Anda di halaman 1dari 11

BAB II

Tinjauan Pustaka

1. SPIRITUALITAS

A. PENGERTIAN SPIRITUALITAS

Merupakan sesuatu yg di percayai oleh seseorang dlm hubunganya dgn kekuatan yg lebih tinggi (tuhan),
yg menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan thdp adanya Tuhan dan permohonan maaf atas
segala kesalahan yg pernah diperbuat.

Perawat memandang klien sbg makhluk bio-psiko-sosiokultural dan spiritual yg berespon secara unik
thdp perubahan kesehatan atau pd keadaan krisis.

Perawat berupaya untuk membantu memenuhi kebutuhan spiritual klien sbg bagian dr kebutuhan
menyeluruh klien, antara lain dgn memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spiritual klien tsb, walaupun
perawat dan klien mempunyai keyakinan spiritual atau keagamaan yg berbeda.

Menurut Burkhardt (1993) Spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:

a) Berhubungan dgn sesuatu yg tdk diketahui atau ketidakpastian dlm kehidupan.

b) Menemukan arti dan tujuan hidup.

c) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dlm diri sendiri.

d) Mpy perasaan keterikatan dgn diri sendiri dan dengan Yg Maha Tinggi.

e) Stoll (1989)

Spiritualitas sbg konsep dua dimensi:

1. VERTIKAL adalah hubungan dgn Tuhan atau Yang Maha Tinggi yg menuntun kehidupan seseorang

2. HORIZONTAL adalah hubungan seseorang dgn diri sendiri, orang lain dan dgn lingkungan.

(Carson, 1989). Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan
keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau
pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dgn Tuhan.
B. Fungsi Spiritualitas

Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup para


individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan
bagi individu. Pada saat stress individu akan mencari dukungan dari
keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima
keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan
proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti.

Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering
membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu
perlindungan bagi individu.

Berdasarkan penelitian Koening' tentang spiritualitas pada tahun 2001


menyebutkan bahwa 90 % pasien di beberapa area Amerika
menyandarkan pada agama sebagai bagian bagian dari aspek spiritual
untuk mendapatkan kenyamanan dan kekuatan ketika merasa mengalami
sakit yang serius. Pendekatan spiritual dapat meningkatkan kekuatan pada
pasien secara emosional.

Menurut America Psychological Association",


spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi
penderitaan jika seseorang sedang sakit dan mempercepat penyembuhan
selain terapi medis yang diberikan. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh
Abernethy, menyebutkan bahwa spiritualitas dapat meningkatkan imunitas yaitu kadar
interleukin-6 (IL-6) seseorang terhadap penyakit sehingga dapat mempercepat penyembuhan
bersamaan dengan terapi medis yang diberikan.

Penelitian Tauhid dan Raharjo l tentang tingkat kecemasan pasien pre operasi pada tahun 2006
menyebutkan bahwa kecemasan seseorang sangat dipengaruhi oleh aspek spiritualnya, sehingga
bagi pasien yang dirawat di rumah sakit sangat memerlukan kondisi spiritual yang baik agar
tidak cemas terhadap operasi yang akan dijalani. Hal ini juga menjadi salah satu tugas perawat
untuk memenuhi kebutuhan spiritual tersebut.

c. Faktor yang mempengaruhi Spiritualitas

1. Tahap perkembangan
Setiap orang memiliki bentuk pemenuhan kebutuhan spiritualitas yang berbeda beda berdasarkan usia,
jenis kelamin, agama dankepribadian individu. Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia
dan berhubungan dengan proses perubahan dan perkembangan pada manusia. Semakin bertambah
usia, seseorang akan membutuhkan kekuatan, menambah keyakinanya, dan membenarkan keyakinan
spiritualitasnya.

2. Keluarga
Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitasnya seseorang. Keluarga merupakan tempat
pertama kali seseorang memperoleh pengalaman, pelajaran hidup, dan pandangan hidup. Dari keluarga,
seseorang belajar tentang tuhan, kehidupan, dan diri sendiri. Keluarga memiliki ikatan emosional yang
kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari hari dengan individu.

3. Budaya
Pemenuhan spiritualitas budaya berbeda beda pada setiap budaya. Budaya dan spiritualitas
menjadidasar seseorangdalam melakukan sesuatu dan menjalani cobaan atau masalah dalam hidup
dengan seimbang. Pada umumnya seseorang akan mengikuti budaya dan spiritualitas yang dianut oleh
keluarga. Seseorang akan belajar tentang nilai moralserta spiritualitas dari hubungan keluarga. Apapun
tradisi dan sisitem kepercayaan yang dianut individu pengalaman spiritualitasmerupakan hal yang unik
bagi setiap individu.

4. Agama
Agama sangat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Agama merupakan suatu keyakinan atau ibadah
yang dipraktikan individu dalam pemenuhan spiritualitas individu. Konsep spiritual dalam agama islam
berhubungan langsung dengan Al Quran dan sunnah NabI. Al Quran maupun sunnah Nabi mengajarkan
beragam cara untuk meraih kehidupan spiritual. Pengalaman ibadah sebagai bentuk keintiman antara
hamba dan tuhannya. Menurut Rasulullah SAW, setiap muslim hendaklah selalu menjalin hubungan
yang intim dengan tuhannya setiap saat. Sebab, bagi muslim setiap gerak anggota badan, panca indra
dan bahkan hati adalah rangkaian pemenuhan kewajiban ibadah kepada nya.

5. Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup baik yang postif maupun negative memepengaruhi spiritualitas seseorang.
Pengalaman hidup dapat mempengaruhi seseorang dalam mengartikan secara spiritual terhadap
kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang
bersyukurterhadap pengalaman hidup yang menyenangkan.

6. Isu moral terkait dengan terapi


Beberapa agama menyebutkan bahwa proses penyembuhan dianggap sebagai cara tuhan untuk
menunjukan kebesarannya walaupun ada agama yang menolak intervensi pengobatan. Pengobatan
medic seringkali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama, misalnya sirkumsisi, transplantasi organ,
pencegahan kehamilan, sterilisasi. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami
oleh pasien dan tenaga kesehatan.

7. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai


Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Perawat diharapkan untuk peka terhadap
kebutuhan spiritual pasien. Tetapi dengan berbagai alas an dan kemungkinan perawat menghindar
untuk memberikan asuhan keperawatan spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa
kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya.
2. PERSFEKTIF KEPERAWATAN SPIRITUAL MENURUT AGAMA ISLAM

Kondisi Dahulu :

Mengambil tradisi Alquran dan Kenabian sebagai pedoman utama, tabib tradisional Muslim melihat
penyakit sebagai kesempatan untuk melayani, membersihkan, memurnikan dan menyeimbangkan fisik,
emosional, mental dan spiritual. Ketika dokter merawat tubuh, pembina/guru spiritual dan religius
terlibat dengan jiwa yang belas kasih. Dalam hal ini, mereka adalah dokter kejiwaan, ahli dalam pasien
yang terluka oleh dosa dan oleh masalah mental serta emosional; mereka adalah para profesional yang
tahu bagaimana menerapkan ramuan yang ampuh dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan menerapkan
media sains yang kuat sehingga setiap persoalan dapat dipulihkan.

Masa kini :

unsur agama, dalam konteks ini, iman Islam, diterapkan pada konseling, khususnya aspek akidah, ibadah
dan akhlak. Aspek iman yang diterapkan dalam konseling memiliki dampak positif pada klien, dalam
penelitian ini seperti memberikan ketenangan pikiran, mendidik mereka untuk menjadi kuat dan
tangguh dalam menghadapi masalah kehidupan dan memungkinkan mereka untuk bersikap rasional.
Dalam aspek ibadah, klien jelas termotivasi untuk melakukan praktik ibadah tertentu dan melanjutkan
hidup. Dalam aspek akhlak, klien juga termotivasi untuk mereformasi karakter mereka menjadi lebih
baik. Selain itu, ada juga implikasi pada konselor (orang yang memandu konseling) itu sendiri, di mana
mereka semakin didorong untuk menerapkan pendekatan Islam dalam konselingnya karena efek positif
yang terlihat pada klien

Trend Masa Depan :

Pada masyarakat yang menuju ke arah moderen, terjadi peningkatan kesempatan untuk
meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan pendapatan dan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap hukum dan menjadikan masyarakat lebih kritis. Kondisi itu
berpengaruh kepada pelayanan kesehatan dimana masyarakat yang kritis menghendaki
pelayanan yang bermutu dan diberikan oleh tenaga yang profesional. Keadaan ini memberikan
implikasi bahwa tenaga kesehatan khususnya keperawatan dapat memenuhi standart global
internasional dalam memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan, memiliki kemampuan
professional, kemampuan intelektual dan teknik serta peka terhadap aspek sosial budaya,
memiliki wawasan yang luas dan menguasi perkembangan Iptek.

pendidikan S1 Keperawatan, yaitu dengan berlakunya kurikulum Ners pada tahun 1998.
Sementara itu di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) telah dibuka S2
Keperawatan untuk Studi Manajemen Keperawatan, Keperawatan Maternitas dan
Keperawatan Komunitas. Dan selanjutnya akan dibuka Studi S2 Keperwatan Jiwa dan
Keperawatan Medikal Bedah. Dapat disimpulkan bahwa saat ini perkembangan keperawatan
diarahkan kepada profesionalisme dengan spesialisasi bidang keperawatan.

SPIRITUAL DALAM PANDANGAN ISLAM

Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia tidak ada
dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang berbeda, yakni unsur
jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur jiwa/roh yang menarik kepada
pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual). Kenyataannya, semua perbuatan manusia
dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan-kebutuhan fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan naluriah (al-ghoro’iz).
Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur; sedangkan
kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia (ghorizatun nau’), naluri
untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk mensucikan dan mengagungkan
dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).
Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatan
yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang
muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api yang selalu
berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat,
haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’..
Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar Ka’bah, tidak
hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di kamar kecil
sekali pun. Aktivitas spiritual umat Islam tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan
dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan,
pergaulan, hukum, politik-pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat Islam
sepenuhnya hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah
falsafah kehidupan dalam Islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian itu terjadi
tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar kesadaran akan
hubungan mereka dengan Allah.
Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang alami dan
netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih tinggi derajatnya dari
kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan itulah
yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela. Dalam pandangan Islam, jika kebutuhan-kebutuhan
tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang dijalankan sesuai petunjuk Islam, maka ia akan menjadi
perbuatan yang terpuji. Sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan
yang melanggar tuntunan Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela. Kebutuhan akan seks,
misalnya, jika dipenuhi dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela, namun jika dipenuhi dalam
bingkai pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah yang terpuji. Naluri alami untuk
mensucikan dzat yang lebih agung yang mendorong aktivitas ritual keagamaan –yang sering dianggap
sebagai aktivitas ruhaniyah itu- jika dijalankan tanpa petunjuk Islam maka akan menjadi bid’ah yang
tercela, namun jika dijalankan berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah maka akan menjadi
ibadah yang terpuji, berpahala dan diridhoi oleh Allah.
Lantas apa yang mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang diridhoi oleh
Allah? Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan kehadirannya, tapi tidak
mampu mengidentifikasi hakekat dari sesuatu yang mendorongnya untuk taat kepada Allah itu.
Sebagian orang menyangka bahwa faktor yang mendorong manusia untuk taat kepada Allah itu adalah
roh atau jiwa yang bersemayam di dalam badannya. Sebab jiwa/roh merupakan kekuatan suci dan
positif yang menarik manusia untuk mengorbit kepada kepentingan ukhrowi. Anggapan ini sepenuhnya
merupakan khayalan yang tidak bisa dibuktikan.
Sebenarnya, sesuatu yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya bukanlah unsur halus yang bersemayam dalam diri manusia.
Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan hubungannya dengan Allah Ta’ala (al
idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi inilah yang membuat manusia taat
kepadaNya. Ia –kesadaran tersebut- akan menguat tatkala mendengarkan nasehat yang sangat
menyentuh, melihat fenomena yang menampakkan keagungan Allah, atau tatkala termotivasi oleh
orang lain yang melaksanakan ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah atau hilang
tatkala manusia tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Kesadaran
yang kadang menguat dan kadang pula melemah inilah sebenarnya yang mereka sebut dengan ruh.
Disebut ruh karena –secara rancu- kesadaran ini dianggap sebagai salah satu unsur penyusun manusia,
berupa jiwa yang bersemayam di dalam diri manusia. Padahal, keberadaan ruh yang berarti kesadaran
itu jelas bukan merupakan unsur penyusun manusia melainkan hasil prestasi manusia dalam
memahami, menyadari dan memunculkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi dan dinilai oleh Allah.
Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatan
yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang
muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api yang selalu
berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat,
haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’. Hadirnya ruh juga mendorong manusia
untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata
pemerintahan menggunakan hukum syara’.
Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di sekitar Ka’bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga
hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat Islam
tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan
dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-pemerintahan
bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat Islam sepenuhnya hidup dalam dimensi
spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah falsafah kehidupan dalam Islam,
yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia
dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.
Nilai-nilai spiritual didalam Islam tidak dapat diukur dengan tingkat keaktivan seseorang dalam
menjalankan ibadah atau menghadiri kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal tersebut merupakan salah satu
media dan bagian kecil dari spiritual sesungguhnya. Karena pencapaian spiritual didalam Islam
melibatkan seluruh dimensi dalam diri manusia, yaitu, hati, akal, dan fikiran. Sehingga didalam
menjalankan kehidupan manusia dapat melepaskan diri dari hal-hal yang menyangkut humanisme dan
berpijak terhadap nilai-nilai ilahiah (segala sesuatu yang datangnya dari Allah). Penafian humanisme
dalam kehidupan bukan berarti manusia tidak dapat mengembangkan berbagai potensi yang telah
diberikan sang kholik. Aspek ini lebih kepada, bagaimana manusia lebih dapat memerankan nilai-niali
ilahiah sebagai subjek (realitas universal). Sehingga tidak ada lagi subjektifitas yang muncul dari manusia
baik dalam aspek ibadah ataupun sosial.
Dengan menyerahkan dan melandaskan segala sesuatu kepada nilai-nilai ilahiah, bukan berarti potensi
manusia sebagai makhluk dengan berbagai kelebihan akan dimatikan. Karena dengan menjadikan nilai-
nilai ilahiah sebagai sebuah pijakan, manusia akan diajak untuk lebih universal didalam menentukan
berbagai hal yang menyangkut kehidupan. Karena sebagai sebuah agama, Islam tidak hanya agama yang
mengatur tata cara beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Melainkan agama yang penuh
dengan nilai-nilai social, politik bahkan agama yang mengajarkan bagaimana humanisme sesungguhnya.
Oleh karena itu manusia haru berpijak terhadap hal ini terlebih dahulu jika manusia tersebut ingin
mendapatkan subtansi spiritual. Dimana seorang muslim tidak terjebak dalam perangkap tradisi, ritual,
dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan cara pandang diluar Islam. Karena nilai spiritual akan didapat
apabila seorang muslim, telah memiliki suatu cara pandang yang benar, rujukan yang benar, dan metode
yang benar didalam menjalankan syariat-syariat agama. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi
Muhammad SAW. Proses perjalanan spiritual beliau tentunya tidak hanya ketika dirinya mendapatkan
perintah sholat melalui Isra dan Mi’raj. Tetapi melainkan seluruh fase perjuangan beliau hingga tegaknya
Islam.

Membangun Spiritualitas Religius

Manusia sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah memiliki kemampuan tak terbatas. Tidak saja
kemampuan fisik, intelektual, dan moral, tetapi juga kekuatan spiritual. Sebagian dari kekuatan itu telah
dikenali dengan baik, tetapi sebagian lagi, terutama yang berhubungan dengan kekuatan rohani manusia
(spiritual power), belum banyak yang diketahui dan dikembangkan. Tak heran bila ada pakar yang
menyebut manusia sebagai The Unknown, yaitu makhluk yang belum sepenuhnya diketahui.

Kekuatan spiritual ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, bermula dari penanaman
(peniupan) roh ketuhanan atau spirit ilahi ke dalam diri manusia (QS Shad [38]: 71-72), yang
menyebabkan manusia menjadi makhluk yang unggul dan unik. Firman-Nya, "Kami jadikan dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik." (QS Almu'minun [23]: 14).

Menurut al-Qaradhawi, ada beberapa cara yang perlu dilakukan untuk mengasah dan mempertinggi
kekuatan spiritual ini. Pertama, al-iman al-`amiq, yaitu memperkuat iman kepada Allah SWT dengan
selalu mengesakan dan menyandarkan diri hanya kepada-Nya. Kedua, al-ittishal al-watsiq, yaitu
membangun hubungan dan komunikasi yang kuat dengan Allah SWT. Komunikasi dilakukan dengan
ibadah dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya melalui ibadah-ibadah wajib (al-mafrudhat)
ataupun ibadah-ibadah sunah (al-mandubat). Ketiga, tathhir al-qalb, yaitu upaya menyucikan diri dari
berbagai penyakit hati. Kekuatan spiritual, menurut Qaradhawi, berpusat di hati atau qalb, fu`ad, atau
al-ruh. Penyucian dilakukan agar hati atau kalbu sebagai "pusat kesadaran" manusia menjadi "sensitif"
sehingga senantiasa ingat kepada Allah, takut akan ancaman dan siksa-Nya, serta penuh harap
(optimistis) terhadap rahmat dan ampunan-Nya.

Menurut al-Qaradhawi, kekuatan spiritual ini adalah pangkal (al-asas), sedangkan kekuatan-kekuatan
lain hanyalah penunjang (al-musa`id). Bahkan, menurut Sayyid Quthub, tak ada kekuatan lain yang bisa
menandingi kekuatan yang satu ini. Nabi SAW dan kaum Muslim pada awal periode Islam diminta oleh
Allah SWT agar mempertajam kekuatan ini dengan turunnya surah Almuzammil dan Almuddatstsir.

Oleh sebab itu, para aktivis perjuangan Islam, menurut Quthub, wajib hukumnya memiliki kekuatan
spiritual ini. Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, Sayyid Quthub menegaskan kedahsyatan kekuatan yang satu
ini. Katanya, "Bekal mereka adalah iman. Perbendaharaan mereka juga iman. Sedangkan, sandaran
mereka adalah Allah. Semua bekal, selain bekal iman, pasti habis. Semua perbendaharaan, selain
perbendaharaan iman, juga habis. Sementara itu, setiap sandaran, selain sandaran Tuhan, bakal roboh."
Wallahu a'lam.
Terlepas dari realitas spiritualitas yang penuh dengan paradoks, adalah merupakan kewajiban bagi umat
beragama untuk mengembangkan, menguatkan, atau menghidupkan kembali peran spiritualiatas
religius. Spiritual religius, yang pada dasarnya merupakan bentuk spiritualitas yang bersumber dari
ajaran Tuhan, diyakini memiliki kekuatan spiritual yang lebih kuat, murni, suci, terarah, dan abadi
dibanding spiritual sekuler dengan berbagai coraknya. Pengembangan spiritualitas religius dengan
demikian merupakan hal niscaya untuk diwujudkan ditengah kehidupan masyarakat. Terdapat beberapa
pendekatan untuk mengembangkan spiritualitas relijius :
· Pertama, melalui pendekatan teologik, yang dilakukan dengan cara melakukan elaborasi ajaran
agama secara proporsional sehingga memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dalam konteks ini,
merupakan tugas ilmuwan, ulama, cendekiawan agama bekerjasama dengan para ahli untuk menyusun
dan merancang pengembangan model-sistem ajaran yang selari dengan kebutuhan aktual dan konkret
masyarakat itu sendiri.
· Kedua, melalui pendekatan psiko-politik yang dilakukan dengan cara membangun keteladanan
nasional. Pengembangan spiritualitas religius, seperti nilai : kebersihan, kejujuran, keadilan,
kesederhanaan, kepedulian, keikhlasan, cinta-kasih, dan lain-lain yang bersumber dari ajaran agama
yang juga merupakan prinsip-prinsip dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan
diwujudkan melalui program keteladanan nasional cenderung lebih efektif ketimbang bentuk retorika
apa pun.
· Ketiga, melalui pendekatan sosio-kultural, dengan cara membangun masyarakat religius yang
sebenarnya. Dalam rangka ini, pendidikan agama perlu diwujudkan dalam bentuk pelatihan-pelatihan
praktis yang menekankan pada pengembangan moralitas dan akhlaqul karimah
Konsep Kesehatan Spiritual.

4. Kesehatan spiritual

Kesehatan spiritual atau kesejahteraan adalah “rasa keharmonisan saling mendekatkan antara diri
dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan tertinggi” (Hungemannet al, 1985). Rasa keharmonisan
ini dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, dan system keyakinan
mereka dengan hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan orang lain. Pada saat terjadi stress,
penyakit, penyembuhan, atau kehilangan, sesorang mungkin akan berbalik kecara-cara lama dalam
merespon atau menyesuaikan dengan situasi. Seringkali gaya koping ini terdapat dalam keyakinan atau
nilai dasar orang tersebut. Keyakinan ini sering berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang
hidup seorang individu mungkin tumbuh lebih spiritual, menjadi lebih menyadari tentang makna, tujuan
dan nilai hidup.

Spiritual dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan hubungan mereka dengan orang lain.
Banyak orang dewasa mengalami pertumbuhan spiritual ketika memasuki hubungan yang langgeng.
Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri mereka sendiri secara bermakna adalah bukti dari
kesehatan spiritual.

Menetapkan hubungan dengan yang Maha Agung, kehidupan atau nilai adalah salah satu cara
mengembangkan spiritualitas. Anak-anak sering mulai dengan konsep tentang ketuhanan atau nilai
seperti yang disuguhkan kepada mereka oleh lingkungan rumah mereka atau komunitas religius mereka.
Remaja sering mempertimbangkan kembali konsep masa kanak-kanak mereka tentang kekuatan
spiritual, dan dalam pencarian identitas, mungkin mempertanyakan tentang praktik atau nilai atau
menemukan kekuatan spiritual sebagai motivasi untuk mencari makna hidup yang lebih jelas.

Sejalan dengan makin dewasanya seseorang, mereka sering instrospeksi diri untuk memperkaya nilai
dan konsep ketuhanan yang telah lama dianut dan bermakna. Kesehatan spiritualitas yang sehat pada
lansia adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan tentang diri dan hal tersebut sering
didasarkan pada hubungan yang langgeng dengan yang Maha Agung. Penyakit mengancam kesehatan
spiritual.

5. Masalah Spiritual

Ketika penyakit, kehilangan, atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat membantu
seseorang kearah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual.selama
penyakit atau kehilangan, misalnya saja, individu sering menjadi kurang mampu untuk merawat diri
mereka sendiri dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan dan dukungan. Distres spiritual
dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang
mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. Individu mungkin
mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan
hidup, dan sumber dari makna hidup.

1. Penyakit Akut

Penyakit yang mendadak, tidak diperkirakan, yang menghadapkan baik ancaman langsung atau jangka
panjang terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien dapat menimbulkan distress spiritual
bermakna.

Penyakit atau cedera dapat dipandang sebagai hukuman, sehingga klien menyalahkan diri mereka
sendiri karena mempunyai kebiasaan kesehatan yang buruk, gagal untuk mematuhi tindakan
kewaspadaan keselamatan atau menghindari pemeriksaan kesehatan secara rutin. Konflik dapat
berkembang sekitar keyakinan individu dan makna hidup. Individu mungkin mempunyai kesulitan
memandang masa depan dan dapat terpuruk tidak berdaya oleh kedukaan.

Kemarahan bukan hal yang tidak wajar, dan klien mungkin mengekspresikannya terhadap Tuhan,
keluarga, dan/atau diri mereka sendiri. Kekuatan spiritualitas klien mempengaruhi bagaimana mereka
menghadapi penyakit mendadak dan bagaimana mereka dengan cepat beralih kearah penyembuhan.

2. Penyakit Kronis

Seseorang dengan penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan dan mengganggu
kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal mereka. Kemandirian dapat sangat terancam, yang
mengakibatkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh. Ketergantungan pada orang lain untuk
mendapat perawatan rutin dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan persepsi tentang
penurunan kekuatan batiniah. Seseorang mungkin merasa kehilangan tujuan dalam hidup yang
mempengaruhi kekuatan dari dalam yang diperlukan untuk mengahdapi perubahan fungsi yang dialami.
Kekuatan tentang spiritualitas seseorang dapat mejadi factor penting dalam cara seseorang menghadapi
perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis. Keberhasilan dalam mengatasi perubahan yang
diakibatkan oleh penyakit kronis dapat menguatkan seseorang secara spiritual. Reevaluasi tentang hidup
mungkin terjadi. Mereka yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup
dalam potensi mereka.

3. Penyakit Terminal
Penyakit terminal umumnya menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, kematian, dan
ancaman terhadap integritas (Turner et al, 1995). Klien mungkin mempunyai ketidak pastian tentang
makna kematian dan dengan demikian mereka menjadi sangat rentan terhadap distress spiritual.
Tedapat juga klien yang mempunyai rasa spiritual tentang ketenangan yang memampukan mereka
untuk menghadapi kematian tanpa rasa takut.

Individu yang mengalami penyakit terminal sering menemukan diri meraka menelaah kembali
kehidupan mereka dan mempertanyakan maknanya. Pertanyaan-petanyaan umum yang diajukan dapat
mencakup, “ mengapa hal ini terjadi pada saya’’ atau “apa yang telah saya lakukan sehingga hal ini
terjadi pada saya” keluarga dan teman-teman dapat terpengaruhi sama halnya yang klien alami.

Fryback (1992) melakukan penelitian untuk, mengetahui bagaimana individu dengan penykit terminal
menggambarkan tentang kematian. Klien yang termasuk dalam penelitian mengidentifikasikan tiga
domain kesehatan sebagai berikut: mental-emosi, spiritual dan fisik. Domain spiritual dipandang sebagai
hal penting dalam hal kesehatan dan mencakup mempunyai hubungan dengan kekuatan yang lebih
tinggi, menghargai moralitas seseorang dan menumbuhkan aktualisasi diri. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa penelitian tersebut menunjukkan klien yang mempunyai penyakit
terminalmempunyai persepsi dalam Keadaan tidak sehat,persepsi tersebut bukan karena penyakitnya
tetapi karena sedang tidak mampu menjalani hidup mereka dengan sempurna dan tidak mampu
melakukan hal-hal yang mereka inginkan.

4. Individuasi

Ketika seseorang menjalani hidup mereka, sering mengajukan pertanyaan untuk menemukan dan
memahami diri (mereka) sebagai hal yang berbeda tetapi juga dalam hubungan dengan orang lain.
Psikolog Carl Jung (Storr, 1983) menggambarkan proses ini sebagai individuasi seseorang. Juga
digambarkan sebagai krisis pertengahan hidup, individuasi umumnya pada individu usia baya.
Individuasi mungkin didahului oleh rasa kekosongan dalam hidup atau kurang mampu untuk memotivasi
diri. Individuasi adalah pengalaman manusia yang umum yang ditandai oleh kebingungan, konflik,
keputusasaan, dan perasaan hampa. Spiritualitas seseorang harus dipertahanka, karena individuasi
tampaknya mendorong seseorang untuk mempertahankan aspek positif, life-asserting dari kepribadian.
Kejadian seperti stress, keberhasilan atau kekurang berhasilan dalam pekerjaan, konflik perkawinan,
atau penurunan kesehatan dapat menyebabkan seseorang mencari pemahaman diri yang lebih besar.

5. Pengalaman Mendekati Kematian

Perawat mungkin menghadapi klien yang telah mempunyai pengalaman mendekati kematian (NDE/near
death experience). NDE telah diidentifkasikan sebagai fenomena psikologis tentang idividu yang baik
telah sangat dekat dengan kematian secara klinis atau yag telah pulih setelah dinyatakan mati. NDE tidak
berkaitan dengan kelaianan mental (Basford, 1990). Orang yang mengalami NDE setelah henti jantung-
paru, misalnya sering mengatakan cerita yang sama tentang perasaan diri mereka terbang di atas tubuh
mereka dan melihat para pemberi perawatan kesehatan melakukan tindakan penyelamatan hidup.
Sebagian besar individu menggambarkan bahwa mereka melewati terowongan kearah cahaya yang
terang, dan merasakan suatu ketenangan yang dalam dan damai. Tidak bergerak kearah cahaya
tersebut, sering mereka mengetahui bahwa belum waktunya untuk mati bagi mereka dan mereka
kembali hidup.

Klien yang telah mengalami NDE sering enggan untuk mendiskusikan hal ini, mereka berpikir bahwa
keluarga atau pemberi perawatan kesehatan tidak dapat memahami. Isolasi dan depresi dapat terjadi
sebagai akibat tidak menceritakanpengalamannya atau menerima penghakiman dari orang lain ketika
mereka menceritakannya. Namun demikian, imdividu yang mengalami NDE, dan mereka yang dapat
mendiskusikannya dengan keluarga atau pemberi perawatan kesehatan, menemukan keterbukaan pada
kekuatan pemgalaman mereka seperti yang dilaporkan. Mereka secara konsisten melaporkaaftereffect
yang positif, termasuk sikap positif, perubahan nilai, dan perkembangan spiritual (Turner, 1995). Bila
klien dapat hidup setelah henti jantung-paru, penting artinya bagi perawat untuk tetap terbuka dan
memberi kesempatan kepada klien untuk menggali apa yang sudah terjadi.

Daftar pustaka

http://zohrysmart.blogspot.com/2012/10/makalah-spiritual.html?m=1 diakses pada

http://estisusilawaty.blogspot.com/2015/07/spiritualisme-dalam-islam.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai