PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
OBAT DIURETIK
Tim Penyusun :
dr. Ratih Dewi Yudhani, M.Sc.
Dr. dr. Setyo Sri Rahardjo,M.Kes.
Siti Ma’rufah, M.Sc., Apt
dr. Endang Ediningsih,M,Kes.
Prof. Dr. dr. Muchsin Doewes, PFarK
dr. Nur Hafida Hikmayani, M.Clin. Epid
dr. Ratih Puspita Febrinasari, M.Sc.
1
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
------------------------------------------------------------------------------------------------
2
PENDAHULUAN
Diuretik adalah obat yang memungkinkan ginjal untuk mengekskresikan urin lebih
banyak, yang pada gilirannya membantu menghilangkan kelebihan cairan dari tubuh.
Diuretik sering diberikan kepada pasien yang menderita gagal jantung kongestif dan dapat
diberikan baik intravena sebagai larutan atau dalam bentuk pil. Beberapa diuretik adalah agen
antihipertensi yang efektif.
Sebagian besar obat diuretik mekanisme kerjanya pada permukaan luminal dari sel-sel
tubulis renalis. Mekanisme aksi dari obat diueretik bervariasi, diantaranya :
1. Interaksi stereoselekstif dengan protein transport spesifik yang ada di membran Contoh :
thiazid, furosemid, amiloride
2. Melalui mekanisme osmotik sehingga menghambat absorbsi air pada segmen nefron yang
permaebilitasnya terhadap air tinggi
Contoh : manitol
3. Interaksi spesifik dengan enzim
Contoh : azetazolamid
4. Interaksi spesifik dengan reseptor hormon pada sel epitel renal
Contoh : Spironolakton
Lokasi aksi tiap golongan diuretik bisa dilihat pada gambar 1.
Farmakokinetik
Inhibitor carbonic anhidrase diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral.
Peningkatan pH urine karena diuresis ion bikarbonat terjadi setelah 30 menit sampai
maksimal 2 jam setelah pemberian dan bertahan selama 12 jam setelah pemberian dosis
tunggal.
Ekskresi obat ini terjadi pada tubulus proksimal ginjal. Oleh karena itu, dosisnya
mesti dikurangi pada penderita insufisiensi renal.
Farmakodinamik
Penghambatan aktivitas carbonic anhidrase akan menurunkan reabsorbsi ion
bikarbonat di tubulus proksimal. Pada dosis maksimal yang masih aman, akan menekan
kapasitas reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal sebesar 85%. Ion bikarbonat yang
lain masih dapat diabsorbsi pada bagian lain nefron melalui mekanisme yang tidak terkait
dengan karbonik anhidrase.
Penghambatan carbonic anhidrase ini mengakibatan hilangnya ion bikarbonat secara
signifikan dan memicu asidosis metabolik hiperchloremik. Deplesi ion bikarbonat ini akan
memicu reabsorbsi NaCl sehingga efikasi asetazolamid akan menurun setelah
pemberiannya selama beberapa hari.
Oleh karena itu, aplikasi klinis yang utama dari acetazolamid digunakan pada lokasi
lain selain ginjal, yang mekanismenya juga melibatkan transport ion bikarbonat terkait
dengan aktivitas carbonic anhidrase. Lokasi tersebut diantaranya pada aqueous humor
mata maupun liquor cerebrospinalis otak. Pemberian inhibitor carbonic anhidrase akan
mempengaruhi pH dan juga kuantitas produksi dari kedua cairan tersebut.
2. Loop Diuretik
Loop diuretik dikenal juga sebagai diuretik kuat. Obat golongan ini mekanisme
kerjanya secara selektif menghambat reabsorbsi NaCl pada ansa henle segmen thick
ascending. Mekanisme kerja inilah yang mendasari obat ini merupakan diuretik yang
paling efektif karena kapasitas absorbsi NaCl paling besar terjadi pada ansa henle segmen
thick ascending ini. Obat diuretik yang termasuk golongan ini adalah furosemid dan asam
etakrinat.
Farmakokinetik
Diuretik golongan ini absorbsinya terjadi secar cepat. Eliminasi terjadi melalui sekresi
tubulus dan juga filtrasi glomerolus. Absorbsi furosemid terjadi dalam waktu 2-3 jam dan
absorbsinya hampir sempurna jika diberikan secara intravena. Respon diuretik juga terjadi
dalam waktu relatif sangat cepat setelah injeksi intravena. Durasi efek furosemid
umumnya selama 2-3 jam dan waktu paruhnya dipengaruhi oleh fungsi ginjal.
Farmakodinamik
Diuretik golongan ini bekerja dengan cara menghambat transporter luminal Na+ /K+
/2Cl- di daerah ansa Henle segmen thick ascending. Penghambatan transporter tersebut
mengakibatkan penurunan reabsorbsi NaCl dan juga mengurangi positivitas potensial
listrik lumen yang dipengaruhi ion K+. Potensial listrik secara normal memicu reabsorbsi
kation-kation divalen, dengan adanya pengurangan potensial listrik tersebut oleh loop
diuretik akan terjadi peningkatan ekskresi Mg2+ dan Ca2+ .
Untuk mempermudah pemahaman, jalur transportion melewati membran luminal dan
membran basolateral sel-sel segmen ascending ansa henle dijelaskan pada gambar 2.
5
Gambar 2. Jalur transport ion melewati membran luminal dan membran basolateral
sel-sel segmen ascending ansa henle. Positivitas potensial listrik membran
dipengaruhi olah ion K+ yang akan memicu reabsorbsi kation divalen
melalui jalur paraseluler (Gambar diambil dari Katzung)
Penggunaan loop diuretik dalam jangka waktu lama, pada beberapa pasien akan
mengakibatkan hipomagnesemia. Loop diuretik secara umum tidak mengakibatkan
hipokalsemia karena ion Ca2+ secara aktif direabsorbsi pada tubulus kontortus distal.
Selain aktivitas diuretik, loop diuretik juga memiliki efek langsung pada aliran darah
melalui beberapa dinding pembuluh darah. Furosemide dan asam etakrinat mampu
mengurangi kongesti pulmoner dan mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri pada
gagal jantung sebelum peningkatan pengeluaran urine terjadi.
Toksisitas
Beberapa toksisitas dari loop diuretik diantaranya :
a. Alkalosis metabolik hipokalemi
b. Ototoksisitas
c. Hiperurisemia
d. Hipomagnesemia
e. Reaksi Alergi
6
3. Thiazid
Thiazid bekerja dengan cara menghambat transport NaCl di tubulus kontortus distal.
Contoh diuretik golongan ini adalah hidrochlorothiazid.
Farmakokinetik
Chlorotiazid tidak larut didalam lemak sehingga harus diberikan dalam dosis besar.
Chlortalidone absorbsinya lambat dan memiliki durasi aksi yang lebih lama. Semua
golongan thiazid disekresi oleh sistem sekresi asam organik di tubulus proksimal dan
berkompetisi dengan sekresi asam urat sehingga sekresi asam urat bisa menurun dan
terjadi peningkatan kadar asam urat di plasma.
Farmakodinamik
Thiazid menghambat Na+/Cl- transporter sehingga menghambat reasorbsi NaCl dari
sisi luminal sel-sel epitel pada tubulus kontortus distal. Berlawanan dengan efek loop
diuretik yang menghambat reabsorbsi Ca2+ di ansa Henle, thiazid meningkatkan reabsorbsi
Ca2+ di tubulus kontortus distal.
Peningkatan reabsorbsi Ca2+ ini terjadi diduga karena thiazid memblok masuknya Na+
ke dalam sel sehingga Na+ intrasel menurun. Hal ini akan memicu pertukaran Na+ /Ca2+ di
membran basolateral yang akan meningkatkan reabsorbsi Ca2+ . Proses ini dijelaskan pada
gamber 3.
Gambar 3. Jalur transport ion melewati membran luminal dan membran basolateral
tubulus kontortus distal (Gambar diambil dari Katzung)
Farmakokinetik
Spironolakton merupakan steroid sintetik yang beraksi sebagai antagonis kompetitif
aldosteron. Inaktivasi spironolakton terjadi di liver. Secara umum spironolakton memiliki
onset yang lambat dan memerlukan waktu beberapa hari hingga bisa mencapai efek terapi
maksimal.
Eplerenon merupakan analog spironolakton yang memiliki selektivitas lebih tinggi
pada reseptor aldosteron. Amiloride diekskresikan dalam bentuk aslinya di urin.
Triamteren dimetabolisme di liver dan eliminasi utama terjadi di ginjal. Triamteren
dimetabolisme secara eksesif dan memiliki waktu paruh yang lebih pendek, sehingga
harus diberikan lebih sering dibanding amilorid.
Farmakodinamik
Diuretik hemat kalium mengurangi absorbsi ion Na+ pada tubulus dan duktus
kolektivus. Absorbsi ion Na+ dan pasangannya yaitu sekresi K+ pada daerah tersebut
diregulasi oleh aldosteron. Reabsorbsi Na+ melalui epitelial Na channel (EnaC) dan
sekresi K+ diregulasi oleh aldosteron. Hormon ini meningkatkan aktifitas kanal membran
apikal dan Na+/K+ ATPase di basolateral. Hal ini akan meningkatkan potensial listrik
transepitelial yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan sekresi K+. Hal ini dijelaskan
pada gambar 4.
Diuretik hemat kalium (antagonis aldosteron) mempengaruhi proses tersebut di atas.
Sprironolacton dan eplerenon berikatan dengan reseptor aldosteron dan juga mengurangi
pembentukan metabolit aktif aldosteron intraseluler. Triamteren dan amiloride tidak
memblok reseptor aldosteron, namun secara langsung menghambat masuknya Na+ melalui
ENaC di membran apikal dari tubulus kolektivus. Karenaa sekresi K+ berpasangan dengan
masuknya Na+, maka triamteren dan amilorid juga efektif sebagai diuretik hemat kalium.
8
Gambar 4. Jalur transport Ion dan H2O melewati membran luminal dan membran
basolateral tubulus kolektivus dan sel-sel duktus kolektivus. Masuknya
Na+ ke dalam sel mengakibatkan potensia negatif di lumen yang akan
memicu reabsorbsi CL- dan efflux K+ (gambar diambil dari Katzung)
Indikasi Klinis dan Dosis
Diuretik golongan ini sangat berguna pada keadaan adanya kelebihan
mineralokortikoid karena adanya hipersekresi primer (sindrom Conn’s, produksi ACTH
ektopik) maupun aldosteronisme sekunder (gagal jantung, sirosis hepatis, sindroma
nefrotik dan beberapa kondisi lain yang mengurangi volume intravaskuler). Pemberian
diuretik golongan lain pada kasus-kasus tersebut di atas, seperti thiazid maupun loop
diuretik dapat mengakibatkan sekresi K+ secara berlebihan. Diuretik hemat kalium bisa
mencegah respon tersebut.
Toksisitas
Beberapa toksisitas dari diuretik hemat kalium diantaranya :
a. Hiperkalemia
b. Asidosis metabolik hiperchloremik
c. Batu ginjal terutama triamteren
d. Ginekomastia,dll
Kontraindikasi
Obat golongan ini bisa mengakibatkan hiperkalemia yang fatal pada beberapa pasien
tertentu. Suplementasi K+ harus dihentikan jika pada pasien tersebut diberikan diuretik
hemat kalium. Pasien dengan insufisiensi ginjal kronik sebaiknya tidak diterapi dengan
9
obat ini. Pengunnaan obat tersebut bersamaan dengan obat lain yang menekan sistem
renin-angiotensin (β-blocker atau inhibitor ACE) akan meningkatkan kecenderungan
untuk terjadinya hiperkalemia.
Pada pasien dengan penyakit liver, bisa terjadi kegagalan metabolisme triamteren dan
spironolacton, sehingga penyesuaian dosis pemberian pada pasien tersebut harus bener-
benar diperhatikan.
5. Diuretik Osmotik
Tubulus proksimal dan ansa henle segmen descending memiliki permaebilitas yang
tinggi terhadap air. Obat osmotik tidak mengalami reabsorbsi sehingga mengakibatkan air
tetap tertahan pada segmen tersebut dan memicu diuresis. Obat golongan ini juga bisa
menurunkan tekanan intrakranial. Contoh obat golongan ini adalah mannitol.
Farmakokinetik
Diuretik osmotik, absorbsinya sangat buruk sehingga harus diberikan secara
parenteral. Mannitol tidak mengalami metabolisme dan diekskresikan secara primer
melalui filtrasi glomerolus, tanpa adanya reabsorbsi maupun sekresi tubuler, dalam waktu
30-60 menit setelah pemberian.
Farmakodinamik
Diuretik osmotik efek utamanya pada segmen nefron yang permeabel terhadap air
(tubulus proksimal dan ansa henle segmen descending). Obat ini juga menghambat efek
ADH pada tubulus kolektivus. Adanya larutan yang sulit diabsorbsi seperti mannitol akan
mencegah absorbsi air karena adanya tekanan osmotik. Hal ini mengakibatkan volume
urin meningkat.
10
Toksisitas
a. Peningkatan Volume Ekstraseluler
Mannitol didistribusi secara cepat ke dalam kompartemen ekstraseluler dan akan
menarik air dari dalam sel. Selain memicu diuresis, pemberian obat ini bisa
mengakibatkan peningkatan volume ekstraseluler. Efek ini akan memperberat gagal
jantung dan juga bisa edema pulmo.
b. Dehidrasi dan Hipernatremia
Penggunaan mannitol tanpa disertai pemberian cairan yang adekuat dapat memicu
terjadinya dehidrasi dan hipernatremi. Komplikasi ini dapat dicegah dengan memonitor
komposisi ion serum dan menjaga keseimbangan cairan.
Dari uraian di atas tampak bahwa diuretik sering kali dipergunakan di dalam klinik
untuk mengurangi oedema baik yang disebabkan oleh karena kelainan pada jantung ataupun
kelainan pada hati. Diuretik memegang peranan penting dalam pemberian obat tunggal
maupun kombinasi dengan obat lain untuk mengurangi dan menghilangkan berbagai jenis
oedema. Kadang diuretik dipergunakan untuk menimbulkan diuresis guna mempercepat
pengeluaran racun dalam tubuh. Diuresis akan dapat kita lihat pada praktikum ini dengan
probandus kelinci jantan. Obat dan alat yang dipersiapkan di dalam praktikum diuretik,
sebagai berikut :
11
Persiapan :
Buatlah kelompok-kelompok yang terdiri dari 5-10 mahasiswa tiap kelompok. Selanjutnya
tiap kelompok mengambil satu kelinci jantan dan ditimbang lalu dicatat beratnya. Tiap
kelompok mengambil kelinci sesuai dengan diuretik yang tersedia.
Cara Kerja :
Tahap I
Ambillah kelinci yang sudah ditimbang, letakkan terbaring di atas fixed bed kemudian
diikat keempat kakinya, perlakukan binatang percobaan sehalus mungkin (jangan kasar)
sebab dapat membuat binatang stres.
Setelah fiksasi kelinci selesai, ambil kateter yang sebelumnya telah dicelupkan dahulu ke
dalam parafin liquid. Selanjutnya masukkan kateter, tangan kanan memegang kateter dan
tangan kiri memegang uretra kelinci, bila terasa sudah masuk ke dalam vesica urinaria maka
akan keluar urin yang pertama kali, ini berarti vesica urinaria betul-betul sudah kosong.
Buang urin yang keluar pertama tadi, selanjtnya kelinci dilepaskan dari ikatan dan tunggu
selama 30 menit, lalu kelinci kembali kita fixir pada tempat semula.
Tahap II
Setelah kelinci berada di atas fixer bed dengan keempat kaki terikat, kita ulangi
pengeluaran urin seperti tahap I, begitu urin sudah keluar kita tampung dalam beker glass,
kita catat dalam gelas ukur ada berapa cc, inilah sebagai urin kontrol sebelum diberi obat.
Tahap III
Setelah dicatat urin kontrol, kelinci masih dalam keadaan difixie bed, kemudian kita
masukkan diuretik dengan tuberkulin spuit melalui vena telinga, untuk memudahkan melihat
vena telinga kelinci, kita sinari belakang telinga dengan baterei kecil, maka akan terlihat
dengan jelas vena tersebut. Setelah diuretik di dalam tuberkulin spuit sudah habis, jarum kita
lepas, kemudian kita catat waktunya, bekas suntikan kita beri olesan kapas yang sudah diberi
alkohol. Selanjutnya kelinci kita lepaskan dari ikatannya, kita biarkan bebas bergerak dan
12
berikan minuman serta makanan selama 30 menit. Setelah itu, kelinci kita ambil lagi, jadi
dalam tahap III ini adalah tahap pemberian obat.
Tahap IV
Setelah 30 menit kelinci diistirahatkan, kita pegang lagi kelinci dan letakkan di fixir
bed kemudian kita ambil urinnya dengan kateter. Setelah urin keluar, kita tampung
menggunakan beker glass, kemudian kita tuangkan ke dalam gelas ukur dan kita catat berapa
cc urin tersebut. Setelah itu, kelinci kita lepas lagi dan biarkan bebas bergerak selama 30
menit. Selanjutnya, kita pegang dan letakkan di fixir bed kembali lalu kita ambil lagi urinnya
dan kita ukur berapa cc urin yang keluar tesebut. Ulangi 3x bila waktu memungkinkan.
Tahap V
Tahap ini adalah tahap pencatatan dan pengumpulan hasil praktikum.
Pada tahap IV setelah berulang kali kita ambil urinnya, kemudian kita jumlahkan hasil
pengumpulan urin tadi, ada berapa cc. Setelah mendapatkan hasilnya, kita bandingkan
dengan urin kontrol atau urin sebelum diberi diuretik, kemudian kita buat grafiknya. Grafik
ini untuk mengetahui hubungan jumlah urin sebelum diberi diuretik dengan jumlah urin
setelah diberi diuretik setiap 30 menit. Setelah selesai semuanya, buatlah kesimpulan dari
hasil praktikum.
Bahasan :
- Apakah yang disebut diuretik ?
- Apa yang disebut diuresis ?
- Sebutkan macam-macam diuretik !
- Sebutkan indikasi dan kontraindikasi minimal 3 macam diuretik !
- Apakah kepentingan pembuatan grafik pada tahap V ?
- Sebutkan golongan diuretik kuat, mekanisme kerja dan tempat kerjanya !
13