Anda di halaman 1dari 2

Tugas Teologi Pembebasan

Refleksi Film The Mission


NPM: 8122201009
Josua Siahaan

1. Film “The Mission”


The Mission merupakan film yang mengisahkan kolonialisme bangsa-bangsa Eropa ke
tanah Amerika Latin. Tokoh misionaris Jesuit dan seorang pemuda menjadi pemeran dalam film
The Mission. Dalam film ini, para misionaris Jesuit dihadapkan dengan permasalahan wilayah
yang termasuk dalam kolonialisme. Tugas mereka adalah menjalankan misi Vatikan, namun
harus memperjuangkan orang-orang setempat (Amerika Latin) agar terlepas dari kolonialisme
dan penindasan. Pada akhirnya, bangsa-bangsa Eropa melakukan pembantaian terhadap orang
Amerika Latin dan bahkan membantai beberapa Misionaris yang memperjuangkan hak-hak
pembebasan. Aspek pembebasan dalam film ini secara jelas tampak dalam sisi penindasan
bangsa Eropa terhadap orang-orang Amerika Latin. Refleksi saya terhadap film ini diawali dari
bentuk penyerahan diri seorang pemuda yang membunuh saudaranya karena rasa cemburu.
Pemuda tersebut membawa besi-besi yang digunakan untuk membunuh saudaranya sebagai
bentuk penebusan atas kesalahannya. Perjuangannya membawa pada penyerahan diri dan
diterima menjadi misionaris Jesuit serta turut ambil bagian dalam perjuangan hak pembebasan
bangsa Amerika Latin dari penindasan. Kolonialisasi ini merampas hak lahan dan sumber daya
alam kaum Guarani. Kerasnya situasi kolonialisasi merengkuh hati para misionaris dan turut
memperjuangkan kemanusiaan. Hal tersebut membawa para misionaris sampai pada
keputusan keras untuk memutus kontak dengan tahta suci. Situasi kolonial yang begitu
kompleks, tidak lagi berfokus pada warta kekatolikan, melainkan juga memperjuangkan hak
hidup masyarakat setempat dari penindasan. Para misionaris membantu orang setempat untuk
berperang melawan para kolonial Eropa. Sisi pertahanan sama sekali tidak seimbang. Para
kolonial berperang dengan perlengkapan canggih, sedangkan masyarakat setempat hanya
dengan senjata perang seadanya. Pada akhirnya, masyarakat setempat mengalami
pembantaian besar oleh bangsa Eropa termasuk beberapa orang dari misionaris Jesuit. Hal yang
menjadi pertanyaan saya adalah “bagaimana perhatian dan campur tangan Tahta Suci pada
masa itu untuk turut memperjuangkan orang-orang dari penindasan?

2. Tugas The Final Project


Novel: Merantau Ke Deli (1939)
Penulis: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau sering dikenal dengan nama Hamka merupakan
seorang penulis novel sastra yang cukup dikenal melalui beberapa karyanya. Hamka adalah
seorang penulis sastra berdarah Minangkabau (orang Padang alias urang awak). Jika dilihat dari
novel yang dituliskan, terlihat jelas bahwa ia adalah seorang tokoh Minangkabau yang
Tugas Teologi Pembebasan
Refleksi Film The Mission
NPM: 8122201009
mengenal dengan jelas tentang adat dan budaya Minangkabau). Salah satu novelnya berjudul
“Merantau

ke Deli” sebagai salah satu novel sastra lama yang diterbitkan pada 1939. Novel ini tampaknya
menjadi sebuah kritik dirinya terhadap satu sisi kebudayaan Minangkabau. Budaya
Minangkabau terkenal dengan sifat Matrilineal, oleh karena itu, mereka yang merantau dan
memperoleh kesuksesan di tanah rantau dianjurkan untuk pulang dengan tujuan
mengembangkan tanah kelahirannya dan terlebih menikah dengan perempuan asli
Minangkabau. Hal ini diterapkan sebagai upaya memperoleh kesuksesan dan hormat secara
penuh. Hamka tidak secara penuh mengkritik ciri khas Matrilineal dari tanah Minangkabau,
melainkan beberapa faktor yang mengikuti di belakangnya. Kisah seorang pria bernama Leman
yang dikisahkan dalam novel “Merantau ke Deli” pergi merantau ke luar daerah Minang untuk
memperoleh kesuksesan. Seiring berjalannya waktu, ia menjadi pedagang yang sukses di tanah
Deli. Hal itu tidak didapatkan dengan sendirinya, melainkan dengan bantuan seorang
perempuan Jawa bernama Poniem. Kisah itu mengantarkan mereka pada kehidupan berumah
tangga. Leman berdarah Minang dan Poniem berdarah Jawa. Pada masa kesuksesannya ini,
beberapa tokoh dari tanah kelahiran Leman menganjurkan supaya Leman pulang ke kampung
halaman dan mengembangkan tanah kelahirannya. Namun, di tengah situasi itu, Leman justru
didorong untuk menikah kembali dengan perempuan Minang asli supaya lengkaplah status
terhormat yang akan ia terima. Dengan pergumulan yang teramat dalam, ia pun menikah
kembali dengan perempuan Minang, yang pada akhirnya menjadi titik awal kebangkrutannya.
Kisah kebangkrutan ini tidak tampak seperti kisah film pada umumnya, namun berdasar pada
karakteristik kebudayaan Matrilineal Minangkabau yang menuntut beberapa hal. Perempuan
Minang identik dengan penggunaan perhiasan-perhiasan, Leman sebagai seorang ayah pun
harus membangun rumah untuk anak perempuannya di masa yang akan datang.
Percik-percik pembebasan tampak jelas pada diri seorang Leman yang dipaksa untuk
menduakan cintanya dengan Poniem dan menikahi perempuan Minang. Meskipun pada
akhirnya dia tetap menikahi perempuan tersebut, tetapi itu diambilnya karena ada dorongan
dan paksaan dari tokoh budaya setempat. Pembebasan yang kedua adalah tuntutan untuk
kembali dan mengembangkan tanah kelahirannya. Tidak berhenti sampai disitu, ia seolah
bertanggungjawab untuk kesuksesan pemuda-pemuda setempat. Pada satu sisi, kebudayaan
Minang terkesan mengikat pemuda-pemuda yang ingin mengembangkan dirinya. Tuntutan-
tuntutan yang ada membatasi kehendak bebas para pemuda untuk memperoleh pencapaian di
luar tanah kelahirannya.

Anda mungkin juga menyukai