Anda di halaman 1dari 127

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK

DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI


(BERDASARKAN KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh gelar


sarjana pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh:
SANTI
NIM: 10533 6736 11

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2015
MOTO DAN PERSEMBAHAN

Yang bisa menyelamatkan orang dalam arti bisa


mengantarkannya ke gerbang kesuksesan hidup
adalah keberaniannya mengambil satu langkah, apa
pun itu.
Lalu satu langkah lagi selanjutnya. Dan selanjutnya.
Dan selanjutnya.

~ Antoine De Saint-Exupery

Bukan hidup kalau tidak ada masalah, bukanlah sukses


kalau tidak melalui rintangan, bukanlah menang
kalau tidak dengan pertarungan, bukanlah lulus kalau
tidak ada ujian dan bukanlah berhasil kalau tidak
berusaha.

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama


ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.

Kupersembahkan karya sederhana ini sebagai bukti


kebaktian dan kecintaanku kepada:

Ayahanda dan ibunda yang telah mendoakan dan


membimbing aku dengan kasih sayangnya mewujudkan
harapan menjadi kenyataan

Suamiku tercinta yang senantiasa mendukungku dan


Saudara-saudaraku yang telah menjadi motivator
kesuksesanku

Sahabatku Yang telah menyertai hari-hariku dan


mengantarku menuju kesuksesan

vii
ABSTRACT

Santi. 2015. The Genetic structuralism in Novel Saman by Ayu Utami.Thesis.


Indonesian Education Department, the Faculty of Teachers Training and
Education, Makassar Muhammadiyah University. Supervised by Anshari and
Sitti Suwadah Rimang.
This research aimed to describe the genetic structuralism in the novel Saman by
Ayu Utami. The methodology of this research was descriptive qualitative method.

This research formed descriptive qualitative that described and conveyed the data
objectively. Describing the genetic structuralism in the novel Saman as research
object. The sources of the data was the novel Saman. Published by Gramedia at
2012 in Jakarta. In collecting the data, the researcher; (1) identifiying the content
of Novel Saman by Ayu Utami. (2) Classifiying data that included in genetic
structuralism from novel Saman. (3) Analysing the data that include as genetic
structuralism (the main figure existence, the social culture and politic condition of
the author and the whole opinion of the author in novel Saman). The research
focused which analyzed narratively was the genetic structuralism from extrinsic
side of the novel such as main figure, the the social culture and politic condition
of the author and the whole opinion of the author in novel Saman).

The findings of this reseach was the genetic structuralism which included in novel
Saman by AyuUtami,such as; the existence of figure namely Wisanggeni/Saman
appeared in conflict, not only external conflict but also the internal conflict or his
psychology conflict.The social culture is everything that been getting by the
people from their intellectuality as social being which covers knowledge, belief,
morality, law, custom and habbits. An author is the part of social class, so through
this class she makes bounding with the social changing.

Keywords: Genetic structuralism,Novel.

viii
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling afdal penulis persembahkan kecuali rasa puji dan

syukur kehadirat Allah swt., yang telah memberikan nikmat berupa kesempatan,

kesehatan, ketabahan, petunjuk dan kekuatan iman sehingga penulisan skripsi ini

dapat terselesaikan. Salam dan salawat tak lupa kita hantarkan kepada Nabi Besar

Muhammad saw beserta keluarganya dan para Sahabatnya yang tetap Istiqamah di

jalan Allah.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik yang

harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan Program Studi pada Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.

Adapun judul Skripsi ini adalah Strukturalisme Genetik dalam NovelSamanKarya

Ayu Utami.Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai

hambatan dan tantangan. Akan tetapi, semua itu dapat teratasi berkat petunjuk dari

Allah swt. serta kerja keras dan rasa percaya diri dari penulis. Penulis menyadari

bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,

penulis menerima dengan ikhlas segala koreksi dan masukan-masukan guna

penyempurnaan tulisan ini agar kelak dapat bermanfaat.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan motivasi dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada semua pihak yang turut serta memberikan bantuan baik berupa materi

maupun moral, khususnya kepada: kedua orang tua tercinta, AyahandaH. Buding

ix
dan Ibunda Hj. Sittinang serta suamiku tercinta Darminyang senantiasa

memberikan semangat dan dorongan serta doa sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan. Semoga saya bisa menjadi orang yang diharapkan oleh

keluarga.Pembimbing I Prof. Dr. Anshari, M. Hum. dan Pembimbing II Dr. Sitti.

SuwadahRimang, M. Hum. yang telah meluangkan waktu untuk mencurahkan

segenap perhatian, arahan, dorongan dan semangat serta pandangan-pandangan

dengan penuh rasa kesabaran sehingga dapat membuka wawasan berpikir yang

sangat berarti bagi penulis sejak penyusunan skripsi hingga skripsi ini selesai.

Dr. IrwanAkib, M. Pd.,RektorUniversitasMuhammadiyah Makassar.Dr.

AndiSukriSyamsuri, M.

Hum.,DekanFakultasKeguruandanIlmuPendidikanUniversitasMuhammadiyah

Makassar.Dr. Munirah, M. Pd.,KetuaprodiPendidikanBahasadanSastra

IndonesiadanSyekhAdiwijayaLatief, S. Pd., M.

Pd.,SekretarisprodiPendidikanBahasadanSastra Indonesia.Bapak dan Ibu dosen

Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membagikan ilmunya kepada

penulis selama ini.

Serta sahabat-sahabatseperjuanganku; YufiNurdiantini, Sarli Malinda,

Sarianayanti, Rahmatangdanteman-temanangkatan 2011 khususnyakelas

BprodiPendidikanBahasadanSastra Indonesia. Terimakasihatasdoa, motivasi,

dukungansertamasukan-masukannyasehinggaskripsiiniterselesaikan. Semoga

kalian semuatetapmenjadisahabatku yang selaluada di

dalamsukamaupundukameskipunkelakwaktuakanmemisahkankitakarenacitadanci

nta yang haruskitacapai.

x
Segenap kemampuan, tenaga dan daya pikir telah tercurahkan dalam

menyelesaikan penulisan ini untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun

sesempurnanya manusia adalah ketika ia melakukan kesalahan, oleh karena itu

penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat

dalam tulisan ini dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, Agustus 2015

Penulis

xi
ABSTRAK

Santi. 2015. Strukturalisme Genetik dalam Novel Saman Karya Ayu Utami.
Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Ansari
dan Sitti Suwadah Rimang.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strukturalisme genetik
dalam novel Saman karya Ayu Utami. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif yaitu memaparkan dan
menyampaikan data secara objektif. Mendeskripsikan strukturalisme genetik
dalam novel Saman karya Ayu Utami sebagai objek penelitian. Sumber data
adalah novel Saman karya Ayu Utami. Diterbitkan oleh Gramedia tahun 2012 di
Jakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (1) Mengidentifikasi isi
novel Saman karya Ayu Utami. (2) Mengklasifikasi data yang termasuk dalam
lingkup strukturalisme genetik yang terdapat dalam novel Saman. (3)
Menganalisisis data yang termasuk strukturalisme genetik yakni (eksistensi tokoh
utama, lingkungan social budaya pengarang, lingkungan social budaya dan politik
novel Saman serta pandangan dunia pengarang dalam novel Saman). Adapun
fokus penelitian yang akan dianalisis secara naratif adalah strukturalisme genetik
dari segi ekstrinsik novel yakni eksistensi tokoh utama, lingkungan sosial budaya
pengarang, lingkungan sosial budaya dan politik novel Saman serta pandangan
dunia pengarang dalam novel Saman.
Hasil penelitian ini adalah strukturalisme genetik yang terkandung dalam
novel Saman karya Ayu Utami antara lain Eksistensi tokoh Wisanggeni/Saman
terlihat dalam konflik yang dialami, bukan hanya konflik eksternal saja namun
konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi. sosial budaya
adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat
istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal budinya
sebagai makhluk sosial. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka
lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang
besar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan
jelas mempengaruhi kesadaran kelas.

Kata Kunci: Strukturalisme genetik dan novel.

viii
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling afdal penulis persembahkan kecuali rasa puji dan

syukur kehadirat Allah swt., yang telah memberikan nikmat berupa kesempatan,

kesehatan, ketabahan, petunjuk dan kekuatan iman sehingga penulisan skripsi ini

dapat terselesaikan. Salam dan salawat tak lupa kita hantarkan kepada Nabi Besar

Muhammad saw beserta keluarganya dan para Sahabatnya yang tetap Istiqamah di

jalan Allah.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik yang

harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan Program Studi pada Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.

Adapun judul Skripsi ini adalah Strukturalisme Genetik dalam Novel Saman

Karya Ayu Utami. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput dari

berbagai hambatan dan tantangan. Akan tetapi, semua itu dapat teratasi berkat

petunjuk dari Allah swt. serta kerja keras dan rasa percaya diri dari penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis menerima dengan ikhlas segala koreksi dan masukan-

masukan guna penyempurnaan tulisan ini agar kelak dapat bermanfaat.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan motivasi dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada semua pihak yang turut serta memberikan bantuan baik berupa materi

maupun moral, khususnya kepada: kedua orang tua tercinta, Ayahanda

ix
H. Buding dan Ibunda Hj. Sittinang serta suamiku tercinta Darmin yang

senantiasa memberikan semangat dan dorongan serta doa sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan. Semoga saya bisa menjadi orang yang diharapkan oleh

keluarga. Pembimbing I Prof. Dr. Anshari, M. Hum. dan Pembimbing II Dr. Sitti.

Suwadah Rimang, M. Hum. yang telah meluangkan waktu untuk mencurahkan

segenap perhatian, arahan, dorongan dan semangat serta pandangan-pandangan

dengan penuh rasa kesabaran sehingga dapat membuka wawasan berpikir yang

sangat berarti bagi penulis sejak penyusunan skripsi hingga skripsi ini selesai.

Dr. Irwan Akib, M. Pd., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dr. Munirah, M. Pd., Ketua

prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Syekh Adiwijaya Latief, S.

Pd., M. Pd., Sekretaris prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bapak dan

Ibu dosen Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membagikan ilmunya

kepada penulis selama ini.

Serta sahabat-sahabat seperjuanganku; Yufi Nurdiantini, Sarli Malinda,

Sarianayanti, Rahmatang dan teman-teman angkatan 2011 khususnya kelas B

prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Terima kasih atas doa, motivasi,

dukungan serta masukan-masukannya sehingga skripsi ini terselesaikan. Semoga

kalian semua tetap menjadi sahabatku yang selalu ada di dalam suka maupun duka

meskipun kelak waktu akan memisahkan kita karena cita dan cinta yang harus kita

capai.

x
Segenap kemampuan, tenaga dan daya pikir telah tercurahkan dalam

menyelesaikan penulisan ini untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun

sesempurnanya manusia adalah ketika ia melakukan kesalahan, oleh karena itu

penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat

dalam tulisan ini dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, Agustus 2015

Penulis

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... iv

SURAT PERNYATAAN .................................................................................... v

SURAT PERJANJIAN ....................................................................................... vi

MOTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii

ABSTRAK ......................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Fokus Penelitian ...................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6

D. Manfaat Hasil Penelitian .......................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 8

1. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................ 8

2. Hakikat Karya Sastra........................................................................... 10

3. Pengertian Novel ................................................................................. 15

4. Unsur-unsur yang Membangun Novel ............................................... 20

xii
5. Sosiologi Sastra ................................................................................... 27

6. Strukturalisme Genetik........................................................................ 33

B. Kerangka Pikir .......................................................................................... 45

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian....................................................................................... 47
B. Definisi Fokus ........................................................................................... 47

C. Data dan Sumber Data ................................................................................ 49

D. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 49

F. Teknik Analisis Data................................................................................... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ......................................................................................... 51

B. Pembahasan ............................................................................................... 86

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................... 89

B. Saran.......................................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 92

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra adalah hasil renungan, imajinatif, pengungkapan gagasan, ide

dan pikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Karya sastra merupakan

kegiatan kreatif, imajinatif dan artistik. Sastra merupakan bagian dari kebudayaan.

Bila dikaji kebudayaan, tidak dapat dilihat sebagai suatu yang statis yang tidak

pernah berubah, tetapi merupakan yang dinamis yang selalu berubah. Karya

adalah suatu hasil cipta atau hasil buatan seseorang. Sedangkan sastra adalah

suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. (Wellek dan Warren, 2013: 3).

Sastra menyajikan tentang kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri

dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif

manusia. Suatu karya sastra berbeda-beda tingkat pencapaiannya dengan karya

sastra lain sebagai karya seni, begitu juga dengan kebenaran yang diungkapakan

dan kepentingannya pada kehidupan masyarakat. Karya sastra lahir sebagai

perpaduan antara hasil renungan, pikiran dan perasaan seorang pengarang.

Keadaan karya sastra yang disajikan seseorang pengarang di tengah-tengah

masyarakat menjadi suatu yang sangat diharapkan karena merupakan suatu cermin

kehidupan yang memantulkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya,

pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan

elegannya mencipta suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih

1
2

merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi, dan rekaman budaya pengarang

terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri, dan masyarakat.

Karya sastra itu ditampilkan dalam bentuk puisi, prosa, dan prosa liris.

Dalam bentuk karya sastra prosa muncul dalam bentuk cerpen, novel, biografi,

dan otobiografi. Jadi salah satu bentuk karya sastra berupa prosa adalah novel.

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mampu memberikan

manfaat yang besar bagi perkembangan kemanusiaan dan kehidupan manusia. Hal

ini sesuai dengan pernyataan yang seringkali kita dengar bahwa novelis dapat

mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikologi- the

novelist can teach you more about human nature than the psychologist (Wellek,

1993:34). Para novelis menampilkan pengajarannya melalui berbagai tema dan

amanat dalam novelnya, tema kemanusiaan, sosial, cinta kasih, ketuhanan, dan

sebagainya.

Di samping itu, faktor pribadi masing-masing pengarang. Tema yang sama

digarap oleh dua orang pengarang berbeda pada suatu kurun waktu yang sama, di

suatu negara yang sama, akan menghasilkan karya sastra yang berbeda (Budi

Darma, 1999:54). Misalnya tema cinta, cinta itu universal, cinta ada di segala

zaman dan di segala tempat, karya sastra yang bertema cinta baik dalam bentuk

puisi, cerpen, novel, drama selalu lahir dari para sastrawa. Sastra dalam

perkembangan memiliki banyak fungsi yang dapat dijadikan bahan pembelajaran,

baik terhadap anak-anak remaja, maupun bagi orang tua.

Fungsi sastra harus sesuai dengan sifatnya yakni menyenangkan dan

bermanfaat. Kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak mencari
3

keuntungan, juga memberikan manfaat keseriusan. Keseriusan yang

menyenangkan, estetis dan keseriusan persepsi. Berarti, karya sastra tidak hanya

memberikan hiburan kepada peminatnya tetapi juga tidak melupakan keseriusan

pembuatnya.

Harjana (dalam Satriani, 2013: 3) memaparkan bahwa kesusastraan adalah

bagian dari kebudayaan yang berperan penting dalam kehidupan manusia yang

diwarnai dengan segala rupa nilai sejarah dan kehidupan sosial sedikitnya

tercermin dalam karya sastra elemen masyarakat yang dapat memberikan ide dan

pandangan dalam kehidupan sehari-harinya sebagai makhluk hidup.

Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena

karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-

kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat

memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis

intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman

untuk berkarya, karena siapapun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam

sebuah tulisan yang bernilai seni.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa karya sastra

memunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Sastra merupakan salah

satu cabang kesenian yang selalu dalam peradaban manusia semenjak ribuan

tahun lalu. Kehidupan sastra di tengah peradaban manusia merupakan salah satu

realitas sosial budaya.

Eksistensi sastra adalah sesuatu yang kongkrit dalam perwujudan atau

mekanisme antartokoh sebagai fenomena, sastra adalah cermin yang mendukung


4

proses kehidupan dan kemanusiaan. Kenyataan ini sebenarnya telah terjadi di

dalam fungsi sastra itu sendiri, sastra di samping sebagai hiburan yang bermanfaat

dan menyenangkan, ia berfungsi pula menyikap rahasia terhadap manusia,

memberikan makna terhadap eksistensi manusia dan membuka jalan kepada

kebenaran.

Pada dasarnya, suatu karya sastra dapat diteliti dan dikaji berdasarkan dua

unsur yang mendasar. Unsur tersebut meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam, seperti

tema, alur, penokohan, gaya bahasa, setting dan sudut pandang. Sedangkan unsur

ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar, seperti masalah

sosial, kejiwaan, sejarah, agama dan sebagainya. (Kasmawati, 2013: 3).

Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri

sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Kehidupan mencakup hubungan

antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi

dalam batin seseorang. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah

berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan

kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan

yang melatarbelakanginya.

Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang dinobatkan

sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan

Kesenian Jakarta. Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap

“kebangkitan” pengarang wanita dalam khazanah sastra di Tanah Air.

Kemenangan Ayu Utami tidak saja telah memberi kepercayaan diri kepada
5

pengarang wanita lain untuk menerbitkan karya-karya mereka, tetapi secara

substansif telah mendeskontruksi jarak yang tadinya terbentang antara pengarang

dengan pembacanya.

Peneliti memandang dari judul novel Saman karya Ayu Utami merupakan

penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel

Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di

bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an). Novel

Saman merupakan gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang

terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka

bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit.

Akan tetapi, masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini

mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-

wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka

menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani, penduduk Sei

Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.

Pada masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang

memunculkan wajah rasis.

Berdasarkan dari uraian tersebut penulis mengangkat judul analisis

strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah deskripsi

strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan strukturalisme genetik dalam novel

Saman karya Ayu Utami.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Beberapa manfaat secara teoretis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

a. Sebagai referensi teoretis pada kajian penelitian tentang sastra khususnya

novel.

b. Sebagai bahan rujukan peneliti lain untuk mengadakan penelitian terhadap

novel dengan permasalahan yang lebih luas.

2. Manfaat Praktis

Beberapa manfaat secara praktis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

a. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan

mengenai sastra, serta untuk memperoleh pengalaman menganalisis

Struktururalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu Utami.


7

b. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca

serta meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan pada penikmat sastra

dan masyarakat pada umumnya.

c. Penelit lanjut, penelitian ini sebagai langkah awal untuk memotivasi

pembaca maupun peneliti agar menghasilkan penelitian baru yang dapat

bermanfaat bagi orang lain, dan juga bagi peneliti.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang membahas tentang analisis strukturalisme genetik dalam

novel Saman karya Ayu Utami, sejauh pengetahuan penulis belum pernah

dilakukan. Namun, ada beberapa penelitian yang dapat dijadikan sebagai bahan

referensi.

Penelitian mengenai strukturalisme pernah dilakukan oleh Neni Sri

Yuningsi (2010) yang berjudul Analisis Strukturalisme Novel Yang Kedua Karya

Riawani Elyta. Dalam penelitiannya Neni Sri Yuningsi menyimpulkan bahwa

novel merupakan sebuah cerita kehidupan yang membuat para pembaca

menemukan sisi menarik dari ide pokok novel tersebut. Maka dalam menganalisis

novel tentu kita harus membaca novel tersebut secara teliti serta memahami dan

mencari tokoh, alur, latar dan yang lainnya.

Penelitian mengenai strukturalisme genetik pernah juga dilakukan oleh

Mariyani (2011) yang berjudul Analisis Strukturalisme Genetik dalam Novel

Ketika Cinta Bertasbih 1 Karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam penelitiannya,

Mariyani menyimpulkan bahwa Secara parsial, novel Ketika Cinta Bertasbih

memiliki struktur intrinsik yang lengkap. Struktur tersebut meliputi tema, alur,

penokohan/perwatakan, latar, amanat, sudut pandang, dan gaya bahasa.

Dari analisis secara keseluruhan terhadap novel Ketika Cinta Bertasbih dapat

8
9

dikemukakan bahwa novel ini merupakan salah satu novel yang bermutu karena

pengarang mampu mengungkapkan tema dalam alur yang baik. Kemudian

diperkuat dengan latar, penokohan / perwatakan yang cocok dengan tema cerita.

Penggunaan sudut pandang orang ketiga dan style yang variatif menjadikan cerita

lebih hidup sehingga amanat yang ingin disampaikan dapat terwujud.

Pandangan sosial kelompok pengarang novel Ketika Cinta Bertasbih karya

Habiburrahman El Shirazy adalah novel yang muncul tahun 2007. Oleh karena

itu, isi novel ini sangat dipengaruhi oleh pandangan sosial kelompok pengarang

yang tergabung di dalamnya yaitu: (1) Kehidupan yang islami, (2) pembangun

jiwa, (3) bersifat modern, (4) bahasa percakapan dimasukkan di antara baca

tulisan, (5) terdapat analisis jiwa, (6) cerita tentang zaman sekarang, (7) memiliki

pandangan hidup yang baru. Analisis strukturalisme genetik novel Ketika Cinta

Bertasbih juga mengangkat latar belakang sejarah, zaman, dan sosial

masyarakatnya. Dalam hal ini, karakteristik ideologi, politik, ekonomi, dan sosial

budaya masyarakat Mesir sangat berpengaruh terhadap kekhasan karya

Habiburrahman El Shirazy.

Adapun persamaan dari penelitian Yuningsi (2010) dan Mariyani (2011)

dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis aspek srukturalisme genetik

sedangkan perbedaannya terletak pada unsur yang dikaji yakni Mariyani

menganilisis strukturalisme genetik dari segi intrinsik dan ekstrinsik novel,

Yuningsi menganalisis strukturalisme genetik dari segi peranan novel dalam

kehidupan pembaca sedangkan peneliti menganalisis lingkungan sosial budaya


10

pengarang, lingkungan sosial, budaya, dan politik novel Saman serta bagaimana

pandangan dunia pengarang dalam novel Saman.

2. Hakikat Karya Sastra

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (dalam Purba, 2010: 2),

kata sastra dituliskan sebagai (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai

dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). (2) kesusastraan, karya tulis yang

jika dibandingkan dengan tulisan lainnya memiliki ciri keunggulan seperti

keaslian, keartistikan, keindahan di dalam isi dan ungkapannya; ragam sastra yang

dikenal umum ialah roman atau novel, cerita pendek, drama, epik dan lirik. (3)

kitab suci; kitab (ilmu pengetahuan). (4) pustaka; kitab primbon (berisi ramalan).

(5) tulisan atau huruf.

Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai

pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan

keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra

merupakan gejala yang universal. Namun, adalah suatu fenomena pula bahwa

gejala yang universal itu tidak mendapat konsep universal pula. Kriteria

kesastraan yang ada dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria

kesastraan yang ada pada masyarakat lain. Teeuw dkk. (dalam Jabrohim, 2012:

12).

Sastra mempunyai dua watak, yaitu watak universal dan watak lokal (Budi

Darma,1999:54). Dikatakan universal dilihat dari dari temanya, karena,

dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun ditulis pada hakekatnya sama, yaitu

seputar cinta kasih, kebahagiaan, ketidakadilan dan lain-lain, hal-hal itulah yang
11

selalu menguasai tema sastra, dimana pun, kapan pun, dan oleh siapapun.

Dikatakan bersifat lokal karena, meskipun berwatak universal tetapi ciri-ciri lokal,

waktu (zaman) pasti ada di dalamnya seperti yang kita kenal dalam periodisasi

sastra (sastra lama dan modern). Sastra satu negara dengan sastra negara lain

meskipun temanya sama pasti berbeda, sastra suatu bangsa disuatu masa atau

kurun waktu yang sama, di negara yang sama, akan menghasilkan karya sastra

yang berbeda.

Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Gramedia, Jakarta, Jan van Luxemburg,

Mieke Bal, William G. Weststeijn (dalam Purba, 2010: 3) menuliskan ciri-ciri

tentang sastra sebagai berikut:

a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah

imitasi. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.

b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada suatu yang lain. Sastra tidak

bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam

karyanya sendiri.

c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan koherensi.

d. Sastra menghidangkan sebuah antithesis antara hal-hal yang bertentangan.

e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentuk

sastra lainnya yang ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi.

Andre Lafevere (dalam Rimang, 2011: 2) berpandangan bahwa karya

sastra (termasuk fiksi) merupakan deskripsi pengalaman kemanusiaan yang

memiliki dimensi individual dan sosial kemasyarakatan sekaligus. Karena itu,

pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan tidaklah sekadar menghadirkan dan


12

memotret begitu saja, melainkan secara substansial menyarankan bagaimana

proses kreasi kreatif pengarang dalam mengekspresikan gagasan-gagasan

keindahannya.

Di bawah ini dipaparkan pengertian sastra menurut para ahli (dalam

Hasan, 2013) yaitu:

a. Menurut Mursal sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta

artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa

sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia

(kemanusiaan).

b. Menurut Semi sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang

objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai

mediumnya.

c. Menurut Panuti Sudjiman sastra adalah karya lisan atau tulisan yang memiliki

berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam

isi dan ungkapannya.

d. Menurut Plato sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan

(mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta

dan sekaligus merupakan model kenyataan.

e. Menurut Taum sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif

atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang

menandakan hal-hal lain.

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. Yosef ( Rimang,

2011:2) mengatakan bahwa secara konseptual sastra merupakan pola pengaturan


13

hubungan antara gejala-gejala yang diamati, karena itu, teori hakikatnya berisi

ilmu pengetahuan dari satu titik pandang tertentu.

Kehadiran suatu karya tentu untuk dinikmati oleh pembaca dan untuk

menikmati karya sastra secara sungguh-sungguh diperlukan seperangkat

pengetahuan yang cukup, penikmat karya sastra pun bersifat dangkal dan sepintas.

Penikmat karya sastra dijumpai aneka ragam, baik ragam bentuk, ragam isi,

maupun ragam bahasa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ragam karya sastra

ini akan membentuk penikmat dalam memahami sebuah karya sastra dalam

berbagai bentuk dan variasinya. Dengan karya sastra juga seseorang dapat

menambah pengetahuannya tentang pola kehidupan manusia.

Sastra adalah persoalan wilayah kategori sastra atau tingkatan-tingkatan

kualitas sastra. Escapirt (dalam Anwar, 2010: 240) menyebutkan istilah sastra

rendahan (sous-litterature), sastra rendah (infra-litterature), sastra marginal

(literature marginale) selain sastra yang dianggap berbobot atau kanon. Bagi

Escarpit, masuknya sebuah buku karya sastra yang dianggap berbobot dan kanon

atau rendahan tidak ditentukan oleh kualitas abstrak penulis, karya, atau

penerbitnya, melainkan pada tipe pertukaran literer yang menyangkut tema,

gagasan ataupun bentuk. Persoalan sosiologis tentang kategori sastra akan

melahirkan “kesenjangan estetis” antara “buku sastra apa yang sedang dibaca”

dengan “ buku sastra apa yang seharusnya dibaca”.

Sastra adalah suatu karya sastra seni yang muncul dari imajinasi atau

rekaan para sastrawan. Kehidupan di dalam karya sastra adalah kehidupan yang

telah diwarnai dengan sikap penulisnya, latar belakang pendidikan, keyakinan,


14

dan sebagainya. Sedangkan di dalam karya sastra terkandung suatu kebenaran

yang terbentuk keyakinan dan karya sastra kebenaran seperti terbukti dalam

kehidupan sehari-hari.

Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa pengarangnya,

dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang pangjang mengenai hakikat

hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penghayatan dan sentuhan jiwa yang

dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang kehidupan.

Melalui karya sastra, seorang menyampaikan pandangannya tentang

kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, mengapresiasi karya sastra

berarti kita berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam

karya sastra tersebut.

Sastra merupakan wajah kehidupan sosial. Dunia sosial selalu

melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Maka pembaca pun memiliki kode sosial

dan historis ketika membaca karya sastra. Bayangan kehidupan sosial masa lalu

sering diinternalisasikan ke dalam hidup yang sedang dijalani. Bahkan ada

pembaca dan kritikus merelevansikan sastra dengan dunia sosial sekelilingnya.

(Endraswara, 2013: 150).

Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sastra hidup karena ada

kehidupan. Sastra merupakan guru efektif bagi penelusuran kehidupan sosial.

Keserakahan hidup dapat disaring lewat sastra. Pandangan Burke (dalam

Endraswara, 2013: 126) kiranya dapat menguatkan pemahaman sastra sebagai

wahana kehidupan. Tentu saja, yang dimaksud kehidupan, tidak sekadar


15

kehidupan lahiriah, melainkan yang paling penting adalah kebutuhan batiniah.

Sastra akan menjadi wahana pembangun batin, ikut menata kehidupan dan

memperjuangkan suasana sosial.

Sastra adalah usaha memperlihatkan makna kehidupan, sedangkan

kepuasan sastra adalah menjadikan makna itu bisa dimengerti. Dihubungkan

dengan makna itu bisa dimengerti. Dihubungkan dengan makna kehidupan pada

tingkat imajinasi sastrawan adalah dialog antara dunianya dan realita. Suatu cerita

biasanya dituangkan dalam bentuk roman atau novel dan cerita pendek. Bentuk-

bentuk karya sastra inilah yang paling populer dan paling banyak dibaca orang.

Tetapi dalam perkembangan karya sastra kemudian dilahirkan dalam bentuk-

bentuk campuran antara dua bentuk tersebut. Ada novel yang lebih pendek disebut

novelet atau novel pendek. Baik novel maupun cerita pendek sebenarnya

memunyai pola bentuk yang hampir sama.

3. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata

novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan

jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain, maka jenis novel ini

muncul kemudian. Tarigan (dalam Purba, 2010: 62).

Novel merupakan suatu bentuk karya sastra yang dapat dijadikan sebagai

sarana untuk menyampaikan ide atau gagasan pengarang (Adhar, 1997:9). Novel

adalah gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan jalan

hidup baru baginya (Wellek dan Austin, 1990: 182-183).


16

Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang

sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel

dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga

berlaku untuk pengertian novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris (novel) dan

yang inilah kemudian masuk ke Indonesia dari bahasa Italia novella (yang dalam

bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang

kecil, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dan bentuk prosa”. Abrams

(dalam Aziz, 2011: 11).

Secara istilah, novel sebagai salah satu jenis karya sastra dapat

didefinisikan sebagai pemakaian bahasa yang indah yang menimbulkan rasa seni

pada pembaca, seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo (1984:3) sebagai

berikut:

“Novel (sastra) adalah ungkapan pribadi manusia merupakan

pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk

gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.

Novel adalah suatu jenis karya sastra yang berbentuk naratif dan

berkesinambungan ditandai oleh adanya aksi dan reaksi antar tokoh, khususnya

antara antagonis dan protagonis seperti diungkapkan oleh Semi (1988:6).

“Fiksi (novel) merupakan salah satu bentuk narasi yang mempunyai sifat

bercerita : yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinan

tentangnya. Oleh karena itu ciri utama yang membedakan antara narasi (termasuk

fiksi atau novel) dengan deskripsi adalah aksi, tindak tanduk atau pelaku”. Clara

Reeve (dalam Wellek, 1993:282).


17

Dewasa ini, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama

dengan istilah Indonesia novelette (dalam bahasa inggris novelette) yang berarti

sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang dari segi

formalitas bentuk, namun juga tidak terlalu pendek. Nurgiyantoro (dalam Purba,

2010: 62).

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia.

Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas

pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan

yaitu karya serius dan karya hiburan. Tetapi tidak semua yang mampu

memberikan hiburan bisa disebut sebagai sastra serius. Sebuah novel serius bukan

saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian

juga memberikan hiburan pada kita. Novel yang baik dibaca untuk

penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat

memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk

kepentingan santai belaka. Novel adalah karya sastra yang melukiskan atau

mengetengahkan kehidupan secara keseluruhan dalam bentuk cerita yang

menampilkan tokoh-tokoh serta latar (setting) yang dijalin dalam rangkaian

peristiwa.

Jadi, dari pendapat di atas dapat dijabarkan bahwa novel berisi tentang

cerita kehidupan yang diciptakan fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu yang

nyata. Nyata yang dimaksudkan bukanlah hal yang merujuk pada fakta yang

sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang dapat

diterima secara logis hubungan antara sesuatu peristiwa dengan peristiwa lain
18

dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk memberikan informasi kepada

peminat sastra. Novel juga diartikan sebagi karangan prosa yang pangjang

mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang

disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Depdikbud,

1993: 694).

Sebuah novel memiliki beberapa ciri yang dapat dijadikan sebagai

pegangan untuk mengetahui apakah novel atau bukan. Ciri-ciri novel adalah:

a. Jumlah kata lebih dari 35.000 buah;

b. Jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan buat membaca novel yang paling

pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit;

c. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman;

d. Novel bergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku;

e. Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek dan emosi;

f. Skala novel luas;

g. Seleksi pada novel lebih luas;

h. Kelajuan pada novel kurang cepat;

i. Unsur-unsur kepadatan dan intensitas dalam novel kurang diutamakan.

Dari tahun ke tahun, novel Indonesia mengalami perkembangan pesat.

Novel dibagi atas tiga jenis, yaitu novel percintaan, novel petualangan dan novel

fantasi.

a. Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria seimbang, bahkan

kadang-kadang peranan wanta lebih dominan pelakunya.


19

b. Novel petualangan hanya didominasi oleh kaum pria, karena tokoh di

dalamnya pria dengan sendirinya melibatkan banyak masalah lelaki yang tidak

ada hubungannya dengan wanita.

c. Novel fantasi bercerita tentang hal yang tidak logis yang tidak sesuai dengan

keadaan dalam hidup manusia. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep dan

gagasan sastrawan hanya dapat jelas kalau diutarakan bentuk cerita fantastik,

artinya menyalami hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.

Penggolongan di atas merupakan penggolongan yang umum. Secara

khusus Muchtar Lubis (dalam Tarigan 2011: 168) membagi novel atas beberapa

bagian seperti :

a. Novel psikologis, perhatian tidak ditujukan pada avontur lahir maupun rohani,

terjadi lebih diutamakan pemeriksaan seluruhnya dari pikiran para pelaku;

b. Novel detektif kecuali dipergunakan untuk meragukan pikiran pembaca,

menunjukkan jalan cerita. Untuk membongkar rahasia kejahatan, tentu

dibutuhkan bukti agar dapat menangkap si pembunuh.

c. Novel sosial atau pendidikan, pelaku pria dan wanita tenggelam dalam

masyarakat sebagai pendukung jalan cerita.

d. Novel kolektif tidak hanya membawa cerita lebih mengutamakan cerita

masyarakat sebagai suatu totalitas, keseluruhan mencampur adukkan

pandangan antologis dan sosiologis.

e. Novel sejarah hanya sekadar kenangan indah buat dokumen, mengisahkan

kepahlawanan seorang gadis yang keluarganya menjadi korban revolusi.


20

f. Novel keluarga pengalaman batin dijejali pembaca tentang kegelisahan sosial,

kegelisahan batin maupun kegelisahan rumah tangga.

4. Unsur- Unsur yang Membangun Novel

Unsur-unsur, struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

struktur dalam dan luar. Struktur dalam juga disebut struktur intrinsik, struktur

dari luar juga disebut struktur ekstrinsik. Pada gilirannya analisis pun tidak bisa

dilepaskan dari kedua aspek tersebut. Analisis aspek pertama memeroleh

perhatian sejak ditemukannya teori formal yang kemudian dilanjutkan dengan

strukturalisme dengan berbagai variannya. Karya sastra dianggap sebagai entitas

dengan struktur yang otonom, mandiri, bahkan dianggap sebagai memiliki

kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self-regulation) di samping kesatuan

intrinsik dan prosedur tranformasi. Piaget (dalam Ratna, 2011: 13).

Karya sastra atau novel dibangun dari beberapa unsur, seperti tema, plot,

latar, karakter/penokohan, titik pengisah dan gaya bahasa. Ketujuh unsur tersebut

dapat dibedakan, tetapi sukar dipisahkan. Artinya, dalam sebuah novel ketujuh

unsur ini dapat ditemukan namun tidak berdiri sendiri. Pemunculan dalam cerita

ada yang bersama, namun mungkin ada salah satu di antaranya mendapat

perhatian khusus dari pengarang.

a. Unsur Intrinsik

Unsur Intrinsik ini terdiri dari :

1) Tema

Tema ialah inti atau landasan utama pengembangan suatu cerita. Hal yang

sedang diungkapkan oleh pengarang dalam ceritanya. Tema dapat bersumber pada
21

pengalaman pengarang, pengamatan pada lingkungan, permasalahan kehidupan

dan sebagainya.

Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan

karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara

makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Seorang

pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan

proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila

mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema

tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan

dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Aminuddin (dalam Siswanto, 2013:

146).

Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya juga dapat

menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan

kemanusiaan serta hidup dan kehidupan. Dalam cerita rekaan tema berfungsi

memberi kontribusi bagi elemen cerita rekaan yang lain, seperti alur, tokoh dan

latar. Pengarang menyusun alur, menciptakan tokoh dan yang berlakuan dalam

latar tertentu, sebenarnya merupakan tanggapannya terhadap tema yang telah

dipilih dan yang akan selalu mengarahkannya.

2) Setting/Latar

Latar cerita adalah gambaran tentang waktu, tempat dan suasana yang

digunakan dalam suatu cerita. Latar merupakan sarana memperkuat serta

menghidupkan jalan cerita. Unsur yang menunjukkan di mana dan kapan

peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung disebut latar (setting).


22

Leo Hamalian dan Frederick R. Karell (dalam Siswanto, 2013: 135)

menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat,

waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi

juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,

prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu

masalah tertentu. Kenney (dalam Siswanto, 2013: 136) mengungkapkan cakupan

latar cerita dalam cerita fiksi yang meliputi penggambaran lokasi geografis,

pemandangan, perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan

sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim

terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, emosional

para tokoh.

Abrams (dalam Aziz, 2011:42) mendeskripsikan latar menjadi tiga

kategori, yaitu: latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat adalah hal-

hal yang berkaitan dengan masalah geografis, tempat atau daerah terjadinya

sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu adalah berkaitan dengan masalah-

masalah hid=storis, waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar sosial

adalah hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan sistem kehidupan

yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita.

3) Sudut Pandang

Stanton (dalam Aziz, 2011: 48) mengartikan sudut pandang sebagai posisi

pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Secara garis besar

penyajian sudut pandang ada dua yakni, insider atau pengarang ikut mengambil

peran dalam cerita, dan outside atau pengarang berdiri sebagai orang yang berada
23

di luar cerita. Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari

tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan

gayanya sendiri.

Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama,

mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan

perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.

b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak

mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya

menggunakan kata ganti orang ketiga.

c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di

luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke

dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam

dari tokoh.

Pembagian sudut pandang memiliki variasi, kendati demikian pada

hakikatnya sama saja dengan sudut pandang yang dirumuskan oleh Stanton, yaitu

membagi ke dalam empat tipe, seperti berikut ini:

a) First person-cental, atau sudut pandang orang pertama sentral atau dikenal

juga sebagai akuan-sertaan, dalam cerita itu tokoh sentralnya adalah

pengarang yang secara langsung terlibat di dalam cerita.

b) First-person-peripheral, atau sudut pandang orang pertama sebagai pembantu

atau disebut sebagai akuan-taksertaan, adalah sudut pandang di mana tokoh


24

„aku‟nya hanya menjadi pembantu yang mengantarkan tokoh lain yang lebih

penting.

c) Third-person-omniscient, atau sudut pandang orang ketiga maha tahu atau

disebut juga diaan-mahatahu, yaitu pengarang berada di luar cerita, menjadi

seorang pengamat yang mahatahu, bahkan berdialog langsung dengan

pembacanya.

d) Third-person-limited, atau sudut pandang orang ketiga terbatas atau disebut

juga diaan-terbatas, pengarang memergunakan orang ketiga sebagai pencerita

yang terbatas hak berceritanya, ia hanya menceritakan apa yang dialami oleh

tokoh yang dijadikan tumpuan cerita.

4) Alur (Plot)

Alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkain cerita yang

dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2013). Alur dapat

disebut juga rangkaian atau tahapan serta pengembangan cerita. Dari mana

pengarang memulai cerita mengembangkan dan mengakhirinya. Alur terdiri atas

alur maju, alur mundur (flash back), alur melingkar dan alur campuran.

Secara garis besar, struktur alur cerita rekaan dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu bagian awal, tengah dan akhir. Namun urutan itu tidak selamanya seperti itu,

setiap pengarang dapat secara bebas memulainya. Bagian awal sebuah cerita

rekaan, biasanya mengandung dua hal penting, yakni pemaparan (exposition), dan

ketidakmantapan (instability). Pada bagian tengah, terdapat konflik (conflict),

komplikasi, perumitan, penggawatan (complication) dan klimaks (climax). Pada


25

bagian akhir kisah terdiri dari segala sesuatu yang berawal dari klimaks menuju

kepemecahan masalah yang disebut denouement atau peleraian.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar plot yang kita bangun tidak

saja menjadi menarik, tetapi sesuai juga dengan logika cerita, dan tidak melebar

ke mana-mana sehingga kehilangan fokus cerita. Dalam buku How to Analyze

Fiction, Kenny (dalam Aziz, 2011: 37) mengemukakan kaidah-kaidah pemlotan

meliputi masalah plausibilitas (plausibility), adanya unsur rasa ingin tahu

(suspense), kejutan (suprise) dan kesatupaduan (unity).

5) Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan

di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Dan watak tokoh, yaitu penggambaran

karakter serta perilaku tokoh-tokoh cerita. Tokoh utama disebut dengan tokoh

protagonis dan lawannya adalah tokoh antagonis. Penokohan ialah cara pengarang

menggambarkan para tokoh di dalam cerita. Penokohan terdiri atas tokoh cerita,

yaitu orang-orang yang terlibat secara langsung sebagai pemeran sekaligus

penggerak cerita dan orang-orang yang hanya disertakan dalam cerita.

Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Aminuddin (dalam Siswanto 2013: 130). Tokoh

protagonis adalah tokoh yang wataknya disukai pembacanya. Biasanya watak

tokoh semacam ini adalah watak yang baik dan positif. Tokoh antagonis adalah

tokoh yang wataknya dibenci pembacanya. Tokoh ini biasanya digambarkan

sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negatif.

6) Amanat
26

Amanat cerita adalah pesan moral atau nasihat yang disampaikan oleh

pengarang melalui cerita yang dikarangnya. Pesan atau nasihat disampaikan

pengarang dengan cara tersurat yakni dijelaskan pengarang langsung atau melalui

dialog tokohnya, dan secara tersirat atau tersembunyi sehingga pembaca baru

akan dapat menangkap pesan setelah membaca keseluruhan isi cerita.

7) Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah bagaimana pengarang menguraikan ceritanya. Ada

yang menggunakan bahasa yang lugas, ada yang berbicara dengan bahasa

pergaulan atau bahasa sehari-hari, dan sebagainya. Gaya erat hubungannya

dengan nada cerita, gaya merupakan cara pemakaian bahasa spesifik dari seorang

pengarang. Gaya merupakan sarana yang dipergunakan pengarang dalam

mancapai tujuan, yakni nada cerita.

b. Unsur Ekstrinsik

Secara leksikal kata ekstrinsik berasal dari luar, tidak termasuk dalam

intinya. Akan tetapi dalam karya sastra hal-hal yang berada di luar karya sastra

secara tidak langsung dapat memengaruhi bangunan atau organisme karya sastra

itu. Faktor ekstrinsik cukup berpengaruh/bahkan untuk karya pengarang tertentu

cukup menentukan terhadap totalitas karya sastra yang dihasilkan. Unsur

ekstrinsik dengan demikian, sebuah cerita rekaan tetap dipandang sebagai sesuatu

yang penting.

Wellek & Werren (dalam Aziz, 2011: 63) menggolongkan unsur ektrinsik:

biografi pengarang menyangkut historisnya, keyakinan, idiologi, agama,

pendidikan, karier dan sebagainya; psikologi pengarang yang menyangkut proses


27

kreatifnya; dan masyarakat menyangkut sosial-ekonomi, budaya-politik dan

sebagainya.

5. Sosiologi Sastra

a. Hakikat Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra yaitu sosio/socius

berarti masyarakat, dan kata log/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu

mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat. Ilmu pengetahuan

yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam

masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sedangkan sastra berasal dari

akar sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan

intruksi. Akhiran tra berarti saran. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk

mengajar buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Maka, sosiologi sastra

adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek

kemasyarakatan. Ratna (dalam Musyaropah, 2011: 20).

Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari sastra dalam

hubungannya dengan masyarakat sosial. Kenyataan sosial mencakup pengertian

konteks dan pembaca (produksi dan resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek-

aspek sosial dalam teks sastra). Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah

kenyataan yang sudah ditafsirkan, yaitu kenyataan sebagai kontruksi sosial.

Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleski, sebagai cermin, juga dengan

cara refraksi, sebagai jalan belok. Seniman tidak semata-mata melukiskan

keadaan yang sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa sesuai dengan

kualitas kreativitasnya. Dengan demikian sosiologi sastra adalah konsep cermin


28

(mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai minesis (tiruan) masyarakat.

Endraswara (dalam Musyaropah, 2011: 22). Kendati demikian, sastra tetap diakui

sebagai ilusi atau khayalan dari kenyataan. Tentu saja sastra tidak akan semata-

mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekadar kopi kenyataan,

melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan

yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Sastra bukanlah sebuah tengkorak, yang layak dikubur. Sastra juga bukan

fosil, yang hanya perlu dimusiumkan, dipandang-pandang, melainkan memuat

manfaat yang luar biasa. Sastra memiliki ruh yang berguna. Bersama-sama

sosiologi, sastra diungkap agar semakin jelas kebermanfaatannya. Mungkin

sekali, sastra akan membangun moralitas sosial, agar manusia semakin berjiwa

sosial. Untuk menggali manfaat sosial, diperlukan sosiologi sastra. Menurut

Hutomo (dalam Endraswara, 2013: 1) sosiologi sastra adalah memandang karya

sastra sebagai produk sosial budaya, dan bukan hasil dari estetik semata. Nada

historis memang penting dalam studi sosiologi sastra, untuk menangkap

kebermanfaatan sastra dari sebuah periode.

Baik buruknya pemahaman sastra, bergantung bagaimana memanfaatkan

pragmatika sosiologi dan sastra secara proporsional. Aspek pragmatik sastra amat

luas, bergantung peneliti sedalam apa menafsirkannya. Asumsi bahwa sastra akan

memilki aspek pragmatik, yaitu memperkaya kehidupan sosial, tidak dapat

dipungkiri lagi. Sastra dan sosiologi selalu hidup berdampingan. Namun demikan,

memang jarang ahli sosiologi yang mau memanfaatkan sastra untuk memperkaya

studinya. Padahal, ahli sastra telah banyak menggunakan pilar-pilar sosiologi.


29

Yang jelas, di tengah meriahnya keadaan masyarakat, akan menjadi objek

menarik bagi sastrawan.

Endraswara (dalam Musyaropah, 2011: 23) sosiologi sastra dapat meneliti

sastra sekurang-kurangnya melalui 3 perspektif, yaitu:

1) Perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi

kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong,

diklasifikasikan dan dijelaskan makna sosialnya.

2) Perspektif biografis yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan

berhubungan dengan life histori seorang pengarang dan latar belakang

sosialnya. Perspektif ini hanya diperuntukkan bagi pengarang yang masih

hidup dan mudah dijangkau.

3) Perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat

terhadap teks sastra.

b. Teori Pendekatan Sosiologi Sastra

1) Teori Sastra Marxix

Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra

adalah Marxixsme. Kritukus-kritikus Marxix biasanya mendasarkan teorinya pada

doktrin Manifesto Komunis yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels,

khususnya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia

dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi

ekonomi. Kehidupan agama, intelektual dan kebudayaan setiap zaman termasuk

seni dan kesusastraan merupakan ideologi-ideologi dan suprastruktur-

suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan


30

akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam zamannya. Abrams (dalam

Woellandhary, 2013).

Bagi Marx (dalam Woellandhary, 2013), sastra dan semua gejala

kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat

akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra

hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut.

2) Teori George Lukacs: Sastra sebagai Cermin

George Lukacs adalah seorang kritikus Marxix terkemuka yang berasal

dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman. Lukacs mempergunakan istilah

“cermin” sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut

dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah karya sastra tidak hanya

mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan

sebuah “proses yang hidup”. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam

fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan

realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan

objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif. Selden (dalam

Woellandhary, 2013).

Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh

sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-

imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif

yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran

dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk


31

dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi,

sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.

3). Sastra dan Marxisme: Karl Marx, Frederick Engels, Georgi Plekanov, Georg

Lukacs

Hubungan antara sastra dengan masyarakat, berkembang di kalangan para

pemikiran Marxis. Marxisme adalah aliran pemikiran yang dikembangkan oleh

Karl Marx dan Frederick Engels, dalam buku mereka yang berjudul The German

Ideology. Menurut keduanya produksi ide, konsep, dan kesadaran pertama kalinya

secara langsung tidak dapat dipisahkan dengan hubungan material antarmanusia,

bahasa kehidupan nyata. Dalam pandangan Marxisme karya sastra dianggap

sebagai salah satu bentuk superstuktur masyarakat, yang keberadaannya tidak

dapat dipisahkan dengan infrastuktur (basis material) yang mendasarinya.

Secara spesifik, para pemikir marxis memiliki pandangan yang berbeda-

beda dalam memandang karya sastra dalam hubungannya dengan kekuatan

materialnya. Marx (dalam Wiyatmi, 2013) menganggap sastra, sebagaimana

politik, ideologi dan agama adalah wilayah superstruktur, keberadaannya

bertumpu pada basis ekonomi (infrastruktur). Sastra haruslah berpijak dari realitas

sosio historis. Realitas sosio historis tersebut ditandai oleh perjuangan kelas, maka

sastra harus diletakkan dalam kerangka perjuangan kelas proletar dalam rangka

menghilangkan kelas.

Pendapat tersebut selanjutnya didukung oleh Tolstoy (dalam Wiyatmi,

2013) yang menyatakan bahwa doktrin seni untuk seni harus dihancurkan karena

seni harus merupakan monitor dan propaganda proses sosial. Sastra harus menjadi
32

bagian dari perjuangan kaum proletar, harus menjadi sekrup kecil dalam

mekanisme sosial demokratik.

Apa yang dikemukakan oleh Marx dan Tolstoy agak berbeda dengan

Engels (dalam Wiyatmi, 2013) yang menganggap sastra adalah cermin pemantul

proses sosial, tetapi hubungan isi sastra (dan filsafat) lebih kaya dan samar-samar

dibandingkan dengan isi politik dan ekonomi. Namun demikian, menurutnya,

tendensi politik penulis dalam sastra, harus disajikan secara tersirat saja. Semakin

tersembunyi pandangan si penulis, semakin bermutulah karya yang ditulisnya. Isi

novel (muatan ideologis) harus muncul secara wajar dalam situasi dan peristiwa

yang ada di dalamnya. Setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus

mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representasif dalam karyanya, sebab

realism meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa

yang khas pula. Sastra haruslah tetap menunjukkan keartistikannya, tidak semata-

mata alat perjuangan kelas.

Apa yang dikemukakan oleh Engels, sejalan dengan pandangan Plekanov

(pendiri partai emansipasi buruh di Rusia) yang mengatakan bahwa dalam sastra,

gagasan yang mengandung muatan ideologis harus dinyatakan secara figuratif,

sesuai dengan kenyataan yang melingkunginya. Seni adalah cermin kehidupan

sosial, tetapi memiliki insting estetik yang sama sekali nonsosial dan tak terikat

pada kondisi sosial tertentu.

Lukacs memandang sastra memang terikat pada kelas, tetapi sastra besar

tidak mungkin lahir dari dominasi borjuis. Para penulis yang menggabungkan diri

dengan kaum borjuis hanya mampu mencerminkan keruntuhan kelas.


33

Menurutnya, sastra sama sekali bukan merupakan suatu objek kultural yang pasif,

tetapi merupakan bagian dari perjuangan untuk melenyapkan akibat-akibat buruk

dari pembagian kerja sosial yang luas. Bagi Lukacs, pujangga besar adalah yang

mampu menciptakan tipe-tipe manusia yang abadi, yang merupakan kriteria

sesungguhnya dari pencapaian sastra.

6. Strukturalisme Genetik

Pencetus pendekatan strukuralime genetik adalah Lucien Goldmann,

seorang ahli sastra Prancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan

yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Bukan seperti

pendekatan Marxisme yang cenderung positivistik dan mengabaikan kelitereran

sebuah karya sastra. Goldmann tetap berpijak pada strukturalisme karena ia

menggunakan prinsip struktural yang dinafikan oleh pendekatan marxisme, hanya

saja, kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor

genetik di dalam memahami karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo. et al,

2002:60).

Goldmann (dalam Teeuw, 2003: 126:127) menyebut metode kritik

sastranya strukturalisme genetik. Ia memakai istilah strukturalisme karena lebih

tertarik pada struktur kategori yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang

tertarik pada isinya. Genetik, karena ia sangat tertarik untuk memahami

bagaimana struktur mental tersebut diproduksi secara historis. Dengan kata lain,

Goldmann memusatkan perhatian pada hubungan antara suatu visi dunia dengan

kondisi-kondisi historis yang memunculkannya. Kemudian, atas dasar analisis visi

pandangan dunia pengarang dapat membandingkannya dengan data dan analisis


34

sosial masyarakat. Untuk menopang teorinya tersebut, Goldmann membangun

seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk

apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik.

Strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan

pandangan pengarang. Pandangan pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui

latar belakang kehidupan pengarang (Faruk 1999:12 -13). Orang yang dianggap

sebagai peletak dasar mazhab genetik adalah Hippolyte Taine (Sapardi Djoko

Damono dalam Zaenudin Fananie 2000:116). Taine mencoba menelaah sastra dari

sudut pandang sosiologis. Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang

bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau

rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan

Umar Junus (dalam Zaenudin Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut

kemudian dikembangkan oleh Lucien Goldmann dengan teorinya yang dikenal

dengan Strukturalisme genetik (Zaenudin Fananie 2000:117). Dapat dikatakan

bahwa pada dasarnya Strukturalisme-Genetik Goldmann adalah penelitian

sosiologi sastra (Umar Junus 1988:20).

Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan

respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan

kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan

aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk

mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Zaenudin

Fananie 2000:117).
35

Atar Semi (1987:7) berpendapat bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang

subjektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan

proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan

berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah

perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain, kita melihat gambaran tentaang

cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme

kemasyarakatannya, serta proses pemberdayaannya. Sementara, sastra itu sendiri

pada dasarnya berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota

masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial

yang menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa itu merupakan ciptaan sosial

yang menampilkan gambaran kehidupan. Meskipun sastra dan sosiologi

merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Seperti

yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1995: 84), meskipun sastra dianggap

cerminan keadaan masyarakat, pengertian tersebut masih sangat kabur. Oleh

karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Namun demikian,

Grebstein (dalam Sapardi Djoko Damono 1978: 4) mengatakan bahwa meskipun

sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia

ditulis, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila

dipisahkan dari lingkungannya atau kebudayaan atau peradaban yang telah

menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan

tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh

timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang rumit dan bagaimanapun karya

sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.


36

Yakob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra adalah produk

masyarakat, berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh anggota

masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional dari masyarakat. Konteks

sosial novel merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat

sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejalagejala sosial di

sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari

kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan

masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 2001:61).

Damono (dalam Faruk 1999 (a) :4-5) menemukan tiga macam pendekatan

dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan

dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dalam kaitannya dalam

masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang

bisa memengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping memengaruhi isi

karya sastranya. Yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah:

1) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,

2) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi,

3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang terutama mendapat

perhatian adalah:

1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya itu ditulis,

2) sejauh mana sifat pribadi pengarang memengaruhi gambaran masyarakat

yang ingin disampaikannya,


37

3) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili

seluruh masyarakat.

Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi

perhatian:

1) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat,

2) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan

3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1 dan kemungkinan 2 di atas.

Strukturalisme-Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang

berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur

yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi

struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang

terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi

tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur karya sastra, bagi

strukturalisme genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan faktor-faktor

sosial yang melahirkannya, sebab faktor-faktor itulah yang memberikan kepaduan

pada struktur itu (Goldmann dalam Faruk 1999 (b):13).

Penelitian strukturalisme genetik semula dikembangkan di Perancis atas

jasa Lucien Goldmann. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu

menekankan latar belakang sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur

otonom juga tidak dapat lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sasta sekaligus

mempresentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya

sastra. Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003:55-56), studi strukturalisme

genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu
38

unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama. Kedua,

hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang mengikat. Oleh karena itu,

seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya,

pengarang akan menyarankan suatu pandangan dunia yang kolektif. Pandangan

tersebut juga bukan realitas, melainkan sebuah refleksi yang diungkapkan secara

imajinatif.

Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif,

strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan (Faruk, 1999 :12).

1. Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan dapat berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas

politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan

seni sastra (Faruk, 1999 :12). Fakta-fakta kemanusiaan pada hakikatnya dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang

kedua mempunyai peranan penting dalam sejarah, sedangkan fakta yang pertama

tidak memiliki hal itu. Goldmann (dalam Faruk, 1999:12) menganggap bahwa

semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Yang

dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur

tertentu dan arti tertentu. Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha

manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan

dunia sekitar.

2. Subjek Kolektif

Subjek kolektif adalah subjek yang berparadigma dengan subjek fakta

sosial (historis). Subjek ini juga disebut subjek trans individual. Goldmann
39

mengatakan (dalam Faruk, 1999:14-15) revolusi sosial, politik, ekonomi, dan

karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis).

Pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann terdiri dari empat

aspek, yaitu makna totalitas karya sastra, pandangan dunia pengarang, struktur

teks karya sastra, dan struktur sosial masyarakat yang terdapat dalam karya sastra

Endraswara (2003:56) mengatakan bahwa penelitian strukturalisme

genetic memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu intrinsik dan ekstrinsik.

Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data

dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan

relitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat

mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan

unsur-unsur intrinsik karya sastra. Hal senada juga diungkapkan (dalam Jabrohim

(2001: 82), penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua

sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan ini mempunyai segi-segi yang

bermanfaat dan berdaya guna tinggi, apabila para peneliti sendiri tidak melupakan

atau tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di

samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya

bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan

faktor imajinasi

Secara sederhana, strukturalisme genetik dapat diformulasikan dalam tiga

langkah. Pertama, peneliti bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial
40

maupun dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji kehidupan sosial budaya

pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu.

Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut

mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang (Suwardi

Endraswara, 2003: 62).

Penelitian Strukturalisme Genetik, memandang karya sastra dari dua sudut

pandang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari bagian unsur intrinsik

(kesatuan dan koherensi) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan

menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakat. Karya dipandang

sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek sosial, budaya,

politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan

dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Untuk sampai

pada World view yang merupakan pandangan dunia pengarang memang bukan

perjalanan mudah. Karena itu, Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian bukan

terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita

itu kemudian dicari jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada

struktur dengan mengabaikan isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan

tersendiri, karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan

tradisi sendiri Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara 2003: 57-58).

Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem

kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi

pengaruh pada masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai

karya sastra yang hidup pada suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri
41

merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang

diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya

sebagai realitas sosial (Semi 1989: 73).

Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti

berkenaan dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan

karsa masyarakat. Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang dipandang

sebagai karya yang tersusun secara teratur, terbiasa, dan sesuai dengan tata tertib.

Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran teknik, pikiran, gagasan,

kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Kata

kebudayaan mengandung pengertian yang kompleks yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan

lain-lain. kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh

manusia sebagai anggota masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja

akal manusia dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan

terbentuk karena adanya manusia, sedang manusia merupakan anggota

masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari beberapa pengertian sosial budaya di

atas adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum,

adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal

budinya sebagai makhluk sosial.

Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah

ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial

dan politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas memengaruhi

kesadaran kelas (Damono 1978: 42).


42

Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam peristiwa

munculnya karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha mengaktualisasikan

dirinya, menaruh minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan,

hidup, dan kehidupan melalui karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra

berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam sebuah karya sastra, kehidupan yang

ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan dunia keseharian dan hasil

imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan yang telah diwarnai

oleh pandangan-pandangan pengarang.

Latar belakang sosial budaya pengarang dapat memengaruhi penciptaan

karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik

secara individual (pengarang) maupun secara kolektif. Seorang pengarang adalah

anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan

sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah

ekspresi antanogis kelas, dan jelas memengaruhi kesadaran kelas (Sapardi Djoko

Damono 1978:42).

Kelas sosial pengarang akan memengaruhi bentuk dan karya yang

diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999 :55) sekolah dan

latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya memengaruhi apa yang

dikerjakan oleh sastrawan.

Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan sosial

budaya pengarang akan memengaruhi karya sastra yang ditulis. Pengarang

merupakan bagian dari komunitas tertentu. Kehidupan sosial budaya pengarang

akan dapat memengaruhi karya sastranya. Pengarang menyalurkan reaksinya


43

terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang satu

peristiwa. Kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan

dunia pengarang karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan

pengarang setelah berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial budaya

pengarang akan memengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena pengarang

merupakan bagian dari komunitas tertentu. Pengarang bukan hanya penyalur dari

suatu pandangan dunia kelompok masyarakat, tetapi juga menyalurkan reaksinya

terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang satu

peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan

pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari

pandangan pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial

masyarakat pengarang.

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi

pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh

karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.

Sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu Iswanto

(dalam Jabrohim 1994: 78).

Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie 2000: 165)

dianggap sebagai fakta sosial dari subjek tran-individual karena merupakan alam

semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin

dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat

historis.
44

Bonald (dalam Wellek dan Warren 1995: 110) mengemukakan hubungan

antara sastra erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada hubungan dengan

perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan

secara keseluruhan kehidupan zaman tertentu secara nyata dan menyeluruh.

Grabstein (dalam Damono 1984: 4) menyatakan bahwa karya sastra tidak

dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau

kebudayaan yang menghasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks

seluas-luasnya dan tidak hanya menyoroti karya sastra itu sendiri. Setiap karya

sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik antara faktor-faktor sosial kultural

dan merupakan objek kultural yang rumit.

Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh

terhadap proses penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun bentuknya atau

strukturnya. Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan

sendirinya akan melahirkan suatu warna karya sastra tertentu pula Iswanto (dalam

Jabrohim 1994: 64).

Struktiralisme genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek

sosial yang kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, srukturalisme genetik tetap

mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar

tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra.

Menurut Suwardi Endraswara (2003: 60) yang terpenting dari kajian

strukturalisme genetik adalah karya sastra yang mampu mengungkapkan fakta

kemanusiaan. Fakta ini mempunyai unsur yang bermakna, karena merupakan


45

pantulan responrespaon subyek kolektif dan individual dalam masyarakat. Subyek

tersebut selalu berinteraksi dalam masyarakat untuk melangsungkan hidupnya.

B. Kerangka Pikir

Dengan memerhatikan uraian pada tinjauan pusataka, maka pada bagian

ini akan diuraikan beberapa hal yang dijadikan peneliti sebagai landasan berpikir

selanjutnya. Landasan berpikir yang dimaksud tersebut akan mengarahkan penulis

untuk menemukan data dan informasi dalam penelitiaan ini guna memecahkan

masalah yang telah dipaparkan untuk itu akan menguraikan secara rinci landasan

berpikir yang dijadikan pegangan dalam penelitiaan ini.

Salah satu bentuk karya sastra yaitu novel ” Saman” karya Ayu Utami.

Cerita yang dikisahkan dalam novel merupakan suatu proses kreatif yang

bersumber dari hasil pemikiran pengarang sendiri. Novel diciptakan pengarang

bukan sekadar menceritakan jalan hidup, tetapi lebih mengarah kepada pengkajian

terhadap kenyataan hidup di masyarakat terutama di dalam suatu status

kedudukan.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat bagan

kerangka pikir berikut:


46

Bagan Kerangka Pikir

Novel Saman Karya


Karya Sastra Ayu Utami

Strukturalisme
Genetik

Intrinsik Ekstrinsik

1. Tema 1. Fakta Kemanusiaan


2. Alur/plot 2. Subjek Kolektif
3. Sudut pandang 3. Strukturasi
4. Latar/ setting 4. Pandangan Dunia pengarang
5. Tokoh/ penokohan 5. Pemahaman dan Penjelasan
6. Amanat
7. Gaya bahasa

Analisis
8.

Hasil
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah suatu strategi atau cara yang disusun secara

sistematis dengan perencanaan yang matang untuk memecahkan suatu masalah,

dengan dukungan data yang difokuskan pada satu permasalahan saja sebagai

landasan dalam mengambil suatu kesimpulan. Penelitian tidak hanya sekadar

menerapkan proses yang sistematis akan tetapi juga dilakukan dengan

menggunakan metode ilmiah.

Desain penelitian pada hakikatnya merupakan strategi yang mengatur

ruang atau teknis penelitian agar memeroleh data maupun kesimpulan hasil

penelitian. Menurut jenisnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif.

Oleh karena itu, dalam penyusunan desain harus dirancang berdasarkan pada

prinsip metode deskriptif kualitatif yaitu, mengumpulkan, mengolah, mereduksi,

menganalisis dan menyajikan data secara objektif atau sesuai dengan kenyataan

yang ada di lapangan untuk memeroleh data. Untuk itu, peneliti dalam menjaring

data mendeskripsikan strukturalisme genetik dalam novel Saman Karya Ayu

Utami sebagaimana adanya.

B. Definisi Fokus

Definisi fokus pada hakikatnya merupakan pendefinisian fokus dalam

bentuk yang dapat diukur, agar lebih lugas dan tidak menimbulkan bias atau

47
48

membingungkan. Penelitian bebas merumuskan, menentukan definisi fokus sesuai

dengan tujuan penelitian, dan tatanan teoritik dari fokus yang diteliti.

Untuk menghindari salah tafsir dalam penelitian ini, maka fokus akan

didefinisikan secara operasional. Adapun agensi operasional fokus sebagai

berikut:

a. Novel adalah cerita yang berbentuk prosa yang mengandung bahasa yang

indah yang menimbulkan rasa seni pada pembaca, yang isinya merupakan

gambaran dari kehidupan dan perilaku dalam kehidupan manusia.

b. Strukturalisme-Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan

bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis

dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur

kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang

terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi

tertentu.

c. Sosial budaya adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan,

moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia

melalui akal budinya sebagai makhluk sosial.

d. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia

berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan

sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas

mempengaruhi kesadaran kelas.


49

C. Data dan Sumber Data

1. Data

Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterangan atau bahan

nyata yang dapat dijadikan kajian (analisis atau kesimpulan). Data yang dimaksud

adalah yang menyangkut dengan strukturalisme genetik dalam novel Saman

Karya Ayu Utami yaitu sosial-budaya pengarang, social, budaya, politik dalam

novel saman serta bagaimana pandangan dunia pengarang terhadap novel Saman.

2. Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh yang menjadi dasar

pengambilan data yang diperlukan. Oleh karena itu, sumber data dalam penelitian

ini adalah novel yang berjudul Saman karya Ayu Utami yang berjumlah 198

halaman diterbitkan oleh Gramedia, 2002 di Jakarta.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu sebagai berikut:

1. Data primer diperoleh dari novel Saman karya Ayu Utami yang merupakan

objek kajian dalam penelitian ini. Penulis membaca secara cermat dan

berulang-ulang sehingga menemukan kalimat yang mengandung

Srukturalisme genetik. Kemudian Penulis mengklasifikasikan data yang

termasuk unsur-unsur Srukturalisme genetik berdasarkan acuan yang telah

ditetapkan.

2. Data sekunder berupa pendapat atau komentar dari kritikus tentang karya

sastra dalam buku-buku sastra yang berkaitan dengan penelitian ini.


50

E. Teknik Analisis Data

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka selanjutnya penulis

menganalisis data tersebut dengan memerhatikan aspek Srukturalisme genetik

yang dijadikan sebagai acuan penelitian, meliputi:

1. Mengidentifikasi isi novel Saman karya Ayu Utami.

2. Mengkalisifikasi data yang diperoleh berupa Srukturalisme genetik dalam

novel Saman karya Ayu Utami.

3. Menganalisis data yang diperoleh berupa Srukturalisme genetik dalam novel

Saman karya Ayu Utami.

4. Mendeskripsikan aspek-aspek social-budaya pengarang, aspek social, budaya,

dan politik novel yang terkandung dalam novel Saman karya Ayu Utami.

5. Mengadakan pemerikasaan keabsahan data berdasarkan aspek l yang

dianalisis sebagai hasil penelitian.

6. Apabila hasil penelitian sudah dianggap sesuai, maka hasil tersebut sebagai

hasil akhir.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan secara rinci hasil penelitian terhadap novel

Saman karya Ayu Utami, dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif.

Hasil penelitian ini akan dikemukakan beberapa data yang diperoleh sebagai bukti

hasil penelitian. Data yang akan disajikan pada bagian ini adalah data yang

memuat aspek-aspek strukturalisme genetik sebagai salah satu unsur pembentuk

novel tersebut. Berdasarkan pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam

menganalisis novel Ayu Utami maka diharapkan dapat mengungkapkan aspek

secara terperinci dan jelas.

Aspek Strukturalisme genetik yang dimaksud yaitu eksistensi tokoh utama,

bagaimana lingkungan sosial budaya pengarang, lingkungan sosial , budaya, dan

politik novel Saman, serta pandangan dunia pengarang dalam novel Saman. Untuk

lebih jelasnya diperhatikan berikut ini:

1. Eksistensi Tokoh Utama

Dalam dunia pewayangan purwa, Wisanggeni adalah putra Arjuna dengan

bidadari dari Kahyangan Jonggringsaloka. Sedari lahir, ia di bawa ke kahyangan

untuk di tempa di kawah Candradimuka oleh Sang Hyang Wenang. Setelah

dewasa, turun ke bumi dan kembali kepada keluarganya, yaitu Pandawa. Ia tidak

dapat menyaksikan atau turut berperang dalam Bharatayuda sebab sudah

dimatikan dahulu oleh Sri Kresna.

51
52

Dalam versi Ayu Utami, Wisanggeni adalah lulusan Institut Pertanian

Bogor. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah teologi di Driyakarya. Setelah tamat,

acara sakramen presbiterat dan pembacaan kaul dan pelantikan dilaksanakan.

Sejak saat itu orang-orang memanggil dia Frater Wisanggeni atau Romo

Wisanggeni. Tugas untuk melayani umat di manapun dan kapanpun telah siap

diemban Wis. Namun dalam hati kecil Wis, dia sangat berharap ditempatkan di

pedalaman Perabumulih. Dia merasa banyak yang bisa dikerjakan di sana, sebab

dia adalah lulusan Institut Pertanian dan mayoritas penduduk Prabumilih yang

bekerja di perkebunan karet. Jadi, Wisanggeni beranggapan bahwa

kemampuannya di bidang pertanian dapat diterapkan di area perkebunan tersebut.

Bagi Wis, Perabumulih bukan tempat asing. Masa kecilnya pernah

merasakan di Perabumulih karena Bapaknya pernah bekerja dinas sebagai kepala

cabang Bank Rakyat Indonesia cabang Perabumulih. Di sana juga dia

mendapatkan pengalaman yang aneh, suatu pengalaman yang tidak pernah ia

ceritakan bahkan pada Ayahnya sendiri. Pengalaman tentang roh-roh yang ada

disekitarnya. Yang dianggap Wis adalah roh-roh adiknya yang telah lama tiada.

Dari alasan itu mengapa Wis ingin sekali ditugaskan ke Perabulih tempat di mana

ia mempunyai ikatan yang sangat erat sejak kecil. Kesempatan untuk ditugaskan

ke Perabumulih akhirnya datang dan dikabulkan oleh Keuskupan.

Setelah sepuluh tahun akhirnya Wis datang lagi ke Perabumulih walau

menurut Wis sendiri tempat itu tak banyak berubah. Perasaan tentang adik-

adiknya yang telah lama tiada membuka kembali akan kenangan tentang masa

lalunya. Perasaan pahit di mana Ibunya yang dikasihinya yang juga mengasihinya
53

telah lama meninggal bercampur dengan rasa keingintahuan selama ini tentang

Perabumulih selama sepuluh tahun yang telah ditinggalkannya.

Setelah beberapa hari dan beberapa minggu dengan kegelisahan dan

kesedihan, apa yang tak pernah dia saksikan. Keterbelakangan dan kemiskinan

penduduk membuat Wis bertekad untuk mengabdikan hidupnya dengan orang-

orang di desa transmigran Sei Kumbang yang berjarak tujuh puluh kilometer dari

Perabumulih.

Di Sei Kumbang, Wis memutuskan untuk membantu meringankan

penderitaan gadis yang dianggap gila. Sikap rasa peduli dan keibaan terhadap

orang-orang di Sei Kumbang ini, akhirnya dia meminta izin dari pastor kepala

Perabumulih agar direstui untuk membantu penduduk Sei Kumbang dan dia

berjanji akan membagi tugas antara kepastoran parokial dan membantu penduduk

di perkebunan karet.

Saman/Wisanggeni adalah sosok yang selalu gelisah melihat sesuatu yang

dia dianggap tidak wajar. Jiwa sosialnya akan tergerak dan ikut membantu jika

dirasa itu sangat mengusik hatinya. Ketika dia untuk pertama kali melihat kondisi

penduduk dusun Sei Kumbang dia sangat merasakan betapa keterbelakangan serta

kemiskinan sehingga untuk membeli beras saja tidak mampu sangat mengganngu

jiwanya untuk turut membantu.

Setiap malam Wis selalu memikirkan dan gelisah serta selalu bergelut

dengan batinnya sendiri. Lalu pada suatu saat ia memberanikan diri untuk

berbicara kepada pastor kepala Pater Westenberg mengajukan diri agar ia diberi

ijin untuk membantu warga di Sei Kumbang. Karena keterlibatan Wis terhadap
54

Warga Sei Kumbang Wis sering meninggalkan tugas parokialnya. Merasa

mendapat teguran dari pastor kepala Wis meminta maaf dan menjelaskan tentang

apa yang dialami dan yang ia kerjakan. Bahwa dia tidak bisa melihat

keterbelakangan dan kemiskinan penduduk sedangkan dia sendiri hanya bisa tidur

diranjang empuk dan menikmati masakan, sementara di luar sana ada banyak

penduduk dusun yang hanya untuk membeli beras saja tak mampu. Itulah yang

menjadikan konflik batin Wis . Konflik batin tokoh utama ( Saman) Nampak pada

kutipan di bawah ini:

“Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya


cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya
berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan lezat yang
dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika
hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia bisa
diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon
agar diberi kesempatan itu” (Saman, 2002: 84).

Dari petikan di atas betapa Wis ingin sekali ingin membantu warga dusun

Sei kumbang dengan cara mengajukan beberapa proposalnya agar dapat dana

untuk membantu meringankan warga Sei Kumbang. Keinginan Wis pun akhirnya

dikabulkan oleh pastor kepala. Dari sinilah, Wis semakin terlibat bukan hanya

membantu warga tetapi juga terlibat dalam konflik-konflik yang dialami oleh

penduduk.

Setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Wis kemudian

ditangkap. Dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara Wis mengalami siksaan

dan tekanan yang luar biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan

oleh aparat yang dituduh telah mengahasut penduduk. Tuduhan-tuduhan politis

dan SARA bahwa dia seorang komunis yang berkedok rohaniawan dilayangkan
55

pada Wis. Mau tidak mau akibat sikasaan akhirnya Wis mengaku dan membuat

karangan tentang dirinya. Bahwa memang benar tuduhan-tudahan yang

dialamatkan pada dia semua itu. Penyiksaan Wis terdapat pada kutipan berikut ini:

“Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya


gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang
interrogáis, didudukan atau dibarkan berdiri, sementara ia mendiga-duga
cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanza selalu
ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari-
jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau
Cuma menggunakan kepalan dan tendangan.” (Saman, 2002: 106).
“Rasa sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang
ceritayang sebelumnya tak pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang
menyenangkan orang-orang itu: saya sesungguhnya adalah seorang
komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di Amerika
Selatan, mereka menyebutnya republik pisang atau republik bananas, ia
mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk
mewartakannya.” (Saman, 2002: 107).

Konflik demi konflik mulai dari kekejaman aparat yang membakar dusun,

siksaan fisik yang ia terima hingga perasaan keingintahuan kabar dari orang-orang

dusun yang membakar kantor polisi dan pabrik dan nasib Upi gadis gila yang ia

rawat, tak tertolong ketika dusun dibakar membuat Wis menanyakan tentang

Tuhan. Dalam kondisi inilah Wis mengalami konflik batin akan keberadaan

Tuhan yang selama ini dia percaya. Konflik batin Wis Nampak pada kutipan di

bawah ini :

“Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada.
Kristus tidak menebusnya sebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah
lorong gelap yang sunyi yang mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam
sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan tinggi.” (Saman, 2002:105).
“Abang (Wis) pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan abang berkali-
kali, pemuda itu memegang lengannya sebelum pergi. Tapi Wis diam saja.
Ia hanya berpikir. Tidak Anson. Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia
tidak menyelamatkan Upi……….”. (Saman, 2002:115)
56

Dari kutipan dan pemaparan di atas, konflik yang dialami Wis bukan

hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya

sendiri pun terjadi sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal,

dia adalah seseorang yang pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak

lagi diragukan akan keimanannya tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya

membuat perubahan drastis dalam diri Wis. Dengan alasan politis dan keamanan

dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya dengan nama Saman lalu

melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan

imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang

tertindas.

“Hirarki gereja hanya mendengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni


menghilang. Sebagiian orang mengira dia sudah mati ketika disekap di
pabrik..
Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan
Kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan
khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas dibenaknya.” ( Saman, 2002: 117).

2. Lingkungan Sosial Ayu Utami

Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan

menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia.

Ia mengaku sejak kecil memang suka bahasa terutama bahasa yang aneh-aneh,

eksotis. Bagi Ayu Utami dunia tulis menulis bukan hal yang baru. Sebelum

menjadi penulis novel, ia pernah menjadi wartawan di majalah Matra, Forum

Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde

Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes

pembredelan pers. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan ikut


57

membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan

kebebasan informasi. Baginya, menulis novel merupakan cara untuk

mengeksplorasikan bahasa Indonesia, bahasa yang masih muda, yang kurang

mungkin dilakukannya sebagai wartawan.

Ayu Utami merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Sutaryo

dan Suhartinah yang berasal dari Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami

bekerja sebagai jaksa, ia cukup ketat dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan

bertanggung jawab. Dalam hal ini ia sangat perhitungan terhadap anak-anaknya.

Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia akan meminta imbalan yang seimbang

dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah, sebagai ibu Ayu Utami yang dulu

pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah SMP adalah orang yang

mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-anaknya bukanlah

suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami bisa kecewa

sekali melihat anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah sebaliknya ia

selalu siap menghibur jika anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh orang tua

Ayu Utami yang seperti inilah yang membuat Ayu Utami bisa tumbuh menjadi

pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami menghabiskan masa kecil di Bogor

hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan SMP di Jakarta, dan SMU

di Tarakanita Jakarta.

Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang

tua yaitu dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya

meremehkan orang dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Baginya,

membaca buku bisa mempengaruhi hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal
58

membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu untuk membaca Alkitab. Alkitab

sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut Katolik yang

mengagumi buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab

adalah buku satu-satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa.

Alasannya, Alkitab ditulis oleh orang banyak dengan gaya masing-masing. Ada

yang bebentuk puisi, buku, dan surat menyurat. Wajarlah kalau dalam novel

Saman, terdapat petikan-petikan ayat Alkitab.

Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis

beberapa cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota. Namun, bukan

berarti cita-cita Ayu Utami sejak kecil memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami

mempunyai bakat melukis. Ia sering memperoleh order melukis dari teman atau

keluarganya. Bahkan impian banyak pelukis pernah menghampirinya, yakni

tawaran dari pembimbing melukisnya untuk mengadakan pameran tunggal. Itulah

sebabnya, setelah lulus dari SMU Ayu Utami ingin melanjutkan ke Fakultas Seni

Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu ditentang orang tua. Sebagai

pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia

Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak ingin

memberatkan orang tuanya, selain lebih murah dibandingkan dengan kuliah di

luar negeri, selain itu juga semua kakaknya kuliah di UI.

Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah.

Kuliah ia jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat

daripada kuliah. Akan tetapi hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa

tidak ada gunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung
59

soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah sambil bekerja yang dilakukan Ayu

Utami juga mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya

hal itu tidak bisa diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis Ayu Utami

yang membuat ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang

pernah ia jalani. Bahkan Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah

menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah

Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke

Forum Keadilan, dan D&R.

Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan

berkembang. Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti

pendidikan di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya

dipecat dari majalah Forum. Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah

D&R, karena namanya sudah masuk black list, tidak boleh lagi tercantum

disusunan redaksional media massa manapun. Di majalah ini ia hanya menjadi

kontributor. Saat itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk menjadi

wartawan secara terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak

keluarga sangat menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk

menjadi aktivis niat utamnya adalah menjadi wartawan professional.

Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1993-1994, Ayu Utami mengikuti arus

menjadi aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers Sewaktu menjadi aktivis,

kedudukannya lebih sebagai kurir atau penghubung. Ia tersentuh sekali melihat

teman-teman yang terlibat secara langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI).

Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian menghindar dari kejaran polisi.
60

Biasanya ia bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan, seperti

mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan penampilannya ia bisa

mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga dengan

kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami cukup

bersih dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak pernah

tercium oleh pihak aparat.

Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC

selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu

Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya

sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan

berbagai kalangan yang dapat memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami

melahirkan Novel Saman, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis

moneter.

Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari

pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai

wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu

persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan

politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang

ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu

untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya,

ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri,

karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata

prediksinya salah novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu
61

bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu,

termasuk membicarakan seks secara terbuka.

Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan,

tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika

seks yang dialami oleh pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang

menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah. Ayu Utami bukannya

menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk

merenungkan kembali isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu

tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan,

maka ia sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti

lagi.

Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita

yang sangat realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi

kekasihnya dan bergantung kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya

memang harus berakhir, ia pun bisa melupakannya sama sekali. Inilah yang

membuatnya tidak mengenal istilah patah hati dalam hidupnya. Sebab ia bisa

berteman baik dengan mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta. Soal laki-laki,

secara fisik Ayu Utami suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak.

Entah kenapa seperti itu, sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal

laki-laki ia suka yang military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik

dengan laki-laki yang bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas

teman ia senang sekali, tetapi bukan untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki

yang military look kemungkinan arena citra laki-laki ganteng yang pertama kali ia
62

lihat adalah Pierre Tendean, orang yang dikenal sebagai salah satu pahlawan

revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-orang sebaya Ayu Utami, doktrin

mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat. Proses pembentukannya sepertinya

didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti itu. Jadi, meskipun ketika

beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci sekali dengan tentara,

tetapi soal laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang bergaya militer.

Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam

buku Si Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah

satunya yang menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi

perempuan. Meskipun kita selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan,

akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau

tidak menikah perempuan akan diejek sebagai perawan tua, dan sebagainya. Yang

pada akhirnya, membuat si perempuan menjadi berada di bawah tekanan. Ia ingin

menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa

kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu

pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam

realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua,

hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan

seks di luar pernikahan. Dalam hal ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita

memang munafik. Mereka menganggap seolah-olah kalau sudah menikah itu

segala sesuatu menjadi beres. Padahal, banyak sekali orang yang sudah menikah

tetapi masih melakukan hubungan seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal

pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.


63

Keputusan Ayu Utami untuk tidak menikah membuat keluarga, terutama

ibu sempat merasa sedih. Sampai sekarang Ibu Ayu Utami tetap berharap suatu

saat akan menikah. Sebaliknya, di luar pikirannya, Bapak Ayu Utami malah

menerima keputusan ini dengan enteng. Ayu Utami juga tidak mempunyai

keinginan untuk menjadi seorang ibu, menurutnya buat apa punya anak, penduduk

Indonesia sekarang kan sudah padat sekali.

3. Lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman

Novel Saman merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel

tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat

Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada

tahun 1990-an. Pemerintah pada waktu itu di bawah kekuasaan Soeharto. Pada

masa Orde Baru muncul konflik baru yang memanifestasikan dalam bentuk

demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintah Orde

Baru, diantaranya kasus tanah, perburuan, pendekatan keamanan, dan hak azasi

manusia.

Saman menceritakan peristiwa persengketaan tanah dan kerusuhan yang

terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan pesoalan peka

bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit.

Akan tetapi masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini

mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-

wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka

menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk Sei

Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.


64

Pada novel ini juga diceritakan mengenai kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa

yang memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menaggapi protes dan

perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-

aksi aparat keamanan atau militer yang semakin brutal dan tidak terkendalikan.

Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer

telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM). Akan tetapi LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat

miskin. Maka, pemerintah melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan

terhadap aktivis-aktivis LSM.

Konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara

penduduk transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang

tertekan akan kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet.

Sehingga untuk sekedar bertahan hidup mereka menjual hasil kebun kepada

tengkulak. Namun dari sinilah konflik dimulai ketika perusahaan berganti.

Penduduk dipaksa untuk menanam kelapa sawit di bawah ancaman agar mau

menuruti kepentingan perusahaan yang baru. Dapat dilihat lihat juga tentang

kepentingan politis Gubernur sebagai kepala daerah yang seharusnya membela

hak-hak para buruh kebun karet, tapi akhirnya mereka dikorbankan oleh Gubernur

demi kepentingan penanaman kelapa sawit dan segelintir orang (pemilik modal).

Teror dan intimidasi akhirnya membuat para penduduk melawan kesewenangan

dari perusahaan. Tentu mereka kalah karena petugas dan aparat telah siap

merepresif mereka.
65

Konflik dalam novel Saman mengacu pada konflik eksternal khususnya

pada konflik social penduduk Sei Kumbang, yang disebabkan oleh adanya kontak

sosial atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia.

Stara konflik ideologis antara lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan

elite yang biasa disebut lapisan priyayi, berpendidikan, dan kebanyakan berasal

dari atau tinggal di kota , pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong

cilik sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan, bodoh tradisional,

dan tidak bergairah di dalam mengikuti perubahan.

Semakin kuat watak komoditi dalam pertanian, maka semakin besar jarak

yang memisahkan petani dengan pasar, dan semakin besar pula ketergantungan

petani pada pedagang yang berfungsi sebagai perantara. Pedagang yang

menemukan tempatnya diantara produsen dan konsumen, menghasilkan modal

dagang. Seiring dengan kemunculan pedagang, muncul pula lintah darat yang

meminjamkan uang pada masa paceklik kepada petani dan yang menciptakan

dasar bagi eksploitasi modal lintah darat. Proses ini membuat kecenderungan

teraleanisasi petani pada tanahnya sendiri dalam novel Saman, ini ditunjukan

ketika petugas perkebunan memergoki para penduduk Sei Kumbang menjual

getah karet lateks pada tengkulak karena menawar lebih tinggi dan datang sambil

mengutangi beras dan kebutuhan petani. Gambaran pemaparan di atas Nampak

pada kutipan di bawah ini:

“Maka mereka lebih memilih menjual kepada tengkulak yang acap


menawar lebih tinggi dan datang dengan mengutangi beras serta kebutuhan
tani” (Saman, 2002:82).
66

Petani di Sei Kumbang dianggap oleh PTP perseroan yang mengelola

perkebunan karet berhutang kepada PTP atas benih, pupuk dan pembukaan lahan

transmigrasi yang ditanggung oleh PTP. Sebagai angsuran hutang lima sampai

sembilan juta, maka penduduk wajib menjual hasil perkebunan kepada PTP.

Bersamaan dengan ini meningkat pula pembayaran tunai dari tuan tanah kepada

petani yang menyebabkan pergantian pembayaran dari bentuk barang kepada

pembayaran tunai. Dengan demikian, hal tersebut dapat meningkatkan tingkat

pembayaran secara umum. Sementara itu, petani hanya sanggup membayar secara

tunai dengan cara menjual hasil produksinya. Hal ini tentu saja sangat membebani

penduduk transmigrasi Sei Kumbang sehingga banyak penduduk tidak mampu

untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka.

“Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang
benih, pupuk dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP.
Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun.
Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan pembayaran
dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang” (Saman, 2002: 81).

Teror terhadap penduduk semakin gencar agar tanah mereka dijual ke

perseroan baru pengganti PTP yang bangkrut. Teror dan intimidasi dilakukan

pertama-tama dilakukan dengan menjebol rantai rumah Upi gadis gila yang

dirawat Wis lalu disusul dengan merusak dan merobohkan kincir angin yang

dibuat Wis dan penduduk sebagai rumah asap dan pembangkit listrik mini bagi

penduduk Sei Kumbang karena di tempat itu Belum teraliri listrik. Tak hanya para

penduduk yang merasa sedih, tapi Wis juga teramat terpukul. Sebagaimana yang

terdapat pada kutipan di bawah ini:

“ Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt.
Dusun yang kini terdiri sekitar delapan puluh rumah dan langgar itu telah
67

diterangi lampu dan diramaikan bunyi radio. Listrik telah menjadi


keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini menara kincir itu
dirobohkan” (Saman, 2002:91).

Sistem kapitalisme yang dikuasai kaum borjuis semakin bersemangat

menghapuskan keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi,

dan dari milik. Penguasa tersebut telah menimbun penduduk, memusatkan alat-

alat produksi, dan mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan. Akibat yang

sudah dari hal ini adalah pemusatan politik. Sebagai gantinya, datanglah

persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselenggarakan

dengannya oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis. PTP sebagai

persero yang berwenang di Sei Kumbang terus merugi akhirnya PTP

menyerahkan ke perusahaan lain, yaitu PT Anugerah Lahan Makmur yang akan

mengubah dusun Sei Kumbang menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun,

rencana ini ditolak oleh penduduk desa, lebih-lebih Wis yang menganggap lahan

ini milik penduduk dan perkebunan karet dibuka untuk petani bukan perusahaan.

“Kami melihat bahwa dusun ini (Sei Kumbang) saja yang belum patuh
untuk menanda tangani kesepakatan dengan perusahaan.” (Saman,
2002:92)
“Kami memang mendengar bahwa PTP merugi di kebun karet ini lalu
menyerahkan ke perusahaan baru yang mau menjadikannya kebun sawit”
(Saman, 2002:93).

Petugas yang datang memberitahu penduduk gagal untuk membujuk agar

mematuhi kesepakatan pergi dengan mengancam akan menggusur perkebunan

karet milik penduduk dengan buldózer. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan di

bawah ini:
68

“Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus


menanamnya. Jika dalam sebulan tidak menurut, terpaksa buldozer-
buldozer membabat perkebunan itu”. (Saman, 2002: 93).

Penggusuran dusun yang pernah diancamkan oleh para petugas atas

perintah Gubernur memang tertunda berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.

Namun perusahaan baru menggunakan teror dan intimidasi terhadap warga yang

jauh lebih mengerikan. Puncaknya adalah ketika mereka merobohkan pohon-

pohon karet dan oknum satpam suruhan perusahaan kebun memperkosa istri

Anson di rumahnya, ketika Anson dan para warga sedang berkumpul untuk

membahas perkebunan mereka.

Penduduk dengan spontan mengejar pelaku dan berhasil membunuh dari

salah satu pelaku. Anson yang begitu geram memimpin warga untuk meyerang

dan membakar pos. Wisanggeni tak sanggup menceggah kemarahan penduduk itu

terutama Anson. Sementara para warga khususnya Ibu-ibu dan anak perempuan

dikumpulkan di surau. Tak lama setelah para warga laki-laki pergi meyerbu pos

datang tiga jip serta sebuah mobil bak terbuka. Petugas akhirnya menangkap Wis,

sementara dusun Sie Kumbang dibakar mulai dari rumah asap dan rumah-rumah

penduduk.

“Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah
petak keluarga Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia (Wis ) menjerit
teringat Upi yang belum Ia sempat gabungkan dengan ibu-ibu. Ia
melompat untuk menyelamatkan gadisnya (Upi). Tapi dua orang dengan
seragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong
punggungnya hingga dada dan pelipisnya menghantam tanah, dan
memborgol pergelangnnya sebelum ia sempat mengerang nyeri.” (Saman,
2002: 104).
69

Pemaparan konflik sosial dan politik yang terjadi pada penduduk Sei

Kumbang mengenai sebelum berada atau memutuskan menjadi transmigran di

perkampungan tersebut, mereka berharap agar kehidupan mereka lebih baik

daripada di tempat asalnya. Namun kenyataan tak seindah yang dibayangkan.

Awal dari pembukaan lahan mereka telah menanggung hutang yang tak pernah

mereka bisa bayar terhadap perusahaan yang memberi. Tanah dan perkebunan

mereka yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan menjadi sumber penghidupan di

monopoli oleh perseroan yang telah menghutangi mereka. Di sini, dapat dilihat

betapa miskin dan keterbelakangannya penduduk di Sei Kumbang. Hal ini terbukti

pada listrik belum masuk dusun mereka, padahal jarak dusun ke Perabumulih

yang menjadi kota minyak hanya tujuh puluh kilometer.

Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa

beban., ia hanya asyik bercerita. Bahkan, ketika ada sisipan-sisipan pemikiran

tentang Tuhan, agama, negara, hubungan mengenai ikon-ikon generasi Orde Baru

yaitu generasi yang terlahir dan besar selama Orde Baru, yang dibuai dengan

kelimpahan materi atau informasi dan hegemoni pembangunanisme.

Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja

yang dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah

keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial

dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.

Saman menceritakan tentang persoalan antara perempuan dengan

seksualitas. Jika laki-laki tidak pernah merasakan ada persoalan dengan

seksualitasnya, perempuan sebaliknya, karena seksualitas perempuan selalu


70

dipertanyakan jika dia ingin terjun ke sektor publik. Laki-laki dapat dengan lugas

dan terbuka mengungkapkan hasratnya dan tentu saja tidak ada orang yang akan

mempertanyakan termasuk pasangannya. Namun apa yang terjadi dengan

perempuan, untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja

perempuan menemui kendala, masyarakat tidak mudah menerima hal tersebut

inilah yang kemudian terlihat dalam Saman, yaitu bahwa perempuan memiliki

hasrat yang sama dengan laki-laki itu bukanlah sesuatu yang buruk. Saman

berhasil menggambarkan pemberontakan hak seksual perempuan untuk

menggunakan bahasa tubuh. Saman merangkum persoalan seks dan perempuan,

menggambarkan perempuan apa adanya, dan semua didefinisikan secara vulgar.

Novel Saman berani mendobrak tabu yang sangat kuat membebani kaum hawa.

Dalam Saman, seks bukanlah bumbu cerita tetapi menjadi bagian dalam cerita itu

sendiri. Dengan ringan para tokoh berbicara tentang seksualitas begitu terbuka,

mereka berani menunjukkan hasratnya. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu

bagi perempuan ternyata ditampilkan dengan cukup memikat bahkan

mengejutkan.

Seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-

mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang

dialami oleh perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan

pada pihak yang kalah. Perempuan dalam Saman adalah cerminan perempuan

Indonesia pada tahun 1900-an, yang masih mengalami ketidakadilan dan

penindasan yaitu kurangnya perlindungan hukum untuk menangani kekerasan

seksual, ataupun norma masyarakat yang membatasi penggunaan hak seksual


71

perempuan. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam

memililiki peran mereka. Tiga diantaranya empat karakter perempuan belum

menikah pada usia tiga puluhan dan peran mereka tidak sebatas istri atau ibu.

Mereka bisa menikmati pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka,

melakukan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi

perkembangan kepribadian mereka masing-masing.

Perempuan dalam novel Saman sudah tidak terlalu bergantung kepada

kaum pria. Dalam novel ini Saman sebagai lak-laki malah ditolong dan dilindungi

oleh Yasmin dan Cok. Saman menjadi buronan karena kegiatan-kegiatan

LSMnya.

Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dan

mengirimnya ke New York. Proses pelarian ini cukup berbahaya, bahkan Saman

mengakui “Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap

ketegangan sebagai petualangan.” Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai

oleh Shakuntala dan teman-temannya, masih ada juga ketidakadilan bagi

perempuan Indonesia di tahun 1990-an, yang tercermin dalam novel Saman.

Contoh adalah Upi, gadis Lubukrantau yang menderita kelainan jiwa dan kelainan

seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini.

Tidak ada fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk merawat orang-orang seperti

Upi, dan juga tidak ada perlindungan hukum dan keadilan untuk Upi. Para lelaki

bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya, dan tidak ada

hukum yang melarang perbuatan mereka. Keadaan ini dikritik oleh Ayu Utami

dengan cara menampilkan tokoh Saman yang ditampilkan sebagai seorang pastor.
72

Saman bukan hanya tidak memanfaatkan Upi, ia bahkan membuat rumah

perlindungan yang lebih bagus untuk Upi, dan selalu memikirkan keselamatannya.

Cerita dalam novel Saman berputar diantara empat perempuan yaitu

Shakuntala, Yasmin, Laila, Cok. Novel ini mengisahkan masa kecil mereka

sampai saat mereka berumur tiga puluhan. Dalam novel ini juga dijabarkan

mengenai pencarian identitas diri mereka sebagai perempuan, konflik batin

mereka tentang masalah seksual dan juga norma masyarakat yang tidak mereka

setujui. Selain kisah keempat perempuan tersebut, juga diceritakan mengenai

perjuangan Saman dalam membantu masyarakat Lubukrantau, masalah politik dan

sosial di masa Orde Baru, iman kepada Tuhan yang diuji, dan bahkan juga ada

bagian surealistis yang menceritakan masa lalu Saman di Perabumulih.

4. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman


Tokoh problematik dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama

Saman. Saman ditentukan sebagai tokoh problematik karena Saman merupakan

tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan

tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah inilah pengarang memberikan

solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya.

Masalah pertama yang dihadapi oleh Saman yaitu muncul ketika ia telah

diangkat menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa

tempat masa kecilnya mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia

ceritakan kepada siapa pun. Akan tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak

sesuai dengan keputusan yang diberikan oleh Uskup. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan di bawah ini:


73

“Sesungguhnya persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni.


Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di
Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian,
jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan.
Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di
mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk
pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen
alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan. (Saman, 2002: 42).

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Saman di atas pengarang

memunculkan tokoh yang bernama Romo Daru sebagai seorang pastor senior

yang banyak menghabiskan waktunya di persemedian. Romo Daru berusaha

melobi Bapak Uskup supaya Saman dapat ditugaskan di Perabumulih sesuai

dengan keinginan Saman. Berkat usaha Romo Daru, akhirnya Saman ditugaskan

sebagai Pastor Paroki Parid yang melayani kota kecil di Perabumilih dan Karang

Endah wilayah keuskupan Palembang. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:.

“Barangkali Tuhan mengutusnya. Barangkali Tuhan Cuma mengabulkan


harapannya. Uskup menugaskan dia sebagai Pastor Paroki Parid, yang
melayani kota kecil. Perabumulih dan Karang Endah, wilayah keuskupan
Palembang. Umat di daerah itu sekitar lima ratus saja. Barangkali Romo
Daru melobi untuk dia (Wis belum berhasil menemui dia untuk
berterimakasih atau konfirmasi). (Saman, 2002: 57).

Kemunculan tokoh Romo Daru yang berkedudukan sebagai pastor senior

di atas, merupakan gambaran kehidupan pengarang. Dalam menulis cerita,

pengarang cenderung menulis tentang pastor dan suster. Cerita-cerita yang

pengarang tulis agak religius. Pengarang menggunakan kata-kata dalam bidang

agama seperti Romo, Uskup, Pastor. Kata-kata tersebut merupakan istilah yang

terdapat dalam agama Katolik. Pengarang bisa secara jelas menceritakan sesuatu

yang berhubungan dengan agama Katolik. Hal ini merupakan gambaran

kehidupan pengarang, yaitu pengarang menganut kepercayaan agama Katolik.


74

Sebagai penganut agama Katolik, pengarang masih menyisakan waktunya untuk

membaca Alkitab yang merupakan satu-satunya buku yang ia baca dari kecil

sampai dewasa. Alasannya, Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya dan ditulis

oleh orang dengan gaya masing-masing ada yang berbentuk buku, puisi, bahkan

surat menyurat. Jadi, wajarlah kalau dalam novel Saman terdapat petikan-petikan

ayat Alkitab.

Setelah melakukan perjalanan jauh menuju tempat tugasnya Saman

beristirahat. Di kamar tidur kepastoran Saman mengalami kegelisahan. Ia telah

melihat kesengsaraan di balik kota-kota maju, tetapi belum pernah ia menyaksikan

keterbelakangan yang dialami oleh Upi. Upi adalah anak dari salah satu

transmigrasi Sei Kumbang yang bertempat di Lubukrantau yang mengalami

kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat

dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dan pemerintah untuk

merawat orang-orang seperti Upi, sehingga Upi harus dikurung dan dikerangkeng

di sebuah tempat yang dianggap tidak layak untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya

saja memanfaatkannya atau mempermainkannya dan tidak ada hukum yang

melarang perbuatan mereka.

Permasalahan di atas merupakan permasalahan yang dihadapi oleh kaum

perempuan. Adanya ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada

tahun 1990-an yang tercermin dalam novel Saman yang dimunculkan melalui

tokoh yang bernama Upi. Keadaan ini dikritik oleh pengarang dengan cara

menampilkan tokoh Saman sebagai seorang yang peduli pada penderitaan. Saman

berusaha untuk menyelematkan Upi dengan membuatkan rumah perlindungan


75

yang lebih bagus bagi Upi. Semua ini ia lakukan dengan cara meminta izin kepada

Mak Argani yang merupakan orang tua Upi untuk membuatkan tempat yang lebih

baik untuk tempat tinggal Upi. Saman diperbolehkan untuk membangun tempat

tinggal Upi yang lebih sehat dan menyenangkan. Dengan membangun tempat

tinggal yang lebih baik, Saman berharap dapat lebih meringankan penderitaan

Upi. Saman begitu memikirkan keselamatan Upi. Sampai-sampai ia memilih

untuk tinggal lebih lama bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Dengan

bertempat tinggal bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang Saman bisa

selalu melihat Upi dan bisa selalu menjaganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

di bawah ini:

“Ketika waktunya gips pada kaki Upi dibuka, Wis meminta izin dari pastor
kepala, Pater Wastenberg, untuk pergi lima hari, berangkat Senin siang
kembali Sabtu pagi. Kali ini ia membawa gergaji rantai. Juga segulung
kawat pagar, satu sak semen, dan beberapa lembar seng yang didapatnya
dari toko bangunan Kong Tek. Orang Cina itu memberinya dengan cuma-
cuma. Ia juga berbekal mi instan, sekantong beras ukuran lima liter, dan
abon. Sekali lagi Rogam mengantarnya dengan jip Ichwan. Mereka
membawa seorang dokter muda dari puskesmas. Tengah hari Rogam dan
dokter itu kembali ke utara, namun Wis tinggal di Lubukrantau, dusun
tempat tingal Upi itu adalah salah satu desa di daerah transmigrasi Sei
Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan
membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti
membikin kurungan besar bagi perkutut dan cicakrawa ayahnya sebab
melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka”. (Saman,
2002: 73-74).

Saman juga tidak tahan melihat kemunduran petani yang terjadi pada

penduduk transmigrasi Sei Kumbang yang harus pergi meninggalkan desa karena

harga karet mereka terus menerus diserang cendawan putih ataupun merah.

Orang-orang tidak bisa lagi menggantungkan diri dari hasil panen karet. Saman

berusaha untuk memperbaiki keadaan petani di Lubukrantau.


76

Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi masalah yang

dihadapi oleh Saman adalah dengan cara memunculkan tokoh Pater Wastenberg,

Pak Sarbini, dan Sudoyo. Pater Wastenberg adalah pastor kepala di gereja tempat

Saman diangkat menjadi pastor. Pastor Wastenberg memberikan kesempatan

kepada Saman untuk melakukan rencana memperbaiki keadaan petani penduduk

transmigrasi Sei Kumbang. Walaupun awalnya Pater Wastenberg tidak setuju atas

keputusan Saman untuk melakukan hal ini, karena ia dianggap telah

menyepelekan pelajaran gereja. Ia kerap dipersalahkan karena acap meninggalkan

kewajiban itu. Ia lebih sering pergi ke penduduk transmigrasi Sei Kumbang

daripada melayani dan memelihara iman umat di sana. Akan tetapi setelah

mendengar alasan-alasan yang diucapkan Saman, Pater Wastenberg akhirnya

menyetujui akan keputusan yang diambil oleh Saman. Bahkan Pater Wastenberg

berani mengusulkan agar Uskup memberi Saman pekerjaan kategorial di

perkebunan, jika Saman berhasil dalam usahanya. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan di bawah ini:

“Si pater Belanda mengamati Wis, akhirnya dengan iba menyerahkan


kepada pemuda itu. Apa yang bisa saya lakukan untukmu? tanpa restu
Bapa Uskup, tak ada bujet untuk rencana-rencanamu. Uang sakumu amat
kecil, saya kira. Namun, agak untung juga bahwa kamu memilih menjadi
imam praja, sehingga kamu bisa mengelola uang lepas dari ikatan ordo.
Jika kamu bisa mengusahakan dana sendiri satu bulan. Satu minggu
sisanya kamu harus di ada paroki. Jika saya melihat hasilnya, saya berani
mengusulkan agar Uskup memberimu pekerjaan kategorial di
perkebunan.” (Saman, 2002: 82).

Pengarang selain memunculkan tokoh Peter Wastenberg sebagai tokoh

yang memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi Saman, pengarang juga

memunculkan tokoh yang bernama Pak Sarbini. Pak Sarbini adalah teman lampau
77

ayah Saman yang kini menjadi tengkulak karet Sukasari di kawasan transmigrasi

Jawa yang letaknya bersebelahan dengan transmigrasi Sei Kumbang. Saman

membutuhkan jaringan yang berpengalaman dengan jalur jual beli dan pengolahan

getah lateks. Semua itu Saman dapatkan dari Pak Sarbini. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan di bawah ini:

… Esoknya ia juga menghubungi Pak Sarbini. Teman lampau ayahnya itu


kini juga menjadi tengkulak karet di Sukasari, kawasan transmigrasi Jawa
yang letaknya bersebelahan dengan Sei Kumbang yang dihuni transmigran
lokal. Lelaki itu keturunan buruh Jawa yang dibawa Belanda ke
perkebunan karet Deli tahun 1930-an. Dia ikut pendidikan bintara, namun
kemudian bertugas dalam Bimas desa-desa transmigrasi. Pak Sarbini
begitu berpengalaman dengan jalur jual-beli dan pengolahan getah lateks.
Wis membutuhkan jaringan itu. (Saman, 2002: 83).

Selain itu, pengarang juga memunculkan tokoh bernama Sudoyo yang

merupakan orang tua Saman. Sudoyo mengabulkan permohonan yang diajukan

Saman yaitu dengan memberikan modal kepada Saman sebesar lima atau enam

juta rupiah. Dengan pemberian modal tersebut Saman bisa menjalankan

rencananya untuk memperbaiki pertanian penduduk transmigrasi Sei Kumbang.

Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

Wis berterima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa.


Setelah mandi, yang pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada
ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita dan kerinduan seperti biasanya,
namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal, sekitar lima atau
enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya.
(Saman, 2002: 83)
Ayahnya memberi balasan setuju. Lalu Wis kembali ke Lubukrantau. Upi
menjerit-njerit senang ketika mendengar suara pemuda itu. Tapi ia
menemui gadis itu sebentar saja, sebab ia hendak membicarakan sesuatu
yang serius dengan ibu dan abangnya. (Saman, 2002: 83).

Setelah semuanya terkumpul Saman menawarkan kerja sama dengan

keluarga Argani yang luasnya dua hektar. Mereka menyetujui rencana Saman.
78

Keesokan harinya Saman bersama keluarga Argani mulai memperbaiki lahan,

memusnahkan tanaman yang sudah tidak bisa diselamatkan, dan menanami

kembali dengan pohon karet yang baru. Berkat bantuan mereka perkebunan karet

penduduk transmigrasi Sei Kumbang ini menjadi lebih baik. Hal ini tampak pada

kutipan di bawah ini:

“Waktu itu petani Lubukrantau sudah mulai menakik getah karet muda
yang mereka enam tahun lalu, sebagai ganti pohon-pohon yang tumbang
dimakan kapang. Bibit-bibit PR dan BPM itu sebagian dibeli Wis dan
dibiakannya sendiri. Sebelumnya, ketika sebagian pohon-pohon belum
siap disadap, orang-orang menderes tanaman tua serta memanen kedele
dan tumbuhan tumpang sari. Lalu berkat bantuan Pak Sarbini, bundel-
bundel smoked sheet yang diproduksi rumah asap sederhana di dusun itu
cukup mendapatkan pasarnya.” (Saman, 2002: 87)

Ketika kebun karet milik penduduk Sei Kumbang sudah mulai membaik.

Saman memenuhi permintaan Pater Wastenberg untuk membantunya di

Perabumulih setiap satu pekan dalam sebulan. Saat Saman kembali ke

Lubukrantau terjadi peristiwa yang menimpa Upi. Dua lelaki menjebol pintu

rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini telah berumur dua puluh satu tahun

dan mereka juga menghancurkan menara kincir yang dulu dibangun sebagai

pembangkit listrik mini buat rumah asap. Anson yang merupakan kakak Upi

merasa yakin bahwa pemerkosaan dan perobohan menara kincir itu adalah sebagai

salah satu bentuk teror dari orang-orang yang hendak merebut lahan penduduk

transmigrasi Sei Kumbang. Orang-orang itu sengaja melakukannya untuk

mengancam penduduk transmigrasi Sei Kumbang agar mau menyerahkan kebun

mereka untuk dijadikan kebun kelapa sawit, karena ada sebagian penduduk Sei

Kumbang yang tidak menyetujui usul tersebut. Saman berusaha membantu untuk

membebaskan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan sewenang-


79

wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui PT ALM. Akan tetapi

Saman malah dituduh sebagai orang yang telah mengkristenkan orang-orang

Lubukrantau dan mengajari keluarga Argani berburu dan makan babi hutan.

Melihat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha

melalui PT ALM, akhirnya Saman melakukan perlawanan dengan cara Saman

memutuskan untuk pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret

desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang telah maju. Saman

juga mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Setelah koran-koran mulai

menulis serta mengirim wartawan ke lahan transmigrasi Sei Kumbang, orang-

orang yang akan menggusur dusun tersebut tidak lagi bolak-balik dengan

membawa blanko kosong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

“Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke


Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan
mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju. Ia
mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang
menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan
menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa datanglah sendiri dan
tengok desa kami. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim
wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik
dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi
tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun” (Saman, 2002: 92-93).

Usaha yang dilakukan oleh Saman untuk mengatasi permasalahan di atas

merupakan gambaran dari kegiatan pengarang yang memiliki profesi sebagai

wartawan. Kegiatan yang dilakukan oleh Saman seperti memotret desa, dan

mengumpulkan data-data di atas merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang

wartawan ketika ia akan menulis berita. Pengarang bisa menceritakan secara jelas

tentang kegiatan seorang wartawan. Sebelum menjadi penulis novel, pengarang

pernah menjadi wartawati di majalah Matra dan Forum. Ia juga menjadi salah
80

satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen. Pengarang lebih banyak menulis esei

serta reportase dari pada menulis fiksi. Pengarang juga pernah menjadi wartawan

di majalah khusus trend pria. Bahkan ia sudah mengisi kolom tetap, sketsa, di SK

Berita Buana, yang isinya berupa renungan tentang berbagai soal politik.

Menurutnya menulis novel merupakan cara untuk mengeksplorasi bahasa

Indonesia, bahasa yang masih muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai

wartawan. Seorang wartawan dituntut untuk memperhitungkan publik baik latar

belakang, pengetahuan, maupun tingkat emosionalnya. Ditambah lagi wartawan

bisa keluar dari fakta yang menurut pengarang dilematis. Jadi sulit untuk bisa

mengembangkan bahasa yang eksploratif.

Usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha

penggusuran dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun. Akan

tetapi orang-orang tersebut menggunakan cara lain supaya penduduk transmigrasi

Sei Kumbang mau melepaskan tanahnya. Tindakan yang mereka lakukan adalah

dengan cara menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer. Aparat

militer melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Mereka meneror, menindas,

memperkosa, bahkan membunuh.

Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-

temannya berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi

protes dan perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap

dan dimasukkan ke ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya

berhasil lolos dari kejaran aparat militer. Selama di ruang penyekapan Saman
81

selalu disiksa untuk dimintai keterangan tentang keberadaan Anson dan teman-

temannya. Saman sudah putus asa akan keadaan yang menimpanya.

Permasalahan mengenai penindasan yang dilakukan oleh aparat militer

pada penduduk Sei Kumbang di atas merupakan gambaran atau cerminan dari

peristiwa yang terjadi pada masa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto

pada waktu novel tersebut ditulis. Pada masa Orde Baru ini muncul konflik

persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan. Peristiwa itu

membawakan persoalan peka bagi masyarakat yaitu akan diubahnya kebun karet

menjadi kebun kelapa sawit. Masyarakat tidak setuju akan perubahan itu, hal ini

membuat oknum penguasa Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang

yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan

kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk transmigrasi Sei

Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.

Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi permasalahan yang

sedang dihadapi oleh Saman yaitu dengan cara memunculkan tokoh yang bernama

Anson. Anson berhasil melarikan Saman dari ruang penyekapan dan

mengantarkannya ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat untuk menjalani

perawatan. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.

Tapi didengarnya suara-suara itu. Betul, suara-suara yang dirindukannya,


yang meninggalkan dia sejak dipenjara. Makin lama makin ramai di
sekelilingnya, seperti nyamuk, seperti membangunkan atau
membingungkannya. Lalu ia merasa ada energi menyusup ke dalam
tubuhnya, ada nyawa-nyawa masuk ke raganya. Dan ia merasa begitu
ringan, seperti ia bayangkan pada orangyang sedang trans, seperti
kelebihan tenaga untuk tubuhnya yang telah menjadi kurus. Rasanya ia
bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah kropos oleh api,
lalu di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah
82

apa yang mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai pada pintu terakhir.


(Saman, 2002: 108-109)

Wis tidak mau ke Perabumulih, sebab ia khawatir orang-orang yang


menyelidiki dirinya mengintai pastoran. Berbahaya bagi Anson,
kawannya, dan dia sendiri, serta gereja. Ia minta diantar ke rumah suster-
suster Boromeus di Lahat. Di sana, ia berpisah dari Anson dan teman-
temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat ia tidur.
(Saman, 2002: 110)

Pada saat Saman dalam persembunyian untuk menghindari kejaran polisi,

karena Saman dituduh sebagai dalang dalam peristiwa yang terjadi di

Lubukrantau, tiba-tiba Yasmin datang menemui Saman. Yasmin membujuk

Saman untuk melarikan diri ke luar negeri. Saman merasa tidak mempunyai

cukup waktu untuk menimbang-nimbang tawaran. Akhirnya ia menyetujui usul

itu, karena menurutnya semakin lama menunda keputusan, semakin sulit untuk

keluar dari negeri ini dan menghindari kejaran polisi.

Untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi Saman dalam usahanya

untuk melakukan pelarian ke luar negeri, pengarang memberikan solusi yaitu

dengan memunculkan tokoh yang bernama Yasmin dan Cok. Yasmin dan Cok

membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dengan mengirimnya ke New

York. Mereka melarikan Saman keluar dari Medan dengan cara melakukan

penyamaran pada diri Saman. Yasmin telah menyiapkan segala hal dengan rapi.

Walaupun proses pelarian ini cukup berbahaya, tetapi Yasmin dan Cok dapat

melampaui rintangan itu dan berhasil melarikan Saman ke New York.

Perempuan dalam novel Saman seperti Yasmin dan Cok di atas adalah

cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1990-an. Jaman sudah semakin

berkembang, perempuan Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup


83

pesat. Mereka mempunyai kepercayaan diri dan pengetahuan luas, sehingga peran

mereka tidak hanya sebagai istri atau ibu. Mereka merupakan perempuan yang

sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria. Saman sebagai laki-laki malah

ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok, ketika Saman melakukan

persembunyian ke luar negeri. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai

batasan dalam memilih peranan mereka. Tiga diantara empat karakter perempuan

belum menikah pada usia tiga puluhan dan peren mereka tidak sebatas istri atau

ibu. Mereka bisa menikmati pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi

mereka, melakukan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga

bagi perkembangan kepribadian mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan di bawah ini:

“Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang


nyonya melayu yang sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid
SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas Yasmin dan Laila waktu
remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku sudah
mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka
masih kecil. Cuma Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim
surat. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari
Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan membawaku
keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini.
Tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata
mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur
rambut, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka
mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah hotelnya di
Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih
seperti ia biasa bekerja.” (Saman, 2002: 175)

Selain itu, pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Laila, Cok,

Shakuntala dan Saman yang belum menikah pada usia tiga puluhan ini,

merupakan gambaran dari pengarang yang sampai sekarang belum menikah,

bahkan ia memutuskan untuk tidak menikah. Pengarang ingin menghimbau atau


84

mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah.

Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin

menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya

hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan

seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubugan seks di luar

pernikahan. Usaha yang ingin disampaikan pengarang dapat dilihat dari

pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Shakuntala, dan Cok yang dapat

melakukan hubungan seksual dengan sejumlah laki-laki dan diantara mereka

belum ada ikatan pernikahan. Selain itu, Yasmin sebagai tokoh yang sudah

mempunyai suami dapat melakukan hubungan seksual dengan tokoh yang

bernama Saman yang bukan suaminya sendiri. Hal ini tampak pada kutipan di

bawah ini:

“Namun tak kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak
kecil: terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus.
Tubuh kami berhimpit gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat
mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak peduli, ia menggandengku
ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya. Ketika
usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa
sehingga aku terlelap.” (Saman, 2002: 177).

Usaha yang dilakukan Yasmin dan Cok dalam usahanya melarikan Saman

ke luar negeri untuk menghindari kejaran polisi di atas, merupakan gambaran dari

kegiatan yang pernah dilakukan oleh pengarang. Pengarang pernah menjadi

aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers. Awalnya pengarang tidak berniat

untuk menjadi seorang aktivis. Akan tetapi pengarang merasa tersentuh setelah ia

melihat keadaan teman-temannya yang terlibat secara langsung di Aliansi

Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian dari
85

kejaran polisi. Pada saat itu pengarang berkedudukan hanya sebagai kurir atau

penghubung yang bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan.

Dengan penampilannya ia memang bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga

mereka sama sekali tidak curiga akan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang

aktivis, sosoknya cukup bersih dan rapi. Hasilnya, sepak terjangnya sebagai

seorang aktivis tidak pernah tercium oleh pihak aparat.

Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh

problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh

problematik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang

dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu pengarang mempunyai rasa simpati

pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang

berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi

perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara

laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang

diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada

tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.

Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik

(problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan

dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi

merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu

kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di

dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak
86

memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan

kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu.

B. Pembahasan

Novel Saman karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan

masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari

kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde

Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an). Novel Saman merupakan gambaran

peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan pada masa Orde

Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan

diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat

merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum

penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa

penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk

mempengaruhi pikiran petani, penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror,

menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Pada masa itu juga terjadi kerusuhan

yang disebabkan unjuk rasa buruh yang memunculkan wajah rasis.

Pemerintah dalam menanggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan

menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer

yang membela kepentingan Soeharto, yang semakin brutal dan tidak

terkendalikan. Tuntutan itu dijawab dengan pentungan, gas air mata, aksi

penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan Tindakan sewenang-wenang yang

dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis
87

untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan adanya LSM

ini, bukannya membawa keadaan semakin membaik, tetapi LSM dianggap sebagai

gerakan kiri atau gerakan yang melawan pemerintah. Pada masa rezim Soeharto,

LSM selalu diidentikkan sebagai “agen dan antek asing”, “penjual”, dan

“pengkhianat bangsa”. Peryataan ini dilakukan untuk mengurangi keberadaan

LSM di mata rakyat, mengingat LSM saat itu adalah satu-satunya elemen

masyarakat yang kritis terhadap pemerintah Soeharto. Posisi LSM dan rezim

Soeharto selalu dalam posisi berlawanan. LSM telah dituduh berpolitik dan

mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, wajar bila pemerintah selalu mencurigai

aktivis LSM. Pemerintah juga melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan

terhadap aktivis-aktivis LSM.

Selain itu, novel Saman juga bercerita mengenai perjuangan seorang

pemuda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor

harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang tertindas oleh negara melalui

aparat militernya. Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan

menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan

hubungan seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam

novel Saman antara lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka muda,

berpendidikan dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar

cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-

pertanyaan mereka dalam mendefinisikan seksualitas perempuan.

Kemunculan novel Saman menjelang saat-saat jatuhnya rezim Soeharto

pada tahun 1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena isinya
88

yang dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik

mengenai represi politik, intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada

pihak-pihak yang mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan

panas dalam membicarakan persoalan seks. Banyak pula yang memujinya karena

penggambaran novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan.

Kehadiran karya sastra dalam bentuk novel tentu akan memberi solusi dari

banyaknya permasalahan di lingkungan masyarakat. Salah satu penyebabnya

adalah perebutan kekuasaan. Dengan membaca novel, orang dapat secara gratis

menikmatinya, sehingga pesan sosial yang ada di dalamnya dapat lebih dinikmati

masyarakat luas dan dapat dijadikan sebagai suatu pembelajaran.

Seperti halnya strukturalisme genetik dalam novel Saman karya Ayu

Utami bisa dijadikan sebagai pembelajaran bagi pelajar dan masyarakat luas

sehingga lebih memerhatikan pesan-pesan sosial yang terkandung di dalam novel.

Novel ini juga bisa dijadikan spirit baru bagi para penikmat sastra untuk

menghasilkan karya sastra seperti novel yang dapat memberikan nilai sosial bagi

masyarakat. Bukan menomorsatukan penghasilan dari sebuah novel, tapi harus

memerhatikan dampak yang akan muncul dari karya novel itu sendiri apabila

sudah dibaca oleh para penikmat sastra.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini, diperoleh kesimpulan

yaitu:

1. Eksistensi tokoh Wisanggeni/Saman terlihat dalam konflik yang dialami, bukan

hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya

sendiri pun terjadi sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal,

dia adalah seseorang yang pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang

tak lagi diragukan akan keimanannya tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya

membuat perubahan drastis dalam diri Wis. Dengan alasan politis dan keamanan

dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya dengan nama Saman lalu

melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan

imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang

tertindas.

2. Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari

pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai

wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu

persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan

politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang

ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu

untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya,

89
90

ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri,

karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata

prediksinya salah novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu

bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu,

termasuk membicarakan seks secara terbuka.

3. Konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara

penduduk transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang

tertekan akan kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet.

Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja yang

dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah

keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial

dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.

4. Padangan dunia pengarang dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu

pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk

transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan

bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin

menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari

adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh

problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan

latar belakang lingkungan sosial pengarang.


91

B. Saran

Berdasarkan hasil yang telah dicapai maka disarankan:

1. Bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia hendaknya

melestarikan sastra dan mengembangkannya dengan melalui pendekatan

sosiologi sastra maupun pendekatan lainnya.

2. Bagi penikmat sastra khususnya mahasiswa yang ingin memahami suatu karya

sastra diharapkan supaya aktif mempelajari dan menganilisis karya-karya

sastra, utamanya novel agar kemampuan mengapresisasi yang dimiliki dapat

berkembang.

3. Sudah sepatutnya uraian dalam tulisan ini tidak hanya sekadar kritik ilmiah

bagi penulis dan pembaca, tetapi dapat memberikan hikmah ilmiah dan dapat

dijadikan pelajaran berharga menyikapi permasalahan dalam kehidupan.

4. Kiranya dalam penelitian ini merupakan motivasi bagi pembaca untuk

mengkaji aspek-aspek lain dari novel berbobot lainnya sebagai suatu motivasi.

Jika perlu ada baiknya kalangan mahasiswa Pendidikan Jurusan Bahasa dan

Sastra Indonesia memberdayakan pengkajian semacam ini sebagai suatu

bentuk kegiatan apresiasi.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Ahya. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Aziz, Siti Aida. 2011. Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi. Surabaya: Bintang
Surabaya.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra. Jakarta. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Sastra.

Darma, Budi. 1999. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algensido Bandung.

Endraswara, Suwardi. 2003. Sosiologi Sastra Studi Teori dan Interpretasi.


Yogyakarta: Ombak.

_________, 2013. Sosiologi Sastra Studi Teori dan Interpretasi. Yogyakarta:


Ombak.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hasan. 2013. Pengertian Sastra Secara Umum dan Menurut Para Ahli (Online).
(http://jenggala.blogspot.com/2013/01/pengertian-sastra-secara-umum-dan
.html. 14 Februari 2014).

Jabrohim. 1994. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________, 2001. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________, 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Junus Umar. 1988. Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldman. (online)


http: www. Uns.ac.id./cp/penelitian.php?act=det&idA=159. 28 Februari
2015.

Kasmawati. 2013. Nilai Pendidikan dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna
Pabicahara. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Fkip Unismuh Makassar.

Maryani. 2011. Analisis Strukturalisme Genetik dalam Novel Ketika Cinta


Bertasbih 1 Karya Habiburrahman El Shirazy. Skripsi tidak diterbitkan.
Semarang: Ikip Semarang.

Musyaropah, Siti. 2011. Analisis Stratifikasi Sosial dalam Novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetiyo dan Alternatif Materi
Pembelajaran di SMA. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Ikip
Semarang.

Pradopo, Rahmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:


Gama Media.

Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra Peranan Unsur-unsur


Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rimang, Siti Suwadah. 2011. Kajian Sastra Teori dan Praktik. Yogyakarta: Aura
Pustaka.

Satriani. 2013. Analisis Nilai Pendidikan novel Sujud Nisa di Kaki Tahajjud
Subuh karya Kartini Nainggolan. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Fkip
Unismuh Makassar.

Semi, M Atar. 1987. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

_________, 1989. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Siswanto, Wahyudi. 2013. Pengantar Teori Sastra. Malang: Aditya Media


Publishing.

Somarjo, Jacob. 1982. Memahami Kesusastraan. Bandung: Erlangga.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 2003. Sastra Dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya

Wellek dan Warren, Rene Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

_________ 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_________, 2013. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wiyatmi. 2013. Bahan Ajar Sosiologi Sastra (Online).


(https://www.google.com/search?ie=UTF-8&source=androidbrowserq=teo
ri+sosiologi+sastra+indonesia. 22 Juni 2014).

Woellandhary, Yemmi. 2013. Bahasa Sastra Indonesia (Online).


(http://yemmiwoellandhary.blogspot.com/2013/05/sosiologi-sastra.html?m
=1. 22 Juni 2014).
Yuningsi, Neni Sri. 2010. Analisis Strukturalisme Novel Yang Kedua Karya
Riawani Elyta. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Fkip Unismuh
Makassar.

Fananie, Zaenuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University


Press.
Judul : Saman
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Gramedia
Ketebalan Buku : 198 halaman
Tahun Terbit : 2002

SINOPSIS

Novel Saman ini mengisahkan tentang 4 sahabat yang telah menjadi

sabahat dari SD, mereka adalah Laila, Cok, Yasmin, dan Shakuntala. Mereka

mempunyai obsesi yang sama tentang laki-laki.

Laila jatuh cinta kepada Sihar yang sebelumnya Laila jatuh cinta pada

seorang pastor bernama Wisanggeni, Laila menjadi terlibat sangat jauh dengan

masalah yang dihadapi Sihar sehingga mereka menjadi sangat dekat, masalah

yang menuntut keadilan terhadap atasannya yang menyebabkan sahabat Sihar

meninggal karena kelakuan atasannya. Sihar dan Laila tepaut cinta yang

seharusnya tidak boleh terjadi diantara mereka, karena Sihar telah mempunyai

istri dan seharusnya Laila tidak boleh menjalin cinta kepada laki-laki yang telah

mempunyai istri.

Yasmin adalah seorang pengacara yang selalu membela pihak yang

dirugikan tanpa berharap imbalan, Yasmin sudah menikah. Berbeda dengan Cok

yang selalu berganti-ganti pasangan dan dikenal sebagai wanita yang binal.

Shakuntala yang merupakan sahabat dari Cok, Yasmin dan Laila yang mendapat

beasiswa seni tari di New York, dengan mendapatkan beasiswa di New York
Shakuntala mempunyai maksud untuk menjauhi ayahnya. Keempat sahabat ini

memilki jiwa social yang tinggi yang menimbulkan mereka terlibat dalam

masalah yang serius yaitu masalah yang menimpa Sihar dan Wisanggeni.

Mengatasi masalah yang tengah dihadapi Sihar, yang menuntut keadilan

karena kecerobohan sang atasan salah satu rekan kerja sihar meninggal. Sihar

yang dibantu oleh Wis dan Yasmin yang merupakan pengacara berusaha

menuntaskan masalah tersebut. Karena masalah tersebut Laila dan Sihar menjadi

sangat akrab hingga mereka berdua merencanakan untuk berkencan, namun

kencan tersebut digagalkan oleh Sihar karena tek tega lantaran Laila masih

perawan.

Wisanggeni yang terlibat masalah serius disuatu daerah bernama

perabumulih, disana Wisanggeni bertemu dengan Upi seorang gadis yang

terganggu kejiwaannya, penyakit gangguan jiwanya tersebut dimafaatkan oleh

para lelaki yang tidak bertanggung jawab, Wisanggeni bertemu Upi, ketika Upi

terjebur dalam sumur, entah karena apa Wisanggeni memandang Upi berbeda dan

Wisanggeni ingin menolongnya, hingga Wisanggeni mengantarkan Upi pulang

kesuatu desa. Sesampainya Wisanggeni di desa tersebut dia mendapatkan

kenyataan bahwa Upi mengalami gangguan jiwa yang harus dimasukkan dalam

kandang dengan kaki terantai. Orang tua Upi menjelaskan bahwa mereka terpaksa

melakukan itu karena Upi sudah keterlaluan karena hampir membahyakan orang

disekitar, Upi yang dalam sakit gangguan jiwa tersebut, sering merasakan

masturbasi yang membuat Wisanggeni semakin prihatin.


Hampir setiap minggu Wisanggeni pergi ke desa Upi untuk membangun

tempat yang layak untuk Upi, hingga suatu hari Wisanggeni terlibat terlalu dalam

pada masalah didesa tersebut yaitu membantu perekonomian warga yang ada

didesa tersebut, Wisanggeni dapat membantu mereka dengan bantuan dana dari

ayahnya serta izin dari kepala pastor untuk membantu desa tersebut. Didesa itu

Wisanggeni membuat pembangkit listrik dan menanam pohon karet yang

perlahan-lahan membuat perekonomian warga didesa tersebut mulai membaik.

Namun, rencana mereka tidak lancar, karena keputusan pemerintah yang

mengalihkan pengolahan lahan tersebut pada perusahaan swasta perkebunan

kelapa sawit. Tentunya keputusan pemerintah tersebut sangat merugikan warga

desa, sehingga Wisanggeni dan warga desa bersikukuh untuk mempertahankan

perkebunan karet yang perlahan-lahan membuat perekonomian warga tersebut

semakin membaik. Namun, teror demi teror menyerang desa tersebut hingga suatu

ketika warga desa dan Wis terjebak. Sehingga perkebunan tersebut dapat dikuasai

oleh perusahaan swasta dan Wisanggeni ditangkap dan siksa dalam penjara

dipaksa mengaku hal yang sebenarnya tidak Wisanggeni lakukan. Wisanggeni

merasa sangat bersalah dan kecewa kapada dirinya sendiri karena Upi tidak dapat

diselamatkan.

Laila dan Sihar berjanji akan berkencan di New York. Namun, Sihar tidak

menepati janji, sehingga menyulut kemarahan Shakuntala yang merupakan

sahabat Laila. Namun, Laila selalu membela Sihar dan mengagungkan Sihar,

Shakuntala tidak habis pikir dengan laila yang selalu setia mencintai orang,
berbeda dengan Shakuntala yang selalu berganti pasangan yang sesuai dengan apa

yang dinginkannya.

Wisanggeni berhasil keluar dari penjara, kemudian dia mengirim surat ke

ayahnya, dia meminta bantuan untuk dikirimi uang dan meminta ayahnya untuk

memberi tahu Yasmin bahwa Wisanggeni membutuhkan bantuan, akhirnya

Yasmin membantu Wisanggeni. Yasmin mengusulkan agar Wisanggeni pergi dari

Indonesia, Yasmin dan Cok membantu penyamaran Wisanggeni dengan sangat

rapi sehingga tidak ada orang yang mengenali Wisanggeni. Wisanggeni dilarikan

ke New York tanpa sepengatuhuan orang lain. Namun, tengah perjalanan itu

Yasmin tidak bisa menahan perasaan sedihnya karena kepergian Wisanggeni.

Akhirnya, mereka melakukan hubungan terlarang yang seharusnya tidak boleh

dilakukan oleh seorang pastor.

Selama wisanggeni pergi ke New York dia berganti nama menjadi Saman.

Saman menjadi sangat dekat dengan Yasmin dan sangat mencintai yasmin .

Perasaan dan nafsu yang selama ini di pendam selama ia menjadi pastor, kini

berubah menjadi perasaan penuh cinta terhadap Yasmin.


BIOGRAFI PENGARANG

Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai

novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan

di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi

Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga

Katolik.

Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra

Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism,

Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program,

Tokyo, Japan (1999). Ayu menggemari cerita petualangan, seperti Lima

Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain itu, ia menyukai musik tradisional dan

musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah

Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.

Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok

senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia

masuk dalam dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum

Keadilan, dan D & R. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan

menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian

Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut

membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan

kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan

peneliti di Institut Studi Arus Informasi.


Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel.

Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu

menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap

sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia

memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel

tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus

menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam

sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal

Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman

dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.

Karya-Karya Ayu Utami:

a. Novel Ayu Utami

1. Saman (1998)

2. Larung (2001)

3. Bilangan Fu (2008)

4. Manjali dan Cakrabirawa (2010)

b. Kumpulan Esai

1. Si Parasit Lajang (2003)

2. Cerita Cinta Enrico (2012)

3. Soegija: 100% Indonesia (2012)


Penghargaan

1. Pemenang Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta

tahun 1998 untuk novelnya Saman

2. Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang

bermarkas di Den Haag, tahun 2000

3. Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya

Bilangan Fu
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN

SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Santi

Nim : 10533 6736 11

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Skripsi : Analisis Srukturalisme Genetik dalam Novel Saman


Karya Ayu Utami

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim
penguji adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau
dibuatkan oleh siapapun.

Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia menerima sanksi
apabila pernyataan ini tidak benar.

Makassar, Agustus 2015


Yang Membuat Pernyataan

Santi

Diketahui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Anshari, M. Hum. Dr. Sitti. Swadah Rimang, M. Hum.

v
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN

SURAT PERJANJIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Santi

Nim : 10533 6736 11

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut :


1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya
akan menyusun sendiri skripsi, saya akan (tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan
pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam penyusunan skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti butir 1, 2 dan 3, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Makassar, Agustus 2015


Yang Membuat Perjanjian

Santi

Mengetahui
Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. Munirah, M. Pd.


NBM. 858 623

vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Santi, Lahir pada tanggal 15 Juli 1993 di Desa

Sabalana, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten

Pangkajene. Merupakan buah kasih sayang dari

Ayahanda H. Buding dan Ibunda Hj. Sittinang sebagai

anak keenam dari Sembilan bersaudara.

Pada tahun 1999, penulis memasuki jenjang

pendidikan formal di SDN 27 Pulau Sanane dan berhasil menyelesaikan pada

tahun 2005, kemudian pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan lanjutan

tingkat pertama di SMP Negeri 13 Makassar dan selesai pada tahun 2008,

kemudian melanjutkan di tingkat lanjutan atas di SMA 10 Antang dan selesai

pada tahun 2011. Setelah menempuh pendidikan tingkat menengah atas, pada

tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah

Makassar, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Berkat Rahmat Allah swt yang disertai iringan doa kedua orang tua dan

saudara. Perjuangan panjang penulis yang penuh suka dan duka di dalam

mengikuti pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar sehingga dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Strukturalisme Genetik dalam Novel

“Saman ” Karya Ayu Utami”.


L

LAMPIRAN
Lampiran 1

S
Lampiran 2

PENGARANG
Lampiran 3

Anda mungkin juga menyukai