Anda di halaman 1dari 5

BERLITERASI ILMIAH UNTUK MENCERDASKAN MASYARAKAT1

Wahid Nashihuddin
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – LIPI
Jl. Jend.Gatot Subroto No.10 Jakarta 12710

email: mamaz_wait@yahoo.com

Pendahuluan
Literasi ilmiah (scientific literacy) berbeda dengan literasi pada umumnya yang sudah
sering dilakukan oleh pustakawan dan pegiat literasi di Indonesia. Literasi ilmiah tidak hanya
sekedar mengajari seseorang untuk membaca dan menulis, tetapi terkait dengan aktivitas
berbagi dan transfer pengetahuan ke pengguna/masyarakat. Mereka diajari bagaimana
berpikir kritis dan mengatasi permasalahaan secara ilmiah terkait dengan kebutuhan
informasinya. Norris & Phillips (2003) dalam artikenya yang berjudul “How Literacy in Its
Fundamental Sense is Central to Scientific Literacy” mengatakan literasi ilmiah harus
disampaikan dengan bahasa ilmiah dan tulisan, kegiatannya tidak hanya sekedar mengajari
seseorang untuk membaca, menulis, menghafal, dan mengingat, tetapi ada proses berbagi dan
transfer pengetahuan.
Program literasi ilmiah ini muncul seiring dengan program literasi yang dikonsep The
Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2013. Melalui konsep
“PISA 2015: Draft Science framework”, program literasi harus dilakukan melalui literasi
ilmiah oleh lembaga pendidikan. PISA menyebut literasi ilmiah sebagai kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan/permasalahan, dan
mendeskripsikan kesimpulan dari data/bukti yang diperoleh sehingga lebih mudah dipahami
dan dapat membantu pengambilan keputusan secara alamiah dan mengubah kegiatan manusia
di masa mendatang. Pelaksanaan literasi tersebut dapat dilakukan seseorang jika mampu
mengamati, mengevaluasi, dan mengintepretasikan pengetahuan ilmiah. PISA menyebut
literasi ilmiah sebagai model pengembangan pengetahuan dan kompetensi profesional bagi
“pembelajar” masa depan. Konsep ini diharapkan dapat menjawab keprihatinan atas survei
tingkat literasi masyarakat dunia pada tahun 2012, yang terlihat masih ada beberapa negara
yang tingkat literasi masyarakatnya sangat rendah, seperti Indonesia dan Bostwana (urutan ke
64 dan 65). Program literasi yang dikemas dengan konsep pembelajaran ini diharapkan dapat
meningkatkan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Rencana PISA di atas dapat menjadi acuan dan program pustakawan untuk
menggalakkan program literasi dan membudayakan literasi ilmiah ke masyarakat. Hal
tersebut dilakukan untuk mencerdaskan masyarakat dan mewujudkan bangsa yang
berkarakter. Melalui tulisan ini, penulis mencoba memberikan gambaran dan wawasan kepada
pustakawan di Indonesia bahwa literasi ilmiah itu sangat penting dan harus segera
dilaksanakan. Berliterasi ilmiah akan memberikan dampak dan manfaat positif bagi
pengembangan kompetensi pustakawan di masa mendatang. Penulis mengajak para
pustakawan untuk senantiasa berpikir ilmiah dan membudayakan literasi ilmiah untuk
kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Permasalahan
Membahas literasi ilmiah berarti membahas kompetensi profesional pustakawan untuk
berbagi dan transfer pengetahun ke pengguna/masyarakat. Berbicara masalah kompetensi
profesional berarti membahas kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kerja yang diwujudkan secara profesional. Ketiga hal tersebut
tentunya harus dikuasai pustakawan untuk menyukseskan program literasi ilmiahnya ke
1
Artikel Lomba Penulisan Artikel Populer Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian (Pemenang Juara 3),
akses di http://pustaka.setjen.pertanian.go.id/berita.php?newsID=br20171024#.WfBpHLVpH4Y.

1
masyarakat. Terkait dengan kesuksesan program literasi ilmiah ke masyarakat, ada beberapa
permasalahan yang harus diidentifikasi oleh pustakawan, yaitu:
1) Budaya literasi masyarakat indonesia masih lisan, mereka lebih senang menyampaikan
ide dan pengetahuannya dari mulut ke mulut, sehingga dalam waktu lama ingatannya
akan hilang (karena lupa dan tidak terdokumentasi). Selain itu, masyarakat Indonesia
lebih suka menonton televisi dari pada membaca buku dan menulis dalam aktivitas
sehari-hari.
2) Sebagian besar masyarakat Indonesia (khususnya mereka yang ada di wilayah pelosok
dan terpencil) belum mendapatkan bahan bacaan dan sarana akses informasi
perpustakaan yang memadai. Masalahnya sebenarnya adalah bukan tingkat literasi
masyarakat Indonesia yang rendah (menurut survei PISA tahun 2012), tetapi
ketersediaan dan keterjangkauan akses informasi ke masyarakat yang belum memadai.
Namun, hasil survei tersebut harus diterima pemerintah, karena sudah dipublikasikan di
media cetak dan online nasional.
3) Sebagian besar pustakawan di Indonesia belum menjadikan “menulis” sebagai budaya
dan kebutuhan dalam pekerjaanya. Hal ini berdampak pada munculnya rasa minder atau
kurang percaya diri pustakawan untuk tampil di depan umum. Menulis itu akan
membuat pikiran seseorang menjadi lebih kritis, terbuka, dan percaya diri berbicara di
depan umum.
Ketiga permasalahan umum diatas harus segera dicari solusinya. Sebagai pustakawan, siapkah
mengatasi permasalahan di atas? jika siap, mampukah pustakawan meningkatkan literasi
masyarakat Indonesia melalui program literasi ilmiah untuk masyarakat? kompetensi dan
upaya apa saja yang perlu disiapkan pustakawan untuk membudayakan literasi ilmiah ke
masyarakat?

Memaknai Literasi Ilmiah


Pustakawan harus melihat dan memaknai “literasi” sebagai modal intelektual individu
dan kolektif. Sebagai intropeksi diri, pustakawan harus ingat bahwa “sebelum mencerdaskan
masyarakat, pustakawannya harus literet dan cerdas terlebih dahulu”. Orang bilang “bangsa
yang maju adalah bangsa yang beradab, bangsa yang beradab adalah bangsa yang berkarakter,
bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang literet, dan bangsa yang literet adalah bangsa
yang masyarakatnya berpengetahuan”. Perkataan tersebut adalah benar, sekarang tinggal
bagaimana pustakawan melaksanakan dan merealisasikan program literasinya ke masyarakat?
apakah program literasi yang sudah dilaksanakan sudah berhasil? Jika sudah mungkin perlu
dicoba program literasi ilmiah yang lain dan inovatif, seperti program literasi ilmiah untuk
masyarakat?
Literasi ilmiah merupakan literasi berbagi pengetahuan, yang penerapannya
mengadopsi sistem pembelajaran di sekolah. Ungkapan “Science Without Literacy: a Ship
without a Sail? oleh Jonathan Osborne (2002) dapat menjadi evaluasi diri pustakawan.
Osborne mengatakan “pengetahuan tanpa literasi, ibarat kapal tanpa layar”, pengetahuan
adalah modal literasi dan layarnya adalah penentu tujuan dari pengetahuan itu. Literasi ilmiah
menjadi konsep yang tepat untuk mengarahkan dan mewujudkan masyarakat berpengetahuan,
serta menjadikan masyarakat lebih cinta pada pengetahuan. Perilaku dan pengetahuan ilmiah
bagi seorang pustakawan perlu dicoba dan diterapkan agar dapat membantu tugas ilmuan.
Yore, Gay, Hand, & State (2003) dalam artikelnya yang berjudul “Examining the Literacy
Component of Science Literacy: 25 Years of Language Arts and Science Research”
mengatakan untuk menjadi ilmuan, seseorang perlu membuktikan kepada masyarakat dan
menyampaikan pengetahuannya dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat, ia
menyebut “scientists as language users”. Pustakawan sebagai ilmuan, harus mampu
menerjemahkan pengetahuan ilmiah dengan bahasa populer agar makna dibalik pengetahuan
tersebut dapat dipahami secara mudah oleh pengguna/masyarakat. Dengan berliterasi ilmiah,

2
secara tidak langsung pustakawan telah menjadi seorang ilmuan. Seorang ilmuan itu adalah
seorang “pemberi solusi” bagi kehidupan masyarakat.

Kesiapan Diri Pustakawan


Pustakawan adalah pahlawan literasi bangsa masa depan. Eksistensi perpustakaan dan
peningkatan literasi masyarakat di masa mendatang adalah tanggung jawab pustakawan.
Untuk itu, pustakawan “mau tidak mau, harus siap” untuk meningkatkan literasi bangsa.
Kesempatan untuk belajar yang lebih baik masih terbuka luas untu pustakawan, termasuk
untuk berliterasi ilmiah ke masyarakat.
Kesiapan diri ini perlu dievaluasi terlebih dahulu oleh pustakawan. Setidaknya
pustakawan dapat mengevaluasi diri atas kemampuan yang telah dimilikinya, baik
kemampuan dasar maupun profesionalnya. Pustakawan dapat mengevalusi kemampuan
dasarnya dari aspek kemampuan mengoperasikan komputer, membuat rencana kerja, dan
membuat laporan kegiatan kepustakawanan. Kemudian mengevaluasi kemampuan
profesionalnya dari aspek kemampuan pengelolaan bahan pustaka, pelayanan informasi
perpustakaan, literasi informasi, dan pengembangan profesi kepustakawanan. Jika sudah
dievaluasi, langkah selanjutnya adalah meningkatkan kompetensi dan menerapkan ilmunya ke
masyarakat.

Kompetensi Literasi Ilmiah


Sebagai seorang pembelajar (a learner), pustakawan harus mengembangkan
kompetensi profesionalnya secara kesinambungan. Kompetensi ini dapat mengacu pada
kompetensi literasi ilmiah yang ditetapkan PISA, yaitu kemampuan untuk mengamati,
mengevaluasi, dan mengintepretasikan pengetahuan ilmiah.
Pertama, kemampuan mengamati fenomena secara ilmiah. Pustakawan dituntut
mampu menjelaskan berbagai fenomena ilmiah yang terkait dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Ketika mengamati fenomena, pustakawan harus mampu
melihat situasi dan gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya. Hasil pengamatan kemudian
dijelaskan/dideskripsikan secara jelas dan sistematis kepada pengguna. Pada tahap ini,
aktivitas transfer pengetahuan ke pengguna dimulai. Hal-hal ilmiah tidak selalu berkaitan
dengan penelitian karena sumber-sumber informasi perpustakaan juga ilmiah. Pengetahuan
pustakawan dan sumber-sumber informasi perpustakaan itu bersifat ilmiah, karena ilmu
pustakawan diperoleh melalui pendidikan (proses pembelajaran) dan bahan bacaan/koleksi
perpustakaan merupakan publikasi yang diterbitkan, artinya sudah melalui proses editorial
dan penelaahan (review).
Kedua, kemampuan mengevaluasi kegiatan ilmiah. Pada kompetensi ini, pustakawan
dituntut memiliki pengetahuan yang luas untuk menjawab segala informasi ilmiah yang
ditanyakan oleh pengguna. Kegiatan evaluasi ini sering dilakukan dalam aktivitas pendidikan
dan penelitian. Pustakawan dapat mengikuti pola komunikasi ilmiah guru dan dosen dalam
memberikan penjelasan kepada siswa dan mahasiswanya, dan peneliti ketika
mempresentasikan hasil penelitiannya kepada lembaga pemberi dana atau peserta
seminar/konferensi. Sebagai seorang evaluator, tugas pustakawan adalah mencari
ketidaksesuaian antara proses dan output serta solusi perbaikan, bukan mencari kesalahan.
Hasil yang diharapkan dari evaluasi ini adalah persamaan persepsi dan tindakan perbaikan di
masa mendatang.
Ketiga, kemampuan menginterpretasikan pengetahuan ilmiah melalui sumber data
dan bukti-bukti ilmiah yang dipahaminya. Kemampuan interpretasi data dan bukti ilmiah
membutuhkan kecermatan dan kepastian dalam menjelaskan materi, baik ketika
menginterpretasikan data yang berupa tabel, diagram, grafik, prototipe, maupun jenis data
lainnya. Pada kompetensi ini, pustakawan diuji keterampilan, pengetahuan, dan sikap
kerjanya ketika menyampaikan materi literasi ke pengguna. Hal lain yang lebih penting
adalah bahasa tubuh (body language) pustakawan ketika penyampaikan meteri literasi ke

3
pengguna. Pustakawan harus memiliki ekspresi wajah dan tampilan yang menarik ketika
menyampaikan materi agar pengguna yang diajak komunika percaya dengan apa yang ia
sampaikan. Agar interpretasinya berhasil, pustakawan juga harus memiliki kompetensi
“science journalism”, yaitu kemampuan untuk menerjemahkan bahasa ilmiah ke bahasa
populer, tujuannya agar setiap isi dan substansi informasi yang disampaikan ke umum dapat
lebih mudah dipahami pengguna/masyarakat.
Ketiga kompetensi di atas diharapkan dapat memotivasi masyarakat untuk lebih
berpikir kritis dan inovatif dalam memecahkan setiap masalah. Memang tidak semua masalah
harus dipecahkan dengan cara-cara ilmiah, namun dengan berpikir ilmiah semua
permasalahan dan risiko dapat diminimalisir secara secara bertahap.

Program Literasi Ilmiah


Program literasi ilmiah ke masyarakat harus direncanakan secara matang dan
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Lembaga sebagai fasilitator, pustakawan sebagai
sosialisator, dan masyarakat sebagai partisipan, satu sama lain harus saling komunikasi dan
bekerjasama untuk kesuksesan program literasi ilmiah. Program literasi ilmiah yang dapat
diselenggarakan pustakawan dan perpustakaan, antara lain: pendidikan pemakai, klinik
literasi, research corner, diseminasi informasi iptek, dan goes to campus.
Pertama, pendidikan pemakai, merupakan program dan kegiatan rutin perpustakaan
yang bertujuan untuk mengenalkan dan mempromosikan jasa dan sumber-sumber informasi
perpustakaan. Sasaran dari kegiatan ini adalah diketahuinya cara memanfaatkan jasa dan
sumber-sumber informasi bagi pengguna baru perpustakaan. Dalam pendidikan pemakai,
pustakawan dapat menyampaikan materi penggunaan koleksi perpustakaan (sirkulasi,
referensi, dan serial) untuk bahan penulisan dan penelitian, penelusuran katalog, hingga
penulisan (populer/ilmiah) bagi pengguna.
Kedua, klinik literasi, merupakan fasilitas dan layanan konsultasi bagi pengguna
perpustakaan. Klinik literasi ini diharapkan dapat menjadi media yang efektif untuk
mendekatkan fungsi perpustakaan ke masyarakat. Pengguna dapat memanfaatkan layanan ini
sesuai kebutuhan, baik dengan datang langsung ke perpustakaan maupun via-online (email,
instant messenger, media sosial). Melalui layanan ini, pengguna dapat menyampaikan
berbagai permasalahan yang terkait dengan pengembangan perpustakaan,
penulisan/penelitian, dan kegiatan lain masyarakat untuk pendayagunaan perpustakaan.
Dalam layanan ini, pustakawan berperan sebagai “konsultan literasi” yang diharapkan dapat
menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan informasi pengguna/masyarakat.
Ketiga, reseach corner, merupakan layanan perpustakaan yang disediakan khusus
untuk kegiatan riset. Biasanya perpustakaan yang memiliki layanan ini telah memiliki sumber
dana dan sumber daya informasi yang memadai, baik dengan koleksi local content-nya
maupun databse berlangganan. Pengguna dapat meminta bantuan penelusuran literatur hingga
bimbingan penulisan ilmiah/penelitian ke pustakawan melalui layanan ini. Untuk memperkuat
layanan research corner, pustakawan harus membekali kompetensi yang terkait dengan
publikasi ilmiah, seperti mengetahui tentang tata cara membuat karya tulis, mengutip
referensi, plagiarisme, dan kode etika penerbitan.
Keempat, diseminasi informasi iptek, merupakan program inovasi lembaga yang
bertujuan untuk mengenalkan produk dan jasa informasi perpustakaan dan lembaga induk
pustakawan ke masyarakat/daerah. “Jemput Bola” adalah sistem pelaksanaan kegiatan ini.
Sasaran kegiatan ini adalah taman bacaan, perpustakaan, dan lembaga mitra, seperti balitbang,
perguruan tinggi/sekolah, koperasi dan UKM. Pelaksanaan program ini membutuhkan
persiapan yang matang, mulai dari negoisasi/kesepakatan kerjasama, anggaran kegiatan,
materi promosi/sosialisasi, dan konsep kegiatan. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh
perpustakaan yang berada di lingkungan kementerian/lembaga dan perpustakaan umum
daerah (tingkat provinsi dan kabupaten) karena terkait dengan program “Gerakan Literasi
Nasional” yang didengungkan oleh Perpusnas dan Kemdikbud RI. Beberapa materi yang

4
dapat disiapkan pustakawan, antara lain: pelatihan literasi informasi, pelatihan kemas ulang
informasi (berbasis potensi daerah), kerjasama pengembangan database litbang, dan kegiatan
lain yang dibutuhkan pengguna dan lembaga mitra.
Kelima, goes to campus, merupakan program yang mirip dengan diseminasi informasi
iptek, termasuk materi yang disampaikan. Perbedaannya hanya pada tempat kegiatannya,
yaitu kampus dan sekolah. Sebelum melakukan program goes to campus, pustakawan harus
melakukan profiling terlebih dahulu terhadap kampus dan sekolah yang akan dijadikan target
kegiatan. Tujuannya agar materi yang disampaikan sesuai kebutuhan informasi pengguna.
Sasaran kegiatan ini adalah kampus atau sekolah yang dianggap belum memiliki sumber-
sumber informasi yang memadai untuk kegiatan penulisan ilmiah dan penelitian bagi sivitas
akademiknya.

Pembudayaan Literasi Ilmiah


Setelah kita mengetahui apa itu literasi ilmiah dan bagaimana program literasi ilmiah
dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah membudayakannya ke masyarakat. Literasi jika tidak
dibudayakan maka hanya sebatas “jargon”, yang manfaatnya tak dapat dirasakan masyarakat.
Budaya literasi adalah budaya “kerja nyata dan kerja bersama” untuk mencerdaskan
masyarakat. Pembudayaan literasi ilmiah ini harus disesuaikan dengan kapasitas lembaga dan
kemampuan pustakawan masing-masing agar berhasil di masa mendatang. Pustakawan harus
melibatkanya banyak pihak untuk kesuksesan kegiatan ini.
Pembudayaan literasi ilmiah dapat dimulai dari pekerjaan rutin yang dilaksanakan
sehari-hari oleh pustakawan hingga pekerjaam tematik dan kreativitas lembaga. Pustakawan
dapat melakukan berbagai upaya untuk membudayakan literasi ilmiah ke masyarakat,
diantaranya: (1) membiasakan diri untuk berpikir ilmiah ketika melayani pengguna di
perpustakaan; (2) membuat program inovatif perpustakaan untuk mencerdaskan masyarakat
sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas); (3) membudayakan knowledge sharing
perpustakaan dengan pengguna dan teman kerja; (4) membudayakan menulis ilmiah dalam
bidang kepustakawanan; dan (5) membangun liasion librarianship dengan lembaga mitra
(tujuannya untuk mengembangkan jaringan dan kerjasama pemanfaatan perpustakaan).

Penutup
Literasi ilmiah bukanlah literasi yang biasa. Inti dari literasi ilmiah adalah proses
berbagi dan transfer pengetahuan dari pustakawan ke pengguna/masyarakat. Kesiapan dan
kemampuan seorang pustakawan dalam pembudayaan literasi ilmiah harus segera
direalisasikan. Semoga tulisan ini, bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi pembaca,
khususnya bagi pustakawan dan umumnya pegiat literasi di Indonesia. Sebagai penutup,
penulis mengajak para pustakawan untuk menggalakkan dan membudayakan literasi ilmiah
ke masyarakat, “mari berliterasi ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
cerdas…!” salam literasi!

Anda mungkin juga menyukai