Anda di halaman 1dari 93

PROPOSAL

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU

PENCEGAHAN PENULARAH HIV/AIDS OLEH ODHA WANITA

USIA REPRODUKSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

WAIHAONG AMBON

OLEH :
DILA SINTYA UNWAKOLY
12114201180157

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRITEN INDONESIA MALUKU
AMBON
2022
SURAT IZIN PENELITIAN

Kami menyatakan bahwa telah menerima dan menyetujui proposal ini yang

disusun oleh : Dila Sintya Unwakoly, NPM: 12114201180157 untuk dilakukan

penelitian.

Ambon, 18 September 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. S. R. Maelissa, S.Kep.,M.Kep Ns. M. Lilipory, S.Kep., M.Kep


NIDN : 1223038001 NIDN : 1203068720

Mengetahui

Ketua Program Studi Keperawatan

Ns. S. R. Maelissa, S.Kep.,M.Kep


NIDN : 1223038001

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena tas berkat, tuntunan, penyertaan dan anugerah-Nya, sehingga penyusunan

proposal dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku

Pencegahan Penularan HIV/AIDS oleh ODHA Wanita Usia Reproduksi di

Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon” ini dapat terselesaikan.

Penyusunan proposal ini merupakan syarat dalam menyelesaikan tugas

akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) di Fakultas

Kesehatan Universitas Kristen Indonesia Maluku.

Dengan terselesainya proposal ini, perkenankan penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Hengki. H Hetaria., M.Th, Selaku Rektor Universitas Kristen

Indonesia Maluku dan Pembantu Rektor I, II, III, dan IV Universitas

Kristen Indonesia Maluku

2. B. Talarima, SKM., M. Kes, Selaku Dekan Fakultas Kesehatan dan

Pembantu Dekan I, II, III Fakultas Kesehatan Universitas Kristen

Indonesia Maluku

3. Ns. S. R. Maelissa., S.Kep. M.Kep Selaku Ketua Program Studi

Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Kristen Indonesia

Maluku.

iii
4. Ns. M. Lilipory., S.Kep. M.Kep Selaku Sekertaris Program Studi

Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Kristen Indonesia

Maluku

5. Ns. S. R. Maelissa., S.Kep. M.Kep, Selaku pembimbing I yang telah

banyak mengarahkan, membimbing dan memberikan motivasi kepada

penulis dalam penyusunan proposal ini sehingga dapat terselesaikan.

6. Ns. M. Lilipory., S.Kep. M.Kep Selaku pembimbing II yang telah

banyak mengarahkan, membimbing dan memberikan kotivasi kepada

penulis dalam penyusunan proposal ini sehingga dapat terselesaikan.

7. Ns. M. Siauta, M. Kep, Selaku penguji I yang telah bersama-sama

dengan penulis dan pembimbing dalam melihat dan memperbaiki

proposal ini sehingga dapat terselesaikan.

8. Ns. V leutualy, M. Kep, Selaku penguji I yang telah bersama-sama

dengan penulis dan pembimbing dalam melihat dan memperbaiki

proposal ini sehingga dapat terselesaikan.

9. Dra. A. L. Putuhena, M.Kes. Selaku penasehat akademik yang

selalu memberikan nasehat dan membantu penulis dalam proses

perkuliahan.

10. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Keperawatan Fakultas

Kesehatan Universitas Kristen Indonesia Maluku, yang telah

membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama proses

perkuliahan yang penulis jalani di Program Studi Keperawatan.

iv
11. Orang tua, kakak, dan seluruh keluarga yang selalu memberikan

dukungan, semangat dan doa sehingga menjadi motivasi dan

dorongan kepada penulis dalam penyusunan proposal ini sehingga

dapat terselesaikan.

12. Sahabat dan orang terdekat yang telah memberikan dukungan dan

doa kepada penulis dalam penyusunan proposal ini sehingga dapat

terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna,

sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna

kesempurnaan penelitian ini kedepannya.

Ambon, 18 September 2022

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................. i

SURAT IJIN PENELITIAN ....................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................ iii

DAFTAR ISI............................................................................................... vi

DAFTAR TABEL....................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8

D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 11

A. Tinjauan Tentang HIV/AIDS.......................................................... 11

B. Tinjauan Umum Tentang Wanita Usia Reproduksi ........................ 37

C. Tinjauan Umum Tentang Perilaku .................................................. 39

D. Tinjuan Umum Tentang Variabel Penelitian .................................. 44

BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 60

A. Desain Penelitian............................................................................. 60

B. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 60

C. Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................... 61

D. Variabel Penelitian .......................................................................... 63

vi
E. Definisi Operasional........................................................................ 63

F. Instrumen Penelitian........................................................................ 65

G. Pengumpulan Data .......................................................................... 67

H. Pengelolaan Data............................................................................. 68

I. Analisa Data .................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 72

LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Fase-fase Infeksi HIV/AIDS ......................................................... 21

Tabel 2.2. Penilaian Item Pernyataan Pengukuran Sikap .............................. 55

Tabel 3.1. Definisi Operasional ..................................................................... 64

Tabel 3.2. Skor Item Pernyataan Kuesioner Sikap ........................................ 67

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Konsep ................................................................... 57

ix
DAFTAR LAMPIRAN

1. SK Pembimbing

2. Surat Pengambilan Data Awal

3. Surat Ijin Pengambilan Data AwaL Walikota Ambon

4. Infomed Consent

5. Kuesioner Penelitian

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan menurunnya

imunitas atau daya tahan tubuh manusia. Menurunnya imunitas

menyebabkan seseorang dengan mudah terserang berbagai penyakit

infeksi yang akhirnya menumpuk dan menyebabkan AIDS. Acquired

Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala

penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi

didapat dari hasil penularan yang disebabkan HIV (Batsira 2019).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa di tahun

2020 HIV masih menjadi isu utama kesehatan sedunia yang sejauh ini

telah merenggut 27,2-47,8 juta jiwa (WHO, 2021). Joint United Nation

Program on HIV/AIDS (UNAIDS) juga mencatat di tahun yang sama

terdapat 1,5 juta orang yang terinfeksi HIV, 37,7 juta orang yang hidup

dengan HIV, dan 680 ribu orang yang meninggal akibat AIDS. Setiap

minggu, sekitar 5.000 wanita muda berusia 15-24 tahun terinfeksi HIV.

Wanita muda berusia 15-24 tahun kemungkinannya dua kali lebih besar

untuk mengidap HIV daripada pria (UNAIDS, 2021).

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2018

adalah sekitar 327.282 kasus. Di tahun 2019 kasus HIV di Indonesia

mencapai puncak tertinggi selama sebelas tahun terakhir yaitu kasus

1
50.282, dengan kasus infeksi baru sebanyak 778%. Berdasarkan data yang

diterbitkan oleh UNAIDS tentang kasus HIV di Indonesia mencatat bahwa

pada tahun 2020 terdapat 190.000 wanita usia 15 tahun ke atas yang hidup

dengan HIV. Infeksi baru di tahun 2020 sebanyak 9.500 wanita usia 15

tahun ke atas dan 7.700 wanita usia 25 tahun keatas dinyatakan meninggal

dunia. Di tahun 2021 di temukan 7.650 ODHA dan ODHA yang

melakukan pengobatan ARV sebanyak 6.762 (Kemenkes RI, 2021).

Provinsi Maluku menduduki posisi ke 15 di Indonesia dengan

kasus HIV/AIDS terbanyak. Pada tahun 2017 ditemukan 688 kasus HIV,

462 kasus di tahun 2018 dan pada tahun 2019 sebesar 462 kasus.

Sedangkan untuk kasus AIDS pada tahun 2017 terdapat 88 kasus dan di

tahun 2018 menjadi 68 kasus sedangkan pada tahun 2019 mengalami

penurunan sebanyak 45 kasus, di mana kasus hidup dengan AIDS

sebanyak 646 orang dan meninggal sebesar 128 orang dengan case rate

yang dilaporkan 36,53/100.000 penduduk. Persentase infeksi HIV tertinggi

dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,6%), diikuti kelompok

umur 20-24 tahun (15.6%), dan kelompok umur ≥50 tahun (8,3%)

(Kemenkes RI, 2021).

Puskesmas Waihaong sebagai salah satu dari dua puskesmas yang

menangani kasus HIV/AIDS di kota Ambon mencatat bahwa jumlah

ODHA hingga februari 2022 di Puskesmas Waihaong kota Ambon ialah

310 orang. ODHA wanita usia reproduksi yang terdapat di Puskesmas

Waihaong dalam kurung waktu 2019 hingga 2021 ialah 99 orang dengan

2
rincian sebagai berikut 71 orang di tahun 2019, 15 orang di tahun 2020

dan 13 orang di tahun 2021. Jumlah ini tidak hanya mencakup ODHA

yang berasal dari pulau Ambon saja melainkan dari wilayah-wilayah jauh

seperti Namlea, Seram bagian barat, Seram bagian timur, Wonreli dan

sebagainya (Data Puskesmas Waihaong, 2022).

Penanganan kasus HIV/AIDS di Puskesmas Waihaong kota

Ambon dilakukan dengan strategi Test & Tread dimana kegiatan

Searching & Testing akan dilakukan dengan metode mobilitas di titik-titik

beresiko seperti rumah karaoke, tempat kegiatan prostitusi, juga pada

pasien yang datang ke rumah sakit dengan kategori, ibu hamil, pasien TB,

Pasien yang datang ke puskesmas dengan keluhan infeksi berulang.

Apabila selama kegiatan Searching & Testing di lakukan dan di dapat

kasus positif makan klien positif akan langsung diarahkan untuk

melakukan pengobatan di puskesmas. Pihak puskesmas mengaku bahwa

selama kegiatan searching dilakukan juga dilakukan kegiatan edukasi dan

penyuluhan sebelum kegiatan testing dilakukan dan berdasarkan hasil

penyuluhan di peroleh bahwa rata-rata tingkat pengetahuan untuk

kelompok pekerja seks komersial adalah baik. Mereka memahami dan

menerapkan safety di setiap kegiatan yang dilakukan namun hal ini tidak

berlaku untuk golongan yang bukan pekerja seks komersial seperti ibu

rumah tangga dan wanita usia reproduksi. Akan tetapi terdapat banyak

kasus dimana klien yang positif HIV merasa baik-baik saja sehingga tidak

datang ke puskesmas untuk pengobatan atau kasus lainnya dimana klien

3
positif hanya melakukan pengobatan selama dua sampai tiga bulan

kemudian berhenti dan tidak kembali, klien baru akan kembali dan

melakukan perawatan apabila telah berada dalam tahap kritis (Data

Puskesmas Waihaong Ambon, 2022).

Wanita usia reproduksi (WUR) ialah wanita berusia 15-49 tahun

yang di golongkan usia reproduksi dari sejak mendapat haid pertama

hingga berhentinya haid dengan status belum menikah, menikah atau janda

yang masih berpotensi untuk memiliki keturunan (Firmansyah, 2020)

Berdasarkan data yang diperoleh dari UNAIDS menunjukan bahwa wanita

menjadi penyumbang infeksi HIV terbesar di tahun 2020. Hal ini

menunjukan bahwa wanita usia reproduksi yang biasanya berada pada usia

remaja rentang terhadap infeksi HIV. Wanita Usia reproduksi yang masih

dalam rentang usia remaja dan dewasa awal merupakan seseorang yang

sangat berisiko tinggi dalam menularkan dan tertular penyakit HIV/AIDS

hal ini disebabkan karena melakukan perilaku seksual yang tidak aman.

Kurangnya pendidikan seks di Indonesia yang masih di anggap tabu oleh

kalangan masyarakat mengakibatkan kurangnya pengetahuan Wanita akan

hubungan seks yang aman. Wanita Usia reproduksi yang tidak memiliki

cukup pengetahuan, tidak bisa memahami perilaku berisiko yang dapat

memungkinkan infeksi HIV. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Notoadmodjo yang menyatakan bahwa pengetahuan mengenai perilaku

kesehatan terkait HIV akan memberikan arah pemahaman tentang proteksi

diri dan peningkatan kesehatan (Notoadmodjo, 2010). ODHA wanita usia

4
reproduksi yang tidak menjalani terapi ARV merupakan seseorang yang

sangat berisiko tinggi dalam menularkan HIV baik kepada pasangannya

maupun pada orang lain di sekitarnya melalui kontak darah, ASI dan

sebagainya (Faisal, 2021).

Upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS yang diterapkan

di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan target Three Zero pada tahun

2030, antara lain tidak ada lagi penularan infeksi baru HIV, tidak ada lagi

kematian akibat AIDS, dan tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada

orang dengan HIV AIDS. Dalam rangka mencapai strategi tersebut,

Kementerian Kesehatan menerapkan strategi akselerasi suluh, temukan,

obati dan pertahankan (STOP) yaitu 90% orang mengetahui status HIV-

nya, 90% orang yang terkena HIV mendapat ARV dan 90% orang yang

mendapat ARV mengalami penurunan Viral load (KemenKes, 2019).

WHO menyatakan bahwa Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Akan tetapi,

dengan meningkatnya akses ke pencegahan HIV, diagnosis, dan perawatan

yang efektif, termasuk infeksi oportunistik, infeksi HIV telah menjadi

kondisi kesehatan kronis yang dapat dikendalikan, memungkinkan orang-

orang yang mengidap HIV menjalani kehidupan yang panjang dan sehat

(WHO, 2021). Ketidaktersediaannya obat yang dapat menyembuhkan

HIV/AIDS sejauh ini maka tindakan pencegahan penularan HIV

khususnya oleh ODHA ke orang lain sangatlah penting dilakukan melalui

perubahan perilaku berisiko, guna memutuskan mata rantai penularan HIV

5
dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari HIV/AIDS, sehingga tidak

menjadi masalah kesehatan masyarakat (Faisal 2021).

Terdapat beberapa faktor yang diketahui turut mempengaruhi

tindakan pencegahan penularan HIV dari ODHA ke orang lain yaitu

pengetahuan dan sikap, umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat

pendidikan, pekerjaan, lama mengidap HIV-AIDS dan status mendapat

ARV. Namun secara global, penularan HIV disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan kaum muda umur 15-24 (Faisal, 2021).

Pengetahuan kesehatan (Health Knowledge) adalah Pengetahuan

tentang kesehatan yang mengartikan fakta, informasi, dan keterampilan

yang diperoleh melalui pengalaman atau. pendidikan, serta teori atau

praktis. Berdasarkan hasil penelitian Faisal, (2021) terdapat hubungan

yang signifikan (p = 0,000) antara pengetahuan dengan perilaku

pencegahan penularan HIV oleh ODHA. Orang dengan pengetahuan

kesehatan yang baik menyajikan apropriasi konseptual dan obyektif topik

kesehatan umum dan khusus, meningkatkan kemungkinan mereka untuk

mengekspresikan perlindungan kesehatan dan tindakan pencegahan.

(Rinco´n, 2021).

Sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan salah satu faktor

predisposisi yang dapat mempengaruhi perilaku khususnya pada saat

berhubungan seks yang tidak sehat, akhirnya dapat berisiko tertular atau

menularkan HIV/AIDS. Hasil penelitian Sri (2014) menyatakan bahwa

6
sikap dalam pencegahan penularan HIV/AIDS berperan secara signifikan

terhadap perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS dengan nilai uji

statistic diperoleh koefisien parameter 0,398, T Statistic 4,619 > 1,96 pada

CL 95%, dengan pengaruh sebesar 37,71%. Teori perilaku menyatakan

bahwa sikap mempengaruhi perilaku seseorang lewat suatu proses

pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, ODHA wanita usia

reproduksi dengan paparan informasi yang kurang akan perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS dapat menyebabkan meningkatnya

angka penularan HIV/AIDS akibat perilaku seks yang beresiko (Asshela,

2017).

Status Mendapatkan ARV adalah suatu sistem identifikasi ODHA

yang dinyatakan memenuhi atau belum untuk memperoleh ARV.

Pemberian ARV pada ODHA didasarkan pada status diketahuinya kondisi

klinis yang ditetapkan melalui status klinis pada ODHA. Hasil penelitian

Faradina (2013), menunjukan ada hubungan antara status mendapatkan

ARV dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA (p =

0,009) (Faradina, 2013).

Berdasarkan kajian permasalahan diatas, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang factor-faktor yang berhubungan

dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita

usia reproduksi di wilayah kerja puskesmas Waihaong Ambon.

7
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara pengetahuan,

sikap, lama mengidap HIV/AIDS, dan status memperoleh ARV dengan

perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia

reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah-masalah yang ditemukan, maka tujuan

dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor-faktor yang

berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS oleh

ODHA wanita usia reproduksi

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia

reproduksi

b. Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia

reproduksi

c. Untuk mengetahui hubungan antara status mendapatkan ARV

dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA

wanita usia reproduksi

8
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan

khususnya di bidang kesehatan, bagi masyarakat sehingga dapat

dijadikan sebagai sumber informasi agar masyarakat dapat lebih

memahami dan dapat melakukan pencegahan penularan HIV/AIDS

oleh ODHA.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk

mengembangkan ilmu keperawatan khususnya kepada mahasiswa

keperawatan tentang perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS

oleh ODHA wanita usia reproduksi

b. Bagi Masyarakat

Meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat

tentang factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia

reproduksi

c. Bagi Peneliti selanjutnya

Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan pengetahuan

bagi peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya yang

berkaitan dengan faktor yang berhubungan dengan perilaku

9
pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia

reproduksi.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang HIV/AIDS

1. Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang merusak

sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel

CD4 yang merupakan salah satu jenis sel darah yang menjadi bagian

dari sistem pertahanan tubuh manusia. Infeksi HIV yang tidak segera

ditangani dapat mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh sehingga

menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS

merupakan stadium akhir dari infeksi HIV yang berupa sekumpulan

gejala penyakit yang terjadi akibat menurunnya kekebalan tubuh

(Ramni, 2018)

HIV dalam tubuh manusia hanya berada di sel darah putih tertentu

yaitu sel T4 yang terdapat pada cairan tubuh. Adapun cairan tubuh

yang banyak mengandung HIV yaitu darah, cairan sperma dan cairan

vagina. HIV juga dapat ditemukan dalam jumlah kecil pada air mata,

air liur, cairan otak, keringat, dan air susu ibu. Penularan HIV dapat

melalui cairan-cairan tersebut (Kusmiran 2014). Berdasarkan

penjelasan tersebut dapat di ketahui bahwa sebelum seseorang

menderita AIDS dalam tubuhnya, akan terjadi kerusakan kekebalan

tubuh. Akibat kerusakan kekebalan tubuh yang terjadi tubuh penderita

11
menjadi lemah terhadap infeksi kuman yang dalam keadaan normal

sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman seperti ini di sebut infeksi

oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul karena

mikroba yang berasal dari luar tubuh maupun dalam tubuh manusia,

namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh

(Fadillah, 2018)

Menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV menyebabkan

seseorang mudah untuk terserang penyakit seperti TBC, candidiasis,

berbagai radang kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker.

Apabila seseorang mengalami gejala-gejala infeksi diatas dan

dinyatakan berada dalam stadium AIDS maka orang tersebut

membutuhkan pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menurunkan

jumlah virus HIV dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali. Meskipun

demikian ARV yang diperoleh hanya berfungsi sebagai penghambat

pertumbuhan virus dan bukan untuk menyembuhkan (Faisal, 2021)

2. Sejarah Tentang HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus yang

melemahkan sistem kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS merupakan

singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang adalah

kumpulan gejala penyakit yang terjadi akibat menurunnya sistem

kekebalan tubuh yang sifatnya di peroleh (Kusmiran, 2014).

Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika

Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocystis carinii dan

12
dua orang gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun 1981

ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan

tubuh. Pada tahun 1980 WHO mengadakan pertemuan yang pertama

tentang AIDS. Penelitian mengenai AIDS telah dilaksanakan secara

intensif, dan informasi mengenai AIDS sudah menyebar dan

bertambah dengan cepat. Selain berdampak negative pada bidang

medis, AIDS juga berdampak negative pada bidang lainnya seperti

ekonomi, politik, etika dan moral (Widoyono, 2011).

Istilah HIV telah dipakai sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus

yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc

Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakan LAV

(Lymphadenopathy Associated Virus) dan oleh Robert Gallo dari

Amerika Serikat, yang awalnya dinamakan HTLV-III (Human T

Lymphtropic Virus Type III). HIV adalah anggota dari genus

Lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang ditandai dengan

periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipit dai selhost awal

yang mengelilingi sebuah pusat protein atau RNA. Dua spesies HIV

menginfeksi manusia : HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih

“Virulent” dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari

kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih

terkurung di Afrika Barat. Kedua spesies berawal dari Afrika Barat,

melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang di kenal

sebagai Zoonosis . AIDS menjadi perhatian komunitas kesehatan untuk

13
pertama kalinya pada tahun 1981 setelah terjadi secara tidak lazim,

kasus-kasus Pneumocystis Carinii (PPC) dan Sarcoma Kaposi (SK)

pada laki-laki muda homoseksual di California (Batsira 2019).

Kasus AIDS pertama di Indonesia yang dilaporkan secara resmi

oleh Departemen Kesehatan pada April 1987 yaitu seorang wisatawan

berkewarganegaraan Belanda di Bali yang meninggal akibat infeksi

sekunder paru-paru di RSUP Sanglah. Sebelum kasus tersebut telah di

temukan kasus pada Desember 1985 yang secara klinis sesuai dengan

diagnosa AIDS (Batsira 2019). Hingga akhir tahun 1990 kasus

HIV/AIDS oleh beberapa pihak belum di anggap mengkhawatirkan,

akan tetapi sejak awal tahun 1991 peningkatan kasus HIV/AIDS

menjadi dua kali lipat (doubling time) dalam kurung waktu setahun.

Kasus HIV/AIDS terus meningkat secara eksponensial dari tahun ke

tahun. Hingga akhir tahun 1996 kasus HIV/AIDS yang tercatat di

Depkes Pusat berjumlah 501 kasus dengan 119 kasus AIDS dan 382

kasus positif HIV, yang dilaporkan dari 19 provinsi. (Muninjaya,

1999). Penyebaran HIV di Indonesia memiliki dua pola setelah masuk

pada tahun 1987 sampai dengan 1996. Pada awalnya hanya muncul

pada kelompok homoseksual. Pada tahun 1990, model penyebarannya

melalui hubungan seks heteroseksual. Prosentase terbesar pengidap

HIV/AIDS ditemukan pada kelompok usia produktif (15-49 tahun):

82,9%, sedangkan kecenderungan cara penularan yang paling banyak

adalah melalui hubungan seksual berisiko (95.7%), yang terbagi dari

14
heteroseksual 62,6% dan pria homoseksual/biseksual 33,1%

(Kebijakan AIDS Indonesia, 2017).

Selama 10 tahun yaitu sejak tahun 1997-2006, jumlah kematian

karena AIDS mencapai 1.871 orang. Jumlah kasus AIDS yang ada

yaitu 8.194 kasus, dapat dibedakan menurut jenis kelamin. Laki-laki

dengan AIDS berjumlah 6.604 (82%), perempuan dengan AIDS

berjumlah 1.529 (16%), dan 61 (2%) kasus tidak diketahui jenis

kelaminnya. I rasio kasus AIDS antara laki-laki dengan perempuan

adalah 4,3 : 1. Meskipun jumlah perempuan penderita HIV/AIDS lebih

sedikit, dampak pada perempuan akan selalu lebih besar, baik dalam

masalah kesehatan maupun sosial ekonomi. Perempuan lebih rentan

tertular dan lebih menderita akibat infeksi ini. Beberapa studi

menunjukkan bahwa penularan HIV dari laki-laki ke perempuan

melalui hubungan seks adalah dua kali lipat dibandingkan dari

perempuan ke laki-laki. Penularan pada perempuan akan berlanjut

dengan penularan pada bayi pada masa kehamilan. Risiko

penularannya berkisar 15-40%. Selain itu bayi yang lahir dari seorang

ibu dengan HIV mungkin akan terinfeksi HIV sebelum, selama, atau

sesudah proses kelahirannya. Penularan juga dapat terjadi melalui Air

Susu Ibu (ASI) (Kebijakan AIDS Indonesia, 2017).

Sebagian besar kasus HIV/AIDS di Indonesia terjadi pada

kelompok usia produktif yaitu 20-49 tahun. Proporsi kasus HIV/AIDS

terbanyak dilaporkan pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu sebanyak

15
54,76%, disusul usia 30-39 tahun sebanyak 27,17% dan kelompok usia

40-49 tahun sebanyak 7,90%. Tingginya kasus HIV/AIDS pada

kelompok usia produktif terutama pada wanita mengakibatkan

munculnya kasus HIV/AIDS pada bayi atau anak kurang dari 15 tahun.

Anak-anak dengan HIV/AIDS biasanya tertular melalui ibunya saat

kehamilan, persalinan atau saat pemberian ASI, transfusi

darah/komponen darah pada kasus hemophilia misalnya, atau akibat

pemaksaan seksual oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab.

Tingginya kasus penularan HIV pada anak-anak dikarenakan

kurangnya pengetahuan tentang cara penularan dan perlindungan diri

dari HIV. Meningkatnya kasus pada kelompok usia produktif hingga

saat ini masih merupakan satu tantangan yang harus segera diatasi

mengingat kelompok penduduk ini merupakan aset pembangun

Bangsa (Kebijakan AIDS Indonesia, 2017).

Dr. Muninjaya mengatakan bahwa saat Indonesia pertama kali

mendeteksi kasus HIV pada tahun 1987, sikap pemerintah pada

mulanya justru mengingkari adanya kasus ini. Hal yang sama juga

terjadi pada sebagian besar masyarakat, masalah AIDS harusnya tidak

mungkin berkembang di Indonesia karena Indonesia adalah

masyarakat “pancasila”. Tetapi itulah salah satu sikap irasional yang

memungkiri (denial attitude) munculnya kasus AIDS di masyarakat.

Sikap dan tindakan lainnya yang muncul di masyarakat adalah bentuk

pengucilan penderita dan keluarganya karena mereka dianggap

16
menodai lingkungan masyarakat. Masyarakat menganggap penderita

AIDS adalah seseorang yang melakukan perilaku tercela sehingga

mereka pantas mendapatkan hukuman dari Tuhan dan patut di kucilkan

dari pergaulan. Semua sikap tersebut merupakan bentuk reaksi social

masyarakat yang emosional karena kurangnya pemahaman mereka

tentang perjalanan penyakit ini, terutama tentang cara penularannya.

Hingga saat ini meskipun pengetahuan tentang HIV/AIDS telah

berkembang begitu pesat dan telah banyak dilakukan penelitian dan

promosi kesehatan terkait asal mula HIV//AIDS dan bagaimana

penularannya, masih banyak stereotipe dan stigma di masyarakat yang

menyesatkan dan menyebabkan penderita HIV/AIDS mendapatkan

perlakuan yang tidak menyenangkan di masyarakat. Oleh sebab itu

masih perlu adanya promosi dan edukasi yang lebih banyak lagi

tentang penularan dan pencegahan HIV/AIDS bagi Masyarakat

(Muninjaya, 1999).

3. Etiologi

Pada tahun 1983, ilmuwan Perancis Montagnier (institute Pasteur,

paris ) mengisolasi virus dari pasien dengan gejala Limfadenopati dan

menemukan virus HIV. Oleh sebab itu virus tersebut dinamakan

Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada tahun 1984 Gallo

(National Institute of Health, USA) Menemukan virus Human T

Lymphtropic Virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS.

17
Pada Tahun1986 di Afrika ditemukan beberapa tipe HIV, yaitu

HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang di temukan di

Afrika barat. Virus HIV termasuk subfamily Lentivirane dari family

Retroviridae

Asam nukleat dari family retrovirus adalah RNA yang mampu

membentuk DNA dari Rna. Enzim Transcriptase reverse merupakan

RNA virus sebagai ‘cetakan’ untuk membentuk DNA. DNA ini

bergabung dengan kromosom induk (sel limfosit T4 dan sel makrofag)

yang berfungsi sebagai pengganda virus HIV. Secara sederhana sel

HIV terdiri dari :

a. Inti – RNA dan enzim transcriptase reverse (polymerase ), protease

dan integrase

b. Capsid- Antigen P24

c. Sampul (antigen 177) dan tonjolan glycoprotein dan tonjolan

glikomoterapi

Waktu paruh virus (virion half-life) berlangsung cepat. sebagian

besar virus akan mati, tetapi karena mulai awal infeksi, replikasi virus

berjalan sangat cepat dan terus-menerus. dalam sehari sekitar 10

milyar virus dapat di produksi. replika inilah yang menyebabkan

kerusakan sistem kekebalan tubuh. tingginya jumlah virus dalam darah

ditunjukkan dengan angka viral load sedangkan tingkat kerusakan

sistem kekebalan tubuh ditunjukkan dengan angka CD4.

18
4. Manifestasi Klinis

Menurut Widoyono (2011) ,gejala klinis yang sering muncul pada

kasus HIV/AIDS diantaranya adalah; Masa inkubasi virus 6 bulan-5

tahun, dengan window periode selama 6-8 minggu, seseorang dengan

HIV biasanya dapat bertahan hingga 5 Tahun dan apabila tidak segera

ditangani maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS,

Beberapa gejala klinis yang muncul sebagai penyakit yang tidak khas

ialah diare kronis, candidiasis mulut yang luas, pneumocystis carinii,

pneumonia interstisialis limfotik, dan ensefalopati.

Menurut Najmah (2016) sebelum mencapai AIDS yang merupakan

Stadium akhir dari infeksi HIV terdapat empat stadium dalam infeksi

HIV;

a. Stadium I

Pada stadium I belum terdapat tanda dan gejala yang

terlihat dalam hal ini pasien dengan HIV tidak menunjukan gejala

klinis yang berarti, pasien tampak seperti orang sehat dan mampu

beraktivitas dengan baik. pada beberapa kasus stadium I ditemukan

Limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe) yang biasanya

menetap dan menyeluruh.

b. Stadium II

pada stadium II mulai muncul gejala ringan seperti

penurunan berat badan kurang dari 10% tanpa sebab, infeksi

saluran pernapasan atas (sinusitis, tonsilitis, otitis media,

19
pharyngitis) yang terjadi secara berulang, juga infeksi lainnya

seperti herpes zoster, infeksi sudut bibir, ulkus mulut berulang,

popular pruritic eruptions, seborrhoic dermatitis, dan infeksi jamur

pada kuku.

c. Stadium III

penurunan berat badan lebih dari 10% tanpa sebab mulai

terjadi pada stadium III, diare kronik tanpa sebab lebih daru satu

bulan, demam yang intermittent atau tetap lebih dari satu bulan,

candidiasis orang yang menetap, TB pulmonal, munculnya plak

putih pada mulut, terjadi infeksi bakteri berat seperti; pneumonia,

empyema, meningitis, bakteremia, gangguan inflamasi berat pada

pelvik, acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau

periodontitis anemia yang tidak diketahui penyebabnya (<8 g/dl),

neutropenia (<0,5 x 10^9/l) dan atau thrombocytopenia kronik

(<50x10^9/l)

d. Stadium IV

Stadium IV merupakan stadium dimana pasien dinyatakan

mengidap AIDS. Penurunan berat badan yang terus menerus tanpa

sebab menyebabkan HIV Wasting Syndrome dimana pasien

menjadi sangat kurus, terjadi pneumonia bakteri berulang,

pneumocystis pneumonia, infeksi herpes simplex, TBC ekstra

pulmonal, cytomegalovirus, HIV encephalopathy, meningitis,

20
infection progressive multifocal, lymphoma, invasive cervical

carcinoma dan leukoencephalopathy

2.1. Tabel Fase-fase Infeksi HIV/AIDS


Antibodi Dapat
Lama
Fase Terdeteks Gejala-gejala Ditularka
Fase
i n
4 minggu -
Periode
6 bulan Tidak tidak ada Ya
Jendela
terdeteksi
Inveksi HIV 1-2 Sakit seperti
Mungkin Ya
Primer Akut minggu flu
Infeksi 1-15
Asimptomati tahun/lebi Ya tidak ada Ya
k h
Demam,
keringat pada
malam hari,
BB Turun,
diare
Supresi Imun sampai 3 neuropathic,
Ya Ya
Simptomatik Tahun keletihan,
ruam kulit,
Limfadenopati
, perlambatan
kognitif, lesi
oral
1-5 Tahun Infeksi
dari oportunistik
pertama berat dan
AIDS Ya Ya
penentuan tumor,
kondisi manifestasi
AIDS neurologik
Sumber : Buku Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC, Hal: 13. Nurarif, 2015.

Empat stadium klinis HIV/AIDS pada dasarnya akan menunjukkan

penurunan jumlah CD4, yang berarti bahwa jumlah virus atau viral

load dalam tubuh penderita tersebut mengalami peningkatan. Pasien

yang mengalami penurunan CD4 akan mudah mengalami infeksi

sekunder ditambah pula jika pasien tersebut telah berstatus AIDS

21
(CD4 kurang dari 200 sel/mm3) maka dapat meningkatkan risiko

kematian. Penderita HIV/AIDS dengan CD4 100 sel/mm3 atau kurang

ketika mereka mulai ARV, secara bermakna meningkatkan resiko

mortalitas. Penderita HIV/AIDS yang memulai terapi ketika jumlah

CD4 antara 200-350 lebih dapat menurunkan resiko mortalitas (Asis et

al., 2018).

5. Patofisiologi

HIV merupakan virus sitopatik dari family retrovirus. Retrovirus

merupakan virus yang tidak dapat berkembang di luar sel induk, hanya

mengandung asam ribonukleat (RNA) dan tidak mengandung asam

deoksiribonukleat (DNA). Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia

melalui perantara darah, semen, sekret vagina, dan ASI. 75%

penularan HIV terjadi melalui kontak seksual, virus ini cenderung

menyerang sel-sel dengan antigen permukaan CD4 terutama limfosit T

yang berperan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem

kekebalan tubuh. Setelah virus berada di dalam tubuh, partikel virus

akan tertarik pada sel dengan molekul reseptor CD4 yang sesuai,

sehingga akan terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Di dalam

sel induk, HIV yang merupakan retrovirus akan membentuk DNA-nya

dari RNA yang di milik, melalui enzim polymerase. Enzim integrasi

kemudian akan membantu DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA

sel induk. Virus yang berhasil menyeberangi epithelium dapat di

tangkap oleh sel Langerhans dan menginfeksi CD4. sel-sel yang

22
mengidap HIV dapat memasuki kelenjar getah bening regional dan

pada jaringan lymphoid sistemik dimana sel-sel menjadi terinfeksi dan

terjadi replika HIV produktif.

DNA virus yang dianggap tubuh sebagai DNA sel induk akan

membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan mRNA dalam

sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV.

Partikel ini selanjutnya akan mengambil selubung dari bahan sel induk

untuk dilepaskan sebagai virus HIV lainnya, mekanisme

immunosuppression ini akan menyebabkan pengurangan dan

terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T. Infeksi HIV dapat

terjadi melalui saluran saraf, leher rahim, vagina, dan gastrointestinal,

bahkan tanpa adanya gangguan mukosa.

Kejadian yang terjadi setelah HIV disebut sindrom retroviral akut

atau Acute retroviral virus. Sindrom ini diikuti oleh penurunan CD4+

dan peningkatan RVA-HIV dalam plasma (Viral load). pada awal

infeksi, viral load akan meningkat dengan cepat kemudian turun

hingga mencapai suatu titik tertentu, biasanya gejala ini berlangsung

selama 8-10 tahun. Hitungan CD4+ menurun secara perlahan dalam

kurung waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4+ yang lebih

cepat pada 1,5-2,5 tahun sebelum jatuh pada keadaan AIDS dengan

perjalanan lambat.

Infeksi akan terus berlanjut dan membuat viral load secara perlahan

meningkat seiring dengan menurunnya kekebalan tubuh. Pada fase

23
akhir infeksi, akan ditemukan hitungan sel CD4+ kurang dari

200mm^3, timbulnya infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,

demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,

tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lain. pasien yang tidak

melakukan pengobatan ARV secara bertahap atau tidak sama sekali,

sistem kekebalan tubuh orang tersebut akan memburuk dan akhirnya

pasien masuk pada tahap AIDS.

6. Transmisi Infeksi HIV/AIDS

HIV hanya bisa ditransfer melalui darah yang terinfeksi, air maani,

cairan vagina atau ASI. Menurut Nasronudin (2014) HIV masuk ke

dalam tubuh manusia melalui tiga cara, yaitu :

a. Vertical Transmission

Penularan secara vertikal yaitu penularan yang terjadi dari

ibu yang terinfeksi HIV ke anak selama prose mengandung,

persalinan, dan menyusui. angka transmisi dari Ibu yang terinfeksi

ke anaknya mencapai 20-50%. berdasarkan beberapa penelitian

ditemukan bahwa angka transmisi melalui ASI lebih dari sepertiga

dengan persentase 11-29%. Bayi normal dengan ibu HIV bisa

memperoleh antibodi HIV dari ibu selama 6-15 bulan. Tanpa

pengobatan, jika seorang wanita hamil hidup dengan HIV,

kemungkinan penularan virus dari ibu ke anak adalah 15% hingga

45%. Namun, pengobatan antiretroviral (ARV) dan intervensi lain

dapat mengurangi risiko ini hingga di bawah 5%.

24
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mempromosikan

pendekatan komprehensif untuk program PMTCT (Prevention of

mother-to-child transmission) dengan tujuan menekan angka

vertical transmission yang meliputi:

1) mencegah infeksi HIV baru di antara wanita usia reproduksi

2) mencegah kehamilan yang tidak diinginkan di antara wanita

yang hidup dengan HIV

3) mencegah penularan HIV dari seorang wanita yang hidup

dengan HIV kepada bayinya

4) memberikan pengobatan, perawatan dan dukungan yang tepat

kepada ibu yang hidup dengan HIV dan anak-anak serta

keluarga mereka.

b. Horizontal Transmission

Penularan secara horizontal yaitu penularan yang terjadi

akibat kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi, hal ini

biasanya terjadi karena asa sterilisasi kurang diperhatikan terutama

pada pemakaian jarum suntik secara bersama-sama secara

bergantian, tato tindik, transfusi darah, transplantasi organ,

tindakan hemodialysis, dan perawatan gigi. Penularan horizontal

dapat juga terjadi melalui perawatan kesehatan seperti infus produk

darah yang terkontaminasi HIV, penggunaan jarum suntik yang

terkontaminasi, dan peralatan medis, atau melalui konsumsi HIV

dalam ASI perah.

25
Persentase penularan horizontal terutama melalui jarum

suntik mencapai 5-10%. penularan HIV pada anak dan remaja

biasanya melalui jarum suntik karena penyalahgunaan obat.

Transfusi darah sendiri memiliki persentase penularan sebesar

90%. Pada saat ini dengan semakin meningkatnya perhatian dan

semakin baiknya tes penapisan terhadap darah yang akan di

transfusi maka telah jarang terjadi penularan HIV melalui produk

darah. Penelitian menunjukan bahwa 90-100% orang yang

mendapatkan transfusi darah yang terinfeksi HIV akan mengalami

infeksi. Transfusi darah lengkap (whole blood), sel darah merah

(packed red blood cell), trombosit, leukosit, dan plasma semuanya

berpotensi menularkan HIV. Sedangkan untuk

Imunogamaglobulin, globulin imun hepatitis B, vaksin hépatitis B

yang berasal dari plasma, dan globulin imun Rho (O) belum pernah

dilaporkan dapat menularkan HIV.

c. Sexual transmission
Penularan ini adalah yang tersering di dunia, dengan

persentase mencapai 70-80%. Hubungan seksual merupakan

transmisi penularan HIV yang paling sering ditemukan, dapat

terjadi baik pada homoseksual maupun heteroseksual. Penularan

HIV secara seksual diakibatkan perilaku seksual beresik yaitu;

hubungan seksual yang dilakukan tanpa penggunaan kondom baik

itu melalui vagina, anal, maupun seks oral. Selain hubungan

26
seksual yang dilakukan dengan pasangan yang berbeda-beda juga

dapat meningkatkan resiko terinfeksi HIV

Virus ini dapat di temukan dalam cairan semen, cairan

vagina, cairan serviks. Virus akan terkonsentrasi dalam cairan

semen terutama bila terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam

cairan, seperti pada keadaan peradangan genitalia misalnya

urethritis, epididymitis, dan kelainan lain yang berhubungan

dengan penyakit menular seksual. Virus juga dapat ditemukan pada

usapan serviks dan cairan vagina. Transmisi HIV melalui

hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat

membrane mukosa rectum yang tipis dan mudah robek, anus sering

terjadi lesi. Pada kontak seks pervagina, kemungkinan transmisi

HIV dari laki-laki ke perempuan diperkirakan sekitar 20 kali lebih

besar dari perempuan ke laki-laki. Hal ini disebabkan oleh paparan

HIV secara berkepanjangan pada mukosa vagina, serviks, serta

endometrium dengan semen yang terinfeksi.

7. Diagnosis

Menurut Widoyono, (2011) metode yang biasanya digunakan

untuk menegakkan diagnosa HIV ialah:

a. ELISA (Enzym-Linked Immuno Sorbent Assay)

ELISA memiliki sensivitas tinggi yaitu 98,1-100% yang

dapat memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi terjadi.

Bahan yang diperiksa dalam tes ini adalah serum atau cairan tubuh

27
lain. Tes ini merupakan tes yang cukup cepat dan mudah. ELISA

berfungsi untuk menganalisa adanya infeksi antigen dengan

antibody di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim

sebagai pelapor (reporter label)

b. Western Blot

Western Blot menggunakan elektroforesis gel untuk

memisahkan protein asli. Protein tersebut kemudian dikirim ke

membrane dimana mereka di deteksi menggunakan antibodi untuk

menargetkan protein. Metode ini digunakan untuk mendeteksi

protein pada sampel jaringan. pemeriksaan western blot

mendeteksi apakah terdapat infeksi antigen dan antibodi HIV. tes

ini merupakan pemeriksaan penentu bagi diagnosa penyakit AIDS

setelah tes ELISA dinyatakan positif. Western blot memiliki

spesifikasi tertinggi yaitu 99,6-100%, dengan waktu pemeriksaan

selama 24 jam. namun pemeriksaannya cukup sulit, dan mahal

c. PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR, atau reaksi berantai polymerase, adalah reaksi kimia

yang digunakan ahli biologi molekuler untuk mengamplifikasi

potongan DNA. Reaksi ini memungkinkan satu atau beberapa

salinan DNA di replikasi menjadi jutaan atau miliaran salinan,

dengan memperkuat DNA itu, memungkinkan kita untuk

mempelajari molekul DNA itu secara mendetail di laboratorium.

Tes PCR digunakan Untuk;

28
1) Tes HIV pada bayi, hal ini dilakukan karena bayi masih

memiliki zat antimaternal yang dapat menghambat

pemeriksaan secara serologist. Bayi yang lahir dari ibu dengan

HIV biasanya memiliki antigen HIV yang diperoleh dari

ibunya melalui plasenta sehingga akan mengaburkan hasil

pemeriksaan seolah-olah sudah ada infeksi yang terjadi pada

bayi tersebut.

2) PCR digunakan untuk menetapkan status infeksi individu yang

sero negatif pada kelompok beresiko tinggi

3) Tes dilakukan pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi

sero konversi.

4) Digunakan untuk tes konfirmasi HIV-2, disebabkan oleh

ELISA yang memiliki sensivitas rendah untuk HIV-2

Apabila selama pemeriksaan ELISA ditemukan antibodi HIV

maka perlu dikonfirmasi melalui Western Blot. jika diperoleh

sebanyak tiga kali hasil tes ELISA (+) dengan reagent yang

berlainan merk, maka dapat disimpulkan pasien positif mengidap

HIV. Terdapat tiga pemeriksaan laboratorium, yaitu;

1) Pencegahan donor darah, pemeriksaan ini dilakukan sekali oleh

PMI dan apabila positif dinyatakan reaktif

2) Seosurvei, biasanya dilakukan untuk mengetahui prevalensi

pada kelompok beresiko yang dilakukan sebanyak dua kali

pengujian dengan reagent yang berbeda.

29
3) Diagnosis, untuk menegakkan diagnosis diperlukan tiga kali

pengujian.

WHO telah merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid tes

(dipstick) sehingga hasilnya bisa segera diketahui.

Menurut pusat pengendalian dan pencegahan penyakit AS

(CDC), Seseorang didiagnosa dengan HIV ketika mereka memiliki

tanda dan gejala sebagai berikut ;

1) Memiliki kurang dari 200 sel T CD4+ per millimeter kubik

darah, dibandingkan dengan sekitar 1000 sel T CD4+ yang

dimiliki oleh orang sehat.

2) Sel T CD4+ terhitung kurang dari 14% dari semua jumlah

limfosit.

3) Mengidap salah satu dari penyakit berikut;

a) Candidiasis (bronkus, kerongkongan trakea atau paru-paru),

b) kanker serviks yang invasive,

c) coccidioidomycosis yang telah menyebar

d) Cryptococcosis yang mempengaruhi tubuh di luar paru-

paru,

e) Cryptosporidiosis mempengaruhi usus dan berlangsung

lebih dari sebulan

f) Penyakit cytomegalovirus di luar hati, limpa atau kelenjar

getah bening

30
g) Retinitis cytomegalovirus yang terjadi dengan kehilangan

penglihatan

h) Ensefalopati yang terkait HIV

i) Herpes simpleks termasuk bisul yang berlangsung lebih

dari sebulan atau bronkitis, pneumonitis atau esophagitis

j) Histoplasmosis yang telah menyebar

k) Isosporiasis mempengaruhi usus dan berlangsung lebih

dari sebulan

l) Sarkoma Kaposi

m) Lymphoma tipe Burkitt, imunoblastik atau primer dan

mempengaruhi otak atau sistem saraf pusat

n) Kompleks Mycobacterium avium atau penyakit yang

disebabkan oleh M kansasii

o) Mycobacterium tuberculosis di dalam atau di luar paru-

paru

p) Spesies mycobacterium lain yang telah menyebar

q) Pneumocystis jiroveci, sebelumnya disebut carinii,

pneumonia

r) Pneumonia yang berulang

s) Leukoensefalopati multifokal progresif

t) Septikemia Salmonella yang berulang

u) Toxoplasmosis otak, juga disebut ensefalitis

31
v) Sindrom wasting yang disebabkan oleh infeksi HIV,

Gejala juga mungkin termasuk kecemasan, demensia,

depresi dan insomnia.

8. Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS

Pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan

memutus mata rantai penularan. Pencegahan penularan HIV menurut

Widoyono, (2011) yaitu :

a. Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS atau

tersangka penderita AIDS

b. Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti

atau dengan orang yang mempunyai banyak pasangan

c. Menghindari hubungan seksual dengan pecandu Narkotika suntik

d. Melarang orang-orang yang termasuk dalam kelompok beresiko

seperti mereka yang sudah terinfeksi HIV/AIDS untuk melakukan

donor darah

e. Memberikan transfuse darah hanya untuk pasien yang benar-benar

memerlukan

f. Memastikan sterilitas suntik

Kementerian kesehatan, (2013) menyatakan bahwa upaya

pencegahan penularan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan

mempraktekkan prinsip ABCDE;

a. A : Abstinence tidak melakukan hubungan seks sama sekali.

Terutama bagi yang belum menikah,

32
b. B : Be Faithful tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia

kepada pasangan,

c. C : Condom melakukan hubungan seksual yang aman dengan

menggunakan kondom,

d. D : Don’t Share Syringe jangan memakai jarum suntik atau alat

yang menembus kulit bergantian dengan orang lain terutama di

kalangan pengguna narkoba suntik,

e. E : Education selalu mengikuti perkembangan informasi tentang

HIV/AIDS untuk meningkatkan pengetahuan.

Pencegahan penularan HIV/AIDS juga dikemukakan oleh Myhre

dan Sifris, (2022) dalam artikel ilmiah yang berjudul 8 simple Steps to

Prevent HIV. menyatakan bahwa pencegahan HIV lebih dari sekedar

mengikuti aturan, dan lebih tentang mengetahui resiko, memahami

bagaimana HIV di tular hingga bagaimana memproteksi diri dengan

mengambil langkah ekstra untuk mendidik diri sendiri tentang bentuk

pencegahan HIV baik yang baru maupun yang tradisional. Myhre

mengemukakan delapan langkah sederhana dalam penularan

pencegahan HIV yaitu :

a. Know The Risk

Pencegahan HIV dimulai dengan memahami berbagai cara

penularan HIV dan mengidentifikasi aktifitas-aktifitas yang

beresiko tinggi menyebabkan HIV.

33
b. Take PrEP

Profilaksis Pra pajanan HIV (PrPP) merupakan strategi

pencegahan dimana dosis harian obat HIV yang dikenal sebagai

antiretroviral dapat mengurangi resiko seseorang terkena HIV

hingga 99%. PrPP biasanya direkomendasikan untuk orang yang

beresiko tinggi terinfeksi seperti pasangan dalam hubungan

serodiskordan (hubungan dimana salah satu pasangan memiliki

HIV dan yang lain tidak). Namun PrPP juga dapat digunakan oleh

siapa saja yang beresiko HIV yang ingin mengurangi kemungkinan

terinfeksi

c. Get and Stay Undetectable

Undetectable = Untransmissible (U=U) merupakan sebuah

strategi berbasis bukti dimana orang dengan viral load yang tidak

terdeteksi tidak dapat menularkan virus kepada orang lain.

Berdasarkan pada studi PARTNER1 dan PARTNER2 (2010-2018)

membuktikan bahwa pengidap HIV yang mencapai dan

mempertahankan viral load yang tidak terdeteksi tidak dapat

menularkan virus kepada orang lain. Memiliki viral load yang tidak

terdeteksi selama 6 bulan atau lebih berarti tidak mungkin

menularkan virus saat berhubungan seks yang juga dapat disebut

sebagai pengobatan sebagai pencegahan.

34
d. Use Condoms

Penggunaan kondom baik kondom internal dan eksternal

masih merupakan cara yang paling dapat diandalkan untuk

pencegahan kehamilan, HIV dan penyakit menular seksual lainnya.

e. Conceive Safely

Bagi pasangan yang hidup dengan HIV ataupun hubungan

serodiskordan kehamilan yang terencana menjadi sangat penting

untuk pencegahan penularan HIV pada bayi maupun pasangan.

Dengan mempertahankan viral load tidak terdeteksi dan

menggunakan PrPP dapat mencegah penularan virus dan bahkan

mengeksplorasi kehamilan yang aman.

f. Avoid Mother-to-Child Transmission

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak melibatkan

semua tahap kehamilan. Dengan melakukan terapi antiretroviral

pada ibu di awal kehamilan akan menyebabkan resiko penularan

selama kehamilan menjadi sangat rendah dan karena HIV dapat

ditemukan dalam ASI, maka menyusui juga harus dihindari untuk

mencegah terjadinya penularan HIV dari Ibu ke anak

g. Avoid Sharing Needles

Resiko penularan HIV diantara pengguna narkoba suntik

masih sangat tinggi. Orang yang menyuntikkan narkoba dapat

mengurangi risiko tertular atau menularkan HIV dengan tidak

berbagi jarum suntik. Program pertukaran jarum gratis tersedia di

35
banyak negara bagian untuk membantu menghindari penggunaan

jarum suntik bersama.

h. Prevent HIV After an Exposure

Apabila secara tidak sengaja terpapar HIV misalnya pada

tenaga kesehatan, pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan

pemberian obat HIV selama 28 hari yang disebut profilaksis pasca

pajanan (Post-exposure Prophylaxis). Penelitian menunjukan

bahwa PEP dapat mengurangi resiko hingga 81%, dan harus

dimulai dalam 72 jam setelah terjadi paparan, lebih cepat lebih

baik.

9. Pengobatan HIV/AIDS

Menurut Widoyono (2011), pengobatan pada penderita HIV/AIDS

dilakukan sebagai berikut :

a. Pengobatan Suportif

b. Penanggulangan penyakit oportunistis

c. Pemberian obat antivirus

d. Penanggulangan dampak psikososial

Meskipun hingga saat ini belum ditemukan obat untuk HIV, ada

pengobatan yang efektif yang memungkinkan kebanyakan orang

dengan virus untuk hidup panjang dan sehat. Pengobatan HOV disebut

terapi antiretroviral (ARV) yang melibatkan penggunaan kombinasi

obat HIV. ARV direkomendasikan untuk semua orang dengan HIV,

yang dapat membantu ODHA hidup lebih lama dan sehat juga dapat

36
mengurai resiko penularan HIV. Adapun tujuan utama pengobatan

HIV adalah untuk mengurangi viral load seseorang ke tingkat yang

tidak terdeteksi sehingga secara efektif tidak memiliki resiko

menularkan HIV kepada orang lain melalui hubungan seksual.

Obat Antiretroviral (ARV) HIV yang disetujui dibagi menjadi

tujuh kelas obat berdasarkan bagaimana setiap obat mengganggu siklus

hidup HIV. Ketujuh kelas ini termasuk nucleoside reverse transcriptase

inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor

(NNRTI), protease inhibitor (PI), fusion inhibitor, CCR5 antagonis,

post-attachment inhibitor, dan integrase strand transfer inhibitor

(INSTIs). Obat HIV yang dikonsumsi bekerja dengan cara mencegah

HIV berkembang biak. Perkembangbiakan HIV yang terganggu oleh

obat HIV dapat mengurang jumlah HIV dalam tubuh dan memberikan

kesempatan bagi sistem kekebalan tubuh untuk pulih dan

menghasilkan lebih banyak sel CD4 sehingga walaupun masih ada

beberapa HIV di dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh cukup kuat

untuk melawan infeksi dan kanker terkait HIV.

B. Tinjauan Umum Tentang Wanita Usia Reproduksi

1. Definisi Wanita Usia Reproduksi

Wanita usia reproduksi atau wanita usia subur adalah wanita yang

berada pada usia reproduktif yaitu dari sejak mendapat haid pertama

hingga berhentinya haid antara usia 15-49 tahun dengan status belum

37
menikah, menikah atau janda yang berpotensi untuk memiliki

keturunan. Pada kelompok usia ini seorang wanita memiliki risiko

penularan HIV yang tinggi, dikarenakan aktifitas seksual yang tinggi.

Pada usia subur ini juga seorang wanita juga akan mengalami

kehamilan, dimana jika seorang wanita terinfeksi HIV maka

kemungkinan anak yang dilahirkan juga akan terinfeksi HIV, dimana

dalam masa ini petugas kesehatan wajib memberikan penyuluhan atau

pendidikan pada wanita usia reproduksi yang memiliki masalah

mengenai organ reproduksinya (Firmansyah, 2020).

2. Wanita Usia Reproduksi dengan HIV/AIDS

UNAIDS menyatakan bahwa wanita menjadi penyumbang infeksi

HIV terbanyak. wanita menyumbang lebih dari setengah jumlah orang

yang hidup dengan HIV di seluruh dunia. Wanita muda (10-24 tahun)

dua kali lebih mungkin tertular HIV dibandingkan pria muda pada usia

yang sama, dan penyakit terkait AIDS masih menjadi penyebab utama

kematian bagi perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun (UNAIDS,

2022)

secara fisik bentuk organ kelamin wanita yang seperti bejana

terbuka memudahkan virus masuk ke dalam vagina ketika

berhubungan intim dengan lelaki yang positif HIV, melalui luka atau

lecet atau masuknya cairan sperma ke dalam rahim. Secara biologis

wanita memiliki mukosa alat kelamin yang lebih luas dibandingkan

pada laki-laki sehingga sperma mudah terpapar ketika hubungan

38
seksual. selain itu, sperma yang terinfeksi HIV mempunyai konsentrasi

virus yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi HIV pada cairan

vagina (Ruth, 2017).

Dampak yang muncul akibat wanita terinfeksi HIV sangatlah

besar. Beijing Platform for Action menyatakan bahwa konsekuensi

HIV/AIDS sangat mempengaruhi kesehatan wanita dalam peran

mereka sebagai ibu dan pengasuh serta kontribusi mereka sebagai

penyangga ekonomi keluarga. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa

wanita bukan saja memiliki tanggung jawab mengandung dan

melahirkan anak namun juga bertanggung jawab terhadap kualitas

anak yang dilahirkan, merawat anak, melakukan pekerjaan rumah,

merawat anggota keluarga yang sakit dan juga sebagai penyangga

ekonomi keluarga. hal ini berarti jika wanita mengalami infeksi HIV

maka perekonomian keluarga akan terpuruk, kualitas anak yang

dilahirkan akan buruk sehingga berpengaruh ada kualitasnya saat usia

remaja, reproduksi dan lansia (Ruth, 2017).

C. Tinjauan Umum Tentang Perilaku

1. Definisi Perilaku

Perilaku adalah segenap respon manusia dalam berinteraksi dengan

lingkungannya, yang di peroleh setelah menerima stimulus dari

lingkungan itu sendiri dan kemudian akan dijadikan kebiasaan karena

adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah

39
tindakan atau aktivitas dari manusia baik yang diamati maupun tidak

dapat diamati oleh interaksi manusia dengan lingkungannya yang

terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan.

(Batkormbawa, 2021)

Menurut Okviana (2015) Perilaku merupakan suatu tindakan yang

dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan

baik disadari maupun tidak. Perilaku adalah kumpulan berbagai fakto

yang saling berinteraksi dan membentuk sebuah kebiasaan, perilaku

biasanya dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki

oleh individu. Skinner (1938) seorang psikolog aliran behaviorisms

mengelompokkan perilaku menjadi dua yaitu :

a. Covert Behavior (Perilaku Tertutup), perilaku ini adalah suatu

perilaku dimana respon yang diberikan terhadap stimulus belum

dapat diamati orang lain dari luar secara jelas, perilaku masih

terbatas dalam bentuk pikiran, perasaan, persepsi, pengetahuan dan

sikap terhadap stimulus uang bersangkutan.

b. Overt Behavior (Perilaku Terbuka), merupakan suatu respon

terhadap stimulus yang telah berupa tindakan atau praktik yang

dapat diamati oleh orang lain dari luar (Notoatmodjo, 2012)

Menurut Notoadmojo (2012), terbentuknya suatu perilaku baru

terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, artinya

apabila individu tersebut tahu lebih dahulu stimulus yang berupa

materi atau objek di luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru

40
pada individu tersebut. selanjutnya akan menimbulkan respon dalam

bentuk sikap individu terhadap objek yang baru diketahuinya itu.

Rangsangan yang telah diketahui itu akhirnya akan menimbulkan

respon yang lebih jauh lagi berupa tindakan terhadap stimulus atau

objek tersebut. Namun pada kenyataannya banyak perilaku yang

terjadi tidak selalu harus didasari oleh pengetahuan dan sikap.

2. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah aktivitas atau kegiatan seseorang baik

yang dapat diamati ataupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan

dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan seseorang. Perilaku

kesehatan mencakup melindungi diri dari penyakit dan masalah

kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan

bila terkena masalah kesehatan (Notoatmojo, 2012)

Faktor penentu perilaku kesehatan manusia sulit untuk dibatasi hal

ini dikarenakan perilaku merupakan resultan dari berbagai factor, baik

internal maupun eksternal. Faktor internal berasal dari individu itu

sendiri meliputi tingkat pendidikan yang telah ditempuh, umur

individu, pertama kali berhubungan seks, pekerjaan, pengetahuan

tentang HIV/AIDS baik dalam penyebarannya, pengalaman tentang

penyakit menular seksual, pemakaian kondom sebagai upaya

pencegahan. Sedangkan factor eksternal yaitu factor dari luar individu

yang mempengaruhi perilaku meliputi; norma masyarakat terhadap

kondom, penyuluhan tentang HIV/AIDS, ketersediaan kondom,

41
keterjangkauan harga, serta adanya informasi dan keterpajanan

terhadap media masa. Perilaku manusia dari tingkat kesehatan

dipengaruhi oleh dua factor pokok yaitu perilaku (Behavior causes)

dan factor diluar perilaku (non-behavior causes). Selanjutnya perilaku

akan ditentukan dari tiga factor yaitu:

a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan

sebagainya.

b. Faktor-faktor Pendukung (Renabling Factors) yang terwujud

dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-

fasilitas atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan,

alat kontrasepsi, dan sebagainya

c. Faktor-faktor Pendorong (Reinforcing Factors) yang terwujud

dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

3. Domain Perilaku

Domain perilaku oleh Bloom (1908), dalam Notoatmojo (2012),

dibagi menjadi tiga dengan tujuan untuk pendidikan yaitu

mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku yang

terdiri dari kognitif (Cognitive domain), psikomotor (Psikomotor

domain), dan afektif (affective domain). Dalam perkembangan

selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan untuk kepentingan hasil

pendidikan, ketiga domain ini diukur dari :

42
a. Pengetahuan sesorang terhadap materi pendidikan yang diberikan

(Knowledge).

b. Sikap atau tanggapan seseorang terhadap materi pendidikan yang

diberikan (Attitude).

c. Praktek atau tindakan yang dilakukan seseorang yang telah

memperoleh pendidikan sehubungan dengan materi pendidikan

yang diberikan (Practice).

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa

dimulai pada domain kognitif dalam arti subjek tahu terlebih dahulu

terhadap stimulasi yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga

menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek

yang diketahui tersebut, akhirnya rangsangan objek yang telah

diketahui dan disadari sepenuhnya tersbut akan menimbulkan respon

lebih jauh lagi berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan

dengan stimulus atau objek tadi.

4. Pengukuran Perilaku

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan dengan

dua cara, yaitu pengukuran secara langsung dan pengukuran secara

tidak langsung. Mengamati atau mengukur secara langsung dengan

pengamatan (observasi) yaitu mengamati dari subjek dalam rangka

memelihara kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung

menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini

dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan kepada subjek tentang apa

43
yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu (HIV/AIDS)

dengan menggunakan kuesioner atau wawancara (Notoatmojo, 2012).

Sistem Kuesioner adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk

memperoleh informasi secara langsung dengan menggunakan

pertanyaan-pertanyaan kepada para responden. Kuesioner

dilaksanakan secara tertulis.

D. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian

1. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil pengindraan, atau hasil tahu

seseorang terhadap suatu objek yang diperolehnya dari proses

pengindraan. Pengetahuan merupakan domain penting dalam

tindakan seseorang karena perilaku yang didasari oleh pengetahuan

cenderung positif dan menetap. (Notoatmojo, 2014)

b. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan (Kognitif) mempunyai 6 tingkatan pengetahuan

antara lain :

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai keadaan mengingat suatu materi

yang telah dipelajari sebelumnya. Komponen tingkat

pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) suatu hal

yang spesifik dari seluruh badan uang dipelajari atau

44
rangsangan yang telah diterima. Kata kerja yang dapat

digunakan untuk mengukur kemampuan tahu seseorang akan

apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan

dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

Kegiatan memahami bisa berupa menterjemahkan atau

menafsirkan. Orang yang telah paham terhadap objek atau

materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau

kondisi real (sebenarnya)

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan

materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih

dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu

sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan,

membedakan, memisahkan, serta mengelompokkan

5) Sintesis (Synthesis)

45
Sintesis adalah kemampuan menyusun sejumlah unsur-

unsur sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan

yang menghasilkan komunikasi yang unik, menghasilkan suatu

rencana atau seperangkat pelaksanaan yang berencana. Sintesis

pada dasarnya merupakan kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam bentuk keseluruhan

yang baru dan dapat menyusun, merencanakan, meringkas, dan

dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang

telah ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-

penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan

sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.

c. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Riyanto (2013), menyatakan bahwa terdapat factor-faktor

yang mempengaruhi pengetahuan yang meliputi :

1) Pendidikan

pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan perilaku

baik individu, atau kelompok yang bertujuan untuk

mendewasakan melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin cepat

kemampuan orang tersebut dalam menerima dan memahami

46
suatu informasi sehingga pengetahuan yang dimiliki juga

semakin tinggi.

2) Informasi atau Media Masa

Informasi adalah sekumpulan pesan yang terdiri dari

symbol atau makna yang dapat diartikan, dan memiliki makna

yang penting atau berarti. Informasi dapat diperoleh dari

berbagai sumber terutama dari pendidikan formal maupun non-

formal yang dapat memberikan pengaruh jangka pendek

sehingga dapat menghasilkan perubahan dan peningkatan

pengetahuan. Sedangkan media masa merupakan suatu metode

yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,

menyiapkan, memanipulasi, menganalisis dan menyebarkan

informasi dengan tujuan tertentu. dengan semakin

berkembangnya teknologi, media masa sebagai sumber

informasi sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan

masyarakat. Informasi mempengaruhi pengetahuan seseorang.

Jika seseorang sering mendapatkan informasi tentang suatu

pembelajaran, maka akan menambah pengetahuan dan

wawasannya. Sebaliknya jika seseorang tidak sering menerima

informasi, pengetahuan orang tersebut tidak akan bertambah.

3) Sosial, Budaya dan Ekonomi

Tradisi atau budaya yang dilakukan tanpa penalaran baik

dan tidaknya budaya tersebut akan menambah pengetahuan.

47
Seseorang yang mempunyai social budaya yang baik

cenderung memiliki pengetahuan yang baik. Hal ini

dikarenakan individu dibesarkan dalam lingkungan social dan

budaya yang baik sehingga membantu pengetahuan individu

semakin berkembang. Status ekonomi seseorang juga

mempengaruhi pengetahuan yang dimilikinya. Seseorang

dengan status ekonomi yang baik dapat mengakses pendidikan

baik formal maupun nonformal, dan mengakses fasilitas yang

diperlukan untuk mengingatkan pengetahuan. Sebaliknya

orang dengan ekonomi rendah cenderung sulit mengakses

fasilitas yang diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan.

4) Lingkungan

Dikarenakan adanya interaksi timbal balik antara

lingkungan dan individu, maka lingkungan sangat

mempengaruhi proses peningkatan pengetahuan individu.

Lingkungan yang baik akan menghasilkan pengetahuan yang

baik pula, tetapi apabila lingkungan individu kurang baik maka

pengetahuan yang didapat juga kurang baik.

5) Usia

Semakin bertambah usia, maka daya tangkap dan pola piker

individu akan semakin berkembang sehingga pengetahuan

yang diperoleh juga akan semakin membaik dan bertambah.

d. Pengukuran Tingkat Pengetahuan

48
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket kuesioner yang menanyakan tentang isi

materi yang ingin diukur dari subjek penelitian. Pengukuran

pengetahuan bertujuan untuk mengetahui status pengetahuan

seseorang yang akan dirangkum dalam table distribusi frekuensi.

(Notoadmodjo, 2014). Batkormbawa (2021) menyatakan bahwa

pengetahuan seseorang dapat diinterpretasikan dengan skala yang

bersifat kualitatif, yaitu :

1) Tingkat pengetahuan dikategorikan baik apabila responden

mampu menjawab pertanyaan pada kuesioner dengan benar

sebesar ≥ 76% dari seluruh pernyataan dalam kuesioner

2) Tingkat pengetahuan dikatakan cukup apabila responden

mampu menjawab pertanyaan benar sebesar 56%-75%, dari

seluruh pertanyaan dalam kuesioner

3) Tingkat pengetahuan dikatakan kurang apabila responden

mampu menjawab pertanyaan pada kuesioner sebesar ≤ 56%.

Dari seluruh pertanyaan dalam kuesioner.

2. Sikap (Attitude)

a. Definisi Sikap

Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih

tertutup dari seseorang terhadap stimulasi atau objek. Manifestasi

dari sikap tidak dapat langsung dilihat, hanya dapat ditafsirkan

terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap adalah

49
kecenderungan potensial seseorang untuk bereaksi dengan cara

tertentu apabila dihadapkan pada suatu stimulasi yang

menghendaki adanya respon. (Batkormbawa, 2021). Sikap secara

nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap

stimulasi tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan

reaksi yang bersifat emosional terhadap suatu stimulus social.

(Notoadmodjo, 2012).

b. Komponen-komponen Sikap

Azwar mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen

penting sikap yang sehubungan dengan factor-faktor lingkungan

sebagai berikut :

1) Afeksi (Affect) merupakan komponen emosional atau perasaan,

dimana lebih berfokus pada emosional subjek individu

terhadap suatu objek. Secara umum komponen ini disamakan

dengan perasaan yang dimiliki individu terhadap sesuatu.

2) Kognitif (Cognitive) adalah komponen yang berisi kepercayaan

atau keyakinan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa

yang benar bagi objek sikap. Keyakinan-keyakinan ini akan

dimanifestasikan dalam bentuk impresi atau kesan baik buruk

uang dimiliki seseorang terhadap objek atau orang tertentu.

3) Kognatif (Conative) adalah suatu sikap yang berhubungan

dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak pada

seseorang atau hal tertentu dengan cara tertentu.

50
c. Tingkatan Sikap

Seperti halnya pengetahuan, sikap memiliki beberapa

tingkatan menurut Notoadmodjo (2012) yaitu :

1) Menerima (Receiving) merupakan sikap dimana subjek mau

dan memperhatikan stimulasi yang diberikan

2) Merespon (Responding) merupakan sikap dimana subjek

memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan.

3) Menghargai (Valuing) merupakan bentuk sikap mengajak

orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah.

4) Bertanggung Jawab (Responsible) merupakan sikap

bertanggung jawab terhadap apa yang telah dipilihnya dengan

segala resiko.

d. Faktor-faktor Pembentukan Sikap

Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi pembentukan

sikap menurut Azwar (2012) dan Batkormbawa (2021) antara lain :

1) Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi adalah sesuatu yang telah dan sedang

dialami oleh seseorang. Apa yang dialami tersebut akan

membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu terhadap

stimulus social, tanggapan akan menjadi salah satu dasar

pembentukan sikap. Untuk memiliki tanggapan dan

51
penghayatan akan suatu stimulus, seseorang harus memupuki

pengamatan yang berkaitan dengan objek psikososial. Sikap

yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh

langsung terhadap perilaku yang akan direalisasikan hanya

apabila kondisi dan situasi memungkinkan

2) Orang Lain yang Dianggap Penting

Seseorang cenderung akan memiliki sikap yang sejalan atau

disesuaikan dengan sikap yang dimiliki orang yang

dianggapnya berpengaruh, penting, seseorang yang di

harapkan persetujuannya bagi setiap tindakan dan pendapat

misalnya orang tua, sahabat, teman sebaya, orang yang status

sosialnya lebih tinggi, guru, teman kerja, istri atau suami.

3) Kebudayaan

Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan

memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan sikap

individu. Apabila individu hidup dalam budaya uang

mempunyai norma longgar bagi pergaulan bebas, sangat

mungkin individu akan mempunyai sikap yang mendukung

terhadap masalah kebebasan pergaulan.

4) Media Masa

Media masa yang merupakan saran komunikasi dalam

berbagai bentuk seperti televise, radio, Instagram, twitter,

mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan

52
kepercayaan orang karena berisi sugesti yang dapat

mengarahkan. Opini yang diarahkan ini kemudian dapat

mengakibatkan adanya landasan kognitif sehingga mampu

membentuk sikap .

5) Institusi Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan dan agam sebagai suatu sistem

mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap. Hal ini

dikarenakan lembaga pendidikan dan agama bertanggung jawa

dalam meletakan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri

individu.

6) Emosi dalam Diri Individu

Tidak semua factor pembentuk sikap berasal dari

lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Terkadang

suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh

emosi yang berfungsi sebagai penyalur frustrasi atau

pengalihan sebagai bentuk mekanisme coping

e. Proses Perubahan Sikap

Proses perubahan sikap pada dasarnya menyerupai proses

belajar. Notoatmojo (2012) menyatakan bahwa proses

pembentukan sikap sangat bergantung dari proses perubahan yang

terjadi, yakni :

1) Pemberian stimulus pada individu dapat memberikan dua

respon, stimulus yang diberikan dapat diterima atau dapat

53
ditolak. apabila stimulus ditolak maka proses selanjutnya tidak

dapat berjalan hal ini berarti stimulus tidak efektif dan tidak

mempengaruhi individu sehingga tidak ada perhatian dari

individu dan tidak terjadi pembentukan sikap. sebaliknya

apabila stimulus diterima oleh individu berarti ada komunikasi

dan perhatian dari individu sehingga stimulus dikatakan efektif

karena dapat diteruskan pada proses selanjutnya dalam

pembentukan sikap

2) ketika stimulus diterima oleh individu maka selanjutnya proses

akan bergantung pada kemampuan individu untuk mengerti

dengan baik. kemampuan dari individu inilah yang menentukan

langkah selanjutnya dalam pembentukan sikap.

3) Apabila individu telah menerima dan mengerti stimulus secara

baik maka akan terjadi kesediaan untuk suatu perubahan sikap.

f. Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun

tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana

pendapat pertanyaan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak

langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis,

kemudian ditanyakan pada responden.

Riyanto (2013) dan Batkormbawa (2021) menjelaskan

bahwa ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya kognitif

kemampuan yang diukur adalah kemampuan menerima, merespon,

54
menghargai, mengorganisasi, dan menghayati. Adapun skala yang

digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert yang dibagi

menjadi dua yaitu Favorable (Pernyataan Positif) dan Unfavorable

(Pernyataan Negatif). Pada skala ini untuk item Favorable jawaban

‘sangat setuju’ bernilai 5, sedangkan jawaban ‘sangat tidak setuju’

bernilai 1. Sementara untuk item Unfavorable, jawaban ‘sangat

setuju’ bernilai 1 dan untuk jawaban ‘sangat tidak setuju’ bernilai

5. Suatu skala sikap sebaiknya terdiri atas pernyataan Favorable

dan Unfavorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian

pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua

negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung

sama sekali objek sikap.

2.2 Tabel Penilai Item Pernyataan Pengukuran Sikap

Item Pertanyaan
Kategori
Pernyataan Negatif
Pernyataan Positif
Sangat Setuju 5 1
Setuju 4 2
Ragu-ragu 3 3
Tidak Setuju 2 4
Sangat Tidak Setuju 1 5

3. Status Mendapatkan ARV

Status mendapatkan ARV merupakan suatu sistem identifikasi

ODHA yang dinyatakan memenuhi syarat mendapatkan ARV atau

belum. Penetapan pemberian ARV pada ODHA didasarkan pada status

diketahuinya kondisi klinis yang ditetapkan melalui stadium klinis

55
pada ODHA, bersama dengan hasil CD4, bila tersedia, dan apabila

tidak tersedia tes CD4 maka dapat menggunakan hitungan limfosit

total (Total Lymphocyte Count) sebagai penanda fungsi imunitas.

Dalam program ARV, hitungan limfosit total hanya berlaku pada

ODHA dengan stadium klinis II apabila CD4 tidak tersedia. Keputusan

terapi ARV akan dianjurkan pada ODHA dengan stadium klinis 3 dan

4, dan tidak dianjurkan untuk ODHA yang asimtomatik atau stadium 1

(Kambu, 2012).

ARV direkomendasikan untuk semua orang dengan HIV untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan infeksi

HIV dan untuk mencegah penularan HIV ke pasangan seksual dan

bayi. ARV harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis

HIV. Ketika memulai ARV, penting untuk mendidik pasien tentang

tujuan dan manfaat ARV dan untuk mengidentifikasi dan mengatasi

hambatan untuk keterlibatan perawatan dan kepatuhan

pengobatan. Pasien juga harus memahami bahwa ARV yang tersedia

saat ini tidak menyembuhkan HIV.

Untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi imunologi dan

mempertahankan penekanan virus, ARV harus dilanjutkan tanpa batas

waktu tanpa gangguan. Memulai ARV sejak dini sangat penting bagi

pasien dengan kondisi terdefinisi AIDS, mereka yang terinfeksi HIV

akut atau baru-baru ini, dan individu yang sedang hamil; menunda

56
terapi pada subpopulation ini telah dikaitkan dengan risiko tinggi

morbiditas, mortalitas, dan penularan HIV.

E. Kerangka Konsep

Kerangka konsep menurut Notoadmodjo (2012), adalah visualisasi

tentang hubungan antara variable-variabel yang akan di ukur melalui

penelitian yang akan dilakukan. Adapun Variabel yang akan diteliti dalam

penelitian ini ialah Pengetahuan, Sikap, dan Status Memperoleh ARV

sebagai variable Independen dengan perilaku pencegahan penularan

HIV/AIDS oleh ODHA Wanita Usia Reproduksi sebagai variable

Dependen.

Maka dapat di gambarkan kerangka al sebagai berikut :


Pengetahuan
Perilaku
pencegahan
Sikap
penularan
HIV/AIDS oleh
Status ODHA WUR
Memperoleh ARV

Keteragan :

: Variabel Independan

: Variabel Dependan
: Hubungan

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

57
F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam,

bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang

diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, dan belum didasarkan

pada fakta-fakta empiris uang diperoleh melalui pengumpulan data.

(Sugiyono, 2013).

Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan

penularan HIV/AIDS oleh ODHA Wanita Usia Reproduksi di

Puskesmas Waihaong Ambon.

b. Ada hubungan antara Sikap dengan perilaku pencegahan

penularan HIV/AIDS oleh ODHA Wanita Usia Reproduksi di

Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

c. Ada hubungan antara Status Mendapatkan ARV dengan perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita Usia

Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

2. Hipotesis Null (No)

a. Tidak ada hubungan antara Pengetahuan dengan perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA Wanita Usia

Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

58
b. Tidak ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan

penularan HIV/AIDS oleh ODHA Wanita Usia Reproduksi di

Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

c. Tidak ada hubungan antara Status Mendapatkan ARV dengan

perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA Wanita

Usia Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong

Ambon.

59
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analitik kuantitatif dengan desain penelitian Cross Sectional, dengan

menggunakan kuesioner sebagai sarana pengumpulan data. Desain Cross

Sectional merupakan desain penelitian yang hanya sekali mengobservasi

saja dan pengukuran dilakukan terhadap variable subjek saat penelitian,

yang dilakukan untuk mempelajari dinamika korelasi antar factor-faktor

resiko dengan efek, dengan pendekatan, observasi atau pengumpulan data.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dikarenakan data yang

akan diperoleh merupakan data rasio dan yang menjadi focus dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh antar variable

yang akan diteliti (Batkormbawa, 2021). Penelitian ini dilakukan dengan

tujuan untuk mengetahui factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia reproduksi di

Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Wilayah Kerja

Puskesmas Waihaong Ambon.

2. Waktu Penelitian

60
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2022, selama

dua minggu.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian berupa

manusia, hewan, tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup

dan sebagainya sehingga objek dapat menjadi sumber data penelitian.

(Batkormbawa, 2021). Populasi dalam penelitian ini adalah 109

ODHA Wanita Usia Reproduksi (WUR) dengan rentang usia 15-49

tahun di wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

2. Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat

digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,

2017). Unit analisa dari penelitian in terdiri dari objek penelitian yaitu

pengetahuan, sikap, lama mengidap HIV/AIDS, Status memperoleh

ART serta subjek dari penelitian yaitu ODHA wanita usia reproduksi

di wilayah kerja puskesmas Waihaong Ambon yang memenuhi

kriteria. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dari sampel yang diambil

yaitu :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian

dari ssuatu populasi yang terjangkau dan akan diteliti. (Nursalam,

61
2017). Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1) ODHA wanita usia reproduksi (15-49 tahun)

2) Bersedia menjadi responden

3) Dapat berkomunikasi dengan baik.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengelurakan

subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusif karena berbagai alas

an. (Nursalam, 2017). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1) ODHA wanita yang tidak berada dalam usia reproduksi

2) Tidak bersedia menjadi responden

3) Tidak dapat berkomunikasi dengan baik

Dalam penelitian ini jumlah sampel akan dihitung dengan

menggunakan rumus Slovin dimana :

Rumus Slovin n = ( )

Keterangan :

n = Ukuran Sampel

N = Ukuran populasi

d2 = Nilai Presisi 95% atau sing = 0,05

Berdasarkan pada rumus Slovin, maka besarnya penarikan jumlah

sampel penelitian ini adalah :

62
99
n=
1 + 99(0,05)

99
n=
1 + 99(0,0025)

99
n=
1 + 0,2475

99
n=
1,2475

n = 79,358

n = 79

Dari hasil yang diperoleh maka populasi yang diambil sebagai sampel

adalah sebanyak 79 orang responden.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen/Bebas

Dalam penelitian ini yang menjadi variable independen adalah

pengetahuan, sikap, dan status memperoleh ARV terhadap perilaku

pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia reproduksi

di Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

2. Variabel Dependen/Terikat

Dalam penelitian ini variable dependen adalah perilaku pencegahan

penularan HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia reproduksi di Wilayah

Kerja Puskesmas Waihaong Ambon.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan suatu bentuk penentuan kontrak

atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi variable yang diukur.

63
Definisi operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan untuk

meneliti dan mengoperasikan kontrak, sehingga memungkinkan bagi

peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang

sama atau mengembangkan cara pengukuran kontrak yang lebih baik.

(Notoatmojo, 2016).

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Kriteria Objektif


Alat Ukur Skala
Operasional
Variabel Dependen/Terikat
1 Perilaku Upaya yang 1. Perilaku Baik,
pencegahan dilakukan ODHA jika
penularan wanita usia persentase
HIV/AIDS reproduksi dalam yang didapat
oleh ODHA mencegah ≥ 60%
wanita usia terjadinya 2. Perilaku
Ordinal
reproduksi penularan Kurang Baik,
Kuesioner
HIV/AIDS, seperti jika hasil
terapi ARV, persentase
penggunaan yang didapat
kondom, control < 60%
kehamilan,
persalinan dan
menyusui.

Variabel Independen/Bebas
2 Pengetahuan Segala sesuatu 1.Pengetahuan
yang diketahui Baik jika
ODHA wanita usia hasil
reproduksi tentang persentase
HIV/AIDS seperti didapat ≥
pengertian, gejala, 76%
penularan, 2.Pengetahuan
pencegahan, dan Cukup jika
Kuesioner Ordinal
terapi ARV. hasil
persentase
56%-75%
3. Pengetahuan
Kurang Jika
hasil
persentase <
56%
3 Sikap Pendapat atau Kuesioner 1. Sikap Baik Ordinal

64
penilaian ODHA jika hasil
wanita usia persentase
reproduksi terhadap didapat ≥ 63 %
hal terkait dengan 2. Sikap Kurang
tindakan Baik jika hasil
pencegahan persentase <
penularan 63%
HIV/AIDS melalui
kontak seksual
maupun nonsexual
4 Status Identifikasi 1. Sudah
Mendapatkan pengobatan ARV mendapatkan
ARV ODHA apakah ARV
Kuesioner Ordinal
ODHA sudah atau 2. Belum
belum mendapatkan mendapatkan
ARV ARV

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan peralatan yang digunakan dalam

penelitian untuk pengambilan data. (Batkormbawa, 2021). instrument

dalam penelitian ini berupa kuesioner, dan formulir lainnya yang berkaitan

dengan pencari data terkait penelitian, adapun kuesioner yang digunakan

diadaptasikan dari kuesioner Faradina A (2013) dengan judul penelitian

Faktor yang berhubungan dengan perilaku penularan HIV/AIDS oleh

ODHA wanita usia reproduksi di Kota Singkawang.

Dalam penelitian ini instrument yang akan digunakan berupa

kuesioner yang berisi identitas umum responden, kuesioner yang

digunakan berisi 64 soal (18 pertanyaan tentang variabel dependen dan

46 pertanyaan tentang variable independen). Adapun kuesioner yang akan

digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Kuesioner Pengetahuan

65
Pada kuesioner pengetahuan responden akan memberikan tanda

centang pada kolom “Benar” atau “Salah” di setiap pernyataan yang

terdapat dalam kuesioner. Kuesioner yang di lampirkan terdiri dari 25

item pernyataan dengan menggunakan skala ukur kategori ordinal

yaitu : jawaban benar ≥ 19 item pernyataan (≥ 76%) dari total 25 item

pernyataan maka pengetahuan dikatakan Baik, jawaban benar 14-18

item pernyataan (56%-75%) dari total 25 item pernyataan maka

dikatakan Cukup dan jawaban benar < 14 item pernyataan (< 56%)

dari total 25 item pernyataan maka pengetahuan dikatakan Kurang.

Pernyataan yang dijawab dengan benar akan diberikan 1 poin dan jika

salah akan diberikan 0 poin.

2. Kuesioner Sikap

Dalam kuesioner ini pernyataan dibagi menjadi 2 yaitu pernyataan

negatif dan pernyataan positif. Pernyataan yang membolehkan atau

positif, maka jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 1,

jawaban Tidak Setuju (TS) diberi nilai 2, jawaban Ragu-ragu (RR)

diberi bilai 3, jawaban Setuju (S) diberi nilai 4, dan jawaban Sangat

Setu (SS) diberi nilai 5. Sebaliknya pernyataan yang tidak

membolehkan atau negatif, maka jawaban Sangat Tidak Setuju (STS)

diberi nilai 5, jawaban Tidak Setuju diberi nilai 4, jawaban Ragu-ragu

(RR) diberi nilai 3, jawaban Setuju (S) diberi nilai 2, dan jawaban

Sangat Setuju (SS) diberi nilai 1. (Khasanah, 2019).

66
Kuesioner sikap terdiri dari 21 item pernyataan, yang di bagi

menjadi 2 yaitu : pernyataan positif terdiri dari 11 pernyataan

(Kuesioner sikap pernyataan nomor 1, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14,

16), dan item pernyataan negate terdiri dari 10 pernyataan (Kuesioner

Sikap pernyataan nomor 2, 3, 6, 9, 15, 17, 18,19, 20,21). Apabila

dijumlahkan , maka rentang skor minimal hingga maksimal dari

pernyataan positif dan negatif adalah antara 21-105, dengan rata-rata

63.

Tabel 3.2. Skor Item Pernyataan Kuesioner Sikap


Skor Skor
Item Pernyataan Rata-rata
Minimal Maksimal
11 Pernyataan Positif 11 55 33
10 Pernyataan Negatif 10 50 30
Total 21 Pernyataan 21 105 21+105/2 = 63
Jika total skor < rata-rata 63 = sikap Kurang = kode (1) dan skor ≥

rata-rata 63 = sikap Baik = kode (0).

3. Kuesioner Perilaku Pencegahan Penularan Oleh ODHA

Kuesioner perilaku pencegahan oleh ODHA terdiri dari 18 item

pertanyaan dengan skala ukur kategori ordinal. Responden menjawab

pernyataan dengan Benar ≥ 12 soal (≥ 60%) = Baik = Kode (1), dan

responden yang menjawab pernyataan benar < 12 soal (< 60%) =

kurang = kode (0).

G. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti akan dilakukan dua metode untuk

pengumpulan data yaitu :

1. Data Primer

67
Data primer adalah data yang dikumpulkan dengan cara melakukan

wawancara terhadap responden yaitu ODHA wanita usia reproduksi

dengan menggunakan daftar pertanyaan (Kuesioner).

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kasus HIV/AIDS

tiga tahun terakhir (2019-2021) yang diperoleh dari Dinas Kesehatan

Provinsi Maluku dan data jumlah ODHA wanita usia reproduksi di

Wilayah Kerja Puskesmas Waihaong Ambon yang didapat dari data

base Puskesmas Waihaong Ambon.

H. Pengolahan Data

Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan melalui

beberapa tahapan yaitu :

1. Editing Data

Editing data dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah

data kuesioner atau check-list yang telah diisi masih terdapat kesalahan

atau belum lengkap. Apabila masih ditemukan kesalahan atau data

yang tidak lengkap, maka akan dilakukan perwakilan atau wawancara

ulang.

2. Coding Data

Coding data adalah suatu kegiatan pemberian kode terhadap

masing-masing kuesioner maupun check-list yang berguna untuk

mempermudah peneliti dalam entri data maupun analisa data.

3. Entri Data

68
Entri data merupakan tahapan selanjutnya setelah coding data yaitu

cara memasukan data dengan sistem komputerisasi.

4. Cleaning Data

Cleaning data adalah suatu cara yang digunakan untuk melakukan

pengecekan kembali terhadap data yang sudah dimasukan dan terjadi

kesalahan sehingga dapat diperbaiki.

I. Analisis Data

Setelah data yang dimiliki melalui proses pengolahan, data kemudian

akan melalui proses analisa data dimana analisa data ini meliputi analisa

univariat dan bivariat.

1. Analisa Univariat

Analisa univariat ini digunakan untuk memberikan gambaran

tentang variable pengetahuan, sikap, lama mengidap HIV/AIDS dan

status memperoleh ARV terhadap perilaku pencegahan penularan

HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia reproduksi di wilayah kerja

puskesmas Waihaong Ambon.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariate dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan

untuk mengetahui hubungan perilaku pencegahan penularan

HIV/AIDS oleh ODHA wanita usia reproduksi di wilayah kerja

puskesmas Waihaong Ambon. Dalam penelitian ini digunakan uji Chi

Square yang bertujuan untuk mengetahui hubungan variable yang

mempunyai data kategori. Dasar pengambilan hipotesis penelitian

69
berdasarkan pada tingkat signifikansi dengan derajat kepercayaan (α,<

0,05), hubungan dikatakan bermakna apabila nilai p < 0.05

(Batkormbawa, 2021 ). Jika p Value < α, maka Ho ditolak dan Ha

diterima yang berarti ada hubungan antara variable independen dan

dependen.

a. Jika p Value > α, maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti

tidak ada pengaruh antara variable independen dan dependen.

Menurut Dahlan (2014) syarat dilakukannya Uji Chi Square antara

lain sebagai berikut :

a. Semua hipotesis untuk kategorik tidak berpasangan menggunakan

Chi Square bila memenuhi syarat

b. Syarat Chi Square adalah sel yang mempunyai nilai Expected

kurang dari 5 minimal 20% dari jumlah sel.

c. Jika syarat Chi Square tidak terpenuhi, maka dipakai uji

alternatifnya.70

1) Tabel 2x2

Untuk tabel 2x2, alternative Chi square adalah uji Fisher

2) Tabel 2Xk

a) Bila ordinal dan tujuannya membandingkan proporsi,

alternatifnya Chi Square adalah menjadikannya beberapa

tabel

b) Bila ordinal dan tujuannya membandingkan trend,

alternative Chi Square adalah Mann-Whitney

70
c) Bila ordinal dan sel digabungkan secara substansi, lakukan

penggabungan sel

d) Jika nominal, alternative Chi Square adalah penggabungan

sel. Bila tidak dapat digabung secara substansi, buatlah

menjadi beberapa tabel 2x2

3) Tabel (>2)x(>2)

a) Jika salah satu variabel ordinal dan tujuannya

membandingkan proporsi, buatlah menjadi beberapa tabel

2x2

b) Jika salah satu variabel ordinal dan tujuannya melihat trend,

alternative Chi square adalah Kruskal-Wallis

c) Bila ordinal dan sel dapat digabung secara substansi,

lakukan penggabungan sel

d) Bila tidak dapat digabung secara substansi, buatlah menjadi

beberapa BxK

Jadi untuk analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji

Chi Square dengan nilai expected count yang dibawah 5 maksimal

20% jika syarat terpenuhi bisa menggunakan Chi Square dengan

uji hipotesis komparatif kategorik tidak berpasangan 3x2, namun

jika tidak terpenuhi memakai Kruskal wallis + Post Hoc.

71
DAFTAR PUSTAKA

Alaidrus Shariva.2021. Angka Penularan HIV di Ambon Empat Tahun Terakhir

190Kasus.AntaraNews.diakses pada 7 januari 2022

Alhaji M, Farhana A. 2022. Enzyme Linked Immunosorbent Assay. reassure Island

(FL):StatPearlsPublishing.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK5559

22. Diakses pada 27 Februari 2022

Angela M, Sianturi R S. dkk. 2019. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan

Perilaku Pencegahan HIV/ AIDS pada Siswa SMPN 251 Jakarta. Jurnal

Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Vol. 3, No. 2, A.

https://doi.org/10.22435/jpppk.v3i2.1943.Diakses Pada 21 februari 2022

Anggina, Y., Lestari, Y., & Zairil, Z. (2019). Analisis Faktor yang Mempengaruhi

Penanggulangan HIV/AIDS di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan

Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas,

8(2), 385-393

Asshela M, Prastiwi S, dkk. 2017. Pengetahuan yang baik mempengaruhi

seseorang untuk berperilaku baik sehingga dapat mempertimbangkan

keputusan yang akan dibuat sebelum melakukan tindakan, sehingga dapat

menghindari atau mencegah perilaku yang mengarah ke penularan

HIV/AIDS. Nursing News Volume 2, Nomor 1.

https://doi.org/10.33366/nn.v2i1.188. Diakses pada 21 februari 2022

Asis, N. P., Tilaqza, A., Airlangga, H., Asis, N. P., Tilaqza, A., & Airlangga, H.

(2018). Pengaruh Stadium HIV terhadap Infeksi Oportunistik ,

72
Penggunaan Antiretroviral dan Antibiotik pada Pasien HIV di Rumah

Sakit X Kota Malang. (0341), 8–18.

Batkormbawa S. 2021. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilkau

Pencegahan HIV/AIDS pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Lokalisasi

Kampung Jawa Kabupaten Kepulauan Aru. Program Studi Kesehatan

Masyarakat . Fakultas Kesehatan. Universitas Kristen Indonesia Maluku,

Ambo.

Batsira M. 2019. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stigma Perawat pada

Pasien HIV/AIDS di RSUD dr. M Haulussy Ambon. Program Studi

Keperawatan. Fakultas Kesehatan Universitas Kristen Indonesia Maluku.

Ambon

Deutsche Welle. 2020. Vaksin HIV/AIDS yang Efektif Melindungi Tidak Akan

Ada? DetikNews. Diakses pada 7 januari 2022

Dewi Nur. 2022. Studi Literatur Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

HIV/AIDS pada WANITA Usia Subur (WUS). Jurnal Inovasi Penelitian

Vol 3 No1. https://doi.org/10.47492/jip.v3i1.1659. Diakses pada 10

Februari 2022. Pukul 11: 23 WIT.

Dr.Widoyono. MPH.2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, penularan, Pencegahan

dan Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Fadillah T. 2018. Faktor yang mempengaruhi Kejaadian HIV/AIDS pada laki-

laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) di Kota Padang

Tahun 2018. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Universitas Andalas. Padang

73
Faisal Nur, dkk. 2021. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Tindakan

Pencegahan Penularan HIV oleh ODHA Pada Orang lain. Jurnal Ilmiah

Kesehatan Sandi Husada.Volume 10. Nomor 2. e-ISSN: 2654-4563 dan p-

ISSN: 2354-6093 DOI 10.35816/jiskh.v10i2.615

Firmansyah D C. 2020. Analisis Komparasi dan Determinan Sosial Demografi

Terhdap Penggunaan Kontrasepsi Wanita Usia Subur (WUS) di Profinsi

Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Jurnal statistika Vol 4 No 1.

https://doi.org/10.21009/JSA.04104. Diakses pada 18 Juli 2022. Pukul

09:00 WIT.

Hemakumara, Gpts; Rainis, Ruslan.2018.Spatial Behaviour Modelling of

Unauthorised Housing in Colombo, Sri Lanka".Kemanusiaan the Asian

Journal of Humanities.25: 91–107.doi:10.21315/kajh2018.25.2.5. Diakses

Pada 16 Februari 2022, Pukul 6:59 AM.

Kebijakan AIDS Indonesia. 2017. Sejarah HIV &

AIDS.https://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/49-general/1603-

sejarah-hiv-aids. Diakses pada 23 februari 2022, pukul 1:45 WIT.

Kemenkes.2021.Infodatin : Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infod

atin-2020-HIV.pdf, diakses pada 7 Januari 2022 pukul 13:44 WIT

Komisi Penanggulangan AIDS Ambon. 2021. Pusat Data dan Informasi. KPA.

Kusmiran Eni, S.Kep.,M.Kes. 2014. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita.

Penerbit Salemba Medika, Jakarta

74
Matital J B. 2020. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Resiko HIV/AIDS

pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Yayasan Pelangi Maluku. Program Studi

Keperawatan. Fakultas Kesehatan, Ynuversitas Kristen Indonesia Maluku.

Ambon

Muninjaya G.A. 1999.AIDS di Indonesia : Masalah dan

KebijakanPenanggulangannya.penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Nasronudin.2014.HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial

Edis 2. Airlangga University Press. Surabaya

Najmah Usman., 2016. Epidemilogi Penyakit Menular. Penerbit TIM

Nur Faisal, dkk.2021. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Pencegahan

Penularan HIV oleh ODHA Pada Orang lain. Jurnal Ilmiah Kesehatan

Sandi Husada Vol 10 No 2

Nurarif A. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa edis &

NANDA NIC-NOC Jilid 1.Penerbit Mediaction, Jogjakarta.

Puskesmas Waihaong Kota Ambon. 2022. Pusat Data dan Informasi.

Ramni Ludgardis dkk. 2018. The Role Of Doctors And Nurses In HIV/AIDS

Handling Efforts Of The Gays. SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan ISSN:

2548‐818X (media online) Vol. 4 No. 1

http://journal.unika.ac.id/index.php/shk. Diakses pada 24 Februari 2022

pukul 12:58 WIT

Rinco´n Fabio A. 2021.Health Knowledge, Health Behaviors and Attitudes during

pandemic emergencies A

75
systemicreview.PLOS.ONE.https://doi.org/10.1371/journal.pone.0256731.

diakses pada 15 Februari 2022.

Ruth D. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian HIV/AIDS pada

Wanita Usia Subur (WUS) yang Datang ke Klinik RSUP H Adam Malik

Medan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatra Medan.

Sri N. 2019. Pengaruh Sikap, Dukungan Teman Sesama Wanita Pekerja Seks

(WPS) dan Motivasi terhadap Perilaku Pencegahan HIV/AIDS WPS.

Jurnal Stikes. Vol 9 No 2.

https://journals.stikim.ac.id/index.php/jiki/article/view/253/266. Diakses

pada 9 September 2022, Pukul 05:15 WIT.

UNAIDS. 2022. https://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/indonesia,

diakses pada 7 Januari 2022.

WHO.2021.HIV/AIDS. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hiv-

aids, diakses pada 7 Januari 2022 pukul 13:21 WIT.

76
Informed Consent

FORMULIR PERSETUJUAN RESPONDEN DALAM PENELITIAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Menyatakan bersedia untuk membantu dengan menjadi responden dalam

penelitian yang dilakukan oleh :

Nama : Dila Sintya Unwakoly

NPM : 12114201180157

Judul : Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan

Penularan HIV/AIDS oleh ODHA Wanita Usia Reproduksi Di Wilayah

Kerja Puskesmas Waihaong Ambon

Demikian lembar persetujuan ini saya ini dengan sebenar-benarnya agar dapat

digunakan sebagaimana mestinya.

Ambon, September 2022

Responden

(……………………….)
Instrumen Penelitian
Kuesioner Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan
Perilaku Pencegahan
Penularan HIV/AIDS oleh
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA ODHA Wanita Usia
MALUKU Reproduksi
FAKULTAS KESEHATAN No Responden :
JLN OT.PATTIMAIOAUW Tanggal Pengisian : ../…/2022
AMBON

Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui factor-faktor yang

berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS oleh ODHA

wanita usia reproduksi di puskesmas Waihaong Ambon. Peneliti

mengharapkan kerjasama dari responden untuk menjawab setiap pertanyaan

yang diajukan didalam kuesioner. Atas perhatian dan kerjasamanya, peneliti

mengucapkan terima kasih.

Peneliti mohon maaf, bila terdapat pertanyaan dibawah ini yang


lebih sensitive khususnya terkait aktivitas seksual anda, mohon
dijawab dengan jujur, semua jawaban akan penelti rahasiakan!

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan melingkari jawaban yang sesuai!

1 Nama (Inisial)
2 Berapa Usia anda? …. Tahun
3 Pendidikan formal yang pernah 1. Tidak Sekolah
anda selesaikan? 2. Tamat SD/serajat
3. Tamat SMP/Sederajat
4. Tamat SMA/sederajat
5. Perguruan tinggi (Diploma,
S1, S2, S3)
4 Apa status perkawinan anda saat 1. Belum Menikah
ini? 2. Kawin Negara
3. Cerai Hidup
4. Cerai Mati
5. Hidup bersama tanpa ikatan
perkawinan
5 Berapa jumlah suami/pasangan ….. orang
hidup tetap anda saat ini?
6 Jenis pekerjaan yang anda 1. PNS
lakukan? 2. Militer (TNI & POLRI)
3. Swasta
4. Petani
5. Buruh/karyawan
6. Pedagang
7. Lainnya …
8. Tidak Bekerja
7 Sejak kapan anda telah …. Hari/Bulan/Tahun yang lalu
didiaknosa positif HIV?
8 Sudah berapa lama anda 1. …. Hari/Bulan/Tahun yang
menjalani terapi ARV? lalu
2. Belum pernah memperoleh
ARV

B. KUESIONER PENGETAHUAN ODHA WUR TENTANG HIV/AIDS

Berikan tanda centang/cek () pada pilihan jawaban “Benar” atau


“Salah” disamping sesuai tiap pertanyaan dibaah ini!
No Pertanyaan Benar Salah
1 AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang terjadi
karena menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat
HIV
2 HIV bukan kepanjangan dari Human
Immunodeficiency Virus
3 Orang yang telah terinfeksi HIV dengan cepat akan
memiliki gejala seperti penurunan berat badan
secara perlahan
4 Berhubungan seksual tidak dapat menularkan HIV
5 Penggunaan jarum suntik yang bergantian dapat
menularkan HIV
6 Semua ibu hamil yang telah terinfeksi HIV akan
memiliki bayi dengan AIDS
7 Vertical Transmission adalah penularan HIV dari
ibu kepada bayi
8 Wanita ODHA tidak dapat menularkan HIV saat
berhubungan seks
9 Mengeluarkan penis dari vagina sebelum terjadi
ejakulasi, membuat wanita dapat terhindar dari
infeksi HIV saat berhubungan dengan ODHA
10 Seorang wanita ODHA dapat menularkan HIV bila
berhubungan seks dengan pria
11 Seorang wanita ODHA tidak akan menularkan HIV
jika ia berhubungan seks saat sedang menstruasi
12 Orang yang menggunakan narkoba suntik tidak
beresiko terinfeksi HIV
13 Seseorang yang menerima transfusi darah dari
ODHA kemungkinan akan terinfeksi HIV
14 Cairan Vagina tidak dapat menularkan HIV
15 Percikan darah tidak dapat menularkan HIV jika
darah tersebut mengenai luka
16 Dengan memahami cara penularan HIV ODHA
akan berusaha untuk tidak menularkan kepada
orang lain
17 Salah satu pencegahan penularan HIV yaitu
dilarang melakukan hubungan seksual di luar
pernikahan
18 HIV menular melalui udara
19 Berhubungan badan dengan lebih dari satu
pasangan dapat meningkatkan resiko seseorang
tertular hiv
20 Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang
berganti-ganti dapat mencegah penularan HIV
21 Seorang pria tidak akan tertular HIV jika ia
menggunakan kondom saat berhubungan seks
dengan ODHA wanita
22 Kondom khusus wanita dibuat untuk menurunkan
wanita tertular HIV
23 Wanita yang terinfeksi HIV disarankan untuk tidak
hamil karena dapar menurun kepada bayinya
24 Seseorang yang terinfeksi HIV wajib minum obat
ARV seumur hidup
25 Minum obat ARV/obat seumur hidup dapat
mencegah penularan HIV
26 HIV hanya ditularkan melalui hubungan
homoseksual (hubungan sesama jenis)

C. KUESIONER SIKAP ODHA WUR TENTANG HIV/AID

Tanggapilah item pernyataan yang terdiri dari lima kategori. Pilihlah salah

satu pernyataan yang anda anggap tepat dengan memberi tanda cek/centang ()

sesuai petunjuk di bawah ini : SS (Setuju Sekali), S (Setuju), RR (Ragu-

ragu), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju).

Pernyataan Sikap SS S RR TS STS

1. Tidak ada lagi cara yang dapat saya lakukan


untuk mencegah penularan penyakit
HIV/AIDS karena HIV tidak ada obatnya
2. Melakukan perapi ARV akan mencegah
penularan HIV dari ibu kepada anak
3. Tindakan pembatasan aktivitas sosial pada
ODHA adalah penting untuk pencegahan
penularan HIV
4. Dana pemerintah yang lebih harus disediakan
untuk meberikan pelayanan dukungan untuk
ODHA
5. Sebagai ODHA saya harus menghindari
sentuhan dengan orang lain karena HIV
menular melalui sentuhan
6. Hubungan seks dengan menggunakan kondom
adalah cara yang aman untuk mencegah
penularan HIV
7. Pencegahan penularan HIV/AIDS adalah
tanggung jawab ODHA dan bukan tanggung
jawab masyarakat
8. Setiap ornag harus secara sadar melakukan tes
HIV
9. ODHA harus mengikuti keputusan pengobatan
yang diberikan dokter atau perawat dengan
taat
10. Penggunaan kondom oleh wanita ODHA saat
berhubungan seks dapat mencegah penularan
HIV pada pasangan yang tidak HIV
11. Setiap orang harus tahu cara mencegahan
penularan HIV yang benar
12. Anak-anak harus diajarkan tentang HIV/AIDS
guna melindungi mereka selama hidupnya
13. Seorang dokter/perawat dapat
menginformasikan kepada pasangan klien
ODHA tanpa persetujuan terlebih dahulu,
bahwa status klien ODHA beresiko
menularkan HIV
14. HIV dapat dicegah dengan melakukan
prosedur proteksi diri yang tepat
15. Orang muda yang tampak sehat tidak akan
menularkan HIV pada orang lain
16. Tidak berbahaya jika lupa minum obat ARV
1-2 hari, kemudian saya melanjutkannya lagi
di hari berikutnya
17. Kondom harus selalu digunakan jika orang
akan melakukan hubungan seks, walaupun 2
orang tersebut saling mengetahui dengan baik
(pasangan suami istri)
18. Obat ARV tidak dapat meningkatkan daya
tahan tubuh jika diminum secara teratur

D. Kuesioner Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS oleh ODHA WUR


Berikan tanda cek () pada pilihan jawaban “ya” atau Ya Tidak
“tidak” disamping sesuai dengan tiap pertanyaan dibawah
ini!
1. Apakah anda melakukan puasa (pantangan) terhadap seks
saat ini?
2. Apakah anda mempunyai lebih dari satu pasangan seks?
3. Apakah anda selalu menggunakan kondom saat melakukan
hubungan seks?
4. Apakah anda tidak lagi menggunakan kondom bekas yang
telah anda pakai sebelumnya?
5. Apakah anda melakukan hubungan seks melalui anus?
6. Apakah anda menghindari memasukan/menggunakan
tangan ke vagina atau anus saat melakukan hubungan
seksual?
7. Apakah pasangan anda/anda menelan cairan vagina atau
penis saat berhubungan seksual dengan pasangan?
8. Apakah anda melakukan seks non-penetrasi seperti masase
tubuh, berciuman sosial, saling masturbasi, fantasi dan
film seks?
9. Apakah anda melaporkan keberadaan anda kepada
pasangan seksual anda bahwa nada positif HIV sebelum
berhubungan seks?
10. Apakah anda melakukan hubungan seks dengan sesama
pasangan yang positif HIV juga menggunakan alat
pelindung seperti kondom?
11. Apakah anda tidak menggunakan jarum suntik secara
bersama, pisau cukur, sikat gigi, alat mainan seks bersama
dan alat lainnya yang terkontaminasi darah?
12. Apakah anda pernah mendonorkan darah, plasma, organ
tubuh atau ASI setelah teridentifikasi HIV?
13. Apakah anda mencegah kehamilan ketika teridentifikasi
HIV?
14. Apakah anda melakukan pemberian ASI pada bayi saat
terdeteksi HIV?
15. Apakah anda minum obat ARV secara teratur sesuai
jadwal minum obar?
16. Apakah anda tahu bahwa putus obat jika tidak diminum
obat ARV secara teratur sesuai jadwal minum obat?
17. Apakah anda segera e rumah sakit atau unit pelayanan
kesehatan terdekat jika terdapat perubahan status
kesehatan seperti : sesak nafas, kemerahan dan rasa gatal
di kulit dan lainnya?
18. Apakah anda menjaga kebersihan diri dengan baik yang
mencakup : menjaga kebersihan badan, alat tenun dan
pakaian, alat makan
19. Apakah anda segera ke rumah sakit atau unit kesehatan
terdekat jika terdapat perubahan status kesehatan seperti :
demam, perasaan sesak, kesulitan bernafas, mual muntah,
diare, pembesaran kelenjar getah bening?
20. Apakah anda pernah menasehati keluarga dan masyarakat
untuk ikut serta mencegah penularan HIV?

Anda mungkin juga menyukai