Anda di halaman 1dari 3

TINDAK PIDANA KORUPSI GRATIFIKASI ATAU SUAP

(STUDI KASUS PERKARA KORUPSI SAMIN TAN DAN MUARA PERANGIN-ANGIN)

Apa aitu Gratifikasi?

Menurut penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa gratifikasi
merupakan pemberian dan dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, pengobatan Cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Adapun pengecualian sekaitan dengan gratifikasi ada pada Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2021, Pasal 12C ayat (1).

Apakah sama dengan Gratifikasi? Apakah sama dengan suap?

Perlu diketahui, di negara lain juga menyatakan pemberian yang ditujukan kepada Pegawai
Negeri dan/atau Pejabat Negara juga secara otomatis merupakan Tindak Pidana Korupsi.
Namun oleh karena sifat permisif dan kebiasaan berbagi merupakan budaya beramah tamah
bangsa Indonesia, maka istilah pemberian sebagai Gratifikasi di Negara kita perlu diatur
tersendiri.

Di Indonesia sendiri telah mengelompokkan ke dalam dua kategori penerimaan Gratifikasi


yaitu Gratifikasi yang dianggap sebagai suap dan Gratifikasi yang tidak dianggap sebagai
suap. Gratifikasi yang dianggap sebagai suap apabila hal-hal yang diberikan kepada Pegawai
Negeri dan/atau Pejabat Negara yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik atau Gratifikasi
yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi suap, bilamana gratifikasi tersebut
diberikan kepada pegawai negeri / penyelenggara Negara / pejabat yang berhubungan dengan
jabatannya.

Penerimaan gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari penyelenggara
negara tersebut. Termasuk untuk mempercepat proses pelayanan atau menjamin proses
pelayanan selesai tepat waktu, atau juga untuk hal yang menentukan keputusan. Sedangkan
Gratifikasi yang tidak dianggap sebagai suap, jika hal-hal yang di berikan kepada pegawai
Negeri dan/atau pejabat Negara yang tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak bertetangan
dengan kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi.

Dalam hal gratifikasi yang tidak dianggap suap yang mana hubungan antara pemberi dan si
penerima gratifikasi biasanya diukur dengan nilai atau harga pemberiannya berdasarkan nilai
kewajaran dan kepantasan secara sosial di masyarakat.

Kedua jenis gratifikasi ini mungkin relatif mudah dimaknai namun agak sulit diterapkan. Itu
ditandai dengan fakta dan realitas yang terjadi di khalayak Pegawai Negeri bahkan sampai
kepada Pejabat Negara baik fungsional maupun stuktural.

Bagaimana Penerapan Hukum Tindak Pidana Korupsi pada peristiwa Gratifikasi?

Dengan sulitnya untuk menerapkan sebuah perbedaan tentang Gratifikasi yang dianggap
sebagai suap dengan yang tidak, Hakim Pemeriksa Perkara tidak jarang ikut kesulitan dalam
menjatuhkan putusan dalam perkara suap-menyuap. Sebagai contoh, kami melakukan
perbandingan pada 2 kasus yang menurut kami memiliki kesamaan dalam kasusnya yakni
kasus Samin Tan dan Muara Perangin-Angin.
Kedua kasus tersebut didakwakan dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi. Namun, hasil pemeriksaan
perkara dari kedua kasus tersebut berbeda.

Pada Kasus Samin Tan, Samin Tan yaitu pemilik dari PT EBLEM, diduga memberikan
sejumlah uang sebesar 5 Miliar Rupiah kepada Eni Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII
DPR dan anggota panitia kerja Minerba di Komisi VII DPR. Pemberian uang tersebut diduga
sebagai uang suap dalam pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1 (PLTU-MT RIAU-1).
Samin Tan diduga meminta bantuan sejumlah pihak, termasuk Eni Saragih, terkait
permasalahan pemutusan PKP2B Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKT dengan
Kementerian ESDM.

Eni Saragih menyanggupi permintaan bantuan Samin dengan berupaya mempengaruhi pihak
Kementerian ESDM. Bantuan yang diberikan Eni Saragih terkait penggunaan forum Rapat
Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian ESDM. Dalam proses penyelesaian tersebut,
Eni Saragih diduga meminta sejumlah uang kepada Samin, untuk keperluan Pilkada suaminya
di Kabupaten Temanggung. Samin Tan menyanggupinya dan memberikan uang senilai Rp 5
miliar dalam 2 tahap, yakni 1 Juni 2018 sebanyak Rp 4 miliar dan pemberian kedua pada 21
Juni 2018 sebanyak Rp 1 miliar. Eni Saragih yang terlebih dulu menjalani sidang. Hakim
menyatakan Eni Saragih terbukti menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural
Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo sebesar Rp 4,75 miliar, dalam beberapa tahap.
Suap diberikan agar Eni dapat membantu perusahaan Kotjo mendapatkan proyek Independent
Power Producer (IPP) PLTU Riau-1.

Eni Saragih pun terbukti telah menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha yang berkaitan
dengan mitra kerja dari Komisi VII. Total yang ia terima sebesar Rp 5,6 miliar dan SGD 40
ribu atau setara Rp 419.200.000 (SGD 1 = Rp 10.480). Salah satunya ialah Rp 5 miliar dari
Samin Tan. Putusan ini yang kemudian mendasari vonis bebas Samin Tan. Sebab, pemberian
uang dari Samin Tan itu dinyatakan sebagai gratifikasi Eni Saragih.

Dalam tuntutan, jaksa KPK meyakini Samin Tan terbukti korupsi berdasarkan Pasal 5 ayat 1
huruf a. Namun, hakim berpandangan lain terlepas dari dakwaan jaksa. Menurut hakim,
Samin Tan harus diposisikan sebagai pemberi gratifikasi. Sebab, Eni Maulani Saragih sebagai
pihak penerima uang, dijerat dengan pasal gratifikasi. Kasusnya pun sudah inkrah. Terkait
uang Rp 5 miliar yang sudah diberikan Samin Tan, jaksa menilai itu suap. Namun hakim
meyakini itu gratifikasi dengan melandaskan pada tidak adanya kewenangan Eni Saragih.

Tujuan pemberian uang dari itu adalah agar Eni Maulani Saragih mau membantu
permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di
Kalimantan Tengah. Namun, hakim menyebut bahwa Eni Maulani Saragih tidak punya
kewenangan untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017
mengenai terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara (PKP2B) untuk
perusahaan milik Samin Tan. Menurut hakim, yang berwenang adalah Menteri ESDM. Maka,
hakim tetap berkeyakinan bahwa yang terjadi ialah bentuk pemberian gratifikasi. Sehingga,
Samin Tan layak dibebaskan karena tak ada pidana bagi pemberi gratifikasi.

Kemudian pada Perkara Muara Perangin-Angin, Direktur CV Nizhami, Muara, divonis 2


tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Hakim menilai
bahwa Muara memberi suap senilai Rp 572 juta ke Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin
Angin demi mendapat paket pekerjaan di Dinas PUPR Langkat dan Disdik Langkat ke
perusahaan Muara. Muara terbukti menyuap Terbit senilai Rp 572.000.000. Uang itu
merupakan commitment fee karena dua perusahaan milik Muara yaitu CV Nizhaki dan CV
Sasaki telah memenangi tender proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) serta Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat.

Berdasarkan fakta persidangan pada Perkara Penerima Suap, Muara Perangin-Angin


menyetorkan uang kepada kakak kandung dari Bupati Langkat yaitu Iskandar Perangin-Angin
selaku Kepala Desa Balai Kasih, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat dan Kepala Dinas
PUPR menyatakan bahwa segala proses dalam kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa yang
telah dilaksanakan oleh Dinas PUPR Bupati Langkat telah dilalui oleh perusahaan milik
Muara Perangin-Angin.

Kesimpulan

Gratifikasi dan suap memiliki perbedaan namun sekilas terlihat sama (mirip tapi tak sama),
Gratifikasi adalah pemberian tidak berharap ada imbal langsung yang diterima, sedangkan
suap adalah pemberian yang dikaitkan dengan produk atau hasil yang diharapkan dari pihak
yang disuap karena jabatannya. Pemberian itu sama-sama karena jabatan sang penerima.

Anda mungkin juga menyukai