Anda di halaman 1dari 4

QODHO SHOLAT SUNNAH

Disusun Oleh: Aa Enak

Dalam sebuah hadits Rosululloh SAW bersabda:

ِِ ِِ ِ ِ ‫وَل ﻣﺎ ُﳛﺎﺳ‬َ‫ن أ‬ ‫إ‬


‫ َوإ ْن‬،‫ ﻓَـ َﻘ ْﺪ أَﻓْـﻠَ َﺢ َوأ َْﳒَ َﺢ‬،‫ﺖ‬
ْ ‫ﺻﻠُ َﺤ‬
َ ‫ ﻓَﺈ ْن‬،ُ‫ﺻ َﻼﺗُﻪ‬ َ ‫ﺐ ﺑِﻪ‬
َ ‫اﻟﻌْﺒ ُﺪ ﻳَـ ْﻮَم اﻟﻘﻴَ َﺎﻣﺔ ﻣ ْﻦ َﻋ َﻤﻠﻪ‬ ُ َ َ َ
‫ اُﻧْﻈُُﺮْوا‬: – ‫ﻞ‬ ‫ﺰ َو َﺟ‬‫ب – َﻋ‬ َ َ‫ ﻗ‬،ٌ‫ﻀﺘِ ِﻪ َﺷ ْﻲء‬
ُ ‫ﺮ‬‫ﺎل اﻟ‬
ِ ‫ ﻓَِﺈ ِن اﻧْـﺘَـ َﻘ‬،‫ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﺧﺎب وﺧ ِﺴﺮ‬،‫ﻓَﺴ َﺪت‬
َ ْ‫ﺺ ﻣ ْﻦ ﻓَ ِﺮﻳ‬
َ َ ََ َ َ ْ َ
‫أﻋ َﻤﺎﻟِِﻪ َﻋﻠَﻰ‬ْ ‫ ﺗَ ُﻜ ْﻮ ُن َﺳﺎﺋُِﺮ‬ُ‫ﻀ ِﺔ ؟ ﰒ‬ ِ ‫ﻤﻞ ِﻣْﻨـﻬﺎ ﻣﺎ اﻧْـﺘَـ َﻘ‬ ‫ ﻓَـﻴ َﻜ‬،‫ﻮٍع‬َ‫ﻫﻞ ﻟِﻌﺒ ِﺪي ِﻣﻦ ﺗَﻄ‬
َ ْ‫ﺺ ﻣ َﻦ اﻟ َﻔ ِﺮﻳ‬
َ َ َ ُ ُ ْ ْ َْ ْ َ
‫ﻫ َﺬا‬.َ (‫ي‬  ‫اﻟﱰِﻣ ِﺬ‬
 ُ‫) َرَواﻩ‬
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah
shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak,
sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman:
‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari
shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi)

Saat meninggalkan shalat fardhu, baik karena lupa, tertidur maupun disengaja, kita diwajibkan untuk
mengqadhanya saat teringat. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

‫ﻻ ذَاﻟِﻚ‬ِ‫ﻔ َﺎرَة َﳍَﺎ إ‬ ‫ ﻻَ َﻛ‬،‫ْﻴـ َﻬﺎ إِ َذا ذَ َﻛَﺮَﻫﺎ‬‫ﺼﻠ‬ ِ ٍ ‫ﻣﻦ ﻧَﺎم ﻋﻦ‬
َ ُ‫ﺻ َﻼة أ َْو ﻧَﺴﻴَـ َﻬﺎ ﻓَـ ْﻠﻴ‬
َ َْ َ َْ
Artinya, “Siapa yang lupa mengerjakan shalat atau tertidur, maka ia wajib mengerjakan ketika teringat.
Dan tidak ada hukuman kecuali hal itu (mengerjakan shalat saat ingat).” (HR Bukhari-Muslim)

‫ ﻋﻦ اﻟﻨﺎﺋﻢ‬:‫ " ُرﻓِ َﻊ اﻟْ َﻘﻠَ ُﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ‬:‫ﻋﻦ ﻋﻠﻲ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
‫ﻨﻮن ﺣﱴ ﻳَـ ْﻌ ِﻘ َﻞ‬‫ وﻋﻦ ا‬،‫ وﻋﻦ اﻟﺼﱯ ﺣﱴ َْﳛﺘَﻠِ َﻢ‬،‫"ﺣﱴ ﻳَ ْﺴﺘَـْﻴ ِﻘ َﻆ‬.

[‫ ]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﱰﻣﺬي واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ وأﲪﺪ‬- [‫]ﺻﺤﻴﺢ‬


Dari Ali -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, beliau bersabda, “Pena (pencatat
amal) akan diangkat dari tiga orang, yaitu: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak
sampai dia balig, dan dari orang yang gila sampai dia sadar (berakal).”

، ‫ ِﺬى ﻳَ ْﺴ َﻤ ُﻊ ﺑِِﻪ‬‫ﺖ َﲰْ َﻌﻪُ اﻟ‬ ِ ِ َ ِ‫ﺮب إ‬‫وﻣﺎ ﻳـﺰ ُال ﻋﺒ ِﺪى ﻳـﺘـ َﻘ‬
ْ ‫ ﻓَِﺈ َذا أ‬، ُ‫ﻪ‬‫ﱴ أُﺣﺒ‬ ‫ﻮاﻓ ِﻞ َﺣ‬َ ‫ﱃ ﺑِﺎﻟﻨـ‬
ُ ‫َﺣﺒَْﺒﺘُﻪُ ُﻛْﻨ‬ ُ ََ ْ َ َ َ َ َ
‫َﺎ‬ِ ‫ِﱴ ﳝَْ ِﺸﻰ‬‫َﺎ َوِر ْﺟﻠَﻪُ اﻟ‬ِ ‫ﺶ‬ ِ ِ ِ
ُ ُ‫ِﱴ ﻳَـْﺒﻄ‬‫ َوﻳَ َﺪﻩُ اﻟ‬، ‫ﺬى ﻳـُْﺒﺼُﺮ ﺑِﻪ‬‫ﺼَﺮﻩُ اﻟ‬
َ َ‫َوﺑ‬

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku pun
mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar,
penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia gunakan untuk menyentuh, dan kaki yang ia
gunakan untuk berjalan akan Aku beri taufik” (HR. Al Bukhari no. 6502).

Lalu bagaimana jika yang ditinggalkan shalat sunnah? Bolehkan kita mengqadhanya agar kita tetap
mendapatkan keutamaan-keutamaannya, khususnya shalat sunnah rawatib? Menurut Aisyah, dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Rasulullah Saw selalu mengqadha shalat sunnah empat
rakaat sebelum dhuhur dan melakukannya setelah shalat dhuhur.

ِ
َ ُ‫ َﻛﺎ َن إِ َذا َﱂْ ﻳ‬:‫ﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ ْﻬ ِﺮ‬‫ﻞ أ َْرﺑَـ ًﻌﺎ ﻗَـْﺒ َﻞ اﻟﻈ‬ ‫ﺼ‬  ِ‫ن اﻟﻨ‬ َ‫َﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋ َﺸﺔَ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ أ‬
‫ﻦ ﺑَـ ْﻌ َﺪ َﻫﺎ‬ ‫ﻼ ُﻫ‬ ‫ﺻ‬
َ

Artinya: “Dari Aisyah Ra bahwa jika Rasulullah Saw tidak mengerjakan shalat sunnah empat rakaat
sebelum dhuhur, Rasul mengerjakannya setelah dhuhur.” Dari hadits ini bisa disimpulkan bahwa
Rasulullah tidak pernah melewatkan shalat sunnah, khususnya shalat sunnah rawatib. Walaupun beliau
tidak sempat mengerjakannya, Rasul mengqadhanya di waktu yang lain. Bahkan al-Mubarakfuri dalam
kitab Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan bahwa hadits di atas merupakan dalil kesunnahan menjaga shalat
sunnah, walaupun dengan menqadhanya.

‫واﳊﺪﻳﺚ ﻳﺪل ﻋﻠﻰ ﻣﺸﺮوﻋﻴﺔ اﶈﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻨﻦ اﻟﱵ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺮاﺋﺾ وﻋﻠﻰ اﻣﺘﺪاد وﻗﺘﻬﺎ‬
‫ﺎ ﲣﺮج ﺑﻔﻌﻞ اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻟﻜﺎن ﻓﻌﻠﻬﺎ ﺑﻌﺪﻫﺎ‬‫ﺎ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ أوﻗﺎ‬‫إﻟ|ﺎﺧﺮ وﻗﺖ اﻟﻔﺮﻳﻀﺔ وذﻟﻚ ﻷ‬
‫ﻗﻀﺎء‬
Artinya: “Hadits tersebut menunjukkan dalil disyariatkannya menjaga shalat-shalat sunnah sebelum
shalat fardhu serta menunjukkan dalil lamanya waktu mengerjakan shalat tersebut hingga akhir shalat
fardhu. Karena walaupun waktu mengerjakan shalat tersebut di luar waktu mengerjakan shalat fardhu,
maka mengerjakannya dihukumi qadha’.” (Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri,
Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t.t, j. 2, h. 412.)

Dalam hadits riwayat Tirmidzi yang lain juga disebutkan bahwa Nabi menganjurkan orang yang tidak
mengerjakan dua rakaat sebelum subuh untuk mengqadhanya setelah matahari terbit.

‫ﺲ‬ ْ ‫ ِﻬ َﻤﺎ ﺑَـ ْﻌ َﺪ َﻣﺎ ﺗَﻄْﻠُ َﻊ اﻟﺸ‬‫ﺼﻠ‬


ُ ‫ﻤ‬ َ ُ‫ﻞ َرْﻛ َﻌ َﱵ اﻟْ َﻔ ْﺠ ِﺮ ﻓَـ ْﻠﻴ‬ ‫ﺼ‬
َ ُ‫َﻣ ْﻦ َﱂْ ﻳ‬

Artinya, “Siapa yang tidak mengerjakan shalat dua rakaat fajar maka hendaknya ia mengerjakannya
setelah matahari terbit.” Dalam riwayat lain, Nabi bahkan pernah mengqadha shalat dua rakaat ba'diyah
dhuhur setelah shalat Ashar berdasarkan riwayat Ummu Salamah dalam Sahih Bukhari dan Muslim.

‫أن اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﻀﻰ اﻟﺮﻛﻌﺘﲔ اﻟﻠﺘﲔ ﺑﻌﺪ اﻟﻈﻬﺮ ﺑﻌﺪ ﺻﻼة اﻟﻌﺼﺮ ﳌﺎ ﺷﻐﻠﻪ‬
‫ﻧﺎس ﻣﻦ ﺑﲏ ﻋﺒﺪ اﻟﻘﻴﺲ‬

Artinya: “Sesungguhnya Nabi pernah shalat dua rakaat bakdiyah dhuhur (dan dilakukan) setelah shalat
Ashar karena disibukkan oleh urusan Bani Abdil Qais.”

Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah-nya juga menjelaskan bahwa diperbolehkan mengqadha shalat sunnah,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Qais bin Fahd.

ِ ْ ‫ﻲ رْﻛ َﻌﺘَـ‬‫ُﺻﻠ‬  ِ ٍ
‫ َﻣﺎ‬:‫ﺎل‬ َ ‫ ﻓَـ َﻘ‬،‫ﺼْﺒ ِﺢ‬
 ‫ﲔ ﺑَـ ْﻌ َﺪ اﻟ‬ َ َ ‫ﺻﻠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠ َﻢ َوأَﻧَﺎ أ‬
 َ ‫ﱯ‬ ِ‫ َر ِآﱐ اﻟﻨ‬:‫ﺲ ﺑْ ِﻦ ﻓَـ ْﻬﺪ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ ﻗَـْﻴ‬
‫ ِﻪ‬‫ﻮل اﻟﻠ‬
ُ ‫ﺖ َﻋْﻨﻪُ َر ُﺳ‬َ ‫ ﻓَ َﺴ َﻜ‬،‫ﺖ َرْﻛ َﻌ َِﱵ اﻟْ َﻔ ْﺠ ِﺮ‬ َ ‫ﱐ َﱂْ أَ ُﻛ ْﻦ‬ ِ‫ إ‬:‫ﺖ‬
ُ ‫ْﻴ‬‫ﺻﻠ‬ ُ ‫ﺲ«؟ ﻓَـ ُﻘ ْﻠ‬
ِ  ‫ﺎن‬
ُ ‫اﻟﺮْﻛ َﻌﺘَﺎن ﻳَﺎ ﻗَـْﻴ‬
ِ َ‫ﻫﺎﺗ‬
َ
،‫ﺼْﺒ ِﺢ‬
 ‫ﻮ ًﻋﺎ ﺑَـ ْﻌ َﺪ اﻟ‬َ‫ﺿﺎ َﻛﺎ َن أ َْو ﺗَﻄ‬ ِ ِ‫ﻀ ِﺎء اﻟْ َﻔﻮاﺋ‬
ً ‫ ﻓَـْﺮ‬،‫ﺖ‬ ِ ِ ِِ  ِ َ
َ َ َ‫ﻴﻞ َﻋﻠَﻰ َﺟ َﻮاز ﻗ‬
ٌ ‫ ﻓَﻔﻴﻪ َدﻟ‬.‫ﺻﻠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠ َﻢ‬
‫ﺼ ِﺮ‬ْ ‫ َوﺑَـ ْﻌ َﺪ اﻟْ َﻌ‬.

Artinya, “Dari Qays bin Fahd: Rasulullah menyaksikan saya ketika sedang shalat dua rakaat setelah shalat
subuh. Kemudian beliau bertanya, “Shalat apa itu wahai Qays?” Kemudian saya menjawab,
“Sesungguhnya aku belum mengerjakan shalat dua rakaat fajar.” Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi
wasallam diam.

Hal ini sebagai dalil kebolehan mengqadha shalat-shalat yang terlewatkan, baik shalat fardhu maupun
shalat sunnah setelah Subuh dan sesudah Ashar. (Abu Muhammad al-Husein bin Masud bin Muhammad
bin al-Fara’ al-Baghawi, Syarh Sunnah, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1983, j.3, h. 335.)

Menguatkan pendapat al-Baghawi, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh Muhadzzab juga
menjelaskan akan kesunnahan mengqadha shalat sunnah rawatib yang terlewat.

‫ذﻛﺮﻧﺎ أن اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ اﺳﺘﺤﺒﺎب ﻗﻀﺎء اﻟﻨﻮاﻓﻞ اﻟﺮاﺗﺒﺔ وﺑﻪ ﻗﺎل ﳏﻤﺪ واﳌﺰﱐ وأﲪﺪ ﰲ رواﻳﺔ‬
‫ﻋﻨﻪ وﻗﺎل أﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ وﻣﺎﻟﻚ وأﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ ﰲ أﺷﻬﺮ اﻟﺮواﻳﺔ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻻ ﻳﻘﻀﻲ دﻟﻴﻠﻨﺎ ﻫﺬﻩ‬
‫اﻻﺣﺎدﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺤﺔ‬
Artinya, “Kami menyebutkan bahwa pendapat yang sahih menurut mazhab Syafi'i adalah sunnahnya
mengqadha shalat sunnah rawatib. Ini merupakan pendapat dari Imam Muhammad, Muzanidan Ahmad
dalam satu riwayat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah, Imam Malik, dan Abu Yusuf dalam riwayat yang
masyhur menjelaskan bahwa tidak perlu diqadha. Adapun dalil kami (Syafiiyah, terkait kesunahan
menqadha shalat sunnah) berdasarkan hadits-hadits sahih.” (Abu Zakariya Muhyiddin an-Nawawi, al-
Majmu’ Syarh Muhadzzab, Beirut: Darul Fikr, t.t, J. 4, h. 43.)

Dari beberapa penjelasan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa disunnahkan untuk
mengqadha shalat sunah rawatib yang terlewat. Adapun waktunya bisa dilaksanakan kapan saja, bahkan
bisa dilaksanakan di waktu-waktu yang dimakruhkan shalat, seperti setelah shalat Ashar. Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai