Anda di halaman 1dari 8

Model Spasial Bahaya Lahan Kritis ........................................................................................................................................ (Kubangun dkk.

MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS


DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR DAN SUKABUMI
(Spatial Model of Critical Land Hazard at Bogor, Cianjur and Sukabumi Regencies)
Siti Hadjar Kubangun1, Oteng Haridjaja2 dan Komarsa Gandasasmita2
1Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
2Departemen Ilmu Tanah dan Sumber daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680


E-mail : sh.kubangun@gmail.com

Diterima (received): 30 September 2014; Direvisi (revised): 26 Oktober 2014; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 13 November 2014

ABSTRAK

Pemanfaatan lahan yang melampaui kemampuan lahannya dapat mengakibatkan kelestarian sumber daya
lahan menjadi terancam. Keadaan inilah yang mengakibatkan lahan mengalami proses degradasi dengan
cepat, yang jika dibiarkan maka lahan-lahan tersebut akan menjadi kritis. Pengumpulan data dan informasi
dalam mengidentifikasi bahaya lahan kritis dapat dilakukan dengan pembaharuan model berdasarkan teknik
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Sebagai salah satu cara untuk mendukung penanganan
lahan kritis, maka penelitian ini bertujuan untuk menyusun parameter spasial penentu kekritisan lahan dengan
skala semi-detail, sebagai model untuk mengidentifikasi kekritisan lahan. Model spasial dibangun dengan
menganalisis indeks penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan, bahaya erosi dan kerapatan vegetasi.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat 892,57 km2 (9%) lahan tidak kritis; 3.220,45 km2 (31%) lahan
agak kritis; 4.307,77 km2 (41%) kritis sedang; 1.774,77 km2 (17%) lahan kritis I; dan 214,84 km2 (2%) lahan
sangat kritis yang terdapat di lokasi penelitian. Lahan kritis kerap dihubungkan dengan intervensi pengguna
atas lahan. Pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan dan dengan mengikuti kaidah
konservasi tanah dan air, serta peran pemerintah dengan mengkonservasi daerah hulu diharapkan dapat
meminimalisasi bahaya yang ditimbulkan oleh lahan kritis.

Kata Kunci: model spasial, semi detail, bahaya lahan kritis, mitigasi

ABSTRACT

Landuse that has outstripped its ability can result in threats to the sustainability of soil resources. This
condition can lead to degraded rapidly, which if left unchecked will become critical. Designation of critical land
hazard obtained from updating the model is based on remote sensing techniques and geographic information
systems. As one way to underpin the management of critical areas, this research aimed to get a spatial
parameter as a decisive causal factor of soil with a semi-detailed scale, as a good example to identify the
criticality of land. The spatial model made by analyzing an index of land use on land capability, vegetation
density, and erosion. The identification results showed that there were 892.57 km 2 (9%) of land area is not
critical; 3,220.45 km2 (31%) is rather critical; 4,307.77 km2 (41%) were critical; 1,774.77 km2 (17%) critical; and
214.84 km2 (2%) are very critical.Critical land, often associated with user intervention on the land.Land use that
follows the land capability, and follow the rules of land conservation as well as the government's role in
conservation of water catchment areas are expected to minimize the vulnerability of the critical land area.

Keywords: spatial models, semi detail, critical land hazard, mitigation

PENDAHULUAN diakibatkan oleh eksploitasi pengguna lahan yang


melampaui kemampuan lahannya. Namun, secara
Lahan saat ini memiliki kuantitas dan kualitas alami lahan kritis didukung oleh kondisi fisik wilayah
yang semakin terbatas. Lahan dengan jumlah yang yang kurang menguntungkan, seperti curah hujan
tetap namun dengan penggunaan yang terus yang tinggi, lereng yang curam dan keadaan tanah
meningkat, menjadikan lahan yang memiliki yang peka terhadap erosi.
kemampuan yang terbatas tetap dimanfaatkan Provinsi Jawa Barat memiliki bentang lahan
(Wehrmann, 2011). Keadaan inilah yang akhirnya yang beragam, mulai dari datar pada bagian utara
mengakibatkan lahan mengalami proses degradasi hingga berbukit dan bergunung pada bagian
dengan cepat dan mengakibatkan daya dukung selatan; seperti Kabupaten Bogor, Cianjur, dan
lahan menjadi terganggu. Sukabumi. Ketiga kabupaten ini memiliki curah
Lahan dikatakan kritis ketika fungsi tanah telah hujan yang beragam, mulai sedang hingga sangat
terganggu secara nyata dalam peruntukannya, tinggi. Wilayah ini memiliki pegunungan yang
(Barus, dkk., 2011). Lahan kritis pada umumnya didominasi material vulkanik, yang mengakibatkan

149
Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 149 - 156

tanah di kabupaten-kabupaten tersebut bersifat Selva, serta peralatan lapangan meliputi GPS
peka terhadap erosi. Peristiwa erosi kemudian (Global Positioning System) dan kamera.
semakin dipercepat dan dengan tingginya aktivitas
masyarakat terhadap lahan. Dengan demikian, Tahapan Penelitian
ketiga daerah ini dinilai mewakili kondisi lahan yang
mendukung terjadinya lahan kritis. Penelitian ini diawali dengan pengkajian studi
Dampak yang terjadi akibat lahan kritis, tidak pustaka parameter penentu lahan kritis yang telah
hanya mengakibatkan lahan mengalami penurunan dipublikasikan sebelumnya oleh Puslittanak (1997),
fungsi-fungsi tanah, namun juga membahayakan KLH (2000), Kementerian Kehutanan (2009) serta
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dengan para peneliti; Mashudi (2010), dan Barus dkk.,
banyaknya dampak yang ditimbulkan, lahan kritis (2011) yang menjadi dasar dalam membangun
telah menjadi perhatian dari berbagai pihak, model. Hasil telaah pustaka ini menghasilkan
beberapa instansi terkait telah melakukan program- tutupan lahan, bahaya erosi dan lereng yang
program yang bertujuan merehabilitasi lahan-lahan merupakan parameter dominan yang digunakan
yang dikatakan kritis; namun, dengan terdapatnya dalam mengidentifikasi lahan kritis. Selain ketiga
perbedaan definisi, kriteria, klasifikasi, serta parameter dominan tersebut, penentuan parameter
prioritas penanganan dari berbagai lembaga, maka dibuat dengan mempertimbangkan konsep spasial
hal ini menjadi salah satu faktor penghambat terjadinya lahan kritis.
keberhasilan mitigasi lahan kritis. Pemanfaatan lahan yang melampaui
Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk kemampuan lahan, akan mempercepat terjadinya
mengurangi resiko, baik melalui pembangunan fisik peristiwa erosi sehingga mengakibatkan lahan
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan terdegradasi. Jika keadaan ini dibiarkan, maka
dalam menghadapi suatu ancaman (BNPB, 2012). kualitas lahan akan menjadi semakin buruk hingga
Pada ancaman bahaya lahan kritis, upaya mitigasi mengakibatkan lahan menjadi kritis, namun adanya
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat kegiatan konservasi dan tutupan lahan yang baik,
kekritisan lahan dengan cara menganalisis faktor- akan meminimalisir laju erosi dan kualitas lahan
faktor atau parameter penentu terjadinya lahan dapat tetap terjaga.
kritis. Hal ini meliputi sifat-sifat fisik lahan yang Berdasarkan konsep tersebut, maka model
alami dan non-alami, seperti pengelolaan dan spasial yang dibangun adalah dengan menganalisis
penggunaan lahan oleh manusia. indeks penggunaan lahan terhadap kemampuan
Keakuratan data dan ketepatan dalam lahan, bahaya erosi dan kerapatan vegetasi
penyampaiannya, sangat diperlukan demi sebagai parameter yang dapat mempengaruhi
tercapainya informasi yang tepat. Pendekatan terjadinya bahaya erosi. Metode/pendekatan
dalam penentuan identifikasi lahan kritis dilakukan penentuan tiap parameter bahaya erosi adalah
dengan membangun suatu model spasial. Model sebagai berikut:
merupakan penyederhanaan suatu sistem di dunia
nyata (real world) yang dapat berbasis spasial
Indeks Penggunaan Lahan terhadap
dengan bantuan teknik penginderaan jauh dan
Kemampuan Lahan
Sistem Informasi Geografis (SIG) (Candra, 2011).
Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk
Parameter ini ditentukan berdasarkan pada
membangun model spasial bahaya lahan kritis
perbandingan antara kelas kemampuan lahan
pada output semi-detail.
dengan penggunaan lahan. Penilaian ini dilakukan
dengan cara menetapkan kelas kemampuan lahan,
METODE
yakni dengan menguraikan faktor penghambat
pada sistem lahan dengan mengurutkan kualitas
Penelitian dilaksanakan di wilayah administrasi lahan yang dari yang terbaik hingga terburuk,
Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, tidak berdasarkan prinsip Liebig (Hardjowigeno, 2007);
termasuk Kota Bogor dan Kota Sukabumi. Secara sedangkan untuk penggunaan lahan, diperoleh dari
geografis lokasi penelitian terletak pada 6º19’ – peta penutupan/penggunaan lahan hasil
7°25’ LS dan 106º1’ – 107°25’ BT. Waktu penelitian interpretasi Citra landsat 7 ETM.
dimulai pada bulan September 2013 hingga
Februari 2014. Bahaya Erosi
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
berupa: (1) Literatur yang berkaitan dengan lahan Parameten ini dapat diukur berdasarkan
kritis, (2) Peta Rupa Bumi Indonesia lokasi tingkat kedetailan pengamatan dengan bantuan
penelitian dari Badan Informasi Geospasial (BIG), teknologi informasi pada analisis GIS (Herawati,
(3) Citra satelit Landsat ETM 7 (Path 122 Row 2010). Pada tingkat mikro (detail) potensi bahaya
065), dan (4) Peta-peta tematik terkait fisik lahan, erosi secara detail dianalisis menggunakan
yakni Peta Tanah, Peta Curah Hujan, Data DEM pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equaliton)
SRTM dan Peta Penutupan/Penggunaan Lahan. ataupun RUSLE (Revised Universal Soil Loss
Peralatan untuk menganalisis data pemodelan Equaliton) pada suatu bidang lahan (Hardjowigeno,
spasial mencakup unit Hardware komputer beserta 2007); sedangkan untuk tingkat meso (semi-detail),
Software Microsoft Office, ArcGIS 10, dan Idrisi

150
Model Spasial Bahaya Lahan Kritis ........................................................................................................................................ (Kubangun dkk.)

bahaya erosi diprediksi dengan menganalisis secara normal dengan laju yang lambat sejalan
klasifikasi kemampuan lahan dengan pendekatan dengan proses pembentukan tanah (Arsyad, 2010).
USLE, yakni menganalisis data spasial fisik lahan Tahapan selanjutnya dilakukan analisis
menggunakan data spasial curah hujan, tanah, tumpang tindih (overlay) dengan menjumlahkan
lereng dan vegetasi, dengan asumsi tindakan atribut secara simultan (Indarto dan Faisol, 2012).
konservasi akan bernilai sama dengan ada Hasil dari penjumlahan ini, merupakan nilai total
tidaknya vegetasi dalam kawasan tersebut (Arsyad, lahan kritis, seperti pada Persamaan 3. Dan
2010). selanjutnya akan dihasilkan output baru yang
memiliki nilai hasil penjumlahan dari semua
Kerapatan Vegetasi parameter. Hasil inilah yang diklasifikasikan
menjadi 5 kelas lahan kritis, dengan menggunakan
Parameter ini dihasilkan dari transformasi interval kelas dari Persamaan 4.
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
yang menganalisis band merah dan band infra- LK = Σ {W (1) + W (2) + …….. + W (n)} ……. (3)
merah pada Citra Landsat ETM 7 dengan
mengukur rasio antara pantulan kedua band dimana :
tersebut. Band-band tersebut berada pada panjang LK = Lahan kritis
gelombang 0,63-0,69 µm dan 0,76-0,90 µm, yang W = Bobot parameter
berfungsi membedakan pantulan objek pada 1 – n = Parameter lahan kritis
vegetasi (khlorofil) dengan lahan terbuka (tanah),
sehingga dapat menjadi acuan dalam menduga Interval kelas = Nilai tertinggi – Nilai terendah … (4)
indeks kerapatan vegetasi. Nilai NDVI diperoleh Jumlah kelas
berdasarkan Persamaan 1, oleh Eastman (1997)
Dengan demikian kelas lahan kritis yang
dalam Raymoon (2013).
dihasilkan adalah kelas lahan tidak kritis (≤1,8),
agak kritis (>1,8-2,6), kritis sedang (>2,6-3,4), kritis
NDVI = Near Infra Red – Visible Light …......(1) I (>3,4-4,2), dan sangat kritis (>4,2-5,0). Interval
Near Infra Red + Visible Light kelas digunakan sebagai pengelompokkan kelas
(delineasi) data spasial dan data atribut pada
Tahap selanjutnya adalah analisis data analisis GIS.
spasial, dengan cara memboboti tiap parameter
penentu lahan kritis berdasarkan pada pentingnya HASIL DAN PEMBAHASAN
kontribusi (besarnya potensi) tiap parameter
terhadap terjadinya bahaya lahan kritis.
Identifikasi bahaya lahan kritis dihasilkan
Pembobotan dilakukan dengan Persamaan 2
dengan menganalisis data spasial parameter
seperti yang digunakan Wahyunto, dkk., (2007).
penentu lahan kritis.
Wij = n – rj + 1 ….....................................(2)
Indeks Penggunaan Lahan
Σ (n – rj + 1)
dimana :
Wij = Bobot yang dinormalkan Penetapan indeks penggunaan lahan
n = Jumlah parameter k – i (j = 1,2,…n) ditentukan dengan membandingkan kelas
rj = Urutan parameter kemampuan lahan dengan penutupan/penggunaan
lahan. Pada penelitian ini indeks penggunaan yang
tergolong Sangat Baik meliputi 2.236,49 km2 (21%)
Indeks penggunaan lahan terhadap yang terdapat pada punggung hingga puncak
kemampuan lahan, sebagai kepentingan pertama
gunung dengan tutupan lahan hutan. Walaupun
memiliki bobot 0,50, kerapatan vegetasi dianggap
daerah ini tergolong sangat baik, jika tutupan lahan
sebagai parameter yang memiliki kepentingan hutannya diubah maka lahan ini akan sangat cepat
kedua, karena dapat mempengaruhi bahaya erosi mengalami degradasi dan rusak, akibat kelas
yakni dengan bobot 0,33 dan bahaya erosi dengan
kemampuan lahan yang tergolong kelas VI – VII,
kepentingan terakhir memiliki bobot 0,17.
serta daerah-daerah yang memang diperuntukan
Kepentingan ini juga merujuk pada literatur yang
sebagai daerah konservasi (air, biodiversitas, dan
menjelaskan bahwa penutupan/penggunaan lahan
penyedia jasa lingkungan).
yang baik memiliki peran yang besar terhadap
lahan, karena sifat fisik lahan merupakan faktor Indeks penggunaan lahan yang Baik, meliputi
yang sulit diubah (Wahyunto dkk., 2007). 2.013,06 km2 (19%) dengan penggunaan lahan
sawah dan permukiman. Kedua penggunaan lahan
Masing-masing parameter penentu bahaya
ini memang sesuai dengan kemampuan dan
lahan kritis ditetapkan menjadi 5 (lima) kelas peruntukannya, karena daerah ini menempati
dengan skor 1-5 yang berarti tiap kriteria wilayah dengan kelas kemampuan lahan I-II.
memberikan pengaruh mulai dari tingkat sangat
rendah hingga sangat tinggi. Skor tidak diawali Penggunaan lahan pertanian merupakan
dengan skor 0, hal ini dikarenakan lahan secara penggunaan lahan yang dominan terdapat di lokasi
alami mengalami peristiwa erosi, namun berjalan penelitian, yang tersebar di seluruh wilayah dengan

151
Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 149 - 156

kelerengan yang beragam, mulai dari 0-35%, 2.303,23 km2 (22%) dan 2.294,60 km2 (22%). Hasil
dengan kelas kemampuan lahan berkisar I-VI dan analisis kerapatan vegetasi lokasi penelitian,
dengan indeks penggunaan lahan yang tergolong seperti yang disajikan pada Gambar 2.
Baik, Cukup, sampai Buruk.
Indeks penggunaan lahan yang tergolong Bahaya Erosi
Cukup (sedang) merupakan indeks yang paling
banyak, yakni 4.170,69 km2 (40%), sedangkan Bahaya erosi yang Sangat Ringan dan Ringan
indeks yang tergolong Buruk meliputi 1.775,18 km2 hanya meliputi 303,78 km2 (3%) dan 1.635,57 km2
(17%). Lahan yang tergolong Sangat Buruk hanya (16%) yang pada umumnya berada pada bagian
berkisar 2% (214,99 km2). Peta indeks utara lokasi penelitian, dengan lereng 0-8% dan
penggunaan lahan lokasi penelitian seperti curah hujan berkisar 2.500-3.000 mm/thn,
disajikan pada Gambar 1. sedangkan bahaya erosi yang tergolong Sedang
meliputi 2.897,94 km2 (28%). Lokasi penelitian
Kerapatan Vegetasi memiliki tingkat bahaya erosi yang didominasi oleh
bahaya yang tergolong Berat, yakni 4.404,02 km2
Kerapatan vegetasi diperoleh dari nilai NDVI (42%). Bahaya yang tergolong berat ini didukung
(Normalized Difference Vegetation Index). Pada dengan kondisi fisik lahan penelitian yang memiliki
daerah yang bervegetasi, nilai NDVI mendekati nilai lereng yang berbukit dan bergunung, curah hujan
satu (1) yang ditunjukkan dengan warna terang, yang tergolong sangat tinggi yang mencapai lebih
sedangkan untuk non-vegetasi, nilai NDVI dari 4.000 mm/tahun di sebagian wilayah
mendekati minus satu (-1) dengan warna gelap. penelitian, serta tanah yang didominasi oleh
Hasil analisis menunjukkan kerapatan vegetasi material vulkanik, akibat adanya gunung vulkanik
sangat rapat (hutan) hanya mencakup 6% yang yang terdapat di tengah-tengah lokasi penelitian;
terdapat pada puncak gunung dan bukit, meliputi namun, untuk bahaya erosi Sangat Berat hanya
658,71 km2. Untuk kelas kerapatan yang Rapat, meliputi 1.169,09 km2 (11%) pada penggunaan
Cukup, Jarang dan Sangat Jarang (tak bervegetasi) lahan pertanian pada lereng yang berada >25%.
tersebar merata di lokasi penelitian, yakni berturut- Peta bahaya erosi dapat dilihat pada Gambar 3.
turut 2.384,89 km2 (23%); 2.68,97 km2 (27%);

Gambar 1. Peta Indeks Penggunaan Lahan.

152
Model Spasial Bahaya Lahan Kritis ........................................................................................................................................ (Kubangun dkk.)

Gambar 2. Peta Kerapatan Vegetasi.

Gambar 3. Peta Bahaya Erosi.

Hasil Identifikasi Bahaya Lahan Kritis kemampuan lahan dan peruntukannya.


Penggunaan lahan ini berupa lahan budidaya,
Berdasarkan pemodelan spasial lahan kritis lahan terbangun dan hutan primer. Untuk ketiga
yang dibuat, hasilnya seperti disajikan pada peta kabupaten, areal ini menempati urutan kedua
dan luasan bahaya lahan kritis disajikan pada secara total, yaitu seluas 892,57 km2 (9%).
Gambar 4 dan Tabel 1. Wilayah ini ditunjukkan dengan warna hijau tua,
Lahan dikatakan tidak kritis, yakni lahan yang dimana letaknya di puncak-puncak gunung dan
penggunaan lahannya sesuai dengan kelas bukit serta sebagian kecil di dataran randah.

153
Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 149 - 156

Lahan berbahaya agak kritis, yakni lahan yang kebun campuran, dan perkebunan. Daerah ini
penggunaannya sesuai dengan kemampuan memiliki kelas kemampuan yang sebaiknya
lahannya, namun fungsi budidaya/produksi diusahakan untuk tanaman tahunan, namun
dan/atau konservasi sedang mengalami penurunan keadaan di lapangan dengan kondisi berlereng
namun mudah dikembalikan ke fungsinya. Luas terjal, lahan ini dominan digunakan sebagai lahan
total ketiga kabupaten menempati 31% dari luas budidaya tanaman pertanian. Wilayah ini
total, atau 3.220,45 km2. menempati 17% dari total wilayah,
Lahan berbahaya kritis sedang, yakni lahan Lahan berbahaya sangat kritis, yakni lahan
yang kemampuan lahannya tidak sesuai dengan yang kemampuan lahannya tidak sesuai dengan
penggunaannya namun bahaya erosi berkisar penggunaannya dan sulit untuk dikembalikan ke
rendah hingga sedang dan masih dapat fungsinya dengan bahaya erosi sangat berat.
diupayakan untuk mengembalikan pada fungsi Lahan ini tersebar pada wilayah berbukit, serta
lahannya. Kedua lahan ini, menyebar di lahan berada pada lereng-lereng gunung, dengan kondisi
berombak hingga bergelombang dengan tanaman yang tidak produktif. Wilayah ini
kemiringan lereng lebih dari 8-15%, dengan menempati luasan paling kecil, yaitu 2% dari luas
penggunaan lahan dominan pertanian lahan kering. total atau 214,84 km2. Luasan ini walau kecil kalau
Lahan berbahaya kritis I, yakni lahan yang tidak dilakukan berbagai usaha untuk
kemampuan lahannya tidak sesuai dengan perbaikannya, maka akan bertambah setipa
penggunaan dan peruntukannya dan sulit untuk tahunnya. Jika diperhatikan ketiga kabupaten ini,
dikembalikan ke fungsinya dengan bahaya erosi maka kesamaan kondisi ada pada Kabupatan
berkisar sedang hingga berat. Lahan-lahan ini Ciabjur dan Sukabumi, sedangkan Kabupaten
berada pada bentuk wilayah bergelombang, Bogor berbeda kondisinya, dimana lahan agak kritis
berbukit, hingga bergunung dengan kemiringan menampati luasan pertama, baru kritis sedang,
lereng >15%. Penggunaan lahan berupa pertanian, tidak kritis, kritis I dan sangat kritis.

Gambar 4. Peta Bahaya Lahan Kritis.

154
Model Spasial Bahaya Lahan Kritis ........................................................................................................................................ (Kubangun dkk.)

Tabel 1. Luasan bahaya lahan kritis di lokasi penelitian.


Kelas Bahaya Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur Kabupaten Sukabumi Luasan Total
Kritis km2 % km2 % km2 % km2 %
Tidak Kritis 352,59 13 249,26 7 290,73 7 892,57 9
Agak Kritis 1.063,01 40 1.245,94 34 911,51 22 3.220,45 31
Kritis Sedang 950,03 36 1.387,90 38 1.969,83 48 4.307,77 41
Kritis I 265,78 10 643,26 18 865,73 21 1.774,77 17
Sangat Kritis 32,42 1 92,18 3 90,23 2 214,84 2
Jumlah 2.663,83 100 3.618,54 100 4.128,03 100 10.410,40 100
Sumber : Hasil analisis (2014)

Hasil identifikasi lahan kritis ini, kemudian Lahan dengan lereng dan elevasi yang tinggi
dilakukan validasi lapangan guna membandingkan sebaiknya tetap dijaga sebagai daerah konservasi
data spasial fisik lahan dengan kondisi lapangan, terhadap air, keanekaragaman hayati, dan jasa
selain itu validasi dilakukan sebagai standardisasi lingkungan. Akses jalan, permukiman, dan lahan
data dari model spasial yang dibuat. Validasi terbangun sebaiknya tetap hanya berada pada
dilakukan secara purposive, yang dilakukan kawasan yang memang diperuntukkan untuk
berdasarkan wawancara di lapangan dengan kawasan tersebut, dengan demikian lahan yang
pendugaan lahan termasuk area lahan kritis. digunakan bukan hanya berorientasi pada ekonomi,
Hasilnya kemudian dibandingkan dengan peta namun juga berorientasi pada lingkungan agar
lahan kritis yang telah dibuat. tetap lestari dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan,
dapat diketahui bahwa model lahan kritis yang KESIMPULAN
ditetapkan cukup optimal dengan uji validasi
mencapai 86,67%. Model ini memiliki kelebihan Model spasial lahan kritis untuk skala semi-
dalam mengidentifikasi lahan secara luas, dengan detail dibangun dengan menganalisis indeks
data-data spasial pada Output Semi-Detail, namun penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan,
pada validasi dengan lokasi yang sempit, model ini bahaya erosi dan kerapatan vegetasi. Hasil
memiliki kelemahan 13,33%. Hal ini dikarenakan identifikasi menunjukkan bahwa terdapat 892,57
semua data dan peta dasar ditujukan untuk km2 (9%) luas lahan tidak kritis; 3.220,45 km2
perencanaan skala meso, yang berguna dalam (31%) agak kritis; 4.307,77 km2 (41%) kritis sedang;
perencanaan tingkat kabupaten dan provinsi, bukan 1.774,77 km2 (17%) kritis I; dan 214,84 km2 (2%)
pada tingkat kecamatan atau yang lebih kecil. sangat kritis. Uji validasi menunjukkan model cukup
Sehingga, model ini tepat dipakai untuk tujuan optimal dengan tingkat akurasi mencapai 86,67%.
perencanaan dan pengambilan kebijakan, yang Hasil identifikasi lahan menunjukkan bahwa
dapat meliputi daerah/kawasan yang besar. lahan-lahan yang tergolong berbahaya akan kritis
Lahan-lahan yang tergolong berbahaya agak meliputi daerah yang berbukit dengan penggunaan
kritis, sangat penting untuk dijaga kualitas lahannya lahan yang diusahakan melebihi kemampuan
agar tidak mencapai kelas bahaya di atasnya. lahannya dan dengan kerapatan vegetasi yang
Lahan-lahan ini meliputi daerah berlereng yang jarang, sehingga mengakibatkan tingginya bahaya
diusahakan untuk lahan budidaya. Secara umum erosi. Lahan kritis kerap dihubungkan dengan
penggunaan lahan untuk budidaya, tidak serta- intervensi pengguna atas lahan akibat kondisi fisik
merta mengakibatkan lahan menjadi terdegradasi. lahan yang memang tidak dapat dikendalikan;
Pengaturan jenis komoditi tertentu dengan namun, usaha pengendalian dari para pengguna
manajemen lahan yang baik dapat menekan laju lahan tentu saja dapat dilakukan dengan
degradasi. penyadaran untuk mengikuti kaidah konservasi
Dalam usaha untuk tetap menjaga sumber tanah dan air dalam pemanfaatan lahan agar tetap
daya lahan, pola ruang yang tercantum dalam lestari dan berkelanjutan.
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 22 Tahun
2010 tertuang jelas mengenai distribusi peruntukan UCAPAN TERIMA KASIH
ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya.
Selain pola ruang, rehabilitasi lahan dan rencana Penulis mengucapkan terima kasih kepada
strategis oleh BP DAS Ciliwung-Cisadane (2010) Pemerintah Kabupaten Bogor, Cianjur dan
dianggap sangat baik dalam mengurangi Sukabumi yang telah membantu dalam perolehan
penyebaran lahan kritis, dengan cara melindungi data dan selama survei di lapangan. Terima kasih
kawasan lindung yang merupakan hulu DAS juga diucapkan kepada Ketua Program Studi
(Pemprov Jawa Barat, 2010). Terlepas dari Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah
peraturan pemerintah dan rencana strategis yang Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf,
telah dibuat, penanganan lahan kritis sebaiknya yang telah memberikan dukungan dan bimbingan
didukung oleh peningkatan sumber daya manusia selama pelaksanaan penelitian di laboratorium dan
dalam menggunakan lahan. berbagai masukan yang telah diberikan hingga
selesainya penelitian ini.

155
Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 149 - 156

DAFTAR PUSTAKA Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81


hlm.
Arsyad, S. (2010). Konservasi Tanah dan Air. Edisi ke-2. Pemprov Jawa Barat. (2010). Peraturan Daerah Nomor:
IPB Press. Bogor. 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
Barus, B., Gandasasmita, K., Tarigan, S. dan Rusdiana, Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029.
O. (2011). Laporan Akhir Penyusunan Kriteria Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Lahan Kritis. Pusat Pengkajian Pengembangan Kementerian Kehutanan. (2009). Peraturan Pemerintah
Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nomor: P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
BNPB. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Pentusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan
Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02 Tahun Lahan Daerah Aliran Sungai. Kementerian
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Kehutanan. Jakarta.
Bencana. Badan Nasional Penanggulangan KLH (Kementerian Lingkungan Hidup). (2000). Peraturan
Bencana (BNPB). Jakarta. Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Kriteria
Candra, D.S. (2011). Analysis of Critical Land in the Musi Baku Kerusakan Lahan di Lahan Kering untuk
Watershed Using Geografhic Informations Systems. Produksi Biomassa. Kementerian Lingkungan
International Journal of Remote Sensing and Earth Hidup. Jakarta.
Sciences. Vol.8:13-18/2011. Puslittanak. (1997). Statistik Sumber daya Lahan/Tanah
BP DAS Ciliwung-Cisadane. (2010). Statistik Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
Pembangunan Balai Pengelolaan DAS Citarum- (Puslittanak). Bogor.
Ciliwung Tahun 2009. Balai Pengelolaan Daerah Raymoon. (2013). Cara Membuat Peta NDVI dengan
Aliran Sungai (BP DAS) Ciliwung-Citarum, ArcGIS10. Diakses dari
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan http://raymoon760.wordpress.com/2013/07/02/cara-
Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Bogor. membuat-peta-ndvi-normalized-difference-
Hardjowigeno, S. (2007). Ilmu Tanah. Edisi ke-6. CV vegetation-index-dengan-arcgis-10/. [15 April 2014]
Akademika Pressindo. Jakarta. Wahyunto, D. Kuntjoro, dan Muryati, S.R. (2007).
Herawati, T. (2010). Analisis Spasial Tingkat Bahaya Inventarisasi Lahan Terdegradasi dengan Aplikasi
Erosi di Wilayah DAS Cisadane Kabupaten Bogor. Teknologi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. Prosiding Seminar Balai Besar Penelitian dan
VII No.4 : 413-424, 2010. Pusat Litbang Hutan dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian.
Konservasi Alam. Bogor. Bogor.
Indarto dan Faisol, A. (2012). Konsep Dasar Analisis Wehrmann, B. (2011). Land Use Planning: Concept,
Spasial. ANDI. Yogyakarta. Tools and Applications. Land Policy and
Mashudi. (2010). Analisis dan Pengembangan Kriteria Management on behalf of Federal Ministry of
Lahan Kritis serta Keterkaitannya dengan Economic Cooperation and Development. GIZ
Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Pertanian Eschborn. Germany.
Lahan Kering di Kabupaten Bogor. Tesis. Sekolah

156

Anda mungkin juga menyukai