Anda di halaman 1dari 6

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), yang didukung oleh komunitas bangsa-bangsa pada

tahun 2015 sebagai peta jalan kebijakan sampai tahun 2030.

SDG menetapkan gambaran tentang dunia yang kita inginkan, dan memang yang kita butuhkan
—dunia yang bebas dari kemiskinan dan kekurangan; dunia yang lebih adil; dunia yang
menghormati batas-batas alami. Mereka mewakili “5 P” yang saling terkait,
yaitu prosperity (kemakmuran) ,people (manusia), planet, partnerships (kemitraan), dan peace (p
erdamaian).

SDG merupakan respons yang tepat terhadap tantangan besar abad ke-21, penawar yang tepat
bagi hilangnya kepercayaan terhadap berbagai institusi, dan, di beberapa negara, hilangnya
kepercayaan terhadap kerja sama global.

Namun, di sinilah kesulitannya: mengubah berbagai aspirasi ini menjadi rencana nyata akan
tidak mudah. Hal ini akan membutuhkan sifat-sifat yang mendefinisikan karakter Helen—
kepraktisan yang berpadu dengan kepatutan.

Agenda SDG adalah agenda menyeluruh. Fokus saya malam ini akan lebih terbatas—saling
melengkapi antara SDG dan mandat IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi global dan
kemakmuran ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

1. Dimensi Ekonomi

Kita lihat beberapa fakta. Lebih dari satu miliar orang telah mengangkat diri mereka keluar dari
kemiskinan ekstrem sejak tahun 1990, dalam konteks integrasi yang lebih besar. Ini adalah
pencapaian luar biasa, yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh rentang sejarah manusia.
Namun hampir 800 juta orang masih terpuruk dalam kemiskinan ekstrem hari ini.

Dalam bidang kesehatan pun, angka kematian anak telah terpangkas setengah sejak tahun 1990,
berkat andil yang tidak kecil dari pendahulu SDG, yakni Tujuan Pembangunan Milenium
(Millenium Development Goals). Namun, terlepas dari penurunan besar-besaran ini, hampir 6
juta anak masih meninggal setiap tahunnya sebelum ulang tahun mereka yang kelima—dan
dalam hampir semua kasus, intervensi medis dasar seharusnya dapat menyelamatkan hidup
mereka.
Hal yang sama pun berlaku dalam pendidikan—ada kemajuan besar, tapi masih ada pula
kesenjangan yang besar. Di Afrika Sub-Sahara, sekitar seperlima anak usia sekolah dasar tidak
bersekolah. Dan terlalu banyak dari mereka, walaupun bersekolah, tidak belajar. Di seluruh
dunia, 58 persen siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama—617 juta anak—tidak
memiliki kemampuan dasar membaca dan matematika.

Menurut UNESCO, kemiskinan dunia akan terpangkas setengahnya jika semua anak
menyelesaikan pendidikan menengah. Mengingat apa yang kita ketahui tentang masa depan
dunia kerja, bagaimana orang dapat hidup dalam ekonomi modern tanpa memiliki setidaknya
pendidikan jenjang menengah?

Secara khusus, kebutuhan pengeluaran untuk lima sektor utama—pendidikan, kesehatan, air,
sanitasi, jalan, dan listrik sangat diperlukan untuk negara-negara ekonomi baru
(emerging markets) dan negara-negara berpenghasilan rendah

mendukung SDG di negara-negara berpenghasilan rendah harus menjadi prioritas global. Ini
bukan hanya hal yang benar untuk dilakukan; ini adalah hal yang cerdas untuk dilakukan. Ini
bukan hanya soal solidaritas; ini juga demi kepentingan diri. Karena tanpa pembangunan
berkelanjutan di dalam negeri sendiri, tekanan ekonomi dan sosial yang melambung—
diperburuk oleh pertumbuhan penduduk yang cepat dan meningkatnya tekanan lingkungan—
pasti akan meluap melintasi perbatasan, termasuk melalui perpindahan massal penduduk.

Itulah sebabnya mengapa kemitraan sangat penting. Yang dibutuhkan adalah rasa tanggung
jawab bersama demi kebaikan bersama—didukung oleh perpaduan kepraktisan dan
kemanusiaan 

2. Dimensi Sosial

Ketimpangan pendapatan telah menjadi salah satu tantangan terbesar ekonomi global. Memang,
beberapa wilayah telah mengalami kemajuan luar biasa dalam mengurangi kemiskinan dan
memperluas kelas menengah selama beberapa dekade terakhir. Dan ketimpangan telah
berkurang antar negara.
Sejak tahun 1980 menikmati keuntungan lebih banyak dari pada masyarakat bawah
ketimpangan pendapatan meningkat di sebagian besar negara-negara ekonomi maju. Hal ini
sebagian disebabkan oleh teknologi, sebagian karena integrasi global, dan sebagian lagi karena
kebijakan-kebijakan yang lebih mendukung modal daripada tenaga kerja.

Masalah utama di sini adalah bahwa ketimpangan terjadi karena hanya sejumlah kecil orang
mendapatkan akses istimewa ke banyak manfaat yang diperlukan untuk dapat maju, seperti
pendidikan, budaya, atau koneksi yang tepat. Pengecualian seperti itu, menyebabkan
ketimpangan hasil (inequality of outcomes) yang berlanjut menjadi ketimpangan peluang
(inequality of opportunities), hal ini merugikan produktivitas karena merampas nilai ekonomi
dari keterampilan dan bakat dari mereka yang dikecualikan.

Lalu bagaimana dengan dimensi inklusi lainnya—kesetaraan gender?

Kenyataan yang menyedihkan adalah bahwa perempuan muda dan dewasa di seluruh dunia
setiap harinya terus menghadapi serangan terhadap martabatnya dalam bentuk diskriminasi,
pelecehan, bahkan kekerasan yang terlalu sering terjadi.

Fokus pada dimensi ekonomi sekali pun, faktanya membuat kita tertegun. Sekitar 90 persen
negara masih memiliki pembatasan hukum tertentu atas kegiatan ekonomi perempuan.

Menurut data IMF, menunjukkan bahwa banyak kisah diskriminasi perempuan ditemukan di
banyak tempat di dunia. Di Afrika Sub-Sahara, misalnya, ImF memperkirakan bahwa
menurunkan ketimpangan gender sebesar 10 ppersentase dapat mendorong pertumbuhan sebesar
2 persentase selama lima tahun. Hal ini jelas dibtuhukan untuk mendorongan pertumbuhan
SDG.

Yang indah dari hal ini adalah bahwa laki-laki tidak perlu kehilangan apa-apa. Dengan
mengikutsertakan lebih banyak perempuan, perekonomian bisa mendapatkan manfaat dari bakat,
keterampilan, perspektif dan gagasan unik mereka. Keragaman ini semestinya dapat
meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan upah bagi semua.

Bagaimana kita meningkatkan partisipasi ini? Khususnya di negara-negara berpendapatan


rendah, intervensi-intervensi penting mencakup mengurangi kesenjangan gender di bidang
kesehatan dan pendidikan, mendukung inklusi keuangan, berinvestasi pada infrastruktur, dan
memastikan adanya akses yang lebih baik terhadap air bersih dan sanitasi. Hal ini menciptakan
lingkaran kebajikan—berinvestasi dalam SDG dan mendorong pemberdayaan perempuan, yang
kemudian meletakkan dasar untuk keberhasilan SDG yang lebih luas. Di negara-negara maju,
kebijakan-kebijakan seperti cuti untuk mengurus bayi baru lahir (parental leave) dan akses
terhadap layanan penitipan anak yang terjangkau dan berkualitas tinggi dapat sangat membantu.

Dimensi penting lainnya adalah kebutuhan untuk mendorong kepemimpinan perempuan di dunia
korporasi. Sekali lagi, menurut studi IMF bahwa hal ini dapat membawa hasil yang lebih baik—
suatu studi menunjukkan bahwa menambah satu perempuan di manajemen senior atau ke dewan
direksi dapat meningkatkan tingkat pengembalian aset (ROA) sebesar 8-13 persen

Kita mengetahui bahwa semakin beragamnya pandangan dalam kepemimpinan berarti semakin
kecil kemungkinan terjebak dalam groupthink dan bias yang tidak kita sadari. Pandangan yang
semakin beragam dalam kepemimpinan akan menghasilkan pembuatan keputusan yang lebih
berhati-hati dan fokus yang lebih besar pada keberlanjutan jangka panjang

3. Dimensi Lingkungan Hidup

Beberapa bulan setelah SDG ditandatangani, bangsa-bangsa di dunia menyepakati Perjanjian


Paris dan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon—dengan tujuan untuk mencegah agar
peningkatan suhu bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industrial.

Beberapa bulan setelah SDG ditandatangani, bangsa-bangsa di dunia menyepakati Perjanjian


Paris dan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon—dengan tujuan untuk mencegah agar
peningkatan suhu bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industrial.

Menurut IMF, ada beberapa cara yang dapat dilakukan mengenai bagaimana mendorong transisi
energi ini ke depan.
Cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah mengenakan harga pada karbon. Penentuan harga
karbon memiliki banyak manfaat. Penyelenggaraannya mudah jika biaya karbon diintegrasikan
pada sistem pajak bahan bakar. Hal ini akan memberikan insentif yang tepat untuk semua
dimensi dekarbonisasi—efisiensi energi yang lebih baik, beralih dari bahan bakar fosil dalam
pembangkitan listrik, menuju elektrifikasi pada kendaraan, bangunan, dan proses-proses industri.
Hal ini dapat mengurangi tingkat polusi udara yang berbahaya. Selain itu, pajak karbon dapat
meningkatkan penerimaan hingga sekitar 1-2 persen PDB setiap tahunnya, yang dapat
dialokasikan untuk prioritas-prioritas SDG.

4. Dimensi Tata Kelola

tata kelola yang baik (good governance). Dalam arti yang sesungguhnya, tata kelola adalah
fondasi tempat akan dibangunnya segala sesuatu. Jika kelembagaan lemah, peluang bagi SDG
untuk berhasil akan sangat dicederai. Ini adalah alasan mengapa SDG menuntut adanya
“kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif pada semua tingkatan.”

Hal ini berlaku untuk semuanya—sektor pemerintah dan sektor swasta, domestik dan global. Hal
ini berlaku untuk donor dan penerima dana bantuan resmi—untuk memastikan bahwa bantuan
disalurkan secara efektif dan terbuka, menjangkau orang-orang yang benar-benar membutuhkan,
tanpa kemubaziran, pengalihan, atau duplikasi. Ini berlaku untuk perusahaan-perusahaan swasta
dan badan usaha milik negara—yakni untuk memastikan bahwa investasi mereka berlangsung
secara terbuka, dengan tata aturan yang setara, membawa manfaat bagi warga negara

Izinkan saya menyampaikan beberapa patah kata tentang korupsi, yakni wabah ekonomi dan
sosial yang sesungguhnya.

Dengan mengurangi kepercayaan dan melemahkan legitimasi lembaga-lembaga, korupsi


mempersulit negara untuk mengambil keputusan kolektif yang diperlukan untuk mencapai
kebaikan bersama.

Coba pikirkan. Jika sebagian tidak membayar kewajiban pajaknya, pemerintah tidak dapat
meningkatkan penerimaan yang diperlukan untuk prioritas-prioritas SDG. Bahkan lebih parah,
legitimasi keseluruhan sistem akan dipertanyakan. Pada saat yang sama, jika korupsi menyebar
luas, pemerintah dapat tergoda untuk membelanjakan dana pada proyek-proyek yang dapat
menghasilkan kickback, namun dengan nilai sosial yang kecil—sekali lagi, meremehkan agenda
SDG.

Ini baru dari sisi sektor publik. Kita juga memerlukan sektor swasta yang berinvestasi pada
proyek-proyek berjangka panjang, berkelanjutan yang mendukung SDG. Namun mereka tidak
akan mungkin dapat melakukannya jika dipaksa untuk membayar “pajak korupsi.” Risiko-risiko
dan ketidakpastian sesungguhnya yang menyertai keputusan investasi apa pun akan menjadi jauh
lebih besar dengan adanya korupsi

Sektor swasta tentu saja tidak selalu menjadi korban yang tidak bersalah. Perusahaan dan
investor terkadang terlalu mudah tergoda untuk menawarkan suap. Sektor-sektor keuangan juga
terkadang terlalu bersedia untuk menerima uang kotor.

Maka tidak mengejutkan bahwa riset IMF telah menemukan bahwa korupsi dan tata kelola yang
lemah berhubungan dengan pertumbuhan, investasi, dan perolehan penerimaan pajak yang lebih
rendah—mengakibatkan ketimpangan dan eksklusi sosial yang tinggi.

Lalu apa solusinya? Penegakan hukum pidana, tentu saja, adalah penting. Namun penegakan
hukum saja tidaklah cukup. Bukti kami menunjukkan bahwa inisiatif-inisiatif anti korupsi yang
berhasil berkembang dari reformasi-reformasi kelembagaan yang menekankan keterbukaan dan
akuntabilitas—misalnya, dengan membuka semua aspek terkait anggaran pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai