Anda di halaman 1dari 16

Latar Belakang masalah

Menjelang berakhirnya tahun 2013 secara tiba-tiba publik dihebohkan oleh


pemberitaan media yang melibatkan Ratu Atut Chosiyah selakuGubernurBanten.
Gubernur perempuan pertama di Indonesia yang memimpin provinsi paling barat
Pulau Jawa ini menurutKetua KPK Abraham Samad diindikasikan terlibat dalam
kasus dugaan suap terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak dan korupsi
pengadaan alat kesehatan Provinsi Banten.Atut dijerat dengan pasal 6 ayat 1 Huruf a
UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1
nomor1KUHP.Ratu Atut dinyatakan secara bersama-sama atau turut serta dengan
tersangka Tubagus Chaeri Wardana dalam kasus penyuapan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Muchtar (https://www.liputan6.com/news/read/777385/kisah-
kejatuhan-ratu-atut, di akses 16 April 2021)

Secara prinsip, kasus yang proses hukumnya masih berlangsung sampai saat
ini merupakan murni pelanggaran hukum. Namun, persoalannya menjadi berbeda
terkait dengan posisi Atut yang jugasebagai kader Partai Golkar. Adalah fakta yang
tidak bisa dinafikkan bahwa partai berlambang pohon beringin tersebut bersama-
sama PDIP merupakan partai pendukung dan pengusung yang mengantarkan Atut
menjadi pemenang pada Pilkada Banten periode 2012- 2017.Imbasnya, ruang
perdebatan yang semula hanya berada di ranah hukum, mau tidak mau harus
merambah ke wilayah politik. Hal inilah yang menjadikan kasus Atut sebagai bahan
penelitian yang menarik. ………………………………..( bisa dilanjutkan, bila
perlu)

Rumusan MAsalah

a. Bagaimana Korupsi yang melibatkan Ratu Atut Chosiyah bisa terjadi?


b……………………………………………………( bisa ditambahkan bila perlu)
c………………………………………………….( bisa ditambhkan bila perlu)

Tujuan Penelitan ( bila perlu)

……………………………………………………….

Metode Penelitian ( bila Perlu)

…………………………………………………………..

Teori yang mau dipakai

a……………………….

b………………………

c……………………
Pembahasan:

Skema Korupsi Ratu Atut

Dinasti politik dan dinasti ekonomi yang dikuasai Ratu Atut di Banten
membuatnya leluasa untuk melakukan konsolidasi dalam berbagai lapisan dinas atau
lembaga untuk melancarkan tindakan kecurangan misalnya dalam proyek-proyek
yang didanai APBD seperti pengadaan alat kesehatan. Berbagai posisi strategis di
Provinsi Banten dikuasai oleh keluarga Ratu Atut mulai dari organisasi-organisasi
masyarakat, forum, dan bahkan jabatan di pemerintahan. Berikut ini adalah beberapa
orang yang menduduki jabatan penting di pemerintahan di wilayah Provinsi Banten
yaitu (Sumber : https://nasional.kontan.co.id/news/keluarga-atut-jabatan-kami-
peroleh-sesuai-aturan, dikutip 16 April 2021):

1. Ratu Atut Chosiyah menjabat sebagai PLT Gubernur Banten


2. Saudara Kandung Ratu Atut:
a. Ratut Tatu Chasanah menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Serang
(2010- 2015)
b. Tubagus Chaeri Wardana menjabat sebagai Ketua KADIN Banten. Istrinya
Airin Rachmi Diany menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan (2011-
2016)
c. Tubagus Haerul Jaman menjabar sebagai Wakil Wali Kota Serang (2008-
2013)
d. Ratu Lilis Karyawati menjabat sebagai Wakil Ketua DPD Golkar Kota Serang
(2009-2014). Suaminya Aden Abdul Kaleq menjabat sebagai anggota DPRD
Banten (2009-2014)
e. Andika Hazrumy menjabat sebagai anggota DPD RI Dapil Banten (2009-
2014) serta menjadi direktur utama di berbagai perusahaan. Istrinya ade
Khoerunisa menjabat sebagai anggota DPRD Kota Serang (2009-2014)
Orang-orang yang bekerja di Pemerintah Provinsi Banten berlatarbelakang
yang hampir sama yaitu sebagai orang yang terindikasi terlibat berbagai kasus
korupsi yang ada di Jawa Barat. Orang-orang itu lalu dibawa oleh ayah Ratu Atut,
Chasan Sochib untuk menjadi pejabat di berbagai dinas di Banten. Hal itu dilakukan
untuk mempermudah langkah Chasan Sochib dalam memenangkan proyek
pengadaan yang ada di Pemerintah Provinsi Banten, Chasan Sochib sendiri memiliki
latar belakang yang erat kaitannya dengan kekerasan dan dikenal sangat dekat dengan
tentara.

Selain itu, Chasan Sochib juga merupakan salah satu pelopor berdirinya
Banten ketika memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat sehingga ia cukup di segani
di kalangan pejabat Banten. Karakteristik orang-orang yang dibawa Chasan Sochib
itu juga pada akhirnya menambah celah untuk dapat melakukan kecurangan dalam
proyek pengadaan bukan hanya masalah pengadaan alat kesehatan, namun juga di
berbagai kasus pengadaan APBD lainnya (Sumber : A Satunews).

Gaya hidup dan latar belakang Ratu Atut kemudian mendorong Ratu Atut
untuk melakukan tindakan kecurangan dalam berbagai proyek termasuk proyek
pengadaan alat kesehatan ini. Latar belakang Ratu Atut yang pernah mengalami saat-
saat susah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan Chasan Sochib yang
menghalalkan segala cara dalam menafkahi keluarganya kemudian terbawa ke dalam
karakteristik Ratu Atut dan saudaranya yang juga menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Karakteristik negatif tersebut kemudian juga dipicu
dengan gaya hidup Ratu Atut yang serba mewah dan kemudian melihat kesempatan
yang begitu besar untuk melakukan kecurangan (Sumber : A Satunews).

Kesempatan yang ada digunakan Ratu Atut dan keluarganya untuk kemudian
mengkonsolidasikan kekuatan yang mereka miliki dengan memberikan uang, atau
komisi lainnya. Posisi Ratu Atut sebagai Gubernur Banten dan Tubagus Chaeri
Wardana yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua KADIN Banten kemudian
digunakan untuk melakukan kolusi dalam pengadaan alat kesehatan.

Mekanisme kolusi antar elemen pemerintah, pengusaha, dan pegawai itu


kemudian membuat kasus kecurangan ini bisa dilaksanakan terus-menerus mengingat
semua elemen sudah terafiliasi maupun sudah dikondisikan untuk melancarkan
kecurangan tersebut. Selain itu, mereka juga akan melakukan kekerasan terhadap
siapapun yang mencoba untuk melawan mereka misalnya ketika ada perusahaan di
luar dinasti Ratu Atut yang memenangkan proyek, maka mereka akan melakukan
teror agar perusahaan itu mengundurkan diri atau KADIN akan melakukan intervensi.

Sebenarnya, banyaknya kasus korupsi timbul akibat terjadi desentralisasi


kekuasaan sebagai dampak Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan
pemerintah daerah untuk merencanakan, mengatur, dan mengelola daerahnya sendiri.
Kondisi itu membuat banyak orang memakai partai politik sebagai alat mobilitas
mereka untuk masuk ke dalam pemerintahan yang membutuhkan dana besar untuk
proses kampanye, maupun biaya lain untuk menduduki jabatan tertentu dalam partai
maupun di pemerintahan.

Ketika mereka sudah menduduki jabatan itu, mereka masih harus dibebani
dengan setoran-setoran dalam jumlah besar pada partai pengusungnya (Sumber ;
Korupsi di Indonesia). Padahal, jumlah biaya kampanye dan setoran tersebut,
berbanding terbalik dengan pendapatan yang mereka peroleh. Namun, celah Otonomi
Daerah membuat mereka memiliki akses mudah untuk masuk dan melakukan
kecurangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Kondisi itu berbanding terbalik
ketika Orde Baru masih berkuasa karena kekuasaan sepenuhnya dimiliki oleh
pemerintah pusat sehingga pengawasan dapat dilakukan lebih mudah.
Dalam proses pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten dan Kota Tangerang
Selatan sebenarnya ditemukan banyak temuan terkait barang yang diterima
yaitu (Sumber : Bongkar Perkara Kasus Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan):

1. Pengelembungan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belanja


barang/alat kesehatan sebesar Rp 16,004 miliar. Hal ini terjadi pada
pengadaan 13 kegiatan pengadaan alat kesehatan senilai (HPS) sebesar Rp
123,012 miliar.
2. Pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan tidak sesuai ketentuan sebesar
Rp 30,257 miliar.
a. Dinas Kesehatan Provinsi Banten TA 2012 menganggarkan pengadaan
sarana dan prasarana RS Rujukan Provinsi Banten serta peningkatan
pelayanan kesehatan rumah sakit dan Laboratorium Daerah sebesar Rp
146.273.229.360 dengan realisasi sebesar Rp 145.219.079.000. Kegiatan
pengadaan tersebut terbadi dalam 19 paket pengadaan.
b. Dari sampling yang dilakukan oleh BPK pada 13 paket senilai Rp 119,082
miliar ditemukan sebagai berikut :
1) Alat kesehatan tidak lengkap dengan nilai total sebesar Rp 5,724 miliar terjadi
pada 7 paket pengadaan
2) Alat kesehatan tidak sesuai dengan spesifikasi pada kontrak dengan nilai total
sebesar Rp 6,393 miliar.
3. Dari 13 pengadaan yang telah dilakukan pemeriksaan fisik diketahui antara lain
terdapat 9 pengadaan alat kesehatan yang spesifikasi tidak sesuai dengan kontrak

4. Alat Kesehatan Tidak Ada Saat Pemeriksaan Fisik dengan Nilai Total Sebesar
Rp 18,139 miliar yang dimenangkan oleh:

a. PT ADCA Mandiri seniai Rp 1,3 miliar

b. PT Marbago Duta Persada senilai Rp 5,1 miliar


c. PT Waliman Nugraha Jaya senilai Rp 3,6 miliar

d. CV Bina Sadata senilai Rp 7,9 miliar

sumber: www.antikorupsi.org
Dugaan Kerugian Negara Pengadaan Alkes
TA 2012 oleh Perusahaan “Kroni Atut”
Dugaan Kerugian Negara Pengadaaan Alkes Prov Banten & Kota Tangerang Selatan TA 2012
No Rekanan Pov Banten (Rp) Kota Tangsel (Rp) Total
1 PT. ADCA MANDIRI 4.190.761.000 497.546.733 4.688.307.733
2 PT. BUANA WARDANA UTAMA 1.818.363.100 1.818.363.100
3 CV. BINA SADAYA 17.771.184.360 1.402.874.933 19.174.059.293
4 PT. MIKKINDO ADIGUNA PRATAMA 6.233.134.233 5.068.424.828 11.301.559.061
5 PT. MARBAGO DUTA PERSADA 11.950.882.442 494.650.533 12.445.532.975
6 PT. WALIMAN NUGRAHA JAYA 6.815.629.867 6.815.629.867
7 CV. RADEFA 253.969.967 253.969.967
8 PT. DINI USAHA MANDIRI 642.730.733 642.730.733
9 3 paket Alkes Tangsel (pelaksana tdk 3.180.360.344
diketahui)
T 48.779.955.002 12.389.981.895 61.169.936.897
O
T
A
L

sumber: www.antikorupsi.org

Berdasarkan Hasil Audit BPK terhadap LK dan Belanja APBD Prov Banten dan Kota
Tangsel TA 2012, total dugaan Kerugian negara pada pengadaan alkes senilai Rp
61,169 miliar yang tersebar perusahaan yang diduga merupakan kroni Atut. Dengan
rincian sebagai berikut :

1. Dari total Rp 61,169 miliar dugaan kerugian negara pengadaan alkes TA 2012
hasil audit BPK terbagi menjadi; Rp 48,779 miliar pengadaan alkes pada Prov
Banten dan Rp 12,389 miliar pada Kota Tangerang Selatan.

2. Kemudian dari 8 perusahaan pemenang pengadaan Alkes nilai dugaan


kerugian negara terbesar diantaranya :
a.CV Bina Sadaya dengan total dugaan kerugian negara sebesar Rp 19,174 miliar

b. PT Marbago Duta Persada, dugaan kerugian negara sebesar Rp 12,445 miliar

c. PT Mikkindo Adiguna Pratama, dugaan kerugian negara sebesar Rp 11,301 miliar.

Penetapan Atut sebagai Tersangka Diharapkan Bongkar Segala


Penyelewengan di Banten

Pasca penetapan Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka oleh KPK, respawn public
terhadap masalah tersebut bermacam- macam. Harapan publik, dengan status
barunya supaya permasalhan yang ada dapat diselesaikan dengan tuntas

“Gebrakan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Banten


Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di
Provinsi Banten diharapkan mampu membuka semua penyelewengan yang terjadi
di Banten.” (https://kabar24.bisnis.com/read/20131218/16/193057/ratu-atut-
tersangka-korupsi-bongkar-seluruh-penyelewengan, dikutip 15 April 2021)

Melalui lead ini, pihak redaksi hendak mengatakan bahwa penetapan Gubernur
perempuan pertama di Indonesia tersebut sebagai tersangka, setidaknya merupakan
pintu masuk untuk membongkar dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di
Provinsi Banten yang selama ini menjadi perbincangan publik.

Masyarakat Banten Dianggap Tak Bahagia karena Dinasti Atut

Berita Metrotvnews.com tanggal 21 Desmber 2013 membahas tentang bagaimana


publik mempersepsikan secara negatif Ratu Atut selama memimpin Provinsi Banten.

“Ungkapan kebahagiaan ditampilkan publik ketika Atut ditahan. Selama ini


mereka tidak dapat mengungkapkan kegirangannya terhadap praktek rente.
Menurutnya, masyarakat menilai Atut tak memihak mereka. Pemerintah Banten
mengklaim madiri secara fiskal. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.“Tidak
berpihak kepada rakyat” Adanya kesenjangan di Provinsi Banten. “Banten
Selatan itu tertinggal. Sebagian besar jalannya saja rusak” (metrotvnews.com
21 Desember 2013)

Istilah praktek rente (riba) dalam kontek ini ditujukan pada dinasti rente keluarga
Atut, dengan demokrasi sebagai lahan rentenya. dinasti politik bukan ancaman,
selama meritokrasi selalu dikedepankan, kompetisi yang adil di pasar politik tercipta.
Tetapi tidak sebaliknya, ketika pasar politik berbentuk oligopoli, di mana rekam
jejak, integritas, dan kompetensi diabaikan. Kekuatan material dan hubungan darah
diprioritaskan. Ketika perilaku rent-seeking di pasar politik terjadi dengan masif,
lahirlah dinasti rente yang membajak semua anggaran publik di bawah kuasa mereka.

Di Banten, praktek dinasti rente yang secara operasional dikendalikan oleh satu orang
inilah yang menyebabkan buruknya fakta sosial-ekonomi. Perilaku rente dengan
membajak APBD Provinsi Banten menyebabkan hak-hak publik dikorbankan.
Kekuatan legislatif, yang seharusnya menjadi pengawas, justru menjadi bagian besar
dari dinasti rente ini. Hampir semua kekuatan partai politik di Banten, baik yang
berada di DPRD maupun yang di luar, dikuasai oleh dinasti rente ini. Dinasti ini tak
hanya menguasai Partai Golkar Banten. Sejatinya, mereka juga menguasai partai-
partai politik lainnya di Banten, terutama politikus yang berada di DPRD, sehingga
checks and balances secara formal tidak hadir.
(https://koran.tempo.co/amp/opini/326850/dinasti-rente-gubernur-atut, dikutip 16
April 2021)

.
Perempuan Kok Korupsi

Dalam pemberitaan Ratu Atut yang berbeda dengan Malinda Dee, kiprah Ratu Atut
Chosiyah akan jabatannya sebagai gubernur perempuan pertama kian jadi sorotan,
seperti terlihat dalam berita berikut ini.

“ Ratu Atut Chosiyah tercatat sebagai gubernur perempuan pertama di


Indonesia. Namun, kini Atut sedang goyah, dinastinya tersandung
KPK.

Adik kandung Atut, Tubagus Wawan, menjadi tersangka kasus


korupsi sengketa Pilkada Lebak, Banten, bersama Ketua MK Akil
Mochtar. Atut ikut dicegah KPK karena dugaan kasus Pilkada kisaran
tahun 2011-2013. Atut yang sudah duduk di kursi Banten-1 sejak
tahun 2006 pun kini menghadapi pemeriksaan KPK.

"Atut ini tadinya menjadi kebanggan kita karena dia gubernur


perempuan pertama di Indonesia. Atut sekarang dicegah KPK, ini
menunjukkan bahwa perempuan pun bisa tersandung korupsi, malah
dalam posisi yang sentral,"
(https://news.detik.com/berita/d-2443998/ratu-atut-gubernur-perempuan-
pertama-yang-menjadi-tersangka-kpk, dikutip 16 April 2021)

Kalimat yang menyatakan bahwa perempuan pun bisa tersandung korupsi seolah
menyatakan bahwa perempuan tidak layak melakukan korupsi, atau istilah lainnya
“perempuan kok korupsi”. Perempuan dinilai sebagai pribadi yang memiliki budi
pekerti yang baik, jujur, lebih mengutamakan perasaan, dan berbagai sifat yang
dilekatkan pada perempuan sehingga secara “natural” dianggap berkontribusi besar
atas penanaman nilai moral bagi keluarga dan masyarakat. Ini adalah stereotip yang
terbangun di masyarakat. Padahal, korupsi adalah perbuatan yang tidak pantas bagi
laki-laki maupun perempuan.

Hal ini juga menegaskan seolah laki-laki tidak ada masalah melakukan korupsi atau
sudah merupakan suatu hal yang biasa dan dapat dimaklumi. Berbeda dengan
perempuan. Pandangan ini tentu saja mengarah pada opini seksis yang merugikan
kaum perempuan.

Memahami Korupsi dengan Perspektif Gender

Pemahaman berbasis gender dalam upaya mencegah dan memerangi korupsi masih
sering diabaikan. Korupsi seringkali dilihat sebagai persoalan netral gender yang
tidak memiliki implikasi berbeda bagi perempuan dan laki-laki. Kenyataannya,
Laporan Ketimpangan Gender Tahun 2017 yang dikeluarkan oleh World Economic
Forum menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-84 dari 144 negara
dalam hal kesetaraan gender.   Oleh karenanya, korupsi tidak seharusnya dilihat
sebagai persoalan yang netral gender karena ketimpangan gender mengkondisikan
interaksi dan kerentanan yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki.
 
Relasi Gender yang Tidak Setara dan Korupsi
Perempuan dan laki-laki menjalankan peran, berkebutuhan, dan menghadapi
tantangan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, peran gender dibedakan dari peran
biologis meskipun keduanya seringkali berkelindan. Seperti dalam kaitannya dengan
peran biologis perempuan untuk bereproduksi melahirkan anak, maka peran gender
yang mereka jalani seringkali erat kaitannya dengan pengasuhan anak dan
pengurusan rumah tangga dengan penggantian peran yang lebih banyak dan lebih
cepat daripada laki-laki (dari istri, ibu, anak perempuan orang tuanya, pekerja rumah
tangga, dan lain-lain).
 
Pada saat yang sama, laki-laki lebih bertanggungjawab atas pekerjaan yang bersifat
publik seperti pekerjaan ekonomi maupun politik dengan penghargaan sosial dan
material yang umumnya lebih besar dari kerja domestik perempuan. Peran gender ini
lah yang sangat mempengaruhi pembagian kerja, relasi kuasa, akses terhadap sumber
daya, penerima manfaat, akses terhadap informasi, dan pengambilan keputusan antara
perempuan dan laki-laki.
 
Dalam konteks relasi kuasa yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan,
seringkali perempuan rentan menjadi korban, termasuk dalam kasus korupsi. Contoh
yang paling mudah dilihat adalah dalam kasus gratifikasi seksual. Ada ketimpangan
relasi kuasa antara pemberi gratifikasi dengan penerima gratifikasi sehingga muncul
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam kasus gratifikasi seksual, penyalahgunaan
kekuasaan menjadikan tubuh perempuan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan
kepentingan politik, ekonomi, maupun kepentingan lain. Perempuan menjadi obyek
seks dan pada banyak kasus, perempuan yang terlibat sebetulnya adalah korban.
 
Baik perempuan yang dijadikan objek dalam gratifikasi seksual maupun istri dari
pejabat yang menerima dan mendapatkan layanan gratfifikasi tersebut sama-sama
rentan terhadap pemberitaan media. Perempuan yang menjadi objek gratifikasi
mendapatkan sorotan yang intens oleh media. Padahal, bisa jadi perempuan tersebut
juga adalah korban perdagangan orang ataupun korban eksploitasi seksual.
 
 
Ketidakadilan Gender dan Korupsi
Pola hubungan yang tidak adil atau diskriminatif atas dasar jenis kelamin atau disebut
dengan ketidakadilan gender juga memberi dampak yang berbeda bagi perempuan
dan laki-laki dalam kasus korupsi. Secara khusus, perempuan lebih rentan menjadi
korban maupun pelaku dari petty corruption atau korupsi sehari-hari terkait dengan
peran gendernya yang menuntut mereka untuk lebih berinteraksi dengan sektor
penyedia layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Dalam definisi Hossain,
Celestine, & Jessica, petty corruption merujuk pada korupsi yang terjadi di tingkatan
implementasi program/kebijakan saat masyarakat bertemu langsung dengan pegawai
negara dan seringkali berwujud penyuapan. 
 .
 
Ketidakadilan gender juga memunculkan sanksi ganda bagi perempuan yang terlibat
kasus korupsi. Selain menerima sanksi hukum, perempuan yang secara sosial tidak
diharapkan melakukan penyimpangan, akan pula mendapatkan sanksi sosial berupa
pelabelan. Hal ini dapat terlihat pada pemberitaan media yang seringkali bias gender
dimana kehidupan pribadi dan gaya hidup perempuan pelaku tindak korupsi maupun
perempuan terlibat korupsi akan menjadi bahasan utama dibandingkan tindakan
korupsi yang dilakukan.

……………………………………………………..( bisa ditambahkan bila perlu)

Mau ditambakan politik dinasti juga boleh

……………………………….

Simpulan

………

Saran
………………..

Sumber Bacaaan:
http://news.detik.com/read/2013/ratu-atut-gubernur-perempuan- pertama-yang-
menjadi-tersangka-kpk,

Snivelly, A; dkk. 2014. Kisah Ratu Atut di (Bukan) Negri Dongeng. ASatunews Ed.
II (Oktober November). Hal 14-15.
Winoto. (2013). Kisah Atut di Bukan Negeri Dongeng. A Satunews Ed. II
Oktober- November. Jakarta
https://nasional.kontan.co.id/news/keluarga-atut-jabatan-kami-peroleh-sesuai-aturan

https://koran.tempo.co/amp/opini/326850/dinasti-rente-gubernur-atut,

https://news.detik.com/berita/d-2443998/ratu-atut-gubernur-perempuan-pertama-yang-
menjadi-tersangka-kpk

https://kabar24.bisnis.com/read/20131218/16/193057/ratu-atut-tersangka-korupsi-
bongkar-seluruh-penyelewengan,

https://nasional.kontan.co.id/news/keluarga-atut-jabatan-kami-peroleh-sesuai-aturan,

https://www.liputan6.com/news/read/777385/kisah-kejatuhan-ratu-atut

Anda mungkin juga menyukai