Anda di halaman 1dari 38

MK : Investigasi Wabah

Dosen Pengajar : ZUL ADHAYANI ARDA S.KM M.KES

• DETERMINAN KEJADIAN LUAR BIASA


(KLB) RUBELLA DI DESA MUNDEH,
SELEMADEG BARAT, TABANAN
• Investigasi Kejadian Luar Biasa Campak Di
Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas

Tipe propagated epidemic

KELAS: EPIDEMIOLOGI 7 KELOMPOK 4


FAKULTAS KESEHATAN
Nabila H. Gani (501190055) MASYARAKAT
Safitriyanti Hasim (501190014)
2022/2023
Journal Of Midwifery and Health Administration Research
Vol 1, No. 1 (2021)

DETERMINAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) RUBELLA


DI DESA MUNDEH, SELEMADEG BARAT, TABANAN

DAP Ratna Juwita1*, Luh Gede Pradnyawatim2, Ni Made Hegard Sukmawati3


1,2,3
Bagian IKK-IKP FKIK, Universitas Warmadewa

dapratnajuwita@gmail.com

Abstract

Latar Belakang: Rubela adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus dan dapat
menyebabkan malformasi pada janin dengan tanda khas sindrom kongenital rubella. Peneliti melakukan
investigasi terhadap kejadian KLB rubella di Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan. Studi ini mengukur faktor
determinan penyebab KLB rubella. Metode: Studi ini menggunakan total kasus (29 orang) dengan kriteria mayor
(demam dan rash) serta kriteria minor (konjungtivitis, lemah, batuk, pilek dan kehilangan nafsu makan, dan
limfadenopati) periode Juli-September 2019 menggunakan surveilans aktif dan pasif diikuti dengan pengambilan
3 sampel IgM secara acak dari 5 puskesmas pembantu. Studi ini dilakukan dengan desain case-control 1:1 dan
dianalisis menggunakan SPSS. Hasil: Attack rate KLB ini adalah 58.6% pada usia 5-15 tahun dan 8.99% pada
Banjar Auman Delod Seme. Tipe KLB adalah penularan orang ke orang dengan kurva propagated dan masa
inkubasi rata-rata 11 hari. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa KLB ini adalah suatu KLB rubella dengan
determinan kontak erat (OR 3,4:95%CI 1.009-10.318, p≤0.05) dan orang-orang yang sudah divaksinasi memiliki
risiko lebih rendah terjangkit penyakit ini dibandingkan yang belum melakukan vaksin (OR 0.482, 95%CI:0.165-
1.409, p≤0.05). Kesimpulan: Eradikasi penyakit ini harus mulai digalakkan dengan berfokus pada peningkatan
cakupan imunisasi MR (measles/rubella) untuk menurunkan risiko kejadian penyakit di masa yang akan datang.

Kata kunci: campak, KLB, imunisasi

Background: Rubella is a contagious person to person viral infection and remains a fetal malformation on
pregnancy as congenital rubella syndrome. Under the outbreaks-based rubella surveillance in West-Selemadeg
Village, Tabanan Regency in 2019, we investigated the rubella outbreak determinants. Methods: This study
investigated 29 suspected cases using major criteria (fever and rash) following with minor criteria criteria
(conjunctivitis, malaise, rhinorea, loss appetite and cough) between Juli-September 2019 receiving active and
passive surveillans. Altogether, 3 serum samples we received from 5 districts and 29 suspected cases from local
health centres. Samples were tested for the measles and rubella IgM antibody. This study measures the
determinants of outbreaks using case-control study follows by total population one control design for each sample.
Data was analyzed using SPSS with 5% alpha. Results: The attack rate are 58.6% in 5-15yo age and 8.99% based
on place (Auman Delod Seme district). The type of epidemiologic curve is propagated epidemic curve (person to
person disease) with 11 days means of incubation periode. This outbreaks is associated to person to person close
contact (OR 3,4:95%CI 1.009-10.318, p≤0.05 and history of rubella vaccination OR 0.482, 95%CI:0.165-1.409,
p≤0.05 with all laboratorium samples positively detected for IgM of rubella viruses. Conclusions: Eradication of
rubella is considered to be feasible and beneficial that we need to work toward elimination with a focus on
strengthening ongoing immunization.
Keywords: rubella, outbreaks, immunization

*corresponding author: DAP Ratna Juwira (dapratnajuwita@gmail.com)

copyright©2021 Journal Of Midwifery and Health Administration Research 1


Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan

PENDAHULUAN orang pada tahun 2016, dan naik kembali


Penyakit rubella atau yang biasa menjadi 148 orang pada tahun 2017.
dikenal dengan campak jerman adalah (Kementerian Kesehatan RI, 2018;
penyakit infeksi yang disebabkan oleh Vaidya et al., 2016)
virus RNA yaitu togavirus jenis rubivirus KLB rubella ditetapkan jika adanya
yang berproliferasi dalam sekret peningkatan kasus 5 atau lebih suspek
nasofaring dan kelenjar getah bening rubella dalam waktu 4 (empat) minggu
regional penderita, masuk melalui darah berturut-turut, bersifat cluster dan
dan dapat melewati placenta barrier. memiliki hubungan epidemiologi, serta
Penyakit ini menular melalui droplet dari dikonfirmasi dengan pemeriksaan
orang ke orang dengan masa inkubasi 14- laboratorium IgM positif rubella. Cakupan
21 hari menimbulkan gejala demam, imunisasi campak sebelumnya dirasakan
rash/makulopapular sebagai gejala belum cukup untuk mencapai target
patognomis, pembesaran kelenjar getah eliminasi campak sedangkan akselerasi
bening, konjungtivitis, batuk, pilak, pengendalian rubella perlu dilakukan
kehilangan nafsu makan, dan gejala khas segera sehingga dilakukan kampanye
virus lainnya. Penyakit ini dapat bersifat introduksi vaksin tambahan
lethal mengakibatkan abortus dan measles/rubella (MR). (Anggraeni et al.,
congenital rubella syndrome (CRS). 2017; Husein et al., 2017)
(Orenstein et al., 2018) Petugas Pustu Desa Mundeh
Menurut laporan data surveilans melaporkan kepada petugas surveilan
WHO, angka insiden rubella campak Puskesmas Selemadeg Barat pada
terkonfirmasi laboratorium di dunia pertengahan Bulan Juli 2019 bahwa di
sepanjang tahun 2018 adalah sebesar daerahnya banyak menjumpai kasus–kasus
0,0005 per 100.000 penduduk. Di dengan keluhan demam yang disertai bercak
Indonesia, angka insiden rubella dalam 3 merah pada kulit (rash) dan keluhan saluran
tahun terakhir cenderung mengalami napas, yang mirip dengan gejala
peningkatan dari 3,2 per 100.000 campak/rubella. Menindaklanjuti laporan
penduduk pada tahun 2016 menjadi 5,01 tersebut, Kepala Puskesmas mengadakan
per 100.000 penduduk pada tahun 2018. rapat koordinasi di Puskesmas untuk
Di Bali sendiri, jumlah kasus melakukan penelusuran kembali terhadap
campak/rubella dalam 4 (empat) tahun kasus-kasus tersebut dan melakukan follow
terakhir sangat fluktuatif dari 135 orang up kasus-kasus serupa dalam beberapa
pada tahun 2015, menurun menjadi 25 minggu ke depan dengan melengkapi form

2 Journal Of Midwifery and Health Administration Research, Vol. 1, No. 1 (2021)


Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan

KLB campak/rubella. Kepala puskesmas Populasi dalam penyelidikan ini adalah


menetapkan gejala dan tanda yang harus penduduk Desa Mundeh, Kecamatan
dicatat adalah: demam dan bercak merah Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan.
pada kulit (rash) yang disertai lemah atau Kasus adalah warga Desa Mundeh yang
keluhan pada saluran napas (batuk atau memenuhi definisi kasus, yaitu dengan
pilek), atau konjungtivitis, atau gejala mayor demam dan ruam ditambah
mual/muntah, atau silau atau kehilangan dengan satu gejala minor (batuk atau pilek
nafsu makan, atau pembesaran kelenjar atau mata merah atau kehilangan nafsu
getah bening. makan atau lemas atau mual muntah dan
Tim Dinkes Provinsi Bali datang untuk atau pembesaran kelenjar getah bening)
pengambilan sampel lab darah kepada 3 sedangkan kontrol adalah warga Desa
(tiga) pasien suspek dan melakukan Mundeh yang tidak mengalami gejala
penelusuran epidemiologi pada penderita tersebut. Kontrol didapat dengan (umur dan
menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil jenis kelamin). Sampel berjumlah 29 orang.
penelusuran dan follow up selama 3 bulan, Data primer didapat dengan wawancara
tercatat 29 kasus dengan keluhan dan tanda sedangkan data sekunder berasal dari profil
sakit yang memenuhi kriteria tersebut. UPT Puskesmas, laporan surveilans dan
Berdasarkan paparan di atas, maka tujuan hasil pemeriksaan, dan pemeriksaan
penelitian ini adalah untuk mengetahui spesimen darah. Variabel dependen
Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) penyelidikan ini adalah penyakit suspek
Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, campak/rubella, variabel independennya
Tabanan. Factor determinan yang akan adalah riwayat kontak erat, riwayat vit.A,
diteliti dalam penelitian ini adalah riwayat status gizi, dan sanitasi lingkungan.
kontak erat, riwayat vit.A, status gizi, dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
sanitasi lingkungan.
Distribusi Kasus Berdasarkan Gejala
METODE Klinis dapat dilihat pada Table 1.
Rancangan penyidikan epidemiologi
Tabel 1 Distribusi Gejala Klinis
yang digunakan adalah case control study
Gejala Frekuensi Persentase
dengan perbandingan 1:1. Batasan wilayah (f) (%)
Demam 29 100
penyidikan yaitu pada Desa Mundeh, Rash 29 100
Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Konjungtivitis 23 79.3
Lemah 19 65.5
Tabanan pada Bulan Juli- September 2019.
Pilek 17 58.6
Nafsu makan menurun 16 55.2

Journal Of Midwifery and Health Administration Research, Vol. 1, No. 1 (2021) 3


Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan

Gejala Frekuensi Persentase Tabel 2 Distribusi Jenis Kelamin


(f) (%)
Batuk 15 51.7 Jenis Kelompok Umur
Jumlah
Kelamin 0-5 >5-15 >15
Silau 7 24.1
1 9 6 16
Mual/muntah 7 24.1 Laki-laki (6,3%) (56,3%) (37,5%) (55,2%)
Limfadenopati 5 17.2 2 8 3 13
Perempuan (15,4%) (61,5%) (23,1%) (44,8%)
3 17 9 29
Jumlah
Tabel 1 menunjukkan bahwa gejala (10,3%) (58,6%) (31%) (100%)

dominan yang dialami oleh penderita Dari Tabel 2 dapat dilihat distribusi
dengan gejala utama demam disertai rash kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki
adalah mata merah (79,3%). Penelitian (55,2%) dibandingkan perempuan (44,8%).
Ogata, dkk (2021) menyebutkan bahwa Penelitian Beraud (2018) menyebutkan
pada setiap kejadian outbreak rubella, gejala bahwa kasus rubella paling sering
major yang timbul adalah demam disertai menyerang anak laki-laki dibandingkan
rash pada daerah badan diikuti dengan perempuan karena anak laki-laki secara
wajah. Hasil temuan ini juga didukung oleh motorik melebihi perempuan yang
Nomoto, dkk yang menambahkan bahwa memungkinkan risiko kontak mereka
gejala minor yang paling banyak didapatkan dengan peer groupnya lebih rentan dan
adalah konjungtivitis (Nomoto et al., 2020) intens.
. Distribusi kasus berdasarkan
karekteristik tempat di Desa Mundeh dapat
dikelompokkan berdasarkan banjar. Attack
rate kasus suspek campak di Desa Mundeh
dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Attack Rate Kasus Suspek Campak/Rubella


Jumlah Jumlah Attack
Banjar Persentase
penduduk Kasus rate (%)
Banjar Bangal 350 0.0% 0 0.00
Banjar Pengedan 439 0.2% 1 0.23
Banjar Nyuh Gading 382 0.5% 2 0.52
Banjar Pancoran 414 1.0% 4 0.97
Banjar Auman Dajan Seme 298 0.0% 0 0.00
Banjar Auman Dlod Seme 189 9.0% 17 8.99
Banjar Pancoran Kelod 308 1.6% 5 1.62
Banjar Yeh Kayu 324 0.0% 0 0.00
Desa Mundeh 2704 100.0% 29 1.07

4 Journal Of Midwifery and Health Administration Research, Vol. 1, No. 1 (2021)


Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa attack Kasus Riwayat Riwayat Masa Inkubasi
ke-. Demam Kontak (Hari)
rate tertinggi ada di Banjar Auman Dlod (Tanggal) (Tanggal)
9 17-Jul-2019 3-Jul-19 14
Seme (8.99%) dan yang paling terendah ada
10 17-Jul-2019 10-Jul-19 7
di Banjar Bangal dan Banjar Auman Dajan 11 19-Jul-2019 - -
Seme dan Banjar Yeh Kayu (0%). 12 20-Jul-2019 6-Jul-19 14
13 20-Jul-2019 6-Jul-19 14
Kurva epidemik kasus suspek rubella 14 21-Jul-2019 6-Jul-19 15
berdasarkan onset gejala demam di Desa 15 21-Jul-2019 6-Jul-19 15
16 22-Jul-2019 7-Jul-19 15
Mundeh dapat dilihat pada Gambar 1
17 24-Jul-2019 9-Jul-19 15
berikut: 18 24-Jul-2019 9-Jul-19 15
19 24-Jul-2019 10-Jul-19 14
20 28-Jul-2019 11-Jul-19 17
21 28-Jul-2019 12-Jul-19 16
22 5-Aug-2019 16-Jul-19 20
23 5-Aug-2019 - -
24 5-Aug-2019 19-Jul-19 17
25 6-Aug-2019 16-Jul-19 21
26 14-Aug-2019 30-Jul-19 15
Gambar 1 Kurva epidemik kasus suspek rubella 27 14-Aug-2019 - -
28 14-Aug-2019 1-Aug-19 13
Berdasarkan Grafik 1 dapat dilihat 29 19-Aug-2019 5-Jul-19 16
bahwa pola KLB adalah tipe propagated
epidemic curve, dimana kurva tampak Dari Tabel 4 didapatkan bahwa range

berpuncak lebih dari satu dan berjarak satu periode inkubasi adalah 7-20 hari dengan

masa inkubasi. Puncak letusan/kasus masa inkubasi terpendek adalah 7 hari

median berada pada minggu kedua. (kasus no. 10) dan masa inkubasi terpanjang

Prediksi periode pemaparan didapatkan adalah 21 hari (kasus no.25) serta mean

dengan mencari masa inkubasi terpanjang, inkubasi 11 hari. Puncak letusan

terpendek, dan rata-rata. kasus/kasus median berada pada minggu


Tabel 4. Tabel Masa Inkubasi Kasus kedua atau kasus ke-11, yaitu kasus tanggal
Kasus Riwayat Riwayat Masa Inkubasi 19 Juli 2019. Puncak paparan agen
ke-. Demam Kontak (Hari)
(Tanggal) (Tanggal) penyebab/faktor risiko adalah kasus median
1 8-Jul-2019 - -
(19 Juli 2019) dikurangi satu masa inkubasi
2 11-Jul-2019 25-Jun-19 16
3 12-Jul-2019 28-Jun-19 14 rata-rata (11 hari). Periode pemaparan
4 12-Jul-2019 - - adalah jarak waktu antara kasus pertama
5 14-Jul-2019 - -
dikurangi masa inkubasi terpendek dengan
6 14-Jul-2019 1-Jul-19 13
7 16-Jul-2019 - - kasus terakhir dikurangi masa inkubasi
8 17-Jul-2019 1-Jul-19 16

Journal Of Midwifery and Health Administration Research, Vol. 1, No. 1 (2021) 5


Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan

terpanjang, yaitu 1 Juli 2019 sampai dengan masa inkubasi rubella adalah 4-21 hari
31 Juli 2019. dimana pada studi ini didapatkan pada
Penelitian Czumbel tahun 2018 yang rentang yang mirip yaitu 7-21 hari
meneliti rubella outbreaks menyebutkan Penelusuran faktor risiko dilakukan
bahwa kurva epidemiologi propagated pada variabel riwayat kontak, Body Mass
adalah kurva khas yang didapatkan pada Indeks (BMI), status pemberian vitamin A,
penyakit dengan penularan orang ke orang ventilasi rumah dan status imunisasi campak
seperti yang khas ditemukan pada studi ini. menggunakan analisis bivariat yang dapat
Lanzieri 2018 menambahkan bahwa dari dilihat pada Tabel 5.
hasil studinya menemukan bahwa periode
Tabel 5. Hasil Analisis Faktor Risiko
Kasus Kontrol OR (CI 95%)
Variabel P value
(n=29) (n=29)
Riwayat imunisasi campak 0.482 (0.165-1.409) 0.180
Sudah 15 (51.7%) 20 (69%)
Belum 14 (48.3%) 9 (31%)
Pemberian Vitamin A 0.871 (0.310-2.445) 0.792
Sudah 13 (44.8%) 14 (51.7%)
Belum 16 (55.2%) 15 (48.3%)
Riwayat Kontak Erat 3.367 (1.009-10.318) 0.03*
Ada 22 (75.9%) 14 (48.3%)
Tidak ada 7 (24.1%) 15 (51.7%)
BMI 2,036 (0,708-5.857) 0.185
Di bawah normal 10 (51,7%) 15 (34,5%)
Normal 19 (57,6%) 14 (42,4%)
Ventilasi 0.420 (0.144-1.227) 0.110
Tertutup 20 (69%) 14 (48.3%)
Terang 9 (31%) 15 (51.7%)
*Signifikan

Berdasarkan Tabel 5 dilihat bahwa Penelitian Abdulkadir & Gebrehiwot


subyek yang memiliki riwayat kontak erat (2019) menyebutkan bahwa salah satu
dengan penderita meningkatkan risiko determinan faktor infeksi rubella adalah
terkena campak/rubella 3,367 kali riwayat kontak erat. Temuan ini juga
dibandingkan dengan yang tidak pernah didukung oleh Snell (2017) yang
kontak dengan penderita sebelumnya (OR menyebutkan bahwa risiko kontak erat
3,367; 95%CI (1,009-10,318), p=0.03. terutama pada ibu hamil meningkatkan
Berdasarkan hasil laboratorium dari 3 risiko kejadian congenital rubella
sampel, didapatkan bahwa kasus KLB di syndrome. Temuan ini juga didukung oleh
Desa Mundeh periode waktu Juli-Agustus penelitian Gubio (2019) yang menyebutkan
2019 merupakan KLB Rubella. bahwa selain riwayat vaksinasi rubella,

6 Journal Of Midwifery and Health Administration Research, Vol. 1, No. 1 (2021)


Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan

riwayat kontak erat meningkatkan risiko terjadinya kasus rubella di masa yang akan
infeksi rubella. datang.

KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA


KLB di Desa Mundeh merupakan kasus Abdulkadir, A., & Gebrehiwot, T. T. (2019).
rubella positif berdasarkan konfirmasi Risk Factors for Rubella Transmission
in Kuyu District, Ethiopia, 2018: A
laboratorium. Kejadian ini memiliki gejala
Case-Control Study. Interdisciplinary
mayor demam dan rash dan gejala minor Perspectives on Infectious Diseases,
terbanyak adalah konjungtivitis. Banjar 2019, e4719636.
https://doi.org/10.1155/2019/4719636
Pancoran Kelod, Banjar Pancoran dan
Banjar Auman Delod Seme memiliki Anggraeni, N. D., Umar, A. N., Mazanova,
D., Puhilan, Purwanto, E., Muhiriyah,
proporsi kasus terbanyak, yaitu 51,72%
E., Nugroho, G. W., Abdurahman,
pada kelompok usia 6-15 tahun. Hal ini Septiana, L., Muammar, Voronika, V.,
dikarenakan ketiga banjar ini dekat dengan Cornellya, Rusipah, Utoro, S., &
Mardin, N. (2017). Buku pedoman
SD 2 Mundeh dimana mayoritas kasus
penyelidikan dan penanggulangan KLB
ditemukan pada anak usia sekolah yang penyakit menular dan keracunan
bersekolah di SD ini. Hal ini meningkatkan pangan (Edisi Revisi Tahun 2017).
Kementerian Kesehatan RI.
risiko kontak erat dan intens setiap hari pada
anak di tiga banjar tersebut. Béraud, G., Abrams, S., Beutels, P.,
Dervaux, B., & Hens, N. (2018).
Pola KLB adalah tipe propagated
Resurgence risk for measles, mumps
epidemic curve, dengan puncak and rubella in France in 2018 and 2020.
letusan/kasus median berada pada minggu Eurosurveillance, 23(25), 1700796.
https://doi.org/10.2807/1560-
kedua dengan periode pemaparan
7917.ES.2018.23.25.1700796
diperkirakan yaitu pada tanggal 1 Juli 2019
Czumbel, I., Quinten, C., Lopalco, P.,
sampai dengan 31 Juli 2019. Determinan
Semenza, J. C., & ECDC expert panel
KLB ini riwayat kontak erat dimana orang working group. (2018). Management
yang memiliki riwayat kontak erat dengan and control of communicable diseases
in schools and other child care settings:
penderita rubella sebelumnya memiliki
Systematic review on the incubation
kemungkinan lebih besar sebanyak 3,4 kali period and period of infectiousness.
dibanding yang tidak pernah kontak. BMC Infectious Diseases, 18(1), 199.
https://doi.org/10.1186/s12879-018-
Saran penulis terhadap kejadian KLB
3095-8
Rubella adalah meningkatkan cakupan
Gubio, A. B., Mamman, A. I., Abdul, M., &
vaksin campak/ rubella terutama pada anak
Olayinka, A. T. (2019). The risk factors
sehingga dapat menurunkan risiko of exposure to rubella among pregnant

Journal Of Midwifery and Health Administration Research, Vol. 1, No. 1 (2021) 7


Determinan Kejadian Luar Biasa (Klb) Rubella di Desa Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan

women in Zaria 2013. Pan African https://doi.org/10.1186/s12879-021-


Medical Journal, 32. 06158-9
https://doi.org/10.11604/pamj.supp.201
Orenstein, W. A., Hinman, A., Nkowane, B.,
9.32.1.13335
Olive, J. M., & Reingold, A. (2018).
Husein, A., Aidil, O., Hidayah, Z., Mawardi, Measles and Rubella Global Strategic
R., & Suryadi, A. S. (2017). Bahan Ajar Plan 2012-2020 midterm review.
Kesehatan Lingkungan Manajemen Vaccine, 36 Suppl 1, A1–A34.
Bencana (1st ed.). Kementerian https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2017.
Kesehatan RI. 09.026
//perpus.poltekkesjkt2.ac.id/setiadi/ind
Snell, L. B., Smith, C., Chaytor, S., McRae,
ex.php?p=show_detail&id=457
K., Patel, M., & Griffiths, P. (2017).
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Screening for potential susceptibility to
Campak dan Rubella di Indonesia. rubella in an antenatal population: A
InfoDATIN Pusat Data dan Informasi multivariate analysis. Journal of
Kementerian Kesehatan RI. Medical Virology, 89(9), 1532–1538.
https://doi.org/10.1002/jmv.24818
Lanzieri, T., Redd, S., Emily Abernathy, &
Icenogle, J. (2021). Rubella. In Manual Vaidya, S. R., Kamble, M. B., Chowdhury,
for the Surveillance of Vaccine- D. T., & Kumbhar, N. S. (2016).
Preventable Diseases. National Center Measles & rubella outbreaks in
for Immunization and Respiratory Maharashtra State, India. Indian Journal
Diseases. of Medical Research, 143(2), 227.
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/sur https://doi.org/10.4103/0971-
v-manual/chpt14-rubella.html 5916.180214
Nomoto, H., Ishikane, M., Nakamoto, T.,
Ohta, M., Morioka, S., Yamamoto, K.,
Kutsuna, S., Tezuka, S., Kunimatsu, J.,
& Ohmagari, N. (2020). Conjunctivitis,
the key clinical characteristic of adult
rubella in Japan during two large
outbreaks, 2012–2013 and 2018–2019.
PLOS ONE, 15(4), e0231966.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.02
31966
Ogata, T., Murooka, M., Akashi, M.,
Ishitsuka, A., Miyazaki, A., Osawa, S.,
Ishikawa, K., Tanaka-Taya, K., &
Uehara, R. (2021). The period from
prodromal fever onset to rash onset in
laboratory-confirmed rubella cases: A
cross-sectional study. BMC Infectious
Diseases, 21(1), 442.

8 Journal Of Midwifery and Health Administration Research, Vol. 1, No. 1 (2021)


SEMINAR NASIONAL PASCASARJANA 2020:
ISSN: 2686 6404

Investigasi Kejadian Luar Biasa Campak Di Kota Purwokerto,


Kabupaten Banyumas, Tahun 2016
Muniroha*, Abroerya,b, Widya Hary Cahyatia, Sri Ratna Rahayua
a*
Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Jl. Kelud Utara III, Semarang
, 50237, Jawa Tengah, Indonesia
b
Kator Kesehatan Pelabuhan Semarang, Jl. WR. Supratman No. 6, Semarang, 50149, Jawa Tengah,
Indonesia
* Alamat Surel: muniroh19@students.unnes.ac.id
Abstrak

Pada hari Rabu tanggal 5 Oktober 2016, DKK Banyumas menerima laporan dari petugas puskesmas
bahwa terdapat 4 kasus campak klinis pada anak SD X. Berdasarkan laporan tersebut, perlu dilakukan
penyelidikan epidemiologi yang bertujuan untuk mengkonfirmasi adanya KLB dan faktor risikonya
supaya dapat ditanggulangi. Penelitian menggunakan unmatched case control dengan perbandingan 1:1.
Kasus adalah orang yang mempunyai gejala: demam dan bercak merah makulopapular diikuti satu/lebih
gejala batuk, pilek, dan mata merah yang didukung konfirmasi laboratorium atau mempunyai hubungan
epidemiologis dengan kasus konfirmasi dari tanggal 10 Juli-12 November 2016 di Kota Purwokerto.
Kontrol adalah orang yang kontak dengan kasus namun tidak mempunyai gejala. Sampel serum dikirim
ke Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta untuk pemeriksaan IgM campak. Data dikumpulkan dengan
wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis menggunakan uji chi kuadrat dan regresi
logistik. Terdapat 46 kasus (54,4% perempuan; rentang umur 2-22 tahun; 60,9% anak-anak (5-<12 tahun);
91,3% belum pernah sakit campak sebelumnya, dan 78,3% tidak divaksinasi). Jumlah kasus pada anak
SD (56,5%), anak PAUD (19,6%), dan menular ke masyarakat (23,9%). Terdapat 3 sampel yang positif
IgM campak. Kasus indeks adalah anak PAUD yang tertular saudaranya yang tinggal di luar kota. Kasus
indeks menularkan pada saudaranya yang duduk di Sekolah Dasar, kemudian penyakit menyebar di SD
X dan PAUD X, serta masyarakat dimana kasus tinggal. Penyebab tingginya anak yang tidak divaksinasi
adalah orang tua menolak vaksinasi karena alasan keyakinan agama (78,2%). Efikasi vaksin keseluruhan
adalah 70%. Variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian campak adalah status
vaksinasi (aOR=9,59; 95%CI=3,58-25,72) dan riwayat sakit campak (aOR=3,91; 95%CI=1,01-
15,18).Telah terjadi KLB campak dari 10 Juli-12 November 2016 di Kota Purwokerto. Penolakan
vaksinasi di masyarakat cukup tinggi. Direkomendasikan untuk dilakukan vaksinasi di sekolah, kampanye
vaksin campak, dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.

Kata kunci: Campak, KLB, Penolakan vaksinasi, Banyumas


©2020 Dipublikaskan oleh Universitas Negeri Semarang

1. Pendahuluan
Penyakit campak dikenal juga sebagai measles atau gabag (dalam Bahasa Jawa)
merupakan penyakit yang sangat menular (infeksius) yang disebabkan oleh virus.
Sebanyak 90% anak yang tidak kebal akan terserang penyakit campak. Manusia
diperkirakan satu-satunya reservoir dalam penyebaran, (Kemenkes RI, 2012). Campak
merupakan penyakit endemik di negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia,
campak masih menempati urutan ke-5 penyakit yang menyerang terutama pada bayi dan
balita (Kemenkes RI, 2015).
Berdasarkan catatan Kemenkes RI, frekuensi KLB penyakit campak di Indonesia
selalu naik turun, yakni pada tahun 2013 sebanyak 862 kali, tahun 2014 sebanyak 2104
To cite this article:
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu(2020). Investigasi Kejadian Luar Biasa
Campak Di Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Tahun 2016 . Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana
UNNES
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

kali, dan tahun 2015 sebanyak 831 kali dengan jumlah kasus berturut-turut 10.712 kasus,
12.943 kasus, dan 8.185 kasus (Kemenkes RI, 2016). Jumlah kasus meninggal pada tahun
2014 sebanyak 8 kasus yang terjadi di 5 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Incidence rate (IR) campak pada tahun 2014
sebesar 5,13 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015) dan menurun pada tahun 2015
yaitu 1 kasus meninggal yang terjadi di Provinsi Jambi, dengan IR sebesar 3,20 per
100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2016). Jumlah kasus campak di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2014 sebanyak 308 kasus (positif campak), lebih banyak dibanding tahun 2013
sebanyak 32 kasus (Dinkesprop Jateng,
2015). Pada tahun 2015 jumlah kasus campak meningkat menjadi 576 kasus yang tersebar
di 26 kabupaten/kota (Dinkesprop Jateng, 2015). Sedangkan di Kabupaten Banyumas,
selama tahun 2014 dan 2015 tidak ditemukan kasus campak (Dinkeskab Banyumas,
2016).
Pada tanggal 5 Oktober 2016, Puskesmas Purwokerto Barat melaporkan kepada
DKK Banyumas, terdapat 4 kasus campak klinis di SDIT X di Purwokerto. Tanggal 6
Oktober 2016 dilakukan konfirmasi, ternyata kasus telah menular ke beberapa siswa
siswa SD (kelas 1 sampai kelas 6) dan siswa PAUD X yang letaknya dalam satu wilayah.
Berdasarkan laporan tersebut perlu dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) yang
bertujuan untuk mengetahui gambaran Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit campak yang
terjadi di PAUD dan SDIT X dan mengetahui faktor-faktor risikonya sehingga dapat
dilakukan tindakan penanggulangan yang tepat.

2. Pembahasan
Langkah-langkah dalam PE Kejadian Luar Biasa (KLB) antara lain persiapan
yang meliputi kegiatan pemantapan (konfirmasi) informasi, pembuatan rencana kerja
dan tim investigasi serta koordinasi dengan pihak-pihak terkait (puskesmas, sekolah,
yayasan, laboratorium rujukan, dll). Selanjutnya dilakukan penentuan keberadaan KLB
dimana sesuai definisi bahwa KLB campak bisa dipastikan terjadi apabila minimum 2
spesimen positif IgM campak dari hasil pemeriksaan kasus tersangka KLB campak
(Kemenkes RI, 2012).
Verifikasi diagnosis terhadap suspek dilakukan melalui wawancara, data
sekunder, dan pengambilan sampel uji laboratorium. Kemudian sesuai definisi
operasional bahwa kasus dalam KLB campak ini adalah semua orang yang mengalami
gejala demam dan bercak kemerahan yang disertai 1 atau lebih gejala batuk, pilek, mata
merah yang didukung konfirmasi laboratorium atau mempunyai hubungan secara
epidemiologis dengan kasus konfirmasi pada tanggal 10 Juli-12 November 2016 di kota
Purwokerto. Sedangkan kontrol adalah semua orang yang kontak dengan kasus pada
tanggal 10 Juli-12 November 2016 di kota Purwokerto namun tidak mengalami gejala.
Upaya penemuan kasus dilakukan secara sistematis. Kemudian data kasus/control
disusun dalam line listing untuk mempermudah pengolahan. Active case finding
dilakukan untuk penemuan kasus tambahan. Data primer didapat melalui wawancara
dengan kuesioner terstruktur, data sekunder diperoleh dari sekolah, puskesmas, dinas
kesehatan, dinas kependudukan dan atau kelurahan guna menunjang informasi KLB.
Data akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan orang, tempat dan waktu. Untuk
mengetahui pengaruh faktor risiko terhadap kejadian campak digunakan desain
unmatched case control study dengan perbandingan 1:1. Penentuan jumlah kasus

929
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

menggunakan sampel jenuh. Jumlah kasus maupun kontrol masing-masing sebanyak 46


orang tanpa matching. Variabel bebas terdiri dari jenis kelamin, kelompok umur,
riwayat sakit campak, status gizi, dan status vaksinasi. Variabel terikatnya adalah
penyakit campak. Uji analitik menggunakan chi square dan logistic regression.

3. Hasil
Hasil penyelidikan epidemiologi KLB penyakit campak disajikan sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi gejala klinis penyakit campakdi Kota Purwokerto Kabupaten


Banyumas Tahun 2016

Jumlah Kasus Persentase


Gejala dan Komplikasi
(n=46) (%)
Demam 46 100,0
Ruam merah (rash) 46 100,0
Batuk 43 93,5
Pilek 31 67,4
Mata merah (conjuntivitis) 41 89,1
Diare/mencret * 20 43,5
Telinga keluar nanah (otitis media)* 0 0,0
Sesak nafas (broncopneumonia)* 0 0,0
Kejang (encepalitis)* 1 2,2
Ket: * komplikasi
Tabel 1 menggambarkan bahwa gejala klinis campak yang paling banyak adalah
demam dan ruam merah (100%), batuk (93,5%), pilek (67,4%), mata
merah/konjungtivitis (89,1%). Kasus telah mengalami komplikasi, hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya kasus kasus mengalami diare (43,5%) dan kejang (2,2%). Dari
46 kasus tersebut, telah diambil 5 sampel serum untuk diperiksa di Balai Laboratorium
Kesehatan Yogyakarta dengan hasil 3 positif untuk IgM campak.
Penyakit campak lebih besar terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 25 orang
(54,4%) jika dibandingkan pada laki-laki yaitu 21 orang (45,7%). Sebagian besar diderita
oleh kelompok anak (5-<12 tahun) yaitu 60,9% dan kelompok balita (0-<5 tahun) yaitu
30,4%. Sebagian besar kasus belum pernah menderita penyakit campak sebelumnya
(91,3%), mempunyai status gizi yang baik (96,7%) dan belum pernah mendapatkan
vaksinasi (78,3%). Informasi tambahan mengenai karakteristik orang tua kasus (penderita
campak) sebagai berikut: pendidikan orang tua kasus tergolong tinggi, yakni sebesar
43,5% baik pendidikan ibu atau bapak adalah SMA. Kemudian disusul sebesar 21,7%
D1/D3 dan S1/S2 (pendidikan ibu) dan sebesar 39,1% adalah S1/S2 (pendidikan bapak).
Lebih dari separo (56,5%) adalah ibu rumah tangga, dan sebesar 21,7% pekerjaan ibu
adalah sebagai pegawai swasta. Sedangkan pekerjaan bapak sebagian besar (65,2%)
adalah pegawai swasta. Sebesar 34,8% berpenghasilan tinggi (≥ 3,5 juta). Berdasarkan

930
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

kriteria tempat dapat diketahui bahwa daerah yang paling banyak ditemukan kasus
campak berada di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Barat yaitu sebesar 41,3%,
sedangkan sisanya menyebar di wilayah keja puskesmas lain (Tabel 2).
Tabel 2. Distribusi status penyakit campak berdasarkan wilayah puskesmas
Status Total
Alamat
Sakit % Tidak % Jml %

Purwokerto Barat 19 41,3 24 52,2 43 46,7


Purwokerto 1 Timur 6 13,0 7 15,2 13 14,1
Purwokerto 2 Timur 6 13,0 6 13,0 12 13,0
Purwokerto Selatan 7 15,2 6 13,0 13 14,1
Purwokerto 1 Utara 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Purwokerto 2 Utara 8 17,4 3 6,5 11 12,0
Total 46 100,0 46 100,0 92 100,0

Gambar 1. Kurva epidemiologi KLB penyakit campak di Kota Purwokerto Kabupaten


Banyumas
Gambar 1 menjelaskan kurva epidemiologi KLB penyakit campak di Kota
Purwokerto, Kab. Banyumas. Waktu paparan pertama kali terjadi pada minggu ke-4
Bulan Juli Tahun 2016 (24 Juli 2016), puncak kasus terjadi pada minggu ke-2 Bulan
Oktober Tahun 2016, dan kasus terakhir pada minggu ke-3 Bulan Oktober 2016 (15
Oktober 2016). Untuk memastikan kasus indeks, dilakukan penyelidikan minimal 1 masa
inkubasi (14 hari) ke belakang. Kasus indeks adalah siswa PAUD X yang tertular
saudaranya yang tinggal di Cilacap. Sedangkan 3 kasus berikutnya adalah saudara dari
kasus indeks yang masih batita dan duduk di SD serta guru SD X Purwokerto. Untuk
memastikan bahwa sudah tidak ada penularan kasus campak, maka dari kasus terakhir

931
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

dilakukan pengamatan ke depan selama 2 kali masa inkubasi (28 hari). Lama pemaparan
KLB penyakit campak terjadi mulai 24 Juli-15 Oktober 2016 (84 hari) dan lama KLB
penyakit campak terjadi selama tanggal 10 Juli-12 November 2016 (126 hari). Pada
minggu ke-3 Bulan Oktober Tahun 2016 dilakukan vaksinasi pada murid SD dan PAUD
tersebut.
Analisis bivariat dan multivariabel dibuat untuk menentukan faktor risiko apa saja
yang bertanggung jawab dalam KLB tersebut. Adapun variabel faktor risiko yang diteliti
meliputi: jenis kelamin, kelompok umur, riwayat sakit campak sebelumnya, satus gizi,
dan status vaksinasi. Status gizi pada KLB tersebut tidak bisa disertakan dalam
pengolahan data, karena seluruh kontrol (100%) yang diambil mempunyai status gizi
yang baik. Adapun analisis dari faktor risiko tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis bivariat dan multivariable
Status penyakit
campak Total
Variabel OR aOR p CI
(N=92)
Sakit Tidak

Laki-laki 21 24 45
Jenis
Perempu 0,77 0,87 0,75 0,37-2,04
kelamin 25 22 47
an
Balita 14 24 26
Anak-
28 7 60
anak
Kelompok Remaja 4 6 6 1,06 0,96 0,93 0,41-2,24
umur
Dewasa 0 6 0
Lansia 0 0 0
manula 0 3 0
Pernah
Riwayat 4 14 18
sakit
sakit 4,59 3,91 0,04* 1,10-15,18
campak Tidak
42 32 74
pernah
Vaksin 10 34 44
Status
Tidak 10,2 9,59 0,01* 3,58-25,72
vaksin 36 12 28
vaksin
Ket: * pada p=0,05
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa jenis kelamin dan kelompok umur
tidak berpengaruh pada kejadian campak. Orang yang tidak pernah mengalami penyakit
campak sebelumnya mempunyai peluang 3,91 kali untuk tertular campak dibandingkan
dengan orang yang pernah mengalami penyakit campak. Sedangkan orang yang tidak

932
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

mendapatkan vaksin campak mempunyai peluang 9,59 kali untuk tertular campak
dibandingkan dengan orang yang sudah mendapatkan vaksin campak.
Kejadian KLB penyakit campak banyak dipengaruhi oleh tingginya anak yang
tidak divaksinasi. Ada beberapa alasan yang mendasari kenapa hal tersebut terjadi, yakni
sebagian besar (78,0%) menolak vaksinasi karena adanya keyakinan agama. Mereka
menganggap keberadaan vaksin masih disanksikan halal dan haramnya. Alasan lain
yakni, trauma terjadinya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), sering pindah-pindah
alamat, dan anak sedang sakit pada saat jadwal vaksin (Tabel 4).
Dari 5 sampel serum yang dikirim ke laboratorium, terdapat 3 sampel yang positif
IgM campak dan semua sampel negatif IgM rubela. Hasil tersebut memenuhi kriteria
KLB penyakit campak menurut Kementerian Kesehatan RI. Dan dari table 4 diperoleh
gambaran bahwa lebih separo (56,5%) kelompok kasus pada KLB di Kota Purwokerto
adalah anak SD dan 19,6% anak PAUD dan sebesar 23,9% telah menular pada kelompok
keluarga atau tetangga. Penyakit ini menular dari orang ke orang melalui percikan ludah
dan transmisi melalui udara terutama batuk, bersin, atau sekresi hidung (Kemenkes RI,
2012).
Tabel 4. Distribusi status penyakit campak berdasarkan kelompok risiko dan efikasi
vaksin
Status Total
Kelompok risiko
Sakit % Tidak % Jml %
PAUD 9 19,6 13 28,3 22 23,9
SD 26 56,5 33 71,7 59 64,1
Keluarga/tetangga 11 23.9 0 0,0 11 12,0
Total 46 100,0 46 100,0 92 100,0
Status Total
Status vaksinasi
Sakit % Tidak % Jml %
Vaksin 10 22,7 34 77,27 44 100,0
Tidak vaksin 36 75,0 12 25.5 48 100,0
Total 46 50,0 46 50,0 92 100,0
Efikasi Vaksin = 100% - ((22,7%-75%)) → 70%

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa efikasi vaksin campak di Kota Purwokerto
sebesar 70%. Artinya dari 100 orang yang diberi vaksin penyakit campak, 30 orang masih
rentan terhadap penyakit campak.

933
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

4. Pembahasan
Secara statistik, jenis kelamin tidak mempunyai hubungan bermakna terhadap
terjadinya KLB penyakit campak (aOR=0,87; p=0,75). Tidak ada perbedaan insiden dan
tingkat kefatalan penyakit campak pada laki-laki maupun perempuan, meskipun titer
antibodi perempuan secara garis besar lebih tinggi dari pada laki-laki (Sugiarto, H. R. P.,
2013). Pada kelompok umur, secara statistik tidak mempunyai hubungan bermakna
dengan KLB penyakit campak (aOR=0,96; p=0,93). Hal tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2014) yang menyebutkan bahwa umur tidak
mempunyai hubungan dengan kejadian campak (OR=0,24; p=0,096) (Khotimah, H.,
2014). Artinya, penyakit campak dapat menyerang semua kelompok umur, bukan hanya
menyerang bayi atau balita tapi bisa saja menyerang pada kelompok umur yang lebih
tua.
Penelitian lain yang dilakukan di Banjarmasin, justru menyatakan bahwa umur
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian campak, disebutkan bahwa umur
balita mempunyai pengaruh terhadap kejadian campak sebesar 2,46 kali (Budi, Dwi
Agus S, 2012). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa dengan adanya maternal
antibodi, yakni kekebalan yang diberikan ibu (IgG) lewat transplacenta. Biasanya anak-
anak akan terlindungi dari penyakit campak untuk beberapa bulan, biasanya antibodi
akan sangat berkurang setelah anak berumur 6-9 bulan, yang menyebabkan anak menjadi
rentan terhadap penyakit (Ranuh, IGN., 2005 dan Frida, E., 2007).
Variabel riwayat sakit campak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian
campak (aOR=3,91). Hal tersebut didukung penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Tolitoli Propinsi Sulawesi Tengah yang menyebutkan bahwa variabel belum pernah
menderita penyakit campak mempunyai hubungan yang bermakna pada kejadian
campak pada balita (OR=22,0; 95%CI=6,38-76,14) (Suardiyasa, IM. dan Soeroyo
Machfud, 2008).
Pada sebagian besar individu, imunitas akan terjadi seumur hidup, begitu pula
dengan imunitas yang terbentuk akibat infeksi penyakit campak. Infeksi alami karena
penyakit campak cenderung menimbulkan antibodi yang lebih baik jika dibandingkan
dengan antibodi yang terbentuk karena imunisasi campak. Jika terjadi infeksi virus, maka
akan terjadi respon selular, dengan cepat diikuti pula oleh respon imunitas saat timbulnya
rash, jika pada seorang anak tidak memiliki titer antibodi maka anak tersebut termasuk
kelompok rentan (Suardiyasa, IM. dan Soeroyo Machfud, 2008).
Menurut Sukasah dalam Budi (2008), titer antibodi yang ditimbulkan karena infeksi
campak lebih stabil dan dapat ditunjukkan selama hidup, dari survey yang dilakukan
pada anak umur 0-5 tahun, diketahui bahwa terdapat status kekebalan terhadap infeksi
virus campak. Hal ini sejalan dengan hasil survey serologi yang dilakukan pada anak 0-
7 bulan yang menggambarkan bahwa geometric mean titer antibody HI campak pada
neonatus sebesar 7,90 kemudian turun menjadi 1,39 pada usia 3 bulan, kembali turun
menjadi 1,13 pada usia 4 bulan dan 1,11 di umur 5 bulan, selanjutnya menjadi 0 pada
usia 6-7 bulan13.
Tingginya jumlah kelompok kasus yang belum pernah mengalami sakit campak,
dikarenakan selama beberapa tahun di Kota Purwokerto tidak pernah terjadi kasus
campak (Dinkes Kab. Banyumas, 2016). Hal tersebut jika ditunjang cakupan status
vaksinasi yang rendah (kekebalan/imun populasi rendah) akan menjadi bom waktu.
Artinya, jika ada 1 kasus di tempat tersebut, maka akan cepat menyebar seperti yang
terjadi sekarang. Status vaksinasi mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian
campak di Kota Purwokerto. Hasil ini didukung beberapa penelitian antara lain: di

934
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

Banyumas status vaksin mempunyai OR=2,7 (Mariati dan Mei Neni Sitaresmi, 2012) di
Lebak status vaksinasi mempunyai OR=101,79 dan di Banjarmasin, status vaksin
mempunyai OR=4,610 terhadap kejadian campak.
Jika dilihat penyebaran kasus campak, meskipun kasus menyebar di semua wilayah Kota
Purwokerto, kecuali wilayah kerja Puskesmas Puwokerto 1 Utara, ternyata hampir
separo mengumpul di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Barat. Hal ini dikarenakan
baik PAUD X maupun SD X terletak di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Barat
sehingga sebagian besar muridnya bertempat tinggal di wilayah tersebut. Berdasarkan
data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, rata-rata cakupan
imunisasi campak pada ke-6 wilayah kerja puskesmas tersebut sebesar 85-90% (Dinkes
Kab.Banyumas, 2016). Artinya masih ada sekitar 10-15% yang belum terjangkau
pemberian vaksinasi campak. Jumlah balita/anak yang tidak divaksinasi campak akan
menjadi populasi yang rentan dengan penyakit campak.
Kurva epidemiologi tidak begitu jelas menunjukkan type propagated outbreaks. Kurva
type propagated outbreaks terjadi jika sebuah kasus penyakit berperan sebagai sumber
infeksi bagi kasus-kasus berikutnya, dan kasus-kasus berikutnya berperan sebagai
sumber infeksi bagi kasus berikutnya lagi, dan bisa terjadi pada berbagai tempat (Murti,
B., UNS, 2010). Namun demikian, penularan secara propagated terlihat bahwa kasus
indeks yang bertempat tinggal di wilayah Purwokerto Barat, menyebarkan penyakit
campak ke seluruh wilayah kerja puskesmas di Kota Purwokerto. Kasus campak mudah
menyebar dikarenakan virus campak sangat infeksius dan sangat mudah menular dari
orang ke orang, yakni melalui bersin, batuk, percikan ludah, atau sekresi hidung melalui
transmisi udara (Kemenkes RI, 2012).
Laporan terjadinya KLB penyakit campak di Kota Purwokerto dapat dikatakan
terlambat, karena kasus baru dilaporkan setelah terjadi penularan dalam sekian waktu.
Turunnya kejadian campak pada kurva epidemiologi tersebut bukan dikarenakan
pemberian vaksin selektif yang dilakukan setelah masa puncak KLB. Bisa jadi turunnya
kasus campak pada periode tersebut karena populasi rentan sudah terserang penyakit
campak, sehingga tidak ada penularan lagi setelah 2 kali masa inkubasi pada kasus
terakhir. Pemberian vaksinasi selektif hanya bertujuan memberikan booster vaksinasi
campak supaya kekebalan populasi berisiko meningkat, sehingga diharapkan pada masa
yang akan datang tidak muncul KLB serupa.
Apabila dilihat dari karakteristik orang tua, diketahui bahwa lama pemaparan
penyakit campak pada KLB di Kota Purwokerto berkisar 84 hari (3 bulan) dan KLB
berlangsung selama 126 hari (4 bulan). Lamanya penyebaran penyakit tersebut
dikarenakan terlambatnya laporan (penemuan kasus campak) yang menyebabkan
terlambatnya upaya penanggulangan KLB tersebut. Lama pemaparan suatu penyakit
menggambarkan lamanya perjalanan alamiah suatu penyakit, dan juga menunjukkan
periode penularan atau penyebaran penyakit campak pada KLB tersebut. Tingkat
pendidikan orang tua tergolong baik yakni sebagian besar SMA, D3, dan S1 maupun S2
dengan tingkat penghasilan sebagian besar di atas 2,5 juta. Selain itu, tingkat
pengetahuan tentang penyakit campak tergolong cukup baik. Seharusnya dengan
gambaran karakteristik tersebut sangat menunjang dalam cakupan vaksinasi campak,
mengingat pelayanan kesehatan di Kota Purwokerto mudah diakses. Penelitian yang
dilakukan di Kabupaten Kendal terhadap balita menyebutkan bahwa ada hubungan
antara pendidikan ibu dengan kejadian penyakit campak pada balita (p=0,001).
Pendidikan ibu sangat mempengaruhi jenis pekerjaan yang akan ditekuninya sehingga
dapat mempengaruhi penghasilan keluarga (Sofianti, Y., 2014). Meningkatnya

935
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

penghasilan akan berpengaruh terhadap peningkatan terhadap akses kesehatan (Budi,


Dwi Agus S., 2012).
Namun dalam kasus ini justru terbalik, diketahui bahwa sebagian besar (78,3%)
anak tidak divaksin. Hal inilah yang memicu terjadinya KLB penyakit campak di Kota
Purwokerto. Adapun alasan yang mendasar kenapa masih banyak anak yang tidak
divaksinasi campak adalah penolakan terhadap vaksinasi yang dilatarbelakangi oleh
keyakinan agama. Jadi meskipun pengetahuan mereka tentang penyakit campak cukup
baik, hal tersebut tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk menentukan
apakah anak perlu diberi vaksinasi atau tidak. Hal ini terbukti dari hasil wawancara
terhadap orang tua dari 23 responden terdapat 6 responden (26,1%) menyatakan bahwa
vaksinasi tidak mempunyai manfaat. Meskipun terdapat 16 responden (69,6%)
menyatakan vaksinasi dapat menimbulkan kekebalan, namun mereka memilih untuk
tidak memberikan vaksinasi terhadap anaknya karena sebagian besar mereka
berpendapat bahwa keberadaan vaksin masih diragukan kehalalannya. Sedangkan
sisanya berpendapat karena adanya KIPI yang dialami anak setelah vaksinasi.
Kajian yang dilakukan Purnamasari (2015) di wilayah Kabupaten Wonosobo juga
mempunyai pola yang serupa, yakni alasan yang dikemukakan oleh kelompok yang
menolak imunisasi adalah alasan agama yaitu tentang kehalalan dari vaksin yang
digunakan untuk imunisasi. Mereka juga menyampaikan anak-anaknya yang tidak
mendapatkan imunisasi juga tetap dalam keadaan sehat dan tidak mengalami penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (Purnamasari, I., 2015). Bagi yang menganggap
haram, dikarenakan mereka yakin bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang
diciptakan oleh Allah SWT, sehingga tubuh akan secara alami mampu untuk melakukan
fungsi kekebalan terhadap adanya berbagai mikroba, virus ataupun benda asing yang
menyerang. Selain alasan kemuliaan manusia, yang menjadi alasan lain adalah bahan
untuk membuat vaksin terdapat unsur haram seperti unsur babi, sehingga tidak boleh
dipergunakan.
Dapat diketahui bahwa efikasi vaksin pada KLB di Kota Purwokerto sebesar 70%.
Nilai ini lebih rendah dari nilai efikasi vaksin campak bila tepat diberikan yaitu berkisar
85%-95%. Menurut Handayani (2005) dalam Budi (2012), rendahnya efikasi vaksin
campak dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: faktor umur saat diimunisasi
yang erat kaitannya dengan status antibodi maternal, faktor status gizi, penyakit yang
diderita anak, dan faktor vaksin yang digunakan, dosis yang diberikan, faktor
penyimpanan dan cara pemberian imunisasi (Budi, Dwi Agus S., 2012). Selain itu, pada
KLB tersebut hanya 3 sampel yang terkonfirmasi secara laboratorium yang positif IgM
campak. Sedangkan 43 sampel lainnya didiagnosa sebagai campak berdasarkan
hubungan secara epidemiologis dengan kasus konfirmasi. Karena semua kasus tidak
terkonfirmasi secara laboratorium, ada kemungkinan dari 43 kasus bukan serta merta
kasus campak semua. Beberapa penyakit dengan manifestasi klinis serupa dengan
campak, misalnya campak Jerman (rubella), sehingga memungkinkan terjadi kesalahan
diagnosis.
Pada negara berkembang, kekebalan terhadap penyakit campak dapat meningkat,
seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi 95% pada anak umur <12 bulan, dan 98%
pada anak umur 15 bulan. Pemberian imunisasi campak dilakukan sebanyak 2 kali yaitu
pada umur 8-9 bulan dan boosternya pada umur 14 bulan dengan maksud untuk
mendapatkan tingkat kekebalan yang tinggi terhadap penyakit campak. Adapun upaya
yang dilakukan selama penyelidikan dilakukan untuk menanggulangi dan
mengendalikan KLB yang terjadi diantaranya adalah melakukan pengobatan

936
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

simptomatis pada kasus yang ditemukan pada kegiatan active case finding. Begitu pula
terhadap kasus yang mengalami komplikasi. Penderita disarankan untuk berobat di
puskesmas setempat. Pemberian vitamin A dosis tinggi sesuai umur penderita campak.
Melakukan penyuluhan kesehatan secara langsung terhadap keluarga kasus/kontrol
mengenai penyakit campak, penyebab, penularan, pengobatan/perawatan maupun
pencegahan agar kasus tidak menyebar/menular serta pemberian vaksinasi terhadap
murid yang belum pernah mendapatkan vaksinasi.
Beberapa hal yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah adanya
keterlambatan laporan kejadian KLB penyakit campak sehingga tindakan
penanggulangan yang dilakukan kurang optimal untuk mencegah penyebaran kasus.
Tindakan penanggulangan lebih bersifat untuk mencegah terjadinya komplikasi pada
kasus yang masih berjalan serta mencegah terjadinya KLB yang serupa di masa yang
akan datang. Penelitian ini menggunakan unmatched case control sehingga ada beberapa
variabel seperti status gizi tidak bisa diolah karena semua kontrol memunyai status gizi
baik, tidak semua ibu bisa menunjukkan KMS untuk penentuan status vaksinasi, mereka
yang tidak bisa menunjukkan KMS hanya berdasarkan ingatan, serta penghitungan
efikasi vaksin tidak bisa dijadikan dasar karena sampel yang diperiksa laboratorium
hanya 5 orang sedangkan yang lainnya hanya berdasarkan hubungan epidemiologis. Ada
kemungkinan jika sampel diperiksa semua terdapat kasus yang bukan termasuk campak.

5. Kesimpulan Dan Saran

Dari hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa


telah terjadi KLB penyakit campak sebesar 46 orang di Kota Purwokerto, Kabupaten
Banyumas selama periode tanggal 10 Juli-12 November 2016. Dari 46 kasus (54,4%
perempuan; 60,9% terjadi pada kelompok anak-anak (5-<12 tahun); 41,3% ditemukan di
wilayah kerja Purwokerto Barat, KLB berlangsung selama 126 hari. Kasus indeks adalah
murid PAUD yang tertular saudaranya yang tinggal di Cilacap, dan telah menular ke
kelompok SD sebesar 56,5%; kelompok PAUD sebesar 19,6% dan tetangga/keluarga
sebesar 23,9%. Dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kasus terdapat 3 sampel
yang positif IgM campak.
Variabel jenis kelamin dan umur tidak mempunyai hubungan bermakna dengan
kejadian KLB penyakit campak. Variabel status gizi tidak bisa diolah lebih lanjut, karena
kontrol yang diambil semua (100%) mempunyai gizi yang baik. Variabel riwayat sakit
campak sebelumnya mempunyai aOR=3,91 (CI95%:1,10-15,18) dan variabel status
vaksin mempunyai aOR=9,59 (CI95%:3,58-25,72) dan sebesar 78,0% kasus menolak
vaksinasi karena keyakinan agama. Sedangkan efikasi vaksinasi campak hanya 70%.
Saran yang diberikan adalah melakukan advokasi terhadap pihak sekolah dan yayasan
untuk dilakukan penyuluhan kesehatan tentang vaksinasi dan penyakit campak. Selain
itu, perlu dilakukan kampanye vaksinasi campak mengingat efikasinya masih rendah.

Daftar Pustaka
Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Surveilans Campak. Jakarta: Ditjen P2PL, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2012.

937
Muniroh, Abroery,Widya Hary Cahyati,Sri Ratna Rahayu

Kemenkes RI. Profil Kesehatan Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2015.
Kemenkes RI. Situasi Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. 2016.
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2016.
Dinkesprop Jateng. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Semarang:
Dinkesprop Jateng. 2015.
Dinkesprop Jateng. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015. Semarang:
Dinkesprop Jateng. 2016.
Dinkes Kab. Banyumas. Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun 2015.
Purwokerto: Dinkes Kab. Banyumas. 2016.
Sugiarto, H. R. P. Gambaran Epidemiologi Khas Campak pada Kejadian Luar Biasa
(KLB) Campak di Kabupaten Serang Tahun 2010-2012. Skripsi. Jakarta:
Universitas Indonesia. 2013.
Khotimah, H. Hubungan antara Usia, Status Gizi, dan Status Imunisasi dengan Kejadian
Campak Balita. Jurnal Obstretika Scientica. 2014. 2(2). 23-32.
Budi, Dwi Agus S. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Campak pada
Peristiwa Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak Anak (0-59 bulan) di Kota
Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011. Tesis. Jakarta: FKM
Universitas Indonesia. 2012.
Ranuh, IGN, H. Soeyitno, Sri Rezeki, Kartasasmita. Pedoman Imunisasi di Indonesia.
Jakarta: Satgas Imunisasi-Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.
Frida, E. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Campak pada Balita di
Puskesmas Kumai. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2007. 13(1).
Suardiyasa, IM., dan Soeroyo Machfud. Faktor-faktor risiko kejadian penyakit campak
pada anak balita di Kabupaten Tolitoli Propinsi Sulawesi Tengah.Tesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2008.
Mariati dan Mei Neni Sitaresmi. Hubungan Status Imunisasi dan Ketepatan Imunisasi
Campak dengan Kejadian Penyakit Campak di Kabupaten Banyumas. Tesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2012.
Murti, B. Investigasi Outbreak. Surakarta: FK UNS. 2010.
Sofianti, Y. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Campak pada Bayi dan
Balita Usia 9-60 Bulan di Desa Pekuncen Kecamatan Pegandon Kabupaten
Kendal 2005. Skripsi. Semarang: Fakultas Kesehatan Udinus. 2014.
Purnamasari, I. Dilema Etik Penolakan Imunisasi, Antara Hak Orang Tua dan Tanggung
Jawab Pemberi Pelayanan Kesehatan. Jurnal Managemen Keperawatan. 2015.
3(1). 7-12.

938
KLB PADA PENYAKIT
CAMPAK & RUBELLA
Tipe propagated epidemic
Mk : Investigasi Wabah
Our team

NABILA H. GANI SAFITRIYANTI HASIM


501190055 501190041
Table of contents

01 02
KLB Rubella KLB Campak
DI DESA MUNDEH, SELEMADEG Di Kota Purwokerto, Kabupaten
BARAT, TABANAN Banyumas
KLB
KLB adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan/kematian yang bermakna
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu.
01
KLB RUBELLA

DI DESA MUNDEH, SELEMADEG BARAT, TABANAN


RUBELLA

Pengertian Masa inkubasi


Penyakit rubella atau yang biasa Penyakit ini menular melalui
dikenal dengan campak jerman adalah droplet dari orang ke orang
penyakit infeksi yang disebabkan oleh
dengan masa inkubasi 14- 21
virus RNA yaitu togavirus jenis
rubivirus. hari.
Rubella

Gejala/Tanda
Demam, bercak merah pada
kulit, lemah, batuk atau
pilek, konjungtivitis,
mual/muntah, kehilangan Waktu paparan
nafsu makan, dan Hasil laboratorium dari 3 sampel,
pembesaran kelenjar getah didapatkan bahwa kasus KLB di
bening. Desa Mundeh periode waktu Juli-
Agustus 2019 merupakan KLB
Rubella.
Tabel 1. Distribusi kasus rubella Tabel 2. Distribusi kasus rubella
Berdasarkan gejala klinis Berdasarkan jenis kelamin
Tabel 3. attack rate kasus
Gambar 1. kurva epidemik kasus suspek rubella

Pola KLB adalah tipe propagated epidemic


curve, Dimana kurva tampak berpuncak lebih
dari satu dan berjarak satu masa inkubasi.
Tabel 4. hasil analisis faktor resiko
02
Klb campak
Di Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas
CAMPAK

Pengertian Masa inkubasi


Penyakit campak dikenal juga sebagai Penularan melalui droplet dengan
measles merupakan penyakit yang masa Inkubasi terjadi pada 7-18
sangat menular (infeksius) yang
hari.
disebabkan oleh virus dari
keluarga paramyxovirus.
CAMPAK

Gejala/Tanda
Demam dan bercak
kemerahan yang disertai
gejala batuk, pilek, mata
merah. Waktu paparan
Klb campak kabupaten bayumas
selama periode tanggal 10 Juli-12
November 2016
Tabel 1. distribusi gejala klinis penyakit campak
Tabel 2. Distribusi status penyakit
campak berdasarkan wilayah puskesmas Gambar 1. kurva epidemiologi KLB penyakit campak

Penularan secara propagated terlihat bahwa kasus


indeks yang bertempat tinggal di wilayah Purwokerto
Barat, menyebarkan penyakit campak ke seluruh
wilayah kerja puskesmas di Kota Purwokerto.
Tabel 3. status penyakit camapak
Thanks
Do you have any questions?

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo, and


includes icons by Flaticon, and infographics & images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai