Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KETUBAN PECAH DINI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Stau Tugas Dalam Praktik Patologis Stase 3
Program Studi Profesi Kebidanan

Oleh :

IRMA LAILATUL FAJAR


NIM : P20624819011

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
JURUSAN KEBIDANAN
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi salah satu indikator dalam derajat
kesehatan masyarakat. Angka Kematian Ibu (AKI) menggambarkan jumlah
wanita yang meninggal, salah satunya pada saat proses persalinan (Depkes RI,
2012). Di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi dan merupakan
masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan, hal ini menunjukkan
derajat kesehatan masyarakat dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut
hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) sepanjang tahun 2007-
2012 kasus kematian ibu melonjak cukup tajam, pada tahun 2012, AKI
mencapai 359/100.000 kelahiran hidup atau meningkat 57% bila dibandingkan
dengan kondisi pada tahun 2007, yang hanya 228/100.000 kelahiran hidup,
yang dimana AKI pada tahun 2007 menurun dari tahun 2002 yang mencapai
307/100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2015 AKI kembali menunjukkan
penurunan menjadi 305/100.000 kelahiran hidup.
Penyebab angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah komplikasi pada
masa kehamilan, persalinan dan nifas. Dimana penyebab langsung kematian ibu
di Indonesia yaitu perdarahan (28%), eklamsea (24%), partus lama (5%), aborsi
(5%), infeksi (11%) dan lain – lain (27%) (Depkes RI, 2011). Infeksi yang
banyak dialami oleh ibu sebagian besar merupakan akibat dari adanya
komplikasi atau penyulit kehamilan dan persalinan seperti febris (24%), infeksi
saluran kemih (31%) dan Ketuban pecah dini (45%) (BKKBN, 2013).
Ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW)
sering disebut dengan premature repture of the membrane (PROM)
didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum waktunya melahirkan.
Pecahnya ketuban sebelum persalinan atau pembukaan pada primipara kurang
dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Hal ini dapat terjadi pada
kehamilan aterm maupun pada kehamilan preterm. Pada keadaan ini dimana
risiko infeksi ibu dan anak meningkat. Ketuban pecah dini merupakan masalah
penting dalam masalah obstetri yang juga dapat menyebabkan infeksi pada ibu
dan bayi serta dapat meningkatkan kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi
(Purwaningtyas, dkk. 2017).
Menurut WHO, kejadian ketuban pecah dini (KPD) atau insiden PROM
(prelobour rupture of membrane) berkisar antara 5-10% dari semua kelahiran.
KPD preterm terjadi 1% dari semua kehamilan dan 70% kasus KPD terjadi
pada kehamilan aterm. Pada 30% kasus KPD merupakan penyebab kelahiran
prematur (WHO, 2014).
Meskipun faktor penyebab terjadinya KPD masih sulit diketahui, namun
beberapa faktor predisposisi yang dapat diidentifikasi penyebab KPD ialah
infeksi, golongan darah ibu dan anak tidak sesuai, multigrafida, merokok,
defisiensi gizi khususnya vitamin C, servik yang tidak inkopeten,
polihidramnion, riwayat KPD sebelumnya, kelainan selaput ketuban, tekanan
intra uterin yang meninggi atau overdistesi, trauma, kelainan letak (Nugroho,
2010).
Dampak yang paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37
minggu adalah sindrom distress pernapasan (RDS atau Respiratory Disterss
Syndrome), yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi akan
meningkat prematuritas, asfiksia, dan hipoksia, prolapse (keluarnya tali pusat),
resiko kecacatan, dan hypoplasia paru janin pada aterm. Hampir semua KPD
pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi
dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan
mortalitas perinatal ini disebabkan oleh prematuritas akibat dari ketuban pecah
dini.
Oleh karena itu, tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang
dapat menurunkan kejadian persalinan prematuritas dan infeksi dalam rahim.
Memberikan profilaksis dalam merupakan tindakan yang perlu diperhatikan
untuk memperkecil resiko infeksi (Manuaba, 2010).
Berdasarkan uraian di atas tentang ketuban pecah dini penting diketahui
oleh seorang bidan, untuk meningkatkan pelayanan kebidanan dalam
mendeteksi resiko tinggi persalinan dan dapat melakukan penanganan segera
sehingga dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB).
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of the Membranes
(PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya proses
persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture of the
Membranes (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu (Mamede dkk, 2012). Pendapat lain
menyatakan dalam ukuran pembukaan servik pada kala I, yaitu bila ketuban
pecah sebelum pembukaan pada primigravida kurang dari 3 cm dan pada
multigravida kurang dari 5 cm. Dalam keadaan normal selaput ketuban pecah
dalam proses persalinan (Cunningham, 2010).
Ketuban pecah dini dapat berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan.
Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten
atau dengan sebutan Lag Period. Ada beberapa perhitungan yang mengukur Lag
Period, diantaranya 1 jam atau 6 jam sebelum intrapartum, dan diatas 6 jam
setelah ketuban pecah. Bila periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah
pecah, maka dapat terjadi infeksi pada ibu dan juga bayi (Fujiyarti, 2016).

B. Epidemiologi
Kejadian ketuban pecah dini (KPD) terjadi pada 10 - 12% dari semua
kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya 6 -1 9%, sedangkan pada
kehamilan preterm 2 - 5%. Laporan lain mendapatkan ketuban pecah dini terjadi
pada sekitar 6 - 8% wanita sebelum usia kehamilan 37 minggu dan secara
langsung mendahului 20 - 50% dari semua kelahiran prematur. Insiden KPD di
seluruh dunia bervariasi antara 5 - 10% dan hampir 80% terjadi pada usia
kehamilan aterm (Endale dkk, 2016).
Ketuban pecah dini preterm dikaitkan dengan 30 - 40% kelahiran prematur
dan merupakan penyebab utama kelahiran prematur. Ketuban pecah dini
preterm yang terjadi sebelum usia kehamilan 24 minggu, disebut sebagai KPD
preterm previable, kejadiannya kurang dari 1% kehamilan dan berhubungan
dengan komplikasi yang berat pada ibu ataupun janin. Kasus dengan ketuban
pecah dini akan mengalami persalinan hampir 95% dalam waktu 24 jam (Lorthe
dkk, 2016).
Morbiditas maternal tertentu telah dilaporkan terkait dengan KPD.
Komplikasi kehamilan yang disebabkan oleh KPD yang diterapi secara
konservatif tampaknya berada pada risiko signifikan untuk terjadinya solusio
plasenta. KPD pada beberapa kasus ditandai dengan perdarahan. Insiden infeksi
intrauterin meningkat dengan mudanya usia kehamilan pada saat pecahnya
selaput ketuban. KPD pada saat usia kehamilan lebih awal dikaitkan dengan
infeksi pada korioamnion. Korioamnionitis telah dilaporkan pada 0,5 - 71% dari
kehamilan dengan KPD. Insiden tertinggi korioamnionitis dikaitkan dengan
kecilnya usia kehamilan dan perode laten yang memanjang (Thombre, 2014).
Periode laten yang memanjang juga meningkatkan risiko untuk naiknya
infeksi pada janin yang prematur dan pada ibunya. Frekuensi dan tingkat
keparahan komplikasi pada ibu dan janin setelah terjadinya ketuban pecah dini
bervariasi tergantung dari usia kehamilan. Terdapat bukti konsisten bahwa usia
kehamilan saat terjadinya ketuban pecah dini dan lamanya periode laten
merupakan penentu kematian perinatal yang penting. Bagaimanapun juga,
terdapat penelitian-penelitian yang bertentangan mengenai keluaran neonatal
yang spesifik jika dikaitkan dengan periode laten (Thombre, 2014).

C. Etiologi
Adapun penyebab terjadinya ketuban pecah dini merurut (Manuaba, 2010)
yaitu sebagai berikut:
1. Multipara dan Grandemultipara
2. Hidramnion
3. Kelainan letak: sungsang atau lintang
4. Cephalo Pelvic Disproportion (CPD)
5. Kehamilan ganda
6. Pendular abdomen (perut gantung)
Adapun hasil penelitian yang dilakukan (Rahayu and Sari 2017) mengenai
penyebab kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin bahwa kejadian KPD
mayoritas pada ibu multipara, usia ibu 20-35 tahun, umur kehamilan ≥37
minggu, pembesaran uterus normal dan letak janin preskep.

D. Faktor Predisposisi
Menurut Norma (2013), terdapat beberapa faktor predisposisi yang
mengakibatkan terjadinya KPD yaitu sebagai berikut:
1. Infeksi : Infeksi yang terjadi langsung pada selaput ketuban dari vagina atau
infeksi pada cairan ketuban yang mengakibatkan KPD.
2. Servik yang inkompetensia, dimana terdapat kanalis servikalis yang selalu
terbuka, yang terjadi akibat trauma persalinan atau curetage.
3. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
misalnya trauma hidramnion, gamelli.
4. Trauma dari hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amniosintesis
menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya diserta infeksi.
5. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehigga tidak terdapat bagian terendah
yang menutupi pintu atas panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membrane bagian bawah.
6. Keadaan sosial ekonomi.
7. Faktor lain :
a. Faktor golongan darah yang diakbatkan oleh golongan darah ibu dan
janin yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan
termasuk kelemahan jaringan kulit ketuban.
b. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
c. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
d. Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askobarat (Vit C).
e. Riwayat kelahiran premature.
f. Merokok.
g. Perdarahan antepartum.
h. Inkompetensi servik (leher rahim)
i. Polihidramnion (caran ketuban berlebih)
j. Riwayat KPD sebelunya
k. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
l. Kehamilan kembar. Pada kehamilan gemelli terjadinya distensi uterus
yang berlehihan, sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim
secara berlehihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim
yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban) relative kecil sedangkan
dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan
selaput ketuban tipis dan mudah pecah (Novihandari, 2016).
m. Servik yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu.
n. Infeksi paa kehamilan seperti bacterial vagionosis.

E. Tanda dan Gejala


Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui
vagina, aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak,
berwarna pucat, cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena uterus
diproduksi sampai kelahiran mendatang. Tetapi, bila duduk atau berdiri, kepala
janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat”
kebocoran untuk sementara. Sementara itu, demam, bercak vagina yang banyak,
nyeri perut, denyut jantung janin bertambah capat merupakan tanda-tanda
infeksi yang terjadi (Sunarti, 2017).
Adapun menurut Norma (2013) tanda dan gejala ketuban pecah dini
meliputi:
1. Keluar air ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak.
2. Dapat disertai demam apabila sudah terdapat infeksi.
3. Janin mudah diraba, pada pemeriksaan dalam selaput ketuban tidak ada, air
ketuban sudah kering.
4. Pada pemeriksaan inspekulo tampak selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah kering atau tampak air ketuban mengalir.
5. Keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina dengan bau manis dan
tidak seperti bau amoniak.
6. Bercak vagina yang banyak.
7. Nyeri perut
8. Denyut jantung janin bertambah cepat yang merupakan tanda-tanda infeksi
yang terjadi.

F. Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada daerah
tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat
erat kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan
oleh infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada
amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah
lapisan retikuler atau trofoblas (Mamede dkk, 2012).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertantu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan.
Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas
kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Pada daerah di
sekitar pecahnya selaput ketuban diidentifikasi sebagai suatu zona “restriced
zone of exteme altered morphologi (ZAM)” (Rangaswamy, 2014).
Penelitian oleh (Rangaswamy dkk, 2012), mendukung konsep paracervical
weak zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal
akan pecah dengan hanya diperlukan 20 -50% dari kekuatan yang dibutuhkan
untuk robekan di area selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian mendukung
konsep adanya perbedaan zona selaput ketuban, khususnya zona di sekitar
serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona lainnya
seiring dengan terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan histologi.
Paracervical weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput
ketuban dan berperan sebagai initial breakpoint (Rangaswamy dkk, 2012).
Penelitian lain oleh (Reti dkk, 2007), menunjukan bahwa selaput ketuban di
daerah supraservikal menunjukan penigkatan aktivitas dari petanda protein
apoptosis yaitu cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2.
Didapatkan hasil laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien
dengan ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan
laju apopsis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks dibandingkan
daerah fundus (Reti dkk, 2007).
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui jalur
intrinsik maupun ektrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari
caspase. Jalur intrinsik dari apoptosis merupakan jalur yang dominan berperan
pada apoptosis selaput ketuban pada kehamilan aterm. Pada penelitian ini
dibuktikan bahwa terdapat perbedaan kadar yang signifikan pada Bcl-2, cleaved
caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah supraservikal, di mana protein-
protein tersebut merupakan protein yang berperan pada jalur intrinsik. Fas dan
ligannya, Fas-L yang menginisiasi apopsis jalur ekstrinsik juga ditemukan pada
seluruh sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya tidak berbeda bermakna
antara daerah supraservikal dengan distal. Diduga jalur ekstrinsik tidak
berperan banyak pada remodeling selaput ketuban (Reti dkk, 2007).
Degradasi dari jaringan kolagen matriks ektraselular dimediasi ole enzim
matriks metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini dihambat
oleh tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat menjelang
persalinan, terjadi ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix MMP dan
TIMP, penigkatan aktivitas kolagenase dan protease, penigkatan tekanan
intrauterin (Weiss,dkk. 2007).

G. Komplikasi
Adapun pengaruh KPD terhadap ibu dan janin menurut (Sunarti, 2017)
yaitu:
1. Prognosis Ibu
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada ibu yaitu infeksi
intrapartal/ dalam persalinan, infeksi puerperalis/ masa nifas, dry labour/
partus lama, perdarahan post partum, meningkatnya tindakan operatif
obstetric (khususnya SC), morbiditas dan mortalitas maternal.
2. Prognosis Janin
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada janin itu yaitu
prematuritas (sindrom distes pernapasan, hipotermia, masalah pemberian
makanan neonatal), retinopati premturit, perdarahan intraventrikular,
enterecolitis necroticing, ganggguan otak dan risiko cerebral palsy,
hiperbilirubinemia, anemia, sepsis, prolaps funiculli/ penurunan tali pusat,
hipoksia dan asfiksia sekunder pusat, prolaps uteri, persalinan lama, skor
APGAR rendah, ensefalopati, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, gagal
ginjal, distres pernapasan), dan oligohidromnion (sindrom deformitas janin,
hipoplasia paru, deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat),
morbiditas dan mortalitas perinatal (Marmi dkk, 2016).

H. Penatalaksanaan
Pastikan diagnosis terlebih dahulu kemudian tentukan umur kehamilan,
evaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin serta dalam
keadaan inpartu terdapat gawat janin. Penanganan ketuban pecah dini dilakukan
secara konservatif dan aktif, pada penanganan konservatif yaitu rawat di rumah
sakit (Prawirohardjo, 2009).
Masalah berat pada ketuban pecah dini adalah kehamilan dibawah 26
minggu karena mempertahankannya memerlukan waktu lama. Apabila sudah
mencapai berat 2000 gram dapat dipertimbangkan untuk diinduksi. Apabila
terjadi kegagalan dalam induksi makan akan disetai infeksi yang diikuti
histerektomi. Pemberian kortikosteroid dengan pertimbangan akan menambah
reseptor pematangan paru, menambah pematangan paru janin. Pemberian
batametason 12 mg dengan interval 24 jam, 12 mg tambahan, maksimum dosis
24 mg, dan masa kerjanya 2-3 hari, pemberian betakortison dapat diulang
apabila setelah satu minggu janin belum lahir. Pemberian tokolitik untuk
mengurangi kontraksi uterus dapat diberikan apabila sudah dapat dipastikan
tidak terjadi infeksi korioamninitis. Meghindari sepsis dengan pemberian
antibiotik profilaksis (Manuaba, dkk. 2008).
Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada ibu hamil aterm atau preterm
dengan atau tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. Apabila janin hidup
serta terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul lebih
tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi sujud. Dorong kepala janin
keatas degan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala janin. Tali pusat di vulva
dibungkus kain hangat yang dilapisi plastik. Apabila terdapat demam atau
dikhawatirkan terjadinya infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih dari 6
jam, makan berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta UI intramuskular dan
ampisislin 1 g peroral.
Pada kehamilan kurang 32 minggu dilakukan tindakan konservatif, yaitu
tidah baring, diberikan sedatif berupa fenobarbital 3 x 30 mg. Berikan antibiotik
selama 5 hari dan glukokortikosteroid, seperti deksametason 3 x 5 mg selama 2
hari. Berikan pula tokolisis, apanila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan. Pada
kehamilan 33-35 miggu, lakukan terapi konservatif selama 24 jam kemudian
induksi persalinan. Pada kehamilan lebih dari 36 minggu dan ada his maka
pimpin meneran dan apabila tidak ada his maka lakukan induksi persalinan.
Apabila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan pembukaan kurang dari 5 cm atau
ketuban pecah lebih dari 5 jam pembukaan kurang dari 5 cm (Sukarni, 2013).
Sedangkan untuk penanganan aktif yaitu untuk kehamilan > 37 minggu induksi
dengan oksitosin, apabila gagal lakukan seksio sesarea. Dapat diberikan
misoprostol 25µg – 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali (Khafidoh,
2014).

I. Penatalaksanaan KPD di Rumah Sakit


KPD termasuk dalam kehamilan berisiko tinggi. Kesalahan dalam
mengelolah KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas ibu maupun bayinya. Penatalaksanaan KPD masih dilema bagi
sebagian besar ahli kebidanan. Kasus KPD yang cukup bulan, jika kehamilan
segera diakhiri, maka akan akan meningkatkan insidensi secsio sesarea, dan
apabila menunggu persalinan spontan, maka akan meningkatkan insiden
chorioamnionitis (Taufan, 2011).
Kasus KPD yang kurang bulan jika menempuh cara-cara aktif harus di
pastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan jika menempuh cara koservatif
dengan maksud memberikan waktu pematangan paru, harus bisa memantau
keadaan janin dan infeksi yang akan memeperjelek prognosis janin.
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan tidak di ketahui secara
pasti segera dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk mengetahui
umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan
janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh Karena itu
pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu
yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan matang, choriamnionitis
yang diikuti dengan sepsis pada janin merupakan sebab utama meningkatnya
morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin
langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya
periode laten (Taufan, 2011).
1. Konservatif
Penanganan secara konservatif yaitu:
a. Rawat di rumah sakit.
b. Beri antibiotik: bila ketuban pecah > 6 jam berupa: Ampisilin 4x500 mg
atau gentamycin 1x 80 mg.
c. Umur kehamilan < 32-34 minggu: dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
d. Bila usia kehamilan 32-34 minggu, masih keluar air ketuban, maka usia
kehamilan 35 minggu dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan (hal
ini sangat tergantung pada kemampuan keperawatan bayi prematur).
e. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra
uterine).
f. Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru-paru janin.
2. Aktif
Penanganan secara aktif yaitu:
a. Kehamilan > 35 minggu: induksi oksitosin, bila gagal dilakukan seksio
sesarea. Cara induksi: 1 ampul syntocinon dalam dektrosa 5 %, dimulai
4 tetes sampai maksimum 40 tetes/ menit.
b. Pada keadaan CPD, letak lintang dilakukan secsio sesarea.
c. Bila ada tanda infeksi: beri antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri (Taufan, 2011).
J. Penatalaksaan KPD dengaan Asuhan Komplementer
1. Pengaruh Kombinasi Teknik Kneading Dan Relaksasi Nafas Dalam.
Merupakan asuhan komplementer yang dapat dilakukan oleh bidan
untuk mengurangi nyeri saat persalinan dengan resiko yaitu KPD (Ketuban
Pecah Dini).
Menurut penelitian Brown, Douglas & Flood (2001) dalam Rizqiana,
(2015), pada sampel 45 orang dengan menggunakan 10 metode
nonfarmakologi didapatkan bahwa relaksasi teknik pernafasan, akupresur,
dan massage merupakan teknik yang paling efektif menurunkan nyeri pada
saat persalinan.
Salah satu teknik massage yang dapat dilakukan oleh Bidan adalah
teknik kneading. Kneading adalah memijat menggunakan tekanan yang
sedang dengan sapuan yang panjang, meremas menggunakan jari-jari
tangan diatas lapisan superficial dari jaringan otot berguna membantu
mengontrol rasa sakit lokal dan meningkatkan sirkulasi (Inkeles, 2007).
Berdasarkan penelitian Faujiah, dkk (2018), mengenai Pengaruh
Kombinasi Teknik Kneading Dan Relaksasi Nafas Dalam Terhadap
Intensitas Nyeri Kala I Fase Aktif Persalinan Primigravida Di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Rajapolah Tahun 2018, menunjukan bahwa Terdapat
pengaruh kombinasi teknik kneading dan relaksasi nafas dalam terhadap
intensitas nyeri persalinan primigravida kala I Fase Aktif.
2. Rangsangan Puting Susu
Merupakan asuhan komplementer yang dapat dilakukan oleh bidan
untuk meningkatkan intensitas kontraksi ibu melahirkan. Rangsangan
puting susu dapat menstimulasi saraf sensorik yang ada pada daerah nipple
dan areola. Rangsangan ini akan meningkatkan produksi hormone oksitosin
dari neurhohipofise dalam hipotalamus. Kemudian oksitosin masuk ke
dalam aliran darah dan menyebabkan kontraksi sel miometrium pada alveoli
sehingga kontraksi menjadi kuat, dengan kontraksi uterus yang kuat maka
ibu akan mempunyai tenaga yang kuat untuk mengejan dan persalinan akan
menjadi cepat (Fitriyani et al. 2010).
Berdasarkan penelitian Lestari & Aprilia (2017), mengenai Asuhan
Kebidanan Pada Ibu Bersalin Dengan Rangsangan Puting Susu di BPM
Lilik Kustono Diwek Jombang, menunjukan bahwa setelah dilakukan
asuhan kebidanan pada ibu inpartu kala I fase aktif yang diberikan
rangsangan puting susu selama 2 menit didapat bahwa kedua pasien
mengalami penambahan intensitas kontraksi uterus. Dari 2 kali dalam 10
menit 30 detik menjadi 2 kali dalam 10 menit 50 detik. Ibu dapat bersalin
dengan normal tanpa ada komplikasi. Keadaan ibu dan bayi baik.
Penelitian juga dilakukan oleh Takahata, dkk (2018), mengenai
Pengaruh stimulasi payudara untuk meningkatkan kadar oksitosin sehingga
melancarkan persalinan normal. Penelitian ini menggunakan desain uji coba
lengan tunggal. Enam belas wanita hamil risiko rendah antara usia
kehamilan 38 dan 40 minggu dengan ibu hamil yang memiliki kehamilan
dengan letak kepala. Mereka melakukan stimulasi payudara selama 3 hari
dengan bidan di satu rumah sakit bersalin. Setiap payudara dirangsang
selama 15 menit dengan total 1 jam per hari. Rangsangan puting dilakukan
10 menit dan 15, 30, 60, 75, dan 90 menit setelah intervensi, menghasilkan
18 sampel per wanita. Hasil menunjukan bahwa Pendekatan intervensi
stimulasi payudara yang digunakan menunjukkan kelayakan sebagain
induksi persalinan yang baik dalam hal kepraktisan dan penerimaan di
antara wanita hamil.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketuban pecah dini (KPD) sering disebut dengan premature repture of the
membrane (PROM) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum
waktunya melahirkan. Penyebabnya yaitu; mayoritas pada ibu multipara, usia
ibu 20-35 tahun, umur kehamilan ≥37 minggu, pembesaran uterus normal dan
letak janin preskep. Adapun asuhan komplementer yang dapat dilakukan oleh
bidan ketika usia kehamilan aterm yaitu menggunakan asuhan rangsangan
putting susu sebagai induksi alami untuk meningkatkan intensitas kontraksi
uterus, dan untuk mengurangi nyeri yaitu dilakukan asuhan komplementer
berupa Kombinasi Teknik Kneading Dan Relaksasi Nafas Dalam.

B. Saran
Semoga lapoan pendahuluan mengenai Ketuban pecah dini (KPD) dapat
bermanfaat khususnya untuk penulis dan umumnya untuk pembaca serta
semoga dapat mendambah ilmu pengetahuan / sebagai referensi bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

BKKBN, Kemenkes, dan ICF International. 2013. Survei Demografi Kesehatan


Indonesia 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, dan ICF International.

Cunningham, dkk. 2010. Obstetri William. Jakarta. Buku Kedokteran EGC.

Depkes, R.I. 2012. Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi
Baru Lahir. http://www.gizikia.depkes.go.id/artikel/upaya-
percepatanpenurunan-angka-kematian-ibu-dan-bayi-baru-lahir-di-indonesia/.
Diakses tanggal 20 April 2020.

Fujiyarti. 2016. Hubungan Antara Usia Dan Paritas Ibu Bersalin Dengan Kejadian
Ketuban Pecah Dini Di Puskesmas PONED Cingambul Kabupaten
Majalengka Tahun 2016-2017.Vol 4: 1–9. Terdapat pada :
http://repository.poltekkes-
denpasar.ac.id/2373/9/DAFTAR%20PUSTAKA%20pdf.pdf. Diakses pada
tanggal 22 April 2020 Pukul 19.00 WIB.

Inkeles, G. 2007. Massage for a Peaceful Pregnancy: A Daily Book for New
Mother. Archata arts.

Khafidoh, Anisatun. 2014. Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Gawat
Janin dalam persalinan di Rumah akit Umum Prof. Dr. Margono. Terdapat
pada:
http://repository.ump.ac.id/5373/8/Anisatun%20Khafidoh%20COVER.pdf.
Diakses pada tanggal 22 April 2020 Pukul 18.00 WIB.

Mamede, dkk. 2012. Ingestion of causatic substance and its complications. Sao
Paulo: Med J.

Manuaba, dkk. 2008. Gawat Darurat Obstetri Ginekologo dan Obstetri Ginekologi
Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta : EGC.

Manuaba, IGB. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.

Manuaba. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta: EGC.

Marmi, dkk. 2016. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : pustaka belajar.

Norma N, Dwi. 2013. Asuhan Kebidanan : Patologi Teori dan Tinjauan Kasus.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Novihandari, Anggie. 2016. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin Dengan Kala I
Memanjang Di Ruang VK RSUD Ciamis Kabupaten Ciamis.
Nugroho, T. 2010. Buku Ajar Obstetri. Yogyakarta: Nuha Medika.

Prawirohardjo S. 2009. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: YBP-SP.

Purwaningtyas, dkk. 2017. Faktor Kejadian Anemia pada Ibu Hamil. Higea.
Semarang: Universitas Negeri Semarang

Rangaswamy et al, 2014. Weakening and Rupture of Human Fetal


MembranBiochemistry and Biomechanics. Intechopen Journal.

Sukarni. 2013. Kehamilan, Persalinan, Dan Nifas. Edisi 1. Yogyakarta : Nuha


Medika.

Sunarti. 2017. Manajemen Askeb Intranatal Pada Ny ‘R’ Gestasi 37-38 Minggu
Dengan KPD.” Ketuban Pecah Dini.

Takahata, dkk. 2018. Effects of breast stimulation for spontaneous onset of labor
on salivary oxytocin levels in low-risk pregnant women: A feasibility study.
Plose one. Tersedia di https://doi.org/10.1371/journal.pone.0192757.
Diakses pada tanggal 12 November 2019 Pukul 12.10 WIB.

Taufan, Nugroho. 2011. Buku ajar Obstetri. Yogyakarta : Nuha Medika.

Weiss,dkk 2007. The matrix metalloproteinases (MMPs) in the decidua and fetal
membranes. Front Biosci.

WHO. 2014. Maternal Mortality: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai