This publication was made possible by the generous grant from the
ITTO, Yokohama, Japan
Published by
ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F)
Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development
(CFNCRD)
Available from
ITTO PROJECT, CFNCRD
Phone/Fax : 62-251-7194707
Website : www.forda-mof.org
E-mail : itto_laketoba@hotmail.com
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan akhir yang berjudul “Tinjauan Penyebab
Utama Kebakaran Hutan di Daerah Danau Toba” dapat diselesaikan sebagai bentuk
penyempurnaan laporan setelah memperhatikan beberapa masukan. Laporan ini
sekaligus merupakan pertanggungjawaban sebagai konsultan kajian kebakaran hutan di
Danau Toba kepada Program ITTO PD 394/06 Rev.1 (F) “Restoring the Ecosystem
Functions of Lake Toba Catchment Area through Community Development and Local
Capacity Building for Forest and Land Rehabilitation”.
Laporan ini telah memadukan kajian konseptual dari berbagai pemahaman mengenai
kebakaran hutan, kajian lapangan melalui pengumpulan dan pengamatan data, serta
melalui diskusi-diskusi baik secara formal ataupun informal dengan masyarakat dan
stakeholder-stakeholder terkait lainnya.
Pada laporan ini juga telah menganalisa wilayah kajian, peristiwa serta faktor-faktor
penyebab terkait kebakaran hutan, Laporan ini juga dilengkapi dengan rekomendasi
untuk mengatasi masalah kebakaran hutan di sekitar Danau Toba.
Demikian laporan ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi kelestarian ekosistem
khususnya di DTA Danau Toba. Terima kasih kami sampaikan atas berbagai informasi
dan kesempatan yang telah diberikan kepada kami untuk membantu program ITTO PD
394/06 Rev.1 (F). Semoga kerjasama yang baik ini dapat berlanjut dan dapat bermanfaat
khususnya bagi kelestarian ekosistem DTA Danau Toba.
Halaman
I PENDAHULUAN
A. Penyebab Langsung................................................................................ 21
B. Penyebab Utama..................................................................................... 23
IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 26
B. Rekomendasi .......................................................................................... 27
Halaman
Forest fires in Lake Toba Catchment Area (LTCA) is one of main factors causing the land
degradation in this area. Once the forest was burn, its impact would produce ecological,
economical and social disturbances in LTCA. Almost 113 ha of forest area burn every
year. Therefore, it requires climatology data, forest/land cover as fire materials, and
topography as known as “fire environment triangle”. Forest fire prevention is main key to
handle forest fire problems. Main cause of forest fire in LTCA is human activity; therefore,
forest fire prevention should be focused on the increasing of human‟s awareness toward
forest role and function without neglecting law enforcement and other technical aspects.
Basically, there are three approaches in forest fire prevention, namely: education, law
enforcement and technical handling. This study used survey method. Primary data were
collected through filed observation and depth interview with relevant stakeholders. Main
cause of forest fires in LTCA is the using of fire as a cheap, simple and easy tool for land
preparation. When fires used without good procedure, it becomes uncontrolled and burn
nearest areas. Presence of fuel material in the forest and dry climate condition would
speed up the forest fire. Based on observation on nine ex-forest fire locations, it found
that direct causes of forest fire in LTCA are: (i) use of fire as land preparation tool, (ii)
unintended forest fires, (iii) intended forest fire, and (iv) fires related to protection effort.
This study found that five main causes of forest fire, most of them interrelation and
interdependent, are: (1) communal land that are not well cultivated, (2) economic
incentive and disincentive, (3) limited knowledge on agriculture and fire management, (4)
lack of local institution capacity, and (5) unsustainable development program. Therefore,
the alternative solutions for forest fire prevention in LTCA are: (i) optimizing of land use in
the LTCA, (ii) program on land preparation without fire, (iii) program on coaching of
rehabilitation activity, (iv) agroforestry system with fire breaks, (v) formation of community
care on fire, and (vi) economic incentive/disincentive schemes.
RINGKASAN
TINJAUAN PENYEBAB UTAMA KEBAKARAN HUTAN
DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBA
Dr. Lailan Syaufina; Asep Sukmana, SP
Kebakaran hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba merupakan salah satu
faktor utama yang menyebabkan degradasi lahan di area tersebut. Sekali hutan terbakar,
maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial di
sekitar DTA Danau Toba. Hampir setiap tahun area tersebut mengalami kebakaran hutan
sekitar 113 Ha. Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi
klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan topografi,
yang ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Pencegahan kebakaran hutan
merupakan kunci utama untuk mengatasi masalah kebakaran hutan. Karena kebakaran
hutan di DTA Danau Toba terjadi akibat adanya aktivitas-aktivitas manusia, maka
pencegahan kebakaran perlu ditegaskan dengan cara meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap peran penting serta fungsi hutan, tanpa mengesampingkan
pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek teknis yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga
pendekatan dalam pencegahan kebakaran hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum,
dan Penguasaan Teknik. Laporan ini adalah hasil dari kegiatan 2.1.1. yaitu melaksanakan
kajian mendalam untuk mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di
lokasi. Kajian ini terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan,
termasuk wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Aktivitas-aktivitas
manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor terpenting yang
memainkan peran penting di wilayah kajian karena kebakaran yang disebabkan alam
jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi di negara tropis ini. Pada umumnya,
penyiapan lahan di sekitar DTA Danau Toba menggunakan api sebagai alat yang paling
sederhana. Ketika api digunakan tanpa prosedur yang baik, dapat terjadi penyebaran
yang tidak terkendali dan membakar daerah yang berdekatan dengannya. Kemampuan
bahan bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat menyebarkan api secara
cepat. Berdasarkan pengamatan pada sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa terdapat
sejumlah kecil penyebab langsung kebakaran di berbagai lokasi. Kajian ini
mengidentifikasi empat penyebab utama kebakaran: (i) Penggunaan api sebagai alat
untuk penyiapan lahan; (ii) Kebakaran yang tidak disengaja; (iii) Kebakaran yang
disengaja; dan (iv) Kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan. Kajian ini
mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian besar diantaranya saling
berkaitan satu sama lain, diantaranya: (1) Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik;
(2) Insentif /Disinsentif Ekonomi; (3) Pengetahuan pengelolaan pertanian dan kebakaran
yang terbatas; (4) Kapasitas institusi yang tidak memadai; dan (5) Program
pengembangan yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu solusi alternatif untuk
pencegahan kebakaran hutan di DTA Danau Toba adalah: (i) Mengoptimalkan
penggunaan lahan di wilayah kajian; (ii) Program penyiapan lahan tanpa bakar; (iii)
Program pendampingan rehabilitasi; (iv) Sekat bakar pada sistem agroforestry; (v)
Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA); dan (vi) Skema insentif/disinsentif ekonomi
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Metode
Laporan ini adalah hasil dari kegiatan 2.1.1. yaitu melaksanakan kajian
mendalam untuk mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di
lokasi. Kajian ini terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan,
termasuk wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan.
2
Metodologi secara rinci adalah sebagai berikut :
3
Tipe Kebakaran
Titik Api
PENYEBAB
LANGSUNG Motif
Aktivitas-aktivitas
PENYEBAB POKOK
terkait kebakaran
Kondisi Iklim
Tipe Vegetasi
FAKTOR PENDUKUNG
Lokasi/tempat
4
II
ANALISA WILAYAH KAJIAN
A. Kabupaten Simalungun
6
Gambar 3. Lahan terbakar untuk pertanian pada lahan marga di
Simarjarunjung
7
Gambar 4. Tanaman pinus yang terbakar di Hutan Simarjarunjung
Gambar 5. Limbah hasil panen dan semak belukar sebagai bahan yang
berpotensi terbakar di Tiga Runggu
8
5. Desa Sipangan Bolon, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten
Simalungun
Kegiatan pertanian masyarakat Desa Sipangan Bolon adalah dengan
menanam komoditas-komoditas seperti padi sawah, kopi, petai, kemiri, dan
aren. Tata waktu penanamannya adalah sebagai berikut: pembibitan padi
dilakukan pada bulan Januari dan penanamannya bulan Februari, kemudian
pemanenan dilakukan pada bulan Agustus. Sama halnya dengan wilayah
lain, penggantian dengan tanaman kopi juga ditemukan di desa tersebut.
Masyarakat menanam dua jenis kopi, yaitu kopi robusta dan kopi arabika.
Kopi arabika merupakan jenis yang baru ditanam, dan dapat berproduksi
lebih banyak pada waktu yang lebih singkat apabila dibandingkan dengan
kopi robusta.
B. Kabupaten Karo
10
Gambar 6. Lahan yang terbakar di daerah bukit di Desa Tongging
11
masalah dengan tanah yang berbatu. Di samping itu, terdapat beberapa jenis
rumput-rumputan seperti alang-alang, „sanggar‟, dan „pinpin‟ yang mudah
terbakar. Tidak ada praktek sekat bakar dan tidak pula terdapat konflik lahan.
Ketika api telah tersulut, maka dengan mudah dan cepat dapat menyebar
karena dibantu angin kencang hingga 40 km/jam, khususnya pada bulan Juli.
Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kewaspadaan. Terdapat
beberapa masyarakat yang menjadi anggota Manggala Agni, sebuah
kelompok pemadam kebakaran yang dibentuk oleh Balai Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA). Hal tersebut merupakan pengembangan kelompok
kerja dari program rehabilitasi. Masyarakat hanya memiliki peralatan
kebakaran yang terbatas seperti 5 unit pemukul api. Meski demikian, mereka
memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja layaknya petugas pemadam
kebakaran dan melaksanakannya berdasarkan prinsip “marsidapari” yang
berarti bekerja bersama di semua kegiatan.
C. Kabupaten Samosir
Musim kebakaran telah berkurang dalam 2-3 tahun ini. Hal tersebut
dikarenakan teknik penyiapan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Biasanya kebakaran besar terjadi khususnya pada musim kemarau ketika
angin kencang pada bulan Juli hingga Agustus. Kebakaran berasal dari
kegiatan pertanian, berkemah, konflik antar marga, dan kebakaran yang tidak
disengaja. Pada tahun ini, program pencegahan kebakaran juga melibatkan
pihak gereja. Bagaimanapun juga, program pencegahan kebakaran
membutuhkan penguatan melalui sosialisasi. Pada penanggulangan
kebakaran, pihak gereja dan kepala adat memegang peranan penting untuk
mengajak masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penanganan kebakaran.
Pembuatan sekat bakar dan penyisiran tanah telah dilakukan untuk
13
mengendalikan kebakaran. Meskipun demikian, belum terdapat insentif bagi
masyarakat setempat. Berkaitan dengan resiko kebakaran, satu masalah di
daerah tersebut adalah lahan marga yang sebagian besar tidak kelola
dengan baik dan dibiarkan sebagai lahan yang tidak produktif.
14
III
ANALISA KEBAKARAN
4000
3500
3000
Hotspots
2500
Titik api
2000
1500
1000
500
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Year
450
400
350
300
Hotspots
Titik api
250
200
150
100
50
0
br ry
ne
M ry
t e st
S A ug y
em r
ch
e r
c r
ay
r
il
ec be
ov e
be
O be
l
pr
F e ua
Ju
ep u
ua
N t ob
Ju
M
ar
A
D m
m
n
Ja
Bulan
Month
16
180
160
B. Kondisi Klimatologis
Distribusi area yang terbakar berkaitan dengan kondisi fisik, terutama iklim.
Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, perlu diketahui kondisi iklim,
penutupan hutan/lahan yang mengindikasikan jumlah bahan bakar, dan
topografi, yang ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Secara fisik,
DTA Danau Toba memiliki iklim tipe B berdasarkan Schmidt Fergusson, yaitu
kondisi iklim yang selalu basah tanpa musim kering yang jelas. Berdasarkan
pada analisa data klimatologi selama 11 tahun (1985 – 1995), curah hujan per
tahun untuk area DTA Danau Toba adalah 1.525,22 mm dengan jumlah hari
hujan rata-rata sebesar 206,95 hari/tahun, rata-rata suhu 18.27 – 21º C, dan rata-
rata kelembaban sebesar 85,60%. Kondisi iklim tidak memiliki pengaruh yang
kuat meskipun terjadinya kebakaran di wilayah tersebut berkaitan dengan
distribusi curah hujan. Gambar 12 menunjukkan kisaran curah hujan antara 77
mm pada bulan Juli hingga 342,7 mm pada bulan Oktober. Curah hujan mulai
menurun pada bulan Mei sampai Juli, dan kembali meningkat pada bulan
Agustus hingga Desember. Kebakaran lahan dimulai pada bulan April sampai
September. Luas area yang terbakar berkisar antara yang terendah yaitu 4 Ha
pada bulan September, sedangkan tertinggi mencapai 41 Ha pada bulan
Agustus. Walaupun jumlah curah hujan terendah ada di bulan Juli, namun musim
kebakaran tertinggi berada di bulan Agustus. Proses pengeringan area jelas
mempengaruhi kondisi tersebut. Api terjadi saat tiga elemen tersedia, yaitu:
bahan bakar, oksigen, dan panas. Oksigen tersedia dalam jumlah yang tak
terbatas di alam, panas untuk menyalakan api dapat berasal baik dari alam
17
maupun aktivitas manusia, sedangkan bahan bakar tersedia secara alami.
Proses kebakaran dapat terjadi bila bahan bakar mulai terbakar. Hal ini
dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas bahan bakar itu sendiri. Proses
pengeringan dapat meningkatkan kualitas bahan bakar seiring dengan
menurunnya kadar kelembaban. Untuk itu, penurunan curah hujan akan
mengakibatkan proses pengeringan bahan bakar.
400.0 45
350.0 Rainfall 40
Burned area 35
300.0
250.0
25
200.0
20
150.0
15
100.0 10
50.0 5
0.0 0
De be r
ry
ne
y
ch
ly
r
ril
er
r
st
ay
be
be
ar
Ju
Ap
ua
gu
ob
Ju
ar
m
nu
m
em
M
br
Au
ct
ve
ce
Ja
Fe
O
pt
No
Bulan
Se
Month
Gambar 12. Rata-rata curah hujan per bulan dan luas area terbakar di Aek Nauli,
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara
C. Karakteristik Lahan
18
alang-alang. Sedangkan area pemukiman nampak mengumpul dalam kelompok
kecil diantara perbatasan area persawahan, di sekitar area perkebunan dan
hutan. Berdasarkan data spasial untuk lahan kritis di DTA Danau Toba (2004),
sekitar 35% dari penutupan lahan di area yang dilindungi di dalam kawasan
hutan berada dalam kondisi yang masih baik, sedangkan sekitar 28% dari area
tersebut berada dalam kondisi yang sangat buruk, dari total luas area 131.560,59
Ha. Di sisi lain, sekitar 35% dari penutupan lahan di area yang dilindungi di luar
kawasan hutan masih dalam kondisi baik, sedangkan sisanya sekitar 29%
berada dalam kondisi buruk, dari total luas area sebesar 62.617,83 Ha. Dengan
membandingkan kedua area tersebut, maka dapat dilihat bahwa lahan kritis lebih
banyak terdapat di dalam kawasan hutan dibandingkan area di luar kawasan
hutan. Secara umum, area tersebut berada pada tingkat kondisi kekritisan lahan
yang sedang sampai kritis. Lahan kritis tersebar ke dalam delapan wilayah
kabupaten, yaitu sekitar 94.448,58 Ha di dalam kawasan hutan dan sisanya
sebesar 40.110,62 Ha berada di luar kawasan hutan. Lahan kritis yang terluas di
DTA Danau Toba adalah di Kabupaten Samosir sebesar 71.373,63 Ha dan yang
terkecil di Kabupaten Tanah Karo sebesar 5.885,36 Ha.
Topografi lahan di DTA Danau Toba sebagian besar curam hingga sangat
curam (kelerengan > 25% sampai >40%). Kondisi ini mendukung meluasnya
kebakaran, khususnya saat api menyebar ke area perbukitan dan pegunungan
dari lembah menuju ke puncak gunung. Tipe kebakaran yang dapat terjadi
adalah kebakaran permukaan yang dapat berkembang menjadi kebakaran tajuk.
Hal ini diperparah oleh tiupan angin yang berasal dari lembah, yang
menyebabkan api cepat menyebar dengan adanya titik api yang membakar satu
tajuk ke tajuk pohon yang lain.
19
Diantara tujuh kabupaten di DTA Danau Toba, Kabupaten Humbang
Hasundutan adalah area terluas yang memiliki tingkat resiko kebakaran sangat
tinggi, yaitu sebesar 1.577 Ha dan Kabupaten Simalungun merupakan area yang
memiliki tingkat resiko kebakaran tinggi, yaitu sebesar 163.257 Ha, sedangkan
area dengan resiko kebakaran terkecil terdapat di Kabupaten Tapanuli Utara,
yaitu sekitar 183.791 Ha. Selain itu, Kabupaten Simalungun merupakan area
dengan resiko kebakaran tertinggi jika dibandingkan dengan dua kabupaten
kajian lainnya, yaitu Kabupaten Karo dan Kabupaten Samosir. Kebakaran yang
terjadi di area perbukitan menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap
fungsi ekosistem di DTA Danau Toba. Degradasi lahan serta tingkat erosi yang
tinggi merupakan salah satu dampak yang serius di area tersebut.
Tingkat resiko kebakaran juga dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang tumbuh
di area tersebut. Pinus merkusii adalah spesies dominan yang menutupi area
DTA Danau Toba. Dari salah satu lokasi kebakaran hutan yang terlihat, jenis
pinus ini sangat mudah untuk terbakar karena memproduksi resin yang memiliki
sifat mudah tersulut api. Walaupun demikian, tegakan pinus relatif dapat
beradaptasi dengan kebakaran karena memiliki kulit kayu yang tebal serta
kemampuan regenerasi alami yang tinggi.
20
IV
ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
KEBAKARAN
A. Penyebab langsung
22
Toba, dimana tidak seluruh permukaannya tertutupi oleh pepohonan.
Kebakaran disebabkan karena kesengajaan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab dengan tujuan yang tidak diketahui. Nampaknya, hal
tersebut berkaitan dengan ketidakpuasan program, antara lain ketidakpuasan
karena kurangnya sosialisasi dan insentif.
B. Penyebab Utama
Kajian ini mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian besar
diantaranya saling berkaitan satu sama lain.
1. Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik
Di Sumatera Utara, khususnya di DTA Danau Toba, lahan dapat dimiliki oleh
individu atau kelompok (marga). Untuk kepemilikan lahan oleh individu pada
umumnya tidak memiliki masalah dalam pengelolaannya. Pemilik lahan
mengolah lahannya sesuai dengan keinginan dan keputusannya sendiri.
Sementara itu, lahan marga menjadi milik sekelompok orang yang memiliki
latar belakang sejarah dan ikatan budaya yang kuat. Anggota kelompok
(marga) hidup tersebar baik di dalam ataupun di luar kampung halamannya,
namun ikatan semangat yang kuat masih tetap terjaga. Dalam pengelolaan
lahan, terkadang dihadapkan dengan konflik pengelolaan, hal yang tidak
mudah untuk membuat keputusan dalam pengelolaan lahan marga tersebut.
Keputusan tersebut harus disetujui oleh semua anggota kelompok (marga)
yang kadang telah hidup di tempat yang jauh dari kampung halamannya.
Oleh karena itu, lahan marga sering dibiarkan sebagai lahan kosong yang
tidak produktif. Semak belukar dan alang-alang menutupi sebagian besar
lahan dan menjadi penyebab kebakaran, khususnya pada musim kemarau.
Kondisi demikian menghasilkan bahan yang mudah terbakar sehingga ketika
23
api menyala karena hal yang tidak disengaja, kebakaran semak belukar akan
terjadi dan dapat menyebar dengan tidak terkendali. Kebakaran dapat
menjalar dengan cepat ke daerah yang berdekatan.
24
bahwa teknik penanganan kebakaran yang dilakukan masih terbatas dan
peralatan yang digunakan kurang memadai. Karena itu, ketika angin kencang
datang dan menyebabkan kebakaran yang hebat, penanganan kebakaran
tidak dapat dilakukan secara efektif. Demikian pula, kurangnya pengetahuan
dalam tindakan pencegahan dan pasca kebakaran. Tiga pendekatan dalam
pencegahan kebakaran, yaitu Pendidikan, Penguasaan Teknik, dan
Penegakan Hukum masih belum dilaksanakan secara penuh. Sebagian
masyarakat tidak mengenal praktek sekat bakar. Kondisi yang terbatas
tersebut, dapat menuntun pada kepedulian untuk terlibat dalam pengelolaan
kebakaran yang mencakup pencegahan, penanganggulangan serta
penanganan pasca kebakaran. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan
dalam pertanian dan pengelolaan kebakaran adalah suatu hal yang harus
dilakukan.
25
pengembangan di wilayah kajian hanyalah program yang turut berakhir pada
saat periode telah berakhir (tidak berkelanjutan). Terlihat bahwa program-
program tersebut, khususnya dalam pengelolaan kebakaran termasuk
program rehabilitasi untuk lahan bekas terbakar, tidak direncanakan secara
matang dan program hanya berorientasi pada tujuan. Oleh karena itu,
beberapa pertimbangan perlu diperhatikan untuk memperoleh keberhasilan
dalam pelaksanaan program seperti yang disarankan oleh Firey (1960) dan
Clawson (1975) dalam Shindler (2007) yang menyatakan bahwa
pengambilan dan penentuan beberapa program tergantung pada tingkat
dimana ada kemungkinan secara fisik (konsisten dengan proses ekologi),
mudah secara ekonomi (menggunakan hasil pendapatan atau keuntungan
dalam kelebihan harga), dan dapat diterima secara budaya (konsisten
dengan sosial budaya dan norma yang berlaku).
26
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Degradasi lahan di DTA Danau Toba tidak dapat dipisahkan dari kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya. Tipe kebakaran yang terjadi
adalah sebagian besar kebakaran permukaan dan kebakaran tajuk.
Berdasarkan dimensi biofisik dari kebakaran yang tidak terkendali, kondisi
alami di Sumatera Utara, khususnya di sekitar DTA Danau Toba termasuk
dalam kategori resiko kebakaran sedang. Bagaimanapun juga, manusia
memiliki andil terhadap resiko kebakaran yang tidak terkendali. Dalam
sejarahnya, manusia membakar lahan untuk meningkatkan pengembalaan
dan penyiapan lahan pertanian.
B. Rekomendasi
Salah satu penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau
Toba adalah lahan yang tidak dikelola dengan baik. Semak belukar dan
alang-alang tumbuh pada lahan tersebut, dan menjadi bahan bakar yang
berpotensi untuk terjadinya kebakaran lahan yang tidak terkendali. Oleh
karena itu, seharusnya lahan dapat dikelola secara optimal untuk
meningkatkan produktivitas.
28
pihak-pihak bisnis yang berpotensi. Pendampingan harus dijadikan
prinsip dasar program.
29
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun. 2004. Buku I. Data Spatial Lahan
Iritis Wilayah Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun. Dirjen RLPS.
Dep.Kehutanan. P. Siantar.
Published by
ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F)
Centre of Forest and Nature Conservation Research and
Development (CFNCRD)
Available from
ITTO PROJECT, CFNCRD
Phone/Fax : 62-251-7194707
Website : www.forda-mof.org
E-mail : itto_laketoba@hotmail.com
31