Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA


INDONESIA

Dosen Pengampu
Dr. Muh. Syarif Ahmad S.Sos, M.Pd

Disusun Oleh kelompok 1


S022021001 - Aldeski Palayukan
S022021002 - Aisyah Islamatasya Tenry
S022021006 - Raditya Noer Fadil
S022021007 - Nurul Najmiatul Islamiyati
S022021008 - Rezky Amaliya

Politeknik Stia Lan Makassar


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin
dan kehendak-Nya lah makalah dengan judul Sistem Pemerintahan Negara Indonesia ini dapat
kami selesaikan dengan sangat tepat waktu.

Kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kelompok yang telah
berpartisipasi dalam membantu agar dapat terselesaikan-Nya makalah ini. Dalam penulisan
Makalah ini kami menemukan berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu
Pengetahuan yang kami miliki, mengenai hal ini kami yang berkenan sebagai pengambil alih
dalam penulisan Makalah ini. Kritik dan saran sangat kami perlukan agar makalah ini dapat lebih
sempurna kedepannya.

Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih terbilang sangat terbatas. Dalam
Makalah ini kami sudah berusaha semaksimal yang kami miliki. Akan tetapi kami yakin
Makalah kelompok kami ini mungkin masih memiliki beberapa kekurangan.

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
I.I LATAR BELAKANG................................................................................................................................1
I.II RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................................2
I.III TUJUAN PEMBAHASAN......................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................3
II.I PENGERTIAN SISTEM PEMERINTAHAN...............................................................................................3
II.II PEMBAGIAN SISTEM PEMERINTAHAN...............................................................................................4
II.III SISTEM PEMERINTAHAN DALAM UUD 1945 SEBELUM PERUBAHAN.............................................11
II.IV SISTEM PEMERINTAHAN DALAM KRIS............................................................................................14
II.V SISTEM PEMERINTAHAN DALAM UUD SEMENTARA 1950..............................................................17
II.VI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM UUD 1945 SETELAH PERUBAHAN..............................................18
BAB III........................................................................................................................................................20
PENUTUP...................................................................................................................................................20
III.I KESIMPULAN................................................................................................................................20
IIII.II SARAN........................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................21

BAB I

iii
PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG


Sistem pemerintahan adalah sistem yang di miliki suatu Negara dalam mengatur
pemerintahannya.

Sesuai dengan kondisi Negara masing-masing sistem ini dibedakan menjadi:


 Parlementer
 Presidensial
 campuran

Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan Negara
itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena system pemerintahan
yang di anggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan
mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu
pemerintahan mempunyai sistem pemerintahan yang statis, maka hal itu akan berlangsung
selama-lamanya.

Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah
laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan
politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu
dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa turut adil dalam pembangunan sistem
pemerintahan.

Kami membuat makalah ini guna memberikan informasi lebih terperinci tentang “Sistem
Pemerintahan Negara Indonesia”. Untuk memberikan sedikit ilmu kepada para pembaca yang
ingin membaca makalah kami tersebut, alasan kami mengangkat judul makalah tersebut
dikarenakan keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang materi sistem Pemerintahan NKRI.

I.II RUMUSAN MASALAH

iv
1. Apa pengertian dari sistem pemerintahan?
2. Bagaimana bentuk-bentuk pemerintahan parlementer, pemerintahan presidensial dan
pemerintahan campuran ?
3. Apa saja lembaga-lembaga pemerintahan Negara Indonesia?

I.III TUJUAN PEMBAHASAN

1. Mengenal sistem pemerintahan Negara Indonesia.


2. Mengenal sistem pemerintahan parlementer, presidensial, dan campuran.

BAB II

v
PEMBAHASAN

II.I PENGERTIAN SISTEM PEMERINTAHAN

(Mahkamah Konsitusi, 2016)Secara umum, sering terjadi pencampuran dalam menggunakan


istilah “bentuk pemerintahan” dan “sistem pemerintahan”. Padahal dalam ilmu negara, kedua
istilah tersebut mempunyai perbedaan mendasar. Menurut Hans Kelsen, dalam teori politik
klasik, bentuk pemerintahan diklasifikasikan menjadi monarki dan republik (Kelsen,1971: 256).
Ditambahkan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, paham L. Duguit dalam buku “Traite’ de
Droit Constitutionel” (1923) lebih lazim dipakai untuk membedakan kedua bentuk tersebut
(Ibrahim, 1988: 166). Jika kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka
disebut dengan monarki. Sedangkan jika kepala negara dipilih melalui pemilihan umum untuk
masa jabatan yang tertentu maka bentuk negaranya disebut republik (ibid).
Sementara itu, dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan
sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun
republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.
Ditambahkan Mahfud, sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja
antar lembaga-lembaga negara (Mahfud, 1993: 83). Tak jauh berbeda dengan kedua pendapat
itu, Usep Ranawijaya menegaskan bahwa sistem pemerintahan merupakan sistem hubungan
antara eksekutifdan legislatif (Ranawijaya, 1983: 72). Hal yang sama juga dikemukakan Gina
Misiroglu, sistem pemerintahan adalah apabila lembaga-lembaga pemerintah dilihat dari
hubungan antara badan legislatif dan badan eksekutif (Misiroglu, 2003: 20).
Sejalan dengan pandangan yang dikemukakan para ahli tersebut, Jimly Asshiddiqie
mengemukakan, sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu
penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif
(Ashiddiqie, 2007: 311). Cara pandang yang demikian sesuai dengan teori dichotomy, yaitu
legislatif sebagai policy making (taak stelling), sedangkan eksekutif sebagai policy executing
(taak verwe-zenlijking) (Diantha, 1990: 20). Dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi negara,
terjadi relasi yang saling mempengaruhi dalam penyelengga-raan kekuasaan eksekutif dan
legislatif (Susanti, 2000: 7).(Mahkamah Konsitusi, 2016)

II.II PEMBAGIAN SISTEM PEMERINTAHAN

vi
Sistem pemerintahan di Indonesia terbagi menjadi 3 bagian yaitu sistem pemerintahan
parlementer, sistem pemerintahan presidensial, dan sistem pemerintahan campuran.

1. SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER

(Noviati, 2013)Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana


parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam sistem ini, parlemen memiliki
wewenang dalam mengangkat perdana menteri, demikian juga parlemen dapat menjatuhkan
pemerintahan yaitu dengan mengeluarkan mosi tidak percaya. Dalam sistem parlementer, jabatan
kepala pemerintahan dan kepala negara dipisahkan. Pada umumnya, jabatan kepala negara
dipegang oleh presiden, raja, ratu atau sebutan lain dan jabatan kepala pemerintahan dipegang
oleh perdana menteri. Inggris, Belanda, Malaysia dan Thailand merupakan negara-negara yang
menggunakan sistem parlementer dengan bentuk kerajaan. Sedangkan Jerman merupakan negara
republik yang menggunakan sistem parlementer dengan sebutan kanselir. Bahkan, di Jerman,
India dan Singapura perdana menteri justru lebih penting dan lebih besar kekuasaannya daripada
presiden. Prsiden India, Jerman dan singapura hanya berfungsi sebagai simbol dalam urusan-
urusan yang bersifat seremonial.
Ada beberapa karakteristik sistem pemerintahan parlementer diantaranya, pertama, peran
kepala Negara hanya bersifat simbolis dan seremonial serat mempunyai pengaruh politik yang
sangat terbatas, meskipun kepala negara tersebut mungkin saja seorang presiden, kedua, cabang
kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir yang dibantu oleh kabinet
yang dapat dipilih dan diberhentikan oleh parlemen, ketiga, parlemen dipilih melalui pemilu
yang waktunya bervariasi, dimana ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari
perdana menteri atau kanselir. Melihat karakteristik tersebut, maka dalam sistem pemerintahan
parlementer, posisi eksekutif dalam hal ini kabinet adalah lebih rendah dari parlemen. Oleh
karena posisinya yang lemah tersebut, maka untuk mengimbangi kekuasaan, kabinet dapat
meminta kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen dengan alasan parlemen dinilai
tidak representatif. Jika itu yang terjadi, maka dalam waktu yang telatif singkat kabinet harus
menyelenggarakan pemilu untuk membentuk parlemen baru.
Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa dalam sistem
parlementer terdapat beberapa pola. Dalam sistemparlementer dengan parliamentary executive,
badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari
badan eksekutif merupakan pencerminan. Kekuatan-kekuatan politik di badan legislatif yang
mendukungnya. kabinet ini dinamakan kabinet parlementer. Pada umumnya, ada keseimbangan
antara badan eksekutif dan badan legislatif. Keseimbangan ini lebih mudah tercapai jika terdapat
satu partai mayoritas maka dibentuk kabinet atas kekuatannya sendiri. Kalau tidak terdapat partai
mayoritas, maka dibentuk kabinet koalisi yang berdasarkan kerja sama antara beberapa partai
yang bersama-sama mencapai mayoritas di badan legislatif. Beberapa negara, seperti Belanda

vii
dan negara-negara Skandinavia pada umumnya berhasil mencapai suatu keseimbangan sekalipun
tidak dapat dipungkiri adanya dualisme antar pemerintah dan badan-badan legislatif.
Dalam hal terjadinya suatu krisis karena kebinet tidak lagi memperoleh dukunngan dari
mayoritas badan legislatif, dibentuk kabinet ekstra parlementer, yaitu kabinet yang dibentuk
tanpa formatur kabinet merasa terkuat pada konstelasi kekuatan politik di badan legislatif.
Dengan demikian, formatur kabinet memiliki peluang untuk menunjuk menteri berdasarkan
keahlian yang diperlukan tanpa menghiraukan apakah dia mempunyai dukungan partai.
Kalaupun ada menteri yang merupakan anggota partai, maka secara formil dia tidak mewakili
partainya. Biasanya suatu kabinet ekstra parlementer mempunyai program kerja yang terbatas
dan mengikat diri untuk mengangguhkan pemecahan masalah-masalah yang bersifat
fundamental.
Di samping itu, ada pula sistem parlementer khusus, yang menberi peluang kepada badan
eksekutif untuk memainkan peranan yang dominan dan arena itu disebut pemerintahan kabinet
(cabinet government). Sistem ini terdapat di Inggris dan India. Dalam sistem ini, hubungan
antara badan eksekutif dan badan legislatif begitu terjalin erat atau istilahnya fusional union.
Kabinet memainkan peranan yang dominan sehingga kabinet dinamakan suatu “panitia” dalam
parlemen.
Douglas V. Verney seperti yang dikutip Arend Lijphart dalam Parlementary versus
Presidential Government (1952), menyimpulkan bahwa sistem parlementer merupakan sistem
pemerintahan yang banyak dianut di dunia. Namun demikian, ada beberapa pokok-pokok sistem
pemerintahan presidensil, yaitu :
a) Hubungan antar lembaga parlemen dan pemerintahan tidak murni terpisahkan,
b) Fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu kepala pemerintahan dan kepala negara,
c) Kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara,
d) Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai suatu kesatuan institusi yang
bersifat koletif,
e) Menteri biasanya adalah anggota parlemen,
f) Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen tidak kepada rakyat pemilih karena
pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung,
g) Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan
parlemen,
h) Kedudukan parlemen lebih tinggi daripada pemerintah,
i) Kekuasaan negara terpusat pada parlemen.(Noviati, 2013)

viii
2. SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL

((Hukum Tata Negara) SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL, n.d.)Penerapan Sistem


Pemerintahan Presidensial di Indonesia Pasca Reformasi Konstitusi kita telah menegaskan
bahwa Indonesia menganut sistem presidensial (Pasal 4 UUD 1945). Apalagi sejak konstitusi
diamandemen, presidensialisme Indonesia sudah lebih murni, ditandai dengan sistem pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung. Namun perlu kita pahami bersama bahwa para
pendiri bangsa (Founding Fathers) memilih sistem presidensial tentu dengan berbagai
pertimbangan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Ada beberapa alasan menggunakan sistem
Presidensial oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers), antara lain :
1. Untuk menjaga stabilitas pemerintahan
2. Memperkuat posisi dan dominasi presiden yang ditegaskan dalam UUD 1945
3. Negara yang baru merdeka tidak cukup pengetahuan pengalaman
4. Adanya pengaruh ketokohan Soekarno dan sistem Moh. Hatta.
Indonesia pada awal kemerdekaan menganut sistem presidensial, namun dalam perjalannya
tidak konsisten menganut sistem tersebut, tetapi pada akhir tahun 1945 telah bergeser pada
sistem parlementer, terlebih dengan berlakunya konstitusi RIS dan UUDS, baru setelah dekrit
presiden mulai kembali pada presidensial. Saat setelah reformasi kita mendapatkan penegasan itu
dalam kesepakatan dasar MPR tentang arah perubahan UUD 1945 untuk mempertahankan
sistem pemerintahan presidensial, namun tidak ada penegasan secara resmi dalam konstitusi.

Ciri-ciri sistem presidensial dapat kita temukan dalam UUD 1945 pasca perubahan, antara lain :

1. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ( Pasal 1 Ayat 2);
2. Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD ( Pasal 4 Ayat 1);
3. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan calon secara langsung oleh
rakyat (Ps.6AAyat 1);
4. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun ( Pasal 7);
5. Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas
usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden, dengan

ix
terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR ( Pasal 7Adan 7B );
6. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR ( Pasal 7c);
7. Kedudukan Presiden sebagai kepala negara ( Pasal 10-16);
8. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden ( Pasal17);
9. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang ( Pasal 20 Ayat1)
Jika kita melihat ciri-ciri sistem presidensial yang ada dalam UUD 1945, maka dapat
dikatakan system presidensial saat ini sudah mengalami purifikasi (pemurnian) terutama dengan
adanya ketentuan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung; pemakzulan
presiden dan wakil presiden melalui lembaga peradilan; penegasan ketentuan bahwa presiden
tidak dapat membubarkan DPR; dan penegasan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Terkait dengan masalah lembaga pembentuk undang-undang, DPR bukanlah
satu-satunya lembaga yang melakukan pembahasan suatu rancangan undang-undang, akan tetapi
masih ada lembaga lain yaitu presiden. Bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas
bersama-sama oleh DPR 4 dan presiden, dengan demikian adanya persetujuan bersama
memberikan otoritas ganda dalam pembentukan undang-undang.

Pola pembahasan demikian menurut Ismail Suny, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
sebagai model legislasi yang dipraktikkan dalam sistem pemerintahan 5 parlementer Jika
diletakkan dalam sistem pemerintahan pres idens ial, maka pelaksanaan sistem pemerintahan
presidensial pasca reformasi belum dapat dikatakan sebagai penerapan sistem pemerintahan
presidensial secara murni, terutama karena masih adanya karakteristik parlementer dalam proses
legislasi. Meskipun adanya karakteristik parlementer dalam proses legislasi, namun hal tersebut
tidak menjadi masalah karena kondisinya masih memungkinkan demikian, dan juga dilihat
dalam konteks ketatanegaraan hal semacam ini sahsah saja, asalkan penggabungan sistem
pemerintahan tetap dapat menghadirkan pemerintahan yang efektif, akuntabel, dan demokratis.

x
Di sisi yang lain penerapan presidensialisme di Indonesia pada kenyataannya telah
dikombinasikan dengan sistem multipartai. Jika kita telah masalah penggunaan sistem
multipartai, maka Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat
yang sangat tinggi dan pluralitas sosial yang kompleks. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia
menggunakan sistem multipartai.

Faktor utama adalah kemajemukan masyarakat. Faktor ini yang menyebabkan keniscayaan
bagi penerapan sistem multipartai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan sesuatu yang
bersifat given dalam struktur masyarakat Indonesia. Faktor kedua, sejarah dan sosio-kultural
masyarakat, merupakan faktor pendukung bagi terbentuknya sistem multipartai. Multipartai
semakin mantap ketika ditopang sistem pemilihan proporsional. Penerapan sistem pemilu
proporsional menjadi faktor ketiga bagi terbentuknya multipartai di Indonesia. Ketiga faktor ini
merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan memengaruhi.

Pada saat ini terlihat bahwa penerapan presidensialisme yang berkombinasi dengan sistem
multipartai dalam beberapa hal masih mengakibatkan pemerintahan kurang efektif, beberapa
bukti antara lain :

1. Penerapan presidensialisme dalam konteks multipartai pragmatis atau presidensialisme


kompromis (compromisepresidentialism) cenderung memunculkan intervensi partai politik
terhadap presiden dan sebaliknya presiden cenderung mengakomodasi kepentingan 6 partai
politik dalam menyusun kabinet. Pembentukan kabinet yang semula merupakan hak prerogatif
presiden, dalam sistem presidensial kompromis ini presiden ikut melibatkan peran partai politik.
Implikasi dari pola intervensi dan akomodasi ini menyebabkan model koalisi pendukung
pemerintah yang terbangun adalah koalisi yang rapuh. Kerapuhan ikatan koalisi disebabkan
partai politik dalam sistem multipartai pada umumnya tidak memiliki kedekatan secara ideologis,
dan komposisi partai politik yang berkoalisi cenderung berubah-ubah. Prinsip dasar
presidensialisme mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota kabinet merupakan hak
mutlak presiden atau sering disebut sebagai hak prerogatif presiden dalam kabinet presidensial
kedudukan presiden merupakan sentral kekuasaan eksekutif dalam struktur presidensialisme
kompromis, hak prerogatif ini akan mengalami reduksi. Reduksi kekuasaan presiden akan
semakin kuat apabila koalisi yang akan terbangun tidak memiliki kedekatan secara ideologis atau
bersifat pragmatis. Selain itu, dalam presidensialisme, koalisi antarpartai juga cenderung lebih

xi
sulit dibangun dibandingkan dalam parlementerisme. Mengingat kekuatan partai mayoritas tidak
tersedia dan kemungkinan terjadinya jalan buntu hubungan antara legislatif dan eksekutif, yang
sampai sekarang belum ada mekanisme penyelesaiannya. Presiden akan cenderung bertumpu
pada cara pembagian jatah kabinet serta jabatan-jabatan politik lainnya sebagai kompensasi
untuk partai politik yang memberi dukungan di parlemen.
2. Dalam hubungan legislatif dan eksekutif, maka kebijakan publik yang diambil eksekutif
memang semestinya diawasi legislatif. Namun, tingginya tarik menarik dan konflik legislatif dan
eksekutif dalam presidensialisme kompromis menyebabkan pemerintahan berjalan tidak efektif,
bahkan hak angket dan penarikan dukungan selalu menjadi alat bagi partai untuk bernegosiasi
dengan 7 Presiden. Fenomena ini memiliki kecenderungan yang besar terjadi pada sistem
multipartai karena presiden sangat sulit mendapatkan dukungan mayoritas parlemen. Selain itu,
polarisasi dan fragmentasi politik di parlemen juga cukup tinggi dalam sistem multipartai.
3. Proses pemberhentian atau penjatuhan presiden dalam sistem pemerintahan parlementer
relatif lebih mudah ketimbang dalam sistem presidensial.

Presiden dan wakil presiden dalam sistem presidensial tidak bisa di-impeach atau
diberhentikan karena alasan politik. Impeachment atau pemberhentian presiden dan wakil
presiden dan jabatannya dalam sistem presidensial hanya bisa dilakukan karena alasan
pelanggaran hukum dan lebih spesifik lagi dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu.
Prinsip presidensialisme ini berpotensi mengalami reduksi ketika diterapkan di atas struktur
politik multipartai pragmatis. Pada presidensialisme kompromis, presiden cenderung dapat di-
impeach karena alasan politik.

Meskipun pemalsuan itu tidak terjadi hingga berakhirnya masa jabatan presiden,
pemerintahan akan sering mendapatkan ancaman dari parlemen sepanjang perjalanannya.
Kondisi ini setidaknya akan menyebabkan rentannya posisi presiden. Kecenderungan ini akan
semakin kuat apabila koalisi pendukung pemerintah minoritas di parlemen atau koalisi besar
tetapi rapuh. Kondisi politik dalam presidensialisme kompromis, parlemen sering kali
mengalami pandangan yang berbeda dengan parlemen. Perbedaan yang parah antara presiden
dan parlemen dapat berujung pada impeachment presiden.

xii
Rumusan sistem pemerintahan presidensial yang diamanatkan konstitusi UUD 1945 ternyata
sulit dijabarkan secara normatif ketika dikombinasikan dengan struktur politik multipartai.
Ketentuan normatif tersebut mengalami dilema dalam penerapannya sehingga perlu kompromi
dengan konteks realitas dalam keseharian politik di Indonesia, khususnya keniscayaan sistem
multipartai (presidensialisme bersifat kompromis).

Ada beberapa potensi kompromi yang akan terjadi dalam praktik kombinasi presidensialisme
dan multipartisme, yaitu tiga kompromi secara eksternal. Potensi kompromi-kompromi eksternal
antara lain :

Pertama, adanya intervensi parpol terhadap presiden dan juga akomodasi presiden terhadap
kepentingan parpol dalam proses pembentukan kabinet atau dalam hal
pengangkatan/pemberhentian anggota kabinet.

Kedua, munculnya polarisasi koalisi partai di parlemen dan karater koalisi yang terbangun
cenderung cair dan rapuh.

Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan atau kebabablasan.


((Hukum Tata Negara) SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL, n.d.)

3. SISTEM PEMERINTAHAN CAMPURAN

(Mahkamah Konsitusi, 2016)Sartori (1997: 131-132) mengemukakan karakter umum sistem


pemerintahan semi-presidensial sebagai berikut:
a) The head of state (president) is elected by popular vote –either directly or indirectly-- for a
fixed of office.
b) The head of state shares the executive power with a prime minister, thus entering a dual
authority structure whose three defining criteria are:
c) The president is independent from parliament, but is not entitled to govern alone or directly
and therefore his will must be conveyed and processed via his government.
d) Conversely, the prime minister and his cabinet are president-independent in that they are
parliament-dependent: they are subject to either parliamentary confidence or no confidence (or
both), and either case need the support of parliamentary majority.

xiii
e) The dual authority structure of semi-presidentialism allows for different balances and also for
shifting prevalances of power within the executive, under the strict condition that the ‘autonomy
potential’ of each component unit of the executive does subsist. Hampir sama dengan pendapat
Sartori, dalam “SemiPresidentialism: A Comparative Study”, Rafael Mart’nez Martinez (1999)
menyatakan ada lima syarat yang diperlukan untuk menyatakan sebuah sistem pemerintahan
disebut dengan semipresidensial. Kelima syarat tersebut, yaitu
a) the existence of a dual executive power;
b) the President of the Republic be directly elected by universal suffrage;
c) the constitution confer widepowers on the president;
d) the president appoint the prime minister and chair the ministerial council; and
e) the government be accountable to the parliament.(Mahkamah Konsitusi, 2016)

II.III SISTEM PEMERINTAHAN DALAM UUD 1945 SEBELUM PERUBAHAN

1. Pemberlakuan Kembali UUD 1945 pada Demokrasi Terpimpin


(TUGAS HTN    SISTEM PEMERINTAHAN UUD 1945 SEBELUM
PERUBAHAN, n.d.)Setelah pemberlakuan UUD 1945 kembali, rakyat menaruh harapan
akan kehidupan ketatanegaraan yang stabil dan pemerintah Presidensial yang demokratis.
Akan tetapi, dengan penerapan Demokrasi Terpimpin menyebabkan terjadinya
penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD. Adapun bentuk penyimpangannya adalah :
a . Penyimpangan ideologis, konsepsi Pancasila diganti dengan Nasakom
b. Pemusatan kekuasaan Presiden dengan wewenang yang melebihi ketentuan UUD
1945, yaitu membentuk produkhukum tanpa persetujuan dari DPR
c. Dalam MPRS NO III/MPRS/1963 mengangkat Ir. Soekarnosebagai Presiden seumur
hidup.
d.Kedudukan MPRS dan DPRS dijadikan Menteri negara sebagai pembantu Presiden.

Dengan berlakunya kembali UUD tanggal 5 Juli 1959, Indonesia memasuki


periode demokrasi terpimpin. UUD 1945 menggunakan Sistem Pemerintahan
Presidensial. Presiden Soekarno menjadi Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala
Pemerintahan RI Sistem kepemimpinannya disebut orde lama. Inkonsistensi penerapan
Sistem Pemerintahan ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap ketentuan UUD
1945 sendiri yangjelas-jelas mengatur Sistem Pemerintahan Presidensial. Namun
keinkonsistensian penerapan Sistem Pemerintahan tersebut didasari atas konvensi
xiv
ketatanegaraan dan hukum kebiasaan yang telah diterapkan sebelumnya. Disamping itu
juga dapat dikatakan karena UUD 1945 sendiri memang dimaksudkan hanya sebagai
revolutie –grondwet atau undang-undang dasar kilat (ucapan Bung Karno dalam sidang
BPUPKI) yaitu undang-undang dasar yang hanya dimaksudkan sebagai naskah konstitusi
untuk sementara waktu dalam rangka persiapan Indonesia menjadi Negara yang merdeka
dan berdaulat.
Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa UUD 1945 itu sendiri sejak masa awal
kemerdekaan RI belum dijadikan referensi akan tetapi hanya sebagai sebuah syarat
persiapan kemerdekaan Indonesia.

2. Sistem Pemerintahan pada Orde Baru

Selama rezim Orde Baru tidak terjadi perubahan Sistem Pemerintahan. Akan
tetapi, pelaksanaan lembaga kePresidenan sangat dominan. Hal ini dapat dilihat di dalam
UUD 1945 yang menyatakan tugas dan kewenangan Presiden mencakup tidak hanya
bidang eksekutif, tetapi juga dalam bidang legislatif dan yudikatif. Selain itu,
kelembagaan negara dan organisasi sosial politik cenderung berjalan kurang seimbang
dan proposional. Pelaksanaan UUD 195 sebagai referensi Sistem ketatanegaraan baru
dipraktikkan secara nyata pada masa orde baru. Jargon yang sering dipakai pada
Pemerintahan ini adalah pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru
telah berhasil menyelenggarakan Pemerintahan melalui mekanisme kenegaraan yang
dikenal dengan Mekanisme Kepemimpianan Nasional 5 tahun.

Mekanisme Kepemimpinan Nasional 5 tahun tersebut adalah :


1. Diadakannya pemilu untuk mengisi keanggotaan MPR, DPR, DPRD I, DPRD II.
2. MPR bersidang untuk memilih Presiden dan wakil Presiden serba menetapkan GBHN
untuk 5 tahun.
3. Presiden membentuk kabinet yang bertanggungjawab terhadap Presiden. Kabinet
melaksanakan tugas dibawah petunjuk Presiden dengan berlandaskan UUD dan GBHN.

xv
4. Presiden bertanggung jawab kepada MPR. Presiden menyampaikan laporan
pertanggungjawaban setiap akhir kepemimpinan kepada MPR.
5. DPR mengawasi jalannya Pemerintahan. DPR bersama Presiden membentuk UU.

Pada masa orde baru, tanggung jawab kekuasaan Negara terpusat di tangan
Presiden (menganut Sistem Presidensial). Kedudukan Presiden sangat kuat sehingga
meskipun MPR sebagai lembaga tertinggi Negara (tempat Presiden diharuskan tunduk
dan bertanggung jawab) tetapi dalam kenyataannya kedudukan MPR tergantung pada
Presiden. Adanya unsur pertanggungjawaban presdien kepada MPR justru
memperlihatkan ciri Parlementer. Oleh karena itulah, secara normatif Sistem yang dianut
oleh UUD 1945 bukanlah murni Sistem Presidensial akan tetapi hanya quasi Presidensial.
Sifat quasi atau Sistem Presidensial tidak murni itulah yang diubah ketika UUD 1945
diubah pada tahun1999 sampai tahun 2002, yaitu dengan mengubah kedudukan MPR
tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara, melainkan lembaga Negara yang sederajat
dengan Presiden. Disamping itu, perubahan UUD 1945 itu juga mengatur tentang
pemilihan Presiden dan wakil Presiden oleh rakyat melalui pemilihan umum setiap lima
tahun sekali.
(TUGAS HTN    SISTEM PEMERINTAHAN UUD 1945 SEBELUM PERUBAHAN, n.d.)

xvi
II.IV SISTEM PEMERINTAHAN DALAM KRIS

(Mahkamah Konsitusi, 2016)Dalam KRIS 1949, Indonesia menganut sistem pemerintahan


parlementer. Tidak seperti UUD 1945 yang menempatkan Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan sekaligus sebagai Kepala Negara, pada Konstitusi RIS, Presidenhanya
berkedudukan sebagai Kepala Negara. Sementara itu, Kepala Pemerintahan dipegang oleh
Perdana Menteri. Pasal 69 Ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi.
“Presiden ialah Kepala Negara.”
Pada masa pemberlakukan Konstitusi RIS, menteri-menteri adalah bagian dari alat-alat
perlengkapan negara sekaligus bagian dari pemerintah bersama Presiden.
Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan parlementer sehingga
segala tindakan pemerintah yang bertanggungjawab adalah menteri-menteri. Presiden tidak bisa
dimintai pertanggungjawaban.
Oleh karena itu, segala tindakan pemerintahan harus melibatkan menterimenteri yang terkait.
Sementara itu keterlibatan Presiden hanya bersifat formalitas untuk sekadar mengetahui. Berikut
kutipan pasal-pasal yang terkait dengan kedudukan dan kewenangan menteri-menteri dalam
Konstitusi RIS.

BAB III
PERLENGKAPAN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT
Ketentuan umum
Alat-alat perlengkapan federal Republik Indonesia serikat ialah:
Presiden;
Menteri-menteri;
Senat;
Dewan Perwakilan Rakyat;
Mahkamah Agung Indonesia;
Dewan Pengawas Keuangan.

xvii
Bagian I
Pemerintahan
Pasal 68
(1) Presiden, Menteri-menteri bersama-sama merupakan Pemerintah.
(2) Di mana-mana dalam konstitusi ini disebut Pemerintah, maka yang dimaksud ialah Presiden
dengan seorang atau beberapa atau para Menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau
tanggung jawab umum mereka itu.
(3) Pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat Pemerintah menentukan
tempat yang lain.
Pasal 72
Jika perlu karena Presiden berhalangan, maka beliau memerintahkan Perdana Menteri
menjalankan pekerjaan jabatannya sehari
Pasal 74
(1) Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai
tersebut dalam Pasal 69, menunjuk 3 pembentuk Kabinet.
(2) Sesuai dengan anjuran ketiga pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat seorang
daripadanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri yang lain.
(3) Sesuai dengan anjuran ketiga pembentuk itu juga, Presiden menetapkan siap-asiapa dari
Menteri-menteri itu diwajibkan memimpin Departemen-departemen masing-masing. Boleh pula
diangkat Menteri-menteri yang tidak memangku suatu Departemen.
(4) Keputusan-keputusan Presiden yang memuat pengangkatan yang diterangkan dalam Ayat (2)
dan (3) pasal ini serta ditandatangani oleh ketiga pembentuk Kabinet.
(5) Pengangkatan atau penghentian antara waktu Menteri-menteri dilakukan dengan keputusan
Pemerintah.
Pasal 75
(1) Menteri-menteri yang diwajibkan memimpin Departemen Pertahanan, Urusan Luar Negeri,
Urusan Dalam Negeri, Keuangan dan Urusan Ekonomi, dan juga Perdana Menteri, sungguh pun
ia tidak diwajibkan memimpin salah satu Departemen tersebut,berkedudukan khusus seperti
diterangkan di bawah ini.
(2) Menteri-menteri pembentuk biasanya masing-masing memimpin salah satu dari Departemen-
departemen tersebut dalam ayat yang lalu.
(3) Dalam hal-hal yang memerlukan tindakan dengan segera dan dalam hal-hal darurat, maka
para Menteri yang berkedudukan khusus bersama-sama berkuasa mengambil keputusan-
keputusan yang dalam hal itu dengan kekuatan yang sama, mengantikan keputusan-keputusan

xviii
Dewan Menteri yang lengkap. Dalam mengambil keputusan, Menteri-menteri itu berusaha
mencapai kata sepakat.
(4) Dalam memusyawarahkan dan memutuskan sesuatu hal yang langsung mengenai pokok yang
masuk dalam tugas suatu departemen yang lain daripada yang tersebut dalam Ayat (1), Menteri
Kepala Departemen itu turut serta.
Pasal 76
(1) Untuk merundingkan bersama-sama kepentingan-kepentingan umum Republik Indonesia
Serikat, Menteri-menteri bersidang dalam Dewan Menteri yang diketahui oleh Perdana
Menteri atau dalam hal Perdana Menteri berhalangan, oleh salah seorang Menteri
berkedudukan khusus. (2) Dewan Menteri senantiasa memberitahukan segala urusan
yang penting kepada Presiden. Masing-masing Menteri berkewajiban sama berhubung
dengan urusan-urusan yang khusus untuk tugasnya.
Bagian III
Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 105
Menteri-menteri duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan suara penasihat. Ketua
memberi kesempatan bicara kepadanya, apabila dan tiap-tiap kali mereka menginginkannya.
Pasal 106
Dewan Perwakilan Rakyat bersidang, apabila pemerintah menyatakan kehendaknya tentang itu
atau apabila ketua atau sekurang-kurangnya 15 anggota menganggap hal itu perlu.
Konstitusi RIS mulai diberlakukan secara resmi pada 27 Desember 1949 setelah KNIP dan
badan-badan perwakilan dari daerah-daerah memberikan persetujuan. Dasar hukum
pemberlakuan Konstitusi RIS ialah Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 No. 48 (Lembaran
Negara 50-3). Pada 27 Desember 1949 terjadi tiga peristiwa penting lainnya, yakni penyerahan
kedaulatan dari Kerajaan Belanda yang diwakili Ratu Juliana kepada Moh. Hatta yang mewakili
Republik Indonesia Serikat di negeri Belanda, penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia
kepada Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta, dan penyerahan kekuasaan dari Wakil
Belanda Lovink kepada Wakil Indonesia Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Jakarta.
(Prodjodikoro: 1977, 28).
Berlakunya Konstitusi RIS untuk Negara Republik Indonesia Serikat tidak menghapuskan
berlakunya UUD Republik Indonesia (UUD 1945) (Effendy Yusuf dkk. 2000: 14). Namun, UUD
Republik Indonesia hanya berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia yang terletak di
Yogyakarta. Selama Konstitusi RIS diberlakukan banyak aspirasi yang muncul dari negara-
negara bagian untuk kembali bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Mahkamah Konsitusi, 2016)

xix
II.V SISTEM PEMERINTAHAN DALAM UUD SEMENTARA 1950

(Mahkamah Konsitusi, 2016)Dalam UUD Sementara 1950, Indonesia menganut sistem


pemerintahan parlementer. Sebagaimana dalam Konstitusi RIS, kedudukan menteri pada masa
pemberlakukan UUD Sementara tahun 1950 lebih tinggi daripada pada saat diberlakukan UUD
1945.
Pada masa ini menteri-menteri menjadi bagian dari alat-alat perlengkapan negara. Sistem
pemerintahan yang dipakai adalah parlementer. Sehingga penanggungjawab atas pemerintahan
dipegang oleh menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sedangkan
Presiden sebagai Kepala Negara tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Berikut kutipan pasal-
pasal yang terkait dengan kedudukan dan kewenangan menteri-menteri dalam UUD Sementara
tahun 1950.

BAB II
Alat-alat perlengkapan negara
Ketentuan umum
Pasal 44
Alat-alat perlengkapan negara ialah:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Menteri-menteri;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Mahkamah Agung; e. Dewan Pengawas Keuangan.

BAGIAN I
Pemerintah
Pasal 50
Presiden membentuk Kementerian-kementerian
Pasal 51.
(1) Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk Kabinet.
(2) Sesuai dengan anjuran pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat seorang dari padanya
menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri yang lain.

xx
(3) Sesuai dengan anjuran pembentuk itu juga, Presiden menetapkan siapa-siapa dari Menteri-
menteri itu diwajibkan memimpin Kementerian masing-masing. Presiden boleh mengangkat
Menteri-menteri yang tidak memangku sesuatu kementerian.
(4) Keputusan-keputusan Presiden yang memuat pengangkatan yang diterangkan dalam Ayat 2
atau 3 pasal ini ditandatangani serta oleh pembentuk Kabinet.
(5) Pengangkatan atau penghentian antara-waktu Menteri-menteri begitu pula penghentian
Kabinet dilakukan dengan keputusan Presiden.
Pasal 52
(1) Untuk merundingkan bersama-sama kepentingan-kepentingan umum Republik
Indonesia, Menteri-menteri bersidang dalam Dewan Menteri yang diketuai oleh Perdana
Menteri atau dalam hal Perdana Menteri berhalangan, oleh salah seorang Menteri yang
ditunjuk oleh Dewan Menteri.
(2) Dewan Menteri senantiasa memberitahukan segala urusan yang penting kepada Presiden
dan Wakil-Presiden. Masing-masing Menteri berkewajiban demikian juga berhubung dengan
urusan-urusan yang khusus masuk tugasnya.
Dari pemaparan pasal-pasal di atas, diketahui bahwa menteri-menteri atau pemerintah
mempunyai kewenangan yang cukup besar. Selain sebagai bagian dari alat-alat kelengkapan
negara, ia juga mempunyai kewenangan dan previllege. Ia terlibat secara langsung dalam
proses pembuatan undang-undang, prosespembuatan anggaran belanja negara sekaligus
pemegang umum anggaran, penerbitan uang, serta dalam kaitan dengan hubungan luar
negeri. Sebagaimana pejabat tinggi lainnya, menteri-menteri juga mendapat keistimewakan
di muka peradilan. Ia hanya bisa diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh Mahkamah
Agung, baik saat menjabat maupun sesudah tidak menjabat.(Mahkamah Konsitusi, 2016)

II.VI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM UUD 1945 SETELAH PERUBAHAN

(Mahkamah Konsitusi, 2016)Salah satu diskursus publik yang mengemuka di era


reformasiadalah mengenai sistem pemerintahan Indonesia. Banyak pihak menyatakan bahwa
terdapat ketidakjelasan sistem pemerintahan yang dianut dan dipraktikkan. Di satu sisi sistem
yang dikembangkan memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil, namun di sisi lain jika dilihat
dari sistem kepartaian yang multi partai dianggap lebih dekat ke sistem parlementer. DPR
dipandang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan sering memasuki wilayah pemerintah.
Pada saat MPR mulai melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999, salah satu
kesepakatan dasar tentang arah perubahan adalah mempertegas sistem presidensiil. Mempertegas
dalam hal ini juga meliputi penyempurnaan sistem penyelenggaraan pemerintahan agar benar-
benar memenuhi prinsip dasar sistem presidensiil.

xxi
Dalam sistem presidensiil, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden yang terpisah
dengan kelembagaan parlemen. Pemisahan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama
antara presiden dengan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat. Dengan demikian dalam
jabatan presiden juga terdapat unsur sebagai perwakilan rakyat, terutama untuk menjalankan
pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan
menteri-menteri yang sepenuhnya diangkat, diberhentikan, dan bertanggungjawab kepada
presiden karena pada prinsipnya semua jabatan-jabatan itu berada dalam satu organisasi, yaitu
lembaga kepresidenan. Sebagai lembaga penyelenggara pemerintahan yang terpisah dengan
lembaga parlemen, semua jabatan dalam lembaga kepresidenan tidak dapat dirangkap oleh
anggota parlemen.
Oleh karena itu pada prinsipnya kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan sepenuhnya berada di
tangan presiden. Peran DPR adalah pada wilayah pembentukan undang-undang, yang dilakukan
bersama presiden, sebagai dasardan pedoman penyelenggaraan pemerintahan itu serta aspek
pengawasan. Segala urusan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari
penentuan program pembangunan, alokasi anggaran, kebijakan pelaksanaan pemerintahan,
hingga pengangkatan pejabat-pejabat dalam lingkungan pemerintahan merupakan wewenang
presiden.
Namun demikian, antara parlemen dan presiden atau dalam sistem presidensiil lebih dikenal
dengan istilah legislatif dan eksekutif, tidak berarti tidak memiliki hubungan sama sekali.
Sebaliknya, pemisahan kekuasaan antara keduanya sesungguhnya dibuat agar tercipta
mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), tanpa mengganggu
kedudukan presiden yang telah ditentukan secara pasti masa jabatannya (fix term), kecuali
karena alasan pelanggaran hukum tertentu yang memenuhi syarat sebagai dasar impeachment
sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Untuk mempertegas penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan sistem presidensiil tentu
diperlukan berbagai upaya baik dari aspek hukum maupun aspek politik, sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi dalam praktik pemerintahan. Upaya hukum adalah pada tingkat
peraturan perundang-undangan yang mengatur kedudukan, wewenang, dan hubungan antara
eksekutif dan legislatif. Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan serta prinsip saling
mengawasi dan mengimbangi perlu ditentukan batas wewenang dan hubungan antara keduanya
sesuai dengan semangat konstitusi. Hal yang merupakan wilayah pemerintah dikembalikan dan
ditegaskan sebagai wewenang pemerintahan di bawah presiden, baik dalam hal perencanaan,
penganggaran, penentuan kebijakan, maupun pengangkatan jabatan-jabatan dalam lingkungan
pemerintahan. Demikian pula fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR harus tetap dapat
menjamin terciptanya checks and balances, tanpa mengganggu wewenang yang dimiliki oleh
presiden, terutama dalam menjalankan pemerintahan.(Mahkamah Konsitusi, 2016)

xxii
BAB III
PENUTUP

III.I KESIMPULAN

Sementara itu, dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan
sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun
republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.
Sejalan dengan pandangan yang dikemukakan para ahli tersebut, Jimly Asshiddiqie
mengemukakan, sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu
penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif
(Ashiddiqie, 2007: 311).
Pemberlakuan Kembali UUD 1945 pada Demokrasi Terpimpin (TUGAS HTN    SISTEM
PEMERINTAHAN UUD 1945 SEBELUM PERUBAHAN, n.d.) Setelah pemberlakuan UUD
1945 kembali, rakyat menaruh harapan akan kehidupan ketatanegaraan yang stabil dan
pemerintah Presidensial yang demokratis.
Disamping itu juga dapat dikatakan karena UUD 1945 sendiri memang dimaksudkan hanya
sebagai revolutie –grondwet atau undang-undang dasar kilat (ucapan Bung Karno dalam sidang
BPUPKI) yaitu undang-undang dasar yang hanya dimaksudkan sebagai naskah konstitusi untuk
sementara waktu dalam rangka persiapan Indonesia menjadi Negara yang merdeka dan
berdaulat.
Hal ini dapat dilihat di dalam UUD 1945 yang menyatakan tugas dan kewenangan Presiden
mencakup tidak hanya bidang eksekutif, tetapi juga dalam bidang legislatif dan yudikatif.

IIII.II SARAN

Sekian pemaparan materi dari makalah kelompok kami, kami memohon maaf dengan
sebesar-besarnya jika didalam makalah kami masih terdapat beberapa kekurangan, hal itu
dikarenakan karena terbatasnya pemahaman/ilmu yang kami miliki, kami sangat membutuhkan
saran beserta kritik dari para pembaca makalah kami agar kedepanya makalah kami dapat lebih
sempurna. Karena adanya kritikan pembangun yang diberikan dari para pembaca sekalian.

xxiii
DAFTAR PUSTAKA

(hukum tata negara) SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL. (n.d.).


Mahkamah Konsitusi. (2016). Sistem Pemerintahan Negara. Pusat Pendidikan Pancasila Dan
Konsitusi.
Noviati, C. (2013). Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan. Jurnal Konstitusi, 10(2), 333–354.
https://doi.org/10.31078/jk
TUGAS HTN SISTEM PEMERINTAHAN UUD 1945 SEBELUM PERUBAHAN. (n.d.).

xxiv

Anda mungkin juga menyukai