ke Deli” sebagai salah satu novel sastra lama yang diterbitkan pada 1939. Novel ini tampaknya
menjadi sebuah kritik dirinya terhadap satu sisi kebudayaan Minangkabau. Budaya
Minangkabau terkenal dengan sifat Matrilineal, oleh karena itu, mereka yang merantau dan
memperoleh kesuksesan di tanah rantau dianjurkan untuk pulang dengan tujuan
mengembangkan tanah kelahirannya dan terlebih menikah dengan perempuan asli
Minangkabau. Hal ini diterapkan sebagai upaya memperoleh kesuksesan dan hormat secara
penuh. Hamka tidak secara penuh mengkritik ciri khas Matrilineal dari tanah Minangkabau,
melainkan beberapa faktor yang mengikuti di belakangnya. Kisah seorang pria bernama Leman
yang dikisahkan dalam novel “Merantau ke Deli” pergi merantau ke luar daerah Minang untuk
memperoleh kesuksesan. Seiring berjalannya waktu, ia menjadi pedagang yang sukses di tanah
Deli. Hal itu tidak didapatkan dengan sendirinya, melainkan dengan bantuan seorang
perempuan Jawa bernama Poniem. Kisah itu mengantarkan mereka pada kehidupan berumah
tangga. Leman berdarah Minang dan Poniem berdarah Jawa. Pada masa kesuksesannya ini,
beberapa tokoh dari tanah kelahiran Leman menganjurkan supaya Leman pulang ke kampung
halaman dan mengembangkan tanah kelahirannya. Namun, di tengah situasi itu, Leman justru
didorong untuk menikah kembali dengan perempuan Minang asli supaya lengkaplah status
terhormat yang akan ia terima. Dengan pergumulan yang teramat dalam, ia pun menikah
kembali dengan perempuan Minang, yang pada akhirnya menjadi titik awal kebangkrutannya.
Kisah kebangkrutan ini tidak tampak seperti kisah film pada umumnya, namun berdasar pada
karakteristik kebudayaan Matrilineal Minangkabau yang menuntut beberapa hal. Perempuan
Minang identik dengan penggunaan perhiasan-perhiasan, Leman sebagai seorang ayah pun
harus membangun rumah untuk anak perempuannya di masa yang akan datang.
Percik-percik pembebasan tampak jelas pada diri seorang Leman yang dipaksa untuk
menduakan cintanya dengan Poniem dan menikahi perempuan Minang. Meskipun pada
akhirnya dia tetap menikahi perempuan tersebut, tetapi itu diambilnya karena ada dorongan
dan paksaan dari tokoh budaya setempat. Pembebasan yang kedua adalah tuntutan untuk
kembali dan mengembangkan tanah kelahirannya. Tidak berhenti sampai disitu, ia seolah
bertanggungjawab untuk kesuksesan pemuda-pemuda setempat. Pada satu sisi, kebudayaan
Minang terkesan mengikat pemuda-pemuda yang ingin mengembangkan dirinya. Tuntutan-
tuntutan yang ada membatasi kehendak bebas para pemuda untuk memperoleh pencapaian di
luar tanah kelahirannya.