Anda di halaman 1dari 14

DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN

HAKIKAT MANUSIA

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

DIMAS ABHIE SYAHPUTRA

FERLY ANGGA RAMADHAN

INDAH PURNAMA SARI

IMAM MAHDI

KHAIRUNNISA

DOSEN PENGAMPU:

Dra. Zulminiati, M. Pd

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022

1
KATA PENGANTAR

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT., atas rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat beriring salam
di hadiahkan kepada junjungan nabi besar kita Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah, saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini membahas mengenai
Hakikat Manusia, salah satu materi pembelajaran dalam mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.
Semoga makalah yang saya buat ini dapat dinilai dengan baik dan dihargai oleh pembaca.
Terimakasih.

Padang, 05 September 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A. Latar Belakang..................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................6
A. Hakikat Manusia menurut Al-Qur’an...............................................................................6
B. Hakikat Manusia menurut Para Pakar............................................................................10
HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN....................................................................14
BAB III PENUTUP................................................................................................................17

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan tentang manusia sangat beragam dan tidak henti-hentinya, hal ini disebabkan oleh
perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh masing- masing orang. Beberapa di antara telah
memandang manusia sebagai makhluk yang mampu berpikir, makhluk yang memiliki akal budi,
makhluk yang mampu berbahasa, dan makhluk yang mampu membuat perangkat peralatan untuk
memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kehidupannya.

Berkaitan dengan pendidikan, maka hakikat manusia perlu dibahas di awal, karena pendidikan yang
dilakukan adalah untuk manusia. Socrates dalam (Tafsir 2010:7) mengatakan bahwa belajar yang
sebenarnya adalah belajar tentang manusia.

Manusia menjadi sosok sentral di alam dunia, karena manusia mengurus dirinya sendiri dan alam.
Manusia membuat peraturan sendiri untuk mengatur dirinya sendiri, manusia juga membuat
peraturan sendiri untuk mengatur alam. Hewan, tumbuhan, lautan, daratan, gunung, dan lain-lain
berada di bawah aturan yang dibuat oleh manusia. Bahkan manusia pun tunduk pada peraturan
yang dibuatnya sendiri. Kerusakan dan kelestarian alam tergantung pada manusia sebagai sosok
sentralnya. Jadi, sudah sewajarnya jika manusia harus mengenali hakikat manusia yang sebenarnya.

Pendidikan merupakan proses pengembangan potensi manusia, maka dari itu proses pendidikan
harus berjalan sesuai perkembangan manusia dan memposisikannya sebagai subyek didik
seutuhnya. Dalam dunia pendidikan, pendidik merupakan faktor penting dan utama, karena
pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik, terutama di sekolah atau madrasah, untuk mencapai kedewasaan peserta didik sehingga ia
menjadi manusia yang paripurna dan mengetahui tugas-tugasnya sebagai manusia yakni hamba
Allah (‘abd) dan khalifah fi al-ardh.

3
B. Rumusan Masalah

1. Apa pendapat Al-quran mengenai hakikat manusia?


2. Apa pendapat para pakar mengenai hakikat manusia?
3. Apa hubungan hakikat manusia dengan pendidikan?

C. Tujuan Penulisan

Mengetahui konsep dasar hakikat manusia dan menunjukkan pentingnya proses pembelajaran
hakikat manusia menurut al-quran dan pakar.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia menurut Al-Qur’an

Memahami manusia adalah memahami diri sendiri. Individu lain adalah representasi dari dirinya
sendiri. Akan tetapi di dalam diri setiap manusia, baik sebagai individu maupun dalam suatu
komunitas, tetap mengandung misteri yang tidak dapat terungkap secara tuntas. Manusia adalah
ciptaan Allah swt. yang memiliki peran strategis sebagai seorang hamba dan sekaligus khalifah di
muka bumi. Manusia dilahirkan dalam keadaan suci, dalam makna sesuai fitrah.

Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa setiap anak
lahir dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani,
atau Majusi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa sejak lahir, manusia sudah dibekali berbagai potensi
yang disebut fitrah. Fitrah adalah suatu istilah Bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau yang
baik, yang khusus diciptakan Allah swt. bagi manusia sebagai potensi utama dalam tinjauan filsafat
pendidikan Islam. Informasi terkait dengan manusia sangat banyak disebutkan dalam Alquran
sebagai referensi dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari untuk memperoleh jalan yang benar.

Eksistensi manusia sepanjang masa selalu menarik untuk dikaji, tidak hanya ilmu filsafat, psikologi,
atau tasawuf, kajian tentang manusia terus berkembang mengikuti pertumbuhan dan
perkembangan ilmu. Disampaikan Ali, “Bahwa kajian tentang manusia merupakan suatu misteri yang
tidak pernah tuntas (Ali, 1997). Semua bidang ilmu akan menjadikan manusia sebagai objek material
bidang ilmu.

Manusia adalah individu yang terintegrasi unsur jasmani dan ruhani, yang dari kedua unsur ini
manusia mendapatkan bentuk yang sempurna, (Quraish Shihab, 1998). Jika kesempurnaan itu tidak
dijaga maka ia akan dikembalikan pada derajat yang serendahrendahnya, seperti dalam QS. 95 (At-
Thin) ayat 4-6, “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian.
Kemudian Kami kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang
beriman dan melakukan amal sholeh” (Shihab, 2002). Maksudnya adalah akan menjadi rendah
sebagaimana manusia sebelum menyatu dengan ruh ilahi sehingga memiliki prilaku yang rendah.

Eksistensi manusia sepanjang masa selalu menarik untuk dikaji, tidak hanya ilmu filsafat, psikologi,
atau tasawuf, kajian tentang manusia terus berkembang mengikuti pertumbuhan dan
perkembangan ilmu. Disampaikan Ali, “Bahwa kajian tentang manusia merupakan suatu misteri yang
tidak pernah tuntas (Ali, 1997). Semua bidang ilmu akan menjadikan manusia sebagai objek material
bidang ilmu. Manusia adalah individu yang terintegrasi unsur jasmani dan ruhani, yang dari kedua
unsur ini manusia mendapatkan bentuk yang sempurna, (Quraish Shihab, 1998). Jika kesempurnaan
itu tidak dijaga maka ia akan dikembalikan pada derajat yang serendah-rendahnya, seperti dalam QS.
95 (At-Thin) ayat 4-6, “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian.
Kemudian Kami kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang
beriman dan melakukan amal sholeh” (Shihab, 2002). Maksudnya adalah akan menjadi rendah
sebagaimana manusia sebelum menyatu dengan ruh ilahi sehingga memiliki prilaku yang rendah.

5
Menurut Daulay (2014: 40-43) istilah yang digunakan Alquran untuk menyebutkan manusia ada
beberapa istilah yang berbeda dan memiliki makna tersendiri. Adapun makna istilah tersebut
yaitu:

1) Al-Basyar, dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar
karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lain. Penggunaan kata basyar
dalam Alquran menonjolkan pada gejala umum yang tampak pada fisik jasmani manusia yang
bersifat lahiriyah.
2) Kata insan dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tumpah. Penggunaan kata ini
menunjukkan manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Kata insan terkait dengan
kemampuan penalaran, berpikir, memikul tanggung jawab.
3) Kata an-nas dipakai dalam Alquran untuk menyatukan adanya kelompok orang atau masyarakat
yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya.

Beni Ahmad Saebani (2009: 49) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berbeda dengan
makhluk yang lain, hal ini dikarenakan beberapa sebab, diantaranya:

1) Manusia adalah makhluk sosial (al-insan hayawan al-ijtima’);

2) Manusia sebagai makhluk yang berpikir (al-insan hayawan natiq); 3) Manusia


sebagai makhluk yang berpolitik (al-insan hayawan siayasi);
4) Manusia adalah makhluk yang berekonomi (al-insan hayawan iqtishadi).

Omar Muhammad al Toumi al Syaibany merinci pandangan Islam sebagaimana yang diuraikan oleh
Daradjat dkk. (2012: 2) terhadap manusia itu atas delapan prinsip. Adapun perinsip tersebut yaitu:

1. Kepercayaan bahwa manusia makhluk yang termulia di dalam jagat raya ini;
2. Kepercayaan akan kemuliaan manusia;
3. Kepercayaan bahwa manusia ialah hewan yang bepikir;
4. Kepercayaan bahwa manusia ilu mempunyai tiga dimensi: badan, akal dan ruh;
5. Kepercayaan bahwa manusia dalam pertumbuhannya terpengaruh oleh faktor-faktor warisan
(pembawaan) dan alam lingkungan;
6. Kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai motivasi dan kebutuhan;
7. Kepercayaan bahwa ada perbedaan perseorangan diantara manusia;
8. Kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai keluasan sifat dan selalu berubah.
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu meurpakan perkaitan antara badan
dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak
tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi
(substansi= unsur asal sesuatu yang ada) keduanya adalah substansi alam.

6
Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah
SWT. kita bisa melihat tahap proses yang telah disebutkan di atas dapat pada QS Al Mukminun: 12-
14:

12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.

13. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh.

14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang
itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

Dari ayat Al-quran di atas, jelaslah bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan fisik manusia,
tidak ada bedanya dengan proses perkembangan dan pertumbuhan pada hewan. Semuanya
diproses menurut hukum-hukum alam yang material. Hanya pada kejadian manusia, sebelum
makhluk yang disebut manusia itu dilahirkan dari rahim ibunya, tuhan telah meniupkan ruh ciptaan-
Nya kedalam tubuh manusia. Ruh yang berasal dari Tuhan itulah yang menjadi hakikat manusia.
Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, karena tuhan tidak meniupkan ruh (akal) pada
hewan.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari
bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan
jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam
yang material bersifat sekunder dan ruh bersifat yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang
material, tidak dapat dinamakan manusia. Malaikat dinamakan makhluk ruhaniyah tidak memiliki
unsur jasad yang material. Tetapi sebaliknya unsur jasad yang material tanpa ruh, maka bukan
manusia namanya. Hewan adalah makhluk yang bersifat jasad material yang hidup. Manusia tanpa
ruh, tidak lebih dari hewan.

Tafsir (2010:19): ”Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri atas
unsur jasmani, akal, dan ruhani”. Hakikat manusia adalah sebagai hamba dan khalifah Allah di
bumi yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani.

Jadi, hakikat manusia adalah sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi yang terdiri dari tiga unsur,
yaitu: jasmani (pisik, nafsu), akal (rasio), dan rohani (psikis, roh). Sebagai konsekuensi manusia
sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi, maka manusia merupakan: makhluk ciptaan Tuhan,
makhluk yang terlahir dalam kondisi tidak berdaya (kertas bersih), membutuhkan bantuan dari orang
lain, makhluk yang memiliki kemampuan berpikir, makhluk yang memiliki akal budi, makhluk yang
selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, makhluk yang mempunyai kemampuan berbahasa,
makhluk yang mampu membuat perangkat peralatan, makhluk sosial yang mampu bekerja sama,
makhluk yang mampu mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, makhluk yang
hidup atas dasar prinsip-prinsip ekonomi, makhluk yang beragama, makhluk rasional yang bebas

7
bertindak berdasarkan alasan moral, makhluk dengan kontrak sosial untuk menghargai dan menjaga
hak orang lain.

B. Hakikat Manusia menurut Para Pakar

Pendapat tentang hakikat manusia sangat beragam, tergantung pada sudut pandang masing-masing.
Ada beberapa konsep tentang makna manusia, antara lain homo sapiens yaitu makhluk yang
memiliki akal budi, animal rational yaitu makhluk yang memiliki kemampuan berpikir, homo laquen
yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan berbahasa, homo faber atau homo toolmaking animal
yaitu makhluk yang mampu membuat perangkat peralatan (Djamal dalam Jalaluddin 2011:77).

Socrates (470-399 SM) mengungkapkan hakikat manusia ialah ia ingin tahu dan untuk itu harus ada
orang yang membantunya. Kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu
jika ingin mengetahui hal-hal di luar dirinya (Tafsir 2010:8-9). Manusia menurut Socrates adalah
makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, baik tentang manusia itu sendiri maupun
tentang hal yang ada di luar dirinya. Ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk memenuhi
keingintahuan manusia tersebut, yaitu harus ada bantuan dari orang lain dan harus mengetahui
dirinya sendiri terlebih dahulu. Menurut Plato (meninggal tahu 347 SM) bahwa hakikat manusia
terdiri dari tiga unsur, yaitu roh, nafsu, dan rasio (Tafsir 2010:10-11).

Berbeda dengan Socrates, Plato memandang bahwa ada tiga unsur dalam diri manusia, yaitu roh,
nafsu, dan rasio. Manusia menjalani kehidupannya menggunakan roh dan nafsu. Roh sebagai simbol
kebaikan dan nafsu sebagai simbol keburukan, penggunaan keduanya dikendalikan oleh rasio
sebagai pengontrol.

Rene Descartes (1596-1650) mengungkapkan tentang posisi sentral akal (rasio) sebagai esensi
(hakikat) manusia (Tafsir 2010:12). Akal memegang peran penting dalam hakikat manusia, sehingga
dikatakannya bahwa akal memiliki posisi sentral.

Menurut Thomas Hobbes (1588-1629) bahwa salah satu hakikat manusia adalah keberadaan kontrak
sosial, yaitu setiap orang harus menghargai dan menjaga hak orang lain (Tafsir 2010:12-13). Hakikat
manusia adalah manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai dengan keberadaan kontrak sosial di
dalamnya. Manusia tidak dapat menjalani kehidupannya secara sendiri-sendiri, oleh karena itu harus
ada saling menghargai antar sesama dan saling menjaga hak-hak orang lain. Dua hal ini diperlukan
untuk menjaga keharmonisan hidup manusia.

Jhon Locke (1623-1704) mengatakan bahwa manusia dilahirkan laksana kertas bersih, kemudian diisi
dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya (Tafsir 2010:13). Manusia terlahir
dalam keadaan yang tidak punya daya apapun yang diibaratkan sebagai kertas bersih.
Ketidakberdayaan tersebut membutuhkan bantuan orang lain untuk memberikan pengalaman
pengalaman dalam kehidupannya.

8
Menurut Immanuel Kant (1724-1804) bahwa manusia adalah makhluk rasional yang bebas bertindak
berdasarkan alasan moral, manusia bertindak bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri (Tafsir
2010:13-14). Hampir sama dengan Descartes, Kant mendefinisikan manusia sebagai makhluk
rasional yang mengandalkan rasio. Akan tetapi Kant menambahkan peran moral dalam penggunaan
rasio tersebut, sehingga manusia dituntut untuk berbuat bukan hanya untuk kepentingannya sendiri,
tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang lain di dalamnya.

Satu-satunya makhluk yang senantiasa membahas dan menjadikan dirinya sebagai topik besar dalam
bidang kajian setiap pembahasannya adalah manusia. Sehingga manusia menjadi subyek sekaligus
obyek pada setiap pokok pembahasan keilmuan tertentu. Dalam kajian filsafat terdapat beberapa
pendapat mengenai hakekat manusia, sebagaimana dijelaskan berikut.

Spiritualisme (suatu aliran filsafat yang mementingkan kerohanian, lawan dari materialisme)
mengemukakan bahwa semua yang ada di alam ini terdiri dari ruh, sukma, jiwa yang terbentuk dan
tidak menempati ruang. Jiwa mempunyai kekuatan dan dapat melakukan tanggapan atau sesuatu
yang bukan berasal dari dari tangkapan pancaindra, yang datang secara tiba-tiba berbentuk
gambaran melalui alam metafisis di luar jangkauan rasio dan yang bersifat material. Jadi,
pengetahuan manusia berasal dari angan-angan yang murni dan alami pada alam metafisis. Hal ini
menunjukkan bahwa walaupun tanpa adanya sebuah tindakan konkret praktik pendidikan manusia
mampu memperoleh pegetahuan.

Sedangkan aliran idealisme yang dipelopori oleh Plato (427-374 SM) murid Socrates berpendapat
bahwa yang nyata hanyalah idea, idea selalu tetap, tidak mengalami perubahan dan pergeseran.
Oleh karena itu alam merupakan gambaran dari idea karena posisinya tidak menetap, termasuk
manusia secara jasadiah. Keberadaan manusia diakui karena adanya idea yang dimunculkannya
dalam alam metafisiknya. Menurut aliran ini sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani,
kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai keruhanian yaitu idea. Dengan
demikian, manusia yang terlahir ke dunia ini merupakan penjelmaan dari idea yang telah ada, dan
telah mengetahui segala sesuatu dalam dunia ideanya.

Aliran materialisme merupakan aliran filsafat yang berisikan tentang ajaran kebendaan. Aliran ini
berfikir sangat sederhana, bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini dapat dilihat atau diobservasi,
baik wujudnya, gerakannya maupun peristiwa-peristiwanya. Menurut aliran ini, gerakan manusia
adalah bagian dari gerakan alam sehingga manusia tunduk dan terlibat dengan peristiwa hukum
alam, hukum sebab-akibat (kausalitas), hukum obyektif. Reaksi manusia tersebut merupakan
stimulus response. Thomas Hobbes sebagai salah satu tokoh aliran ini, menyatakan bahwa akal
merupakan hasil perkembangan yang disebabkan adanya usaha manusia yang bukan pembawaan,
melainkan ada oleh karena berinteraksi dengan alamnya.

Aliran rasionalisme, tokoh aliran ini adalah Rene Descartes yang berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dapat dijadikan patokan dan dapat diuji kebenarannya adalah rasio. Namun, di
sisi lain akal tidak dapat menemukan pengertian yang sempurna tanpa adanya keterkaitan dengan
pengalaman. Maka pengalaman (eksperimen) bagi aliran ini merupakan perangsang bagi pikiran
untuk menentukan kebenaran dan menganalisis suatu obyek.5 Setidaknya ketiga aliran tersebut
diatas banyak mempengaruhi dalam pemikiran-pemikiran pendidikan.

Berdasarkan dari kajian pada sosok kompleks yang istimewa tersebut, para ahli filsafat memberikan
berbagai predikat kepada manusia diantaranya: (a) Manusia adalah homo sapiens, artinya makhluk
yang mempunyai budi pekerti, (b) Manusia adalah animal rational, artinya binatang yang dapat
berpikir, (c) Manusia adalah homo laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa, (d)

9
Manusia adalah homo faber, artinya makhluk yang pandai membuat perkakas, (e) Manusia adalah
zoon politicoi, artinya makhluk yang pandai bekerja sama, (f) Manusia adalah homo economicus,
artinya makkhluk yang tunduk kepada prinsipprinsip ekonomi, (g) Manusia adalah homo religious,
artinya makhluk yang beragama, (h) Manusia adalah homo planemanet, artinya makhluk yang
diantaranya terdiri unsur ruhaniahspiritual, (h) Manusia adalah homo educandum, artinya makhluk
yang dapat menerima pendidikan atau sering juga disebut dengan educable.

Dari beberapa predikat di atas menunjukkan bahwa manusia membutuhkan pendidikan dan
mampu untuk melakukan pendidikan yang dimaksudkan bagi perkembangan manusia sendiri.

Dan selanjutnya dalam pandangan filsafat, setidaknya terdapat beberapa aliran besar yang
mendasari perkembangan dalam dunia pendidikan menyangkut hal yang mempengaruhi dan
menentukan perkembangan manusia. Diantara teori-teori tersebut antara lain:

Pertama, Teori Empirisme disebut juga Paedagogi Optimisme atau tabula rasa, dipelopori oleh John
Locke (1632-1704) yang menyatakan bahwa manusia lahir ke dunia ini dalam keadaan putih bersih
bagaikan kertas kosong. Selanjutnya perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh
lingkungan atau pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu selama menjalani kehidupannya.
Bila disimpulkan, pendidikanlah yang akan membawa nasib manusia untuk ke depannya. Jika
demikian yang terjadi, maka pelaksanaan pendidikan menjadi demikian urgen bagi manusia untuk
mengisi kekosongan yang ada. Sehingga, tugas pendidik dalam proses berlangsungnya pendidikan
adalah sebagai subyek aktif yang berperan penting memberikan pengetahuan dan pemahaman
kepada peserta didik (yang bersifat pasif karena hanya sebagai penerima saja).

Kedua, Teori Nativisme (Schopenhauer, 1788-1880) disebut juga biologisme, paedagogik pesimisme,
enfoldment atau faculty, menyebutkan bahwa dasar atau watak manusia diatur dan ditentukan oleh
alam semesta pada saat lahir. Faktor-faktor nativus (pembawaan) lah yang mempengaruhi nasib dan
perkembangan manusia, sehingga bagaimanapun kondisi lingkungan yang ada tidak menimbulkan
efek yang berarti apa-apa bagi manusia. Singkatnya, dalam kehidupan manusia tidak dibutuhkan
pengkondisian lingkungan untuk membentuk nasib manusia.

Ketiga, Teori Konvergensi, William Stearn (1871-1937) sebagai tokoh yang menyatakan ketidak
setujuannya terhadap pendapat empirisme dan nativisme yang demikian ekstrim, berpendapat
bahwa perkembangan seorang individu tidak hanya ditentukan oleh nativis dan empiris saja
melainkan dengan kedua faktor tersebut yang saling berkaitan (mempengaruhi). Teori ini merupakan
jalan tengah yang memadukan kedua teori sebelumnya.

Dalam hal ini pandangan Islam lebih moderat dengan konsep fitrahnya, teori fitrah berbeda dengan
teori nativisme, empirisme dan konvergen. Adapun inti pokok letak perbedaannya adalah teori
fitrah lebih kompleks dan lengkap dalam membahas teori kejadian manusia. Manusia terlahir
membawa fitrah yang dianugerahkan Allah, kemudian melalui proses pendidikan fitrah ditumbuh
kembangkan menuju ke arah yang lebih baik. Nativisme mengatakan fitrah berasal dari alam
sehingga takdir dapat ditentukan sendiri oleh setiap individu tertentu. Hal ini bertentangan dengan
Islam yang sudah jelas bahwa takdir terbagi menjadi dua, yaitu takdir yang dapat dirubah dan takdir
mutlak. Empirisme mengatakan bahwa pendidikan dan pengalaman-pengalaman hidup adalah
faktor utama dalam perkembangan individu. Sedangkan konvergen merupakan gabungan dari

10
nativisme dan empirisme. Sekilas teori fitrah lebih condong ke arah konvergen, namun
perbedaannya terletak pada fitrah manusia yang berasal dari Allah SWT bukan dari alam.

HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN

Jalaluddin (2011:113): ”Setiap orang mempunyai cita-cita dalam hidupnya. Dalam menjalani
hidupnya, manusia senantiasa berupaya untuk mewujudkan apa yang menjadi citacitanya itu”.
Setiap manusia lahir dengan membawa potensi masing-masing untuk tumbuh dan berkembang.
Potensi-potensi tersebut menyebabkan manusia mempunyai cita-cita dan selalu berusaha untuk
mencapainya dengan mengoptimalkan setiap potensi yang dimilikinya.

Jalaluddin (2011:107): ”Manusia adalah makhluk tanpa daya. Sejak dilahirkan ia membutuhkan
bantuan dari lingkungannya. Membutuhkan intervensi (pengaruh) di lingkungannya. Adapun
lingkungan yang pertama dan utama dalah keluarga”.
Ketidakberdayaan manusia ketika dilahirkan menyebabkan manusia membutuhkan bantuan dari luar
untuk memunculkan dan mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
”Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan
immateri), maka potensi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan
pengembangan komponen komponen tersebut” (Ramayulis 2011:62).

Setiap potensi yang ada pada diri manusia tidak akan berkembang dengan baik apabila tidak ada
proses pembinaan dari luar dirinya. Pendidikan adalah bagian dari kebutuhan manusia. Manusia
membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya (Jalaluddin 2011:107).
Jalan yang harus ditempuh manusia untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya adalah melalui
pendidikan. Pendidikan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, sehingga tidak dapat
terpisahkan. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan mempunyai arti apa-apa.

Pendidikan telah ada sejak manusia ada, demikian pula dengan perkembangannya juga tumbuh dan
berkembang bersama dengan proses perkembangan manusia. Manusia sangat membutuhkan
pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga manusia mampu mewarnai
kehidupannya. Untuk mengembangkan potensi/kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan
adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar berbagai
potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kelak
hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Potensi manusia akan tetap menjadi potensi apabila tidak dibimbing dan tidak diarahkan untuk
tumbuh dan berkembang. Bimbingan dan pengarahan potensi tersebut diperoleh manusia melalui
pendidikan. Potensi yang tumbuh dan berkembang dengan wajar dan optimal akan membantu
manusia menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna.

Menurut Syafaruddin dkk (2012: 47-48) ada beberapa aspek peserta didik sebagai manusia yang
harus diperhatikan dalam pendidikan Islam, diantaranya:

1. Hidayah wujdaniyah, yaitu potensi manusia yang berwujud naluri yang melekat dan
langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi,

11
2. Hidayah hisyiyyah, yaitu potensi yang diberikan Allah swt. kepada manusia dalam bentuk
kemampuan inderawi sebagai penyempurna hidayah wujdaniyah,
3. Hidayah aqliyah, yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas, karena
akallah yang membedakan manusia dengan binatang,
4. Hidayah diniyyah, yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa
keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan atau perbuatan yang tertulis
dalam Alquran dan Hadist,
5. Hidayah taufiqiyyah, yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun agama telah diturunkan
untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam
kendali agama.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di dunia adalah sebagai khalifah
(pemimpin/pengatur/pemelihara), sementara tujuan penciptaannya sebagai ‘abd (hamba untuk
menyembah). Guna melaksanakan fungsi dan tujuan tersebut, manusia dibekali oleh Allah dengan
berbagai potensi. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan potensi manusia secara optimal, sehingga fungsi dan tujuan penciptaannya dapat
terwujud dalam bentuk konkret di era modern dalam kehidupan seharihari (Daradjat 2006).

Modernisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi idealnya
berbanding lurus dengan kondusifitas konstruksi alam yang tidak akan mendatangkan bencana demi
pertanggungjawaban akan status kekhalifahan. Sementara itu, dalam statusnya sebagai hamba
(‘abd) menuntut praktik ‘ubudiyyah yang memerlukan pengetahuan dan motivasi untuk dapat
melaksanakannya dengan baik dan benar. Diharapkan praktik-praktik ‘ubudiyyah sebagai tujuan
penciptaan dan upaya pengelolaan bumi sebagai fungsi khalifah membuat posisi manusia menjadi
semakin tinggi dengan berbagai kemuliaan di sisi Khalik-nya. Kedua hal tersebut harus menjadi
acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam masa kini dan masa
depan. Fungsionalisasi pendidikan dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana
kemampuan umat menerjemahkan dan merealisasikan konsep hakikat manusia sebagai makhluk
pedagogik di alam semesta ini (Ramayulis 2015: 90).

Berdasarkan pernyataan tersebut, pendidikan harus dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi
proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya dari generasi ke generasi (Syarif 2017). Dalam
konteks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program
pendidikan yang mengarahkan dan mengembangkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan
secara totalitas.

12
BAB III PENUTUP

Manusia adalah makhluk tanpa daya yang memiliki potensi atau kemampuan dasar. Potensi tersebut
menghendaki proses bimbingan, pembinaan, dan pengarahan yang mengacu ke arah realisasi dan
pengembangan secara wajar dan optimal melalui proses pendidikan. Pendidikan merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan manusia. Manusia membutuhkan pendidikan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya agar menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil
guna.

Manusia adalah subyek pendididkan, sekaligus juga sebagai obyek pendidikan. Manusia dewasa yang
berkebudayaan adalah subyek dalam pendidikan dalam arti yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pendidikan. Mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan pribadi
anak-anak mereka, generasi penerus mereka. Manusia yang berkebudayaan, terutama yang
berprofesi keguruan (pendididkan) bertanggung jawab formal untuk melaksanakan misi pendidikan
sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki masyarakat bangsa itu

Manusia merupakan makhluk yang dapat dididik dan mendidik (homo educandum). Proses
pendidikan yang menjadikan manusia sebagai subjek dan objek pendidikan merupakan upaya
mengarahkannya untuk mengetahui dan menyadari hakikat tujuan dan
fungsi penciptaannya, yakni sebagai ‘abd (hamba) dan khalifah (pemimpin). Guna menjalankan
amanat tersebut, manusia diberi kemuliaan (potensi) berupa fitrah, indra, akal, dan hati.

DAFTAR PUSTAKA

13
ALBINA, Meyniar; AZIZ, Mursal. Hakikat Manusia dalam Al-Quran dan Filsafat Pendidikan Islam.
Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, [S.l.], v. 10, n. 02, p. 731-746, june 2022. ISSN
2581-1754.

Burga, Muhammad Alqadri. 2019. “Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Pedagogik”. AlMusannif 1 (1),
19-31. https://doi.org/10.56324/al-musannif.v1i1.16.

Asmaya, E. (2018). Hakikat Manusia dalam Tasawuf Al-Ghazali. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi, 12(1), 123-135.
https://doi.org/https://doi.org/10.24090/komunika.v12i1.1377

M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani (Yogyakarta: Apeiron Philotes, 2006), 18-20.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2009. Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz.

14

Anda mungkin juga menyukai