Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI

2. 1 Kesalahan Manusia (Human Erorr)

Human Error didefinisikan sebagai kekgagalan dalam


mengerjakan suatu tugas atau pekejaan yang spesifik (atau melakukan
tindakan yang tidak dianjurkan) sehingga dapat menimbulkan gangguan
terhadap jadwal operasi atau mengakibakan kerusakan benda atau alat.
Pengukuran kinerja atau keandalan manusia sangat penting untuk
dilakukan dengan tujuan dapat mengurangi tingkat kesalahan kerja. Oleh
karena itu, tingkat keandalan manusia (Human Reliability) perlu
diprehitungkan untuk mengurangi tingkat kesalahan kerja yang mungkin
terjadi pada operator ketika melakukan aktivitas. Sanders & McCormick,
(1992) dalam Hardianto, Iridiastadi & Yassierli, (2014) mendefinisikan
kesalahan manusia (Human Error) sebagai tindakan atau perilaku
manusia yang kurang sesuai atau tidak diinginkan sehingga menyebabkan
penurunan efektivitas.

2.2 Kecelakaan kerja

Penyebab terjadinya kecelakaan kerja dikategorikan menjadi dua yaitu:

1. Kecelakkaan kerja yang disebabkan dari tindakan manusia yang tidak


melakukan penyelamatan atau tidak mengikuti prosedur operasional.
Contohnya, penggunaan peralatan pelindung diri, pakaian kerja,
falsafah perusahaan, dan lain-lain.
2. Kecelakaan kerja yang disebabkan oleh keadaan lingkungan kerja
yang tidak aman. Contohnya, penerangan, sirkulasi udara, temperatur,
kebisingan, getaran, penggunaan indikator warna, tanda peringatan,
sistem upah, jadwal kerja, dan lain-lain (Rika Ampuh Hadiguna,
2009).

4
5

2.3 Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan


agar tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik
fisik, mental maupun sosial (Lalu Husni, 2005). Selain itu, kesehatan
kerja menunjuk pada kondisi fisik, mental dan stabilitas emosi secara
umum dengan tujuan meemelihara kesejahteraan individu secara
menyeluruh (Malthis dan Jackson, 2002). Sedangkan menurut Prabu
Mangkunegara (2001) pengertian kesehatan kerja adalah kondisi bebas
dari gangguan fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan
lingkungn kerja. Kesehatan dalam rungan lingkup keeslamatan dan
kesehatan kerja tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari
penyakit. Menurut Undang-undang pokok kesehatan RI No. 9 Tahun
1960, Bab I Pasal 2, keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnan yang
meliputi keadaan jasmani, rohani dan kemasyarakatn, dan buka hanya
keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan-kelemahan
lainnya.

Menurut Veithzal Rivai (2003) pemantauan kesehatan


kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Mengurangi timbulnya penyakit.


Pada umumnya perisahaan sulit mengembangkan strategi
untuk mengurangi timbulnya penyakit-penyakit, karena
hubungan sebab-akibat antara lingkungan fisik dengan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan sering
kabur. Padahal, penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan jauh lebih merugikan, baik lagi perusahaan maupun
pekerja.
2. Penyimpanan catatan tentang lingkunagn kerja.
Mewajibkan perusahaan untuk setidak-tidaknya melakukan
pemeriksaan terhadap kadar bahan kimia yang terdapat dalam
lingkunagn pekerjaan dan menyipan catatan mengenai
6

informasi terinci tersebut. Catatan ini juga harus


mencantumkan informasi tentang penyakit-penyakit yang
dapat ditimbulakn dan jarak yang aman dan pengaruh
berbahaya bahan-bahan tersebut.
3. Memantau kontak langsung.
Pendekatan yang pertama dalam mengendalikan penyalkit-
penyakit yang berhubuungan dengan pekerjaan adalah dengan
membebaskan tempat kerja dari bahan-bahan kimia atau racun.
Satu pendekatan alternatifnya adalah dengan membantu dan
membatasi kontak langsung terhadap zat-zat berbahaya.
4. Penyaringan genetik.
Penyaringan genetik adalah pendekatan untuk mengendalikan
penyakit-penyakit yang paling ekstrim, sehingga sangan
kontroversial. Dengan menggunakan uji genetik untuk
menyaring individu-individu yang rentan terhadap penyakit-
penyakit tertentu, perusahan dapat mengurangi kemungkinan
untuk menghadapi klaim kompensasi dan masalah-masalah
yang terkait dengan hal itu.
2.4 Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja adalah membuat kondisi kerja yang aman
dengan dilengkapi alat-alat pengaman, penerangan yang baik, menjaga
lantai dan tangga bebas dari air, minyak, nyamuk dan memelihara fasilitas
air yang baik (Tulus Agus, 1989). Menurut Malthis dan Jackson (2002),
keselamatan kerja menunjuk pada perlindunagn kesejahteran fisik dengan
tujuan mencegah terjadinya kecelakaan atau cedera terkait dengan
pekerjaan. Pendapat lain menyebutkan bahwa keselamatn kerja kerja
melalui persiapan prosedur operasi standar yang menjadi acuan dalam
bekerja (Rika Ampuh Hadiguna, 2009).
2.5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja menurut Novianto (2014),
merupakan suatu upaya yang dilakukan perusahaan untuk menekan atau
7

melindungi reisko kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang ditujukan


untuk masing-masing orang yang bekerja dan atau berada dalam
lingkungan pekerjaan. Perlindungan tenaga kerja ini sesuai dengan
Undang-undang RI No. 25 Tahun 1997 dan Undang-undang RI No. 13
Tahun 2003 yang harus dilaksanakan dalam menjalankn proses produksi
diperushaan. Untuk itu perusahaan perlu memperhatikan pengelolaan
sumber daya manusia yang dimilikinya, agar mampu tercapai tujuan
perusahan yang efektif, efisien dan maksimal. Dengan melakukan usaha-
usaha serta memberikan perlindnugan keselamatan dan kesehatan kerja
ini, setiap pekerja dapat terhindar dari kecelakaan dan sakit akibat kerja
yang dapat terjadi.
2.6 Unsur dan Prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Untuk dapat menciptakan kondisi yang aman dan sehat dalam
suatu pekerjaan diperlukan unsur-unsur dan prinsip-prinsip keselamatan
dan kesehatan kerja. Adapun unsurnya adalah sebagai berikut menurut
Sutrisno dan Ruswandi (2007:5):
1. Adanya APD (alat pelindung diri) ditempat kerja.
2. Adanya nuku petunjuk penggunaan alat dan isyarat bahaya.
3. Adanya peraturan pembagian tugas dan tanggunjawab.
4. Adanya tempat kerja yang sesuai standar SSLK (syarat-syarat
lingkunag kerja) antara lain tempat kerja yang steril dari debu, kotoran,
asap rokok, uap gas, radiasi, getaran mesin dan peralatan, kebisingan,
tempat kerja aman dari arus listrik, lampu peneranngan cukup
memadai, ventilasi dan sirkulasi udara yang nyaman, adanya aturan
kerja dan aturan keprilakuan.
5. Adanya penunjang kesehatan jasmani dan rohani ditempat kerja.
6. Adanya sarana dan prasarana yang lengkap ditempat kerja.
7. Adanya kesadaran dalam menjaga keselamatan dan kesehatan kerja.

Menurut Sutrisno dan Ruswandi (2007:54) prinsip keselamtan dan


kesehatan kerja meliputi aspek hiegine, aspek sanitasi, dan aspek
lingkungan kerja:
8

1. Aspek Hiegine meliputi kesehatan dan kebersihan pribadi, makanan,


minuman, serta pakaian.
2. Aspek Sanitas meliputi pengadan air bersih, pengadaan tempat
sampah, merawat dan menyimpn peralatan, serta penataan lingkungan.
3. Aspek lingkungan kerja meliputi mengantisipasi penyebab penyakit
maupun kondisi fisik dilingkungan kerja, kondisi kimia, kondisi
niologi, dan kondisi psikologi pekerja.
2.7 Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Pemerintahan tentang pernyataan berlakunya peraturan kecelakaan
tahun 1947 (PP No. 2 Tahun 1948), yang merupakan bukti tentang
disadarinya arti penting keselamatan kerja didalam perusahan
(Heidjrachman Ranupandojo dan squad Husnan, 2002) yang dikutip dari
Kusuma dan Darmastuti (2010). Lalu, menurut penjelasan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992, menyatakan bahwa sudah
sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut
bertangungjawab atas pelaksanaan program pemeliharaan dan peningkatan
kesejahteraan demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan
keluarganya dengan baik. Jadi, bukan hanya perusahan saja yang
bertanggungjawab dalam masalah ini, tetapi para karyawan juga harus ikut
berperan aktif dalam ini agar dapat tercapai kesejahteraan bersama.
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 Pasal 3 Ayat 1,
syarat keselamatan kerja yang juga menjadi tujuan pemerintah membuat
aturan K3 adalah :
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
5. Meberikan pertolongan pada kecelakaan.
6. Memberi alat-alat perlindnugan diri pada para pekerja.
9

7. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,


kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,
sinar radiasi, suara dan getaran.
8. Mencegah dan mengendalikn timbulnya penyakit akibat kerja baik
phyc maupun phychis, peracunan, infeksi dan penularan.
9. Memeroleh penerangan yang cukup dan sesuai.
10. Menyelengarakan suhu dan lembab udara yang baik.
11. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban.
12. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan,
cara dan proses kerjanya.
13. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang.
14. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
15. Mengamankn dan memperlancar pekerja bongkar muat, perlakuan dan
penyimpanan barang.
16. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengaman pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaanya menjadi bertambah tinggi.
2.8 Peralatan Perlindungan Diri
Yang menjadi dasar hukum dari alat pelindung diri ini adalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Bab IX Pasal 13 tentang kewajiban
bila memasuki tempat kerja yang berbunyi:
“Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibakan mentaati
semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan
diri yang diwajibkan.”
Menurut Muhammad Sabir (2009) yang dikutip dari Kusuma dan
Darmastuti (2010), alat pelindung diri adalah kelengkapan yang wajib
digunakan saat bekerja sesuai kebutuhan untuk menjaga keselamatan
pekerja itu sendiri dan orang disekeliliingnya. Pada umumnya alat-alat
tersebut terdiri dari:
1. Safety Helmet, berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang
bisa mengenai kepala secara langsung.
10

2. Tali keselamatan (safety Belt), berfungsi sebagai alat sebagai alat


pengaman ketika mengguankan alat transportasi ataupun peralatan lain
yang serupa (mobil, pesawat, alat berat, dan lain-lain.
3. Sepatu karet (Sepatu Boot), berfungsi sebagai alat pengaman saat
bekerja ditempat yang becek ataupun berlumpur.
4. Sepatu pelindung (Safety Shoes), berfungsi untuk mencegah
kecelakaan fatal yang menimpa kaki karena tertimpa benda tajam atau
berat, benda panas, cairan kimia, dan sebagainya.
5. Sarung tangan, berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat
bekerja ditempat atau situasi yang dapat mengakibakan cedera tangan.
6. Tali pengaman (Safety Harness), berfungsi sebagai berfungsi
pengaman saat bekerja diketinggian.
7. Penutup telinga (Ear Plug/Ear Muff), berfungsi sebagai pelindung
telingan pada saat bekerja ditempat yang bising.
8. Kaca mata pengaman (Safety Glasses), berfungsi sebagai pelindung
mata ketika bekerja (misal meneglas).
9. Masker (Respirator), berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup
saat bekerja ditempat dengan kualitas udara yang buruk (misal
berdebu, beracun, berasap, dan sebagainya).
10. Pelindung wajah (Face Shield), berfungsi sebagai pelindung wajah dari
percikan benda asing saat bekerja (misal pekerjaan penggerinda).
11. Jas hujan (Rain Coat), berfungsi melindungi diri dari percikan air saat
bekerja (misal bekerja pada saat hujan atau sedang mencuci alat).
2.9 Metode HEART (Hunab Error Assesment and Reduction
Technique)
Metode Human Error Assessment and Reduction Technique
(HEART) pertama kali di dikenalkan oleh Jeremy Williams yang
merupakan ahli ergonomi dari Britania pada tahun 1985. Metode ini
digunakan untuk mengukur kesalahan manusia dalam menjalankan
tugasnya terutama sebagai operator. Metode HEART banyak digunakan
terutama dalam industri nuklir dan berbagai jenis industri yang lain seperti
11
12
13

2.9.2 Instrumen Metode HEART

Instrumen metode HEART adalah sebagai berikut :

1. Generic Task Types (GTTs)

Generic Task Types (GTTs) merupakan kategori


yang digunakan untuk mengelompokkan tugas (task)
berdasarkan kategori generalnya dan nilai tugas
berdasarkan human unreliability.

Tabel 2.1 Generic Task Types (GTTs)

Nominal Human
Kategori Task Unreliability
A Pekerjaan yang benar-benar asing atau tidak
dikuasai, dilakukan pada suatu kecepatan tanpa 0,55
konsekuensi yang jelas
B Mengubah atau mengembalikan sistem ke
keadaan yang baru atau awal dengan suatu 0,26
upaya tunggal tanpa pengawasan dan prosedur
C Pekerjaan yang kompleks dan membutuhkan
tingkat pemahaman dan ketrampilan yang 0,16
Tinggi
D Pekerjaan yang cukup sederhana, dilakukan
dengan cepat atau membutuhkan sedikit 0,09
perhatian
E Pekerjaan yang rutin, cepat, dan sering
dilakukan dengan melibatkan ketrampilan 0,02
yang rendah
F Mengembalikan atau menggeser sistem ke
kondisi semula atau baru dengan mengikuti 0,003
prosedur dan beberapa pemeriksaan
14

Nominal Human
Kategori Task Unreliability
G Pekerjaan familiar yang sudah dikenal,
dirancang dengan baik, merupakan tugas rutin
yang terjadi beberapa kali per jam, dan
dilakukan hingga mencapai standar tertinggi
yang memungkinkan oleh personel yang telah
terlatih dan berpengalaman, sadar implikasi
0,0004
dari kegagalan, dengan adanya waktu untuk
memperbaiki kesalahan potensial, tetapi tanpa
menggunakan alat bantu
H Menanggapi perintah sistem dengan benar,
meskipun ketika tersedia sistem pengawasan
tambahan atau otomatis yang menyediakan
interpretasi akurat 0,00002

M
Tugas lain yang deskripsi pekerjaannya
tidak dijelaskaan kategori sebelumnya 0,03
Sumber: (Williams, 2015)

2. Error Producing Conditions (EPCs)


Error Producing Conditions (EPCs) merupakan kondisi
yang dapat menimbulkan terjadinya kesalahan. Kondisi ini akan
memberikan pengaruh yang negatif terhadap kegiatan operatoran
tersebut.
15
Total
No. Kondisi yang menyebabkan error (EPCs)
Effect
Kapasitas yang berlebih dalam saluran, khususnya yang
8 diakibatkan oleh informasi yang datang secara bersamaan. 6

Perlunya untuk meninggalkan suatu teknik dan menerapkan


9 teknik lain dengan menggunakan filosofi yang berlawanan. 6

Kebutuhan untuk mentransfer pengetahuan yang spesifik


10 5,5
antar tugas tanpa menimbulkan kerugian.

11 Keraguan pada standar performansi yang diharuskan. 5


Ketidaksesuaian antara risiko yang dibayangkan dengan risiko
12 4
yang sesungguhnya.

13 Sistem umpan balik yang buruk, rancu, dan tidak sesuai. 4


Tidak ada konfirmasi langsung dan tepat waktu dari
14 tindakan yang dimaksudkan dari bagian sistem di mana 4
kontrol harus diberikan
Operator yang tidak berpengalaman (Seperti: Baru memenuhi
15 3
kualifikasi namun tidak expert)
Miskinnya kualitas dalam informasi yang disampaikan oleh
16 3
prosedur dan interaksi antar manusia.
Sedikit atau tidak adanya kebebasan dalam pemeriksaan atau
17 3
pengujian pada output.
Konflik antara cepat atau immediate dan lamanya tujuan
18 2,5
yang dicapai.
Tidak ada perbedaan informasi masukan untuk pengecekan yang
19 2,5
diteliti.
Ketidaksesuaian antara tingkat pencapaian pendidikan dari
20 individu dengan persyaratan yang harus dilakukan dalam tugas. 2
Dorongan untuk menggunakan prosedur lain yang lebih
21 2
berbahaya.
Kecilnya kesempatan untuk melatih pikiran dan tubuh di luar
22 1,8
batas.

23 Peralatan instrumen yang tidak handal atau tidak baik. 1,6


Kebutuhan terhadap penilaian yang pasti, yang mana
24 1,6
berada di luar kemampuan atau pengalaman perator.
16

Tabel 2.2 Error Producing Conditions (EPCs)


Total
No. Kondisi yang menyebabkan error (EPCs)
Effect

Tidak biasa dengan situasi di mana hal itu secara potensial


1 17
penting, tetapi hanya terjadi sesekali atau baru tejadi
Kurangnya waktu yang tersedia untuk mendeteksi dan
2 11
mengkoreksi kesalahan
Rendahnya rasio antara penerimaan informasi (signal)
3 10
terhadap gangguan (noise) sekitar
Tidak tersedianya penekanan atau penolakan terhadap informasi
4 atau keunggulan yang mana terlalu mudah untuk diterima. 9

Tidak adanya alat-alat yang menyampaikan secara fungsional


5 8
kepada operator.
Ketidaksesuaian antara suatu model operator pada umumnya
6 8
dengan apa yang dibayangkan perancang.
Tidak adanya alat untuk membalikkan tindakan yang tidak
7 8
diinginkan.
17

Total
No. Kondisi yang menyebabkan error (EPCs)
Effect
Tidak ada langkah yang nyata untuk tetap berada pada jalur
26 1,4
kemajuan selama beraktivitas.

27 Bahaya yang disebabkan terbatasnya kemampuan fisik. 1,4

28 Kecil atau tidak adanya peran yang berarti dalam tugas. 1,4
29 Level emosi yang tinggi 1,3
30 Adanya gangguan kesehatan khususnya demam 1,2
31 Tingkat kedisiplinan yang rendah 1,2
32 Ketidaksesuaian antara display dan prosedur. 1,2
33 Kondisi lingkungan yang buruk atau tidak mendukung 1,15
Siklus berulang-ulang yang tinggi dari pekerjaan dengan
34 1,1
beban kerja bermental rendah
35 Terganggunya siklus tidur normal 1,1
36 Melewatkan kegiatan karena intervensi dari orang lain 1,06
Penambahan anggota tim yang sebenarnya tidak
37 1,03
dibutuhkan
38 Usia yang melakukan pekerjaan 1,02
3. Assessed Proportion of Affect (APOA)

Assessed Proportion of Affect (APOA) merupakan penilaian


menurut ahli yang memiliki pengalaman dalam bidang yang menjadi
objek penelitian. Pakar tersebut akan memberikan penilaian keseluruhan
ketidakhandalan yang dapat mempengaruhi tugas berdasarkan kriteria
APOA.
18

Tabel 2.3 Assessed Proportion of Affect (APOA)

Assessed
Keterangan
Proportion
0 EPC tidak berpengaruh terhadap HEP
Dapat berpengaruh terhadap HEP jika EPC sering (frekuensi > 5
0,1
kali setiap shift) terjadi dan disertai minimal 3 EPC yang lain.
Dapat berpengaruh terhadap HEP jika EPC sering (frekuensi > 5
0,2
kali setiap shift) terjadi dan disertai minimal 2 EPC yang lain.
Dapat berpengaruh terhadap HEP jika EPC sering (frekuensi > 5
0,3
kali setiap shift) terjadi dan disertai minimal 1 EPC yang lain.
Dapat berpengaruh terhadap HEP jika EPC sering (frekuensi > 5
0,4
kali setiap shift) terjadi tanpa disertai EPC yang lain.
Dapat berpengaruh terhadap HEP jika EPC sering (frekuensi 2-5
0,5
kali setiap shift) terjadi dan disertai minimal 2 EPC yang lain.
Dapat berpengaruh terhadap HEP jika EPC sering (frekuensi 2-5
0,6
kali setiap shift) terjadi dan disertai minimal 1 EPC yang lain.
Dapat berpengaruh terhadap HEP jika EPC sering (frekuensi 2-5
0,7
kali setiap shift) terjadi tanpa disertai EPC yang lain.
Dapat langsung berpengaruh terhadap HEP jika EPC satu kali
0,8
terjadi dan disertai dengan minimal 2 EPC
Dapat langsung berpengaruh terhadap HEP jika EPC satu kali
0,9
terjadi dan disertai dengan minimal 1 EPC
Dapat langsung berpengaruh terhadap HEP jika EPC satu kali
1
terjadi tanpa disertai dengan EPC yang lain
Sumber: Kirwan, Tahun 1996
19

2.9.3 Kelebihan Dan Kekurangan Metode HEART

Menurut Kirwan (1994) kelebihan dan kekurangan metode


HEART adalah sebagai berikut :
A. Kelebihan

1. Metode HEART sangat cepat dan mudah digunakan.

2. Membutuhkan sumber daya yang sedikit.

3. Dapat memberikan saran yang dapat digunakan untuk


mengurangi kesalahan manusia.
4. Dapat menyediakan hubungan antara ergonomi dengan proses
desain sehingga dapat meningkatkan keandalan manusia.
5. Memungkinkan dalam pembuatan analisis biaya yang akan
dilakukan.

6. Sangat fleksibel dan dapat digunakan dalam berbagai bidang


industri.

B. Kekurangan

1. EPCs yang ada dalam metode HEART belum pernah


sepenuhnya dirilis.
2. HEART sangat bergantung kepada penilaian para ahli.

Anda mungkin juga menyukai