Anda di halaman 1dari 23

GAMBARAN SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN DI PONDOK

PESANTREN AN NUUR KABUPATEN PONOROGO

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Oleh:

PUTRI ARRMADANIATI

NIM.P27835120028

PROGRAM STUDI D-3 GIZI

JURUSAN GIZI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pondok pesantren adalah tempat dimana santri – santri menuntut ilmu agar

menjadi orang memilik akhlak mulia dan kecerdasan yang tinggi. Santri –

santri yang berada di Pondok pesantren pada dasarnya sama saja dengan anak

didik di sekolah pada umumnya, harus berkembang dan menjadi generasi

penerus bangsa sehingga perlu mendapatkan sebuah perhatian khusus

terutama dalam hal kesehatan dan pertumbuhannya, adapun salah satu aspek

yang dapat mendukung kesehatan dan pertumbuhan santri adalah dalam hal

pemenuhan kebutuhan gizi bagi para santri (Taqhi 2014).

Sistem pendidikan yang ada di pondok pesantren mempunyai sebuah

kurikulum yang mengharuskan santri – santrinya tinggal dan juga menetap di

pondok pesantren selama belajar, sehingga hal ini berarti bahwa para santri

melewati waktu makan dan mendapatkan makanan dari pondok pesantren,

dalam kondisi ini menuntut dan mengharuskan pondok pesantren mempunyai

komitmen dalam menyediakan pelayanan makanan yang baik agar kebutuhan

gizi yang dibutuhkan para santri tercukupi dan proses belajar mengajar dapat

berjalan dengan baik (Ningtyias et al. 2018).

Pondok pesantren adalah suatu institusi non-komersial yang mempunyai

sistem penyelenggaraan makanan untuk memenuhi kebutuhan para santri

selama berada di pondok pesantren. Penyelenggaraan makanan di pondok

pesantren sangat bermanfaat terutama dalam sebuah pencapaian akademik,

selain itu bermanfaat juga sebagai perbaikan status gizi santri dan keaktifan
santri dalam semua kegiatan yang ada di pondok pesantren. Penyelenggaraan

makanan sendiri merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan

menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen untuk

mencapai status gizi yang optimal dengan pemberian makanan yang tepat dan

kegiatannya meliputi pencatatan, pelaporan, dan evaluasi (Depkes, 2003).

Hasil penelitian Saniyya Audifa (2019) di Pondok Pesantren Multazam

Pudakpayung Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa pondok pesantren

tidak memiliki perencanaan anggaran yang tetap, meskipun memiliki

perencanaan menu tetapi tidak terdapat catatan tertulis dan makanan yang

disajikan sering diulang, selain itu penerimaan bahan makanan tidak dilakukan

pengecekan baik kualitas maupun kuantitasnya dan penyimpanan bahan

makanan juga tidak menggunakan sistem FEFO, namun pondok tersebut

memiliki persiapan bahan yang baik, tetapi tidak terdapat standar resep dan

pengolahan pada saat pemasakan bahan makanan, serta pendistribusian

makanan menggunakan sistem desentralisasi.

Berdasarkan studi pendahuluan di Pondok Pesantren An Nuur Kabupaten

Ponorogo didapatkan hasil bahwasanya penyelenggaraan makanan belum

terencana dengan baik terutama dalam hal perencanaan makanan yang

disajikan secara berulang dalam sehari dengan proses pengolahan bahan

makanan pada pagi hari yang didistribusikan kepada santri dalam tiga kali

makan, sehingga hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melakukan

evaluasi terhadap sistem penyelenggaraan makanan yang ada di pondok

pesantren An Nuur.
Pondok pesantren An Nuur menjadi tempat penelitian ini dikarenakan

terdapat sebuah proses penyelenggaraan makanan di pondok pesantren ini.

Dimana di pondok pesantren tersebut terdapat santri sejumlah 190 orang.

Penyelenggaraan makanan di pondok pesantren An Nuur ini dilakukan setiap

hari untuk 85 santri putri, 105 santri putra, serta 4 orang pemilik pondok

pesantren.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu

permasalahan penelitian yaitu bagaimana Gambaran Sistem Penyelenggaraan

Makanan Di Pondok Pesantren An-Nuur Kabupaten Ponorogo.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana gambaran sistem

penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren An-Nuur

Kabupaten Ponorogo.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tahapan kegiatan penyelenggaraan makanan di

Pondok Pesantren An-Nuur Kabupaten Ponorogo.

2. Mengetahui proses perencanaan anggaran belanja dan

perencanaan menu di Pondok Pesantren An-Nuur Kabupaten

Ponorogo.

3. Mengetahui proses pengadaan bahan makanan di Pondok

Pesantren An-Nuur Kabupaten Ponorogo.


4. Mengetahui proses penerimaan bahan makanan dan

penyimpanan bahan makanan di Pondok Pesantren An-Nuur

Kabupaten Ponorogo.

5. Mengetahui proses pengolahan bahan makanan di Pondok

Pesantren An-Nuur Kabupaten Ponorogo.

6. Mengetahui proses pendistribusian makanan kepada santri di

Pondok Pesantren An-Nuur Kabupaten Ponorogo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran pengetahuan

mengenai sistem penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren

An-Nuur Kabupaten Ponorogo.

1.4.2 Bagi Pondok Pesantren

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan

evaluasi dan pertimbangan bagi pondok pesantren agar dapat lebih

meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam proses

penyelenggaraan makanan.

1.4.3 Bagi Jurusan Gizi

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah referensi

mengenai gambaran sistem penyelenggaraan makanan di Pondok

Pesantren.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pondok Pesantren

2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren

Pondok adalah istilah dari funduq yang merupakan istilah bahasa

Arab yang memiliki arti asrama atau tempat tinggal para santri. Pondok

sendiri di Indonesia biasanya dikenal di daerah Madura, sedangkan istilah

pondok di daerah Jawa biasanya dikenal dengan istilah pesantren. Selain

itu, istilah lain di Aceh yang corak pendidikannya seperti pondok

pesantren biasa disebut dengan istilah meunasah. Adapun istilah dari

pesantren secara etimologis berasal dari kata “santri” yang berawalan kata

pe dan berakhiran kata an yang memiliki arti tempat tinggal para santri

(Komariyah 2016).

Pondok pesantren adalah sebuah tempat pendidikan islam non

formal yang biasa dikelola oleh ulama ataupun seorang kiai sebagai

pimpinan pondok, ustad maupun sebagai pengajar, adapun peserta didik

yang menuntut ilmu di pondok pesantren biasanya disebut dengan santri.

Hal ini seperti halnya yang diungkapkan oleh Abd. Halim Soebahar bahwa

pesantren itu merupakan sebuah asrama pendidikan islam tradisional, yang

para santrinya tinggal serta belajar bersama dibawah bimbingan kiai.


Sedangkan menurut Muhammad Hambal Shafwan pesantren merupakan

sebuah lembaga pendidikan tradisional islam dengan tujuan untuk

memahami, menghayati, serta mengamalkan ajaran agama islam dengan

menegaskan akan pentingnya moral agama islam sebagai pedoman dalam

hidup bermasyarakat sehari – hari. Sebagai sebuah tempat pendidikan

islam terdapat beberapa komponen dalam pondok pesantren yakni kyai

sebagai pemimpin dan pendidik, santri sebagai peserta didik, masjid

sebagai tempat pengajaran penyelenggaraan pendidikan dan juga tempat

beribadah, serta pondok sebagai asrama bagi santri (Komariyah 2016).

2.1.2 Tipe – tipe Pondok Pesantren

Pondok pesantren memiliki bentuk yang beragam yang menjadikan

tidak adanya suatu standarisasi khusus atau penyeragaman pesantren

dalam skala nasional, hal ini dikarenakan pendiri dari pondok pesantren ini

merupakan usaha mandiri seorang kiai yang biasanya dibantu santri dan

masyarakat, sehingga setiap pesantren memiliki ciri masing – masing

tergantung kiai maupun keadaan sosial budaya dan sosial geografis yang

mengelilinginya. Menurut M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo, dari segi

kurikulum dan materi yang diajarkan, pondok pesantren digolongkan

dalam empat tipe, yaitu:

1. Pesantren dengan penyelenggaraan pendidikan formal yang

menerapkan kurikulum nasional, dari yang hanya memiliki

sekolah keagamaan seperti MI, MTs, MA maupun yang

memiliki sekolah umum seperti SD, SMP, SMA (seperti di

Pesantren Tebuireng Jombang);


2. Pesantren dengan penyelenggaraan pendidikan keagaman yang

berbentuk madrasah dan mengajarkan ilmu umum meskipun

tidak menerapkan kurikulum nasional (seperti Pesantren

Gontor Ponorogo);

3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama yang

bentuknya Madrasah Diniyah (seperti Pesantren Lirboyo

Kediri);

4. Pesantren yang sekedar menjadi sebuah tempat pengajian.

2.1.3 Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Sistem pendidikan di pondok pesantren mempunyai

karakteristik tergantung pondok pesantren itu sendiri. Sebagian

besar pondok pesantren yang ada di Indonesia menggunakan

sistem pendidikan yang sifatnya tradisional, tetapi seiring

berjalannya waktu banyak pondok pesantren yang melakukan suatu

inovasi dalam mengembangkan dan memajukan sistem pendidikan

menjadi lebih modern.

1) Sistem pendidikan tradisional

Sistem pendidikan tradisional ini dengan pola pengajaran

sederhana dengan mengkaji kitab – kitab agama yang sudah

tertulis oleh para ulama pada abad pertengahan, kitab tersebut

disebut dengan istilah “kitab kuning”. Adapun metode yang

digunakan adalah metode sorogan, wetonan (bandongan),

muhawaroh, mudzakaroh, dan metode majlis ta’lim.

a) Metode sorogan
Berdasarkan pendapat arifin : metode pengajaran sorogan

bersifat individual, dimana santri masing – masing datang

kepada kiai dengan membawa kitab tertentu. Kemudian kiai

akan membacakan kitab tersebut dengan makna dan santri

akan mengulangi apa yang diajarkan kiai, demikian

seterusnya masing – masing santri maju bergantian.

b) Metode Wetonan atau Bandongan

Metode pengajaran wetonan atau sering disebut dengan

badongan dengan cara guru atau pengajar membaca,

menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas buku islam

dalam bahasa arab, sedangkan santri memperhatiakan dan

membuat catatan.

c) Metode Muhawaroh

Metode pengajaran muhawaroh atau dalam bahasa inggris

disebut dengan conversation merupakan latihan percakapan

dalam bahasa Arab yang wajib dilakukan semua santri

selama berada di pondok pesantren.

d) Metode Mudzakaroh

Metode pengajaran mudzakaroh merupakan suatu

pertemuan ilmiah yang spesifik membahas masalah diniyah

seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada

umumnya.

e) Metode Majelis Ta’lim


Metode pengajaran Majelis Ta’lim merupakan metode

dengan pengajaran yang bersifat umum dan terbuka,

dihadiri jama’ah dengan latar belakang pengetahuan, jenis

kelamin, dan usia. Pengajian ini hanya dilakukan pada

waktu tertentu dan tidak hanya diikuti oleh santri melaikan

bisa diikuti oleh masyarakat umum.

2) Sistem Pendidikan Modern

Sistem pendidikan modern merupakan suatu inovasi dalam

pengembangan sistem pendidikan yang sifatnya masih

tradisional. Sistem pendidikan ini merupakan penyempurnaan

dari sistem pendidikan tradisional yang sudah ada sehingga

tidak menghilangkan ciri dari podok pesantren yang sudah

tertanam kuat. Dengan kata lain memadukan antara tradisi

dengan modernitas untuk mewujudkan sistem pendidikan yang

sinergik dan lebih maju. Adapun metode pengajarannya yaitu

dengan sistem madrasi, sistem kursus, dan sistem pelatihan.

a) Sistem madrasi (klasikal)

Berdasarkan pendapat Ghazali, sistem klasikal merupakan

suatu sistem yang penerapannya dengan cara mendirikan

sekolah baik yang mengelola pengajaran agam maupun

ilmu umum yang berbeda dengan ajaran yang sifatnya

tauqifi (langsung ditetapkan bentuk dan wujud ajarannya).

b) Sistem kursus (takhasus)


Sistem kursus merupakan suatu sistem yang ditekankan

dalam keterampilan tangan yang mengacu pada

kemampuan psikomotorik seperti halnya kursus jahit,

komputer, maupun sablon. Pengajaran sistem ini lebih

mengarah pada terbentuknya santri yang mandiri dalam

menjalankan ilmu agama yang diterima dari kiai.

c) Sistem pelatihan

Sistem pelatihan merupakan sistem yang pengajarannya

menekankan pada kemampuan psikomotorik yang

mengajarkan kemampuan atau keahlian praktis seperti

halnya pelatihan pertanian, perkebunan, perikanan dan

kerajinan untuk mendukung terciptanya kemandirian yang

integratif.

2.2 Penyelenggaraan Makanan

2.2.1 Pengertian Penyelenggaraan Makanan

Penyelenggaraan makanan merupakan suatu pengelolaan makanan

yang meliputi anggaran belanja, perencanaan menu, perencanaan bahan

makanan, penyediaan bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan

bahan makanan, pengolahan bahan makanan serta pendistribusian dan

pelaporan. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya penyelenggaraan

makanan mencakup perencanaan menu, pembelian, penerimaan, dan

persiapan pengolahan, pengolahan bahan makanan, pendistribusian

makanan serta pencataan dan pelaporan (Mukrie, 1990).


Penyelenggaraan makanan terdapat beberapa tahapan mulai dari

perencanaan sampai dengan pendistribusian. Agar makanan yang

dikonsumsi berkualitas baik dari segi proses dan hasil dari pengolahan

yang dilakukan harus diselenggarakan dengan baik. Dengan demikian

penyelenggaraan makanan yang baik diperlukan untuk menghasilkan

makanan yang berkualitas dengan memperhatikan berbagai aspek terutama

aspek kualitas makanan dan aspek biaya operasional (Pratiwi 2019).

2.2.2 Bentuk Penyelenggaraan Makanan

Bentuk sistem penyelenggaraan makanan meliputi suatu sistem

yang dilakukan oleh pihak institusi itu sendiri yang dikenal sebagai

swakelola. Selain itu, kegiatan dalam penyelenggaraan makanan yang

dilakukan oleh pihak lain yang memanfaatkan jasa boga atau catering

(Depkes RI, 2007).

a. Penyelenggaraan Makan Sistem Swakelola

Penyelenggaraan makanan dilakukan dengan cara sistem

swakelola, dengan demikian pihak dapur instalasi tersebut

bertanggung jawab dalam melaksanaakan semua kegiatan

penyelenggaraan makanan mulai dari perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi (Depkes RI, 2007).

b. Penyelenggaraan Makanan Sistem Out-sourcing

Penyelenggaraan makanan dengan sistem Out-sourching yaitu

penyelenggaraan makanan yang memanfaatkan perusahaan

jasaboga atau yang biasa disebut dengan catering. Sistem out-

sourching dibagai menjadi dua kategori yaitu semi out-


sourching dimana pengusaha jasaboga sebagai

penyelenggaraan makanan menggunakan sarana dan prasarana

milik institusi tersebut, sedangkan pada sistem full out-

sourching pengusaha jasaboga tidak menggunakan sarana dan

prasarana milik institusi melainkan milik perusahaannya sendiri

(Depkes RI, 2007).

2.2.3 Kegiatan Penyelenggaraan Makanan

a. Perencanaan Anggaran Belanja

Perencanaan anggaran belanja bahan makanan merupakan tahapan

kegiatan dari penghitungan anggaran yang berdasar pada laporan

anggaran penggunaan bahan makanan bisa dari tahun sebelumnya

namun harus dengan mempertimbangkan fluktuasi harga dan juga

konsumen. Adapun rencana anggaran belanja memiliki fungsi yaitu

untuk mengetahui jumlah anggaran bahan makanan yang akan

dibutuhkan selama periode tertentu seperti dalam 1 bulan, 6 bulan, 1

tahun, dan sebagainya. Selain itu, perencanaan anggaran belanja juga

memiliki tujuan yaitu tersedianya taksiran atau perkiraan anggaran

belanja bahan makanan yang diperlukan terutama untuk memenuhi

kebutuhan dan jumlah bahan makanan bagi konsumen yang dilayani

sesuai dengan standart kecukupan gizi yang telah ditetapkan (Depkes

RI, 2007).

b. Perencanaan Menu

Perencanaan menu adalah rangkaian dari kegiatan menyusun hidangan

dengan variasi yang sesuai untuk memanajemen penyelenggaran


makanan di institusi. Dalam sistem penyelenggaraan makanan seperti

halnya anggaran belanja, perencanaan menu harus disesuaikan dengan

anggaran yang tersedia namun tetap dengan mempertimbangkan

kebutuhan gizi, kepadatan makanan dan juga varisi bahan makanan.

Menu seimbang perlu untuk kesehatan, namun agar menu yang

disediakan dapat dihabiskan, maka perlu disusun variasi menu yang

baik, aspek komposisi, warna, rasa, rupa, dan kombinasi masakan yang

serasi (Mukrie, 1990).

c. Pengadaan Bahan Makanan

Pengadaan bahan makanan adalah rangkaian dalam proses penyediaan

bahan makanan yang berupa upaya penyediaan bahan makanan

sekaligus melakukan proses pembelian bahan makanan (Mukrie,

1990). Dalam kegiatan pengadaan bahan makanan perlu dilakukan

perencanaan yang meliputi: penetapan spesifikasi bahan makanan dan

melakukan survei pasar.

1. Spesifikasi bahan makanan ialah standar bahan makanan yang

telah ditetapkan oleh unit peminta seperti instansi atau perorangan

yang sesuai dengan ukuran dan besar yang diminta untuk

mempertahankan kualitas bahan makanan. Sehingga dalam

menetapkan macam bahan makanan dan kualitasnya biasanya

diperoleh dari standart resep. Adapun tipe spesifikasi terdiri dari:

a) Technical Spesifications, merupakan suatu tipe yang digunakan

untuk bahan yang bisa diukur secara objektif dan diukur

dengan menggunakan instrumen tertentu. Secara khusus tipe ini


digunakan pada bahan makanan dengan tingkat kualitas

tertentu yang secara nasional sudah ada.

b) Approved Brands Specifications, merupakan suatu tipe yang

diaplikasikan pada kualitas barang yang dikeluarkan oleh suatu

pabrik dan telah diketahui oleh pembeli. Spesifikasi ini banyak

diaplikasikan pada sistem penyelenggaraan makan yang lebih

kecil, dimana tanggung jawab pembelian dilakukan oleh

supervisor.

c) Performance Spesification, merupakan suatu spesifikasi untuk

melihat kualitas suatu barang yang diukur fungsinya. Dalam

menetapkan spesifikasi bahan makanan haruslah dengan

sesederhana mungkin tetapi lengkap dan juga jelas. Secara

garis besar spesifikasi ini berisi mulai dari nama bahan

makanan/produk, ukuran, tingkat kualitas, identifikasi pabrik,

dan masa kadaluarsa (Mukrie, 1990).

d. Pembelian Bahan Makanan

Pembelian bahan makanan merupakan rangkaian dari kegiatan

penyediaan bahan makanan, jumlah spesifikasi dan kualitas bahan

makanan sesuai ketentuan dengan yang berlaku di institusi yang

bersangkutan. Pembelian bahan makanan adalah prosedur penting

untuk memperoleh bahan makanan, biasanya terkait dengan produk

yang benar, jumlah yang tepat, waktu yang tepat dan harga yang benar.

Dalam pembelian bahan makanan dapat diterapkan berbagai prosedur

tergantung dari ketentuan, kondisi, besar/kecilnya intitusi serta


kemampuan sumber daya institusi yang bersangkutan (Depkes RI,

2007). Adapun sistem prosedur dalam pembelian bahan makanan yang

sering dilakukan antara lain:

1) Pembelian langsung ke pasar (The Open Market Of Buying),

Pembelian ini termasuk sebagai pembelian setengah resmi, hal ini

dikarenakan kesepakatan antara pembeli dan penjual, yang tidak

dapat dikendalikan secara pasti.

2) Pembelian dengan musyawarah (The Negosation Of Buying),

pembelian ini termasuk dalam pembelian setengah resmi karena

pembelian hanya dilakukan untuk bahan makanan yang hanya

tersedia pada waktu tertentu, jumlahnya pun terbatas dan hanya

bahan makanan yang dibutuhkan oleh klien/konsumen.

3) Pembelian yang akan datang (Future Contract), Pembelian ini

dimaksudkan untuk bahan makanan yang telah terjamin pasti,

terpecaya mutu, keadaan dan harganya karena produk bahan

makanan yang dibatasi, maka pembeli diharuskan berjanji akan

membeli bahan makanan tersebut dengan kesepakatan harga saat

ini tetapi bahan makanan dipesan sesuai dengan waktu dan

kebutuhan pembeli maupun institusi.

4) Kontrak tanpa tanda tangan (Unsigned Contract/Auction)

a) Firm at the opening of price (FOP), yaitu Dimana pembeli

memesan bahan makanan saat membutuhkan, dengan harga

yang telah disesuikan pada saat transaksi berlangsung.


b) Subject approval of price (SAOP), yaitu Dimana pembeli

memesan bahan makanan pada saat membutuhkan, dengan

harga sesui dengan yang ditetapkan terdahulu.

5) Pembelian melalui tender/ pelelangan (The Formal Competitive),

yaitu cara pembelian yang resmi dan mengikuti prosedur

pembelian yang telah ditetapkan. (Mukrie, 1990).

e. Penerimaan Bahan Makanan

Penerimaan bahan makanan merupakan suatu proses meneliti,

memerikas, mencatat, dan melaporkan bahan makanan yang akan

diperiksa sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak atau

surat perjanjian jual beli (Mukrie, 1990). Cara penerimaan bahan

makanan secara umum dibagi menjadi dua yaitu:

1) Blind receiving atau cara buta, adalah suatu cara dimana petugas

penerimaan bahan makanan tidak menerima spesifikasi bahan

makanan serta faktur pembelian dari penjualan/vendor, melainkan

petugas penerimaan langsung melakukan pengecekan,

penimbangan dan penghitungan bahan makanan yang datang di

ruang penerimaan kemudian petugas melakukan pencatatan di

buku laporan atau formulir yang telah dilengkapi dengan jumlah,

berat dan spesifikasi lain apabila diperlukan. Pihak vendor

mengirimkan faktur pengiriman bahan makanan langsung pada

bagian pembayaran dan bagian penerimaan mengirim lembar

formulir bahan makanan yang diterima untuk dicocokkan kembali

oleh bagian pembelian/pembayaran.


2) Konvensional, adalah suatu cara dimana petugas penerimaan bahan

makanan menerima faktur dan spesifikasi satuan dengan jumlah

bahan makanan yang dipesan. Apabila jumlah dan mutu tidak

sesuai, petugas berhak mengembalikannya. Namun petugas

penerima harus mencatat semua bahan makanan yang telah

diterima dan bahan makanan yang akan dikembalikan yang

kemudian untuk dilaporkan kepada bagian pembelian atau

pembayaran. Dalam prosedur pengembalian bahan makanan

sebaiknya petugas pengiriman bahan makanan ikut mengakui

adanya ketidakcocokan pesanan dengan pengiriman yang ditandai

dengan tanda tangan diformulir pengembalian bahan makanan.

Selain itu, diberi catatan bahwa makanan yang dikembalikan

tersebut harus segera diganti atau mengubah isi faktur pengiriman.

Prinsip penerimaan bahan makanan, yaitu :

- Jumlah bahan makanan yang diterima harus sama dengan yang

tertulis dalam faktur pembelian dan sama jumlahnya dengan

daftar permintaan institusi.

- Mutu bahan makanan yang diterima harus sesuai dengan

spesifikasi bahan makanan yang diminta pada surat kontrak

perjanjian jual beli.

- Harga bahan makanan yang tercantum pada faktur pembelian

harus sama dengan harga bahan makanan yang tercantum pada

penawaran bahan makanan (Mukrie, 1990).

f. Penyimpanan Bahan Makanan


Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata,

menyimpan, memelihara bahan makanan kering dan basah serta

mencatat serta pelaporannya. Fungsi dari penyimpanan bahan makanan

adalah menyelenggarakan pengurusan bahan makanan agar setiap

waktu diperlukan dapat melayani dengan tepat, cepat dan aman

digunakan dengan cara yang efisien. Prinsip dasar dalam penyimpanan

bahan makanan adalah tepat tempat, tepat waktu, tepat mutu, tepat

jumlah dan tepat nilai (Mukrie, 1990).

Utari (2009) dalam kutipan pedoman teknis proses penyediaan

makanan dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI,

2003), prasyarat dalam penyimpanan bahan makanan yaitu:

1. Adanya sistem penyimpanan barang

2. Tersedianya fasilitas ruang penyimpanan bahan makanan sesuai

persyaratan.

3. Tersedianya kartu stok atau buku catatan keluar masuknya bahan

makanan.

Berdasarkan jenis bahan makanan gudang operasional dibedakan

menjadi dua, yaitu:

1) Gudang bahan makanan kering, adalah sebuah tempat

penyimpanan bahan makanan kering atau bahan yang tahan lama

seperti beras, gula, tepung-tepungan, kacang hijau, minyak, kecap,

makanan dalam kaleng dan lain-lain. Syarat utama untuk

menyimpan bahan makanan kering adalah ruangan khusus kering,


tidak lembab, pencahayaan cukup, ventilasi dan sirkulasi udara

baik, serta bebas dari serangga dan binatang pengerat lainnya.

2) Gudang bahan makanan segar, adalah sebuah tempat penyimpanan

bahan makanan yang masih segar seperti daging, ikan unggas,

sayuran dan buah. Bahan makanan tersebut umumnya mudah

rusak, sehingga perlu dilakukan tindakan untuk memperlambat

kerusakan terutama yang disebabkan oleh mikroba. Secara umum

setiap jenis bahan makanan segar memiliki suhu penyimpanan

tertentu yang optimal untuk menjaga kualitas.

Terdapat 4 prinsip dalam penyimpanan bahan makanan

berdasarkan dengan suhunya (Depkes RI, 200):

1. Penyimpanan sejuk (colling) pada suhu 10ºC-15ºC seperti jenis

minuman, buah dan sayuran.

2. Penyimpanan dingin (chilling) pada suhu 4ºC-10ºC seperti

makanan berprotein yang segera akan diolah.

3. Penyimpanan dingin sekali (freezing) pada suhu 0ºC-4ºC seperti

bahan makanan yang mudah rusak untuk jangka waktu 24 jam.

4. Penyimpanan beku (frozen) pada suhu

g. Persiapan Bahan Makanan

Persiapan bahan makanan merupakan suatu proses kegiatan

dalam rangka menyiapkan bahan makanan dan bumbu-bumbu

sebelum dilakukan pengolahan bahan makanan. Tujuan dari persiapan

bahan makanan adalah:


(a) Tersedianya racikan yang tepat untuk berbagai hidangan dalam

jumlah yang sesuai dengan menu yang berlaku, standar porsi dan

jumlah konsumen.

(b) Tersedianya racikan bumbu yang sesuai dengan standar bumbu

atau standar resep yang berlaku, menu dan jumlah konsumen

(Mukrie, 1990).

Prasyarat persiapan bahan makanan meliputi:

1) Tersedianya bahan makanan yang akan dipersiapkan;

2) Tersedinya peralatan persiapan;

3) Tersedianya protap persiapan;

4) Tersedianya aturan proses-proses persiapan (Depkes RI, 2007).

h. Pengolahan Bahan Makanan

Pengolahan bahan makanan adalah suatu rangkaian kegiatan pada

bahan makanan yang telah dipersiapkan menurut prosedur yang

ditentukan dengan menambahkan bumbu standar menurut resep,

jumlah klien, serta perlakuan spesial yaitu pemasakan dengan air,

lemak, pemanasan dalam rangka mewujudkan masakan dengan cita

rasa yang tinggi (Mukrie,1990).

Tujuan dari pengolahan bahan makanan yaitu:

1) Mengurangi resiko dari kehilangan zat gizi bahan makanan

2) Meningkatkan nilai cerna

3) Meningkatkan dan mempertahankan kualitas makanan

4) Bebas dari bahan potensial dan zat yang berbahaya bagi tubuh

Prasyarat dalam pengolahan bahan makanan meliputi:


1) Tersedianya siklus menu.

2) Tersedianya peraturan penggunaan Bahan Tambahan Pangan

(BTP).

3) Tersedianya bahan makanan yang akan diolah.

4) Tersedianya peralatan pengolahan bahan makanan dan tersedianya

aturan penilaian.

5) Tersedianya prosedur tetap dalam pengolahan bahan makanan

(Depkes RI, 2007).

i. Pendistribusian Makanan

Pendistribusian makanan merupakan suatu rangkaian dari kegiatan

penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan

konsumen yang dilayani (Depkes RI, 2003). Adapun macam – macam

distribusi makanan yaitu:

1) Sentralisasi merupakan cara penyaluran hidangan makanan dimana

telah diporsi untuk setiap konsumen di dapur pusat.

2) Desentralisasi merupakan cara penyaluran hidangan makanan

menggunakan alat yang ditentukan dalam jumlah porsi lebih dari

satu yang disajikan untuk setiap konsumen. Sistem desentralisasi

mempunyai syarat yaitu adanya pantry yang mempunyai alat-alat

pendingin, pemanas dan alat-alat makan (Mukrie, 1990).

Utari (2009) mengutip mengenai pedoman teknis mengenai proses

penyediaan makanan dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi

(Depkes RI, 2003), Prasyarat dalam pendistribusian dan penyajian

makanan adalah:
1. Adanya bon permintaan bahan makanan

2. Tersedianya kartu stok atau buku catatan keluar masuknya bahan

makanan

3. Tersedianya standar porsi

4. Tersedianya peralatan makanan

5. Tersedia sarana pendistribusian makanan

6. Tersedia tenaga pramusaji

7. Adanya jadwal pendistribusian makanan di dapur utama

Anda mungkin juga menyukai