Anda di halaman 1dari 32

ARTIKEL

“ ”

Oleh :

SRI RAHMAWATI IBRAHIM

241421097

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2022
Judul

Nama: Sri Rahmawati Ibrahim

Jurusan Administrasi Publik

Universitas Negeri Gorontalo

Email: srirahmawatiibrahim@gmail.com

Abstrak

Menurut Gordon (dalam Kasim 1993: 22) administrasi publik adalah studi tentang
seluruh proses, organisasi dan individu yang bertindak sesuai dengan peran dan jabatan resmi
dalam pelaksanaan peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif,
eksekutif dan peradilan. Definisi ini secara implisit menganggap administrasi publik terlibat
dalam seluruh proses kebijakan publik. Tujuan administrasi publik baik menurut Henry
(1989) maupun Garcia dan Khator (1994) ialah untuk memajukan pemahaman tentang
pemerintah dan hubungannya dengan rakyat yang pada gilirannya akan memajukan kebijakan
publik yang lebih responsif terhadap tuntutan sosial dan untuk menetapkan praktek
manajemen yang efisien, efektif dan lebih manusiawi. Semua paradigma dalam setiap
dimensi strategis yang diuraikan secara singkat menggambarkan bahwa telah terjadi
“scientific revolution” dalam disiplin administrasi publik, sekaligus menunjukan bahwa para
ahli terus mencari jalan untuk mengoreksi kekurangan administrasi publik di masa lampau
dan berupaya mencari alternatif baru untuk meningkatkan kemampuan administrasi publik.
Dengan kata lain, administrasi publik terus berkembang menjadi suatu “normal science”.
Ruang lingkup administrasi publik meliputi dimensi-dimensi strategis yang saling
berhubungan yaitu dimensi kebijakan, organisasi, manajemen, etika, lingkungan, dan dimensi
kinerja. Keenam dimensi strategis administrasi publik yang telah diidentifikasi dan setiap
dimensi memberikan kontribusi pada administrasi publik.

Kata Kunci : Administrasi publik, enam dimensi strategis


Abstract
According to Gordon (in Kasim 1993: 22) public administration is the study of all
processes, organizations and individuals who act in accordance with official roles and
positions in the implementation of laws and regulations issued by the legislature, executive
and judiciary. This definition implicitly assumes that public administration is involved in all
public policy processes. The purpose of public administration according to both Henry (1989)
and Garcia and Khator (1994) is to advance understanding of government and its relationship
with the people which in turn will advance public policies that are more responsive to social
demands and to establish management practices that are efficient, effective and more human.
All the paradigms in each strategic dimension that are briefly described describe that there
has been a "scientific revolution" in the discipline of public administration, as well as
showing that experts continue to look for ways to correct past public administration
deficiencies and seek new alternatives to improve public administration capabilities. In other
words, public administration continues to develop into a "normal science". The scope of
public administration includes strategic dimensions that are interconnected, namely the
dimensions of policy, organization, management, ethics, environment, and performance
dimensions. The six strategic dimensions of public administration have been identified and
each dimension contributes to public administration.
Keywords: Public administration, six strategic dimensions
Pendahuluan

Menurut Chandler dan Plano (1988: 29), Administrasi Publik adalah dimana
sumberdaya dan personel publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan,
mengimplementasikan, dan mengelola keputusan keputusan dalam kebijakan publik. Kedua
pengarang ini juga menjelaskan bahwa administrasi publik merupakan seni dan ilmu yang
ditujukan untuk mengatur “public affairs” dan melaksanakan berbagai tugas yang telah
ditetapkan. Dan sebagai suatu disiplin ilmu, administrasi public bertujuan untuk memecahkan
masalah masalah publik melalui perbaikan perbaikan terutama di bidang organisasi,
sumberdaya manusia dan keuangan. McCurdy (1986) dalam survey literaturnya
mengemukakan bahwa administrasi publik dapat dilihat sebagai suatu proses politik, yaitu
sebagai salah satu metode memerintah suatu negara dan dapat juga dianggap sebagai cara
yang prinsipil untuk melakukan berbagai fungsi negara. Dengan kata lain bahwa administrasi
publik bukan hanya sekedar persoaalan administratif tetapi juga persoalan polotik. Makna
administrasi publik sangatlah bervariasi, bahkan ada yang mempresepsikan “administration
of public”, ada yang mengatakan administratioan for public” bahkan ada yang mengatakan
“administration by public”. Fesler (1980), misalnya, mengemukakan bahwa “the
administration of govermental affairs”. Administrasi Publik menyangkut penyusunan dan
pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh birokrasi dalam skala besar, dan untuk
kepentingan publik.

Aspek atau dimensi strategis yang dibicarakan dalam administrasi publik atau yang
paling menetukan dinamika administrasi publik adalah (1) manajemen faktor internal dan
external, (2) pengaturan struktur organisasi agar kewenangan dan struktur tanggung jawab,
termasuk prilakunya sesuai kondisi dan tuntutan lingkungan, (3) respons secara benar
terhadap kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam pembuatan keputusan atau
kebijakan publik, (4) pengaturan moral dan etika melalui kode etik agar semua penggunaan
kemampuan, kompetensi dan profesi tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar
kepentingan publik, (5) pengenalan karakteristik lingkungandimana administrasi publik itu
beroperasi, baik dalam konteks hubungan antara lembaga negra, lembaga swasta, masyarakat
dan lingkungan lain seperti lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan (6)
akuntabilitas kinerja yaitu suatu janji kepada publik yang harus dipenuhi atau ditepati dan
dapt dipertaggungjawabkan melalui berbagai kegiatan pelayanan atau pemberian barang
barang publik.

Kegiatan administrasi publik bertujuan memenuhi kepentingan publik atau secara


akademik dikenal dengan istilah “publik interest”. Meskipun kepentingan umum merupakan
sasaran utama dari kegiatan administrasi publik, tetapi kepentingan umum itu sendiri
menimbulkan masalah karena ketidakjelasan konsepnya (Denhart, 2003). Ada yang
mengartikan sebagai konsep kepentingan yang dirumuskan oleh para pembuat kebijakan yang
dipilih (elected policy makers) sebagai mana terdapat administrasi publik lama (klasik). Ada
yang beranggapan Sebagai suatu konsep yang tidak relevan lagi (pendapat kaum abolitionist)
dalam administrasi publik sebagai mana dalam New Publik Manajement karena telah
digantikan oleh koalisi dari kepentingan khusus yang menang. Namun sebagai mana yang
diungkapkan dalam New Public Service (lihat Denhart, 2003) yang mendefinisikan
kepentingan sebagai “shared values”, yaitu lebih menggambarkan apa yang dianggap
bernilai oleh masyarakat atau kominitas yang dinyatakan langsung oleh masyarakat itu
sendiri.
Pembahasan

1. Sejarah dan Perkembangan Hakikat Administrasi Publik

Administrasi publik di Indonesia dikenal dengan istilah Administrasi Negara yakni salah
satu aspek dari kegiatan pemerintahan (Kasim, 1993: 21). Menurut Gordon (dalam Kasim
1993: 22) administrasi publik adalah studi tentang seluruh proses, organisasi dan individu
yang bertindak sesuai dengan peran dan jabatan resmi dalam pelaksanaan peraturan
perundangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif, eksekutif dan peradilan. Definisi ini
secara implisit menganggap administrasi publik terlibat dalam seluruh proses kebijakan
publik. Pandangan ini berbeda dengan pendapat Ellwein dan Hesse serta Peter (dalam Knill,
2001: 65) bahwa administrasi publik lebih berfungsi sebagai aplikasi hukum daripada
pembuatan kebijakan dan kurang memiliki fleksibilitas dan diskresi secara komparatif ketika
menerapkan provisi legal. Dalam arti luas, administrasi publik menurut Henry (1989: 17)
merupakan suatu kombinasi teori praktek birokrasi publik. Sementara itu, Hughes (1994: 4-9)
menyatakan administrasi publik merupakan aktivitas melayani publik dan atau aktivitas
pelayan publik dalam melaksanakan kebijakan yang diperoleh dari pihak lain.
Pelaksanaannya didasarkan pada prosedur dengan cara menerjemahkan kebijakan ke dalam
tindakan. Administrasi publik terfokus pada proses, prosedur dan kesopanan. Tujuan
administrasi publik baik menurut Henry (1989) maupun Garcia dan Khator (1994) ialah
untuk memajukan pemahaman tentang pemerintah dan hubungannya dengan rakyat yang
pada gilirannya akan memajukan kebijakan publik yang lebih responsif terhadap tuntutan
sosial dan untuk menetapkan praktek manajemen yang efisien, efektif dan lebih manusiawi.
Land dan Rosenbloom (dalam Kasim, 1998) menyatakan administrasi publik harus
dilaksanakan dengan melihat kebutuhan masyarakat. Administrasi publik diharapkan dapat
bekerja secara efisien dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dianggap sebagai
konsumen, sebagaimana halnya perusahaan swasta. Pendekatan ini disebut pendekatan
populis yang menginginkan administrasi publik agar lebih dikendalikan oleh kebutuhan
masyarakat yang memerlukan pelayanan.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, bidang kajian utama administrasi publik pada
konteks negara maju menurut Garcia dan Khator (1994) meliputi aktivitas intervensi dan
determinasi publik; sifat kekuasaan dan kewenangan publik; penetapan agenda dan
perencanaan nasional; informasi dan hubungan publik; mesin pemerintahan dan desain
organisasi; hukum dan peraturan, serta diskresi administratif; pembuatan kebijakan publik;
penetapan titel publik; pelaksanaan dan pemerataan program publik; perencanaan fisik dan
desain tugas publik; keuangan publik; infrastruktur dan pekerjaan sektor publik; regulasi
publik; hak milik publik; formasi modal publik; pelayanan administratif umum; kemitraan
publik dan perusahaan; praktek manajemen publik; etika publik dan tindakan pegawai;
partisipasi publik dan kewarganegaraan; kontrol dan akuntabilitas publik; penelitian,
pendidikan dan perlatihan administrasi publik.

Pembahasan konsep administrasi publik menurut Bailey (dalam Henry, 1989) harus
diarahkan pada empat jenis teori, yakni:

1. Teori deskriptif: deskripsi struktur hirarkis dan hubungan timbal-balik dengan


lingkungan tugasnya.
2. Teori normatif: tujuan nilai di bidangnya – yakni apa yang oleh administrasi
publik (praktisi) harus dikerjakan, keputusan alternatif yang dibuat dan kebijakan
apa yang harus dipelajari dan direkomendasikan oleh pakar administrasi publik
kepada praktisi.
3. Teori asumtif: pemahaman yang rigorous mengenai kenyataan personal atau
administratif yang tidak menganggap birokrat publik sebagai malaikat atau setan.
4. Teori instrumental: peningkatan pemahaman teknik manajerial bagi efisiensi dan
efektivitas pencapaian tujuan publik.

Pada dasarnya, administrasi publik (Henry, 1989) sudah ada bersamaan dengan
keberadaan sistem politik di suatu negara. Administrasi publik berfungsi untuk mencapai
tujuan program yang ditentukan oleh pembuat kebijakan politik. Perkembangan ilmu
administrasi publik dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu lain, seperti ilmu politik, hukum,
sosiologi, manajemen, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu, konsep administrasi publik
sebagai suatu pemikiran yang dipelajari secara interdisiplin minimal mencakup aspek: (1)
organisasi dan manajemen, (2) politik, dan (3) hukum (lihat Kasim, 1993). Namun,
administrasi publik berbeda dengan ilmu politik berdasarkan penekanannya pada struktur dan
perilaku birokrasi serta metodologi yang digunakan. Administrasi publik juga berbeda
dengan manajemen dalam arti bahwa teknik evaluasi yang digunakan oleh organisasi publik
non-profit tidak sama dengan teknik evaluasi yang digunakan oleh organisasi privat yang
mengejar keuntungan.

Studi tentang aktivitas administrasi publik dimulai dengan studi yang memakai
pendekatan dari satu disiplin ilmu tertentu dan dengan memakai istilah lain, seperti istilah
birokrasi (pemerintahan). Robert Presthus mengajukan periodesasi administrasi publik yang
terdiri dari pendekatan: 1) institusional, 2) struktural, dan 3) keperilakuan. Sedangkan Nigro
memperkenalkan tiga periode, yakni: 1) periode awal, 2) periode sesudah Perang Dunia
Kedua, dan 3) administrasi negara baru. Pendekatan lain dikemukakan oleh John C. Buechner
yang periodesasinya terdiri dari pendekatan: 1) tradisional, 2) keperilakuan, 3) desisional, dan
4) ekologis. Pada bagian lain, Mufiz membahas pendekatan administrasi publik menurut
pakar lain seperti menurut Maurice Spiers, yakni pendekatan: 1) matematik, 2) SDM, dan 3)
sumber daya umum. Kemudian, Thomas J. Davy yang memperkenalkan pendekatan: 1)
manajerial, 2) psikologis, 3) politis, dan 4) sosiologis. Pendekatan yang lebih komprehensif
dikemukakan oleh L.C. Sharma, yakni pendekatan: 1) proses administrasi, 2) empiris, 3)
perilaku manusia, 4) sistem sosial, 5) matematik, dan 6) teori keputusan. Pendekatan
administrasi publik yang berkembang selama ini minimal mengikuti pendekatan Buechner
(Mufiz, 1995). Pada abad ke-18 di Eropa Barat, sudah ada studi terhadap birokrasi
pemerintahan ditinjau dari segi hukum dan politik, seperti yang dilakukan oleh de Gournay.
Kemudian, pada abad ke-19, mulai dikembangkan pendekatan sosiologis dalam studi
terhadap birokrasi pemerintahan, misalnya oleh H. Spencer dan de Play (Albrow, 1979: 17).
Sedangkan studi tentang administrasi publik di Amerika Serikat baru dimulai pada akhir abad
ke-19 yang dipelopori oleh Woodrow Wilson dalam tulisannya berjudul The Study of
Administration pada tahun 1887. Sejak saat itu, administrasi publik mulai diakui sebagai
spesialisasi baik sebagai sub-bidang dari ilmu politik maupun sebagai disiplin yang berdiri
sendiri.

E.N.Gladen mengatakan, di jaman mesir kuno birokrasi yang besar pasti telah ada,
skandal korupsi dan sifat birokrasi yang berbelit-belit pasti sudah berkembang waktu itu.
Literatur yang ditulis oleh L.D White pada 1948, 1951, 1954, dan 1958 menjelaskan tentang
sejarah aministrasi publik di Amerika Serikat. Salam terbitan pertama white menjelaskan
tentang penciptaan dan pendewasaan otiritas eksekutif dan dapertement di bawah
pemerintahan hamilton yang dikenal sebagai arsitek pemerintahan baru waktu itu tanpa
bantuan menggunakan pengalaman sektor swasta sebagai disarankan setelah tahun 1901.
Dalam terbitan kedua, White menjelaskan tentang era administrasi Jeffersonian ang
merupakan titik awal munculnya ide dan praktek aliran federalisme. Dalam terbitan ketiga
White menjelaskan tentang “Jacksonian” dimana ia menekankan pentingnya pemerintahan
negara bagian dan lokal, dan mulai merosotnya moralitas didalam pemberian pelayanan
publik, dan diversifikasi struktur administrasi untuk disesuaikan dengan meningkatnya
besaran pemerintahan. Dan dalam ternitan ke empat, White memusatkan perhatiannya pada
dua isu administratif yang paling besar saat itu adalah isu tentang bagaimana
mempertahankan kepresidenan dan isu tentang reformasi pelayanan publik. Secara jelas
disiplin ilmu ini mulai diajarkan sekitar tahun 1950an pada universitas-universitas di
Indonesia ketika modernisasi sebagai bagian dari doktrin pembangunan bagi negara-negara
berkembang disebarluaskan.

a. Administrasi Publik Sebelum Wilson. 

Salah satu pemikiran yang dikemukakan oleh Confucius, dia mengatakan bahwa
pelayanan publik harus memiliki moralitas yang baik. Pihak yang memerintah dan anak
buahnya yang melayani memiliki hubungan paternalistic yang baik, member contoh yang
baik pada pihak yang diperintah. Dan juga Plato mengemukakan dalam bukunya yang
berjudul “The Laws” tentang administrasi Yunani kuno. Dalam bukunya adinstrasi dibagi
dalam tiga cabang. Yaitu pengawas kota, pengawas agora dan pengawas tempat ibadah. Lalu
menggambarkan bagaimana menentukan jumlahnya, seleksi sebelum bekerja, tugas dan
kewajiban kemudian sanksi apabila ada pelanggaran. Dalam “politics” dan “On The
Anthenian Constitution” Aristhotheles juga menambahkan satu jenis pengawasan lagi yaitu
pengawas pedalaman.

Dalam buku “The Prince” karangan Niccolo Machiavelli juga disebutkan pentingnya
pelayanan publik. Para pelayan tersebut juga harus sering dipuji agar menambah motivasi.
Montesquieu dalam “The Spirit Of Laws” mengungkap perbedaan antara sistem hukum dan
administrasi lebih difokuskan kepada fungsi regulasi. Tidak hanya itu, beberapa tokoh lagi
juga menambahkan pendapatnya tentang administrasi. Seperti dalam buku “principles
administration publique” karangan Charles Jean Baptiste Bonnin yang menyebut administrasi
merupakan subjek yang penting, oleh karena itu dia mengusulkan tentang prinsip administrasi
publik. Intinya perbedaan antara politik dan administrasi yang memiliki seni. Lalu George
Wilhem F H menyatakan pelayanan sipil dapat bersifat buffer melawan tirani. Fungsi
eksekutif diseluruh tingkat harus disambungkan. Vivien juga mengemukakan tentang
dikotomi administrasi publik.

Inti dari semuanya membuktikan bahwa prinsip administrasi publik dan berbagai isunya
sudah gencar dipersoalkan jauh sebelum bapak administrasi publik Amerika Wodrow Wilson
muncul.

b. Pergeseran Paradigma.

  Paradigma merupakan suatu nilai, metode, prinsip dasar atau cara memecahkan suatu
masalah yang dianut masyarakat ilmiah pada waktu tertentu. Apabila cara pandang mendapat
tantangan dari luar dan mengalami krisis (anomali) , kepercayaan terhadap hal tersebut akan
luntur dan sulit dipercaya lagi. Kemudian orang akan mencari paradigmabaru.
 Berikut uraian pergeseran paradigm administrasi publik:

1. Paradigma 1 (1900-1926) paradigma dikotomi politik dan administrasi Negara.


Diungkapkan bahwa politik harus memusatkan perhatianya terhadap kebijakan atau
ekspresi rakyatnya sedang administrasi berkenaan dengan pelaksanaan dan
pengimplementasian dari hal tersebut. Dijelaskan juga bahwa administrasi harus
bebas nilai namun diarahkan untuk mencapai efektifitas dan ekonomi dari
“government Burreaucracy”
2. Paradigma 2 (1927-1937) paradigma prinsip administrasi. Disini siperkenalkan
prinsip administrasi sebagai fokus administrasi publik. Prinsip tersebut biasa dikenal
dengan istilah POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating,
Reporting, dan Budgeting). Ditambahkan pula bahwa fokus lebih ditekankan dari
lokusnya.
3. Paradigma 3 (1950-1970) administrasi Negara sebagai ilmu politik. Dijelaskan bahwa
administrasi publik sebagai ilmu politik dimana lokusnya adalah birokrasi
pemerintahan sedang fokusnya kabur karena administrasi Negara mengundang
kelemahan. Sayangnya saat ini administrasi publik mengalami krisis identitas karena
ilu politik dianggap disiplin ilmu yang dominan dalam dunia administrasi publik.
4. Paradigma 4 (1956-1970) administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Disini
prinsip menejemen dikembangkan secara ilmiah dan mendalam. Perkembangan ilmu
administrasi mrni didukung oleh psikologi sosial dan perkembangan kebijakan publik.
5. Paradigma 5 (1970 – Sekarang) administrasi publik dianggap sebagai aministrasi
publik. Fokusnya dalam hal ini adalah teori organisasi, menejemen, dan kebijakan
publik. Sedangkan lokusnya adalah masalah dan kepentingan publik.

Kemudian mucul pendapat Nicholas Henry dan Gerald E Caiden yang merinci beberapa
aliran administrasi publik. Yaitu aliran proses administratif, empiris, perilaku manusia,
analisis birokrasi, sistem sosial, pengambilan keputusan,matematik,dan integratif. Donald F
Kett juga mengungkapkan beberapa tahap paradigma administrasi publik. Tahap sentralisasi
administrasi  (1887-1915), tahap sciencetific management (1915-1940), tahap uji diri yang
kritis (1940-1969) dan tahap sentralisasi administrasi (1969-Sekarang). Tahap terakhir
berpusat pada penciptaan administrasi professional untuk memperkuat pemerintah agar lebih
efektif dan efisien serta agar administrasi publik dari skandal politik yang mengurangi
efektifitas.

Pada tahun 1983 muncul muncul akronim pengganti yaitu PAFHRIER (Policy analysis,
Financial, Human Resource, Information, dan External Relation). Lalu di tahun 1992 muncul
Post Bureaucratic paradigm yang menekan hasil serta kualitas produk untuk masyarakat yang
terkait dengan norma.

Disaat yang bersamaan muncul paradigma baru Reinventing Government oleh D. Osbome
dan T. Gaebler. Isinya tentang sifat pemerintah yang harusnya catalytic, community owned,
competitive, mission driven, result oriented, customer driven, enterprising, anticipatory,
decentralized, dan market oriented. Paradigma tadi juga dikenal dengan new publik
menegement yang berisi tujuh komponen:

1. Pemanfaatan menejemen professional dalam sector publik


2. Penggunaan indicator kerja
3. Penekanan yang lebih besar pada control output
4. Pergeseran perhatian pada unit yang lebih kecil
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi
6. Penekanan gaya sector swasta pada praktek menejemen
7. Penekanan disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan
sumberdaya.

 New Public Menegement mengalami banyak perubahan orientasi:

1. Orientasi petama dikenal dengan namathe efficiency drive. Mengutamakan efisiensi


dalam pengukuran kerja.
2. Orientasi kedua downsizing dan decentralization. Mengutamakan penyederhanaan
struktur, memperkaya fungsi otoritas pada fungsi yang lebih kecil.
3. Orientasi ketiga search of excellence. Mengutamakan kinerja optimal IPTEK.
4. Orientasi keempat public service orientation. Menekan pada kualitas, misi dan nilai
yang hendak dicapai organisasi publik, memerhatikan aspirasi, kebutuhan, partisipasi
masyarakat, penekanan evaluasi kerja berkesinambungan dan akuntabilitas. 

Tahun 2003 muncul lagi paradifma baru “ The New Public Service ” oleh J. V. Denhart
dan R. B. Denhart. Menurut mereka administrasi publik harus:

1. Melayani warga masyarakat bukan pelanggan


2. Mengutamakan kepentingan publik
3. Lebih menghargai warga Negara daripada kewirausahaan
4. Berfikir strategis dan bertindak demokratis
5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan hal yang mudah
6. Melayani daripada mengendalikan
7. Menghargai orang bukan produktivitas semata.

c. Pengaruh Disiplin Lain dan Teknologi.

a) Pengaruh manajemen klasik: Orthodoxy

Ide dasar manajemen klasik berkembang dari revolusi industri pada abad ke 19,
khususnya dari beberapa tokoh penting yang digolongkan dalamaliran klasik yaitu robert
Owen (1771-1858), Frederick W. Taylor (1856-1915), dan Henry Fayol (1841-1925).
masuknya pengaruh manajemen klasik kedalam administrasi publik dapat ditelusuri sejak
abad 19 ketika para cendekiawan Amerika Serikat mempersoalkan praktek kepegawaian yang
tidak adil seperti penggunaan sistim kekeluargaan atau sistimdalam penerimaan pegawai pada
instansi-instansi pemerintahan. Leonard D. White, setelah menerima ide pemisahan politik
dari administrasi, mengusulkan “management” sebagai materi khusus bagi administrasi
publik. Ia mengusulkan beberapa hal khusus seperti sistim pengadaan, ujian, klasifikasi,
promosi, disiplin, dan pensiunan pegawai untuk diatur dalam suatu management untuk
mencapai tujuan negara.

Pengaruh manajemen klasik paling dominan dalam dunia administrasi publik adalah
diterbitkannya “Papers on the Science of Administration” karya Dulick dan Urwick seperti
disebut diatas, dimana Gulick (lihat karya Gulick dalam Shafritz dan Ott, 1992 : 87 -95)
mengajukan bahwa yang seharusnya dilakukan oleh kepala eksekutif adalah POSDCORB,
suatu akronim yang meliputi Planing, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating,
Reporting, Budgeting.

b) Reaksi terhadap manajemen klasik (orthodoxy)

Ada kesan bahwa prinsip ini tidak bersifat politis dan obyektif terhadap pemecahan
masalah. Menurut Herbert A. Simon, POSDCORB tidak menggambarkan apa yang
sebenarnya dilakukan oleh administrator publik, terutama dalam konteks “desision making”.
POSDCORB menjadi kurang ilmiah karena tidak menggambarkan apa yang sebenarnya
terjadi dalam praktek administrasi publik. Dwight Waldo mengeritik bahwa POSDCORB
adalah doktrin administrasi yang tidak netral. Doktrin tersebut mengandung nilai-nilai yang
kompleks dari politik dan filsafat kuno dan peradaban dunia barat. Disisi lain Paul H.Appleby
mengungkapkan bahwa sesungguhnya sangat tergantung dari situasi bukan dari doktrin atau
prinsip-prinsip administrasi yang benar. Disatu pihak, Appleby kelihatannya tidak
merekomendasikan POSDCORB karena situasi yang begitu kompleks, tapi di lain pihak,
tidak memberikan perskripsi atau cara terbaik yang dapat dipelajari dan dipakai sebagai
pegangan.

c) Pengaruh-pengaruh Lain: Heterodoxy

Usaha Simon, Waldo, dan Appleby untuk merobah POSDCORB ternyata gagal. Namun
demikian, POSDCORB tetap digunakan dalam teori dan praktek administrasi publik, dan
kenyataan telah menunjukan adanya pengaruh dari berbagai disiplin ilmu dan teknologi
seperti diuraikan oleh stillman II (1990) berikut ini:

1. Pengaruh Adminisrative Science


2. Pengaruh Ilmu Politik
3. Pengaruh Sosiologi
4. Pengaruh Ilmu Ekonomi
5. Pengaruh Psikologi Sosial
6. Pengaruh Sisiplin Sejarah
7. Pengaruh Ilmu Perbandingan Administrasi, dan Globalisasi
8. Pengaruh Teknologi, Teknik dan Spesialisasi Baru

d. Arah Perkembangan Administrasi Publik

Stillman II (1990) mengungkapkan bahwa arah teori administrasi publik sangat


tergantung dari apa presepsi tentang “Who Should rule? What isthe meaning of the good
life ? What are the methods for realizing the good life? What are appropriate criteria for
action? What are the best organization formats ? what is the vision of the ideal state ?”
Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut banyak menimbulkan perdebatan yang mengarah
pada empat model administrasi publik. Masing-masing model tersebut memiliki karakteristik
yang sangat spesifik, sesuai dengan perkembangan suatu negara. Berikut ini akan dijelaskan
masing-masing model tersebut.

1) No-State Model
Ide semacam ini memberikan kesempatan kepada para individu intuk
melakukan kompetisi alamiah dan bebas dari pengandalian negara. Negara hanya
menjaga kesetabilan kebijakan moneter, mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang
rendah, dan menjaga padar terbuka. Dengan kata lain, negara berusaha membiarkan
pasar bekerja tanpa campur tangan apa-apa.
2) Bold State Model
Model ini lebih melihat negara sebagai suatu yang positif dalam
mempromosikan dan menjaga kehidupan publik. Model ini menuntut adanya
perluasan peranan lembaga pemerintahan yang dapat mampu menanggapi perubahan-
perubahan yang datang dari masyarakat dan individu. Dalam model seperti ini, para
administrator diangkat berdasarkan atas karier dan spesialisasinya.
3) Pre-State Model
Dalam model ini, kepercayaan tehadap kekuatan pasar sangat tergantung dari
situasi; peranan pemerintah pusat juga sangat tergantung dari kebutuhan atau
permasalahan yang dihadapi; kebijakan yang disarankan biasanya dipengaruhi oleh
semua pihak baik dari pemerintah itu sendiri maupun dari masyarakat.
4) Pro-state Model
Model ini melihat bahwa batas-batas antar negara dan antar swasta dan
pemerintah semakin suram. Model tersebut percaya akan aplikasi teknologi dan
penemuan ilmiah untuk dimanfaatkan dalam dunia administrasi publik. Karena itu,
semua intuisi, kebijaksanaan (wisdom), dan berbagai bentuk pertimbangan tidak
rasional, kurang dimanfaatkan oleh model tersebut. Semua pengetahuan yang
bersumber dari sejarah, politik, sastra, puisi, dan filsafat, diabaikan. Dengan kata lain,
“expertise”, ”tecniques”, dan “tecnologies” merupakan pusat perhatian model
tersebut.
2. Dimensi Kebijakan

a. Istilah Kebijakan

Istilah ”Kebijakan ” sering dipakai sebagai serangkaian alternatif yang siap dipilih
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, sedangkan istilah ”Kebijaksanaan” sering dipakai
sebagai suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, atau
sebalikny, berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan
gawat dsb.Graycar mengatakan bahwa kebijakan/policy dapat dipandang dari perspektif
filosofis, produk,proses, dan kerangka kerja (Donovan dan Jakson, 1991: 14).Sebagai suatu
konsep”filosofis” kebijakan dipandang sebagai serangkaian prinsip, atau kondisi yang
diinginkan.Sebagai suatu ”produk” kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau
rekomendasi.Sebagai suatu ”proses” kebijakan menunjuk pada cara dimana melalaui cara
suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan
mekanisme dalam mencapai produknya.Sebagai ”serangkaian kerja”,kebijakan merupakan
suatu proses tawar menawar dan negoisasi untuk merumuskan isu-isu dan metode
implementasinya.Hogwood dan Gunn (Turner & Hulme, 1997: 59) mengatakan ”policy”
dapat diartikan sebagai ”label bagi suatu bidang kegiatan” seperti kebijakan ekonomi,
kebijakan industri, dll.

Menurut buku Kamus Admininistrasi Publik (chandler Plano,1988:107) Kebijakan publik


adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sember daya yang ada untuk
memecahkan maslah-maslah publik atau pemerintah. Sedangkan Shafritzh dan Russel (1997)
bahwa kebijakan adminitrasi publik yaitu “whatever a gonverment decides to do or not to do”
dan Petterson (2003) berpendapat bahwa kebijakan publik secara umum dilihat sebagai aksi
pemerintah dalam menghadapi masalah, dengan mengarahkan perhatian terhadap “siapa
mendapat apa, kapan dan bagaimana”

 Pada umumnya bentuk kebijakan publik dapat dibedakan atas:

1. Bentuk “regulatory” yaitu mengatur perilaku orang lain


2. Bentuk “redistributive” yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada, atau
mengambil kekayaan dari yang kaya allu memberikan kepada yang miskin
3. Bentuk “distributive” yaitu melakukan distribusi atau memberikan akses yang sama
terhadap sumber daya tertentu
4. Bentuk “constituent” yaitu ditujukan untuk melindungi negara

b. Pergeseran Paradigma

 Tahun 1935
Vifredo Pareto mengemukakan bahwa kebijakan hanya dapat diadopsi apabila
menguntungkan paling kurang satu orang, tetapi tidak merugikan seorang pun.
 Tahun 1951
Daniel Lerner dan Harold D.Laswell menyarankan pengunaan analisis yang
sistematik dalam kebijakan dalam rangka menghindari perilaku irrasional.
 Tahun 1959
Charles Lindbloom dalam tulisannya yang berjudul “the science of muddling
through” mengungkapakan bahwa kebijakan  sebaiknya dibuat melalui proses yang
incremental dan bukan melalui proses “rational comprehenshive”
 Tahun 1962
Morton kroll menyarankan agar kebijakan sebaiknya dipelajari sebagai suatu
kesatuan dari tiga elemen yaitu pola tentang nilai-nilai,sistem etika, dan pengaturan
institusional.
 Tahun 1966
Thomas R.Dye melaporkan bahwa variabel ekonomi seperti tingkat urbanisasi,
industrialisasi,kekayaan,pendidikan,lebih secara signifikan mempengaruhi output
kebijakan dari negara bagian (AS) daripada variabel politik seperti voters
 Tahun 1970
LL.Wade fan R.L Curry Jr menggunakan analisis ekonomi untuk
mengembangkan suatu teori  normatif pilihan publik,dimana mereka
mengintegrasikan prefensi masyarakat,kemudian produksi,dan hambatan anggaran
dalam suatu model pembuatan kebijakan.
 Tahun 1975
James E.A memfokuskan perhatian kepada kriteria pengambilan keputusan
yang digunakan para aktor, yaitu nilai, afisiasi parpol,kepentingan konstituen,opini
publik.dsb.

c. Prinsip-Prinsip Kebijakan Publik

Prinsip-prinsip kebijakan publik yang dibahas disini meliputi tahap-tahap kebijakan,


analisis kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring dan evaluasi.

1. Tahap tahap Kebijakan.

Dalam rangka memecahkan maasalah ada beberapa tahap penting antara lain (lihat Dunn,
1994), penetapan agenda kebijakan (agenda seting), formulasi kebijakan (policy formulation),
adopsi kebijakan (policy adoption), implementasi kebijakan (policy implemetation), dan
penilaian kebijakan (policy assessment). Ada juga model “policy making process” yang
diungkapkan oleh Shafritz dan Russell (1997: 54) yang terdiri atas (1) agenda setting dimana
isu-isu kebijakan diidentifikasi, (2) keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
kebijakan, (3) implementasi, (4)evaluasi program dan analisis dampak: dan (5) feedback,
yaitu memutuskan untuk merevisi atau menghentikan. Proses ini meyerupai suatu siklus.

2. Analisis Kebijakan

Sejalan dengan tahap tahap yang telah ditentukan di atas, maka berikut ini akan dijelaskan
proses analisis kebijakan yang dibedakan atas penstrukturan maslah atau diidentifikasi
masalah, identifikasi alternatif, seleksi alernatif, dan pengusulan alternatif terbaik untuk
diimplementasikan. Ada juga dua buah proses analisis yang dilakukan setelah alternatif
terbaik diimplementasikan :

a) Identifikasi masalah
Output yang diharapkan dari tahap ini adalah tergambarnya isu atau masalah
penting yang dihadapi, dukungan data dan informasi yang jelas, termasuk siapa yang
sedang mengalami masalah dan dampak apa yang bakal timbul bila tidak di intervensi
segera.
b) Identifikasi Alternatif
Tahapan ini menuntut sensivitas yang tinggi dari para ilmuan dan politisi.
Aspek teoritis dan praktis dalam tahap ini juga harus menjadi acuan dalam
mengidentifikasikan alternatif-alternatif kebijakan. Output ysng diharapkan dari tahap
ini adalah teridentifikasikannya alternatif-alternatif kebijakan, yang siap untuk
dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, untuk kemudian dipilih atau diseleksi.
c) Seleksi Alternatif
Dalam tahap ini seseorang perencana ata policy analyst akan melakukan
seleksi alternatif yang terbaikuntuk diajukan ke policy makers. Untuk menseleksi atau
memilih diantara alternatif kebijakan yang ada secara efektif, diperlukan kriteria atau
standard yang rasional. Pembahasan mengenai kriteria tersebut sudah secara luas
dibahas dalam berbagai literatur kebijakan publik (Quade, 1982; Dunn, 1994).
d) Menyepakati kriteria alternatif
Salah seorang ahli bernama Bardach (lihat Patton & Sawicky, 1993)
mengemukakan beberapa kriteria penting yang dikemukakan disini, yaitu menyangkut
“tecnnical feasbility, poliytical viability, economic and financial possibility, dn
administrative operability”. Technical Feasbility, kriteria tersebut mengukur apakah
alternatif yang dipilih akan jalan dalam konteks teknis ? lalu, Ecinomic and financial
possibility, kriteria ini menyangkut evaluasi ekonomis dai policy atau program yang
ada, dan meliputi aspek change in net worth, economic effivienvy, profitability, dan
cost effectiveness. Kemudian, Political Viablility, kriteria politij menyangkut sub
kriteria yang perlu dipertimbankan, yaitu acceptability, appropriateness,
responsiveness, ;egal, dan equity. Kriteria selanjutnya dalah Administrtive
Operability, yaiu yang perlu dipertimbangkan dalam administrative operability adalah
authority, institusional commitment, capability, dan organizational support.
Semua kriteria ini tidak begitu berbeda dengan yang dikemukakan oleh Dunn
(1994) dengan istilah “multirational” yang menyangkut technical, economic, legal,
sosial, dan substantive rationality. Dengan memperhatikan kriteria kriteri diatas maka
secara umum terdapat dua prinsip utama yaitu prinsip yang berorientasi pada
rasionalitas dan demokrasi. Akantetapi, pemilihan kriteria biasanya tergantung
hakekat tujuan. Analisis peran merupakan sesuatu metode khusus dalam analisis
kebijakan publik yang ditujukan untuk melihat kemungkinan – apakah alternatif-
alternatif yang dikembangkan akan mendapat dukungan dari pihak-pihak atau
lembaga-lembaga yang berperan dalam masyarakat.
e) Penentuan alternatif terbaik
Aspek paling pening dari tahap ini adalah bahwa dalam memilih alternatif
terbaik perlu selalu berfikir rasional, berprilaku demokratis dan transparan terhadap
semua alternatif yang ada. Output dari proses ini adalah tersusunnya suatu rangkaian
alternatif terpilih lengkap dengan alasan mengapa alternatif tersebut merupakan
alternatif terbaik.
f) Usulan terbaik
Suatu usulan tidak hanya sekedar memiliki hubungan sebab akibat tetapi yang
lebih penting lagi adalah hubungan tersebut harus benar-benar signifikan, artinya
alternatif tersebut tidak hanya “perlu” tetapi “perlu dan cukup” untuk memecahkan
masalah yang dihadapi.

3. Implementasi Kebijakan

Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program
(Gordon, 1986). Dalam hal ini, administrator mengaur cara untuk mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah di seleksi. Menurut Goggin dkk
(1990) implementasi dapat dibedakan dalam tiga generasi, yaitu generasi pertama, kedua, dan
ketiga. Implementasi generasi pertama melihat implementasi sebagai suatu bentuk
pelaksanaan yang bersifat top down. Generasi kedua, merupakan reaksi terhadap kelemahan
generasi pertama, yang bersifat bottom up. Dan implementasi genersi ketiga, pusat perhatian
diarahkan pada design kebijakan dan jaringan kebijakan serta implikasinya pada pelaksanaan
dan keberhasilan. D.L Weimer dan Aidan R.Vining (1999: 398) menjelaskan bahwa ada tiga
faktor umum yang menentukan keberhasilan yaitu (1) logika yang digunakan oleh suatu
kebijakanl; (2) hakekat kerjasama yang dibutuhkan; (3) ketersediaan sumberdaya yang
memiliki kemampuan.

4. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan

Di dalam proses monitoring ini dilakukan pengaatan langsung kelapangan dan hasil-hasil
sementara untuk dinilai tingkat efisiensi dan efektiviasnya. Evaluasi digunakan untuk
mempelahari hasil yang diperoleh dalam suatu program untuk dikaitkan dengan
pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respons dari mereka yang berada diluar
lingkungan politik.
3. Dimensi Manajemen

Dimensi manajemen berkenaan dengan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip


manajemen untuk mengimplementasikan kebijakan publik. Dimensi ini memusatkan
perhatian pada bagaimana melaksanakan apa yang telah diputuskan melalui prinsip-prinsip
tertentu yaitu prinsip manajemen. Dimensi ini menekankan implementasi berupa penerapan
metode, teknik, model dan cara mencapai tujuan secara efisien dan efektif.

1. Manajemen dan Batasannya

Manajemen diartikan dengan sangat variatif oleh para ahli, yang didasarkan pada latar
belakang pendidikan, pengalaman, atau perspektif yang dianut. Menurut Shafritz dan Russell
(1997: 20) manajemen didefinisikan tidak hanya menunjukan proses pencapaian tujuan tetapi
juga sekelompok orang yang bertanggungjawab menjalankan proses tersebut. Donovan dan
Jackson (1991: 11 – 12) melihat manajemen sebagai suatu aktivitas yang dilaksanakan pada
tingkatan organisasi tertentu, sebagai serangkaian keterampilan, dan serangkaian tugas.

Sementara itu, muncul tipe manajemen khusus yang disebut sebagai manajemen publik,
yaitu manajemen instansi pemerintah. Overman mengemukakan bahwa manajemen publik
bukanlah “scientific manajemen”. Akantetapi manajemen publik merefleksikan tekanan
tekanan antara orientasi “rational-instumental” pada satu pihak, dan orientasi politik
kebijakan dipihak lain. Ott, Hyde, dan Shafritz (1991, hal. xi) mengemukakan bahwa
manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang administrasi publik yang
saling tumpang tindih.

J.Steven Ott, Alber C. Hyde dan Jay M. Shafritz berpendapat bahwa pada tahun 1990an,
manajemen publik mengalami transisi dengan beberapa isu menantang. isu-isu ini telah
menantang sokolah atau perguruan tinggi yang mengajarkan manajemen publik atau
administrasi untuk menghasilkan calon manajer publik yang profesional yang kualitas tinggi,
dan penataan sistemmanajemen yang lebih baik.

2. Pergeseran Paradigma

Perkembangan manajemen publik paling tidak dipengaruhi oleh tiga pandangan yaitu
manajemen normatif, manajemen deskriptif, dan manajemen publik.

a) Manajemen Normatif

Pendekatan manajemen normatif melihat manajemen debagai suatu proses penyelesaian


tugas atau pencapaian tujuan. Aliran ini mudah dikenal melalui rumusan fungsi-fungsi
manajemen bisnis sebagaimana pernah ditiru oleh POSDCORB. Beberapa fungsi yang
bersifat universal, dirinci sebagai berikut :

1. Planing.
2. organizing
3. stafing
4. coordinating
5. motivating
6. controling
Sementara itu, R.Miles (1975) menciba meletakan fungsi-fungsi manajemen normatif
tersebut dalam tiga teori manajemen, pertama yang disebut sesuai dengan, kedua yaitu human
relation, dan ketiga adalah human resources.

b) Manajemen Deskriptif

Pendekatan manajemen deskriptif dapat diamati dari karya H. Mintzberg(1973).


Mintzberg memberikan fungsi-fungsi yang biasa dilakukan oleh seorang manajer ditempat
kerjanya. Menurut mintzberg, fungsi manajemen yang benar-benar dijalankan terdiri atas
kegiatan-kegiatan personal, interaktif, administratif dan teknis

c) Manajemen Publik

Woodrow Wilson – penulis “The Study of Administration” di tahun 1887 (lihat Wilson
dalam Shafritz dan Hyde, 1997) merupakan pionernya. Di dalam tulisannya, Wilson
mendesak agar ilmu administrasi publik segera mengarahkan perhatiannya pada orientasi
yang di anut oleh dunia bisnis (more businesslike), perbaikan kualitas personel dalam tubuh
pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode pemerintahan.

Warna manajemen publik dapat terlihat pada masing-masing paradigma. Misalnya dalam
paradigma pertama, pemerintah diajak mengembangkan sistem rekruitmen pegawai, ujian
pegawai negeri, klasifikasi jabatan, promosi, disiplin dan pensiun secara lebih baik.
Paradigma kedua, dikembangkan prinsip manajemen yang diklaim sebagai prinsip-prinsip
universal yang paling dikenal sebagai POSDCORB, yang merupakan karya Luther Gullick
dan Lyndall Urwick ditahun 1937. Prinsip-prinsip ini kemudian diserang oleh Herbert Simon
dalam karyanya “Administrative Behavior” yang melihat administrasi publik sekaligus
manajemen publik sebagai kegiatan politik, atau lebih merupakan bagian dari ilmu politik.
ini adalah inti dari Paradigma Keempat, pada paradigma ini pengetahuan, teknik dan metode
serta kemampuan manajerial terusdikembangkan dan dipelajari diperguruan tinggi ssebagai
suatu disiplin ilmu.

Pada dasawarsa 1990an berkembang model Manajemen Publik Baru (New Public
Manajemen) yang telah membawa inspirasi baru bagi perkembangan manajemen publik
diberbagai negara. Ada juga pendekatan lain yang disampaikan oleh Henry Mintzberg
(1996). Menurut Mintzberg, selama ini telah berkembang beberapa model antara lain model
mesin, network, kontrol kerja, virtual, dan kontrol normatif. Dalam kaitannya dengan semua
model ini Mintzberg (19960 menilai bahwa kita terlalu mengutamakan model mesin selama
ini dan hasilnya sangat mengecewakan, dan karena itu sudah saatnya beralih kepada model
kontrol normatif. Pendekatan yang mulai diterapkan sejak dekade lalu adalah Total Quality
Management (TQM). Ide dasarnya terletak pada TQM triangle yang menekankan
keberhasilan manajemen berdasarkan komitmen anggota dan pimpinan organisasi, pelibatan
para anggota organisasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Disamping itu, ada juga
pendekatan manajemen publik yang sangat populer di negara-negara berkembang yaitu
“manajemen pembangunan. Pendekatan tersebut didasarkan atas pendapat Bryant & White
(1982) dan Esman (1991) yang melihat bahwa tugas pokok pemerintah yang nyata adalah
membangun negara melalui berbagai program dan proyek.

3. Fungsi-Fungsi Manajemen
Berikut ini akan dijelaskan fungsi fingsi manajemen yang merupakan tanggungjawab para
manajer publik.

a) Fungsi Manajemen Kebijakan

Dalam proses kebijakan, seorang manajer secara aktif terlibat dalam penentuan program-
programroyek-proyek yang diusulkan untuk ditangani dalam tahun anggaran tertentu.
Manajer publik harus mendorong agar kebijakan yang diusulkan dapat mengakomodasikan
nilai-nilai rasionalitas (aspek teknis) dan aspirasi berbagai kelompok kepentingan (aspek
politis), sehingga suatu usulan diterima masyarakat.

b) Fungsi Manajemen SDM

Dalam pengelolaan SDM perlu diperhatikan jumlah, jenis, kualitas, distribusi dan utilisasi
SDM yang bekerja dalam organisasi. Jumlah, jenis, dan kualitas sangat tergantung kepada
beban kerja dari setiap unit kerja yan ada, sementara itu utilisasi sangat tergantung kepada
komitmen yang dimiliki. Dalam menangani SDM ini biasanya seorang manajer membentuk
suatu unit yang sering dikenal dengan bagian personalia, atau unit Manajemen SDM.
Disamping itu, dalam pengelolaan SDM perlu diperhatikan motivasi yang tepat agar pegawai
dapat melakukan pekerjaan dengan penuh semangat dan tanggung jawab.

c) Fungsi Manajemen Keuangan

Tugas utama seorang manajer dalam bidang ini adalah bagaimana mencari dana,
merencanakan dan mengalokasikannya sesuai dengan kebutuhan yang ada, memanfaatkannya
secara optimal, dan mengendalikan penggunaannya sesuai rencana.

d) Fungsi Manajemen Informasi

Semua keputusan seorang manajer baik berkenaan denggan perencanaan, budgeting,


pengambilan keputusan, pengembangan unit-unit organisasi, pengendalian koordinasi, sangat
membutuhkan data dan informasi. Bahkan Jumlah dan kualitas informasi pada saat sekarang
ini merupakan kekuatan untuk bekerjasama dengan pihak-pihak luar termasuk penguasaan
pasar.

e) Fungsi Manajemen Hubungan Luar

Tujuan mengelola hubungan luar tersebut adalah terbentuknya suatu network yang sehat
dimana semua yang terlibat dapat merasakan kepuasan bersama. Dalam manajemen
hubungan luar ini, seseorang manajer diharapkan merencanakan kegiatan kunjungannya
kedaerah-daerah jurusdiksinya dan ke organisasi swasta termasuk LSM untuk membaca
berbagai kebutuhan lokal, dan mencoba mengolah dan mengartikulasikannya kedalam
usulan-usulan program, proyek, atau kegiatan-kegiatan.
4. Dimensi Organisasi

Dimensi organisasi berkenaan dengan siapa atau kelompok mana yang harus
mengimplementasikan atau mengerjakan apa yang telah diputuskan. Aspek pertama adalah
pembagian tugas, fungsi, dan tanggungjawab dalam bekerja baik secara vertical maupun
horizontal. Aspek kedua adalah apakah pihak yang mengerjakan pekerjaan tersebut mampu
atau memiliki kompetensi yang memadai. Aspek ketiga adalah apakah ada keseimbangan
antara otoritas dengan kemampuan dalam mengerjakan tugas itu.

1. Ruang Lingkup dan Batasannya

Pentingnya struktur organisasi maka teori organisasi seringkali dilihat sebagai suatu
disiplin yang mempelajari struktur dan desain organisasi, baik dalam aspek deskripsi maupun
preskripsi. Tujuan dari teori tersebut adalah mengetahui bagaimana sebenarnya struktur itu
dibuat, bagaimana dampaknya terhadap kinerja organisasi dan individu, serta memberikan
saran bagaimana organisasi-organisasi tersebut memperbaiki strukturnya. 

2. Perubahan Paradigma

Di dalam teori organisasi, terdapat beberapa pola atau “blueprint” yang berkembang, yaitu :

1. Paradigma klasik (first blueprint), suatu organisasi yang berorientasi kepada efisiensi
tinggi. Prinsip spesialisasi, sentralisasi, dan formalitas sangat ditekankan disini. Aliran
ini dikritik karena memperlakukan anggota organisasi bukan sebagai manusia tetappi
sebagai mesin.
2. Paradigma human (second blueprint), manusia telah dianggap sebagai makhluk sosial
yang dapat membentuk sendiri kelompok-kelompok informal sesuai dengan
keinginannya, dan ingin bekerja pada kondisi kerja yang menyenangkan.
3. Paradigma sistem (third blueprint), dalam blueprint ini dipersoalkan dua sistim
organisasi, yaitu “mechanistic system” yang melihat struktur organisasi yang formal
dan cenderung hirarkis. Sedangkan “organic system” yaitu bersifat organik lebih
menitikberatkan perhatian pada orang bukan tugas.
4. Paradigma kolaborasi (fourth blueprint), yang menjadi pusat perhatian utama dari
paradigma ini adalah pembenahan hubungan di dalam organisasi dan pengembangan
network dengan organisasi lain.
5. Perubahan paradigma dalam organisasi dapat dilihat dari paradigma birokrasi dan
oleh post birokrasi.

3. Desain Struktur Organisasi

Desain organisasi adalah suatu proses yang berkenaan dengan bagaimana aktivitas-
aktivitas organisasi distrukturkan atau dituangkan dalam suatu bentuk struktur, dengan tujuan
membantu manajer untuk dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Yang
dikembangkan dalam desain organisasi adalah :

1. Hirarki dari tujuan organisasi


2. Konsep pembagian kerja
3. Sistim koordinasi dan kontrol

Bentuk birokratik atau mekanistik memiliki karakteristik sbb :

1. Ada pembagian departementasi fungsional


2. Fungsi lini dan staff
3. Hirarki otoritas
4. Rentang kendali
5. Bentuk datar atau piramidal/tinggi
6. Berlaku aturan yang birokratis

Kelemahannya adalah lamban dalam merespons pengaruh yang datang dari luar atau
lingkungan, serta karena adanya departementasi, dan hirarki serta bentuk yang piramidal,
maka bentuk ini jelas menghambat efisiensi. Kelebihannya adalah dilakukannya spesialisasi,
tugas pokok yang jelas, garis komando yang jelas dan tegas, dan mudah dipahami atau
dimengerti. Bentuk linking-pin, dibuat untuk memungkinkan anggota organisasi
berpartisipasi pada semua tingkatan. Untuk mensukseskan tujuan organisasi maka seorang
manajer harus menggunakan tiga prinsip utama yaitu prinsip hubungan yang bersifat
supportif, penggunaan kelompok pengambilan keputusan, dan penciptaan tujuan dengan
kinerja yang tinggi.

Desain struktur yang berbentuk proyek sangat bersifat fleksibel dan tidak permanen.


Desain ini mampu mengurangi kompleksitas lingkungan sampai pada level yang dapat
dikelola, juga memungkinkan para spesialis fungsional berinteraksi dan berpartisipasi. Desain
struktur yang bersifat matriks, setiap individu akan diberi otoritas dan tanggung jawab
proyek, tetapi tetap dalam divisinya. Lalu ada bentuk lain yang merupakan bagian dari bentuk
matriks yang disebut sebagai committee organization. Bentuk ini biasanya diciptakan untuk
kepentingan khusus misalnya memecahkan masalah tertentu dalam masyarakat. Menurut 
Henry Mintzberg dalam suatu organisasi terdapat lima bagian dasar atau elemen penting,
yaitu :

1. The operating core


2. The strategic apex
3. The middle line
4. The technostructure
5. The support staff

 Struktur sederhana

Bentuk ini digunakan bila suatu organisasi memiliki tingkat kompleksitas dan formalisasi
yang rendah, dan otoritasnya terpusat pada seorang eksekutif senior, atau dalam perusahaan
swasta terpusat pada pemilik. 

 Struktur Birokrasi Mesin

Bentuk ini digunakan apabila spesialisasi/differensiasi, formalisasi dan sentralisasinya


tinggi, tetapi lingkungan bersifat sederhana dan stabil.

 Struktur Birokrasi Profesional


Bentuk ini mengkombinasikan standardisasi dan desentralisasi, karena tugas yang
dijalankan menuntut standardisasi yang tinggi sekaligus keleluasaan untuk melakukannya.

 Struktur Divisi

Kekuasaan dalam struktur divisi dipegang oleh manajemen tengah (middle management).
Setiap manajemen tengah berfungsi sebagai unit otonom dimana setiap unit tersebuat
bertindak sebagai mesin birokrasi bagi dirinya.

 Struktur Adhocracy

Adhocracy adalah suatu bentuk struktur yang digunakan bila defferensiasi horisontalnya
tinggi, differensiasi vertikalnya rendah, tingkat formalisasinya rendah, kebutuhan akan
fleksibilitas dan responsivitas tinggi, serta pengambilan keputusan bersifat desentralistis.
Karena mempekerjakan para ahli maka kebutuhan akan supervisi sangat kecil, yang berarti
bentuk ini tidak membutuhkan differensi vertikal yang tinggi.

4. Kaitan Antara Desain Struktur dengan Pola Manajemen

1. Tingkat Differensiasi

Tingkat differensiasi menunjukan sampai seberapa besar jumlah unit yang dibutuhkan
dan spesialisasi apa saja yang dibutuhkan dalam organisasi. Differensiasi dibedakan atas
differensiasi horizontal dan vertikal. Differensiasi horizontal berkenaan dengan jumlah unit
ke samping yang dibutuhkan, sedangkan differensiasi vertikal berkaitan dengan jarak ke atas
mulai dari posisi yang paling rendah ke yang paling tinggi.

2. Tingkat Formalisasi

Tingkat formalisasi berkenaan dengan standardisasi, prosedur kerja, dan aturan serta
norma-norma formal yang ditetapkan untuk dipatuhi dalam melaksanakan pekerjaan.

3. Tingkat Dispersi Otoritas

Dispersi otoritas berkenaan dengan bagaimana mengatur pembagian kewenangan untuk


memutuskan atau mengambil keputusan tentang suatu masalah. Ada dua kemungkinan yang
terjadi dari dispersi otoritas, yaitu desentraliasi dan sentralisasi.

4. Efektivitas Organisasi

Suatu organisasi dapat dikatakan efektif kalau tujuan organisasi atau nilai-nilai
sebagaimana ditetapkan dalam visinya tercapai. Nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai yang
telah disepakati bersama antara para stakeholders dari organisasi yang bersangkutan.

 
5. Dimensi Lingkungan

Pentingnya pengaruh lingkungan tersebut mulai disadari sejak munculnya konsep dan
teori tentang ekologi administrasi atau ekologi organisasi, atau sejak teridentifikasinya
konsep “sistem terbuka” oleh F.E.Emery (robbins, 1991) yang mengakui adanya interaksi
antara suatu organisasi dengan lingkungan. Ketika pembangunan dinegara berkembang
dimulai, administrasi publik merupakan salah satu doktrin penting moderenisasi. Banyak
pakar memberi reaksi negatif terhadap pemaksaan model administrasi publik barat ke negara
sedang berkembang karena situasi dan kondisi di negara sedang berkembang dangat berbeda
dengan dunia barat. Yang disarankan oleh para pakar adalah adaptasi administrasi publik
sesuai dengan situasi dan kondisi di negara sedang berkembang.

Dewasa ini kesadaran akan peran yang dimainkan oleh lingkungan semakin tinggi, dan
kesadaran untuk melakukan adaptasi atau menghadapi lingkungan yang dinamis juga mulai
meningkat. Banyak pihak mulai mempelajari hal ini dan menyusun strategi yang lebih sesuai
menuju kesuksesan.

1. Ruang Lingkup dan Batasannya

Lingkungan diartikan sebagai semua faktor yang berada diluar organisasi, atau demua
yang diluar batas organisasi. Lingkungan ini mencangkup lingkungan umum yang
mempengaruhi organisasi secara tidak langsung (ekonomi, politik, dll). Lingkungan khusus
yang memiliki pengaruh yang terasa secara langsung (pelanggan, pemasok, dll) (lihat
Robbins, 1991: 206) . Ruang lingkup yang lain disingkat dalam bentuk akronim PEST. yaitu
politik, ekonomi, sosial, dan teknologi. Menurut Katz dan Kahn (1978), lingkungan
organisasi terdiri atas 5 aspek yang harus selalu dimonitor dan direspon agar selalu efektif,
yaitu nilai-nilai masyarakat, lingkungan politik, lingkungan ekonomi, lingkungan informasi,
dan lingkungan fisik.

2. Pergeseran Paradigma

Dalam perkembangan administrasi publik terdapat dua paradigma umum tentang


hubungan antara organisasi dengan lingkungan. Paradigma pertama dikenal dengan nama
“sistem tertutup” (closed system) dan kedua adalah “sistem terbuka” (open system). Sistem
tertutup menggambarkan interaksi yang terbatas dari suatu organisasi terhadap
lingkungannya, dan apa yang dikerjakan organisasi tersebut hampir tidak tergantung kepada
lingkungannya. Karena itu, perkembangan organisasi tidak tergantung kepada
lingkungannya. Sebaliknya sistem terbuka menggambarkan interaksi yang begitu intensif
antara suatu organisasi dengan lingkungannya, sehingga apa yang dikerjakanorganisasi
tersebut sangat didikte oleh lingkungannya. Sistem terbuka juga selalu melihat eksistensi dan
perkembangan suatu organisasi dalam kaitannya dengan sistem lingkungan yang ada
disekitarnya.

3. Karakter Lingkungan
Ada dua karakter penting dari lingkungan yaitu turbulence dan munificience (Kantz dan
Kahn, 1978; Simon, 1958; Thompson, 1967). Turbulence berkenaan dengan sifat lingkungan
mengalami perubahan yang kacau balau, atau tetap stabil, sedang munificient berkenaan
dengan sifat lingkungan yang mengalami tingkat kelangkaan atau kelimpahan sumberdaya
penting. Ada juga pembagian lain dari Gregory G.Dess dan Donald W.Beard (lihat Robbins,
1990: 218 – 219) yaitu menurut dimensi kemampuan, dinamika, dan kompleksitas. Dimensi
kemampuan berkenaan dengan sumberdaya yang dimiliki lingkungan yaitu apakah masih
berkelimpah atau sudah mulai langka. Dimensi dinamika menunjukan tingkat kesetabilan
suatu lingkungan yang memungkinkan suatu organisasi memprediksi masa depannya.
Sedangkan dimensi kompleksitas lingkungan menggambarkan tingkat heterogenitas dan
konsentrasi elemen-elemen lingkungan. Lingkungan yang “simple” adalah yang homogin dan
terkonsentrasi, sedangkan yang kompleks adalah yang homogen dan tersebar.

4. Mengenal Lingkungan

Environmental scanning merupakan suatu teknik umum yang sering digunakan untuk
membaca karakteristik lingkungan – apakah lingkungan memberikan peluang (opportunities),
dan ancaman (threats). Dengan mengetahui informasi tentang peluang dan ancaman tersebut,
suatu organisasi dapat mempersiapkan dirinya untuk melakukan penyesuaian. Berbagai
teknik seperti teknik forecasting, market analysis, stakeholders analysis, dsb., diterapkan
untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh kondisi eksternal tersebut. Untuk melakukan
penyesuaian terhadap kondisi eksternal tersebut, organisasi harus mengevaluasi kelemahan-
kelemahan (weaknesses) dan kekuatan-kekuatannya (strength).

5. Wujud Adaptasi Terhadap Lingkungan

Suatu organisasi hanya dapat bertahan hidup sepanjang ia mampu melakukan


penyesuaian diri dengan lingkungannya dalam berbagai bentuk yaitu perubahan strategi,
struktur dan budaya kerja. Michael T. Hannan dan John Freeman (1997), dalam prespektif
adaptasi, mereka mengemukakan bahwa submit-submit organisasi, manajer dan koalisi
dominan melakukan scanning terhadap lingkungan untuk mendapatkan informasi tentang
peluang, ancaman, merumuskan respons strategis, dan melakukan penyesuaian struktur
organisasi secara tepat.

Hubungan antara lingkungan dengan perubahan struktur juga dapat dilihat dari tulisan
Stephen P.Robbins (1990: 230-232). Robbins mengga,barkan bahwa dalam menghadapi
lingkungan yang bersifat sangat tidak menentu, organisasi akan mengatur strukturnya
lebihkompleks yaitu menciptakan unit-unit yang lebih khusus dalam jumlah yang lebih besar
dan mengaplikasikan lebih banyak spesialisasi. Dalam buku manajemen strategis lain
diungkapkan bahwa organisasi dalam merespons perubahan lingkungannya menggunakan
strategi sesuai hierarki organisasi, misalnya pada tingkat corporate atau organisasi secara
keseluruhan, tingkat busissness atau divisi atau departemene, pada tingkat fungsional (lihat
Peter & Certo, 1990). Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk bertahan hidup,
atau bahkan berkembang, kualitasrespons terhadap lingkungan dalam bentuk perubahan
strategi, struktur dan budaya sangat menentukan. Para manajer organisasi harus
menyadarinya dan berperan besar dalam melakukan penyesuaian tersebut.
6. Dimensi Etika

Dimensi Etika dianalogoikan sebagai sistem sensor dalam administrasi publik dan
merupakan dimensi strategis karena mampu mempengaruhi terhadap dimensi-dimensi lain
dalam administrasi publik serta tercapainya tujuan suatu organisasi. Menurut Herbert A.
Simon, Harold Lasswell dan Chester Barnard juga menyimpulkan bahwa para pejabat
administrator dalam mengeluarkan keputusannya berdasarkan pertimbanagn diluar
rasionalitas yaitu didasarkan atas faktor sosial dan psikologis bukan berdasar aspek ekonomi
atau efisiensi sehingga berdampak kepada keputusan yang mereka buat.

Isu etika menjadi sangat vital dalam administrasi public karena adanya keleluasan dan
dikresi kepada para eksekutif. Isu tersebut jauh lebih kompleks dalam kenyataan daripada
sekedar kesalahan dan kebodohan yang dibuat manusia. Dikresi  administrasi menjadi
“starting point” bagi masalah moral atau etika dalam dunia administrasi publik. Selanjutnya,
masalah moral atau etika jauh lebih memprihatinkan dan lebih fatal akibatnya daripada
kekeliruan manusia yang dilakukan dalam pemerintahan. Tingkat moral atau etika menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pencapaian hasil, karena etika dapat menjadi
faktor yang mensukseskan ataupun sebaliknya menjadi pemicu kegagalan suatu tujuan
kebijakan. Disisi lain upaya perbaikan moralitas dalam kebijakan, organisasi, dan manajemen
dapat membantu penghematan  biaya dalam bidang administrasi publik dan pembangunan.

1. Batasan dan Ruang Lingkup

Pengertian konsep Etika:

 Menurut Bertens Etika : Kebiasaan, adat atau akhlak dan watak


 Menurut Aristoteles Etika : Ilmu tentang adat kebiasaan
 Menurut KUBI (Purwadinata) Etika : Ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak
(moral) 
 Menurut KBBI Etika : Ilmu tentang apa yang baik dan buruk serta tentang hak dan
kewajiban moral Kumpulan nilai yang berkenaan dengan akhlak Nilai yang mengenai
benar atau salah yang dianut dalam suatu masyarakat

Tiga arti penting Etika (bertens): Sistem Nilai, Kode Etik, Filsafat Moral

Dalam uraian diatas Bertens menyimpulkan bahwa Etika berbeda dengan Etiket

Etika :Menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri, yaitu apakah suatu perbuatan itu
boleh dilakukan atau tidak. Contoh: mengambil barang milik orang lain

Etiket :Menggambarkan suatu perbuatan itu dilakukan manusia dan berlaku dalam lingkup   
tertentu saja. Contoh : Budaya berpakaian, Budaya makan, dst
Secara umum nilai moral nampak dalam enam nilai besar (Six Great Ideas):

1. Nilai kebenaran (truth)


2. Nilai kebaikan (goodness)
3. Nilai keindahan (beauty)
4. Nilai kebebasan (liberty)
5. Nilai kesetaraan (equity)
6. Nilai keadilan (justice)

Disisi lain juga terdapat Nilai Muatan Lokal, yaitu nilai yang wajib diikuti seperti:

1. Keteladanan yang baik


2. Rasa empati yang tinggi
3. Memiliki agama yang jelas
4. Bertakwa, dsb

2. Perubahan Paradigma

Menurut Chandler & Plano, Etika memiliki empat aliran utama:

1. Empirical Theory

Bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan umum Dalam konteks
ini penilaian baik atau buruk tidak terpisahkan dari fakta dan perbuatan yang dirasakan.

Contoh: Peperangan

2. Rational Theory

Bahwa baik atau buruk tergantung reasoning (alasan&logika) yang melatarbelakangi


perbuatan, bukan pengalaman. Dalam konteks ini bahwa logikalah yang memberikan
kesimpulan tentang hal yang baik atau buruk.

3. Intutive Theory

Bahwa etika tidak berdasarkan pengalaman dan logika, tetapi didasarkan atas pemahaman
manusia tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk. Teori menggunakan
hukum moral alamiah atau “natural moral law”

4. Relevation Theory

Bahwa apa yang benar atau salah berasal dari kekuasaan tuhan

Contoh: Kitab suci

Dalam pekembangan pengambilan keputusannya para pejabat administrator berpendapat


bahwa keputusan yang dibuat telah didasarkan atas etika dan moral yang benar, sementara
yang lain berpendapat sebaliknya. Mereka yang mengutamakan tujuan sebagai penilaian
pokok etika, tentu akan berbeda dengan mereka yang mementingkan kewajiban atau aturan
yang harus ditaati. Alasan-alasan inilah yang menjadi pusat perhatian dari munculnya aliran-
aliran etika atau moral yang berkembang saat ini.
Pendekatan aliran-aliran etika yang berkembang selama ini:

 Teleologi

Pendekatan ini berkenaan dengan maksud dan tujuan.

Tokoh:Aristoteles

Tujuan dan maksudlah yang menentukan apakah sesuatu itu hebat atau bermanfaat.
Namun pendekatan ini memperoleh kritikan bahwa sesuatu kegiatan hebat atau berharga
ditentukan oleh prinsip-prinsip ilmiah yang digunakan. (scientific revolution)

 Utilitarianisme

Pendekatan ini menjelaskan bahwa sesuatu itu etis atau tidak, bukan tergantung terhadap
alasan apa yang digunakan tetapi berdasarkan kemampuan menghasilkan kenikmatan.

Tokoh: Jeremy Bentham (The Principles of Moral and Legistasion)

Prinsip etis tidaknya suatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan dalam


menghasilkan kebahagiaan.

 Stuart Mill

Kegiatan dianggap benar secara etis tergantung utility atau kegunannya, yaitu


menghasilkan kebahagiaan paling tinggi bagi paling banyak orang. Namun pendekatan ini
memperoleh kritikan bahwa bukan kebahagiaanlah yang menjadi ukuran, tetapi juga harus
mempertimbangkan hak-hak dasar atau HAM (consequentalists)

 Deontologis

Cabang etika yang manekankan compliance dan enforcement (ketaatan dan kesesuaiain)


terhadap kewajiban, tugas, tanggung jawab, dan prinsip-prinsip yang harus diikuti.

Tokoh: Immanuel Kant dan John Rawls (Heichelbech, 2003:339-340)

Pendekatan ini memperoleh kritikan karena lebih menekankan rasionalitas, tidak


memperhatikan unsur manusianya.

 Virtue Etichs

Pendekatan ini menjelaskan bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung dari integritas,
kebaikan, dan hati nurani para pelakunya atau “the excellences of character”.

Pergeseran paradigma etika (Denhart,The Ethics of Public : 1998):

a. Model I

Dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis seorang admninistrator harus
senantiasa menguji dan mempertanyakan standard yang digunakan dalam pembuatan
keputusan daripada hanya sekedar tergantung pada kebiasaan dan tradisi.
b. Model II

Etika itu harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan 
pekerjaan kita semua “philosophy of personal and personal living” dan harus memiliki nilai
dasar, antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

c. Model III

Standard etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik
terhadap standard-standard moral yang absolut.

d. Model IV

Bahwa agar menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian
pada proses menguji dan mempertanyakan standard, atau asumsi yang melandasi pembuatan
keputusan administratif yang selalu merefleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar
masyarakat.

e. Model V

Bahwa untuk dapat disebut etis maka seorang administrator harus secara independen
masuk dalam proses menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam
pembuatan keputusan.

f. Model VI

Bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika
para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Tiga
hal pokok yang menarik perhatian dalam paradigma, yaitu: Proses menguji dan
mempertanyakan standard etika dan asumsi, secara independen. Isi standard etika yang
seharusnya mereflesikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan standard tersebut, baik
sebagai akibat dari penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat,
maupun sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu. Konteks
organisasi dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan peranan yang
dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.

3. Aplikasi Etika dan Moral

Aplikasi etika dan moral dapat dilihat dari Kode Etik yang dilmiliki oleh administrator
publik. Kehadiran kode etik tidak hanya sekedar ada, tetapi juga diimplementasikan dalam
bekerja. Dan bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi semua nilai (nilai moral dan etika) yang
terdapat dalam Kode Etik dikaji dalam waktu yang lama dan didukung oleh diskusi serta
dialog yang tidak pernah berhenti.
7. Dimensi Kinerja

Gerakan Reveinting Goverment menuntuk agar kinerja tidak lagi diukur dengan berapa
besarnya input dan bagaimana prosedur yang ditempuh untuk mencapai output sebagaimana
dianut selama ini, tetapi dengan mengutamakan hasil akhir yang benar-benar dirasakan
pelanggan atau masyarakat (lihat Osborne & Gaebler, 1993). Di Indonesia, pengukuran
kinerja instansi pemerintah jarang dilakukan, sementara pengukuran kinerja pegawai masih
didasarkan pada standard evaluasi yang lama dan sering menimbulkan masalah, yaitu melalui
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3). Oleh karena itu, hasil penilaianpun kurang
menggambarkan apakah seseorang telah memiliki tingkat kinerja tertentu. Dumbangan setiap
individu terhadap pencapaian tujuan organisasi juga menjadi tidak jelas. Dengan
diberlakukannya UU Nomor 22 tahun1999 atau otonomi daerah, adanya tuntutan reformasi
melalui gerakan reveinting governance atau good governance, dan melihan kondisi standard
evaluasi yang ada selama ini serata absennya upaya yang jelas untuk memperbaikinya, maka
kebutuhan untuk membangun dimensi kinerja menjadi sangat mendesak.

1. Batasan dan Ruang Lingkup

Istilah “kinerja” merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para
cendikiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi”. Dalam administrasi
publik, kinerja mulai dituntut untuk diukur sejak Woodrow Willson menekankan efisiensi
dalam desain sistem administrasi, dan sejak F.W Taylor mendorong pegawai bekerja efisien.
Bernardin dan Russel (1993: 379) mengartikan kinerja sebagai ”....the record of outcomes
produced on a specified job function or activity during a specified time period....”. Di
Indonesia, kinerja seorang pegawai negeri sipil lebih dikaitkan dengan “pelaksanaan
pekerjaan” sebagaimana tercantum dalam surat edaran BAKN, No. 02/SE/1980, tertanggal 11
Februari 1980) ketimbang hasil pekerjaan. Sementara itu Swanson membagi kinerja atas tiga
tingkatan yaitu yaitu kinerja organisasi, kinerja proses, dan kinerja individu.

Secara umum, parameter atau kriteria yang digunakan dalam menilai kinerja meliputi (1)
kualitas, (2) kuantitas, (3) ketepatan waktu, (4) penghematan biaya, (5) kemandirian atau
otonomi dalam bekerjadan (6) kerjasama (lihat Bernadin & Russel, 1993). Di Indonesia,
parameter yang digunakan untuk menilai kinerja pegawai negeri sipil adalah DP3 yang
memuat 7 nilai umum dan 1 nilai khusus. Nilai-nilai umum ini berlaku untuk semua pegawai
yaitu kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, dan kerjasama, sementara
parameter khusus hanya ada 1 saja yaitu kepemimpinan yang berlaku bagi para pemegang
jabatan yang ada.

2. Penilaian Kinerja (Performance Appriassals)

Penilaian kinerja secara populer lebih diartikan sebagai penilaian hasil kerja individu, dan
bukan kelompok,, organisasi, atau proses sebagaimana disampaikan oleh Swanson dan
Holton III (1999). Secara teoritis dan praktis, penilaian kinerja ini sangat erat kaitannya
dengan job delineation. Artinya, suatu penilaian tidak dapat dilakukan jika masih terdapat
ketidak jelasan tentang pekerjaan itu sendiri (Donovan dan Jackson, 1991: 329).

Menurut Locher dan Teel penilaian berguna untuk menentukan kompensasi, perbaikan
kinerja, umpan balik, dokumentasi, promosi, pelatihan, mutasi, pemecatan, pemberhentian,
penelitian kepegawaian dan perencanaan tenaga kerja. Hal serupa juga disampaikan oleh
Siagian (1999) bahwa sistem penilaian kinerja yang baik akan sangat bermanfaat untuk
berbagai kepentingan, seperti mendorong, peningkatan prestasi kerja, bahkan pengambilan
keputusan dalam pemberian imbalan, kepentingan mutasi pegawai, penyusunan program
pendidikan dan pelatihan, dan membantu pegawai dalam menentukan rencana karirnya.

3. Paradigma Penilaian Kinerja

Secara teoritis terdapat dua paradigma yang populer yaitu paradigma manajemen normatif
dan paradigma manajemen baru. Dalam manajemen normatif terdapat 3 aliran yang
mempunyai orientasi memandang pegawai secara berbeda (lihat Miles, 1975: 171 – 173).
Aliran pertama adalah manajemen klasik yang memandang pegawai sebagai faktor produksi
yang dapat dimanipulasi. Aliran kedua adalah manajemen human relations yang melihat
pegawai sebagai mahluk sosial yang kebutuhan sosialnya perlu dipenuhi. Aliran ketiga adalah
aliran manajemen sumberdaya manusia yang melihat aparat sebagai sumberdaya manusia
yang harus yang harus dikembangkan untuk meningkatkan martabatnya dan pencapaian
tujuan organisasi.

Dalam konteks Manajemen Publik Baru, penilaian kinerja harus dilihat sebagai upaya
yang berkesinambungn dalam rangka memberbaiki kinerja organisasi publik. Penilaian harus
ditunjukan tidak hanya kepada cara yang ditempuh suatu lembaga pemerintah, tetapi juga
pencapaian tujuan lembaga pemerintahan yang didasarkan pada visi dan misi serta harapan
masyarakat.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penilaian Kinerja

Decitiit dan Petit (lihat Chung & Megginson, 1981) mengungkapkan bahwa ada beberapa
faktor yang menentukan efektivitassuatu penilaian kinerja yaitu (1)relevansi dari kriteria
kinerja yang dipilih, (2) kemampuan penilaian dalam mengevaluasi kinerja pihak yang dinilai
secara benar, (3) motif penilaian dalam mengevaluai kinerja pihak yang dinilai secara benar,
(4) penerimaan pihak yang dinilai terhadap proses penilaian.

Secara teoritis efektivitas dari penilaian kinerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
The four-component Performance Appraisal Model diperkenalkan oleh Murphy dan
Cleveland mengajukan variable penting dalam penilaian kinerja yaitu the rating context, the
performance judgement, the performance rating, dan the evaluation of the appraysal system.

Untuk melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-faktor yang


mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, meka perlu melihat beberapa faktor
penting sebagai berikut. Pertama, kejelasan tutntutan hukum atau peraturan perundang-
undangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat. Kedua, Manajemen sumberdaya
manusia yang berlaku memiliki fungsi dan proses yang sangat menentukan efektivitas
penilaian kinerja. Ketiga, kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen suatu
organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Keempat, komitmen para pemimpin atau manajer
organisasi publik terhadap pentingnya suatu penilaian kerja.
5. Pendekatan Penilaian Kerja

Secara umum, untuk menilai kinerja telah dikembangkan 2 pendekatan utama yaitu
pendekatan perilaku dan pendekatan hasil. Pendekatan perilaku mempelajari perilaku yang
relevan atau yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan tugas pekerjaan seseorang.
Pendekatan hasil mempelajari apakah hasil yang diperoleh telah sesuai dengan tuntutan dari
pihakyang membutuhkan dan telah diberikan dengan kualitas yang terbaik atau di
distribusikan secara adil kepada mereka yang membutuhkan.

Dalam pendekatan perilaku, penerapan “cara untuk menghasilkan” sesuatu yang


diinginkan menjadi pusat perhatian penilaian. Sementara itu, didalam pendekatan hasil, yang
dinilai adalah ketepatan hasil sesuai dengan harapan atau rencana, atau yang secara populer
disebut dengan kriteria effektivitas. Salah satu model yang sangat populer dikemukakan oleh
Christhoper Pollit dan Geert Bouckaert (2000: 12-13) adalah model input/output (the
input/output model). Model tersebut mengasumsikan bahwa institusi / program dibangun
untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi tertentu.

6. Prinsip Penilaian Kinerja

Prinsip penilaian kinerja dapat dipelajari dari tulisan Bernardine dan Russel (1999).
Dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan penilaian kinerja, terdapat 4 hal utama
yang perlu diperhatikan, yaitu (a) aspek yang dinilai, (b) proses pengukuran, (c) penentuan
pihak yang menilai, (d) penentuan pihak yang dinilai. Didalam proses penilaian pengukuran
kinerja terdapat beberapa pilihan yang harus dibuat, yaitu jenis skala pengukuran, jenis-jenis
instrumen penilaian, pengawas tingkat kesalahanpencatatan untuk hambatan prestasi
situasional, dan seluruh metode peengukuran skor. Sehubungan dengan beberapa hal diatas,
aspek lain yang perlu diperhatikan adalah unit analysisnya. Ditinjau dari unit analysisnya,
penilaian kinerja dapat dibedakan atas job performance yang biasanya diukur langsung dari
pegawai atau pejabatnya, organizational performance yang diukur dari kinerja organisasi
secara keseluruhan, dan Program Performance yang menggambarkan kinerja progeam atau
kebijakan. Didalam suatu organisasi sebaiknya diperhatikan semua jenis kinerja tersebut,
karena mereka saling terkait. Kerja individu terkait dengan kinerja organisasi dan program.
Perhatian ini harus dilembagakan agar para anggota organisasi selalu memberi perhatian
kepada ketiga jenis kinerja itu dan berupaya untuk menyumbangkannya.
Penutup

Dinamika perkembangan ilmu administrasi senantiasa selaras dengan dinamika


perkembangan peradaban zaman dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Demikian pula
akselerasi perkembangan ilmu administrasi akan seiring dengan perkembangan
paradigmanya. Secara konsepsional, minimal dikenal lima paradigma administrasi publik
yang dimulai dengan dikotomi politik-administrasi, dilanjutkan dengan perkembangan
prinsip-prinsip administrasi, administrasi publik sebagai ilmu politik, administrasi publik
sebagai ilmu administrasi, dan saat ini administrasi publik sebagai administrasi publik yang
berdiri sendiri sebagai salah satu bidang kajian ilmu administrasi. Perkembangan paradigma
administrasi publik ini pada akhirnya bermuara pada adanya upaya melakukan reformasi
administrasi. Reformasi administrasi pada hakikatnya menyangkut dimensi dan spektrum
yang sangat luas dan kompleks dengan tujuan untuk menyempurnakan performansi birokrasi,
baik pada tataran institusional maupun tataran personal yang terlibat dalam formulasi,
implementasi dan evaluasi kebijakan.

Semua paradigma dalam setiap dimensi strategis yang diuraikan secara singkat
menggambarkan bahwa telah terjadi “scientific revolution” dalam disiplin administrasi
publik, sekaligus menunjukan bahwa para ahli terus mencari jalan untuk mengoreksi
kekurangan administrasi publik di masa lampau dan berupaya mencari alternatif baru untuk
meningkatkan kemampuan administrasi publik. Dengan kata lain, administrasi publik terus
berkembang menjadi suatu “normal science”. Ruang lingkup administrasi publik meliputi
dimensi-dimensi strategis yang saling berhubungan. Keenam dimensi strategis administrasi
publik yang telah diidentifikasi dan setiap dimensi memberikan kontribusi pada administrasi
publik.
DAFTAR PUSTAKA

Dr haedar Akib, M. (2022). Sejarah perkembangan administrasi publik.


rifkiismarimailblog. (2022). Enam dimensi strategis administrasi publik.
Henry, Nicholas. 1989. Public Administration and Public Affairs, fouth edition, Prentice
Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Garcia, Jern Claude – Zomar and Rew Khator. 1994. Public Administration in the Global
Village, An Imprint – Greenwood Publishing Group, Inc., USA
Lio Permana, y. T. (2022). tentang administrasi publik. enam dimensi strategis administrasi
publik.

Anda mungkin juga menyukai