1. Pendahuluan
Dunia kini tengah mengalami guncangan besar, sebagaimana yang
diilustrasikan dengan baik oleh Paul Gilding dan Francis Fukuyama dalam
bukunya “The Great Disruption”, fenomena ini terbentuk sebagai akumulasi
perubahan ekologi dramatis dan meningkatnya persaingan global yang salah satu
faktor penyebabnya diakselerasi oleh konvergensi teknologi informasi (TIK).
Disruption era diyakini telah mempengaruhi berbagai relasi bangsa dalam
memenangkan persaingan global, sistem negara dan sumber daya sedang menuju
ke suatu sistem yang saling terkait, sharing economy guna mendapatkan
kecepatan dan efesiensi penggunaan sumber daya. Fenomena disruption telah
mendorong dunia global berpikir tentang bagaimana menerapkan ilmu “masa
depan” dalam kondisi “sekarang”. Disisi lain, banyak pemimpin, politisi, birokrat,
bahkan pengusaha masih berkutat dengan logika “masa lalu” untuk diterapkan
“sekarang”.
Kesenjangan kondisi inilah yang menjadikan reformulasi manajemen
strategik pada berbagai organisasi, baik organisasi bisnis maupun pemerintahan
menjadi relevan dengan melakukan disruption mindset, sehingga faktor-faktor
manajerial lebih terkelola dengan efesien dan cepat sebagai faktor penentu
keberhasilan (critical success factor). Perubahannya sangat cepat, fundamental
dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif
dan disruptif. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan,
transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era ini akan menuntut kita
untuk berubah atau punah.
Disruption itu bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan
fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini,
hari ini (the present). Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang
kita tengah berada dalam sebuah peradapan baru. Kita baru saja melewati
gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend
break).
Banyak yang menganggap disruption hanya berkaitan dengan teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) yang marak belakangan ini, atau lebih
spesifiknya lagi selalu soal taksi online. Lalu, ada juga yang serba ngasal
disruption. Beberapa motivator misalnya, mengaitkan motivasi dengan disruption.
Tapi, begitu kita telusuri sedikit lebih jauh, isinya hanya "pertunjukan" hipnotis
atau paparan tentang sejarah hidupnya yang penuh lika-liku. Kemudian ada juga
yang menyamakan disruption dengan cara kerja bisnis multilevel marketing
(MLM) yang merugikan masyarakat. Pemahaman yang kurang pas lainnya adalah
menganggap disruption seakan-akan melulu bisnis startup, dan hanya
bermodalkan uang publik. Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading,
sehingga melihatnya sebagai usaha brokerage. Jadi seakan-akan disruption melulu
soal bisnis aplikasi yang digerakkan untuk mempertemukan suply dengan
demand. Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruptionitu sejatinya
mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya.
Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri.
Misalnya yang paling sederhana, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara
berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi
sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources).
Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak
lagi. Sekarang kalau bisa justru saling berbagi peran. Atau, kalau dulu semuanya
ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya
kita bekerja bersama-sama. Kolaborasi, bergotong royong. Padahal, disruption itu
bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the
future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present).
Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita tengah berada dalam
sebuah peradapan baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang amat
panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break). Bahayanya adalah
semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit
untuk "membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap"
atau "success trap". Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang
disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan berpengalaman
tadi. Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran seperti itu amat kental logika
masa lalunya. Jadi alih-alih menjelaskan, orang "berpengalaman" (masa lalu)
malah bisa menyesatkan kita.
Kata orang bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn,
relearn. Sebab dunia itu terus berubah. Disruption sesungguhnya terjadi secara
meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota,
konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga
hubungan-hubungan sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi.
Sampai sekarang belum banyak orang yang menyadari bahwa sebagian
mahasiswa Indonesia sudah bisa kursus di Harvard tanpa harus pergi ke Harvard.
Dan, tak banyak yang menyadari bahwa para dokter sudah tak lagi memakai pisau
bedah seperti di masa lalu untuk membedah organ dalam pasiennya. Juga belum
banyak yang menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang sekarang tengah digeluti
para buruh, bankir, dan dosen, mungkin sebentar lagi akan beralih. Bahkan masih
ada beranggapan bahwa disruption seakan-akan hanya masalah meng-online-kan
layanan, menggunakan aplikasi dan mem-broker-kan hal-hal tertentu. Anggapan
seperti itu—bahwa disruption hanya terjadi pada industri digital—sekali lagi saya
tegaskan, jelas kurang pas. Sebab disruption tidak seperti itu. Disruption terjadi di
mana-mana, dalam bidang industri apa pun. Ia bahkan mengubah landasan
hubungan dari kepemilikan perorangan menjadi kolektif kolaboratif.
Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan,
ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan,
pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial. Disruption
terjadi di mana-mana, dalam bidang industri apa pun. Ia bahkan mengubah
landasan hubungan dari kepemilikan perorangan menjadi kolektif kolaboratif.
Ada lima hal penting dalam disruption, pertama, disruption berakibat
penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel.
Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang
yang sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan disruption. Lagipula siapa
yang mau memakai produk/jasa yang kualitasnya lebih buruk. Ketiga, disruption
berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-
eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi
terbuka. Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau
dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online,
atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di
dalam genggaman, dalam smartphone kita. Kelima, disruption membuat segala
sesuatu kini menjadi serba smart, lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih
akurat. Dengan dasar hal-hal diatas, hendaknya kita dapat merubah cara pandang
kita. Inovasi yang bersifat disruptif merupakan kunci kemenangan untuk
menguasai dunia “sekarang”.
2. Pembahasan
a. Konsepsi Disrupsi Era
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, disrupsi didefinisikan hal tercabut
dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang
terjadi perubahan fundamental atau mendasar, yaitu evolusi teknologi yang
menyasar sebuah celah kehidupan manusia. Digitalisasi adalah akibat dari evolusi
teknologi (terutama informasi) yang mengubah hampir semua tatanan kehidupan,
termasuk tatanan dalam berusaha. Sebagian pihak mengatakan bahwa disrupsi
adalah sebuah ancaman. Namun banyak pihak pula mengatakan kondisi saat ini
adalah peluang. Disrupsi (disruption) istilah yang dipopulerkan oleh Clayton
Christensen sebagai kelanjutan dari tradisi berpikir “harus berkompetisi, untuk
bisa menang (for you to win, you’ve got to make somebody lose)”. Senada dengan
pendapat tersebut, Kasali (2017) mengemukakan bahwa disruption adalah sebuah
inovasi, yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru.
Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru.
Disruption menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologl digital
yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih
bermanfaat. Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser
aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya.
Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia bisnis.
Teori disruptive innovation menjelaskan fenomena dimana sebuah inovasi
mengubah pasar atau sektor yang ada dengan memperkenalkan kesederhanaan,
kenyamanan, aksesibilitas, dan keterjangkauan (simplicity, convenience,
accessibility, and affordability) di mana komplikasi (keruwetan) dan biaya tinggi
di posisi status quo. Awalnya, inovasi yang mengganggu terbentuk di (niche
market) pasar terbatas yang tampak tidak menarik atau tidak penting
(inconsequential) bagi industri yg sudah eksis (industry incumbents), namun
akhirnya produk atau ide baru sepenuhnya me redifinisi industri. Penting untuk
diingat bahwa disruption adalah kekuatan positif. Disruptive innovations
bukanlah teknologi terobosan yang membuat produk menjadi lebih baik;
melainkan inovasi yang membuat produk dan layanan lebih mudah diakses dan
terjangkau, sehingga membuat mereka tersedia untuk populasi yang jauh lebih
besar.
Kita harus bisa segera beradaptasi, dan mengenali bagaimana keadaan
sekarang yang penuh dengan perubahan. Tidak lagi sekedar berubah, melainkan
langsung bergeser atau menggantikan yang sudah berdiri sebelumnya dalam
waktu yang cepat. Pergeseran segmen konsumen yang sebelumnya generasi X
kini menjadi generasi milenial memerlukan pengembangan dari berbagai aspek
termasuk layanan. Jika kita mengikuti perkembangan selama ini yang terjadi, kita
akan menyadari kalau tanda-tanda perubahan tersebut sudah terbaca sejak
beberapa tahun lalu. Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan dalam waktu
yang singkat tersebut memang mengejutkan beragam pihak. Ada yang senang dan
ada yang merasa terancam.
Di era disrupsi kita harus mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape)
atau menciptakan yang baru (create). Jika kita memutuskan untuk reshape, maka
kita bisa melakukan inovasi dari produk atau layanan yang sudah dimiliki.
Sedangkan jika ingin membuat yang baru, kita harus berani memiliki inovasi yang
sesuai dengan kebiasaan konsumen. Memang terdengar klise, namun apabila kita
dapat membacanya situasi dengan baik kemudian melihat peluang yang ada, maka
kitapun bisa bertahan di era disrupsi. Era disrupsi yang tengah kita alami ini, tidak
bisa dihindari, tidak bisa lagi hanya menyalahkan keadaan tanpa merumuskan
strategi untuk dapat bertahan, sehingga tetap keluar sebagai pemenang. Beberapa
contoh bisnis yang menjadi korban disrupsi diantaranya adalah Kodak, Nokia,
Mall dan Pusat Grosir atau Taxi Konvensional dan lain-lain.
Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah. Berinovasi atau
tertinggal. Tidak diragukan lagi disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi
sistem pendidikan. Munculnya inovasi aplikasi teknologi seperti Uber atau Gojek,
Grab dan lain-lain akan menginspirasi lahirnya aplikasi sejenis di bidang
pendidikan. Tidak diragukan lagi, disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi
sistem pendidikan. Munculnya inovasi aplikasi teknologi seperti Uber atau Gojek
akan menginspirasi lahirnya aplikasi sejenis di bidang pendidikan. Misalnya
MOOC, singkatan dari Massive Open Online Course serta AI (Artificial
Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka,
dapat saling berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain. Prinsip
ini menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan
kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif.
Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan
pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di bidang
pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual. Sebab, AI
mampu melakukan pencarian informasi yang diinginkan sekaligus menyajikannya
dengan cepat, akurat, dan interaktif. Baik MOOC maupun AI akan mengacak-
acak metode pendidikan lama.
Sikap keilmuan itu cenderung kontradiktif dengan perubahan sebagai
realitas. Dalam praktik, jumlah variabel bisa tidak terbatas dengan peran dan pola
relasi yang terus berubah. Ketika ilmuwan mengasumsikan variabel tertentu lebih
berperan, di lapangan kondisi sudah berubah. Paradigma demikian membuat
perguruan tinggi -harus diakui- terkungkung oleh pagar yang dibuatnya sendiri.
Generasi muda harus siap menghadapi era disrupsi dengan memiliki etos kerja,
sikap terbuka, serta mampu menjadi problema solving untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat karena di
tangan generasi muda terletak kunci keberhasilan Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan Presiden berkali-kali meminta Perguruan
Tinggi untuk mampu menyerap manfaat perkembangan pesat inovasi teknologi.
Direktur Jendral Sumber Daya IPTEK dan DIKTI Kemenristekdikti mengaku
sudah menyiapkan rencana induk pengembangan ilmu pelatihan dan pendidikan
tinggi hingga 2025. Rencana induk tersebut mengacu kepada instruksi dari
Menristekdikti yang menerjemahkan keinginan Presiden Joko Widodo. Paling
tidak jangan sampai ada program studi yang tidak relevan dengan tantangan masa
depan. Kemenristekdikti memprioritaskan 3 bidang studi untuk menghadapi era
disrupsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yaitu bidang studi teknik,
kesehatan dan tenaga kependidikan. Ketiga bidang studi tersebut diyakini dapat
menopang kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menjalani dunia
pendidikan, bisnis dan usaha berbasis TIK.
Kegiatan belajar-mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami
evolusi dengan pola pembelajaran digital yang memberikan pengalaman
pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif, beragam, dan menyeluruh. Evolusi
pembelajaran yang ditawarkan oleh MOOC dan AI akan memunculkan
pertanyaan kritis, "Masih relevankah peran guru/pendidik ke depan?" Chief
Executive Officer TheHubEdu, Tiffany Reiss berpendapat, pendidik memiliki
peran penting dalam melakukan kontekstualisasi informasi serta bimbingan
terhadap peserta didik dalam penggunaan praktis diskusi daring.
Fungsi guru atau pendidik pada era digital ini berbeda dibandingkan
pendidik masa lalu. Kini guru/pendidik/dosen tidak mungkin mampu bersaing
dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hafalan, hitungan, hingga
pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan dan efektif
dibandingkan kita karena tidak pernah lelah melaksanakan tugas. Karena itu
fungsi pendidik bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai etika, budaya,
kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itulah yang
tidak dapat diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita
akan suram.
Para pendidik perlu untuk memulai mengubah cara mereka mengajar,
meninggalkan cara-cara lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru
dengan lebih cepat. Teknologi digital dapat membantu pendidik belajar lebih cepat
dan lebih efektif untuk berubah dan berkembang. Mereka akan lebih cakap
mengubah pelajaran yang membosankan dan tidak inovatif menjadi pembelajaran
multi-stimulan sehingga menjadi lebih menyenangkan dan menarik.
Pertanyaannya adalah apakah pendidik saat ini telah disiapkan untuk menghadapi
perubahan peran ini? Ini bukan hanya persoalan mengganti kelas tatap muka
konvensional menjadi pembelajaran daring. Namun yang lebih penting adalah
revolusi peran pendidik sebagai sumber belajar atau pemberi pengetahuan
menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan
imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work peserta didik yang dibutuhkan
pada masa depan.
Saat industri masuk ke era disruption, hal yang masih diajarkan di lembaga
pendidikan (kamppus) sebatas teori porter five forces. Tentu kondisi ini sangat
memprihatinkan, karena jika ini terjadi terus – menerus kampus saya sangat
mungkin menjadi korban disruptive era.Deans for Impact, sebuah organisasi yang
terdiri dari pendidik senior dan pengkader pendidik – pendidik baru,
menerbitkan report “Practice with Purpose” yang berisikan prinsip – prinsip
wajib untuk diterapkan pendidik dalam disruptive era. Pada intinya, saat ini
seorang pendidik harus betul – betul memahami perkembangan zaman, terus
belajar, dan melatih otot – otot mengajar yang ada dalam diri mereka agar bisa
lebih baik. Istilahnya, deliberate practice. Bersandar pada konsepsi tersebut, maka
prinsip yang harus dikedepankan para pendidik di era disruptive, adalah:
1. Push Beyond Comfort Zone (Keluar dari zona nyaman)
2. Works Toward Well Defined, Specific Goals (Bekerja dengan target atau
capaian yang jelas)
3. Focus Intently on Impactful Activities (Fokus memberikan aktivitas yang
bermakna dan berdampak)
4. Receive and Respond High Quality Impact (Menerima dan
Memberikan feedback berkualitas)
5. Develop Mental Model of Expertise (Membentuk mental model
seorang expert)
Untuk merealisasikan kondisi tersebut, diperlukan inisiatif pemerintah secara
massif untuk menata ulang arah kebijakan pendidikannya mulai dari paradigma,
kurikulum, assessment hingga sistem rekrutmen serta metode pengembangan
profesionalitas pendidik di pendidikan dasar ataupun pendidikan tinggi.
Sayangnya, kebijakan saat ini belum mampu menjawab kebutuhan pendidikan
pada masa depan. Misalkan kurikulum dan assessment, sistemnya masih
berorientasi penguasaan materi akibatnya pengajaran pendidik lebih berorientasi
pada peningkatan nilai akademis peserta didik.
Orientasinya bukan pada aspek karakter atau kompetensi yang dibutuhkan di
abad ke-21, seperti berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, hingga
pemecahan masalah. Karena itu, perombakan kebijakannya harus komprehensif
mulai dari hulu hingga hilir. Di hulu, paradigma pendidikannya harus digeser dari
pendidikan yang menstandardisasi ke pendidikan berbasis keunikan individu.
Paradigma yang baru ini tidak menuntut capaian belajar yang diseragamkan,
tetapi diberi ruang untuk tumbuh secara berbeda. Sedangkan di hilir, pendidik
dikembangkan untuk lebih melek teknologi digital serta memiliki ketrampilan
mengajar 'metakognisi', yakni mengajarkan peserta didik bagaimana cara belajar
yang benar agar dapat menjadi pembelajar mandiri pada era persaingan yang
kompetitif.
Dalam taksonomi Bloom yang direvisi David Krathwohl tahun 1991, ranah
metakognisi meliputi enam tingkatan kecerdasan akademis, yakni mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (creating).
Sistem pengajaran saat ini tidak dirancang untuk menjalankan enam tingkatan
kecerdasan metakognisi itu. Pembelajaran metakognisi mensyaratkan ekosistem
belajar positif yang mampu memfasilitasi peserta didik mengenali dirinya sendiri
serta mampu mengelola perilaku dan karakter diri. Untuk itu, peran pendidik lebih
untuk membimbing peserta didik mengembangkan bakat atau potensi yang
dimiliki.
Perubahan mendasar pada peran tersebut menuntut sistem perencanaan
pendidik yang baru agar mutu dan profesionalitas pendidik sesuai tuntutan
pendidikan ke depan. Kinerja pendidik bukan semestinya hanya diukur pada uji
kompetensi pendidik yang lebih bersifat teoritis dan administratif, melainkan
kemampuannya untuk menghadirkan ekosistem pendidikan yang memanusiakan
dan memerdekakan. Ekosistem tersebut akan membuat peserta didik bergairah
dalam belajar serta gigih dalam memenangkan pertarungan pada abad digital. Dan
ekosistem itu membutuhkan pendidik dengan mindset baru, kaya inovasi atau
konten pembelajaran, fleksibel, serta adaptif terhadap perubahan dunia yang
sangat cepat. Jika semua kualitas itu terpenuhi, tidak akan ada keraguan tentang
pentingnya pendidik pada era disrupsi ini.
Untuk sukses di abad yang sarat disrupsi saat ini, yang dibutuhkan bukanlah
sosok penghapal dan pembebek. Tony Wagner (2008) merinci kompetensi yang
diperlukan anak-anak kita untuk sukses di era disrupsi. Ia menyebutnya “Seven
Survival Skills for 21st Century” sebagai berikut:
1) Critical thinking and probelm solving
2) Collaboration across network
3) Agility and adaptability
4) Initiative and entrepreneurship
5) Accessing and analysing information
6) Effective oral and written communication
7) Curiosity and imagination.
Celakanya, justru di tujuh keterampilan inilah sekolah-sekolah kita paling
lemah karena memang tidak mereka kembangkan. Sekolah kita semakin tidak
relevan karena keterampilan yang dibangun tidak relevan lagi dengan kebutuhan
kekinian. Sekolah yang ada saat ini dirancang di era industrial (industrial age)
yang tak relevan lagi di era pengetahuan (knowledge age). Dengan logika
industrial abad 20 sekolah kita distandarisasi (kurikulum, pola pengajaran, dan
sistem evaluasinya) agar bisa diperbandingkan dan dikompetisikan (itu sebabnya
muncul istilah “sekolah favorit”). Dari situ kemudian pemodal masuk ke jantung
industri pendidikan dimana fokus utama mereka adalah profit bukanlah
pembelajaran. Inilah biang dari fenomena instanisasi, dehumanisasi, dan
dekadensi sekolah kita. Karena itu sekolah kita perlu diinovasi (yup, disruptive
innovation) agar tidak obsolet dan tetap relevan dengan kondisi kekinian.
3. Penutup
Secara akademik dan terminologis, disruption itu bukan sekedar fenomena
hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh
para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present). Pemahaman seperti ini menjadi
penting karena sekarang kita tengah berada dalam sebuah peradapan baru. Kita
baru saja melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus
begitu saja (a trend break). Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai
dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi,
pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan
sosial. Di era disrupsi kita harus mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape)
atau menciptakan yang baru (create). Jika kita memutuskan untuk reshape, maka
kita bisa melakukan inovasi dari apa yang sudah dimiliki. Sedangkan jika ingin
membuat yang baru, kita harus berani memiliki inovasi yang sesuai kebutuhan.
Era disrupsi ini bisa terjadi karena perkembangan teknologi komunikasi,
munculnya generasi millenials, kebutuhan pola pikir eksponensial, corporate
mindset, model bisnis disruptif, dan era internet of things. Keberadaan teknologi
informasi dan komunikasi telah menghapus batas-batas geografi, menghasilkan
inovasi-inovasi baru yang tidak terlihat, dan tanpa disadari telah mengubah cara
hidup, memengaruhi tatanan hidup dan bahkan mengganti dan merubah sistem
kehidupan yang ada. Perubahan-perubahan pada era tersebut mengarah pada
aspek-aspek yang terkait dengan kehidupan manusia, aspek-aspek tersebut
meliputi; aspek sosio-demografis atau mobilitas social, aspek struktur organisasi
sosial atau lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek sosio-politik dan aspek
psikokultural. Perubahan itu juga telah merubah manusia yang tadinya times
series dan linear menjadi real time dan eksponensial. Mengubah mindset dari
owning economy atau ekonomi memiliki, menguasai, integrasi menjadi sharing
economy yaitu ekonomi berbagi akses.
Perubahan yang terjadi tidak hanya terlihat pada aspek politik, social dan
budaya saja, namun pada aspek pendidikan juga sangat terasa. Disrupsi akan
mendorong terjadinya digitalisasi sistem pendidikan. Kegiatan belajar-mengajar
akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola pembelajaran
digital yang memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif,
partisipatif, beragam, dan menyeluruh. Fungsi pendidik bergeser lebih
mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati
sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Teknologi
digital dapat membantu pendidik belajar lebih cepat dan lebih efektif untuk
berubah dan berkembang. Mereka akan lebih cakap mengubah pelajaran yang
membosankan dan tidak inovatif menjadi pembelajaran multi-stimulan sehingga
menjadi lebih menyenangkan dan menarik. Bertalian dengan simpulan tersebut,
maka mestinya: (1) pemerintah seharusnya dapat bertindak cepat untuk
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di masa sekarang dan yang
akan dating, dengan mempersiapkan generasi muda yang melek teknologi.
Pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Sistem
pendidikan harus menciptakan mental yang kuat dalam menghadapi perubahan,
serta menjadi motor penggerak munculnya kreatifitas dan inovasi terbaru, dan (2)
setiap orang harus memiliki pemikiran terbuka terhadap berbagai hal dan dapat
beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang ada.
Daftar Rujukan
Anderson, Lorin W dan David R Krathwohl. 2001. A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assesing. New York: Longman.
Cahyono, Eddy. 2017. Era Disruption dan Manajemen Strategik Birokrasi.“The
greatest danger in times of turbulence; it is to act with yesterday’s
logic”Peter F. Drucker).
Christensen, Clayton M. Horn, Michael. 2008. Disrupting class: how disruptive
innovation will change the way the world learns. New York, USA: McGraw-
Hill.
Cragun and Sweetman. 2016. Reinvention: Accelerating Results in the Age of
Disruption. Austin, Texas: Greenleaf Book Group Press.
Fukuyama, Francis. 1999. The Great Disruption: Hakikat Manusia dan
Rekonstruksi Tatanan Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Kasali, Rhenald. 2017. Disruption. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wagner, Tony. 2008. The Seven Survival Skills for Careers, College, and
Citizenship. Article. Rigor Redefines.