search
23 MEI 2022
visibility 2663
Biaya sosial korupsi bisa diartikan sebagai dampak kerugian dari perilaku korupsi
yang membebani keuangan negara. Dampak ini timbul bukan hanya sebatas
nominal uang yang dikorupsi, tapi segala biaya yang harus dibayar negara karena
perilaku korupsi tersebut. Biaya ini termasuk ongkos pencegahan korupsi, proses
hukum pelaku korupsi mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan,
bahkan biaya untuk menghidupi koruptor di penjara.
Dalam buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi yang dirilis KPK, biaya
sosial korupsi dapat dihitung dengan melihat komponen di dalamnya. Dalam
metodologi Brand and Price, penghitungan biaya sosial dapat diukur dari tiga unsur,
yaitu biaya antisipasi, biaya akibat, dan biaya reaksi.
tang Kami Program Pustaka Aksi & Informasi Kuis Jadwal
search
Biaya Antisipasi terhadap Korupsi adalah besaran biaya yang dikeluarkan negara
untuk mengantisipasi dan mencegah korupsi. Contohnya, ketika korupsi telah
menjadi endemik di sebuah negara, maka pemerintahan negara itu akan
mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut, dan ini membutuhkan biaya
yang tidak sedikit.
Biaya akibat Korupsi adalah biaya dari kerugian yang ditanggung masyarakat akibat
korupsi, contohnya dampak sosial ekonomi, dampak investasi, dan yang lainnya.
Biaya ini dibagi menjadi dua, yaitu eksplisit dan implisit. Biaya eksplisit adalah
kerugian akibat korupsi yang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sedangkan implisit
adalah nilai kerugian yang dihitung akibat efek domino dari korupsi tersebut.
Termasuk dalam biaya implisit adalah berapa banyak pengaruhnya terhadap
investasi sampai ekonomi makro.
Harga yang harus dibayar koruptor atas kejahatan mereka ternyata tidak setimpal
dengan nilai kerugian yang dialami oleh masyarakat. Catatan KPK, dalam rentang
2001-2012 kerugian eksplisit akibat korupsi oleh 1.842 koruptor mencapai Rp168
triliun. Sementara hukuman final terhadap para koruptor hanya menghasilkan
jumlah tuntutan Rp15 triliun. Lantas, siapa yang menanggung selisih Rp153 triliun?
Tentu saja rakyat.
Biaya sosial yang muncul dalam kasus korupsi adalah tanggungan negara, yang
sudah pasti uangnya berasal dari pajak rakyat. Pajak yang seharusnya bisa untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat malah digunakan untuk mengurusi korupsi dan
mensubsidi kerugian akibat korupsi. Hukuman yang diberikan kepada koruptor juga
kerap dianggap tidak setimpal dan tidak memberi efek jera, di sinilah ketidakadilan
dirasakan oleh rakyat.
Atas kondisi ini, muncullah ide untuk memasukkan pembebanan biaya sosial
korupsi tersebut sebagai bagian pemidanaan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
o ups te sebut sebaga bag a pe da aa epada pe a u t da p da a o ups
Bentuknya, melalui revisi Pasal 2 dan 3 yakni mengenai Pemidanaan pada UU
tang Kami Nomor Program
31 Tahun 1999Pustaka
junto UU No.20Aksi
tahun& 2001.
Informasi Kuis Jadwal
search
Cara lainnya adalah mengambil semua aset dan harta hasil korupsi untuk
"memiskinkan para koruptor". Cara ini digunakan selain membayar biaya sosial
korupsi, juga dianggap lebih memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dibanding
dipenjara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo dalam sebuah
wawancara media mengatakan ada dua landasan hukum untuk memiskinkan
koruptor, yaitu UU Pencucian Uang dan RUU Perampasan Aset. Pemiskinan
koruptor ini, kata Adnan, adalah aspirasi rakyat yang seharusnya ditindaklanjuti
dengan serius oleh penegak hukum. Tapi pada kenyataannya, kata dia, berbagai
alasan muncul sehingga cara ini tidak dilakukan.