamaan dengan obat
antilepra. Untuk rifampicin dapat disesuaikan dosisnya. Dosis rifampicin untuk penderita TB dan
lepra tipe PB adalah menambahkan dosis 100 mg karena rifampicin juga ada di dalam regimen
obat TB. Untuk penderita TB dengan lepra tipe MB cukup diberi dapson dan clofazimine karena
rifampicin sudah didapatkan dari obat antituberkulosis.
Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson dapat diganti dengan clofazimine
Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson maka regimen pengobatan yang diberikan hanya
rifampicin dan clofazimine. [10]
Tatalaksana reaksi lepra tergantung dari berat-ringan reaksi. Pada reaksi ringan, modalitas
tatalaksana adalah :
Medikamentosa:
Prednison dengan dosis awal 40 mg/hari diberikan pagi hari setelah makan selama 2 minggu.
Setelah itu, dosis diturunkan setiap 2 minggu menjadi 30 mg, 20 mg, 10 mg, 15 mg, 10 mg, dan
5 mg untuk dewasa
Dosis maksimal awal prednison pada anak adalah 1 mg/kgBB diturunkan setiap 2 minggu,
dengan lama maksimal penatalaksanaan 12 minggu
Pada erythema nodosum leprosum berat yang berulang diberikan prednisone sesuai skema di
atas, ditambahkan lampren dengan dosis awal 300 mg/hari selama 2 bulan. Kemudian, dosis
dikurangi setiap 2 bulan menjadi 200 mg/hari, lalu 100 mg/hari.
Erythema nodosum leprosum yang ulserasi, dengan neuritis atau demam tinggi
Reaksi lepra yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, diabetes
mellitus, hipertensi, atau ulkus peptikum [10]
Pasien dikatakan gagal terapi bila pasien PB tidak mengkonsumsi obatnya lebih dari 3 bulan dan
bila pasien MB tidak mengkonsumsi obatnya lebih dari 6 bulan.
Bila pasien datang kembali, maka pasien harus segera diperiksa tanda-tanda aktif seperti adanya
lesi baru, kemerahan atau peninggian pada lesi lama atau adanya pembesaran saraf baru. BIla
tidak ada tanda-tanda aktif maka pasien tidak perlu mengkonsumsi obat lagi. Bila terdapat tanda-
tanda aktif maka pasien harus melakukan pengobatan kembali dari awal. [10]
Kejang tonik-klonik (grand mal). Terapi pilihan untuk kejang tonik-klonik adalah karbamazepin,
lamotrigin, natirum valproat dan topiramat. Terapi lini kedua adalah klobazam, levet irasetam,
dan okskarbazepin.
terjadi melalui dua cara, yaitu kekebalan bawaan dan kekebalan yang didapat yang
terjadi secara aktif (pertahanan hospes terhadap infeksi) dan pasif (dari ibu ke
bayinya). Mekanisme respon imun bekerja dengan cara membatasi kelainan klinis