Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI

DIURETIKA DAN OBAT OTONOM

4 OKTOBER 2022

Kelompok : 8

Hisyam Nabil Najmuddin Al Baariq 320210201008

Mirza Salsabila Sri Kusumawati 320210201013

Sastha Sugih Arto 320210201022

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU FARMASI

FAKULTAS FARMASI MILITER

UNIVERSITAS PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

2022
I. Tujuan
a. Mahasiswa mampu menerapkan metode pengujian obat diuretika.
b. Mahasiswa mampu mengevaluasi potensi obat diuretika.
c. Mahasiswa mampu mengevaluasi pengaruh obat kholinomimetik,
muskarinik blocker, agonis adrenergik dan adrenergik bloker pada
otot iris mata tikus.
d. Mahasiswa mampu menjelaskan efek kholinergik dan
antikholinergik pada kelenjar ludah.

II. Tinjauan Pustaka


1. Diuretik
Merupakan obat yang dapat menambah kecepatan dalam
pembentukan urin, diuresis sendiri mengandung dua makna yakni
penambahan volume urine yang diproduksi oleh tubuh selain itu
juga berarti menunjukan pengeluaran atau keluarnya zat zat yang
terlarut dalam air yang berfungsi untuk memetabolisme cairan
edema dalam tubuh. Metabolisme cairan edema berarti mengubah
keseimbangan cairan sesuai dengan kondisi tubuh sehingga volume
cairan ekstrasel kembali menjadi keadan normal sehingga mencapai
kembali homeostasis. Secara umum, diuretik dapat dibagi menjadi
dua golongan besar yaitu : penghambat mekanisme transport
elektrolit di dalam tubulus ginjal dan diuretik osmotik. Obat yang
dapat menghambat transport elektrolit dalam tubulus ginjal adalah :
benzotiadiazid, diuretik kuat, dan diuretik hemat kalium. Ada 3
faktor utama yang dapat mempengaruhi faktor diuretik,antara lain:
a. Tempat kerja diuretik pada ginjal, pada organ ginjal diuretik yang
bekerja sebagai bagian dari reabsorbsi natrium sedikit akan
memberikan efek yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan
diuretik yang bekerja pada daerah reabsorbsi dengan jumlah
natrium lebih banyak.
b. Pengaruh status dari organ, contohnya seperti dekompensasi
jantung, sirosis hati, gagal ginjal. Hal tersebut akan memberikan
respon yang berbeda beda setiap diuretik.
c. Adanya interaksi obat dengan reseptornya. Pada kebanyakan
sistem kerja diuretik dengan cara mengurangi reabsorpsi
natrium yang ada dalam tubuh, sehingga pengeluarannya
melewati saluran kemih dan juga air menjadi lebih banyak.
Diuretik dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu :

a. Diuretik Kuat
Obat obat dalam golongan ini bekerja pada bagian henle
bagian asenden dengan epitel tebal dengan cara menghambat
transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Contoh obat
dalam kelompok ini adalah furosemide yang merupakan turunan
dari sulfonamid dan dapat digunakan sebagai obat hipertensi.
b. Diuretik Hemat Kalium
Obat diuretik dalam kelompok ini bekerja tepat di hilir distal
dan duktus koligentes pada daerah korteks dengan kerja
menghambat reabsorbsi natrium dan mensekresi kalium dengan
jalan secara antagonisme kompetitif (sipiironolakton) atau
dengan secara langsung (triamteren dan amilorida). contoh obat
dalam kelompok ini adalah spironolakton yang merupakan
penghambat aldosteron yang memiliki struktur mirip dengan
hormon ilmiah.
c. Diuretik Golongan Tiazid
Kelompok diuretik gologan tiazid bekerja pada hulu tubuli
distal dengan cara menghambat reabsorbsi natrium klorida. obat
obat yang termasuk dalam golongan ini adalah klorotiazid,
hidroklorotiazid, siklotiazid dan lain sebagainya.
d. Digolongan Pengahambat Enzim Karbonik Anhidrase
Obat Diuretik ini bekerja pada bagian tubuli Proksimal
dengan cara menghambat reabsorpsi bikarbonat. Zat ini
merintangi enzim karbonanbidrase di tubuli proksimal, sehingga
disamping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih banyak
dan bersamaan dengan banyaknya air dalam tubuh. Obat
patennya adalah Miamox. Obat golongan diuretik ini adalah
asetazolamid, diklorofenamid, dan meatzolamid.
e. Diuretik Osmotik
Diuretik ini bekerja pada beberapa bagian yaitu antara lain
pada tubuli proksimal, andsa henle, dan duktus koligentes.Istilah
diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit
yang mudah serta cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat
bertindak sebagai diuretic osmotic apabila memenuhi 4 syarat,
atara lain: difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, tidak atau
hanya sedikit direabsorbsi sel tubulus ginjal, secara farmakologis
merupakan zat yang inert, dan umumnya resisten terhadap
perubahan-perubahan metabolic.
2. Midriatika dan Siklopegik
Berfungsi menyebabkan dilatasi pupil, namun siklopegik
mempunyai efek tambahan yaitu menyebabkan paralisis otot siliar
sehingga melumpuhkan akomodasi. Penggunaan utamanya adalah
untuk :
a. Menyebabkan dilatasi pupil sehingga mempermudah
pemeriksaan fundus okuli.
b. Melumpuhkan akomodasi pada pemeriksaan “kelainan refraksi
anak2”.
c. Menyebabkan dilatasi pupil dan lumpuhnya akomodasi pada
uveitis untuk mencegah pembentukan sinekia dan mengurangi
nyeri dan fotofobia.
d. Melebarkan pupil selama pembedahan lensa yang memerlukan
pupil tetap melebar.
Dalam penggunaannya, midriatika dan siklopegik harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan bakat glaukoma
sudut sempit sebab kedua obat ini dapat menyebabkan serangan
glaukoma akut. Pada pemeriksaan fundus dengan midriatika terlebih
dahulu dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata. Dalam percobaan
kali ini, digunakan obat atropin sulfat.
3. Saraf Otonom
Obat-obat otonom yang digunakan dalam praktikum kali ini
dapat mempengaruhi saraf otonom. Susunan saraf otonom (SSO)
menyebar luas di berbagai organ viseral yang mengatur fungsi
otonom yang tidak dapat dikontrol oleh kesadaran. SSO ini dibagi
menjadi dua yaitu saraf simpatis dan parasimpatis yang secara
umum memiliki sifat yang berlawasan satu sama lain.
Sistem saraf simpatis memiliki neurotransmitter utama yaitu
noradrenalin dan adrenalin sedangkan pada parasimpatis memiliki
neurotransmitter utama yaitu asetilkolin. Sistem saraf simpatis
berfungsi mempertahankan tubuh terhadap tantangan dari luar
dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri (fight or
flight), sedangkan sistem saraf simpatis secara umum berperan
dalam fungsi konservasi dan reservasi tubuh (rest and digest).
Sistem saraf simpatis bersifat katabolik/mengeluarkan energi,
sedangkan sistem saraf parasimpatis bersifat anabolik/menyimpan
energi.
Secara umum, simpatis dan parasimpatis memiliki fungsi yang
antagonis. Bila satu memacu fungsi suatu organ, maka satu lagi
menghambat fungsi organ tersebut. Organ tubuh umumnya
dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis dan tonus yang
terlihat merupakan hasil perimbangan dari kedua sistem tersebut.
Perlu diketahui bahwa efek simpatis dan parasimpatis tidak selalu
antagonis, dapat terjadi efek yang sama. Selain itu, sistem simpatis
dan parasimpatis dapat juga saling melengkapi seperti dalam ereksi
yang merupakan perangsangan saraf parasimpatis, sedangkan
ejakulasi yang merupakan perangsangan saraf simpatis.
Dalam tubuh manusia, terdapat beberapa lokasi reseptor
adrenergik (3) antara lain; (a) adrenoreseptor a1 yang terutama
terdapat pada otot polos arteri, post synaptic dan rangsangannya
menyebabkan vasokontriksi; (b) adrenoreseptor a2 yang terutama
terdapat pada ujung saraf simpatis (pre synaptic), rangsangannya
menghambat pelepasan noradrenalin; (c) adrenoreseptor b1 yang
terutama terdapat pada otot jantung; (d) adrenoreseptor b2 yang
terutama terdapat pada otot polos, bronkus, pembuluh darah, dan
uterus, dan (e) adrenoreseptor b3 yang terutama terdapat pada
jaringan lemak.
Berikut ini adalah jenis-jenis obat yang bekerja pada saraf
otonom, antara lain :
a. Obat Adrenergik (Simpatomimetik) : memiliki efek menyerupai
efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatik atau
mirip neurotransmitter norepinefrin dan epinefrin. Obat-obat
yang termasuk dalam adrenergik ini meliputi alfa agonist, mixed
alfa and beta agonist, beta agonist, dan dopamine agonist. Salah
satu obat yang termasuk dalam jenis ini adalah
adrenalin/epinefrin.
b. Obat anti Adrenergik (Simpatolitik) : menghambat timbulnya
efek akibat aktivitas saraf simpatik (menghambat perangsangan
adrenergik). Penghambatan aktivitas saraf adrenergik dapat
terjadi di dua tempat sehingga obat anti adrenergik dibagi
menjadi central acting (menghambat pelepasan
adrenalin/noradrenalin dari ujung saraf adrenergik) dan
adrenoreceptor blocker (bekerja dengan menduduki
adrenoreseptor sehingga mengurangi respon terhadap
perangsangan saraf adrenergik maupun terhadap obat
adrenergik eksogen → alfa blocker & beta blocker).
c. Obat Parasimpatomimetik (Kolirgenik) : Obat ini memiliki efek
yang berlawanan dengan obat adrenergik. Asetilkolin setelah
dilepaskan dari ujung saraf parasimpatik (kolirgenik)
menimbulkan efek pada organ yang dipersarafinya melalui
perangsangan reseptor muskarinik. Obat yang memiliki efek
menyerupai asetilkolin disebut parasimpatomimetik. Obat
kolinergik dibagi menjadi dua golongan; (1) golongan yang
langsung merangsang reseptor muskarinik disebut agonis
muskarinik, sedangkan yang merangsang reseptor nikotinik
disebut agonis nikotinik, (2) golongan yang menghancurkan
enzim kolinesterase sehingga meningkatkan jumlah asetilkolin
dalam celah sinaps disebut anti-kolinesterase. Salah satu obat
yang termasuk dalam golongan ini yaitu pilokarpin.
d. Parasimpatolitik (anti-kolirgenik) : obat yang berfungsi
menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf parasimpatis.
Terbagi menjadi 3 jenis yaitu; (1) antagonis muskarinik yang
bekerja mengantagonis reseptor muskarinik yang menyebabkan
hambatan semua fungsi muskarinik. Salah satu obat yang
termasuk dalam antagonis muskarinik yaitu atropin sulfat. (2)
antagonis ganglion yang bekerja memblokir reseptor nikotinik
pada ganglia simpatis dan parasimpatis. (3) bloker
neuromuskular yang dapat menyebabkan paralisis seluruh otot
(kelumpuhan otot), termasuk otot pernapasan sehingga
peralatan ventilasi harus dipersiapkan sebelum menyuntikkan
obat ini, serta harus tersedia zat pemulih.

4. Obat yang Digunakan


a. Furosemide
Termasuk dalam jenis loop diuretik yang memiliki mula kerja
yang lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada
golongan thiazid. Obat ini dapat menguras cairan tubuh dan
elektrolit dengan cepat sekali. Obat ini memiliki indikasi antara
lain; pasien dengan retensi cairan yang berat (edema, ascites),
hypertensive heart failure, edema paru akut, edema pada
sindrom nefrotik, insufiensi renal kronik, dan sirosis hepatik.
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti; hipotensi,
hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia, hiperurisemia,
ototoksisitas, hiperglisemia, serta meningkatkan LDL kolesterol.
Menurut farmakope Indonesia Farmakokinetik obat Diuretik kuat
terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi elektrolit
Na+/K+/2Cl- di ansa Henle asendens bagian epitel tebal tempat
kerjanya dipermukaan sel epitel bagian luminal (yang
menghadap ke lumen tubuli).
b. Atropin Sulfate
Dalam sediaan tetes mata, merupakan siklopegik kuat dan
juga bersifat midriatik. Efek maksimal dicapai dalam waktu 30-40
menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan
normal kembali 2 minggu setelah obat dihentikan.
c. Adrenalin (Epinefrin)
Merupakan prototipe obat adrenergik. Epinefrin bekerja pada
semua reseptor adrenergik a1, a2, b1, dan b2. Pada umumnya
pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergik. Terdapat beberapa perbedaan karena
neurotransmitter pada saraf adrenergik adalah norepinefrin.
Efek paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah, dan otot polos lain. Secara farmakodinamik,
epinefrin adalah sama persis apabila saraf simpatis dirangsang.
Epinefrin meningkatkan kontraktilitas dan laju jantung, serta
menimbulkan vasokontriksi. Dengan demikian epinefrin
meningkatkan tekanan darah. Pada paru-paru epinefrin
menimbulkan bronkorelaksasi dan pada usus menurunkan
peristaltik. Efek metabolik epinefrin adalah meningkatkan gula
darah dan asam lemak bebas. Sedangkan secara farmakokinetik,
epinefrin dapat dirusak oleh COMT dan MAO yang banya terdapat
pada dinding usus sehingga obat ini tidak dapat diberikan secara
P.O. Epinefrin dimetabolisme di hati yang kemudian hasil
metabolismenya dikeluarkan melalui urin.
d. Pilokarpin
Obat ini banyak digunakan sebagai obat tetes mata untuk
menurunkan tekanan intraokular pada glaukoma. Pilokarpin
0.2%-4% merupakan obat golongan agonis kolinergik kerja
langsung pada reseptor muskarinik M3. Pilocarpine tetes mata
merupakan obat agonis kolinergik yang bekerja langsung untuk
mempengaruhi otot pada mata sehingga meningkatkan aliran
dari cairan dalam bola mata. Cara kerja ini bisa menurunkan
tekanan dalam bola mata. Selain itu, obat ini juga bisa
mengecilkan ukuran pupil.

5. Rute Pemberian Obat yang Digunakan


a. Per Oral
Merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan
karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah banyak
faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerjasama dengan penderita
(tidak dapat diberikan pada pasien koma).
Kebanyakan obat oral diserap dengan baik di sepanjang
saluran cerna. Obat oral harus tahan terhadap lingkungan asam
dalam lambung & harus menembus lapisan usus sebelum
memasuki aliran darah. Namun terdapat beberapa obat yang
tidak dapat diberikan secara oral karena dapat diinaktivasi oleh
enzim (insulin).
b. Topikal
Bermanfaat untuk pemberian obat-obat lokal. Paling banyak
digunakan untuk preparat dermatologi, mata, dan telinga.
c. Intravena
Pemberian I.V tidak mengalami tahap absorbsi sehingga
kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat
disesuaikan langsung dengan respon pasien. Pemberian secara
I.V harus dilakukan secara perlahan sambil terus mengawasi
respon pasien. Kerugiannya yaitu efek toksi mudah terjadi karena
kadar obat yang tinggi segara mencapai darah dan jaringan.
d. Intraperitoneal
Pemberian intraperitoneal adalah rute yang paling umum
digunakan karena tekniknya yang mudah. Besarnya luas
permukaan rongga peritoneal dan banyaknya suplai darah
memungkinkan laju absorbsi yang cepat. Keterbatasan injeksi
intraperitoneal adalah sensitivitas jaringan terhadap substansi
yang dapat mengiritasi dan kurangnya toleransi terhadap larutan
dengan pH non-fisiologis. Larutan harus isotonis dan volume
cairan yang cukup banyak dapat dimasukkan secara
intraperitoneal.
e. Intramuskuler
Pada pemberian obat secara I.M, kelarutan obat dalam air
menentukan kecepatan dan kelengkapan absorbsi. Obat yang
sukar larut dalam air pada pH fisiologik akan mengendap di
tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat. Obat
yang larut dalam air diserap cukup cepat, tergantung dari aliran
darah di tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di daerah
deltoid/vastus lateralis daripada di daerah gluteus maksimus.
Obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorbsi
dengan sangat lambat&konstan.
6. Hewan Uji yang Digunakan
a. Kelinci
Hewan kelinci termasuk dalam filum Chordata dengan
subfilum vertebrata Tubuh kelinci (Lepus nigricollis) dibagi
menjadi empat bagian antara lain caput (kepala), Cervix (leher),
Trunchus, (Badan) dan Cauda (ckor). Pada caput terdapat rima
oris (rongga mulut), vibrisae, nares, organo visus dan telinga
yang panjang. Pada tubuh bagian luar kelinci (Lepus nigricollis)
dilapisi oleh kulit dan ditumbuhi oleh banyak rambut. Memiliki
bentuk hidung silindris. Mempunyai daun telinga yang panjang
dan menghadap ke depan. Kaki berjumlah dua pasang, kaki
bagian depan lebih pendek dari pada bagian belakang.
Pada bagian kepala (caput) telah diketahui mata dan telinga
yang lebar. Mata yang besar terletak di bagian samping darki
kepala. kelopak mata ada dua macam yaitu : palpebru interior.
Selain itu juga pada kepala (caput) terdapat rongga mulut
( rimaoris) yang terdapat pada dua bibir yaitu (bibir atas dan
bibir bawah). Lubang hidung terletak ncong. Vibrissae berupa
rambut-rambut kaku yang berfungsi untuk mendeteksi makanan
waktu didalam tanah. Lingua dilapisi oleh mucosa, penuh dengan
tonjolan-tonjolan kecil yang mengandung gerombolan sel syaraf
atau intra perasa yang berhubungan dengan ujung-ujung syaraf.
Pada bagian Icher (cervix) kelinci (lepus nigricollis) ini
merupakan bagian penghubung antara kepala dan badan.
Sedangkan pada bagian badan (Truncus) terdapat thorax,
abdomen, dorsum, glatea, pineum, dan glandula mamae. Pada
bagian ekornya (Cauda) tampak lebih pendek karena sebagian
besar tersembunyi dibalik perutnya yang berambut tebal.
b. Tikus
Tikus putih merupakan salah satu hewan yang sering menjadi
hewan uji dikarenakan memiliki kondisi yang hampir mirip
dengan manusia, serta keberadaannya yang mudah didapatkan.
Tikus atau rat ( Rattus norvegicus) telah diketahui sifat - sifatnya
dengansempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang
relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian.
Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki suatu
yang khusus tertentu antara lain galut spraguk-dowy. Berwarna
albino putih, berkepala kecil dan ekomya lebih panjang daripada
badannya; galur wister ditandai dengan kepala besar dan ekor
yang lebih pendek, dan galur long-evans yang lebih kecil daripada
tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh
bagian depan.
III. Metode
a. Alat dan Bahan
1. Tikus, kelinci
2. Sonde oral
3. Loupe
4. Furosemid
5. Pilokarpin
6. Atropin
7. Kandang metabolisme
b. Cara Kerja
1. Aktivitas Diuretika
a. Puasakan tikus 1 malam, tetapi tetap diberi minum.
b. Beri pada semua tikus air hangat sebanyak 5 ml/200 gram
BB secara oral.
c. Suntikkan obat secara i.p (Furosemid dosis I 20 mg/manusia,
dosis II 40 mg/manusia).
d. Tempatkan masing-masing tikus dalam kandang khusus dan
tampung urin selama 60 menit.
e. Catat frekuensi dan volume urinasi.
f. Hitung presentase volume urin kumulatif selama 60 menit
terhadap volume air yang diberikan secara oral.
2. Pengaruh obat otonom terhadap otot iris
a. Ukur pupil mata kelinci dengan menggunakan loupe, kalau
perlu dengan cahaya biasa.
b. Teteskan atropin pada mata kiri dan adrenalin pada mata
kanan (teteskan pada lekuk bawah mata masing-masing 1
tetes), ukur pupil.
c. Setelah 1 jam efek hilang. Apabila setelah 1 jam efek belum
hilang, lakukan pembilasan dengan aquadest.
d. Teteskan pilokarpin pada mata kiri dan kanan masing-
masing 1 tetes, kemudian tetesi mata kiri dengan atropin.
Ukur pupil.
3. Pengaruh Obat Otonom pada Kelenjar Ludah
a. Sedasikan kelinci dengan Ketamin dengan dosis 42 - 45
mg/kg BB secara i.v.
b. Suntikkan larutan pilokarpin dengan dosis 5 mg/kg bb
secara i.m, catat munculnya saliva selama 5 menit, tampung
dan ukur volume saliva.
c. Suntikkan atropin sulfat secara i.v dengan dosis 0,25
mg/kgBB.
d. Catat munculnya saliva selama 5 menit,
e. tampung dan ukur volume saliva.

IV. Hasil Pengamatan


1. Perhitungan Dosis

No Sampel Obat Perhitungan Dosis


DIURETIKA
1 Tikus : Furosemide D2 136
Dosis : 40 x 0,018 x ≈ 0,5 mg
136 gram (40 mg/man) 200
I.P max 2-5 ml 0,5
0,05 % → ≈ 1 ml
0,5
Air Panas 136
→5x ≈ 3,4 ml
P.O max 5 ml 200
OBAT OTONOM PADA KELENJAR LUDAH
2 Kelinci : Ketamine Dosis : 45 x 1,87=84,15 mg
1,87 kg (45 mg/kgBB) 84,15
5%→ ≈ 1,7 ml
I.V max 5-10 ml 50
Pilokarpin Dosis :5 x 1,87=9,35 mg
(5 mg/kgBB) 9,35
2%→ ≈ 0,5 ml
I.M max 0,5 ml 20
Atropin SO4 Dosis :0,25 x 1,87 ≈ 0,5mg
(0,25 mg/kgBB) 0,5
2%→ ≈ 2ml
I.V max 5-10 ml 0,25

2. Hasil Uji Diuretika

Kelompok Obat Hasil


1 Furosemide D1 4x urinasi
(20 mg/man) Volume urine = 4 ml
Air Hangat 3,5 ml
2 Furosemide D2 12x urinasi
(40 mg/man) Volume urine = 6 ml
Air Hangat 3,6 ml
3 Kontrol NaCl 0,5 ml -
Air Hangat 3,4 ml
4 Furosemide D1 5x urinasi
(20 mg/man) Volume urine = 4,9 ml
Air Hangat 3,6 ml
5 Furosemide D2 10x urinasi
(40 mg/man)
Air Hangat 3,3 ml Volume urine = 7,1 ml
6 Kontrol NaCl 0,5 ml -
Air Hangat 3,5 ml
7 Furosemide D1 6x urinasi
(20 mg/man) Volume urine = 5 ml
Air Hangat 3,65 ml
8 Furosemide D2 8x urinasi
(40 mg/man) Volume urine = 6,8 ml
Air Hangat 3,5 ml

3. Hasil Pengaruh Obat Otonom terhadap Otot Iris

Kelinci Mata Kiri (cm) Mata Kanan (cm)


Normal 0,7 0,6
+atropine +adrenaline
Menit ke-5 0,8 0,9
Menit ke-10 0,9 0,9
Menit ke-15 1 1
+pilokarpin, +atropine +pilokarpin
Menit ke-5 0,9 0,9
Menit ke-10 0,9 0,9

4. Hasil Uji Obat Otonom terhadap Sekresi Saliva

Kelompok Hasil Tampung Saliva


1 Beker 1 Beker 2
2 - -
3 - -
4 - -
5 - -
6 - -
7 - -
8 - -
V. Pembahasan
Pada praktikum uji yang diujikan pada hewan uji tikus merupakan
pengujian obat yang berfungsi sebagai diuretik. Diuretik merupakan
jenis obat yang dapat mempengaruhi jumlah urin yang dibentuk dalam
tubuh sehingga mempercepat pengeluaran urine dari dalam tubuh.
Diuretik memiliki fungsi utama sebagai sarana mobilisasi cairan edema
yang berarti mengubah keseimbangan cairan pada dalam tubuh
sehingga cairan ekstra sel akan kembali menjadi jumlah dan keadaan
yang normal.Obat yang digunakan pada uji diuretik kali ini adalah
Furosemid, Pilokarpin, Atropin dari ketiga obat tersebut kelompok
kami mendapatkan bagian obat Furosemid Dosis 2. Furosemid
golongan 2 merupakan obat golongan Loop Diuretic atau obat diuretik
yang tergolong dalam golongan kuat dengan mekanisme kerjanya
menghambat kotranspor Na+/ K+ atau Cl- sehingga jumlahnya menjadi
menurun dalam tubuh (Mycel,2011). Pemberian obat furosemid
memiliki tujuan untuk memberikan efek meningkatkan ekskresi K+ dan
kadar asam urat plasma, eksresi C++ dan Mg++ yang ditingkatkan
sebanding dengan naiknya jumlah volume Na+.

Praktikum dilakukan dengan menimbang berat badan tikus


terlebih dahulu, setelah mengetahui berat badan tikus dengan berat
badan 136 gram, sehingga dapat dilanjutkan dengan perhitungan dosis.
Furosemide D2 dengan pemberian secara I.P dengan maximal 2-5 ml
diberikan dengan konsentrasi 0.05% sebanyak 1 ml. Sebelum
disuntikan Furosemid sebanyak 1 ml, tikus diberikan aquades secara
oral dengan sonde sebanyak 3,4 ml. Setelah disuntikan obat, tikus
dimasukkan ke dalam kandang metabolisme selama 60 menit, amati
serta catat jumlah urine yang dikeluarkan oleh tikus.
Hasil yang diperoleh dari percobaan pada tikus yang diberikan
furosemid setelah beberapa menit, tikus pada kandang metabolisme
tidak langsung memberikan respon membuang urine, tikus masih
seperti pada keadaan normal. Dari 8 kelompok terdapat 2 kelompok
yang mendapati hewan uji nya tidak mengeluarkan urine selama 60
menit. Kedua kelompok tersebut merupakan kelompok tikus kontrol
yang disuntikan NaCl. Hasil tikus yang disuntikan obat furosemid
dengan tikus yang disuntik obat furosemid menunjukan hasil yang
sangat signifikan, tikus yang hanya diberi hanya NaCl sebagai kontrol
tidak mengeluarkan urine sama sekali walaupun sebelum disuntikan
NaCl sudah diberikan aquades sesuai dengan perhitungan dosis. Tikus
yang disuntikkan obat furosemid mengeluarkan urine 4 kali hingga 12
kali, dengan jumlah volume urine paling sedikit adalah 4 ml dan volume
yang paling banyak adalah 7,1 ml.
Berdasarkan literatur dosis normal furosemide adalah 20-40 mg,
namun dosis yang diberikan sebanyak 1 ml. Rata rata tikus yang
disuntikan obat furosemide mengeluarkan urine lebih banyak
volumenya daripada aquades yang dimasukan secara oral. Menurut
teori furosemid merupakan obat yang tergolong dalam diuretik kuat
yang digunakan sebagai penghilang air dan garam dari dalam tubuh
sehingga menghilangkan cairan cairan dalam tubuh bahkan edema
pada jaringan tikus tersebut keluar seluruhnya melalui urine, sehingga
volume urine lebih banyak. Furosemid merupakan obat diuretik kuat.
Furosemid yang berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6
jam). Mekanisme kerjanya pada lengkungan henle dengan cara
mereabsorsi kurang lebih 25% semua ion yang telah difiltrasi secara
aktif kemudian terjadi reabsorpsi pasif dari dan tetapi pengeluaran air
juga diperbanyak. Awal tindakan setelah oral adalah dalam waktu satu
jam,dan diuresis berlangsung sekitar 6-8 jam, waktu paruhnya
tergantung pada fungsi ginjal biasanya waktu paruh obat ini 2 hari.
Obat furosemid mudah diserap melalui saluran cerna. Bioavabilitas
furosemid 65% diuretik kuat terikat pada protein plasma secara
ekstensif sehingga tidak difiltrasi di glomerolus tetapi cepat sekali
disekresi melalui system transport asam organik ditubuli proksimal.
Percobaan pada hewan uji yang kedua menggunakan kelinci
karena diameter pupil pada kelinci yang akan dijadikan pembanding.
Obat otonom yang digunakan terdiri atas atropin, adrenalin dan
pilokarpin. Langkah awal yang dilakukan adalah mengukur panjang
diameter pupil sebelum diberikan obat otonom pada mata kiri dan
kanan didapat masing - masing 0,7 dan 0,6. Obat otonom yang
diberikan adalah atropin dan adrenalin, merupakan golongan obat
antimuskarinik yang berefek pada dilatasi pupil atau pembesaran pada
pupil. Setelah diberikan atropin pada mata kiri dan adrenalin pada
menit ke 5, 10, 15 ukuran baik pada mata kiri dan kanan relatif
bertambah ukuran dari yang sebelumnya 0,7 pada mata normal
menjadi 0,8;0,9;1 pada menit ke 5,10, dan 15. Hal demikian juga terjadi
pada mata kanan yang ditambahkan dengan penambahan ukuran pupil
dari 0,6 menjadi 0,9;0,9;1 pada menit ke 5,10, dan 15. Obat baru
bertambah pada menit ke - 5 karena obat baru bekerja dan efek
kontriksi pupil baru terjadi.
Berdasarkan teori yang ada efek dari atropin dapat di counter
oleh pilokarpin dengan dosis 0.2%-4% yang merupakan obat golongan
agonis kolinergik yang langsung bekerja pada reseptor muskarinik M3.
Otot mata merupakan efek yang ditimbulkan oleh obat agonis
kolinergik ini dengan meningkatkan aliran dari cairan pada bola mata.
Hal ini yang menjadi faktor pilokarpin dapat menurunkan tekanan
dalam bola mata. Selain itu, obat ini juga bisa mengecilkan ukuran pupil.
Setelah 15 menit percobaan menggunakan atropin dan adrenalin, 15
menit kedua, mata kelinci diteteskan dengan pilokarpin dan atropin
(gabungan) pada mata kiri dan pilokarpin saja pada mata kanan. Dari
pengamatan kelompok kami ukuran pupil pada kelinci tidak mengalami
perubahan hingga menit ke-5 dan menit ke-10. Seharusnya yang terjadi
adalah penurunan ukuran pupil terutama pada mata bagian kanan
karena yang diteteskan hanya pilokarpin, namun tidak berefek apapun.
Letak kesalahan dapat terjadi oleh dua faktor yakni human error, pada
saat pemberian obat tetes mata meleset tidak mengenai mata secara
pasti atau pengukuran ukuran pupil mata yang dibantu oleh lup atau
kaca pembesar mengalami kesalahan sehingga yang seharusnya ukuran
pupil mata mengecil namun memiliki ukuran yang bukan ukuran
aslinya. Faktor kedua merupakan faktor dari obat pilokarpin tersendiri,
obat bisa saja kadaluwarsa atau faktor lain yang muncul dari obat
tersebut. Perlu digarasbawahi terdapat langkah yang cukup penting
saat sebelum dilakukan penetesan pilokarpin, kelinci terlebih dahulu
diteteskan dengan aquadest beberapa kali dengan tujuan untuk
membantu menetralisir efek dari atropin yang sebelumnya diteteskan.
Percobaan terakhir merupakan uji obat otonom pada kelenjar
saliva, pada uji ini kelinci disuntikan dengan intravenal yaitu pada
bagian telinga kelinci untuk mendapatkan reaksi tercepat karena obat
masuk langsung ke pembuluh darah tanpa melalui proses absorbsi
untuk obat masuk ke sistem sistemik. Untuk menghasilkan saliva tanpa
kelinci menahan saliva atau tidak mengeluarkan saliva dari mulutnya,
kelinci dilakukan penyuntikan obat anastesi yaitu ketamine dengan
dosis 1,7 ml. Dengan dosis tersebut kelinci akan tertidur dan seperti
yang terjadi pada praktikum anestesi kemarin, kelinci akan tidak
sadarkan diri. Reflek untuk menelan atau menjilat kembali saliva
menghilang sehingga saliva seharusnya dapat tertampung. Setelah
melalui penyuntikan anastesi, kelinci diberikan obat pilokarpin
sebanyak 0,5 ml dan atropin sebanyak 2 ml tergantung dengan obat
yang tersedia. Prinsip obat tersebut adalah sama yaitu antagonis dan
agonis. Pilokarpin yang merupakan agonis kolinergik yang langsung
bekerja merangsang organ - organ yang seharusnya dilayani oleh saraf
parasimpatis serta memperagakan efek perangsang oleh asetilkolin
sedangkan atropin sebagai antagonis koligernik yang spesifikasiannya
sebagai obat antimuskarinik melawan atau menghambat yang ligan
mencapai reseptornya berkebalikan dengan agonis.
Pilokarpin sebagai agen parasimpatomimetik kolinergik
seharusnya dapat meningkatkan sekresi saliva atau kelenjar eksokrin
selain konstriksi pupil. Meskipun setelah disuntikkan pilokarpin
dilanjutkan dengan atropine saliva akan tetap keluar dari mulut akibat
anastesi yang masih bereaksi. Berdasarkan pengamatan saliva tidak
dapat dikeluarkan akibat dari beberapa penyebab antara lain, faktor
ketamine yang kurang baik sehingga dosis yang diberikan melalui
perhitungan tidak melakukan kerja anastesi yang sesuai, faktor stress
dari kelinci tersebut menyebabkan obat ketamine yang disuntikkan
bisa saja tidak masuk seluruhnya atau hanya sebagian saja. Kegagalan
percobaan terakhir merupakan akibat dari ketamine sebagai anastesi
pada kelinci sehingga kelinci masih dapat untuk menjilat atau
mengontrol salivanya sendiri sehingga saliva tidak dapat dikeluarkan
dan tidak ada saliva yang tertampung pada beaker glass.

VI. Kesimpulan
Dari praktikum yang dilakukan kali ini dapat ditarik kesimpulan,
sebagaimana berikut :
1. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan
pembentukan urine pada tubuh makhluk hidup.
2. Furosemide merupakan obat diuretik yang tergolong paling kuat,
sehingga memengaruhi pengeluaran urine pada hewan uji.
3. Volume urine yang dikeluarkan hewan uji tergantung dosis yang
diberikan setelah diketahui berat badan, sehingga apabila dosis
dinaikan maka efek yang dihasilkan juga akan bertambah.
4. Obat otonom merupakan obat yang bekerja pada berbagai macam
susunan pada saraf otonom. Obat otonom akan memengaruhi secara
spesifik dan bekerja pada dosis kecil, obat obat otonom akan
bekerja memengarui penenerusan saraf impuls dalam susunan saraf
otonom dengan jalan menganggu sintesa, penimbunan, pembebasan
atau penguraian neurohormon dan akan memberikan efek secara
spesifik.
5. Obat otonom yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu Atropine
dan Pilocarpine Obat otonom dibedakan berdasarkan khasiatnya
yaitu yang bekerja pada Susunan simpatik (adrenergic dan
adrenolitik), yang bekerja pada susunan parasimpatik yaitu
kolinergik dan antikolinergik, serta zat perintang ganglion.
6. Obat golongan kolinergik seperti pilokarpin merupakan obat yang
memebrikan efek penurunan kontraksi otot siliaris mata yang
akhirnya akan memberikan efek miosis dengan cepat, serta
merangsang sekresi kelenjar yang terikat pada kelenjar keringat,
mata dan saliva. Atropin dan antimuskarinik lain yang diberikan
secara putopikal dapat menyebabkan pupil midriasis atau melebar
dan kelemahan otot siliaris sehingga pada mata tidak mampu
melakukan akomodasi. Atropin menghambat sekresi kelenjar saliva
sehingga mukosa mulut menjadi kering.

VII. Daftar Pustaka

Anonim. 1985. Tanaman Obat Indonesia Jilid I. Jakarta: Depkes RI

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI

Ganiswara SG, et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru

Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 1 1. Jakarta:


EGC

Jay, Than Hoon dan Kirana Raharja. 2002. Obat Obat Penting. Jakarta: PT.
Gramedia

Katzung BG, 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik: Obat-Obat Kardiovaskular-


Ginjal, Edisi
10, EGC, Jakarta, p. 240-58.

Rang HP, Dale MM, R itter JM, Flower RJ, Henderson G, 2011, Rang and Dale's
Pharmacology: DrugsAffecting Major Organ Systems, 7th Edition,
Elsevier Saunders,
Philadelphia, p. 353-56

Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar, 2008, Masalah Penggunaan


Diuretika.
www.kalbe.co.id, Diakses pada 14 Juni 2015 Pukul 21:52.

Tjay, T.H., K. Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan


Efek-Efek Sampingnya, Edisi Kelima, Cetakan Pertama, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai