PENDAHULUAN
Itilah “disrupsi” telah dikenal puluhan tahun lalu, tetapi baru populer
setelah guru besar Harvard Business School, Prof. Clayton M. Christensen, ahli
administrasi, menulis buku berjudul The Innovator Dilemma (1997). Buku ini
berisi tentang persa ingan dalam dunia bisnis, lebih khusus inovasi. Christensen
ingin menjawab pertanyaan penting, mengapa perusahaanperusahaan besar
bahkan pemimpin pasar (incumbent) bisa dikalahkan oleh perusahaan yang lebih
kecil, padahal perusahaan kecil tersebut kalah dalam hal dana dan sumber daya
manusia. Jawabannya terletak pada peruba han besar yang dikenal dengan
disrupsi. Ia juga menjelaskan bahwa era disrupsi telah mengganggu atau
merusak pasar-pasar yang telah ada sebelumnya tetapi juga mendorong
pengembangan produk atau layanan yang tidak terduga pasar sebelunya,
menciptakan konsumen yang beragam dan berdampak terhadap harga yang
semakin murah.
Menurut Prof Rhenald Kasali (2017), disrupsi tidak hanya bermakna
fenomena perubahan hari ini (today change) tetapi juga mencerminkan makna
fenomena perubahan hari esok (the future change. Dengan demikian, era
disrupsi akan terus melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan untuk
merespons tuntutan dan kebutuhan konsumen di masa yang akan datang.
Perubahan di era disrupsi menurut Prof Kasali (2017) pada hakikatnya
tidak hanya berada pada perubahan cara atau strategi tetapi juga pada pada
aspek fundamental bisnis. Domain era disrupsi merambah dari mulai struktur
biaya, budaya hingga pada ideologi industri. Implikasinya, pengelolaan bisnis
tidak lagi berpusat pada kepemilikan individual, tetapi menjadi pembagian peran
atau kolaborasi atau gotong royong.
Disrupsi tidak hanya sekedar perubahan, tetapi perubahan besar yang
mengubah tatanan. Ada dua karakteristik penting dari disrupsi. Pertama,
perubahan itu sangat mendasar ter kait dengan model bisnis. Perusahaan
pemimpin pasar sebenarnya terus menerus melakukan inovasi, tetapi inovasi itu
lebih ditujukan untuk mempertahankan pertumbuhan dan pasar. Sebaliknya
perusahaan-perusahaan baru menawarkan sebuah model bisnis baru yang
berbeda dengan sebelumnya. Perusahaan perhotelan tiap tahun melakukan
inovasi dengan meremajakan kamar, memperkaya menu restoran hingga
layanan yang lebih baik. Tetapi perusahaan aplikasi bernama Airbnb,
menawarkan model bisnis yang baru, yakni mempertemukan orang yang
mempunyai kamar (yang tidak terpakai) dengan konsumen yang membutuhkan
kamar. Kedua, disrupsi selalu bermula pada pasar bawah (low-end) dengan
menawarkan harga yang jauh lebih murah. Karena awalnya melayani pasar
bawah, perusahaan ini tidak terdeteksi oleh pemimpin pasar yang lebih
memfokuskan pada pasar atas (high-end). Lambat laun ketika perusahaan ini
punya pondasi pasar yang kuat, kualitas makin diperbaiki dan kemudian
mengarah pada pasar atas. Di titik inilah teori disrupsi kemudian memprediksi
perusahaan pemimpin pasar akan kalah.
Teori disrupsi banyak dipergunakan untuk menjelaskan perubahan besar,
tidak semata pada dunia bisnis, tetapi juga komunikasi. Christensen sendiri tidak
secara langsung mengaitkan disrupsi dengan dunia digital. Tetapi banyak ahli
(seperti Paul Paetz) meyakini bahwa dunia digital mempercepat proses disrupsi.
Di dalam praktik Administrasi Publik, fenomena disrupsi ini dapat kita lihat
dari berkembangnya digitalisasi pelayanan publik dan pemanfatan Big Data
untuk analisis kebijakan, penyusunan rekomendasi kebijakan hingga proses
formulasi kebijakan publik. Lebih dari itu, Adminisrasi publik di Era Big Data tidak
hanya berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving) tetapi didorong
untuk menemukan potensi masalah maupun potensi nilai ekonomi yang dapat
membantu masyarakat untuk mengantisipasi berbagai masalah sosial ekonomi
dan politik di masa depan.
Menurut Putri (2021) Dalam mendukung era disrupsi yang sedang terjadi
maka diperlukan berbagai perbaikan dan penyesuaian agar mampu mengatasi
perubahan yang terjadi. Dalam era disrupsi yang diikuti dengan kemajuan
teknologi yang melahirkan berbagai tools dan big data maka tidak ada salahnya
bagi pemerintah untuk mengembangkan dan membangun kapasitasnya dengan
mulai mengatur riset dan big data yang dimiliki, yang pada posisinya tidak hanya
sebagai bagian dari formulasi kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan
publik namun melakukan analisis futuristik baik pada kondisi internal maupun
eksternal sehingga mampu untuk merangkai kondisi ideal yang hendak dibentuk
dan memunculkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi publik.
Inovasi menjadi salah satu hal yang paling penting dalam sektor publik walaupun
sasarannya bukan untuk menghasilkan profit seperti sektor privat namun lebih
kepada upaya meningkatkan efektif dan efisiensi pelayanan publik, yang disatu
sisi mampu menekan anggaran yang dibutuhkan dalam operasionalnya dan
memberikan benefit terhadap masyarakat secara maksimal.
Perubahan pada dasarnya merupakan suatu hal yang normal khususnya
di era disrupsi yang merupakan konsekuensi logis dari dinamika perkembangan
dunia dan teknologi. Organisasi hanyalah bagian dari manusia itu sendiri,
termaksud perubahan yang terjadi dalam organisasi. Perubahan yang dihadirkan
pada dasarnya tidak hanya sekadar menerapkan teknologi, metode ataupun
struktur baru namun mengubah cara manusia dalam berpikir dan berperilaku
pula yang sesuai. Organisasi secara umum akan mampu bertahan apabila
mereka mampu merespon dinamika yang ada termasuk organisasi publik
sebagai organisasi yang memiliki tanggung jawab terhadap publik dalam
memberikan pelayanan terbaiknya. Transformasi yang dilaksanakan diharapkan
dapat menjadi jalan bagi organisasi publik untuk menjadi organisasi yang lebih
sehat dan baik yang mampu memberikan benefit kepada seluruh masyarakat.
Era Disrupsi menurut arti kata berarti terjadinya perubahan besar-besaran
yang disebabkan oleh adanya inovasi yang mengubah sistem dan tatanan bisnis
ke taraf yang lebih baru. Dalam perkembangannya, perubahan besar yang terjadi
di dunia ini kita rasakan dengan mulai munculnya revolusi industri 4.0. Terdapat
sembilan pilar yang menjadi ciri perkembangan teknologi revolusi industri 4.0
antara lain: 1) Analisis Big Data, 2) Robot Otonom, 3) Teknologi Simulasi, 4)
Integrasi Sistem Horisontal dan Vertikal, 5) Industri Berbasis Internet of
Things (IoT), 6) Keamanan Siber, 7) Teknologi Informasi berbasis Cloud, 8)
Manufaktur Aditif, 9) Teknologi Augmented Reality.
Menurut Yogantara (2021) adanya disrupsi pada berbagai sektor
kehidupan tentunya menuntut adaptasi dari masing-masing individu untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Merupakan
hal yang mutlak jika seseorang harus secara cepat mengubah mindset dan
menyesuaikan diri agar tidak tertinggal oleh perubahan yang makin hari makin
cepat dirasakan. McKinsey Global Institute pada tahun 2017 memproyeksikan
setidaknya 400 sampai dengan 800 juta orang di dunia akan kehilangan
pekerjaan pada tahun 2030 karena tergantikan oleh robot dan Artificial
Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Daftar Pustaka
Kasali, R, (2017), Disruption, Kompas Gramedia, Jakarta
Putri, Rizky Amalia, (2021), Transformasi Organisasi Publik Di Era Disrupsi:
Terencana Atau Terpaksa?, Sip Publishing (Anggota Ikapi), 1(1), 3-15
Yogantara, Firman, (2021), Benturan Era Disrupsi pada Sistem Birokrasi,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-kalbar/baca-
artikel/14296/Benturan-Era-Disrupsi-pada-Sistem-Birokrasi.html, di akses
pada 20 September 2022