A. LATAR BELAKANG
b. Adapun Manfaat bagi Rumah Sakit dari Kegiatan Bimbingan Spiritual
Tidak ada orang yang ingin menderita sakit dan semua orang yang sakit pasti
menginginkan kesembuhan. Salah satu cara meningkatkan kesembuhan adalah dengan
memberikan bimbingan rohani dan spiritual. Hal ini sesuai dengan hasil pertemuan psikiater
dan konselor sedunia di Wina Austria, Juni 2003 tentang urgensi bimbingan spiritual sebagai
sarana peningkatan religiusitas pasien.
Bimbingan spiritual ternyata berdampak kepada peningkatan kesembuhan dan
motivasi pasien. Dalam konteks ini, bimbingan spiritual merupakan pelengkap pengobatan
dan pelayanan medis di rumah sakit. Seperti halnya: IMZ merupakan salah satu jejaring
Baznas Dompet Dhuafa yang bergerak di bidang pendidikan, pelatihan, konsultasi,
publikasi, dan riset seputar zakat. Terilhami dengan kesuksesan program bimbingan Dhuafa
dengan nama Bimbingan Rohani Pasien (BRP), maka IMZ bersama BRP – LPM Baznas
Dompet Dhuafa menggagas pelatihan SCOPE, Spiritual Care On Patient. Kesuksesan
program Bimbingan Rohani Pasien dapat terlihat dengan sudah berjalannya program ini di
beberapa rumah sakit di sekitar Jakarta dan terus berdatangannya permintaan dari rumah sakit
lain di berbagai daerah. Adapun bagi rumah sakit kegiatan bimbingan spiritual jelas dapat
memberikan nilai tambah dalam hal pelayanan bagi pasiennya. Manfaat yang akan diperoleh:
1) Perawat mengetahui pentingnya memberikan bimbingan spiritual kepada orang yang sedang
sakit
2) Perawat memahami tata cara bimbingan spiritual untuk pasien sesuai dengan tuntunan Islam
3) Perawat mampu mereplikasi dan menjalankan kegiatan bimbingan spiritual bagi pasien di
tempat kerjanya
4) Rumah sakit mendapat citra yang baik di mata masyarakat nilai
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan
bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya
(WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter, terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan
spritual pasien.
Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual
klien. Akan tetapi, kebutuhan spiritual seringkali dianggap tidak penting oleh perawat. Padahal aspek
spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis dan
mendekati sakaratul maut dan seharusnya perawat bisa menjadi seperti apa yang dikemukakan oleh
Henderson, “The unique function of the nurse is to assist the individual, sick or well in the
performance of those activities contributing to health or its recovery (or to a peaceful death) that he
would perform unaided if he had the necessary strength will or knowledge”,maksudnya perawat
akan membimbing pasien saat sakaratul maut hingga meninggal dengan damai.
Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat adalah pasien terminal karena
pasien terminal, pasien yang didiagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat disembuhkan lagi
dimana berakhir dengan kematian, seperti yang dikatakan Dadang Hawari (1977,53) “orang yang
mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit
kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang
ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”. Sehingga, pasien terminal biasanya bereaksi menolak,
depresi berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh sebab itu, peran
perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi pasien yang dapat meningkatkan semangat hidup
klien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi
kehidupan yang kekal.
Dalam konsep islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau tidaknya seseorang terhadap
kematiannya untuk menemui Allah dan bagi perawat pun akan dimintai pertanggungjawabannya
nanti untuk tugasnya dalam merawat pasien di rumah sakit. Dan fase sakaratul maut adalah fase
yang sangat berat dan menyakitkan seperti yang disebutkan Rasulullah tetapi akan sangat berbeda
bagi orang yang mengerjakan amal sholeh yang bisa menghadapinya dengan tenang dan senang
hati.
“ Alangkah dahsyatnya ketika orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul
maut.” (QS. 6:93)
Al-Hasan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah mengingatkan mengenai rasa sakit dan duka akibat
kematian. Beliau bertutur, “Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan pedang.” (HR.Ibn Abi
ad-Dunya)
Begitu sakitnya menghadapi sakaratul maut sehingga perawat harus membimbing pasien dengan
cara-cara,seperti ini:
“Talqinilah orang yang akan wafat di antara kalian dengan, “Laa illaaha illallah”. Barangsiapa yang
pada akhir ucapannya, ketika hendak wafat, ‘Laa illaaha illallaah’, maka ia akan masuk surga suatu
masa kelak, kendatipun akan mengalami sebelum itu musibah yang akan menimpanya.” Perawat
muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien muslim menjelang
ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir sehingga diupayakan pasien
meninggal dalam keadaan husnul khatimah.
Para ulama berpendapat,” Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu
bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan atau
materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha Illallha menjadi
ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada pentingnya menjenguk
orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua matanya dan memberikan
hak-haknya." (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458)
Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu :
1. penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak
paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab,
2. kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.
5. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada
biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot
rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah
menerima.
Berdasarkan hadits yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda.
Artinya : “Apabila kalian mendatangi orang yang sedang sakit atau orang yang hampir mati, maka
hendaklah kalian mengucapkan perkataan yang baik-baik karena para malaikat mengamini apa yang
kalian ucapkan.” Maka perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa
yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya, mendoakan
dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas dari jasadnya.
Perawat membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT, seperti di dalam hadits
Bukhari“ Tidak akan mati masing-masing kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah SWT.”
Hal ini menunjukkan apa yang kita pikirkan seringkali seperti apa yang terjadi pada kita karena Allah
mengikuti perasangka umatNya
Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang
sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi
bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit
yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut
setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga
hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat. (Al-Mughni : 2/450
milik Ibnu Qudamah)
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat.
Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah Saw., hanya saja
dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut.
Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :
1. Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya dihadapkan kearah
kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar ia menghadap kearah kiblat.
2. Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke kiblat. Dan
Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar. Seandainya posisi
ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang tersebut berbaring kearah manapun yang
membuatnya selesai.