ABSTRAK
Penyakit jantung coroner merupakan kondisi yang terjadi akibat adanya
sumbatan kerena plak yang mengakibatkan alirah darah ke otot jantung
terhambat dan perlu dilakukan tindakan angiography dan PCI. Dalam
pelaksanaan perawatan pasca tindakan PCI tidak lepas dari peran serta perawat
dalam perawatannya. Salah satu fokus perawatan pasca tindakan PCI yang
dilakukan perawat adalah pencabutan sheath. Pencabutan sheath merupakan
suatu tindakan mengeluarkan introducer yang berada di arteri atau vena
femoralis kanan dan dilakukan penekanan supaya tindak terjadi hematom yang
merupakan kompikasi paska pencabutan sheath. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
perawat terhadap pencabutan sheath. Metode penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif. Penelitian dilakukan di ruangan perawatan dewasa RSUD Al-Ihsan
Provinsi Jawa Barat. Sampel penelitian asalah 96 responden dan pelaksanaan
pengambilan data selama satu minggu. Alat pengumpulan data berupa kuesioner
Tingkat Pengetahuan Perawat dengan nilai uji validitas yaitu 0.706 – 0.937 dan
nilai uji reliabilitas adalah 0.985. Analisa data mengunakan uji univariat secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan baik 49.0%, tingkat
pengetahuan cukup 30.2%, tingkat pengetahuan kurang sebanyak 20.8%.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk program pelatihan
perawat dalam meningkatkan asuhan keperawatan.
Kata Kunci : Pencabutan sheath, penyakit jantung coroner, tingkat pengetahuan
Korespondensi:
Susi Susanti Nugrahawati
Program studi Pendidikan Ners STIKes
Budi Luhur Cimahi
Jln. Kerkof No 243 Leuwigajah-Cimahi
Mobile: 082315985040
Email: susisusanti22071992@gmail.com
ABSTRACT
Factors Affecting Nurses’ Knowledge Level of Sheath Removal
Procedures in Adult Care Ward at Al-Ihsan
West Java Province General Hospital
Pendahuluan
Penyakit jantung koroner menjadi ancaman serius bagi masyarakat
karena merupakan salah satu penyakit dengan mortalitas dan morbiditas yang
tinggi di dunia termasuk Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2013). Aterosklerosis merupakan penyebab paling umum penyakit
kardiovaskuler, termasuk penyakit jantung kronis (PJK) (Coronary artery disease/
CAD),penyakit pembuluh darah otak (stroke) dan penyakit pembuluh darah tepi
(Peripheral artery disease/ PAD) [1]. Data WHO 2015 menunjukkan 45%
kematian didunia disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, yaitu
17.7 juta dari 39,5 juta kematian. WHO (World Health Organization)
memperkirakan pada tahun 2020 mendatang, penyakit kardiovaskuler akan
menyumbang sekitar 25% dari angka kematian dan mengalami peningkatan
khususnya di negara-negara berkembang, salah satu diantaranya berada di Asia
Tenggara. Angka kematian yang disebabkan oleh PJK mencapai 1,8 juta kasus
pada tahun 2014, yang artinya PJK menjadi penyakit yang mematikan di
kawasan Asia Tenggara salah satu negaranya adalah Indonesia [2].
Di Indonesia sendiri penyakit jantung koroner menurut Riskesdas [3]
menunjukkan prevalensi Penyakit Jantung di Indonesia sebesar 1,5%, dengan
peringkat prevalensi tertinggi berdasarkan diagnosis dokter dan Jawa Barat
menduduki peringkat ke 7 yaitu 1.6% [3]. Tiap tahunnya, kasus PJK terus
meningkat di Jawa Barat dan salah satunya di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa
Barat yang menjadi rujukan tingkat Kota/Kabupaten serta Jawa Barat.
Berdasarkan studi pendahuluan ke rekam medis RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa
Barat jumlah pasien jantung rawat inap mencapai 792 orang dan rawat jalan
5.329 selama 2021. Sedangkan pasien dengan PJK yang mendapatkan tindakan
PCI pada tahun 2021 mencapai 312 orang [4].
Penyakit jantung coroner merupakan kondisi yang terjadi akibat adanya
sumbatan kerena plak yang mengakibatkan alirah darah ke otot jantung
terhambat. Pemeriksaan corangiography adalah tindakan untuk nebgetahui
lokasi dan luas dari sumbatan tersebut. Setelah diketahui adanya pembuluh
darah yang menyempit maka selanjutnya dilakukan tindakan pemasangan PCI
(Percutaneous Coronary Intervention) atau lebih sering kita dengar dengan
sebutan katetrisasi jantung dan pembuluh darah, prosedur ini merupakan
langkah dalam memperbaiki prognosis dari penyakit jantung koroner serta
mengurangi kejadian iskemik lebih lanjut [5].
Dalam pelaksanaan perawatan pasca tindakan PCI tidak lepas dari peran
serta perawat dalam perawatannya. Salah satu fokus perawatan pasca tindakan
PCI yang dilakukan perawat adalah pencabutan sheath. Pencabutan sheath
merupakan suatu tindakan mengeluarkan introducer yang berada di arteri atau
vena femoralis kanan [5]. Ketika melakukan pencabutan sheath, pasien
diposisikan supine. Dalam pelaksanaannya, telapak jari menekan area
penusukan baik arteri atau vena selama 15 sampai dengan 20 menit. Penekanan
ini dilakukan untuk mencegah kompilkasi paska pencabutan yaitu hematom [6].
Hematom dan perdarahan pada luka merupakan komplikasi yang dapat terjadi
setelah pencabutan pancer (aff sheath) pada pasien yang dilakukan koroner
angiografi baik melalui arteri femoralis, brachialis maupun radialis. [7].
Tindakan pencabutan ini merupakan tindakan invasif yang memerlukan
instruksi dokter dalam pencabutannya. Sebelum melakukan pencabutan sheath
perawat juga harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang riwayat kesehatan
pasien, tehnik yang dilakukan oleh dokter dalam pelaksanaan tindakan,
pergerakan tempat puncture, prosedur perawatan paska pencabutan sheath [8].
Perawat yang diperbolehkan melakukannya juga yang telah mendapatkan
pendidikan khusus dibidang kardiovaskuler dan pelatihan pencabutan sheath
untuk mencegah kompilasi paska tindakan yaitu hematom [8]. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Junaidi dan Astrid (2020) menjelaskan bahwa perawat yang
memiliki pengetahuan baik mayoritas (83.3%) tidak menimbulkan hematoma
pada pasien kateterisasi jantung, sedangkan responden yang memiliki
pengetahuan cukup sebagian besar (69.2%) menimbulkan hematoma pasca
kateterisasi jantung. Dengan demikian disimpulkan bahwa ada hubungan
pengetahuan perawat tentang prosedur pasca kateterisasi jantung dengan
kejadian hematoma pada pasien pasca kateterisasi jantung.
Di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat pecabutan sheath dilakukan oleh
perawat ruang Cathlab, ICCU serta oleh perawat ruang rawat inap. Perawat
ruangan cath lab dan ICCU telah mendapatkan pelatihan kardiologi dasar dan
pencabutan sheath sedangkan untuk perawat ruang rawat sendiri belum pernah
mendapatkan pelatihan penanganan sheath pada pasien pasca tindakan PCI.
Berdasarkan studi pendahuluan, ditemukan sebanyak 12 pasien yang
mengalami hematoma paska aff sheath femoral dari 150 pasien. Meskipun
standar operasional prosedur tentang pelaksanaan pencabutan sheath ini telah
dibuat dan disosialisasikan kepada perawat ruangan, namun fenomena yang
terjadi di lapangan adalah adanya kejadian hematom pada pasien pasca
pencabutan sheath oleh perawat ruangan [4].
Dalam wawancara terhadap perawat ruangan Zaitun RSUD Al-Ihsan
Provinsi Jawa Barat, dua perawat dengan masa kerja lima tahun menyatakan
bahwa sudah pernah mendapatkan pengetahuan tentang pencabutan sheath
dari perawat cathlab dan mempraktekannya dua sampai tiga kali di ruangan.
Seorang perawat dengan masa kerja dua tahun menyatakan sudah pernah
mendapatkan informasi pencabutan sheath tapi belum bisa melakukannya.
Sedangkan dalam wawancara dengan seorang perawat dengan masa kerja satu
mengatakan belum pernah terpapar pengetahuan pencabutan sheath sama
sekali. Berbeda dengan seorang perawat ruangan yang masa kerjanya 10 tahun
mengatakan bahwa sudah tau cara dan hapal SOP pencabutan sheath namum
kejadian hematom di ruangan masih kerap terjadi. Dari hasil wawancara dengan
5 orang perawat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perawat
belum mendapatkan pengetahuan mengenai prosedur pencabutan sheath.
Ketidaktahuan perawat dalam hasil wawancara tersebut karena belum
diadakannya pelatihan tentang pencabutan sheath yang akan mempengaruhi
keterampilan perawat dalam pelaksanaannya. Menurut Rolley [6] terdapat
hubungan antara pengetahuan perawat dengan keterampilan dalam
melaksanakan praktik perawatan kesetahan pada pasien dengan intervensi
kateterisasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Ito [9] yang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan dengan keterampilan perawat.
Pengetahuan merupakan hal yang diperlukan bagi perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan. Menurut Amalia (2013) terdapat kecenderungan bahwa
tingkat pendidikan dan pelatihan memberi efek positif dengan pengetahuan
perawat. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa perawat yang memiliki
pendidikan dan pelatihan lebih tinggi memiliki pengetahuan yang lebih baik.
Perawat dengan tingkat pengetahuan yang kurang dapat menyebabkan
komplikasi, keluhan, dan dapat menyebabkan kematian bagi pasien. kurangnya
pengetahuan akan memberikan dampak pelayanan yang kurang bermutu dan
memperberat kondisi pasien akibat dari perawatan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan [9]. Perawatan atau penatalaksanaan pasien paska pencabutan
sheath memerlukan pengetahuan oleh perawat yang akan mempengaruhi
keterampilan. Pengetahuan dan keterampilan yang memadai akan mencakup
fungsi hemodinamik pasien dan pencegahan kompilasi [6].
Sesuai dengan data yang ditemukan melalui wawancara terhadap
beberapa perawat yang bertugas di ruangan Zaitun masih ditemukan adanya
kejadian hematom dan perdarahan paska pencabutan sheath oleh perawat
ruangan.
Berdasarkan permasalahan diatas, bahwa kurangnya pengetahuan
perawat mengenai prosedur pencabutan sheath membuat kecenderungan
pasien mengalami hematoma. Maka peneliti ingin melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat tentang prosedur pencabutan
sheath di ruangan perawatan dewasa di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat.
Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat tentang prosedur pencabutan
sheath di ruangan perawatan dewasa di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat.
Metode
Penelitian ini telah lulus uji etik dari komite etik penelitian STIKes Budi
Luhur Cimahi dengan Nomor : 05/D/KEPK-STIKes/IV/2022. Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian deskriptif kuantitatif. Teknik Pengambilan
sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Stratified Proportionate random
sampling, sampel dalam penelitian ini berjumlah 96 responden dengan kriteria
inklusi responden merupakan perawat RSUD Al-ihsan Provinsi Jawa Barat,
responden pernah merawat pasien dewasa paska pencabutan sheath, dan
bersedia menjadi responden. .
Hasil
Hasil penelitian diperoleh melalui analisa univariat Pearson Product
Moment .
A. Analisa Univariat
Tabel 4.1.Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Tentang Usia,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Dan Lama Kerja Di RSUD Al-Ihsan
Provinsi Jawa Barat
Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
Usia
19 s.d 25 tahun 23 24
26 s.d 45 tahun 73 76
Jenis Kelamin
Laki-Laki 28 29.2
Perempuan 68 70.8
Pendidikan
D3 Keperawatan 50 52.1
S1 Keperawatan 13 13.5
Profesi Ners 33 34.4
Lama Kerja
< 1 Tahun 21 21.9
1 – 5 Tahun 31 32.3
> 5 tahun 44 46.8
Sumber data primer 2022
Pembahasan
A. Analisis Univariat
1. Karakteristik Perawat
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan sebagian besar responden
adalah perempuan 70.8%. Hal tersebut karena disetiap ruangan rawat
inap memiliki lebih banyak perawat perempuan dibandingkan laki-laki.
Walaupun belum ada penelitian yang jelas tentang hubungna antara jenis
kelamin dengan tingkat pengetahuan perawat, namun menurut Nugroho
[31]
laki-laki lebih banyak diandalkan dalam melakukan tindakan
keperawatan karena pada umumnya memiliki tenaga yang lebih besar
dibandingkan perempuan.
Berdasarkan usia yang tersaji dalam tabel 4.1 sebanyak 76% (73
responden) berada direntang usia 26 sampai dengan 45 tahun. Usai akan
mempegaruhi pola pikir seseorang akan semakin berkembang seiring
bertambahanya usai sehingga pengetahuan akan semain baik [31]. Pada
usia cukup seseorang akan lebih meningkat kematangan dan kekuatan
dalam berfikir.
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan latar belakang pedidikan
responden terbanyak adalah Profesi Ners sebanyak 57.6%. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Turangan,
dkk [33] yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
pendidikan dengan tingkat pengetahuan. Pendidikan akan mempegaruhi
proses belajar, semakin tinggi pendidikan maka semakin mudah untuk
memperoleh informasi dan pengethuan dapat bertambah [31].
Pada karakteristik perawat berdasarkan lama masa kerja
menunjukkan 46.8% (44 responden) memiliki lebih dari lima tahun masa
kerja yang terjadi pada tabel 4.1. menurut Lubis [34] perawat dengan masa
kerja 6 sampai dengan 10 tahun memiliki tingkat pengetahuan lebih baik.
A. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
[Online].
[3] “http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/hari-jantung-sedunia-hjs-
tahun-2019-jantung-sehat-sdm-unggul,” [Online].
Muhammadiyah, 2017.
Removal for Registered Nurses,” Journal Nursing Care Quality , vol. 16(1),
p. 61–67, 2001.
Indonesia, 2019.
2018. [Online].
Rawat Inap Lantai 8B RSUD Koja Jakarta tentang Bantuan Hidup Dasar
2015.
Dasar (BHD) di bangsal Bedah dan Bangsal Penyakit dalam RSUD Wates,”
[34] Lubi dkk, “Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat di Ruangan Rawat Inap
Lantai 8B RSUD Koja jakarta tentang Bantuan Hidup Dasar (BHD),” Jurnal