Analisis Potensi Pencemaran Airtanah Beb
Analisis Potensi Pencemaran Airtanah Beb
1
Klaster Sain dan Teknik
2
Tipe Penelitian MIPA
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN KOLABORASI DOSEN-MAHASISWA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
TAHUN ANGGARAN 2012
Tim Peneliti:
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012
1
Kesehatan dan kedokteran, Sosial dan Humaniora, Agro, Sain dan Teknik
2
Kesehatan, Hukum, Sosial, Pertanian, MIPA, Pendidikan, Rekayasa, Ekonomi, Keolahragaan, Agama, Sastra dan Filsafat,
Psikologi, Seni
i
DAFTAR ISI
ii
3.2 Mengkaji tingkat potensi pencemaran dengan keberadaan
permukiman dan pariwisata di gumuk pasir Parangtritis
A. Bahan Yang Digunakan..............................................................16
B. Alat Yang Digunakan .................................................................17
C. Cara Pengumpulan Data .............................................................17
D. Cara Pengolahan Data ................................................................17
E. Cara Analisis Data .....................................................................18
3.3 Mengkaji agihan pencemaran dari keberadaan permukiman dan
pariwisata di gumuk pasir Parangtritis
A. Bahan Yang Digunakan ..............................................................19
B. Alat Yang Digunakan .................................................................19
C. Cara Pengumpulan Data .............................................................19
D. Cara Pengolahan Data ................................................................20
E. Cara Analisis Data .....................................................................20
Diagram Alir Penelitian...........................................................................21
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan Metode VES dan ERT .................................................. 8
Tabel 2.2 Penentuan Sistem Nilai Untuk Menentukan Status Mutu Air ............ 12
Tabel 3.1 Jenis, Sumber dan Cara Perolehan Data (tujuan 1) ............................. 15
Tabel 3.2 Jenis, Sumber dan Cara Perolehan Data (tujuan 2) ............................. 17
Tabel 3.3 Jenis, Sumber dan Cara Perolehan Data (tujuan 3) ............................. 19
Tabel 4.1 Kadar Natrium (Na) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan.......... 25
Tabel 4.2 Kadar Kalium (K) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan ............. 26
Tabel 4.3. Kadar Kalsium (Ca) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan......... 28
Tabel 4.4. Kadar Magnesium (Mg) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan .. 29
Tabel 4.5. Kadar Clorida (Cl) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan ........... 30
Tabel 4.6 Kadar Clorida (Cl) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan ............ 31
Tabel 4.7 Kadar Nitrit (NO2) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan ........... 32
Tabel 4.8 Kadar Nitrit (NO2) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan ........... 34
Tabel 4.9 Kadar Fosfat (PO4) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan .......... 35
Tabel 4.10 Kadar Coli Tinja dan Total Coliform Pada Masing-Masing
Penggunaan Lahan .................................................................................. 36
Tabel 4.11 Baku Mutu Air .................................................................................. 38
Tabel. 4.12 Uji Kualitas Air Terhadap Baku Mutu ............................................. 39
Tabel. 4.13 Uji Kualitas Air Sebagai Indikator Pencemaran Domestik dan
Pertanian di Kawasan Pesisir Parangtritis ............................................... 40
Tabel. 4.15 Klasifikasi Mutu Air Metode STORET ........................................... 42
Tabel 4.16 Klasifikasi Nilai DHL ....................................................................... 44
Tabel 4.17 Nilai Parameter Fisik Airtanah Bebas Kawasan Pesisir Parangtritis 45
Tabel 4.18 Hubungan Antara Nilai TDS Dengan Salinitas ................................ 46
Tabel 4.19 Uji Kualitas Air Titik 1, 2, 3 dan 4 Terhadap Baku Mutu ................ 57
iv
DAFTAR ISTILAH
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Sistem Akuifer Merapi ..................................................................... 2
Gambar 2.1 Akuifer Bebas dan Tertekan ............................................................. 7
Gambar 2.2 Penentuan Kontur Airtanah ............................................................. 10
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Teoritis ................................................................... 13
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian .................................................................. 21
Gambar 4.1 Kegiatan Peternakan Di Kawasan Pesisir Parangtritis .................... 22
Gambar 4.2. Pertumbuhan Kawasan Terbangun di Pantai Depok (kiri) dan Pantai
parangtritis (kanan) ............................................................................... 23
Gambar 4.3. Peta Sebaran Titik Sampel ............................................................. 24
Gambar. 4.4 Kondisi Penggunaan Lahan di Sekitar Titik 6 ............................... 45
Gambar 4.5 Kondisi Penggunaan Lahan Lokasi Yang Memiliki Nilai DHL Yelatif
Tinggi .................................................................................................... 45
Gambar. 4.6 Peta Distribusi DHL Akuifer Bebas Kawasan Pesisir Parangtritis
............................................................................................................... 47
Gambar. 4.7 Peta Lokasi Titik dan Jalur Geolistrik Kawasan Pesisir Parangtritis
............................................................................................................... 48
Gambar 4.8 Model Cross-section Jalur G10-G11-G12....................................... 49
Gambar 4.9 Model Cross-section Jalur G6-G7-G8............................................. 50
v
Gambar 4.10 Model Cross-section Jalur G2-G3-G4........................................... 51
Gambar 4.11 Peta Aliran Airtanah Bebas Kawasan Pesisir Parangtritis ............ 54
Gambar 4.12 Peta Kedalaman Muka Airtanah Akuifer Bebas Kawasan Pesisir
Parangtritis ............................................................................................ 55
Gambar 4.13 Aliran Airtanah Bebas ................................................................... 56
Gambar 4.14 Penggunaan Lahan di Lokasi 1-2 dan Lokasi 3-4 ......................... 56
DAFTAR LAMPIRAN
Data Survey Geolistrik Metode Schlumberger ..................................................1
Hasil Pengujian Sampel Airtanah Bebas Kawasan Pesisir Parangtritis ............10
Tabel Pengukuran Tinggi Muka Airtanah dan DHL.........................................15
vi
RINGKASAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Pemenuhan kebutuhan air masyarakat di kawasan Pantai Selatan DIY masih
mengandalkan airtanah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa airtanah memegang
peranan penting dalam kelangsungan hidup masyarakat. Sumber pencemaran
yang ada tidak hanya berasal dari limbah domestik namun juga dapat berasal dari
septik-tank. Perkembangan pariwisata memicu dibangunnya toilet umum dalam
jumlah yang banyak, sehingga akan semakin banyak sumber pencemar.
Kondisi topografi yang datar di wilayah ekosistem bentanglahan Kabupaten
Bantul memberikan keleluasaan bakteri patogen dan E-coli tinja yang mengikuti
aliran air secara gravitasi yang berasal dari wilayah ekosistem kota Yogyakarta
dan Kabupaten Sleman, disamping wilayah ekosistem bentanglahan Kabupaten
Bantul itu sendiri. Secara topografis, kelerengan lahan secara umum mengarah ke
selatan, secara hipotetik aliran airtanah juga ke arah selatan, debit aliran airtanah
yang berasal dari lapisan akuifer bagian hulu mengalir ke arah Kabupaten Bantul.
(Gunawan, 2007)
2
seharusnya terhambat oleh masalah pencemaran airtanah, dimana jika hal tersebut
terjadi maka akan membawa dampak yang cukup besar bagi perkembangan
pariwisata di kawasan ini. Dengan menggunakan tiga pendekatan secara terpadu
antara geolistrik, flownet dan uji kualitas air, maka akan diperoleh hasil yang
cukup relevan dengan kondisi empiris. Kajian ini penting guna mengetahui
potensi pencemaran dan tingkat pencemaran yang ada di kawasan Pantai
Parangtritis, ke depan diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini maka akan
memberikan gambaran kepada Pemerintah Daerah untuk merumuskan kebijakan
terkait dengan pemeliharaan airtanah di kawasan ini. akhirnya ditentukanlah
penelitian dengan judul “ANALISIS POTENSI PENCEMARAN AIRTANAH
BEBAS DI KAWASAN GUMUK PASIR PARANGTRITIS”.
3
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN
1. Memberikan gambaran bagaimana kondisi pencemaran yang terjadi
hingga saat ini terhadap keberadaan permukiman dan pariwisata di Pantai
Parangtritis.
2. Memberikan dasar bagi pengambilan kebijakan tentang pemanfaatan dan
pengelolaan ruang terhadap potensi pencemaran yang dapat terjadi dalam
kaitannya untuk mendukung rencana pembangunan dan fungsi ruang
kawasan di wilayah gumuk pasir Parangtritis.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Airtanah
Airtanah adalah air yang berada di bawah permukaan tanah pada zona jenuh
air, dengan tekanan hidrostatis sama atau lebih besar daripada tekanan udara.
Sumber utama airtanah adalah air hujan yang meresap ke dalam tanah mengikuti
suatu proses yang disebut sebagai daur hidrologi (Purnama, 2000). Menurut Todd
(1980), airtanah adalah air yang terdapat dalam tanah atau batuan, menempati
ruang-ruang antar butir batuan serta berada dalam celah-celah batuan.
Berdasarkan daur hidrologi, airtanah berasal dari air hujan yang bergerak ke
bawah melalui zona aerasi yaitu zona yang berupa pori-pori tanah berisi air dan
udara dalam jumlah yang berbeda-beda.
Air yang melalui zona aerasi ditahan oleh gaya-gaya kapiler pada pori-pori
yang kecil atau oleh tarikan molekuler di sekitar partikel-partikel tanah. Apabila
kapasiltas retensi dari tanah pada zona ini telah dihabiskan, air akan bergerak ke
bawah menuju pori-pori tanah atau batuan yang jenuh air yang disebut sebagai
zona jenuh air (zone of saturation). Air yang terdapat pada zona jenuh air inilah
yang disebut sebagai airtanah (Linsley, 1985). Perbedaan kondisi fisik secara
alami akan mengakibatkan air dalam zonasi ini akan bergerak/mengalir baik
secara gravitasi, perbedaan tekanan, kontrol struktur batuan dan parameter
lainnya. Kondisi inilah yang disebut sebagai aliran airtanah. Daerah aliran
airtanah ini selanjutnya disebut sebagai daerah aliran (flow zone).
Airtanah ditemukan pada formasi geologi permeabel (tembus air) yang
disebut sebagai akuifer. Akuifer merupakan formasi pengikat air yang
memungkinkan jumlah air yang cukup besar untuk bergerak melaluinya pada
kondisi lapangan yang biasa. Pada akuifer, airtanah menempati pori-pori batuan,
retakan ataupun patahan pada suatu batuan. Secara umum airtanah akan mengalir
sangat perlahan melalui suatu celah yang sangat kecil dan atau melalui butiran
antar batuan. formasi geologi merupakan faktor yang mempengaruhi proses
terbentuknya airtanah. Formasi geologi adalah formasi batuan atau material lain
5
yang berfungsi menyimpan airtanah dalam jumlah besar (Asdak, 1995). Dalam
proses pembentukan airtanah, formasi-formasi yang berisi dan memancarkan
airtanah dikenal sebagai akuifer (Linsley, 1985).
Airtanah tidak dapat ditemukan di setiap tempat. Ada tidaknya airtanah
tergantung dari ada tidaknya lapisan batuan yang dapat mengandung airtanah
yang disebut dengan akuifer. Menurut PP No. 43 tahun 2008 akuifer merupakan
lapisan batuan jenuh airtanah yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam
jumlah yang cukup. Artinya dapat mensuplai suatu sumur atau mata air pada suatu
periode tertentu.
Akuifer sering pula disebut waduk air atau formasi air. Menurut Krussman
dan Ridder (1970) bahwa akuifer dapat dikelompokkan menjadi barbagai macam,
yaitu :
a. Akuifer bebas (unconfined aquifer) yaitu lapisan air yang hanya sebagian
terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air. Permukaan tanah pada
akuifer ini disebut dengan water table (preatik level), yaitu permukaan air
yang mempunyai tekanan hidrostatik sama dengan atmosfer. Airtanah yang
berasal dari akuifer bebas pada umumnya ditemukan pada kedalaman yang
relatif dangkal atau kurang dari 40 m. Kasus khusus dari akuifer bebasa
adalah akuifer menggantung (perched aquifer) yang terjadi akibat terpisahnya
airtanah dari tubuh airtanah utama oleh suatu formasi batuan kedap air
(Kodoatie, 1996)
b. Akuifer tertekan (confined aquifer) yaitu akuifer yang seluruh jumlahnya
dibatasi oleh lapisan kedap air, baik yang atas maupun yang berada di bawah,
serta mempunyai tekanan lebih besar daripada tekanan atmosfer.
c. Akuifer semi tertekan (semi confined aquifer) yaitu akuifer yang seluruhnya
jenih air, dimana bagian atasnya dibatasi dengan lapisan semi lolos air pada
bagian bawahnya merupakan lapisan kedap air.
d. Akuifer semi bebas (semi uncinfined aquifer) yaitu akuifer yang bagian
bawahnya merupakan lapisan kedap air, sednagkan material atasnya
merupakan material berbutir halus sehingga pada lapisan penutupnya masih
6
memungkinkan adanya gerakan air. Dengan demikian akifer ini merupakan
peralihan antara akuifer bebas dengan akuifer semi tertekan.
Gambar 2.1. Akuifer Bebas dan Tertekan (Israelsen dan Hanses, 1962 dalam
Purnama 2010)
2.2 Geolistrik
Geolistrik merupakan metode pendugaan area keterdapatan airtanah dan
kedalamannya dengan prinsip perbedaan nilai tahanan jenis tiap batuan (Lowrie,
2007). Salah satu metode geolistrik yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan metode ERT (electrical Resistivity Tomography).ERT merupakan
metode yang digunakan untuk menduga jenis dan susunan material permukaan
bumi berdasarkan distribusi spasial nilai resistivitasnya (Lowrie, 2007) ERT
disebut juga dengan Sub Surface Imaging (Telford et al, 2004) atau Resitivity
Profiling (Milsom, 2003)
Menurut sheriff (2002) tomography merupakan sebuah metode untuk
mencari sifat distribusi, kecepatan dan pantulan dari serangkaian observasi
berulang-ulang yang menggunakan suatu penerima dan sumber, sedangkan
7
berdasarkan Encyclopedic Dictionary of Applied Geophysics, tomografi
merupakan penentuan distribusi resistivitas menggunakan pemancar dari satu
tempat ke tempat lainnya.
ERT merupakan teknik untuk pencitraan struktur bawah permukaan
menggunakan arus konduksi listrik (Daily dan Ramirez, 2000). ERT diusulkan 22
tahun yang lalu independen oleh Henderson dan Webster (1978) sebagai
modalitas pencitraan medis dan oleh Lytle dan Dines (1978) sebagai alat
pencitraan geofisika. Metode ERT berbeda dengan metode VES (Vertical
Electrical Sounding). Perbedaannya pada tipe, sifat data dan data yang dihasilkan.
Perbedaannya yaitu :
Tabel 2.1. Perbandingan Metode VES dan ERT
Perbedaan Metode VES Metode ERT
Satu pasang Beberapa pasang
Tipe
elektroda elektroda
Sifat data 1 dimensi 2 dimensi
Hasil Data log Stratigrafi tahanan jenis
8
digunakan untuk melakukan penelitian dengan skala detail. Contoh aplikasi
metode ERT ;
1. Mengetahui karakteristik akuifer (Tamburiello et al, 2008)
2. Mengetahui struktur bidang material penyusun bentuklahan (Kielbasinski dan
Mieszkowski, 2008)
3. Mengetahui terjadinya pencemaran dan distribusi spasialnya (Chamber et al,
2006)
4. Penyelidikan potensi dan distribusi spasial mineral bahan galian (Bernard et
al, 2004)
Dalam geolistrik, terdapat berbagai macam konfigurasi susunan elektroda
yang sering disebut dengan geometric factor. Konfigurasi susunan elektroda
tersebut adalah Wenner alpha, Wenner Beta, Dipole-Dipole, dan Wenner
Schlumberger. Salh satu konfigurasi susunan elektroda yang sering digunakan
adalah konfigurasi Wenner Schlumberger karena dianggap paling baik tingkat
keakuratannya.
2.3 Flownet
Peta Kontur dan aliran airtanah (flownet) dapat diketahui untuk mengetahui
arah aliran airtanah terhadap sungai. Disamping itu arah aliran airtanah juga dapat
digunakan untuk mengetahui arah pencemaran airtanah yang mungkin terjadi.
Arah aliran airtanah mengikuti kemiringan topografinya.
Untuk menentukan arah aliran airtanah terlebihdahulu dibuat peta kontur
airtanah. Peta kontur airtanah merupakan peta yang menunjukkan ketinggian
muka airtanah, dimana airtanah yang memiliki ketinggian muka airtanah
yangsama dihubungkan oleh sebuah garis yang disebut garis kontur. Dengan
membuat garis kontur airtanah pada ketinggian dapat ditentukan arah alirannya,
dengan cara menarik garis aliran tegak lurus garis kontur tersebut. Pembuatan peta
kontur dan penentuan arah aliran airtanah dapat dilihat pada gambar.
Pembuatan peta kontur airtanah dihasilkan dari interpolasiantara dua titik
tinggi muka airtanah. Tinggi muka airtanah dapat dicari dengan langkah sebagai
berikut :
9
1. Mengetahui ketinggian permukaan tanah pada lokasi pengukuran sumur.
Dapat dilakukan dengan pengukuran menggunakan altimeter, atau juga secara
digital dengan peta kontur topografi.
2. Mengukur jarak antara muka airtanah dengan bibir sumur.
3. Mengukur jarak antara bibir sumur dengan permukaan tanah.
4. Menghitung kedalaman airtanah dari permukaan tanah dengan cara
mengurangi jarak pada langkah ke-2 dengan jarak pada langkah ke-3
5. Tinggi muka airtanah didapat dengan mengurangi elevasi (ketinggian
permukaan tanah) terhadap kedalaman airtanah.
10
karakteristik air sehingga diketahui status mutu kualitas air sungai
sesungguhnya sesuai dengan peruntukannya.
Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara data
kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya
guna menentukan status mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air
adalah dengan menggunakan sistem nilai dari “US – EPA (Environmental
Protection Agency)“ dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas,
yaitu :
Prosedur penggunaan :
Penggunaan metode STORET untuk penentuan status mutu air dapat
menggunakan lengkah sebagai berikut :
1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga
membentuk data dari waktu ke waktu (time series data).
2. Bandingkan antara hasil pengukuran dari masing-masing parameter air
dengan nilai bakumutu yang sesuai dengan kelas air. Bakumutu yang
digunakan adalah Baku mutu air di DIY PP. No 20 Tahun 2008, Standar
Mutu Air Menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
214/KPTS/1991 dan WHO tahun 1992 dalam Effendi (2003)
3. Jika hasil pengukuran memenuhi bakumutu air (hasil pengukuran ≤ baku
mutu) maka diberi skor 0.
11
4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi bakumutu air (hasil pengukuran >
baku mutu), maka diberi skor :
Tabel 2.2. Penentuan Sistem Nilai Untuk Menentukan Status Mutu Air
Jumlah Parameter
Nilai
sampel Fisika Kimia Biologi
Maksimum -1 -2 -3
< 10 Minimum -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
Maksimum -2 -4 -6
≥ 10 Minimum -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18
Sumber : Canter (1977)
12
Geomorfologi Perkembangan
Kawasan Kawasan fungsi
Pantai Selatan DIY kawasan
pesisir
Kondisi
Litologi dan Pertumbuhan
genesa infrastruktur
Kualitas Airtanah
Karakteristik Perubahan
Distribusi Penggunaan
Hidrostratigrafi
aliran airtanah lahan
Airtanah
Peningkatan
kebutuhan air
Karakteristik Akuifer bersih
Analisis Penurapan
pencemaran airtanah
airtanah berlebih
13
2.5 Istilah
Airtanah (groundwater) adalah air yang berada di bawah permukaan tanah
pada zona jenuh air, dengan tekanan hidrostatis sama atau lebih besar
dibandingkan dengan tekanan udara (Todd, 1980)
Akuifer (aquifer) adalah formasi batuan yang dapat menyimpan dan
melalukan air dalam jumlah yang cukup (Todd, 1980)
Akuifer bebas (unconfined aquifer) adalah akuifer yang terletak di atas lapisan
kedap air (impermeable zone) sampai pada batas antara zona jenuh air
dan zona aerasi dimana muka airtanah berada (Todd, 1980)
Imbuhan airtanah (Groundwater recharge) adalah pergerakan air menuju
zona jenuh air melalui zona tak jenuh karena adanya gaya gravitasi atau
arahnya ditentukan oleh kondisi kemiringan hidrolik (Balek, 1988
dalam Simmers, 1988)
Infiltrasi (infiltration) adalah pergerakan air secara vertikal dari permukaan
tanah menuju ke dalam tanah dalam zona aerasi (Vrba dan Zoporozec,
1994)
Kualitasair (water quality) adalah tingkat kesesuaian air supaya digunakan
dalam pemenuhan kebutuhan tertentu bagi kehidupan manusia.
(Arsyad, 1989)
Permeabilitas (permeability) adalah kemampuan tanah dan batuan dalam
melalukan zat cair (Todd, 1976)
Muka airtanah (water table) adalah batas teratas dari akuifer tidak tertekan
yang memiliki nilai tekanan yang sama dengan tekanan atmosfer (Vrba
dan Zoporozec, 1994)
Zat pencemar (pollutant) dapat didefinisikan sebagai zat kimia, biologi, radio
aktif yang berwujud benda cair, padat, maupun gas, baik yang berasal
dari alam yang kehadirannya tidak dipicu oleh manusia (tidak langsung)
ataupun dari kegiatan manusia (anthropogenic origin) yang telah
diidentifikasi mengakibatkan efek yang buruk bagi kehidupan manusia
dan lingkungannya. semua itu dipicu oleh aktivitas manusia (Watts
1997 dalam Notodarmojo, 2005)
14
BAB III
METODE PENELITIAN
15
D. Cara Pengolahan Data
Identifikasi Penggunaan Lahan
Identifikasi penggunaan lahan dilakukan melalui pengolahan
data sekunder antara lain melalui Peta RBI dan citra Geo-Eye
dilanjutkan identifikasi di lapangan secara langsung. Melalui data
sekunder, interpretasi dilakukan secara subjektif berdasarkan
kenampakan yang terlihat dari peta dan citra. Identifikasi lapangan
dilakukan untuk menguji penggunaan lahan yang sebenarnya di
lapangan dibandingkan dengan interpretrasi dari peta dan citra yang
dilakukan sebelumnya.
E. Cara Analisis Data
Analisis Penggunaan Lahan Terhadap Potensi Pencemaran
Analisis potensi pencemar dilakukan tersebar secara
keseluruhan gumuk pasir, namun lebih ditekankan pada daerah
dengan penggunaan lahan untuk permukiman, pariwisata, pertanian
ataupun untuk peternakan. Setiap penggunaan lahan memiliki
potensi pencemaran yang berbeda-beda. Besarnya potensi sumber
pencemar setiap penggunaan lahan berbeda, sumber pencemar dari
penggunaan lahan permukiman berasal dari limbah domestik, dan
limbah dari wisatawan, sumber pencemar dari penggunaan lahan
pertanian berasal dari penggunaan bahan-bahan kimia pertanian,
baik itu dari pupuk kimia ataupun pestisida, sedangkan penggunaan
lahan peternakan terutama dari sisa-sisa kotoran hewan.
16
B. Alat yang digunakan adalah :
1) Seperangkat alat pengembil sampel airtanah.
2) EC meter digital
3) pH meter digital
4) Seperangkat komputer
5) Software ArcGIS 9.3 untuk pengoahan data digital.
17
Pengolahan Data DHL
Data DHL yang di dapat melalui mengukur besarnya tingkat
Daya Hantar Listrik (DHL) melalui pengukuran lapangan. Data
DHL yang menyatakan besar daya hantar listrik pada badan air
yang diuji kemudian dimasukkan ke dalam peta dan di interpolasi
antar titik menjadi peta flownet DHL untuk mempermudah
analisis secara spasial.
E. Cara Analisis Data
Analisis Data Hasil Uji Laboratorium
Sampel air yang diuji di laboratorium adalah sampel airtanah
yang diambil dari sumur pada setiap penggunaan lahan meliputi
permukiman, pertanian dan peternakan. Unsur-unsur yang dianalisis
adalah unsur-unsur yang diduga merupakan unsur pencemar yang
berpotensi ada pada setiap penggunaan lahan yang berbeda, meliputi
Na, K, Ca, Mg, Cl, SO 4, NO3, NO2, PO4, bakteri coli dan total
coliform. Hasil dari uji laboratorium tersebut ditampilkan
kedalam sebuah tabel crosstab antara unsur pencemar dengan
penggunaan lahan untuk mempermudah pembacaan beberapa
unsur pencemar pada setiap titik yang diuji kualitas airtanahnya.
Hasil pengolahan ini kemudian disajikan kedalam sebuah peta
agihan uantuk analisis secara spasial.
Analisis Data DHL
Data DHL yang disajikan dalam bentuk flownet
menyatakan besarnya daya hantar listrik dari air sumur yang diuji.
Besarnya kandungan pencemar yang tinggi akan dinyatakan
dengan DHL yang besar, karena arus listrik dapat mengalir
dengan adanya tambahan unsur yang terkandung di dalam air.
Analisis Agihan Pencemaran
Analisis agihan pencemaran dianalisis melalui peta
flownet. Agihan pencemaran ditandai dengan pola flownet DHL
yang rapat (DHL tinggi).
18
3.3 Mengkaji agihan pencemaran dari keberadaan permukiman dan
pariwisata di gumuk pasir Parangtritis
A. Bahan yang digunakan adalah :
1) Data nilai resistivity
2) Data tinggi permukaan airtanah
3) Peta Geologi Indonesia lembar Yogyakarta dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung skala 1 : 100.000.
B. Alat yang digunakan adalah :
1) Distometer digital, untuk pengukuran kedalaman muka airtanah.
2) GPS untuk mengetahui posisi tiik sampel.
3) Kamera untuk dokumentasi.
4) Seperangkat komputer.
5) Program IP2WIN untuk pengolahan data geolistrik.
6) Program ArcGIS 9.3 untuk pengolahan data spasial dalam
pembuatan peta aliran airtanah (flownet).
19
D. Cara Pengolahan Data
Pengolahan Data Geolistrik
Data geolistrik pada mulanya merupakan data besarnya nilai
resistivitas yang diberikan pada setiap material yang ada di bawah
permukaan tanah pada titik yang diuji. Setiap material akan
memberikan nilai resistivitas yang berbeda-beda. Untuk
mendapatkan gambaran besarnya potensi pencemar pada airtanah
terumama yang berasal dari permukiman menggunakan bantuan
software IP2WIN dalam membuat deskripsi mengenai akuifer di
dalam tanah. Deskripsi detail mengenai akuifer tersebut
digambarkan melalui IPI_res3 sebagai bagian dari software
IP2WIN kemudian diinterpolasi menjadi sebuah penampang
melintang nilai resitivitas di dalam tanah.
20
Peta RBI Skala 1 : Peta Geologi Skala 1 :
Citra Satelit LANDSAT
25.000 100.000
Overlay
Pengukuran Lapangan
Pengambilan Sampel
Pendugaan Geolistrik
Airtanah
Pengukuran
Analisis Hidrostratigrafi
Laboratorium
Analisis Deskriptif
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
22
barat dan Pantai Parangtritis bagian Timur besarnya DHL sangat tinggi yaitu
hingga lebih dari 800 umhos hal ini mengindikasikan bahwa telah ada indikasi
intrusi air laut ke daratan karena DHL yang sangat tinggi yang menyatakan DHL
air laut. Hal ini dapat terjadi akibat pengambilan airtanah yang berlebihan ataupun
karena suplai airtanah lebih kecil dibandingkan air laut pada daerah pesisir
sehingga menyebabkan intrusi air laut.
Gambar 4.2. Pertumbuhan Kawasan Terbangun di Pantai Depok (kiri) dan Pantai
parangtritis (kanan) (Foto oleh Dhoni, 2012)
23
Gambar 4.3. Peta Sebaran Titik Sampel 24
4.2 Kondisi Tingkat Pencemaran Airtanah
4.2.1 Parameter Kimia dan Biologi Airtanah
a. Natrium
Menurut Effendi (2003) Natrium (Na) adalah salah satu unsur
alkali utama yang ditemukan di perairan dan merupakan katuion penting
yang mempengaruhi kesetimbangan keseluruhan kation di perairan.
Natrum memiliki beberapa sifat, diantaranya adalah bersifat mudah larut
dalam air dan bersifat sangat reaktif. Senyawa ini sering digunakan
sebagai indikator oleh adanya pencemaran yang berasal dari kegiatan
manusia (Antropogenic origin) yaitu berupa limbah domestik dan limbah
industri. Kadar Natrium didalam airtanah berkisar kurang dari 50 mg/L,
sementara itu untuk airtanah dalam bisa mencapai lebih dari 50 mg/L
(Effendi , 2003). Bakmutu yang digunakan untuk unsur Natrium adalah
200 mg/L (WHO, 1984).
25
sebesar 48,6 mg/L, Peternakan dan tegalan 44,4 mg/L, tegalan dan semak
belukar 45 mg/L dan permukiman dan rumah makan 41,3 mg/L. Dari
keseluruhan hasil tersebut, maka dapat dilihat bahwa kadar natrium pada
area terbangun di kawasan pesisir Parangtritis berada pada kirasan nilai
20-55,7 mg/L dan hasil ini menunjukkan bahwa Natrium sebagai indikator
pencemaran di kawasan pesisir Parangtritis belum menunjukkan adanya
pencemaran.
b. Kalium
Kalium merupakan senyawa yang biasa ditemukan pada tubuh air
alamiah, karena senyawa ini berasal dari kerak bumi. Didalam perairan,
Kalium dapat berupa ikatan antar ion berupa senyawa garam yang mudah
larut, dan juga dapat berupa senyawa yang tidak mudah larut (micas)
(Cole, 1988). Penggunaan Kalium biasanya untuk industri gelas, farmasi,
karet sintesis, sabun, detergen, dan industri lain serta sebagai bahan dalam
pupuk tanaman (Effendi, 2003). Kadar Kalium dalam perairan biasanya
kurang dari 10 mg/L, sementara itu untuk airtanah dapat mencapai
100mg/L. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Baku Mutu Air di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak
dicantumkan kadar baku mutu untuk unsur Kalium, namun demikian
menurut Effendi (2003) kadar Kalium yang lebih dari 2000 mg/L dapat
menyebabkan gangguan pencernaan dan gangguan sistem syaraf manusia.
Tabel 4.2 Kadar Kalium (K) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan
No.Sampel K (mg/L) Penggunaan Lahan
1 57,9 Permukiman dan peternakan
2 450,7 Permukiman dan peternakan
3 588,8 Peternakan dan tegalan
4 588,8 Peternakan dan tegalan
5 44,3 Tegalan dan semak belukar
6 53,4 Permukiman padat dan pertokoan
7 111,1 Permukiman padat dan pertokoan
8 33,6 Permukiman padat dan pertokoan
9 60 Permukiman padat dan rumah makan
10 60 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
26
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kadar Kalium secara
keseluruhan masih berada pada kadar yang cukup aman untuk dikonsumsi
(>2000 mg/L). Kadar Kalium tertinggi ada pada titik 3 dan 4 dengan
penggunaan lahan berupa peternakan dan tegalan dengan nilai 588,8 mg/L,
sementara itu untuk kadar terendah terdapat pada titik 8 dengan
penggunaan lahan permukiman padat dan pertokoan dengan nilai 33,6
mg/L. Secara umum, kadar Kalium pada penggunaan lahan yang
berasosiasi dengan peternakan memiliki nilai yang relatif lebih tinggi
daripada penggunaan lahan lain. Ditinjau dari kandungan unsur kalium,
airtanah di kawasan pesisir Parangtritis ini masih jauh dari ambang batas
yaitu 2000mg/L, dengan demikian maka airtanah relatif aman untuk
dikonsumsi.
c. Kalsium
Kalsium (Ca) merupakan unsur yang biasa ditemui di alam bebas,
sumber utama kalsium perairan berasal dari batuan dan tanah. Kalsium
pada batuan dapat ditemukan dalam bentuk mineral batu kapur (limestone)
, pyroxenes, amphiboles, calcite, dolomite, gypsum, dan apatite (Effendi,
2003). Didalam perairan, kalsium memiliki sifat yang cukup stabil dan
merupakan salahsatu sumber utama penyebab kesadahan air. Penurunan
kadar kalsium dapat disebabkan oleh adanya proses presipitasi
(pengendapan) menjadi CaCO3. Kalsium banyak dimanfaatkan dalam
keperluan industri kimia, industri minuman (bir), industri kertas, industri
lem dan lain sebagainya. Ambang batas kadar kalsium menurut Standar
Mutu Air Menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 214/KPTS/1991yang diperbolehkan untuk keperluan konsumsi
adalah 75 mg/L. Kalsium merupakan unsur yang banyak dimanfaatkan
oleh organisme dalam pembentukan tulang dan pengaturan permeabilitas
dinding sel, unsur ini tidak bersifat toksik dalam kadar yang tidak
berlebihan.
27
Tabel 4.3. Kadar Calsium (Ca) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan
No.Sampel Ca (mg/L) Penggunaan Lahan
1 36,4 Permukiman dan peternakan
2 51,1 Permukiman dan peternakan
3 37,9 Peternakan dan tegalan
4 80,8 Peternakan dan tegalan
5 51,1 Tegalan dan semak belukar
6 89 Permukiman padat dan pertokoan
7 42,8 Permukiman padat dan pertokoan
8 74,2 Permukiman padat dan pertokoan
9 56 Permukiman padat dan rumah makan
10 67,6 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
Keterangan : melebihi ambang baku mutu
d. Magnesium
Magnesium ditemukan melimpah pada perairan alami, garam
magnesium memiliki sifat mudah larut dan cenderung bertahan sebagai
carairan meskipun telah pengalami presipitasi (Effendi, 2003). Unsur ini
biasnaya digunakan pada industri kimia, tekstil, kertas dan bahan peledak.
Kelebihan kadar Magnesium dapat menyebabkan anesthesia pada
organisme vertebrata dan avertebrata (Cole, 1988). Didalam baku mutu air
minum yang terdapat Standar Mutu Air Menurut Keputusan Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 214/KPTS/1991, kadar maksimum
Magnesium adalah 20 mg/L.
28
Tabel 4.4. Kadar Magnesium (Mg) Pada Masing-Masing Penggunaan
Lahan
No.Sampel Mg (mg/L) Penggunaan Lahan
1 8 Permukiman dan peternakan
2 19 Permukiman dan peternakan
3 3 Peternakan dan tegalan
4 5 Peternakan dan tegalan
5 8 Tegalan dan semak belukar
6 35 Permukiman padat dan pertokoan
7 48,1 Permukiman padat dan pertokoan
8 37,5 Permukiman padat dan pertokoan
9 33 Permukiman padat dan rumah makan
10 15 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
Keterangan : melebihi ambang baku mutu
29
terbanyak dibandingkan dengan anion halogen lain di perairan alami.
Kandungan ion Klorida secara umum dapat dijadikan indikator sebagai
penentu sifat korosifitas air, yang dapat menyebabkan pengkaratan pada
unsur logam. Ion ini tidak bersifat toksik jika dalam kadar yang tidak
berlebihan dan memiliki peran dalam pengaturan osmotik sel. Didalam
pemanfaatannya, klorin sering digunakan sebagai bahan desinfektan untuk
menghilangkan mokroorganisme akuatik yang ada di perairan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku
Mutu Air di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ambang batas baku
mutu Klorida adalah 600 mg/L.
30
f. Sulfat
Ion Sulfat merupakan bentuk dari Sulfur anorganik yang ada pada
perairan dan tanah. (Rao, 1992 dalam Effendi 2003). Ion ini merupakan
bentuk oksidasi utama dari unsur Sulfur dan termasuk kedalam ion yang
paling banyak ditemukan di perairan setelah bikarbonat. Sifat ion ini
mudah larut dalam air dan banyak dimanfaatkan untuk keperluan industri,
berupa industri tekstil, penyamaan kulit, kertas, metalugi dan lain
sebagainya. Dialam perairan alami, kadar Sulfat ada pada kisaran 2-80
mg/L, sementara itu untuk wilayah yang memiliki unsur geologi berupa
gypsum dapat mencapat 1000 mg/L. Baku mutu sulfat menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 400 mg/L. Kadar sulfat yang
melebihi baku mutu dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada
manusia.
Tabel 4.6 Kadar Clorida (Cl) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan
No.Sampel SO4 (mg/L) Penggunaan Lahan
1 6,3 Permukiman dan peternakan
2 95,4 Permukiman dan peternakan
3 25,5 Peternakan dan tegalan
4 8,1 Peternakan dan tegalan
5 3,5 Tegalan dan semak belukar
6 14,1 Permukiman padat dan pertokoan
7 14,8 Permukiman padat dan pertokoan
8 26,8 Permukiman padat dan pertokoan
9 18,5 Permukiman padat dan rumah makan
10 5,5 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
31
kecenderungan pengelompokan kadar sulfat pada setiap penggunaan lahan,
dengan demikian maka unsur sulfat kurang spesifik untuk menggambarkan
kondisi pencemaran airtanah. Jika dibandingkan dengan bakumutu air,
dimana ambang batas sulfat adalah 400 mg/L, maka kondisi di wilayah
pesisir parangtritis ini dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi.
g. Nitrit
Nitrit merupakan senyawa turunan dari amonia (NH4) dan
merupakan unsur yang ada pada tahapan intermediet antara amonia dengan
nitrat (NO3). Senyawa ini banyak ditemukan di perairan alami, dan
merupakan senyawa yang tidak stabil sehingga keberadaannya selalu lebih
sedikit daripada nitrat. Nitrit merupakan indikator adanya pencemaran
yang bersumber dari limbah industri dan limbah domestik. Ambang batas
nitrit menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku
Mutu Air di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 0,06 mg/L.
Kadar nitrit diatas 0,05 mg/L dapat bersifat racun (toksik) bagi organisme
akuatik (Moore, 1991). Nitrit lebih bersifat toksik daripada nitrat,
konsumsi air yang mengandung nitrit dengan kadar tinggi dapat
menyebabkan gangguan pengikatan oksigen oleh hemoglobin pada sel
darah merah (Effendi, 2003). Sebagai akibatnya adalah terjadi gangguan
metabolisme sel dalam tubuh.
Tabel 4.7 Kadar Nitrit (NO2) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan
No.Sampel NO2 (mg/L) Penggunaan Lahan
1 0,03 Permukiman dan peternakan
2 0,03 Permukiman dan peternakan
3 0,02 Peternakan dan tegalan
4 0,03 Peternakan dan tegalan
5 0,02 Tegalan dan semak belukar
6 0,02 Permukiman padat dan pertokoan
7 0,02 Permukiman padat dan pertokoan
8 0,06 Permukiman padat dan pertokoan
9 0,02 Permukiman padat dan rumah makan
10 0,02 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
32
Berdasarkan Tabel 4.7 , dapat dilihat bahwa kandungan nitrit pada
seluruh titik sampel masih belum melibihi ambang baku mutu yaitu
sebesar 0,06 mg/L. Kandungan tertinggi ada pada titik 8 sebesar 0,06 mg/L
yang terdapat pada penggunaan lahan permukiman padat dan pertokoan.
Sementara itu kandungan sebesar 0,2 mg/L merupakan kandungan yang
paling banyak ditemukan, yaitu terdapat di titik 3,5,6,7,9 dan 10. Secara
keseluruhan, kandungan nitrit di kawasan pesisir Parangtritis relatif
mendekati ambang batas yang ada pada baku mutu. Kondisi ini merupakan
indikasi adanya pencemaran yang berasal dari limbah domestik yang
berasal dari kawasan terbangun di pesisir Parangtritis.
h. Nitrat
Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen yang terdapat pada
perairan alami, peran nitrat adalah sebagai sumber nutrien bagi organisme
akuatik seperti berbagai jenis algae (Effendi, 2003). Nitrat merupakan
produk hasil oksidasi sempurna dari senyawa nitrogen pada perairan.
Oksidadi amonia (NH4) oleh bakteri Nitrosomonas merupakan proses yang
penting dalam siklus nitrogen yang berlangsung dalam kondisi aerob.
Hasil dari proses tersebut adalah senyawa nitrit dan nitrat. Senyawa nitrat
juga kerap digunakan sebagai indikator pencemaran libah industri dan
domestik. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/L merupakan indikator telah
terjadinya pencemaran (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, ambang batas baku mutu nitrat adalah 10 mg/L.
Konsumsi air yang mengandung kadar nitrat yang tinggi dapat
mengganggu proses pengikatan oksigen oleh Hemoglobin pada sel darah
merah, karena pada dasarnya eksistensi senyawa ini akan mengakibatkan
penurunan pada kapasitas darah dalam mengikat oksigen. Dalam suatu
kasus, kadar nitrat yang tinggi dapat mengakibatkan methemoglobinemia
atau blue-baby pada bayi dengan usia kurang dari lima bulan. penyakit ini
memiliki indikasi kulit bayi yang berubah menjadi kebiruan (cyanosis)
(Davis dan Cornwell, 1993, dalam Effendi, 2003).
33
Tabel 4.8 Kadar Nitrit (NO2) Pada Masing-Masing Penggunaan Lahan
No.Sampel NO3 (mg/L) Penggunaan Lahan
1 0,2 Permukiman dan peternakan
2 0,3 Permukiman dan peternakan
3 7,5 Peternakan dan tegalan
4 3 Peternakan dan tegalan
5 0,9 Tegalan dan semak belukar
6 8,1 Permukiman padat dan pertokoan
7 5,7 Permukiman padat dan pertokoan
8 6 Permukiman padat dan pertokoan
9 3,7 Permukiman padat dan rumah makan
10 1,3 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
i. Fosfat
Bentuk lain dari senyawa fosfor yang dimanfaatkan oleh tumbuhan
adalah fosfat (Dugan, 1972). Selanjutnya Notodarmojo (2005)
menjelaskan bahwa dalam larutan airtanah, fosfor terdapat dalam bentuk
orthoposfat, dengan urutan kelarutan sebagai berikut H2PO4 > HPO4 >
PO4. Keberadaan senyawa fosfat terdapat dalam bentuk terlarut,
34
tersuspendi atau terikat dalam organisme akuatik. Keberadaan P yang
berlebihan dalam airtanah pada umumnya disebabkan oleh adanya
aktivitas manusia, seperti penggunaan pupuk, industri dan pembuangan
limbah domestik. Fosfat banyak dimanfaatkan untuk pupuk, sabun,
detergen, bahan industri keramik, pelumas, produk makanna dan
minuman, katalis dan lain sebagainya. Ambang batas kadar fosfat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ambang batas baku mutu nitrat
adalah 0,2 mg/L. Sifat intrisik dari senyawa fosfat itu sendiri sesugguhnya
tidak memiliki pengaruh yang membahayakan jika dikonsumsi, namun
keberadaannya merupakan indikator yang cukup umum untuk mendeteksi
adanya pecemaran.
35
kawasan terbangun, kadar fosfat yang tinggi kemungkinan tidak terlepas
dari pengaruh limbah domestik yang berasal dari tangki septik (septik
tank). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Sujatmiko (2009) diketahui bahwa 52, 5 % dari 40 responden menyatakan
bahwa tangki septik yang digunakan tidak diplester (kedap air), kondisi ini
sesuai dengan hasil uji laboratorium bahwa kandungan fosfat yang tinggi
memiliki pola relatif mengelompok pada areal terbangun di kawasan
pesisir.
Tabel 4.10 Kadar Coli Tinja dan Total Coliform Pada Masing-Masing
Penggunaan Lahan
No. Coli tinja Total coliform
Penggunaan Lahan
Sampel (JPT/100mL) (JPT/100mL)
1 4,3.10 4
≥2,4.10 6
Permukiman dan peternakan
2 ≥2,4.105 ≥ 2,4.106 Permukiman dan peternakan
3 4.103 - Peternakan dan tegalan
5 3
4 1,5.10 9.10 Peternakan dan tegalan
5 1,5.105 9.104 Tegalan dan semak belukar
6 1,5.105 1,5.105 Permukiman padat dan pertokoan
3 3
7 4.10 9.10 Permukiman padat dan pertokoan
8 4.103 1,5.104 Permukiman padat dan pertokoan
9 9.103 4.103 Permukiman padat dan rumah makan
10 1,5.104 4.103 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
Keterangan : melebihi ambang baku mutu
36
Berdasarkan Tabel 4.10 nampak bahwa hampir di seluruh titik
sampel menunjukkan kandungan coli tinja dan total coliform yang jauh
melebihi ambang baku mutu yang ditetapkan. Kandungan coli tinja
tertinggi ada pada titik 2 sebesar ≥ 2,4.105 JPT/100mL dengan penggunaan
lahan berupa permukiman dan peternakan. Sementara itu kandungan total
coliform tertinggi ada pada titik 1 dan 2 dengan nilai ≥ 2,4.106
JPT/100mL terdapat pada penggunaan lahan berupa permukiman dan
peternakan. Tingginya kandungan bakteri coli kemungkinan disebabkan
oleh adanya aktivitas domestik manusia dan peternakan. Titik 1 dan 2
merupakan area peternakan, kotoran ternak yang terakumulasi di
permukaan tanah kemungkinan mengalami infiltrasi kedalam tanah,
hingga pada akhirnya sampai pada airtanah. Demikian pula dengan kondisi
di titik sampling lain, dimana kandungan bakteri coli yang terukur
mencapai nilai yang sangat tinggi diatas ambang batas baku mutu. Sumber
pencemaran kemungkinan berasal dari tangki septik pada kawasan
permukiman, serta dampak dari pertumbuhan kawasan pariwisata pantai
yang memicu dibangunnya banyak toilet umum turut memberikan
pengaruh pada tingginya kandungan bakteri coli di airtanah bebas.
37
Tabel 4.11 Baku Mutu Air
Parameter Satuan Kandungan maksimal yang digunakan
Natrium (Na) mg/l 200**
Kalsium (Ca) mg/l 75*
Magnesium (Mg) mg/l 30*
Klorida (Cl) mg/l 600
Sulfat (SO4) mg/l 400
Nitrat (NO3) mg/l 10
Nitrit (NO2) mg/l 0,06
Phosfat (PO4) mg/l 0,2
Bakteri coli tinja JPT/100mL 1000
Total coliform JPT/100mL 2000
Sumber : 1. Baku Mutu Air menurut Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
20 Tahun 2008
2. Standar Mutu Air Menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 214/KPTS/1991. Dengan parameter bertanda*
3. WHO tahun 1992 dalam Effendi (2003) yaitu untuk parameter bertanda ***
38
Tabel. 4.12 Uji Kualitas Air Terhadap Baku Mutu
No. Sampel
Parameter uji Satuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Na mg/L 30,6 48,6 44,3 44,4 45 55,7 20 50,9 33,3 41,3
K mg/L 57,9 450,7 588,8 588,8 44,3 53,4 111,1 33,6 60 60
Ca mg/L 36,4 51,1 37,9 80,8 51,1 89 42,8 74,2 56 67,6
Mg mg/L 8 19 3 5 8 35 48,1 37,5 33 15
Cl mg/L 18,9 68,9 80,2 27,4 24,9 56,2 161,3 211,2 178 44
SO4 mg/L 6,3 95,4 25,5 8,1 3,5 14,1 14,8 26,8 18,5 5,5
NO3 mg/L 0,2 0,3 7,5 3 0,9 8,1 5,7 6 3,7 1,3
NO2 mg/L 0,03 0,03 0,02 0,03 0,02 0,02 0,02 0,06 0,02 0,02
PO4 mg/L 0,8 4,7 6 1,6 0,001 0,8 0,6 0,2 1,2 0,5
Coli tinja JPT/100mL 4,3.104 ≥2,4.105 4.103 1,5.105 1,5.105 1,5.105 4.103 4.103 9.103 1,5.104
Total coliform JPT/100mL ≥2,4.106 ≥ 2,4.106 - 9.103 9.104 1,5.105 9.103 1,5.104 4.103 4.103
Sumber : Kegiatan Lapangan, September 2012
Keterangan : Melebihi Baku Mutu Air
Dalam standart Baku Mutu Air
39
Tabel. 4.13 Uji Kualitas Air Sebagai Indikator Pencemaran Domestik dan Pertanian di Kawasan Pesisir Parangtritis
SO4 NO3 NO2 PO4 Bakteri Coli Tinja Bakteri Total Coli
No Penggunaan Lahan
mg/L mg/L mg/L mg/L JPT/100mL JPT/100mL
1 6,3 0,2 0,03 0,8 4,3.104 ≥2,4.106 Kawasan permukiman dan peternakan
2 95,4 0,3 0,03 4,7 ≥2,4.10 5
≥ 2,4.10 6
Kawasan permukiman dan peternakan
3
3 25,5 7,5 0,02 6 4.10 - Peternakan dan tegalan
5 3
4 8,1 3 0,03 1,6 1,5.10 9.10 Peternakan dan tegalan
5 4
5 3,5 0,9 0,02 0,001 1,5.10 9.10 Tegalan dan semak belukar
5 5
6 14,1 8,1 0,02 0,8 1,5.10 1,5.10 Permukiman padat dan pertokoan
3 3
7 14,8 5,7 0,02 0,6 4.10 9.10 Permukiman padat dan pertokoan
3 4
8 26,8 6 0,06 0,2 4.10 1,5.10 Permukiman padat dan pertokoan
3 3
9 18,5 3,7 0,02 1,2 9.10 4.10 Permukiman padat dan rumah makan
4 3
10 5,5 1,3 0,02 0,5 1,5.10 4.10 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan Lapangan, September 2012
Keterangan : Melebihi Baku Mutu Air
Dalam standart Baku Mutu Air
40
Tabel 4.12 menunjukkan bahwa dari 11 parameter yang digunakan, tiga
diantaranya menunjukkan adanya tingkat pencemaran yang cukup tinggi, yaitu
untuk parameter fosfat, coli tinja dan total coliform. Sementara itu untuk
parameter magnesium dan kalsium maenunjukkan adanya potensi airtanah dari
aspek internal terkait dengan kondisi fisik wilayah, seperti kondisi geologis dan
tanah.
Tabel 4.13 merupakan kumpulan parameter yang digunakan sebagai
indikator adanya pencemaran oleh aktivitas manusia. Kadar fosfat, bakteri coli
tinja dan total coliform menunjukkan hasil yang melampaui ambang baku
mutu, kondisi ini menunjukkan adanya pencemaran sebagai dampak dari
aktivitas manusia. Kawasan pantai Parangtritis merupakan salahsatu pusat
pariwisata pantai di Kabupaten Bantul, dengan adanya kegiatan dan
pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir, tentu saja akan berpengaruh kepada
produksi limbah baik limbah domestik, maupun limbah yang berasal dari
kegiatan penduduk seperti pertanian dan peternakan.
Kadar bakteri coli tinja dan total coliform merupakan indikator yang
paling representatif dalam menggambarkan konisi pencemaran terutama yang
bersumber dari tangki septik (septik tank). terkait tingginya kedua parameter
tersebut, terkait dengan adanya pertumbuhan areal terbangun di kawasan
pesisir Parangtritis selain itu juga tumbuhnya usaha di bidang jasa yang
menyediakan toilet umum yang kurang terkonstruksi dengan baik (tangki
sektik yang di plester) menjadi salahsatu penyebab tingginya kadar coli tinja
dan total coliform di kawasan pesisir Parangtritis. limbah yang masuk kedalam
tangki septik akan dengan mudah untuk terserap kedalam tanah yang notabene
memiliki nilai permeabilitas yang tinggi (tanah pasiran) sehingga akan
mempercepat suplai polutan sampai ke airtanah.
41
adalah kadar yang terwakili adalah dalam kondisi maksimum, dimana hal
tersebut terkait dengan waktu pengambilan sampel yang dilakukan pada bulan
September yang merupakan musim kemarau, dimana kandungan dalam
airtanah berada dalam kondisi maksimum akibat tidak adanya imbuhan
airtanah dari air hujan yang merupakan pengencer unsur terlarut dalam airtanah
itu sendiri.
Tabel. 4.15 Klasifikasi Mutu Air Metode STORET
No. Sampel
1 2 3 4 5
Parameter uji Satuan Kadar Skr Kadar Skr Kadar Skr Kadar Skr Kadar Skr
Na mg/L 30,6 0 48,6 0 44,3 0 44,4 0 45 0
K mg/L 57,9 0 450,7 0 588,8 0 588,8 0 44,3 0
Ca mg/L 36,4 0 51,1 0 37,9 0 80,8 -2 51,1 0
Mg mg/L 8 0 19 0 3 0 5 0 8 0
Cl mg/L 18,9 0 68,9 0 80,2 0 27,4 0 24,9 0
SO4 mg/L 6,3 0 95,4 0 25,5 0 8,1 0 3,5 0
NO3 mg/L 0,2 0 0,3 0 7,5 0 3 0 0,9 0
NO2 mg/L 0,03 0 0,03 0 0,02 0 0,03 0 0,02 0
PO4 mg/L 0,8 -2 4,7 -2 6 -2 1,6 -2 0,001 0
Coli tinja JPT/100mL 4,3.104 -3 ≥2,4.105 -3 4.103 -3 1,5.105 -3 1,5.105 -3
Total coliform JPT/100mL ≥2,4.106 -3 ≥ 2,4.106 -3 - -3 9.103 -3 9.104 -3
Total Skor / Indeks STORET -8 -8 -8 -10 -6
Kelas mutu air Cr Cr Cr Cr Cr
No. Sampel
6 7 8 9 10
Parameter uji Satuan Kadar Skr Kadar Skr Kadar Skr Kadar Skr Kadar Skr
Na mg/L 55,7 0 20 0 50,9 0 33,3 0 41,3 0
K mg/L 53,4 0 111,1 0 33,6 0 60 0 60 0
Ca mg/L 89 -2 42,8 0 74,2 0 56 0 67,6 0
Mg mg/L 35 -2 48,1 -2 37,5 -2 33 -2 15 0
Cl mg/L 56,2 0 161,3 0 211,2 0 178 0 44 0
SO4 mg/L 14,1 0 14,8 0 26,8 0 18,5 0 5,5 0
NO3 mg/L 8,1 0 5,7 0 6 0 3,7 0 1,3 0
NO2 mg/L 0,02 0 0,02 0 0,06 -2 0,02 0 0,02 0
PO4 mg/L 0,8 -2 0,6 -2 0,2 -2 1,2 -2 0,5 -2
Coli tinja JPT/100mL 1,5.105 -3 4.103 -3 4.103 -3 9.103 -3 1,5.104 -3
Total coliform JPT/100mL 1,5.105 -3 9.103 -3 1,5.104 -3 4.103 -3 4.103 -3
Total Skor / Indeks STORET -12 -10 -10 -10 -8
Kelas mutu air Cs Cr Cr Cr Cr
Sumber : Kegiatan Lapangan, September 2012
Keterangan : : Melebihi Baku Mutu Air
: Dalam standart Baku Mutu Air
Cs : Cemar ringan
Cs : Cemar sedang
42
Berdasarkan Tabel 4.15 dapat diamati bahwa hasil klasifikasi STORET
menunjukkan bahwa 9 dari 10 sampel yang digunakan termasuk dalam kelas
cemar ringan, dengan indeks STORET berada pada kisaran nilai -6 hingga -10.
Sementara itu, terdapat satu sampel yang masuk kedalam kelas cemar sedang,
yaitu sampel 6 dengan indeks STORET -12. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa pengaruh aktivitas manusia dalam mempengaruhi tingkat pencemaran
airtanah dapat dikatakan cukup tinggi. Dugaan ini diperkuat dengan adanya
fakta bahwa titik 5 yang terdapat pada penggunaan lahan tegalan dan semak
belukar, merupakan titik yang paling sedikit mendapatkan pengaruh manusia,
titik tersebut memiliki indeks STORET paling rendah yaitu -6 dan masuk
kedalam kelas cemar ringan.
Gambar. 4.4 Kondisi Penggunaan Lahan di Sekitar Titik 6 (Foto Dhoni, 2012)
Faktor pembobot yang paling berat adalah pada parameter biologi yang
dalam hal ini diwakili oleh parameter coli tinja dan total coliform. Bobot untuk
parameter ini adalah masing-masing -3 untuk coli tinja dan total colifotm.
Kondisi pencemaran bologis pada seluruh titik sampel menunjukkan hasil yang
positif sehingga parameter ini sangat mempengaruhi kelas pencemaran airtanah
bebas.
43
4.2.4 Parameter Fisika Airtanah
Konduktivitas (Daya Hantar Listrik / DHL) adalah gambaran numerik
dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik (Effendi, 2003). Nilai
DHL dapat merepresentasikan kondisi garam-garaman yang terlarut didalam
air. Selanjutnya Klosterman (1989); Fetter (1988); Sutikno (1992); Santosa
(2002); dalam Santosa (2010) mengklasifikasikan nilai DHL sebagaimana yang
ada pada Tabel 4.16.
Tabel 4.16 Klasifikasi Nilai DHL
No Nilai DHL (µmhos/cm) Keterangan
1 < 1200 Airtanah tawar
2 1200-2500 Airtanah payau
3 2500-4500 Airtanah asin
4 > 4500 Airtanah sangat asin
Sumber : Santosa (2010)
44
Tabel 4.17 Nilai Parameter Fisik Airtanah Bebas Kawasan Pesisir Parangtritis
No DHL (µmhos) TDS (mg/L) Pengggunaan lahan
1 1178 793 Kawasan permukiman dan peternakan
2 842 561 Kawasan permukiman dan peternakan
3 357 239 Peternakan dan tegalan
4 798 539 Peternakan dan tegalan
5 518 347 Tegalan dan semak belukar
6 1390 700 Permukiman padat dan pertokoan
7 602 403 Permukiman padat dan pertokoan
8 964 643 Permukiman padat dan pertokoan
9 717 477 Permukiman padat dan rumah makan
10 547 464 Permukiman padat dan rumah makan
Sumber : Kegiatan lapangan, September 2012
Gambar 4.5 Kondisi Penggunaan Lahan Lokasi Yang Memiliki Nilai DHL
Yelatif Tinggi (Foto oleh Dhoni, 2012)
45
banyak terdapat di air laut, hal ini juga terkait nilai salinitas. Hubungan antara
TDS dengan salinitas ada pada Tabel 4.18
46
Gambar. 4.6 Peta Distribusi DHL Akuifer Bebas Kawasan Pesisir Parangtritis
47
Gambar. 4.7 Peta Lokasi Titik dan Jalur Geolistrik Kawasan Pesisir Parangtritis
48
4.3 Agihan Spasial Aliran Airtanah
4.3.1 Hidrostratigrafi Akuifer
Hidrostratigrafi akuifer mencakup kajian mengenai kondisi akuifer
secara vertikal, dimana dengan mengetahui hidrostratigrafi maka akan dapat
diketahui karakteristik akuifer, termasuk kondisi airtanah yang ada didalamnya.
Didalam melakukan investigasi ini, digunakan metode Electrical Resistivity
Tomography (ERT). Metode ini menekankan pada nilai hambatan (ρ) untuk
dapat menentukan material atau kondisi apa yang ada dibawah permukaan.
Data yang digunakan merupakan data sebaran nilai resistivity secara vertikal
pada setiap titik pengamatan, selanjutnya untuk dapat mengetahui kondisi
hidrostratigrafi secara wilayah, maka digunakan metode cross-section.
a. Cross-section G10-G11-G12
49
jenuh akan airtanah tawar, dengan kedalaman bervariasi dari 3- 10 meter
dari permukaan tanah. Tebal material endapan pasir jenuh airtanah pada
bentuklahan gumuk pasir lebih lebal daripada di bentuklahan dataran banjir
dan fluvio-marin. Wilayah dengan bentuklahan dataran banjir dan fluvio
marin lebeih didominasi oleb material endapan lempung jenuh airtanah
yang terdapat pada kedalaman sekitar 2-3 meter dari permukaan tanah.
terdapat indikasi adanya intrusi airlaut di titik G10 dengan kedalaman 20
meter, hal ini ditandai dengan adanya nilai resistivity yang relatif rendah
yaitu < 1 Ωm, dimana kemungkinan air bersifat payau. Di kedalaman 20
meter pada bentuklahan dataran banjir dan fluvio-marin terdapat material
dengan nilai resistivity > 2000 Ωm, hal ini mengindikasikan adanya batuan
yang tidak mengandung airtanah. Kemungkinan material tersebut bersifat
impermeabel atau massif sehingga tidak terdapat pori-pori untuk dapat
menyimpan air.
b. Cross-section G6-G7-G8
50
banjir dan dataran fluvio marin di sebelah utara, dan gumuk pasir di sebelah
selatan. Hasil model hidrostratigrafi menunjukkan adanya simpanan
airtanah tawar pada kedalaman 2-4 meter dari permukaan tanah. simpanah
airtanah terebut berada pada material pasir halus. Di posisi yang lebih dalam
terdapat pula akumulasi airtanah tawar yang terdapat pada material lempung
mulai dari kedalaman 10 hingga 20 meter dari permukaan tanah. berada di
posisi paling bawah, terdapat material batu pasir yang tidak jenuh airtanah.
Material ini terdapat cukup luas, dari bentuklahan gumuk pasir hingga
dataran banjir dan dataran fluvio-marin.
c. Cross-section G2-3-4
51
dibawah permukaan tanah dan terdapat pada material pasir halus. Sementara
itu di bawah lapisan pasir halus jenuh airtanah terdapat material lempung
yang juga jenuh akan airtanah. Pola tebal airtanah dari titik G4 menuju titik
G2 mengalami penurunan, dimana dari titik G4 berangsur-angsur menipis
hingga pada titik G2 yang hanya memiliki ketebalan sekitar 4 meter. Dekat
dengan titik G2 terdapat indikasi adanya intrusi air laut dimana ditandai
dengan nilai resistivity yang cukup rendah (ρ < 1Ωm). Kondisi ini
kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas manusia dalam menurap
airtanah yang kemudian berdampak pada pergerakan zona interface menuju
ke arah daratan.
52
pesisir oleh adanya sektor pariwisata menyebabkan adanya ancaman pada
sumberdaya airtanah di kawasan ini. Konsekuensi dari pertumbuhan kawasan
terbangun adalah adanya limbah domestik baik yang dibuang secara langsung
di permukaan tanah, maupun yang ada didalam tangki septik. Segala bentuk
polutan terebut dapat terjebak kedalam sistem airtanah. Hidrostratigrafi akuifer
menunjukkan bahwa bentuk akuifer di kawasan pesisir Parangtritis ini
berbentuk seperti sebuah mangkuk yang terbuka, dengan demikian maka
polutan yang masuk kedalam sistem akuifer akan terus terjebak didalamnya
karena tidak adanya aliran airtanah ke tempat lain.
53
Gambar. 4.11 Peta Aliran Airtanah Bebas Kawasan Pesisir Parangtritis 54
Gambar. 4.12 Peta Kedalaman Muka Airtanah Akuifer Bebas, Kawasan Pesisir Parangtritis
55
4.3.3 Keberadaan Sumber Pencemar
Agihan aliran airtanah di kawasan pesisir Parangtritis secara umum
memiliki arah distribusi dari arah sebelah timur, yaitu arah perbukitan struktural
menuju ke arah selatan dengan bentuklahan dataran pantai yang di notabene
merupakan pusat pertumbuhan area terbangun. Kondisi aliran airtanah bebas di
kawasan pesisir Parangtritis dapat dilihat pada Gambar 4.13
Lokasi
2-3 Lokasi
3-4
Gambar 4.14 Penggunaan Lahan di Lokasi 1-2 (kiri) dan Lokasi 3-4 (kanan).
(Foto oleh Dhoni, 2012)
56
Eksistensi komples peternakan di kedua area tersebut, berpotensi dalam
memberikan suplai polutan kedalam airtanah dan berpotensi mencemari area di
sekitarnya yang memiliki tinggi muka airtanah lebih dingkal.
Tabel 4.19 Uji Kualitas Air Titik 1, 2, 3 dan 4 Terhadap Baku Mutu
No. Sampel
Parameter uji Satuan 1 2 3 4
Na mg/L 30,6 48,6 44,3 44,4
K mg/L 57,9 450,7 588,8 588,8
Ca mg/L 36,4 51,1 37,9 80,8
Mg mg/L 8 19 3 5
Cl mg/L 18,9 68,9 80,2 27,4
SO4 mg/L 6,3 95,4 25,5 8,1
NO3 mg/L 0,2 0,3 7,5 3
NO2 mg/L 0,03 0,03 0,02 0,03
PO4 mg/L 0,8 4,7 6 1,6
Coli tinja JPT/100mL 4,3.104 ≥2,4.105 4.103 1,5.105
Total coliform JPT/100mL ≥2,4.106 ≥ 2,4.106 - 9.103
Sumber : Kegiatan Lapangan, September 2012
Keterangan : Melebihi Baku Mutu Air
Dalam standart Baku Mutu Air
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Potensi pencemaran di kawasan pesisir Parangtritis secara umum berasal
dari aktivitas manusia yang merupakan dampak dari pembangunan.
Pertumbuhan kawasan wisata menjadi pendorong pertumbuhan penduduk,
terutama di kawasan yang dekat dengan pantai. Eksistensi manusia tentu
akan berdampak pada munculnya permasalahan lingkungan, yaitu berupa
limbah domestik, pertanian, dan peternakan. Kebutuhan air penduduk di
kawasan pesisir yang masih menggantungkan pada airtanah, memicu
adanya indikasi penurapan air secara berlebih, sehingga akan memicu
adanya intrusi airlaut.
2. Kondisi kualitas airtanah di kawasan pesisir Parangtritis menunjukkan
adanya pencemaran, mulai dari tingkat ringan hingga tingkat sedang
menurut klasifikasi STORET. Unsur pencemar yang paling signifikan
telah melebihi ambang batas baku mutu adalah fosfat, coli tinja dan total
coliform. Tingginya angka pada ketiga indikator tersebut mencirikan
bahwa telah terjadi pencemaran airtanah akibat aktivitas manusia, fosfat
mencirikan pencemaran dari tangki septik yang dapat berupa deterjen,
maupun limbah domestik lain. Sementara itu coli tinja dan total coliform
mencirikan pencemaran dari kotoran manusia dan hewan. Kondisi
parameter fisika secara umum masih menunjukkan bahwa airtanah di
kawasan pesisir Parangtritis masih didominasi oleh air tawar. Konsentrasi
DHL yang relatif tinggi bersifat lokal dan terdistribusi di sekitar Pantai
Parangtritis dan Pantai Depok.
3. Hidrostratigrafi akuifer menunjukkan bahwa bentuk akuifer pesisir
Parangtritis memiliki bentuk seperti mangkuk yang terbuka, kondisi ini
mencirikan sistem akuifer yang bersifat lokal. Aliran airtanah
menunjukkan distribusi airtanah yang bersifat lokal, muka air yang relatif
tinggi berada dekat dengan perbukitan struktural dan beberapa lokasi di
58
daerah gumuk pasir. Di beberapa lokasi yang menjadi sumber aliran
airtanah dimanfaatkan sebagai kompleks peternakan, kondisi ini berpotensi
memberikan dampak pencemaran ke daerah sekitar yang memiliki muka
air yang lebih rendah.
5.2 Saran
1. Perlu adanya penataan ruang di kawasan pesisir yang berbasis pada
kondisi hidrostratigrafi dan aliran airtanah. Dengan adanya langkah
tersebut, maka eksistensi sumberdaya airtanah akan dapat terjaga, sehingga
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
2. Perlu adanya kawasan lindung di kawasan pesisir terutama daerah-daerah
yang menjadi sumber aliran airtanah. Hal ini penting dilakukan untuk
menjaga sumberdaya airtanah.
3. Perlu dirumuskan peraturan mengenai standarisasi pembuatan tangki
septik. Sesuai dengan kondisi material tanah yang bersifat porus, maka
tangki septik yang ideal adalah jenis tengki septik yang diplester atau
dibuat kedap air.
4. Sosialisasi kepada kelompok ternak masyarakat untuk secara rutin dalam
membersihkan kandang ternak. Langkah ini perlu dilakukan untuk
memperkecil kemungkinan meresapnya tinja kedalam tanah yang pada
akhirnya dapat mempertinggi kadar bakteri coli tinja dan total coliform
yang berpotensi membahayakan kesehatan.
59
DAFTAR PUSTAKA
60
Krussman, G.P. and N.A. de Ridder, 1970, Analysis and Evaluation of Pumping
Test Data, International Institude for Land Reclamation and Improvement,
Wageningen
Linsley, R.K. 1985. Teknik Sumber Daya Air. Yogyakarta: Erlangga
Lowrie, W. 2007. Fundamental of Geophysics. Second Edition. New York :
Cambridge University Press
Mc Donald and Partners, 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources
Study. London : Overseas Dvelopment Administration.
Milsom, J. 2003. Field Geophysics, The Geological Field Guide Series 3rd
Edition. West Sussex : John Wiley & Sons.
Moore, J.W. 1991. Inorganic Contaminats of Surface Water. New York :
Springer-Verlag.
Notodarmojo, S. 2005. Tanah dan Airtanah. Bandung : Penerbit ITB
Patriana, D. 2009. Kualitas Airtanah Bebas di Kecamatan Ngampilan Kota
Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada.
Purnama, S. 2000. Geohidrologi. Bahan Ajar. Yogyakarta : Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada
Putri, F.W. 2008. Potensi Airtanah Di Desa Parangtritis Kecamatan Kretek
Kabupaten Bantul DIY. Thesis. Yogyakarta : Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada.
Santosa, L.W. 2010. Pengaruh Genesis Bentuklahan Terhadap Hidrostratigrafi
Akuifer Dan Hidrogeokimia Dalam Evolusi Airtanah Bebas. Desertasi.
Yogyakarta : Program Pascasarjana Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada.
Sheriff, R.E. 2002. Encyclopedic Dictionary of Applied Geophysics. Kouston:
SEG
Storz, Hm, W. Storz and F. Jacobs, 2000, Electrical Resistivity Tomography to
Investigate Geological Structures of The Earth’s Uppercrust, Geophysics.
Prospect., 48, 455-471.
Tamburiello, et al, 2008, Deep Electrical Resistivity Tomography and Geothermal
61
Analysis of Bradano Foredeep Deposits in Venosa Area (South Italy) :
Preliminary Result. Annals of Geophysics, 51, 1.
Telford, W.M., & L.P. Geldart, R. E. Sheriff. 2004. Applied Geophysics, 2nd
Edition. Cambridge University Press.
Todd, D.K., 1980, Groundwater Hidrology 2nd Edition, New York: John Wiley
& Sons
Vrba,J., Zaporozec, A. 1994. Guidebook on Mapping Groundwater Vulnerability.
International Assosation of Hydrogeologist, International Contribution to
Hydrogeology Verlag Vol 16. Heinz Heise, Hannover.
Zein, A.G.I. 2011. Pengaruh litoralisasi terhadap kualitas airtanah di wilayah
pesisir Parangtritis kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi
.Yogyakarta : Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
62
1
LAMPIRAN 1
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 296 633 2,94 16 60 0,2 262 1,01
297 633 0,2 262
2 2 2082 749 33,2 17 10 75 0,2 195 1,1
2136 749 0,3 195
3 2,5 1408 752 35,18 18 100 0,5 568 1,61
1407 752 0,7 568
4 4 628 741 43,12 19 125 0,5 639 1,9
663 741 0,5 639
5 5 435 722 46,54 20 150 0,3 505 1,97
430 722 0,3 505
6 6 288 670 47,89 21 25 175 0,4 574 2,3
285 670 1 574
7 8 173 705 48,93 22 200 0,6 713 2,26
172 705 0,7 713
8 10 104 686 47,6 23 250 0,4 788 2,23
104 686 0,5 788
9 12 73 723 45,53 24 300 0,1 266 2,1
73 723 0,1 266
10 15 28 544 36,77 25 50 350 0,1 450 1,26
29 544 0,1 450
11 20 7 434 21,77
8 434
12 25 4 584 15,1
5 584
13 2,5 30 9 492 9,71
8 492
14 40 0,7 271 2,58
0,7 271
15 50 0,3 546 1,01
0,4 546
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 2209 150 92,6 16 5 60 1 78 29,3
2215 150 2 78
2 2 975 111 104,81 17 75 0,6 67 15,76
997 111 0,6 67
3 2,5 676 117 109,98 18 100 0,7 188 12,5
693 117 0,8 188
4 4 2722 143 952,26 19 125 0,2 75 9,8
2780 143 0,1 75
5 5 1362 129 826,99 20 10 150 0,2 60 11,06
1384 129 0,2 60
6 6 1243 180 775,91 21 175 0,3 60 19,99
1251 180 0,2 60
7 8 1126 280 806,78 22 200 0,2 114 11,01
1133 280 0,2 114
8 10 488 192 798,9 23 250 0,6 150 8,14
489 192 0,7 150
9 12 364 247 662,8 24 300 0,6 215 14,12
362 247 1,6 215
10 15 80 117 485,99
82 117
11 20 19 92 260,2
19 92
12 25 - - -
- -
13 30 17 97 98,4
17 97
14 40 6 151 39,7
6 151
15 50 1 93 25,27
2 93
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 815 581 8,82 16 60 2,4 700 7,9
817 581 2,5 700
2 2 383 574 7,97 17 5 75 4,8 407 20,76
392 574 4,8 407
3 2,5 2155 600 68,37 18 100 4 626 17,58
2209 600 3 626
4 4 384 555 34,25 19 125 1,8 522 17,37
384 555 1,9 522
5 5 160 527 23,66 20 150 2 669 19,52
161 527 1,7 669
6 6 90 522 19,31 21 175 0,7 577 13,61
90 522 0,9 577
7 8 51 499 20,04 22 10 200 0,9 688 8,21
49 499 0,9 688
8 10 28 395 22,26 23 250 0,6 670 6,08
28 395 0,6 670
9 12 - - - 24 300 0,1 408 3,45
- - 0,1 408
10 15 15 392 27,76
16 392
11 20 11 507 27,34
11 507
12 25 10 686 31,43
12 686
13 30 9 699 32,39
7 699
14 2,5 40 16 731 20,54
14 731
15 50 7 772 13,19
6 772
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 380 58 42,76 16 5 60 0,5 66 9,35
410 58 0,6 66
2 2 1668 57 345,31 17 75 0,8 53 19,92
1668 57 0,4 53
3 2,5 790 57 259,57 18 100 1,8 81 56,28
784 57 1,1 81
4 4 178 60 148,5 19 125 0,3 38 38,7
182 60 0,3 38
5 5 102 66 120,08 20 10 150 1,1 53 37,58
102 66 0,1 53
6 6 64 76 94,32 21 175 0,5 71 30,42
64 76 0,4 71
7 8 28 77 72,73 22 25 200 0,4 57 10,88
28 77 0,1 57
8 10 11 68 57,72 23 250 0,1 41 28,54
14 68 0,5 41
9 12 6 65 52,04 24 300 0,1 43 45,66
9 65 0,6 43
10 15 1,3 58 30,26
3,7 58
11 20 0,5 62 20,33
1,5 62
12 2,5 25 0,4 58 6,37
1,5 58
13 30 0,5 62 5,89
0,8 62
14 40 0,2 60 4,17
0,3 60
15 50 0,3 80 3,9
0,1 80
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 2205 92 150,08 16 5 60 2 72 38,99
2264 95 3 72
2 2 1160 78 176,46 17 75 1,7 74 32,11
1120 78 1 74
3 2,5 940 94 187,59 18 10 100 2,1 75 36,72
936 94 1,5 75
4 4 440 105 207,9 19 125 0,2 52 9,38
442 105 0,2 52
5 5 257 102 260,5 20 150 0,5 57 20,38
307 105 0,2 57
6 6 1235 69 2018,43 21 175 0,2 58 20,68
1252 69 0,3 58
7 8 442 53 1724,53 22 25 200 0,5 56 17,71
472 53 0,3 56
8 10 454 96 1496,77 23 250 0,6 42 41,28
460 96 0,3 42
9 12 178 73 1115,14 24 300 0,2 31 36,19
183 73 0,2 31
10 15 68 62 781,26
70 62
11 20 17 88 315
17 88
12 25 9 127 146,61
10 127
13 2,5 30 10 79 67,58
9 79
14 40 9 181 49,77
9 181
15 50 2 63 49,74
2 63
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 450 946 2,99 16 60 0,4 903 1,25
453 946 5 0,6 903
2 2 281 941 3,53 17 75 0,5 898 0,97
283 941 0,5 898
3 2,5 201 930 4,06 18 100 0,3 907 0,86
201 930 0,2 907
4 4 106 942 5,57 19 125 0,1 900 1,91
106 942 0,6 900
5 5 78 937 6,51 20 150 0,3 896 1,96
79 937 0,2 896
6 6 61 935 7,36 21 10 175 1,5 897 8,03
62 935 1,5 897
7 8 41 930 8,92 22 200 1 889 7,06
42 930 1 880
8 10 29 933 9,93 23 250 0,7 880 5,4
30 933 0,7 880
9 12 21 930 10,43 24 25 300 1,5 884 8,58
22 930 1,2 884
10 15 14 931 10,93
15 931
11 20 8 877 12,21
9 877
12 25 6 929 13,71
7 929
13 2,5 30 1,6 931 0,75
0,9 921
14 40 1,4 931 1,07
0,6 931
15 50 0,7 924 1,44
1 924
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 1790 773 14,55 16 5 60 3,2 188 15,83
1791 773 2,1 188
2 2 1191 856 16,42 17 75 0,5 156 12,97
1191 856 1,8 156
3 2,5 821 844 18,23 18 10 100 2,3 230 15,3
820 844 2,3 230
4 4 270 795 16,75 19 125 0,9 98 23,65
268 795 1 98
5 5 138 760 13,69 20 150 0,2 110 7,54
130 760 0,3 110
6 6 40 638 13,38 21 25 175 0,3 178 3,18
42 638 0,3 178
7 8 40 638 12,85 22 200 0,2 111 3,35
42 638 0,1 111
8 10 16 484 10,7 23 250 0,2 102 5,73
17 484 0,1 102
9 12 10 402 11,22 24 300 0,1 90 6,23
10 402 0,1 90
10 15 3 237 23,69
5 237
11 2,5 20 9 172 10,06
5 172
12 25 5 361 5,93
6 361
13 30 9 298 17,92
10 298
14 40 5 368 16,32
7 268
15 50 2,1 119 15,8
0,2 119
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 482 40 74,21 16 60 0,6 69 11,45
287 41 0,1 69
2 2 2555 41 736,06 17 5 75 0,1 42 16,76
2560 41 0,7 42
3 2,5 1665 43 733,41 18 100 0,3 45 20,95
1690 43 0,3 45
4 4 528 39 670,78 19 125 0,1 31 23,75
529 39 0,2 31
5 5 293 37 626,84 20 10 150 0,3 72 13,83
304 37 0,3 72
6 6 215 41 591,41 21 175 0,2 49 14,63
218 41 0,1 49
7 8 116 42 559,52 22 200 0,2 38 24,78
119 42 0,1 38
8 10 60 39 491,12 23 250 0,5 49 55,42
62 39 0,3 49
9 12 43 45 430,95 24 25 300 0,2 171 13,12
43 45 0,6 171
10 15 33 65 372,59
36 65
11 20 13 76 223,81
14 76
12 25 8 93 189,67
10 93
13 2,5 30 15 69 122,17
15 69
14 40 2 51 39,25
2 51
15 50 0,8 94 15,83
1,1 94
ρa ρa
No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA) No 1/2a (m) 1/2L (m) ∆V (mV) I (mA)
(Ω m) (Ω m)
1 0,5 1,5 1284 741 10,88 16 60 13 464 63,26
1297 741 13 464
2 2 712 687 12,3 17 5 75 4 488 10,82
720 687 2 488
3 2,5 431 697 11,66 18 100 2 610 10,31
434 697 2 610
4 4 167 693 11,96 19 125 1,3 655 9,73
168 693 1,3 655
5 5 95 671 11 20 150 1,5 445 23,8
95 671 1,5 445
6 6 64 674 11,21 21 10 175 2 328 29,27
71 674 2 328
7 8 45 668 13,47 22 200 1,1 505 21,76
45 668 2,4 505
8 10 37 733 16,28 23 25 250 1,8 351 24,99
39 733 2,7 351
9 12 32 701 21,87 24 300 2,1 520 32,37
36 701 3,9 520
10 15 27 674 28,64
28 674
11 20 23 710 43,48
26 710
12 25 23 718 68,25
27 718
13 2,5 30 35 752 28,03
40 752
14 40 16 544 37,72
25 544
15 50 24 731 55,73
28 731