Anda di halaman 1dari 126

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM

KARDIOVASKULER: HIPERTENSI

A. Konsep Dasar Medik


1. Definisi
Hipertensi merupakan peningkatan yang terjadi pada tekanan darah atau lebih
dari 140/90mmHg (DiGiulio, Mary and Jackson, 2014, p. 38; LeMone, Burke and
Bauldoff, 2015, p. 1267). Peningkatan tekanan darah dapat terjadi terus menerus
pada beberapa kali pemeriksaan (Wijaya and Putri, 2013). Hipertensi dibedaka
menjadi dua yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder (Black, Joyce M. &
Hawks, 2014). Hipertensi primer atau essensial yaitu hipertensi yang terjadi secara
persisten dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasi, diperkirakan lebih dari 90%
orang yang menderita hipertensi primer (LeMone, Burke and Bauldoff, 2015, p.
1267). Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang terjadi akibat proses dasar
yang dapat diidentifikasi atau penyebab yang jelas dan biasanya penyakit
hipertensi sekunder hanya 5%-10% dari hipertensi (LeMone, Burke and Bauldoff,
2015, p. 1282).

2. Klasifikasi
Menurut Bell, Twiggs and R.Olin,( 2018, p. 4) klasifikasi tekanan darah dewasa
yaitu sebagai berikut:
Klasifikasi Siastolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80


Prahipertensi 120-139 80-89
Derajat 1 140-159 90-99
Derajat 2 ≥ 160 ≥100
Sumber : (JNC-VIII)

3. Patofisiologi
Peningkatan tekanan darah terjadi karena tiga kondisi, yaitu peningkatan
tahanan perifer atau resistensi vaskuler, peningkatan volume darah, dan
peningkatan curah jantung (LeMone, M.Burke and Bauldoff, 2015, p. 1268).
Peningkatan tahanan perifer dapat terjadi karena penyempitan pembuluh darah

1
seperti pada aterosklerosis maupun saat pembuluh darah mengalami
vasokontriksi. Ateroseklerosis dapat terjadi pada orang dengan kadar lemak yang
tinggi, dan hipertensi sementara saat stres, karena hipertensi dapat merusak
lapisan intima pembuluh darah, sehingga akumulasi fibrin dapat terjadi dan
mengakibatkan aterosklerosis (Black, Joyce M. & Hawks, 2014, pp. 904–905)
Vasokontriksi pembuluh darah juga dapat terjadi akibat kontraksi otot polos
vaskuler yang disebabkan oleh saraf simpatis(LeMone, M.Burke and Bauldoff,
2015, p. 1268). Saraf simpatis dapat mendominasi karen stimulasi dari reseptor α
dan β adrenergic, aktifasi sistem renin-angiotensi-aldosteron karna penurunan
aliran darah ke ginjal dan pemakaian obat seperti metamfetamin dan kontrasepsi
estrogen, cidera medulla spinalis bagian atas, peningkatan tekanan intra kranial
yang mengaktifkan mekanisme hemoestasis agar aliran darah ke otak terpenuhi,
dan stres (LeMone, M.Burke and Bauldoff, 2015, p. 1268). Dominasi dari saraf
simpatis juga dapat meningkatkan curah jantung, dengan peningkatan frekuensi
jantung sehingga tekanan darah dapat meningkat (LeMone, M.Burke and
Bauldoff, 2015, p. 1268). Tekanan darah juga dapat meningkat karena
peningkatan volume darah, karena saat volume darah meningkat maka sistem
kardiovaskuler akan meningkatkan curah jantung, selain itu arteri sistemik juga
mengalami vasokontriksi sehingga resistensi vaskuler dapat tejadi (LeMone,
M.Burke and Bauldoff, 2015, p. 1268). Peningkatan volume darah juga dapat
terjadi karena penurunan ekskresi air dan garam, ini diakibatkan oleh aktifasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sekresi hormone peptide natriuretic oleh
endothelium (LeMone, M.Burke and Bauldoff, 2015, p. 1268). Selain hal tersebut
peningkatan volume darah juga dapat terjadi karena peningkatan asupan mineral
seperti natrium dapat mengakibatkan rentensi cairan (LeMone, M.Burke and
Bauldoff, 2015, p. 1268).
Menstabilkan tekanan darah dapat dengan empat mekanisme regulasi tekanan
darah, seperti sistem baroreseptor arteri, sistem regulasi volume darah, sistem
renin-angiotensin-aldosteron, dan autoregulasi pembuluh darah (Workman, 2013,
p. 776). Baroreseptor ditemukan utamanya di sinus karotis, aorta, dan dinding
ventrikel kiri jantung, mereka berfungsi untuk mendeteksi tingkat tekanan arteri
dan menurunkan atau menaikan tekanan arteri dengan menurunkan tonus simpatis,
sehinga terjadi vasodilatasi dan perlambatan frekuensi jantung ataupun
meningkatkan tonus simpatis (Workman, 2013, p. 776). Perubahan volume cairan
2
juga mempunyai efek terhadap tekanan arteri sistemik, seperti peningkatan
natrium atau air dalam tubuh seseorang maka tekanan darah dapat meningkat
karena mekanisme kompleks aliran balik vena ke jantung menghasilkan
peningkatan curah jantung, jika ginjal berfungsi dengan baik maka ketika terjadi
peningkatan tekanan arteri sistemik ginjal akan mengkompensasi dengan diuresis
(berkemih berlebih) (Workman, 2013, p. 776).
Sistem renin-angiotensin-aldosteron juga memainkan peran penting dalam
regulasi tekanan darah, sistem ini diawali dengan produksi enzim renin di ginjal,
enzim ini bekerja pada substrat protein plasma (angiotensinogen) untuk
memisahkan angiotensin I, kemudian angiotensin I dikonversi oleh enzim paru-
paru dan membentuk angiotensin II yang merupakan vasokontriktor kuat pada
pembuluh darah, selain itu juga sebagai pemicu pelepasan aldosteron yang bekerja
pada tubulus ginjal, sehingga natrium diabsorbsi kembali dan terjadi retensi
natrium sehingga dapat menghambat kehilangan cairan, dan volume darah
meningkat (Workman, 2013, p. 776). Menurut Kowalak (2011, p. 181) bahwa
relaksasi stres dapat membuat diameter pembuluh darah berdilatasi dan
perpindahan cairan plasma antara intravaskuler dan ekstravaskuler dapat
mempertahankan volume cairan intravaskuler.

4. Etiologi
a. Hipertensi primer
Menurut LeMone, Burke and Bauldoff, (2015, p. 1268) penyebab dari
hipertensi primer yaitu sebagai berikut :
1) Sistem saraf simpatis yang berlebih
Hipertensi dapat terjadi karena vasokontriksi yang diakibatkan oleh
stimulasi berlebihan dari reseptor α adrenergik dan β adrenergik.
Peningkatan tonus sistem saraf simpatis mengakibatkan peningkatkan
resistensi pembulu darah perifer
2) Perubahan fungsi sistem renin-angiotensin-aldosteron
Sistem ini dapat mempengaruhi resistensi vaskuler dan ekskeresi air dan
garam.

3
3) Mediator kimiawi lain
Endothelium vaskuler dapat menghasilkan hormon (endotelin) yang
dapat mempengaruhi tegangan vaskuler, selain itu peptide natriuretic
juga juga dapat mempenaruhi tegangan vaskuler dan ekskresi natrium
dan air.
4) Interaksi antar resistensi insuli, hyperinsulinemia dan fungsi endotel
Hipertensi terjadi karena peningkatan menetap volume dan resistensi
vaskuler. Sistem kardiovaskuler akan beradaptasi ketika terjadi
peningkatan volume darah dengan meningkatkan curah jantung. Arteri
sistemik juga bereaksi terhadap peningkatan volume, sehingga terjadi
vasokontriksi.
b. Hipertensi sekunder
Menurut LeMone, Burke and Bauldoff, (2015, p. 1282) penyebab dari
hipertensi sekunder yaitu sebagai berikut:
1) Penyakit ginjal
Hipertensi dapat terjadi karena eliminasi cairan elektrolit yang terganggu,
dan selain itu gangguan ginjal dapat mempengaruhi persediaan darah dan
menstimulasi sistem renin-angiontensin-aldosteron dan perfusi renal
sehingga tekanan darah meningkat.
2) Koarktasi aorta
Koarktasio aorta atau penyempitan aorta, biasanya tepat di arteri
subklavikula sehingga dapat menyebabkan penurunan aliran darah ginjal
dan perifer menstimulasi siste, renin-angiotensin-aldosteron dan terjadi
vasokontriksi local serta meningkatkan tekanan darah
3) Gangguan endokrin
Hipertensi dapat terjadi paga gangguan sistem adrenal seperti sindrom
cushing dan aldosteroisme
4) Gangguan neurologis
Pada gangguan ini hipertensi dapat terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial, karna mekanisme tubuh untuk mempertahankan sirkulasi ke
otak, selain itu gangguan saraf otonom seperti cidera medulla spinalis
bagian atas memungkinkan saraf simpatis mendominasi sehingga terjadi
resistensi vaskuler

4
5) Pemakaian obat
Obat-obatan stimulan seperti metamfetamin dapat meningkatkan retensi
vaskuler dan curah jantung, selain itu penggunaan kontrasepsi estrogen
juga dapat meningkatkan retensi natrium dan cairan, serta mempengaruhi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, sehinga tekanan darah dapat
meningkat
6) Kehamilan
Penyebab hieprtensi pada kehamilan saat ini belum jelas, akan tetapi 10%
wanita hamil mengalami hipertensi.
c. Faktor Resiko
1) Obesitas atau kegemukan
Kegemukan sentral (pengumpulan lemak di abdomen) mempunyai
hubungan lebih kuat dibandingkan indeks masa tubuh atau ketebalan
lipatan kulit. Akan tetapi itu merupakan salah satu penyebabnya, faktor
genetik tampak berperan penting dalam trias umum yaitu hipertensi,
kegemukan, dan resistensi insulin (LeMone, M.Burke and Bauldoff,
2015, pp. 1269–1270).
2) Merokok
Kandungan nikotin pada rokok merupakan vasokontriktor, tetapi data
yang signifikan hubungan merokok dengan hipertensi kurang, merokok
juga dapat menurunkan efek obat antihipertensi seperti propanolol
(LeMone, M.Burke and Bauldoff, 2015, p. 1270).
3) Konsumsil alcohol berlebih
Konsumsi alkohol diketahui dapat meningkatkan hipertensi, konsumsi
teratur 3 kali sehari atau lebih dapat meningkatkan resiko tekanan darah
(Lemone, Burke and Bauldoff, 2015). Faktor gaya hidup seperti
kegemukan dan kurang latihan fisik yang terkait dengan pengonsumsi
alkohol merupakan penyebab terjadinya hipertensi (LeMone, M.Burke
and Bauldoff, 2015, p. 1270).
4) Stress
Kenaikan tekanan darah sementara dapat terjadi pada seorang dengan
stress fisik atau stress emosional, akan tetapi peran stress dalam
hipertensi belum diketahui dengan jelas (Lemone, Burke and Bauldoff,
5
2015). Stres yang sering diketahui dapat menyebabkan hipertrofi otot
polos vaskuler atau dapat mempengaruhi jalur integratif sentral otak
(LeMone, M.Burke and Bauldoff, 2015, p. 1270).
5) Jenis kelamin
Hipertensi lebih sering ditemui pada pria dibandingkan wanita, perkiraan
sampai usia 55 tahun, resiko hipertensi pada pria dan wanita hamper
sama yaitu di rentang usia 55-74 tahun, setelah 74 tahun wanita memiliki
resiko yang lebih besar (Black, Joyce M. & Hawks, 2014, p. 903)
6) Usia
Prevalensi penderita hipertensi naik seiring peningkatan usia, sekitar 50-
60% orang dengan umur lebih 60 tahun mengalami hipertensi, hal ini
karena penuaan mempengaruhi kelenturan arteri dan baroreseptor yang
mengatur tekanan darah (LeMone, M.Burke and Bauldoff, 2015, p.
1269).
7) Riwayat Keluarga
Hipertensi ini dapat terjadi karena hubungan genetik yaitu gen pada
sistem renin-angiotensin-aldosteron, gen yang mempengaruhi tegangan
vaskuler, transportasi garam dan air pada ginjal, resistensi insulin, dan
kegemukan, akan tetapi belum ada hubungan genetik yang konisten
ditemukan (LeMone, M.Burke and Bauldoff, 2015, p. 1269).

5. Tanda dan gejala


Menurut Lewis et al., (2014, p. 713) dan LeMone, Burke and Bauldoff, (2016, p.
1268) manifestasi klinis dari hipertensi yaitu sebagai berikut:
a. Kenaikan tekanan darah
Tekanan darah pada pasien hipertensi yaitu lebih dari 140/90 mmHg
b. Sakit kepala atau pusing dan kelelahan
Sakit kepala ini biasanya terjadi di antara tengkuk dan leher yang sering
muncul saat bangun. Kelelahan ini dapat terjadi karena penurunan oksigenisasi
jaringan. Nyeri kepala oksipital merupakan tanda dan gejala umum terjadi
akibat peningkatan tekanan intracranial, selain itu nausea dan vomitus juga
dapat terjadi karna hal ini.

6
c. Jantung berdebar, angina, dan sesak
Manifestasi klinis ini terjadi kerena hipoksia jaringan, terutama penurunan
aliran darah coroner.
d. Kerusakan organ target
Gejalanya dapat berupa nokturia, bingung, mual dan muntah, serta gangguan
pengelihatan. Nokturia terjadi disebabkan oleh peningkatan aliran darah ke
ginjal dan peningkatan filtrasi glomerulus.

6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Nurarif and Kusuma,(2015, p. 104) pemeriksaan penunjang pada
pasien hipertensi yaitu sebagai berikut :
a. Pemeriksaan laboratorium
1) HB/HT: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti,
hipokoagulabilitas, anemia
2) BUN/Kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal
3) Glukosa: hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaranan kadar ketokolamin.
4) Urinalisa: darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan ada
DM
b. CT Scan: mengkaji adanya tumor serebral, enselopati
c. EKG: dapat menunjukkan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda penyakit jantung, hipertensi
d. IUP: mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti batu ginjal, perbaikan
ginjal
e. Rontgen: menunjukkan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran
jantung

7. Komplikasi
a. Infark miokard
Aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh darah menyebabkan
luminanya menyempit, akibatnya aliran darah ke jantung, otak, dan
ekstremitas bawah menurun, jika kerusakan berlanjut pembuluh darah dapat

7
tersumbat dan terjadi perdarahan sehingga terjadi infark jaringan pada area
yang disuplainya (Black, Joyce M. & Hawks, 2014, p. 909)
b. Stroke
Pada hipertensi meningkatkan resiko terjadinya infark serebral, selain
itu peningkatan tekanan pada pembuluh serebral dapat meningkatkan resiko
mikroaneurisma sehingga beresiko terjadi stroke hemoragik (LeMone, Burke
and Bauldoff, 2016, p. 1268). Resiko terkena stroke akan meningkat sampai 7
kali lebih besar jika tidak diobati (Wijaya, 2013, p. 58)
c. Gagal ginjal
Peningkatan tekanan pada arteri renalis dapat mengakibatkan rupture
arteri renalis, sehingga ginjal mengalami perdarahan dan glomerulus
mengalami nekrosis, akibatnya terjadi gagal ginjal (Wijaya, 2013, p. 58)
d. Gagal jantung
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan beban kerja
jantung, peningkatan beban kerja jantung juga akan mengakibatkan
dekompensasi, dimana otot jantung mengendor dan elastisitasnya berkurang,
sehingga jantung tidak lagi mampu memompa dan terjadi gagal jantung
(Wijaya, 2013, p. 58)
e. Ensefalopati
Ensefalopati juga dapat terjadi pada penderita hipertensi, masalah ini
merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan tekanan darah yang sangat
tinggi, perubahan tingkat kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial,
papilledema, dan kejang, untuk saat ini etiologinya belum jelas (LeMone,
Burke and Bauldoff, 2015, p. 1268).

8. Penatalaksanaan
Menurut Wijaya (2013, pp. 57–58) ada beberapa penatalaksanaan dari penyakit
hipertensi yaitu sebagai berikut:
a. Diuretic (Hidroklorotiazid)
Mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
b. Penghambat simpatetik (Metildopa, Klonidin dan Reserpin)
Menghambat aktivitas saraf simpatis.
c. Betabloker (Metoprolol, Propanolol dan Antenolol)
8
1) Menurunkan daya pompa jantung
2) Tidak dianjurkan pada penderitas yang telah diketahui mengidap gangguan
pernaasan seperti asma bronkial
3) Pada penderita diabetes melits: dapat menutuuoi gejala hipoglikemia.
d. Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksansi otot polos pembuluh
darah.
e. ACE inhibitor (Captopril)
1) Menghambat pembentukan zat angiontensin II
2) Efek samping: batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas
f. Penghambat reseptor angiotensin II (Valsartan)
Penghalang penempelan zat angiontensin II pada reseptir sehingga memperingan
daya pompa jantung.
g. Antagonis kalsium (Diltiasem dan Verapamil)
Menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas).
h. Terapi musik
Kesehatan merupakan tentang keseimbangan atau keharmonisan tubuh, pikiran,
dan jiwa, sehingga dalam kondisi yang optimal semua frekuensi dalam keadaan
harmoni, seperti piano yang dimainkan dengan halus, faktanya musik sering
digunakan dalam penyembuhan, mulai dari bunyi drum kuno, seruling tulang, dan
instrumen-instrumen utama lainya (Berman, Snyder and Frandsen, 2016, p. 331).
Penelitian tentang terapi musik telah banyak dilakukan, dari hasil penelitian
literatur rivew yang dilakukan oleh Yulastari, Betriana and Kartika (2019, p. 58)
terapi musik seperti musik klasik, musik instrumental, dan musik tradisional
memiliki efek terhadap penurunan tekanan darah.

B. Konsep dasar keperawatan


1. Pengkajian
 Aktivitas/ Istirahat.
Meliputi Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup.
Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
 Sirkulasi,

9
Meliputi Gejala : Riwayat Hipertensi, penyakit jantung koroner/katup dan
penyakit stroke, episode palpitasi.
Tanda : Kenaikan Tekanan Darah, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,
radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit
pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian kapiler
mungkin lambat/ bertunda
 Integritas Ego.
Meliputui gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, faktor stress
multiple (hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, tangisan meledak, otot muka tegang,
pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.
 Eliminasi
meliputi Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat
penyakit ginjal pada masa yang lalu).
Tanda meliputi jumlah dan frekuemsi buang air kecil
 Makanan/cairan
meliputi gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi
garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan berat badan saat
ini serta riwayat penggunaan obat diuretik.
Tanda : Berat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria.
 Neurosensori
meliputi, Gejala : Keluhan pening/pusing, sakit kepala, Gangguan
penglihatan (diplobia, penglihatan kabur),
Tanda: perubahan status mental, perubahan orientasi, pola/isi bicara, efek,
proses pikir, penurunan kekuatan genggaman tangan
 Nyeri/ ketidaknyaman
meliputi gejala : Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung), sakit
kepala.
 Pernafasan
meliputi gejala: Dispnea yang berkaitan dari aktivitas/kerja takipnea, dispnea,
batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi nafas
tambahan (krakties/mengi), sianosis

10
 Keamanan, meliputi gejala : Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi
postural.
2. Diagnosa keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload,
perubahan frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan
kontraktilitas, perubahan preload
2. Resiko perfusi serebral tidak efektif ditandai dengan hipertensi
3. Resiko Perfusi Miocard tidak efektif ditandai dengan hipertensi

11
3. Rencana asuhan keperawatan
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1 Penurunan curah jantung berhubungan dengan setelah dilakukan intervensi Label intervensi: perawatan jantung
perubahan afterload, perubahan frekuensi jantung, keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi :
perubahan irama jantung, perubahan kontraktilitas, maka curah jantung meningkat 1. Identifikasi tanda dan gejala primer
perubahan preload: dengan kriteria hasil: penurunan curah jantung
1. kekuatan nadi perifer (dispnea,kelelahan, edema,ortopnea)
Data mayor (meningkat) 2. Monitor tekanan darah
DS: 2. palpitasi (menurun) 3. Monitor intake dan output cairan
1. Perubahan irama jantung 3. takikardi (menurun) 4. Monitor saturasi oksigen
 Palpitasi 4. gambaran EKG aritmia Terapeutik :
2. Perubahan preload (menurun) 1. Posisikan pasien semi fowler atau
 lelah 5. lelah (menurun) fowler
3. Perubahan afterload 6. dispnea (menurun) 2. Berikan terapi relaksasi untuk
 dispnea 7. edema (menurun) mengurangi stres
4. Perubahan kontralktilitas 8. distensi vena jugularis 3. Berikan dukungan emosional dan
 Proximal nocturnal dyspnea (menurun) spiritual
DO: 9. CRT (membaik) 4. Berikan oksigen untuk
1. Perubahan irama jantung (SLKI, 2019, p. 20) mempertahankan saturasi oksigen
 Takikardia Edukasi :
 Gambaran EKG aritmia 1. Ajarkan beraktivitas fisik sesuai
2. Perubahan preload toleransi
2. Ajarkan beraktivitas secara bertahap
 Edema
Kolaborasi
 Distensi vena jugularis
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia
3. Perubahan afterload
(SIKI, 2018, p. 317-318)
 Tekanan darah meningkat
 Nada perifer teraba lemah
 CRT > 3 detik
4. Perubahan kontralktilitas
 Terdengar suara jantung S3 atau S4

12
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
 Ejection franction (EF) menurun

Data Minor
DS:
 Cemas
 Gelisah
DO:
1. Perubahan preload
 Murmur jantung
 Berat badan bertambah

(SDKI, 2017, p.34)

2 Resiko perfusi serebral tidak efektif ditandai dengan setelah dilakukan intervensi Label intervensi: Management
hipertensi keperawatan selama 3 x 24 jam Peningkatan Intrakranial :
maka perfusi serebra meningkat Observasi :
Faktor resiko: dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab peningkatan
1. Hipertensi 1. Tingkat kesadaran (meningkat) TIK
(SDKI, 2017, p.51) 2. Tekanan Intra kranial 2. Monitor tanda/gejala peningkatan
(menurun) TIK
3. Sakit kepala (menurun) 3. Monitor MAP
4. Gelisah (menurun) 4. Monitor status pernafasan
5. Nilai rata-rata TD (membaik) 5. Monitor intake dan output cairan
6. Kesadaran (membaik) Terapeutik :
7. Tekanan darah siastolik 1. Minimalkan stimulus dengan
(membaik) menyediakan lingkungan yang
8. Tekanan darah diastolik tenang
(membaik) 2. Berikan posisi semi Fowler
(SLKI, 2019, p. 86) 3. Pertahankan suhu tubuh normal

13
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian sedasi dan
anti konvulsan, jika perlu
(SIKI, 2018, p. 205)

3 Resiko Perfusi Miocard tidak efektif ditandai dengan setelah dilakukan intervensi Label intervensi: Management aritmia :
Hipertensi keperawatan selama 1 x 24 jam Observasi :
maka perfusi miocard meningkat 1. Periksa onset dan pemicu aritmia
Faktor Resiko: dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi jenis aritmia
Hipertensi 1. Nyeri dada (menurun) 3. Monior frekuensi dan durasi aritmia
(SDKI, 2017, p.46) 2. Distensi abdomen (menurun) 4. Monitor keluhan nyeri dada
3. Tekanan darah arteri rat-rata 5. Monitor saturasi oksigen
(membaik) 6. Monitor kadar elektrolit
4. TD sistolik (membaik) Terapeutik :
5. TD Diastolik (membaik) 1. Berikan lingkungan yag tenang
(SLKI, 2019, p. 85) 2. Pasang akses intravena
3. Pasang monitor jantung
4. Rekam EKG 12 lead
5. Berikan oksigen sesuai indikasi
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia
2. Kolaborasi pemberian kardioversi,
jika perlu
3. Kolaborasi pemberian defibrilasi,
jika perlu
(SIKI, 2018, p. 152)

14
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang sudah
dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, proses yang kontinue yang
penting untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang diberikan, yang
dilakukan dengan meninjau respon pasien untuk menentukan keefektifan rencana
keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tujuan dari evaluasi adalah menilai
keberhasilan dari tindakan perawatan, respon klien terhadap tindakan yang telah
diberikan dan mencegah masalah-masalah yang mungkin timbul lagi. Ada dua
evaluasi yang ditemukan yaitu sebagai berikut :
a. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk
menilai hasil dari tindakan yang telah dilakukan.
b. Evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir dari keseluruhan tindakan yang dilakukan
dan disesuaikan dengan kriteria waktu yang telah ditetapkan.

6. Discharge Planing
a. Pemantauan Tekanan darah
b. Pematauan minum obat rutin
c. Berhenti merokok (jika memiliki riwayat merokok)
d. Diet rendah garam
e. Olahraga teratur

15
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MILITUS

A. Konsep Dasar medik


1. Definisi
Diabetes merupakan keadaan dimana kadar glukusa dalam darah meningkat atau
sering disebut dengan hiperglikemia (Urdden and D, 2014). Diabetes merupakan
kelompok penyakit metabolic dengan keadaan hiperglikemia yang disebabkan
oleh faktor-faktor pengganggu insulin baik dari sistem pancreas maupun sel
penerimanya (ADA, 2018). Diabetes digolongkan sebagai penyakit metabolic
kronis yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi batas normal
(Kemenkes RI, 2020).

2. Anatomi fisiologi
Mempertahankan keseimbangan berbagai sel, organ, jaringan pada tubuh
manusia merupakan tugas yang sangat kompleks. Terdapat dua sistem yang
mengatur tugas tersebut, yaitu sistem saraf dan juga sistem endokrin. Sistem
endokrin merupakan sistem yang mengontrol dan mendistribusikan hormone
keseluruh tubuh. Hormone sendiri merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh
kelenjar endokrin dengan jenis dan fungsi yang sangat beragam, seperti
mengontrol pertumbuhan, mengatur jalanya metabolism dan lain sebagainya
(M.Black, 2014)
Sistem endokrin terdiri dari beberapa organ yang salah satunya adalah
pancreas. Organ pancreas merupakan organ yang menghasilkan hormone untuk
membantu proses metabolism dalam tubuh. Berikut akan menjelaskan mengenai
anatomi dan fisiologi pancreas (M.Black, 2014).
a. Anatomi Pankreas
Pancreas adalah organ dengan bentuk segitiga memanjang. Secara klinis,
organ ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kepala, ekor dan bagian
badan (lihat gambar 2.1). bagian kepala berada pada lengkungan yang
berbentuk C dekat duodenum, dan ekor yang memanjang kebelakang dari
bawah perut menunju limfa. Pada orang dewasa, pancreas memiliki panjang
sekitar 15 cm (6 inci) dan lebar 4 cm (1,5 inci) (Urdden and D, 2014).

16
1) Pasokan Darah Pankreas
Pankreas menerima suplay darah dari berbagai macam arteri. Pada
bagian kepala pancreas menerima darah dari arteri pancreatiduodenum
superior yang merupakan percabangan dari Celiac Trunk), pada bagian
pancreas inferior menerima darah dari arteri odenal (Odenal Arteri), yang
bercabang dari arteri mesentrika superior. Pada bagian tubuh dan ekor
menerima darah dari multiple cabang arteri limfa (cabang lain dari arteri
celiac). Drainase vena terjadi pada saluran yang berdampingan dengan
arteri lalu bermuara pada vena porta (Urdden and D, 2014).

(Gambar 2.1)
Anatomi Pankreas
2) Sel eksokrin
Sel eksokrin khusus pada pancreas mengeluarkan enzim pencernaan
melalui saluran dengan lebar 3 mm dan melintasi panjangnya pancreas.
Saluran pancreas bergabung dengan saluran cystic duct, membawa
empedu dari hati dan kantong empedu sebelum masuk kedalam duodenum
(Urdden and D, 2014). (lihat gambar 2.2)
3) Sel endokrin
Pancreas mengandung sel-sel endokrin khusus yang mengeluarkan
hormone langsung ke aliran darah. Jaringan endokrin kurang dari 5 % dari
total volume pancreas. fungsi pada hormone endokrin akan dijelaskan
lebih lanjut pada fisiologis pancreas (Urdden and D, 2014).

17
Gambar 2.2 Sel-sel Pankreas
b. Fisiologis
Fisiologis metabolism glukosa secara tradisionl terfokus eksklusif di
pancreas. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, metabolism glukosa
berkembang mencakup keseluruhan transport glukosa protein ke seluler, yang
dikenal sebagai glucose transportet (GLUTs), dan penyerapan protein dari
sistem gastrointestinal (Urdden and D, 2014).
Di pankreas terdapat gugusan sel kecil-kecil yang berbentuk seperti
pulau di antara sel-sel eksokrin. Gugusan ini dikenal sebagai pulau
lanngerhans (Islets of Langerhans) dan terdiri dari 4 tipe sel yang berbeda. Sel
tersebut meliputi sel alfa, beta, delta dan PP (lihat gambar 2.3) sel alfa
mengeluarkan glucagon, sel beta mengeluarkan insulin, sel delta
mentgeluarkan somastotatin dan sel PP mengeluarkan hormone polipeptida
pancreas (Urdden and D, 2014).

Gambar 2.3
Sel-sel Pada Pulau Langerhans

18
Sebagian besar pulau langerhans terdiri dari sel alfa yang mensekresikan
glucagon dan sel beta yang mensekresikan insulin. Hormone-hormon ini
dilepaskan ke kapiler vena yang kemudian menuju vena portal. Hormone
kemudian berjalan kesirkulasi umum untuk mencapai sel-sel target lainnya
(Urdden and D, 2014).
1) Insulin
Insulin adalah hormone y ang diproduksi oleh sel beta dari pancreas.
Hormone ini biasanya disekresikan pada keadaan dimana glukosa dalam
dara meningkat. Insulin adalah satu-satunya hormone yang di produksi
didalam tubuh dengan fungsi untuk menunrunkan kadar glukosa dalam
darah. Insulin bertanggung jawab untuk penyimpanan nutrisi karbohidrat,
protein dan lemak. Insulin juga menambah pengangkutan kalium ke dalam
sel, menurunkan mobilisasi lemak dan merangsang sintesis protein
(Urdden and D, 2014).
2) Glukosa Darah
Glukosa darah dilaporkan dalam Milimol per litel, yang merupakan
satuan sistem internasional (SI) yang digunakan di seluruh dunia. Di
amerika serikat, glukosa darah diukur dalam milligram per desi liter. Pada
keadaan normal, kadar glukosa darah berada pada rentang 70-100 mg/dL
(3,9-5,6 mmol/L) (Urdden and D, 2014).
Pada penderita yang mengalami diabetes, biasanya terjadi karena
kerusakan sel beta. Diabetes memiliki 2 tipe yaitu diabetes tipe 1 dan tipe
2. Pada diabetes tipe 1, semua sel beta sudah tidak berfungsi. Pada
diabetes tipe 2, hanya sebagian sel beta yang berfungsi untuk
menghasilkan insulin. Kerusakan sel beta akan menggangu keseimbangan
kadar glukosa dalam darah (Urdden and D, 2014).
Anabolisme karbohidrat (Anabolise karbohidrat). Glukosa dimasukan
kedalam kerangka, sel jantung dan otot untuk digunakan sebagai energy
dengan difasilitasi oleh transport glukosa 4 (GLUT4) dan insulin.
Pergerakan glukosa dari sirkulasi kedalam sel atau kompartemen
intraseluler akan mengurangi kadar glukosa darah dan membantu
menurunkan osmolaritas darah. Secara bersamaan, glukosa digunakan
sebagai sumber energy utamanya. Kelebihan glukosa akan disimpan
dalam bentuk glikogen ke sel-sel hatio dan otot yang akan digunakan

19
sebagai bahan bakar dikemudian hari. Penyimpanan glikogen menjadi
salah satu cadangan apabila tubuh mengalami hipoglikemi. Pada keadaan
diabetes tipe I, glikogen terlalu melimpah dalam darah setelah makan
(hiperglikemi popstprandial) dan tidak ada insulin yang memasukan
glukosa kedalam sel (Urdden and D, 2014).
Anabolisme lemak (Fat Anabolism). Tingkat insulin yang memadai
dan efektif sangat penting bagi metabolisme lemak/lipid. Diabetes tipe 2
sangat kuat eratanya dengan hiperlipidemia dan peningkatan penyakit
kardiovaskuler. Diabetes tipe dua ditandai dengan produksi lipid yang
berlebihan, trigliserida meningkat dan penurunan lipoprotein. Gangguan
metabolism karbohidrat dan lemak juga teradi terkait sindrom metabolic
(Urdden and D, 2014).
Konservasi protein. Insulin dan GLUTs bersama-sama memfasilitasi
transfer glukosa melintasi dinding sel. Dengan tersedianya glukosa
(karbohidrat) sebagai bahan bakar utama tubuh, maka protein memiliki
presentase kecil untuk digunakan dalam bahan bakar. Protein kemudian
tersedia untuk sistesis menjadi asam amino. Tubuh menggunakan protein
untuk energy hanya pada kondisi dengan hiperglikemi, dimana kadar
glukosa dalam sel berkurang karena menumpuk pada peredaran darah
(Urdden and D, 2014).
3) Glucagon
Glukagon disintesis oleh sel alfa di pancreas, memiliki efek kebalikan
dari insulin. Glucagon dilepaskan selama hipoglikemi untuk menginduksi
output glukosa. Glucagon dapat membentuk glukosa dari non karbohidrat
seperti halnya pada protein dan lemak apabila diperluhkan. Pelepasan
glucagon di pancreas dirangsang dengan kadar lemak dalam darah
menurun, kelaparan, olah raga atau stimulasi nervous sistem (SNS).
Glukagin melindungi otak dari efek hipoglikemi (Urdden and D, 2014).
4) Somastotatin
Somastotatin adalah hormone yang diproduksi oleh sel delta pada
pancreas. Hormone ini berfungsi sebagai penghambat/mengurangi sekresi
glucagon. Pada keadaan yang tinggi juga dapat mengurangi sekresi
insulin. Hiperglikemia merangsang aktivitas sel delta.hal ini mencegah sel

20
beta mensekresikan insulin terlalu banyak. Somastotatin mungkin terlibat
dalam pengaturan glukosa postprandial (Urdden and D, 2014).
5) Pacreatic polypeptide
PP sel pada pulau langerhans mengeluarkan hormone berupa Pacreatic
Polypeptida (PP). Hormone ini biasanya disekresikan setelah makan dan
bertahan selama beberapa jam. Pengaruh hormone ini diduga membantu
proses pencernaan seperti empedu. Fungsi lainya belum dapat dipahami
(Urdden and D, 2014).
6) Glukosa transport
Pada level seluler, glukosa melewati sel plasma membrane dengan
bantuan Glukosa transport. Terdapat 14 GLUTs yang teridentifikasi
sejauh ini. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada tabel berikut ini
(Urdden and D, 2014).

3. Klasifiksi
Menurut Rendi and TH,( 2012, p. `164-165) klasifikasi diabetes melitus dari
national diabetus data group: classification and diagnosis of diabetes melitus and
other categories of glucosa intolerance:
a. Klasifikasi klinis
1) Diabetes melitus
a) Tipe tergantung insulin (DMTI) tipe I
b) Tipe tak tergantung insulin (DMTTI) tipe II : DMTTI yang tidak
mengalami obesitas dan DMTTI dengan obesitas
2) Gangguan toleransi glukosa (GTG)
3) Diabetes kehamilan (GDM)
b. Klasifikasi risiko statistik
1) Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa
2) Berpotensi menderita kelaninan toleransi glukosa

4. Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologi DM menurut (Hasdianah & Suprapto,
2019) dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin
sebagai berikut :

21
a. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan
naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200mg/dl
b. Meningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang
menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan
endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien – pasien yang mengalami
defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang
normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang
melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 -180
mg/100 ml ), akan timbul glukoria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa. Glukoria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotic yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, dan
pospat. Adanya polirui menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat
glukosa yang keluar bersama urin maka pasien akan mengalami keseimbangan
protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat
yang lain adalah asthenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat
lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya penggunaan
karbohidrat untuk energy. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan
arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer, ini
akan memudahkan terjadinya ganggren.

5. Etiologi
Menurut Wijaya and Putri,( 2013, pp. 4–5) etiologi dari diabetes melitus
yaitu sebagai berikut :
a. Faktor genetic
Peningkatan kerentanan sel-sel beta dan perkembangan antibodi autoimun
terhadap penghancuran sel-sel beta.
b. Faktor infeksi virus
Infeksi virus coxsakie pada individu yang peka secara genetik
c. Faktor imunologi
Respon autoimun abnormal, antibodi menyerang jaringan normal yang
dianggap jaringan asing.

22
d. Obesitas
Obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin dari sel target diseluruh tubuh,
insulin yang tersedia menjadi kurang efektif dalam meningkatkan eek
metabolik
e. Usia
Cenderung meningkat diatas usia 65 tahun
f. Riwayat keluarga
g. Kelompok etnik
h. Penyakit pancreas
i. Penyakit hormonal
j. Obat-obat

6. Tanda dan gejala


Menurut (Wijaya, 2013, pp. 7–8) tanda dan gejala diabetes melitus yaitu
sebagai berikut:
a. Banyak kencing (polyuria)
b. Banyak minum (polydipsia)
c. Banyak makan (polifagia)
d. Penurunan berat badan dan rasa lemah
e. Kesemutan
f. Gangguan penglihatan
g. Gatal / bisul
h. Gangguan ereksi
i. Keputihan

7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut M.Black, (2014), Wijaya and Putri, (2013, p. 8) pemeriksaan
diagnostik diabetes melitus sebagai berikut:
1. Kadar glukosa
 Kadar glukosa darah puasa : > 126 mg/dl
 Kadar glukosa darah sewaktu : > 200 mg/dl
 Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan : > 200 mg/dl
2. Aseton plasma : hasil (+) mencolok

23
3. As lemak bebas : peningkatan lipid dan kolesterol
4. Osmolaritas serum (>330 osm/l)
5. Urinalisis : protinuria, ketonuria, glukosuria

8. Komplikasi
Menurut Rendi and TH, (2012, pp. 169–170) komplikasi dari diabetes
melitus adalah sebagai berikut :
1. Akut
a. Hipoglikemia dan hiperglikemia
b. Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit
jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler)
c. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati,
nefropati
d. Neurofati safar sensorik (berpengaruh pada ekstremitas)saraf otonom
berpengaruh pada gastrointestinal, kardiovaskuler
2. Komplikasi menahun Diabetes Melitus
a. Neuropati diabetik
b. Retinopati diabetik
c. Nefropati diabetik
d. Proteinuria
e. Kelainan koroner
f. Ulkus/ gangren
Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain sebagai berikut :
1) Grade 0 : tidak ada ulkus
2) Garde I : kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit
3) Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
4) Grade III : terjadi abses
5) Grade IV : ganggren pada kaki bagian distal
6) Grade V : gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal.

9. Penatalaksanaan
Menurut Wijaya and Putri, (2013, pp. 9–10) penatalaksanaan untuk
diabetes melitus sebagai berikut :
Tujuannya :

24
1. Jangka panjang : mencegah komplikasi
2. Jangka pendek : menghilangkan keluhan / gejala DM
Penatalaksanaan DM :
1. Diet
Perhimpunan Diabetes Amerika dan Persatuan Dietetik Amerika
Merekomendasikan 50-60% kalori yang berasal dari:
 Karbohidrat 60-70%
 Protein 12-20%
 Lemak 20-30%
2. Obat hipoglikemik oral (OHO)
 Sulfonilurea: Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara:
Menstimulasi penglepasan insutin yang tersimpan, Menurunkan ambang
sekresi Insulin, Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.
 Biguanid: Menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah
normal.
 Inhibitor a glukosidase : Menghambat kerja enzim a glukosidase di
dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia pasca prandial.
 Insulin sensiting agent : Thoazahdine diones meningkatkan sensivitas
insulin, sehingga bisa mengatasi masalah resistensi insulin tanpa
menyebabkan hipoglikemia, tetapi obat ini belum beredar di Indonesia.
 Insulin:
Indikasi gangguan:
a. DM dengan berat badan menurun dengan cepat
b. Ketoasidosis asidosis laktat dengan koma hiperosmolar
c. DM yang mengalami stresberat (infeksi sistemik, operasi barat dil)
d. DM dengan kehamilan atau DM gastasional yang tidak terkendali dalam
pola makan.
e. DM tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dengan dosis
maksimal (kontradiksi dengan obat tersebut), Insulin oral/suntikan
dimulai dari dosis rendah, lalu dinaikkan perlahan, sedikit demi sedikit
sesuai dengan hasil pemeriksaan gula darah pasien.

25
3. Latihan
Latihan dengan cara melawan tahanan dapat menambah taju metablisme
istirahat, dapat menurunkan BB, stres dan menyegarkan tubuh. Latihan
menghindari kemungkinan trauma pada ekstremitas bawah, dan hindari
latihan dalam udara yang sangat panas/dingin, serta pada saat pengendalian
metabolik buruk. Gunakan alas kaki yang tepat dan periksa kaki setiap hari
sesudah melakukan latihan
4. Pemantauan
Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri.

B. Konsep dasar keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Wijaya and Putri, (2013, p. 10) pengkajian pada pasien diabetes
melitus yaitu sebagai berikut :
a. Indentitas klien
b. Riwayat kesehatan sekarang
1) Adanya gatal pada kulit disertai luka yang tidak sembuh-sembuh
2) Kesemutan
3) Menurunnya BB
4) Meningkatnya nasu makan
5) Sering haus
6) Banyak kencing
7) Menurunnya ketajaman penglihatan
c. Riwayat kesehatan dahulu : riwayat penyakit pankreas, hipertensi, MCI, ISK
berulang
d. Riwayat kesehatan keluarga : riwayat keluarga dengan DM
e. Pemeriksaan fisik : head to toe
f. Pemeriksaan penunjang
1) Kadar glukosa
2) Aseton plasma : hasil (+) mencolok
3) As lemak bebas : peningkatan lipid dan kolestrol
4) Osmolaritis serum (>330 osm/l)
5) Urinalisis : proteinuria, ketonuria, glukosuria

26
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan disfungsi pankreas,
resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa darah, dan gangguan glukosa
darah puasa
b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia, penurunan
konsentrasi hemoglobin, kurang terpapar informasi tentang proses penyakit:
Diabetes Mellitus dan kurang aktivitas fisik
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanann
dan peningkatan kebutuhan metabolisme
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan sirkulasi

27
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama:
dengan disfungsi pankreas, resistensi insulin, keperawatan selama 3x24 jam Manajemen Hiperglikemia (PPNI.
gangguan toleransi glukosa darah, dan gangguan ketidakstabilan kadar glukosa darah 2018.p.180)
glukosa darah puasa (PPNI, 2017, p. 21). membaiki, dengan kriteria hasil: Observasi:
Data mayor: 1. Kesadaran (meningkat) 1. Identifikasi kemungkinan penyebab
Ds: Do: 2. Mengantuk (menurun) Hiperglikemia
Hipoglikemia Hipoglikemia 3. Pusing(menurun) 2. Identifikasi situasi yang
 Mengantuk  Gangguan koordinasi 4. lelah/lesu (menurun) menyebabkan kebutuhan insulin
 Pusing  Kadar glukosa dalam 5. keluhan lapar (menurun) meningkat
Hiperglikemia darah/urin rendah 6. Rasa haus (menurun) 3. Monitor kadar glukosa darah
 Lelah atau Hiperglikemia 7. kadar glukosa dalam darah 4. Monitor tanda dan gejala
lesu  Kadar glukosa dalam (membaik) hiperglikemia (polisuria, polidipsia,
darah/urin tinggi 8. palpitasi (membaik) polifagia)
9. jumlah urine (membaik) Terapeutik:
Data minor (PPNI. 2019. p. 43) 5. Berikan asupan cairan oral
Ds: Do: 6. Konsultasi dengan medis jika tanda
Hipoglikemia Hipoglikemi dan gejala hiperglikemia tetap ada
 Palpitasi  Gemetar atau memburuk
 Mengeluh  Kesadaran menurun Edukasi:
lapar  Prilaku aneh 7. Anjurkan menghindari olahraga saat
Hiperglikemia kadar glukosa lebih dari 250 mg/dl
 Sulit berbicara
 Mulut kering 8. Anjurkan kepatuhan terhadap diet
 Berkeringat
dan olahraga
 Haus Hiperglikemia
Kolaborasi:
meningkat  Jumlah urin meningkat 9. Kolaborasi pemberian insulin

28
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama:
hiperglikemia, penurunan aliran arteri atau vena keperawatan selama 3x24 jam. Perawatan sirkulasi (PPNI. 2018,p.345)
Perfusi perifer meningkat. dengan Obervasi:
Data mayor: kriteria hasi: 1. Periksa sirkulasi perifer
Ds:- 1. Denyut nadi perifer 2. Monitor panas, kemerahan, nyeri,
Do: (meningkat) atau bengkak pada ekstremitas
 Pengisian kapiler > 3 detik 2. Penyembuhan luka (meningkat) Terapeutik:
 Nadi perifer menurun atau tidak teraba 3. Sensasi (meningkat) 1. Hindari pemasangan infus atau
 Akral teraba dingin 4. Warna kulit pucat (menurun) pengambilan darah diarea
 Warna kulit pucat 5. Nyeri ekstremitas (menurun) keterbatasan perfusi
 Turgor kulit menurun 6. Nekrosis (menurun) 2. Hindari pengukuran tekanan darah
7. Kram otot (menurun) pada daerah keterbatasan perfusi
Tanda minor: 8. Pengisian kapiler (membaik) 3. Hindari penekanan dan pemasangan
Ds: 9. Kelemahan otot (menurun) torniquet pada daerah cidera
 Parastensia 10. Turgor kulit (membaik) 4. Lakukan perawatan kaki dan kuku
(PPNI. 2019.p.84) 5. Lakukan pencegahan infeksi
 Nyeri ekstremitas (klaudikasi intermiten)
6. Lakukan hidrasi
Do:
Edukasi:
 Edema
1. Anjurkan berolahraga rutin
 Penyembuhan luka lambat 2. Anjurkan perawatan kulit yang tepat
 Bruit femoral Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian transfusi
(PPNI. 2017, p. 37)

3 Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama:
mencerna makanan dan peningkatan kebutuhan keperawatan selama 3x24 jam. Manajemen Nutrisi
metabolisme status nutrisi membaik dengan Obervasi:
kriteria hasil: 1. Identifikasi status nutrisi
Tanda mayor: 1. porsi makanan yang 2. Identifikasi alergi atau intoleransi
Ds: dihabiskan (meningkat) Makanan

29
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
- 2. Pengetahuan standar nutrisi 3. Identifikasi makanan yang disukai
Do: yang tepat (meningkat) 4. Monitor asupan makanan
 berat badan menurun minimal 10 % di bawah 3. Prasaan cepat kenyang 5. Monitor berat badan
rentang ideal (menurun) Terapeutik:
4. Nyeri abdomen (menurun) 6. Sajikan makanan secara menarik
tanda minor 5. Sariawan(menurun) 7. Berikan makanan tinggi kalori dan
Ds: 6. Rabut rontok (menurun) tinggi protein
 cepat kenyang setelah makan 7. Frekuensi makan (membaik) Edukasi:
 kram/nyeri abdomen 8. Nafsu makan (membaik) 8. Ajarkan diet yang diprogramkan
 nafsu makan menurun (PPNI. 2019.p.121). Kolaborasi:
Do: 9. Kolaborasi pemberian medikasi
 Bising usus hiperaktif sebelum makan (mis: Pereda nyeri,
 Membran mukosa cepat antiematik)
(PPNI. 2018.p.200).
 Sariawan
 Serum albumin turun
 Rambut rontok berlebihan
 Diare

(PPNI. 2017, p. 56)

4 Gangguan integritas kulit nerhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Luka (PPNI.2018 p.328-329)
penurunan sirkulasi keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi
gangguan integritas kulit teratasi. 1. Monitor karakteristik luka: Warna,
Tanda mayor: Integritas kulit dan Jaringan ukuran, bau)
Ds: Kerusakan jaringan 2. Monitor tanda-tanda infeksi
- 1. Kerusakan lapisan kulit
Do: 2. Kemerahan Terapeutik:
 Kerusakan jaringan atau lapisan kulit (PPNI, 2019, p.33) 1. Bersihkan luka dengan cairan NaCl
0,9% atau pembersih nontoksik,
tanda minor sesuai kebutuhan

30
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
Ds: 2. Pasang balutan sesuai jenis luka
-
Do: Edukasi:
 Nyeri 1. Ajarkan prosedur perawatan luka
 Perdarahan 2. Anjurkan mengkonsumsi makanan
 Kemerahan tinggi kalori dan protein
 hematoma
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian antibiotik

31
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang
sudah dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, proses yang


kontinue yang penting untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang
diberikan, yang dilakukan dengan meninjau respon pasien untuk menentukan

keefektifan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tujuan dari


evaluasi adalah menilai keberhasilan dari tindakan perawatan, respon klien
terhadap tindakan yang telah diberikan dan mencegah masalah-masalah yang
mungkin timbul lagi. Ada dua evaluasi yang ditemukan yaitu sebagai berikut :
a. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk
menilai hasil dari tindakan yang telah dilakukan.
b. Evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir dari keseluruhan tindakan yang
dilakukan dan disesuaikan dengan kriteria waktu yang telah ditetapkan.

6. Discharge planing
a. Pemantauan kadar glukosa darah
b. Memodifikasi diet
c. Memberikan edukasi tentang pemahaman penyakit DM, diet dan pola aktivitas
d. Program latihan yang terencana
e. Pencegahan DM berulang

DAFTAR PUSTAKA

Clevo, M. R. and T. M. (2012) Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.
M.Black, J. (2014) Keperawatan Medikal Bedah. 8th edn. Singapore: ELSEVIER.
Rendi, M. C. and TH, M. (2012) ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DAN
PENYAKIT DALAM. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sheehy (2018) Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edited by D. Kurniati.
Singapura: Elesivier.

32
Urdden and D, L. (2014) Critical Care: Diagnosis and Management. Elesivier.
Wijaya, A. S. and Y. M. P. (2013) Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Wijaya, A. S. and Putri, Y. M. (2013) KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH. Yogyakarta:
Nuha Medika.

33
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN: GAGAL GINJAL KRONIK
(GGK)
A. Konsep dasar medik
1. Definisi
Gagal ginjal kronik terjadi ketika ginjal tidak mampu dalam mengangkut
sampah metabolic atau mempertahankan keseimbangan metabolic, cairan dan
elektrolit yang dapat menyebabkan uremia atau peningkatan kadar kreatinin dan
terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus (Clevo, 2012, p. 30; Wijaya & Putri,
2013, p. 229). Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang bersifat
irriversibel dan progresif, serta dapat menyebabkan kemampuan tubuh dapat
gagal untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
metabolisme sehingga dapat menimbulkan uremia (Musliha, 2010, p. 76). Gagal
ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal secara bertingkat naik dan berakibat
fatal sehingga kemampuan tubuh gagal untuk dapat mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit serta dalam mengakibatkan
retensi urea dan sampah nitrogen lain yang ada dalam darah (Diyono & Mulyanti,
2019, pp. 43–44).

2. Anatomi fisiologi
Ginjal merupakan organ berpasangan. Berat ± 125 gr, terletak pada posisi
disebelah lateral vertebralis torakalis bawah, beberapa cm disebelah kanan dan
kiri garis tengah. Organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis kapsula renis.
Disebelah anterior dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan
peritonium. Disebelah posterior dilindungi oleh dinding toraks bawah. Darah
dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal
melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis
membawa darah kembali ke dalam vena kava inferior. Urin terbentuk dalam unit-
unit fungsional ginjal yaitu nefron. Urin yang terbentuk dalam nefron lalu doktus
pengumpul dan tubulus renal menyatu untuk membentuk pelvis ginjal lalu uretra,
kandung kemih dan terbentuklah urin. Uretra adalah pipa panjang dengan dinding
yang sebagian besar terdiri atas otot polos. Kandung kemih adalah organ
berongga yang terletak di sebelah anterior tepat dibelakang os pubis sebagai
wadah sementara menampung urin. Uretra muncul dikandung kemih. Pada laki-

34
laki uretra berjalan lewat penis. Sedangkan pada perempuan bermuara tepat di
sebelah anterior vagina. Ginjal terdiri dari yaitu :
a. Bagian external (korteks)
b. Bagian internal (medulla)
c. Setiap ginjal terdiri dari ± 1 juta nefron
d. Nefron sebagai unit fungsional ginjal : 1 buah glomerulus dan 1 buah tubulus.
Glomerulus membentang dan membentuk tubulus yang terdiri atas 3 bagian:
tubulus proximal, ansa henle dan tubulus distal. Tubulus distal bersatu
membentuk duktus pengumpul korteks dan medula untuk mengosongkan isi ke
dalam pelvis ginjal. Fungsi nefron yaitu prose pembentukan urin dimulai dari
darah mengalir lewat glomerulus. Glomerulus merupakan struktur awal nefron
(tersusun atas jonjot-jonjot kapiler) mendapat darah lewat vasa aferen dan
mengalir balik lewat vasa eferen. Ketika dibiarkan melewati struktur ini,
filtrasi terjadi (air & molekul-molekul kecil akan dibiarkan lewat, molekul
besar tetap bertahan dalam aliran darah). Cairan (filtrat) disaring lewat dinding
jonjot-jonjot kapiler glomerulus dan memasuki tubulus ±20% plasma lewat
glomerulus di saring daam nefron dengan jumlah sekitar 180 liter/hari. Filtrat
tersebut yang sangat serupa dengan plasma darah tanpa molekul besar
(protein,sel darah merah, leukosit dan trombosit) pada hakekatnya terdiri dari
air, elektrolit dan molekul kecil lainnya. Dalam tubulus sebagian substansi
secara selektif diabsorbsi ulang ke dalam darah, substansi lain disekresikan
dari darah ke dalam filtrat ketika filtrat tersebut mengalir di sepanjang tubulus
dan akan dipekatkan dalam tubulus distal dan duktus pengumpul menjadi urin
pelvis ginjaal. Glukosa (N) akan diabsorbsi dan diekskresikan ke dalam urin
Na++,Cl-, bicarbonat,K+,glukosa, ureum, kreatinin dan asam urat. Urin
tersusun atas air, elektrolit dan ureum (hasil akhir met dan protein). Fungsi
dari ginjal yaitu pengaturan eksresi asam, pengaturan eksresi elektrolit,
pengaturan eksresi air, otoregulasi tekanan darah dan penyimpanan dan
eliminasi urin (Wijaya and Putri, 2013, pp. 228–229).

3. Klasiikasi
Menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Tahun
2012 diklasifikasi menjadi lima stadium atau berdasarkan penurunan laju filtrasi
glomerulus, yaitu:

35
a. Stadium 1: terjadi kerusakan pada ginjal dengan GFR normal atau meningkat
dengan tanda dan gejala asimtomatik, BUN dan kreatinin normal (GFR
>90mL/menit/1,73m2).
b. Stadium 2: terjadi kerusakan ginjal dan penurunan GFR ringan dengan tanda
dan gejala asimtomatik, kemungkinan hipertensi, pemeriksaan darah biasanya
dalam batas normal (GFR 60-89mL/menit/1,73m2).
c. Stadium 3: terjadi kerusakan ginjal dan penurunan GFR sedang dengan tanda
dan gejala hipertensi, anemia dengan keletihan, kanaikan BUN secara ringan
dan kreatinin serum (GFR 30-59mL/menit/1,73m2).
d. Stadium 4: terjadi kerusakan ginjal dan penurunan GFR berat dengan tanda
dan gejala hipertensi, anemia, malnutrisi, terjadi perubahan metabolisme
tulang, edema, asidosis metabolik, hiperkalsemia, uremia, azotemia dan terjadi
peningkatan BUN serta kadar kreatinin serum (GFR 15-29mL/menit/1,73m2).
e. Stadium 5: penyakit ginjal stadium akhir dan penurunan GFR berat dengan
tanda dan gejala azotemia dan uremia (GFR <15 mL/menit/1,73m 2) (LeMone
& Burke, 2016, p. 1064). Dikutip dari: KDIGO 2012 Guidelines practice
guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.

4. Patofisiologi
Ketika terjadi gagal ginjal sebagian nefron termasuk glomerulus dan tubulus
dapat diduga secara utuh, sedangkan yang lain sudah terjadi kerusakan (hipotesa
nefron utuh), nefron-nefron yang utuh terjadi hipertrofi dan volume filtrasi dapat
meningkat dengan disertai reabsopsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR
kemungkinan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron-nefron rusak dari
sedangkan, beban yang harus dilarutkan menjadi lebih banyak daripada yang bisa
direabsopsi sehingga dapat mengakibatkan diuresis osmotik yang disertai poliuria
dan haus (Wijaya, 2013, p. 231). Proteinuria, hipoksia, dan produksi angiotensin
II dapat berlebihan semuanya dan berkontribusi, dalam upaya mempertahankan
dan menjaga GFR dan glomerulus berhiperfiltrasi maka dapat mengakibatkan
cedera endotel, meningkatnya permeabilitas glomerulus dan meningkatnya
tekanan kapiler yang disebabkan oleh proteinuria, sedangkan hipoksia dapat
berkontribusi terhadap perkembangan penyakit dan angiotensin II dapat
meningkatkan hipertensi glomerulus dan dapat merusak ginjal lebih parah (Black
& Hawks, 2014, p. 309). Serangan pada ginjal di tahap ini (misalnya infeksi,

36
dehidrasi, atau obstruksi saluran kemih) dapat menurunkan fungsi dan memicu
awitan gagal ginjal atau uremia nyata lebih lanjut, dan kadar serum kreatinin serta
BUN naik secara spontan, sehingga pasien menjadi oliguria, dan manifetasi
uremia muncul, pada ESRD atau tahap akhir CKD terjadi GFR normal kurang
dari 10% dan dilakukan terapi penggantian ginjal yang diperlukan untuk bertahan
hidup (LeMone& Burke, 2016, pp. 1062–1063).

5. Etiologi
Menurut para ahli etiologi dari gagal ginjal kronik yaitu sebagai berikut :
a. Nefropati diabetik
Nefropati diabetic dapat menyebabkan mobilisasi lemak dapat meningkat
sehingga dapat terjadi penebalam di membrane kapiler dan di ginjal dan
berkelanjut dengan terjadinya disfungsi endotel sehingga dapat terjadi
amoiloidosis yang disebabkan oleh tejadinya endapan zat-zat proteinemia yang
tidak normal pada dinding pembuluh darah sehingga dapat merusak membrane
glomerulus (Diyono & Mulyanti, 2019, p. 44; Kowalak, 2012, p. 562;
LeMone, & Burke, 2016; Wijaya, 2013, p. 230)
b. Nefrosklerosis hipertensi
Nefrosklerosis merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi yang
lama dan tidak di obati, terjadi sehingga berkarakteristik penebalan, terjadi
hilangnya elastisitas system, perubahan arah ginjal yang menyebabkan
terjadinya penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal (Diyono &
Mulyanti, 2019, p. 44; Kowalak, 2012, p. 562; LeMone & Burke, 2016;
Wijaya, 2013, p. 230).
c. Pielonefritis kronik
Pielonefritis kronik disebabkan oleh beberapa bakteri terutama jenis E. Coli
yang berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri dan infeksi
kronik yang terkait dengan obtruksi atau rufluks vesikoureter yang dapat
menyebabkan jaringan parut dan deformitas kaliks dan pelvis ginjal, yang
menyebabkan rufluks intrarenaldan nefropati (Diyono & Mulyanti, 2019, p.
44; Kowalak, 2012, p. 561; LeMone & Burke, 2016; Wijaya, 2013).
d. Penyakit ginjal polisistik
Penyakit ginjal kronik terjadi karena terbentuk kristal bilateral yang multiple
dan menekan jaringan ginjal yang merusak perfusi ginjal, serta menyebabkan

37
iskemia, remodeling ginjal, dan pelepasan mediator inflamasi, sehingga yang
merusak dan menghancurkan jaringan ginjal normal (Kowalak, 2012, p. 562;
LeMone & Burke, 2016, p. 1064)
e. Glomerulonephritis kronik
Inflamasi intertisial yang kronik pada parenkim ginjal yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kerusakan tubulus dan kapiler yang dapat
mengelilinginya, serta mempengaruhi filtrasi glomerulus dan sekresi serta
reabsorbsi tubulus, dengan terjadinya kehilangan seluruh nefron secara
bertahap (LeMone & Burke, 2016, p. 1064).
f. Eritematosa lupus sistemik
Kompleks imun yang terbentuk di membrane basalis kapiler yang dapat
menyebabkan inflamasi skelrosis dengan glomerulonephritis yang fokal, lokas
dan difus (Kowalak, 2012, p. 562; LeMone & Burke, 2016, p. 1064; Wijaya,
2013, p. 230).

6. Tanda gejala
Menurut (LeMone & Burke, 2016, p. 1065; Wijaya, 2013, p. 233) tanda dan
gejala gagal ginjal kronik yaitu sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler, hipertensi sistemik dapat menjadi manifetasi umum
pada penyakit gagal ginjal kronik, hipertensi dapat terjadi akibat kelebihan
volume cairan. Peningkatan volume cairan ekstraseluler dapat juga
menyebabkan edema dan gagal jantung.
b. Efek hematologi, anemia biasa muncul pada pada gagal ginjal kronik. anemia
dapat menyebabkan manifestasi meliputi kelemahan, depresi, dan gangguan
kognisi.
c. Efek gastrointestinal, anoreksia, mual, muntah merupakan gejala awal uremia
pada penyakit gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada gusi, nafas bau ammonia
d. Efek dermatologi, anemia dan metabolic pigmentasi yang tertahan dapat
menyebakan kulit pucat dan berwarna kekuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapu manifestasi ini terdapat
pada penyakit gagal ginjal kronik.
e. Efek cairan dan elektrolit, pada tahap awal gagal ginjal kronik terjadi
kerusakan filtrasi dan reabsobsi sehingga menyebabkan proteinuria, hematuria

38
dan penurunan kemampuan memekatkan urine. Poliuria, nocturia, dehidrasi,
hiperkalsemia dengan manifestasi kelemahan otot, parastesia dan penurunan
absobsi natrium sehingga menyebabkan hipokalsemia, dan eksresi ion
hidrogen serta produksi dapat rusak dan menyebabkan munculnya manifestasi
asidosis metabolic.

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Hasil pemeriksaan darah dapat membantu dalam penegakan diagnosis gagal
ginjal kronik sebagai berikut:
1) Terjadi penurunan PH darah dalam arteri dan kadar bikarbonat; kadar
hemoglobin dan nilai hemtokrit yang rendah
2) Pemendekan usia sel darah merah, trombositopenia ringan, defek
trombosit
3) Terjadi kenaikan kadar ureum, kreatinin, natrium, dan kalium
4) Hiperglikemia yang ditandai dengan kerusakan metabolisme karbohidrat
5) Terjadi peningkatan kadar sekresi aldosterone yang berhubungan dengan
terjadinya peningkatan produksi renin
6) Terjadi hipertrigliseridemia dan kadar high-density lipoprotein yang
rendah
b. Hasil urinalisis yang dapat membantu penegakan diagnosis gagal ginjal kronik
sebagai berikut:
1) Berat jenis pada nilai yang tetap dengan nilai 1,010
2) Proteinuria, glikosuria, sel darah merah, leukosit, kristal yang
bergantung pada penyebab.
c. Hasil pemeriksaan lain yang digunakan untuk dapat membantu penegakan
diagnosis gagal ginjal kronik sebagai berikut:
1) Terjadi penurunan ukuran ginjal pada hasil foto rontgen BNO, urografi,
ekskretori, nefririmigrafi, CT scan renal atau arteriografi renal
2) Biopsi ginjal untuk dapat menentukan penyakit yang dilatari
3) EEG untuk mengenali ensefalopati metabolik (Kowalak, 2012; Wijaya
and Putri, 2013)

39
8. Kompllikasi
a. Komplikasi yang dapat terjadi pada gagal ginjal kronik sebagai berikut:
1) Anemia
Anemia mengakibatkan terjadinya ketidakadekuatan produksi
eritropoitin, usia sel darah merah dapat memendek, defisiensi nutrisi serta
mengalami terjadinya perdarahan akibat dari status uremik pasien
terutama pada saluran gastrointestinal (Diyono & Mulyanti, 2019, p. 47;
Kowalak, 2012, p. 564).
2) Neuropati perifer
Neuropati perifer dapat ditandai dengan gejala awal yaitu perubahan
mental, kesulitan berkonsentrasi, keletihan, serta insomnia dan untuk
tanda yang terjadi adalah psikotik, kejang dan koma sehingga dapat
menyebabkan ensefalopati uremia lanjut (Kowalak, 2012; LeMone,
Priscilla; Burke Karen M; Bauldoff, 2016).
3) Komplikasi kardiopulmoner
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama penyakit gagal
ginjal kronik dan dapat terjadi akibat aterosklerosis, hipertensi sistemik
dapat terjadi akibat kelebihan volume cairan, peningkatan aktivitas renin
angiotensin, peningkatan resitensi vaskuler serta pnurunan prostaglandin
dan terjadi peningkatan volume cairan ekstraseluler yaitu dapat
menyebabkan edema dan gagal jantung (Kowalak, 2012, p. 564; LeMone
& Burke, 2016, pp. 1064–1065).
4) Komplikasi gastrointestinal
Gastrointestinal muncul dengan gejala awal anoreksia, mual dan
muntah, serta ulserasi dapat mempengaruhi dan menyebabkan terjadinya
peningkatan risiko perdarahan di gastrointestinal (Kowalak, 2012, p. 564;
LeMone & Burke, 2016, p. 1065).
5) Komplikasi efek muskuloskeletal
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia yang terkait dengan uremia untuk
menstimulasi sekresi hormon paratiroid, sehingga hormon paratiroid dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan reabsopsi kalsium dari tulang dan
reabsopsi serta remodelling tulang dapat bersamaan menurunkan sintensi
vitamin D dan penurunan absorpsi kalsium dari saluran gastrointestinal
sehingga dapat menyebabkan osteodistrofi ginjal dapat disebut dengan

40
riketsia ginjal dan ditandai dengan osteomalasia, pelunakan tulang,
osteoporosis dan penurunan massa tulang (Diyono and Mulyanti, 2019, p.
51; LeMone & Burke, 2016, p. 1065).
b. Komplikasi psikologis klien gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronik mempunyai komplikasi terhadap psikologis yakni
adaptasi psikologis. Adaptasi psikolgis merupakan suatu bentuk penyesuaian
secara psikologis terhadap stressor dengan cara membangun mekanisme
pertahankan pada diri sehingga dapat melindungi diri dari berbagai serangan
yang tidak menyenangkan (Saputra, 2013). Stress psikologis dapat
menyebabkan klien gagal ginjal kronik mengalami kecemasan, rasa tidak
aman, merasa terancam, frustasi, ketidaknyamanan, dan konflik terhadap
dirinya (Saputra, 2013). Gagal ginjal kronik dapat membuat klien lebih
merasakan ketidaknyamanan dan dapat menurunkan kualitas hidup klien yakni
secara kesehatan fisik, psikologis, spiritual, status mental ekonomi dan
dampak keluarga (H, Munawaroh and Mashudi, 2019, p. 3). Psikososial klien
gagal ginjal kronik juga dapat mengganggu fungsi peran, kekhawatiran
terhadap hubungan dengan pasangan, terjadi perubahan gaya hidup,
kehilangan semangat akibat adanya pembatasan-pembatasan serta terjadi
adanya perasaan yang terisolasi, dan klien yang usia muda juga mengalami
kekhawatiran terhadap pernikahan mereka, serta anak-anak yang dimiliki dan
beban yang dapat ditimbulkan pada keluarga (Armiyati and Rahayu, 2014, p.
1).

9. Penatalaksanaan
Menurut Diyono and Mulyanti (2019, pp. 50–51) Klien gagal ginjal kronik
usaha yang harus ditujukan agar dapat mengurangi gejala yang terjadi, mampu
mencegah kerusakan atau memperburuk ginjal, sebagai berikut:
a. Memonitor kelebihan cairan: oedem, JVP
b. Monitor keseimbangan cairan secara ketat
c. Memberi serta mengaktifkan support system
d. Manajemen nutrisi
e. Manajemen asam basa
f. Manajemen cairan dan elektrolit
g. Mencegah terjadinya infeksi nasokomial dan anemia

41
h. Terapi:
1) Anti hipertensi
2) Eritropoetin
3) Koreksi kalium dan kalsium
i. Siapkan untuk Dialisis, Dialisis mempunyai dua jenis yakni dialisis
peritoneal dan hemodialisa, dialisis peritoneal penggunaan yang sangat relatif
mudah kerena memungkinkan dapat diatur di rumah dan biasanya
memungkinkan klien lebih mandiri serta aktif daripada hemodialisa, dialysis
peritoneal juga banyak digunakan untuk pilihan pengobatan pada anak-anak
karena dialisis peritoneal kelihatannya mempunyai efek yang lebih sedikit
untuk pertumbuhan, namun dialisis peritoneal juga dapat digunakan pada
klien yang mempunyai penyakit kardiovaskuler yang berat serta klien
diabetes karena dapat menurunkan resiko perdarahan pada retina (Black &
Hawks, 2014, pp. 341–342).
j. Siapkan transplatasi ginjal, transplatasi ginjal merupakan donor ginjal dan
resipien adalah kembar identic, transplatasi ginjal sebagai terapi penyakit
gagal ginjal kronik pada tahap akhir atau disebut dengan ESRD (LeMone &
Burke, 2016, p. 1069).

B. Konsep dasar keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Wijaya and Putri, (2013, pp. 234-235 ) pengkajian pada pasien
gagal ginjal kronik yaitu sebagai berikut :
a. Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan adanya DM, nefrosklerosis, hipertensi, GNC/GGA yang tak
teratasi, obstruksi/infeksi tr.urinarius, penyalahgunaan analgetik
b. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan sekarang Riwayat asidosis tubulus ginjal dan penyakit
polikistik dalam keluarga
c. Aktivitas/istirahat : kelelahan yang ekstrem, kelemahan, malase
d. Sirkulasi : riwayat hipertensi lama adalah berat, palpitasi, nyeri dada
e. Integritas ego : faktor stres, contoh finansial, hubungan dan sebagainya.
Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan

42
f. Eliminasi : penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria, abdomen kembung,
diare atau konstipasi
g. Makanan dan cairan : BB meningkat (edema), BB menurun (malnutrisi),
anorexia, nyeri ulu hati , mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut
(nafas amoniak) penggunaan diuretik.
h. Neurosensori : sakit kepala, penglihatan kabar, kram otot/kejang, sindrom kaki
gelisah, kebas rasa terbakar pada telapak kaki, kebas/kesemutan dan
kelemahan, terutama ektremitas bawah (neurofati perifer)
i. Nyeri/ kenyamanan : nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki
(memburuk malam hari)
j. Pernafasan : nafas pendek, dispnea nokturnal paraksimal, batuk dengan /tanpa
sputum kental dan banyak
k. Keamanan : kulit gatal, ada berulangnya infeksi
l. Sexualitas : penurunan libido, amenore, infiltrasi

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
b. penurunan curah jantung b.d perubahan afterload, perubahan frekuensi
jantung, perubahan irama jantung, perubahan kontraktilitas, perubahan
preload:
c. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas

43
3. Intervensi keperawatan
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1 Hipervolemia berhubungan dengan gangguan setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipervolemia
mekanisme regulasi keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi :
maka keseimbangan cairan 1. Periksa tanda gejala hipervolemia
Data Mayor meningkat dengan kriteria hasil: (edema, ortopnea, dyspnea dll)
Ds: 1. Haluran urin (meningkat) 2. Identifikasi penyebab hipervolemia
 Ortopnea 2. Edema (menurun) 3. Monitor status hemodinamik (TD,
 Dispnea 3. Asites (menurun) HR, MAP, CVP, PAP, PCWP,
 Proximal nocturnal dyspnea 4. Tekanan darah (membaik) CO,CI) jika tersedia
Do: 5. Denyut nadi radial (membaik) 4. Monitor intake dan output cairan
 Edema anasarka atau perifer 6. Berat badan (membaik) 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
 BB meningkat dengan waktu singkat (PPNI, 2019,p. 41) (kadar natrium, BUN, Ht, Berat
 JVP meningkat jenis urin)
6. Monitor kecepatan infus secara ketat
 Reflek hepatojegular positif
7. Monitor efek samping diuretik
Data Minor:
(hipotensi ,hipovolemia)
Ds:-
Terapeutik :
Do:
1. Timbang BB pasien setiap hari
 Distensi vena jugularis
dengan waktu yang sama
 Terdengar suara nafas tambahan 2. Batasi asupan cairan dan garam
 Hepatomegali 3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40
 Kadar Hb/Ht menurun derajat
 Oliguria
 Intake cairan lebih banyak dari output Edukasi :
 Kongesti paru 1. Anjurakan melapor jika BB
bertambah lebih dari 1 kg/ hari
(PPNI, 2017, p.62) 2. Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluran cairan
3. Ajarkan membatasi asupan cairan

44
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretik
2. Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium karena diuretik
(PPNI, 2018, p. 181-182)

2 Penurunan curah jantung berhubungan dengan setelah dilakukan intervensi Label intervensi: perawatan jantung
perubahan afterload, perubahan frekuensi jantung, keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi :
perubahan irama jantung, perubahan kontraktilitas, maka curah jantung meningkat 1. Identifikasi tanda dan gejala primer
perubahan preload: dengan kriteria hasil: penurunan curah jantung
1. kekuatan nadi perifer (dispnea,kelelahan,edema,ortopnea)
Data mayor (meningkat) 2. Monitor tekanan darah
DS: 2. palpitasi (menurun) 3. Monitor intake dan output cairan
1. Perubahan irama jantung 3. takikardi (menurun) 4. Monitor saturasi oksigen
 Palpitasi 4. gambaran EKG aritmia Terapeutik :
2. Perubahan preload (menurun) 1. Posisikan pasien semi fowler atau
 lelah 5. lelah (menurun) fowler
3. Perubahan afterload 6. dispnea (menurun) 2. Berikan terapi relaksasi untuk
 dispnea 7. edema (menurun) mengurangi stres
4. Perubahan kontralktilitas 8. distensi vena jugularis 3. Berikan dukungan emosional dan
 Proximal nocturnal dyspnea (menurun) spiritual
DO: 9. CRT (membaik) 4. Berikan oksigen untuk
1. Perubahan irama jantung (PPNI, 2019, p. 20) mempertahankan saturasi oksigen
 Takikardia Edukasi :
 Gambaran EKG aritmia 1. Ajarkan beraktivitas fisik sesuai
2. Perubahan preload toleransi
2. Ajarkan beraktivitas secara bertahap
 Edema
Kolaborasi
 Distensi vena jugularis
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia
3. Perubahan afterload
(PPNI, 2018, p. 317-318)
 Tekanan darah meningkat

45
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
 Nada perifer teraba lemah
 CRT > 3 detik
4. Perubahan kontralktilitas
 Terdengar suara jantung S3 atau S4
 Ejection franction (EF) menurun

Data Minor
DS:
 Cemas
 Gelisah
DO:
1. Perubahan preload
 Murmur jantung
 Berat badan bertambah

(PPNI, 2017, p.34)

3 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Nafas
hambatan upaya nafas keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi :
Data Mayor: maka pola nafas membaik dengan 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
Ds: kriteria hasil: kedalaman, usaha nafas)
 Dispnea 1. Ventilasi semenit(meningkat) 2. Monitor bunyi nafas tambahan
Do: 2. Dispnea (menurun) 3. Monitor sputum
 Penggunaan otot bantu pernapasan 3. Penggunaan otot bantu nafas Terapeutik :
 Fase ekspirasi memanjang (menurun) 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Pola nafas abnormal 4. Pemanjangan fase ekspirasi 2. Posisikan semi fowler atau fowler
(menurun) 3. Berikan minuman hangat
Data Minor 5. Frekuensi nafas (membaik) 4. Lakukan penghisapan lendir jika
Ds: 6. Kedalaman nafas (membaik) perlu
 Ortopnea (PPNI, 2019, p. 95) 5. Berikan oksigen untuk

46
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
mempertahankan saturasi oksigen
Do: Kolaborasi
 Pernapasan pursed-lip 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
 Pernapasan cuping hidung ekspektoran, mukolitik, jika perlu
 Ventilasi semenit menurun (PPNI, 2018, p. 186-187)
 Kapasitas vital menurun
 Tekanan ekspirasi menurun
 Tekanan inspirasi menurun
(PPNI, 2017, p. 26)

47
4. Implementasi keperawtan
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang
sudah dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien.

5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, proses yang


kontinue yang penting untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang
diberikan, yang dilakukan dengan meninjau respon pasien untuk menentukan

keefektifan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tujuan dari


evaluasi adalah menilai keberhasilan dari tindakan perawatan, respon klien
terhadap tindakan yang telah diberikan dan mencegah masalah-masalah yang
mungkin timbul lagi. Ada dua evaluasi yang ditemukan yaitu sebagai berikut :
a. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk
menilai hasil dari tindakan yang telah dilakukan.
b. Evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir dari keseluruhan tindakan yang
dilakukan dan disesuaikan dengan kriteria waktu yang telah ditetapkan.

6. Discharge planning
a. Monitor keseimbangan cairan secara ketat
b. Memberi serta mengaktifkan support system
c. Manajemen nutrisi
d. Manajemen asam basa
e. Manajemen cairan dan elektrolit

48
49
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER: UNSTABLE ANGINA PECTORIS (UAP)

A. Konsep dasar medik


1. Definisi
Angina pektoris adalah suatu sindroma kronis dimana pasien mendapat
serangan sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang
seringkali menjalar ke lengan sebelah kiri yang timbul pada waktu aktifitas dan
segera hilang bila aktifitas berhenti (Wijaya & Putri, 2013). Aktivitas fisik dan
emosi menyebabkan jantung bekerja lebih berat dan karena itu menyebabkan
meningkatnya kebutuhan jantung akan oksigen. Jika arteri menyempit atau
tersumbat sehingga aliran darah ke otot tidak dapat memenuhi kebutuhan jantung
akan oksigen, maka bisa terjadi kekurangan oksigen dapat menyebabkan nyeri
(Kasron, 2012). Pada umumnya dapat dibedakan 3 tipe angina yaitu:
a. Angina Pectoris Stabil
Pada keadaan ini, tidak selalu menyebabkan terjadinya iskemik seperti waktu
istirahat. Angina pektoris akan timbul pada setiap aktifitas yang dapat
meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan status jantung sehingga
kebutuhan O2 akan bertambah seperti pada aktifitas fisik yang berat, namun
hilang dengan segera dan ketika di istirahatkan atau menggunakan pengobatan
terhadap angina. Rasa sakitnya dapat menyebar ke lengan, punggung, atau area
lain.
b. Variant Angina
Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat, akibat
penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian terbaru
menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis akibat spasme koroner baik
pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan obstruksi koroner
yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu istirahat jelas disertai
penurunan aliran darah arteri koroner.
c. Unstable Angina Pectoris (Angina pektoris tidak stabil/ ATS)
Merupakan jenis angina yang sangat berbahaya dan membutuhkan waktu
penanganan segera. Dijumpai pada individu dengan penyakit arteri coroner
yang memburuk. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban jantung.
Hal ini tampaknya terjadi akibat aterosklerosis koroner, yang ditandai
50
perkembangan thrombus yang mudah mengalami spasme. Terjadi spasme
sebagai respon terhadap peptide vasoaktif yang dikeluarkan trombosit yang
tertarik ke area yang mengalami kerusakan. Seiring dengan pertumbuhan
thrombus, frekuensi dan keparahan serangan angina tidak stabil meningkat dan
individu beresiko mengalami kerusakan jantung. Unstable angina dapat juga
dikarenakan kondisi kurang darah (anemia). Angina pada pertama kali atau
angina stabil dengan frekuesi berat dan lamanya meningkat. Timbul di waktu
istirahat atau kerja ringan. Biasanya lebih parah dan hilang dalam waktu yang
lama, dan tidak akan hilang saat beristirahat ataupun pengobatan angina.

2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi

b. Fisiologi

Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat


dada. Bagian kanan dan kiri jantung masing masing memiliki ruang sebelah atas
(atrium yang mengumpulkan darah dan ruang sebelah bawah (ventrikel) yang
mengeluarkan darah. Supaya darah hanya mengalir dalam satu arah, makan
ventrikel memilliki satu katup pada jalan masuk dan satu katup pada jalan keluar
(Watson, Roger 2015). Jantung merupakan organ berongga, berotot, dan

51
berbentuk kerucut. Terletak diantara paru-paru kiri dan kanan, di daerah yang
disebut mediastinum, di belakang badan sternum, dan dua pertigaya terletak di
sisi kiri. Basis yang terbentuk sirkular pada kerucut menghadap keatas dan
kekanan, sedangkan puncaknya mengarah ke bawah, kedepan, dan ke kiri.
Puncak jantung biasanya terletak setinggi ruang interkostal kelima, sekitar 9 cm
dari garis tengah. Ukuran jantung sekitar 12 cm dari basis ke puncak, dengan
lebar sekitar 9 cm dan tebal sekitar 6 cm (Brunner & Suddarth, 2013).
Pembuluh darah merupakan keseluruhan sistem peredaran (sistem
kardiovaskuler) terdiri dari arteri, arteriola, kapiler, venula dan vena. Pembuluh
arteri berdinding tebal, berotot, dan elastis untuk menahan tingginya tekanan
darah yang dipompa dari jantung.Vena yang membawa darah kembali ke jantung,
berdinding lebih tipis dan mudah teregang, memungkinkannya mengembang dan
membawa darah berjurnlah besar saat tubuh sedang beristirahat. Dinding dalam
pada banyak vena mempunyai lipatan yang berperan sebagai katup searah untuk
mencegah darah bergerak ke arah yang salah. Berat jantung orang dewasa laki-
laki 300-350 gr, berat jantung orang dewasa wanita 250-350 gr. Panjang jantung
12 cm, lebar 9 cm dan tebal 6 cm atau 4 gr/kg BB dari berat badan ideal.
Jantung dipisahkan dari basis ke puncaknya oleh partisi otot yang
disebut septum. Dalam kondisi sehat, kedua sisi jantung tidak berhubungan.
Masing-masing sisi dibagi lagi menjadi ruang atas dan ruang bawah. Ruang atas
pada setiap sisi atrium berukuran lebih kecil dan merupakan kamar penerima,
tempat tujuan aliran darah dari vena. Ventrikel merupakan kamar pemompa
(discharging), tempat darah mulai didorong ke dalam arteri. Setiap atrium
berhubungan dengan ventrikel sisi yang sama melalui suatu lubang yang dijaga
oleh suatu katup yang disebut katup atrioventrikular (Brunner & Suddarth, 2013).
Pericardium adalah memberan yang mengelilingi dan melapisi
jantung.dan memberan ini membatasi jantung pada posisi didalam mediastinum.
Pericardium terdiri dari dua bagian yaitu fibrous pericardium dan serous
pericardium. Febrous pericardium superficial adalah lapisan keras,tidak elastik
dan merupakan jaringan tebal yang tidak beraturan. Fungsi dari fibrous
pericardium mencegah peregangan berlebihan dari jantung, melindungi dan
menempatkan jantung dalam mediastinum (Brunner & Suddarth, 2013).
Serous pericardium adalah lapisan dalam yang tipis, memberan yang
halus yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan parietal adalah lapisan paling luar dari
52
serous pericardium yang menyatu dengan perikardium fibrosa. Bagian dalam
adalah lapisan visceral yang di sebut juga epicardium,yang menempel pada
permukaan jantung , antara lapisan parietal dan visceral terdapat cairan yang di
sebut cairan perikadial. Cairan perikardial adalah cairan yang dihasilkan oleh sell
pericardial untuk mencegah pergesekan antara memberan saat jantung
berkontraksi. Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan yaitu: Epikardium (lapisan
terluar), Myocardium (lapisan tengah), Endocardium (lapisan terdalam).
Lapisan perikardium dapat disebut juga lapisan visceral, dari serous
perikardium. Lapisan luar yang transparan dari dinding jantung terdiri dari
mesothelium yang bertekstur licin pada permukaan jantung. Myocardium adalah
jaringan otot jantung yang paling tebal dari jantung dan berfungsi sebagai pompa
jantung dan bersifat involunter.
Endocardium adalah lapisan tipis dari endotelium yang melapisi lapisan
tipis jaringan penghubung yang memberikan suatu batas yang licin bagi ruang-
ruang jantung dan menutupi katup-katup jantung. Endocardium bersambung
dengan endothelial yang melapisi pembuluh besar jantung. Jantung terdiri dari
empat ruang,dua atrium dan dua ventrikel pada bagian anterior. Setiap atrium
terdapat auricle,setiap aurikel meningkatkan kapasitas ruang atrium sehingga
atrium menerima volume darah yang lebih besar.
Pada permukaan jantung terdapat lekuk yang saling berhubungan disebut
sulkus yang mengandung pembuluh darah koroner dan sejumlah lemak. Masing-
masing sulkus memberi tanda batas eksternal antar dua ruang jantung. Sulkus
koroner bagian dalam mengelilingi sebagian jantung dan memberi tanda batas
antara atrium superior dan ventrikel inferior. Sulkus interventrikuler anterior
adalah lekukan dangkal pada permukaan depan jantung yang memberi tanda batas
antara ventrikel kanan dan kiri, sulkus ini berlanjut mengelilingi permukaan
posterior jantung yang disebut sulkus interventrikuler posterior dimana memberi
tanda batas antar ventrikel di bagian belakang jantung (Smeltzer, 2015).
Atrium kanan menerima darah dari cava superior,cava inferior dan sinus
koronarius. Pada bagian antero superior atrium kanan terdapat lekukan ruang
yang berbentuk daun telinga yang disebut aurikel, pada bagian posterior dan
septal licin dan rata tetapi daerah lateral dan aurikel permukaannya kasar serta

tersusun dari serabut-serabut otot yang berjalan pararel yang disebut pactinatus.

53
Tebal dinding antrium kanan 2 cm (Smeltzer, 2015).
Ventrikel kanan membentuk hampir sebagian besar permukaan depan
jantung. Bagian dalam dari ventrikel kanan terdiri dari tonjolan-tonjolan yang
terbentuk dari ikatan jaringan serabut otot jantung yang disebut trabeculae
carneae. Ventrikel kanan membentuk hampir sebagian besar permukaan depan
jantung. Bagian dalam dari ventrikel kanan terdiri dari tonjolan-tonjolan yang
terbentuk dari ikatan jaringan serabut otot jantung yang disebut trabeculae
carneae. Beberapa trabeculae carneae merupakan bagian yang membawa sistem
konduksi dari jantung. Daun katup trikuspid dihubungkan dengan tali seperti
tendon yang disebut dengan chorda tendinea yang disambungkan dengan
trabekula yang berbentuk kerucut yang disebut papillary muscle. Ventrikel kanan
dipisahkan dengan ventrikel kiri oleh interventrikuler septum. Darah dari
ventrikel kanan melalui katup semilunar pulmonal ke pembuluh darah arteri besar
yang disebut pulmonary truk yang dibagi menjadi arteri pulmonal kanan dan kiri
(Smeltzer, 2015).
Atrium kiri membentuk sebagian besar dasar jantung. Atrium kiri
menerima darah dari paru-paru melalui empat vena pulmonal. Seperti pada atrium
kanan bagian dalam atrium kiri mempunyai dinding posterior yang lunak. Darah
dibawa dari atrium kiri ke ventrikel kiri melalui katup bikuspid dimana
mempunyai dua daun katup.
Ventrikel kiri membentuk apex dari jantung yang mengandung trabecula
carneae dan mempunyai chorda tendinea yang mengikat daun katup bikuspid ke
papillary muscle. Darah dibawa dari ventrikel kiri melalui katup semilunar aorta
ke arteri yang paling besar keseluruh tubuh yang disebut aorta asending. Dari sini
sebagian darah mengalir ke arteri coronary, dimana merupakan cabang dari aorta
asending dan membawa darah kedinding jantung,sebagian darah masuk ke arkus
aorta dan aorta desending. Cabang dari arkus aorta dan aorta desending membawa
darah keseluruh tubuh (Ross and Wilson, 2014).
1) Struktur Katup-katup Jantung
Membuka dan menutupnya katup jantung terjadi karena perubahan tekanan
pada saat jantung kontraksi dan relaksasi. Setiap katup jantung membantu
aliran darah satu arah dengan cara membuka dan menutup katup untuk
mencegah aliran balik.

54
a) Katup Atrioventrikuler
Disebut katup atrioventrikuler karena letaknya di antara atrium dan
ventrikel. Katup atrioventrikuler terdiri dari dua katup yaitu biskupid dan
trikuspid, dan ketika katup atrioventrikuler terbuka daun katup terdorong ke
ventrikel. Darah bergerak dari atrium ke ventrikel melalui katup
atrioventrikuler yang terbuka ketika tekanan ventrikel lebih rendah dibanding
tekanan atrium. Pada saat ini papillary muscle dalam ke adaan relaksasi dan
corda tendinea kendor. Pada saat ventrikel kontraksi, tekanan darah membuat
daun katup keatas sampai tepi daun katup bertemu dan menutup kembali. Pada
saat bersamaan muskuler papilaris berkontraksi dimana menarik dan
mengencangkan chorda tendinea hal ini mencegah daun katup terdorong ke
arah atrium akibat tekanan ventrikel yang tinggi. Jika daun katup dan chorda
tendinea mengalami kerusakan maka terjadi kebocoran darah atau aliran balik
ke atrium ketika terjadi kontraksi ventrikel.

b) Katup Semilunar
Terdiri dari katup pulmonal dan katup aorta. Katup pulmonal terletak
pada arteri pulmonalis memisahkan pembuluh ini dari ventrikel kanan. Katup
aorta terletak antara aorta dan ventrikel kiri. Kedua katup semilunar terdiri dari
tiga daun katup yang berbentuk sama yang simetris disertai penonjolan
menyerupai corong yang dikaitkan dengan sebuah cincin serabut. Adanya
katup semilunar memungkinkan darah mengalir dari masing-masing ventrikel
ke arteri pulmonal atau aorta selama sistol ventrikel dan mencegah aliran balik
waktu diastolik ventrikel. Pembukaan katup terjadi pada waktu masing-masing
ventrikel berkontraksi, dimana tekanan ventrikel lebih tinggi dari pada tekanan
di dalam pembuluh-pembuluh darah (Smeltzer, 2015).

2) Sirkulasi Darah

a) Sirkulasi Sistemik
Ventrikel kiri memompakan darah masuk ke aorta. Dari aorta darah di
salurkan masuk kedalam aliran yang terpisah secara progressive memasuki

55
arteri sistemik yang membawa darah tersebut ke organ ke seluruh tubuh
kecuali sakus udara (Alveoli) paru-paru yang disuplay oleh sirkulasi pulmonal.
Pada jaringan sistemik arteri bercabang menjadi arteriol yang berdiameter
lebih kecil yang akhirnya masuk ke bagian yang lebar dari kapiler sistemik.
Pertukaran nutrisi dan gas terja di melalui dinding kapiler yang tipis, darah
melepaskan oksygen dan mengambil CO2 pada sebagian besar kasus darah
mengalir hanya melalui satu kapiler dan kemudian masuk ke venule sistemik.
Venule membawa darah yang miskin oksigen. Berjalan dari jaringan dan
bergabung membentuk vena systemic yang lebih besar dan pada akhirnya
darah mengalir kembali ke atrium kanan.

b) Sirkulasi Pulmonal
Dari jantung kanan darah dipompakan ke sirkulasi pulmonal.Jantung kanan
menerima darah yang miskin oksigen dari sirkulasi sistemik. Darah di
pompakan dari ventrikel kanan ke pulmonal trunk yang mana cabang arteri
pulmonary membawa darah ke paru-paru kanan dan kiri.Pada kapiler
pulmonal darah melepaskan CO2 yang di ekshalasi dan mengambil O2. Darah
yang teroksigenasi kemudian mengalir ke vena pulmonal dan kembali ke
atrium kiri. Tekanan berbagai sirkulasi karena jantung memompa darah secara
berulang ke dalam aorta.Tekanan diaorta menjadi tinggi rata-rata 100 mmHg,
karena pemompaan oleh jantung bersifat pulsatif, tekanan arteri berfluktuasi
antara systole 120 mmHg dan diastole 80 mmHg. Selama darah mengalir
melalui sirkulasi sistemik,tekanan menurun secara progressive sampai dengan
kira-kira 0 mmHg, pada waktu mencapai ujung vena cava di atrium kanan
jantung. Tekanan dalam kapiler sistemik bervariasi dari setinggi 35 mmHg
mendekati ujung arteriol sampai serendah 10 mmHg mendekati ujung vena
tetapi tekanan fungsional rata-rata pada sebagian besar pembuluh darah adalah
17 mmHg yaitu tekanan yang c ukup rendah dimana sedikit plasma akan bocor
ke luar dengan kapiler pori, walaupun nutrient berdifusi dengan mudah ke sel
jaringan.Pada arteri pulmonalis tekanan bersifat pulsatif seperti pada aorta
tetapi tingkat tekanannya jauh lebih rendah, pada tekanan sistolik sekitar 25
mmHg diastole 8 mmHg. Tekanan arteri pulmonal rata-rata 16 mmHg.
Tekanan kapiler paru rata-rata 7 mmHg.

56
c) Sirkulasi Koroner
Saat kontraksi jantung sedikit mendapat aliran oksigenisasi darah dari arteri
koroner cabang dari aorta asendences. Saat relaksasi dimana tekanan darah
yang tinggi di aorta darah akan mengalir ke arteri coroner selanjutnya
kekapiler kemudian vena coroner. Perdarahan otot jantung berasal dari aorta
melalui dua pembuluh utama, yaitu arteri koroner kanan dan arteri korone kiri.
Kedua arteri ini keluar dari sinus valsava. Arteri korone ini berjalan-berjalan di
belakang arteri pulmonal sebagai arteri koroner utama(LMCA : left main
coronary artery) sepanjang 1-2 cm. Arteri ini bercabang menjadi arteri
sirkumflek (LCX :left sirkumplek kiri) dan arteri desenden anterior kiri (LAD:
left anterior desenden arteri). LCX berjalan pada sulkus atrioventrikuler
mengelilingi permukaan posterior jantung sedangkan LAD berjalan pada
sulkus interventrikuler sampai ke apex,kedua pembuluh darah ini akan
bercabang-cabang memperdarahi daerah antara kedua sulkus tersebut. Arteri
koroner kanan berjalan kesisi kanan jantung, pada sulkus atrioventrikuler
jantung kanan. Pada dasarnya arteri koroner kanan memperdarahi atrium
kanan,vetrikel kanan dan dinding sebelah dalam dari ventrikel kiri. Ramus
sirkumflek memberi nutrisi pada atrium kiri dan dinding samping serta bawah
dari ventrikel kiri. Ramus desenden anterior membri nutrisi pada dinding
depan ventrikel kiri yang massif. Meskipun nodus SA letaknya di atrium
kanan tetapi hanya 55 % kebutuhan nutrisinya dipasok oleh arteri koroner
kanan, sedangkan 45 % lainnya dipasok oleh cabang arteri cirkumflek kiri.
Nutrisi untuk nodus AV dan bundle of his dipasok oleh arteri arteri yang
melintasi kruk yakni 90 % dari arteri koroner kanan dan 10 % dari arteri
sirkumflek. Setelah darah mengalir melalui arteri-arteri sirkulasi koroner dan
membawa oksigen dan nutrisi-nutrisi ke otot jantung mengalir masuk ke vena
dimana dikumpulkan CO2 dan zat-zat sampah. Setelah darah melewati arteri
pada sirkulasi koroner dimana nutrisi dan oksygen dikirim ke otot jantung
kemudian masuk ke dalam vena, dimana darah banyak mengandung CO2 dan
sisa metabolisme. Darah yang di oxsygenisasi dialirkan ke sinus vascular besar
pada permukaan posterior dari jantung yang di sebut sinus coronary yang
mana mengosongkan atrium kanan. Sinus vascular adalah dinding vena yang
tipis tidak mempunyai otot yang halus untuk merubah diameter. Prinsip dari

57
ketiga vena membawa darah masuk ke sinus coronaries yang merupakan vena

58
terbesar jantung yang mengalir ke aspek anterior jantung dan tengah vena
jantung mengalirkan aspek posterior jantung. Distribusi vena koroner
sesungguhnya paralel dengan distribusi arteri koroner. Sistem vena jantung
mempunya 3 bagian yaitu :
- Vena tebesian merupakan system yang terkecil, menyalurkan sebagian
darah vena dari miokard langsung ke dalam RA, RV dan LV daripada
melalui sinus coronaries. Darah vena tertuang langsung kedalam LV dalam
jumlah yang normal.
- Vena kardiaka anterior mempunyai fungsi yang cukup berarti,
mengosongkan sebagian besar isi vena ventrikel langsung ke atrium kanan.
- Sinus koronarius dan cabang-cabangnya merupakan sistem vena yang
paling besar dan paling penting, berfungsi menyalurkan pengembalian
darah vena miokard ke dalam atrium kanan melalui ostium smus koronarius
yang bermuara disamping vena cava inferior.

3) Fungsi Jantung
Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh
dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Jantung
melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang kekurangan
oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-paru, dimana
darah akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida; jantung
kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan
memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.
Fungsi sistem kardiovaskular adalah memberikan dan mengalirkan
suplai oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh yang diperlukan
dalam proses metabolisme. Secara normal setiap jaringan dan organ tubuh
akan menerima aliran darah dalam jumlah yang cukup sehingga jaringan dan
organ tubuh menerima nutrisi dengan adekuat. Sistem kardiovaskular yang
berfungsi sebagai sistem regulasi melakukan mekanisme yang bervariasi
dalam merespons seluruh aktivitas tubuh. Salah satu contoh adalah mekanisme
meningkatkan suplai darah agar aktivitas jaringan dapat terpenuhi. Pada
keadaan tertentu, darah akan lebih banyak dialirkan pada organ-organ vital
seperti jantung dan otak untuk memelihara sistem sirkulasi organ tersebut.

59
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah
(disebut diastol); selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar
dari ruang jantung (disebut sistol). Kedua atrium mengendur dan berkontraksi
secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga mengendur dan berkontraksi
secara bersamaan. Darah yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak
karbondioksida dari seluruh tubuh mengalir melalui 2 vena berbesar (vena
kava) menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia
akan mendorong darah ke dalam ventrikel kanan. Darah dari ventrikel kanan
akan dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju ke
paru-paru. Darah akan mengalir melalui pembuluh yang sangat kecil (kapiler)
mengelilingi kantong udara di paru-paru, menyerap oksigen dan melepaskan
karbondioksida yang selanjutnya dihembuskan (Smeltzer, 2015).

3. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris tidak stabil didasarkan pada
ketidakadekuatan suplai oksigen kesel-sel miokardium yang diakibatkan karena
kekakuan arteri dan penyempitan lumenareteri koroner (ateriosklerosis koroner).
Ateriosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering ditemukan.
Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga
meningkat. Apabila kebetuhan meningkat pada jantung yang sehat maka arteri
koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot
jantung. Namun, apabila arteri koroner tidak dapat berdilatasi sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan
suplai darah) miokardium.
Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat
oksida) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat reaktif. Dengan tidak
adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus
koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard
berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu
nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75% serta di picu
dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Sel-sel
miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan
energi. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH

60
miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung
berkurang, maka suplai oksigen menjasi adekuat dan sel-sel otot kembali
fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi.
Angina pectoris adalah nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi
sebagai respon terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miocard di
jantung. Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, rahang dan
daerah abdomen. Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan
oksigen juga akan meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung
yang sehat, maka arteri-arteri koroner akan berdilatsi dan mengalirkan lebih
banyak oksigen kepada jaringan. Akan tetapi jika terjadi kekakuan dan
penyempitan pembuluh darah seperti pada penderita arteriosklerosis dan tidak
mampu berespon untuk berdilatasi terhadap peningkatan kebutuhan oksigen.
Terjadilah iskemik miocard, yang mana sel-sel miocard mulai menggunakan
glikosis anaerob untuk memenuhi kebutuhsn energinya. Proses penmbentukan ini
sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat
kemudian menurunkan Ph miokardium dan menyebabkan nyeri pada angina
pectoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang (istirahat atau
dengan pemberian obat) suplai oksigen menjadi kembali adekuat dan sel-sel otot
kembali melakukan fosforilasi oksidatif membentuk energi melalui proses aerob.
Dan proses ini tidak menimbulkan asam laktat, sehingga nyeri angina mereda dan
dengan demikian dapat disimpulkan nyeri angina adalah nyeri yang berlangsung
singkat (Corwin, 2018).

4. Etiologi
Menurut Kasron, (2012) beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab dari
angina pectrois adalah sebagai berikut:
a. Faktor penyebab angina pectoris antara lain:
1) Atherosclerosis, atau pengerasan arteri adalah kondisi dimana simpanan
lemak, atau plak, terbentuk didalam dinding pembuluh darah.
Aterosklerosis yang melibatkan arteri mensuplai jantung dikenal sebagai
penyakit arteri koroner. Plak dapat memblokir aliran darah melalui arteri.
Jaringan yang biasanya menerima darah dari arteri ini kemuduan mulai
mengalami kerusakan akibat kekurangan oksigen. Ketika jantung tidak
memiliki oksigen yang cukup, akan meresponnya dengan menyebabkan

61
rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dikenal sebagai angina. Angina tidak
stabil terjadi ketika penyempitan menjadi begitu parah sehingga ridak cukup
darah melintas untuk menjaga jantung berfungsi normal, bahkan pada saat
istirahat. Kadang- kadang arteri bisa menjadi hampir sepenuhnya diblokir.
Dengan angina tidak stabil, kekurangan oksigen kejantung hampir
membunuh jaringan jantung.
2) Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran koroner
yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia, tirotoksikosis dan
pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat meningkatkan kebutuhan O2
miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara kebutuhan dan suplai
O2.
3) Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik seperti anemi
dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2 ke miokard.
4) Sklerotik arteri koroner (Arteriosklerosis)
Sebagian besar penderita angina tidak stabil (ATS) mempunyai gangguan
cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik
yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat
memperberat penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian
lagi disertai dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau
normal yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat
sumbatan maupun spasme pembuluh darah.
5) Agregasi Trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis aliran darah
sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang akhirnya
membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah terjadinya
vasokonstriksi pembuluh darah.
6) Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik
sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi
mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal. Trombosis
akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.
7) Pendarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah kemungkinan
mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang menyebabkan

62
penyempitan arteri koroner.
8) Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran koroner
karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban ATS. Spame
dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis pembuluh
darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan kerusakan
artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan trombus pembuluh
darah.
b. Faktor risiko terjadinya angina pectoris antara lain :
1) Dapat diubah (dimodifikasi)
a) Merokok
b) Diet (Hyperlipidemia), Mengkonsumsi tinggi lemak jenuh dan
memiliki kolesterol tinggi
c) Hipertensi
d) Stress
e) Kurang aktivitas
f) Diabetes Melitus
g) Menggunakan stimulan atau rekreasi obat, seperti kokain atau
amfetamin
2) Tidak dapat diubah
a) Usia
b) Jenis kelamin
c) Keturunan (Genetik)
c. Faktor pencetus serangan angina
1) Emosi
2) Stress
3) Kerja fisik terlalu berat

5. Tanda gejala
Menurut Kasron, (2012) tanda dan gejala angina pectoris sebagai berikut :
a. Nyeri dada substernal atau retrosternal menjalar ke leher, tenggorokan
daerah interskapula atau lengan kiri.
b. Kualitas nyeri seperti tertekan benda berat, seperti diperas, terasa panas,
kadang- kadang hanya perasaan tidak enak di dada (chest discomfort).

63
c. Durasi nyeri berlangsung 1-5 menit, tidak lebih dari 30 menit.
d. Nyeri hilang (berkurang) bila istirahat atau pemberian nitrogliserin.
e. Gejala penyerta: sesak nafas, perasaan lelah, kadang muncul keringat
dingin, palpitasi, dizziness.
f. Gambaran EKG: depresi segmen ST, terlihat gelombang T terbalik.
g. Gambaran EKG seringkali normal pada waktu tidak timbul serangan.
h. Nyeri juga bisa dirasakan di bahu kiri atau lengan kiri sebelah dalam,
punggung, tenggorokan, rahang atau gigi, lengan kanan (kadang-kadang).
Tanda khas angina pectoris tidak stabil adalah sebagai berikut :
a. Nyeri dada
Lokasi dari nyeri dada ini terutama terjadi di belakang tulang dada (di
tengah dada) dan di sekitar area di atas putting kiri, tetapi bisa menyebar ke
bahu kiri, lalu ke setengah bagian kiri dari rahang bawah, menurun ke
lengan kiri sampai ke punggung dan bahkan ke bagian atas perut.
Karakteristik yang khas dari nyeri dada akibat iskemia miokard adalah:
1) Lokasi biasanya didada kiri, di belakang dari tulang dada atau sedikit di
sebelah kiri dari tulang dada yang dapat menjalar hingga ke leher,
rahang, bahu kiri, hingga ke lengan dan jari manis dan kelingking,
punggung atau pundak kiri.
2) Nyeri bersifat tumpul, seperti rasa tertindih/berat didada, rasa desakan
yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma (sekat antara rongga
dada dan rongga perut), seperti diremas-remas arat dada mau pecah dan
biasanya pada keadaan yang sangat berat disertai keringat dingin dan
sesak nafas serta perasaan takut mati. Nyeri ini harus dibedakan dengan
mulas atau perasaan seperti tertusuk-tusuk pada dada, karena ini bukan
angina pectoris. Nyeri biasanya muncul setalah melakukan aktivitas,
hilang dengan istirahat dan akibat sterss emosional.
3) Nyeri yang pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit
sampai kurang dari 20 menit. Nyeri angina berlangsung cepat, kurang
dari 5 menit. Yang khas dari nyeri dada angina adalah serangan hilang
dengan istirahat, penghilangan stimulus emosional atau dengan
pemberian nitrat sublingual. Serangan yang lebih lama menandakan
adanya angina tidak stabil atau infark miokard yang mengancam
(Baradero, 2018).

64
6. Pemeriksaan diagnostik
a. Elektrokardiogram (EKG)
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG
pada ATS bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri
ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan
kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam
waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi
evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.

b. Enzim LDH, CPK dan CK-MB


Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat tetapi
tidak melebihi nilai 50% di atas normal. Enzim tersebut akan meninggi pada
infark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. CK-MB
merupakan enzim yang paling sensitif untuk nekrosis otot miokard. Hal ini
menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar enzim secara serial untuk
menyingkirkan adanya IMA. Pemeriksaan lipid darah seperti kadar kolesterol,
HDL, LDL, dan trigliserida perlu dilakukan untuk menemukan faktor risiko
seperti hyperlipidemia dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk
menemukan diabetes mellitus yang juga merupakan faktor risiko bagi pasien
angina pectoris (Kasron, 2012).
c. Kateterisasi jantung dan angiografi
Dokter dapat merekomendasikan kateterisasi jantung dan angiografi, terutama
jika perubahan penting EKG istirahat adalah tes darah jantung dan ada
abnormal. Selama agiography, sebuah kateter dimasukkan ke arteri di paha
atau lengen dan maju ke jantung. Ketika kateter diposisikan dekat arteri yang
memasok darah ke jantung, dokter menyuntikkan zat warna kontras. Sebagai
warna perjalanan melalui arteri, X-ray gambat diambil untuk melihat seberapa
baik darah mengalir melalui arteri dan jika ada penyumbatan maka terjadi
coronary arteri disease.
d. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi ridak memberikan data untuk diagnosis angina

65
tidak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal
ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding
regional jantung, menandakan prognosis kurang baik. Ekokardiografi juga
dapat menegakkan adanya iskemik miokardium (Anwar, 2019)

7. Kompllikasi
a. Infark Miocard
Dikenal dengan istilah serangan jantung adalah kondisi terhenrinya aliran
darah dari arteri koroner pada area yang terkena yang menyebabkan
kekurangan oksigen (iskemia) lalu sel-sel menjadi nekrotik (mati) karena
kebutuhan energi akan melebihi suplai energi darah
b. Aritmia
Lazim ditemukan pada fase akut MCI, aritmia perlu diobati bila
menyebabkan gangguan hemodinamik. Aritmia memicu peningkatan
kebutuhan O2 miokard yang mengakibatkan perluasan infark
c. Gagal Jantung
Kondisi saat pompa jantung melemah, sehingga tidak mampu mengalirkan
darah yang cukup ke seluruh tubuh
d. Syok Kardiogenik
Sindroma kegagalan memompa yang paling mengancam dan dihubungkan
dengan mortalitas paling tinggi, meskipun dengan perawatan agresif
e. Perikarditis
Sering ditemukan dan ditandai dengan nyeri dada yang lebih berat pada
inspirasi dan tidur terlentang. Infark transmural membuat lapisan epikardium
yang langsung kontak dengan perikardium kasar, sehingga merangsang
permukaan perikard dan timbul reaksi peradangan
f. Aneurisma Ventrikel
Dapat timbul setelah terjadi MCI transmural. Nekrosis dan pembentukan
parut membuat dinding miokard menjadi lemah. Ketika sistol, tekanan
tinggi dalam ventrikel membuat bagian miokard yang lemah menonjol
keluar. Darah dapat merembes ke dalam bagian yang lemah itu dan dapat
menjadi sumber emboli. Disamping itu bagian yang lemah dapat
mengganggu curah jantung kebanyakan aneurisma ventrikel terdapat pada
apex dan bagian anterior jantung. (Black, J. M. and Hawks, J. H, 2014)

66
9. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer & Bare, (2012) ada dua tujuan utama penatalaksanaan angina
pectoris untuk meningkatkan kualitas hidup. yaitu sebagai berikut :
a. Mencegah terjadinya infark miokard dan kematian jaringan
b. Mengurangi symptom dan frekuensi serta beratnya ischemia
Prinsip penatalaksanaan angina pectoris adalah meningkatkan pemberian
oksigen (dengan meningkatkan aliran darah pembuluh jantung) dan menurunkan
kebutuhan oksigen (dengan mengurangi kerja jantung).
1) Terapi Non Farmakologis
Ada berbagai cara lain yang diperlukan untuk menurunkan kebutuhan
oksigen jantung antara lain: pasien harus berhenti merokok, karena merokok
mengakibatkan takikardia dan naiknya tekanan darah, sehingga memaksa jantung
bekerja keras. Orang obesitas dianjurkan menurunkan berat badan untuk
mengurangi kerja jantung. Mengurangi stress untuk menurunkan kadar adrenalin
yang dapat menimbulkan vasokontriksi pembulu darah. Pengontrolan gula darah.
Penggunaan kontrasepsi dan kepribadian seperti sangat kompetitif, agresif atau
ambisius.
2) Terapi farmakologis untuk anti angina dan anti ischemia
Tujuan penatalaksanaan medis angina adalah untuk menurunkan kebutuhan
oksigen jantung dan untuk meningkatkan suplai oksigen. Secara medis tujuan ini
dicapai melalui terapi farmakologi dan control terhadap factor risiko. Secara
bedah tujuan ini dicapai melalui revaskularisasi suplai darah jantung melalui
bedah pintas arteri koroner atau angioplasty koroner transluminal perkutan
(PTCA= percutaneous transluminal coronary angioplasty). Biasanya diterapkan
kombinasi antara terapi medis dan pembedahan.
a) Penyekat Beta-adrenergik
Obat ini merupakan terapi utama pada angina. Penyekat beta dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan cara menurunkan frekuensi
denyut jantung, kontraktilitas, tekanan di arteri dan peregangan pada dinding
ventrikel kiri. Efek samping biasanya muncul bradikardi dan timbul blok
atrioventrikuler. Obat penyekat beta antara lain: atenolol, metoprolol,
propranolol, nadolol.

67
b) Nitrat dan Nitrit
Merupakan vasodilator endothelium yang sangat bermanfaat untuk
mengurangi symptom angina pectoris, di samping juga mempunyai efek
antitrombotik dan antiplatelet. Nitrat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
melalui pengurangan preload sehingga terjadi pengurangan volume ventrikel
dan tekanan arterial. Salah satu masalah penggunaan nitrat jangka panjang
adalah terjadinya toleransi terhadap nitrat. Untuk mencegah terjadinya
toleransi dianjurkan memakai nitrat dengan periode bebas nitrat yang cukup
yaitu 8-12 jam. Obat golongan nitrat dan nitrit adalah: amil nitrit, ISDN,
isosorbid,mononitrat, nitrogliserin. Nitrogliserin biasanya diletakkan dibawah
lidah (sublingual) atau di pipi (kantong bukal) dan akan menghilangkan nyeri
iskemia dalam 3 menit. terjadinya toleransi terhadap nitrat. Untuk mencegah
terjadinya toleransi dianjurkan memakai nitrat dengan periode bebas nitrat
yang cukup yaitu 8-12 jam. Obat golongan nitrat dan nitrit adalah: amil nitrit,
ISDN, isosorbid mononitrat, nitrogliserin. Nitrogliserin biasanya diletakkan
dibawah lidah (sublingual) atau di pipi (kantong bukal) dan akan
menghilangkan nyeri iskemia dalam 3 menit.
c) Kalsium Antagonis
Obat ini bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium melalui saluran
kalsium melalui saluran kalsium, yang akan menyebabkan relaksasi otot polos
pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah
epikardial dan sistemik. Kalsium antagonis juga menurunkan kebutuhan
oksigen miokard dengan cara menurunkan resistensi vaskuler sistemik.
Golongan obat kalsium antagonis adalah amlodipin, berpridil, diltiazem,
felodipin, isradipin, nikardipin, nifedipin, nimodipin, verapamil.

B. Konsep dasar keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahapan awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien sehingga
didapatkan masalah dan kebutuhan untuk perawatan. Tujuan utama pengkajian

68
adalah untuk memberikan gambaran secara terus-menerus mengenai keadaan
kesehatan pasien yang memungkinkan perawat melakukan asuhan keperawatan.
a. Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, no. Register, dan diagnosa medis.
Sedangkan identitas bagi penanggung jawab yaitu nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, dan hubungan dengan klien
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasa terjadi pada pasien dengan angina tidak stabil
yaitu nyeri dada substernal atau retrosternal dan menjalar ke leher, daerah
interskapula atau lengan kiri, serangan atau nyeri yang dirasakan tidak
memiliki pola, bisa terjadi lebih sering dan lebih berat, serta dapat terjadi
dengan atau tanpa aktivitas.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada riwayat kesehatan sekarang keluhan yang dirasakan oleh klien sesuai
dengan gejala-gejala pada klien dengan angina tidak stabil yaitu nyeri dada
substernal atau retrosternal dan menjalar ke leher, daerah interskapula atau
lengan kiri, serangan atau nyeri yang dirasakan tidak memiliki pola, bisa
terjadi lebih sering dan lebih berat, serta dapat terjadi dengan atau tanpa
aktivitas. Biasanya disertai sesak nafas, perasaan lelah, kadang muncul
keringat dingin, palpitasi, dan dizzines.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mempunyai riwayat hipertensi, atherosklerosis, insufisiensi aorta,
spasmus arteri koroner dan anemia berat
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga klien mempunyai penyakit hipertensi dan arteri koroner.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu dengan klien
dilanjutkan mengukur tanda-tanda vital. Kesadaran klien juga diamati
apakah kompos mentis, apatis, samnolen, delirium, semi koma atau
koma. Keadaan sakit juga diamati apakah sedang, berat, ringan atau tampak
tidak sakit.

69
2) Tanda-tanda vital
Dapat meningkat sekunder akibat nyeri atau menurun sekunder akibat
gangguan hemodinamik atau terapi farmakologi
3) Pemeriksaan Head to Toe
 Kepala
Pusing, berdenyut selama tidur atau saat terbangun, tampak perubahan
ekspresi wajah seperti meringis atau merintih, terdapat atau tidak nyeri
pada rahang
 Leher
Tampak distensi vena jugularis, terdapat atau tidak nyeri pada leher.
 Thorax
Bunyi jantung normal atau terdapat bunyi jantung ekstra S3/S4
menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilitas, kalau
murmur menunjukkan gangguan katup atau disfungsi otot papilar dan
perikarditis.
 Abdomen
Terdapat nyeri/rasa terbakar epigastrik, bising usus normal/menurun.
 Ekstremitas
Ekstremitas dingin dan berkeringat dingin, terdapat udema perifer dan
udema umum, kelemahan atau kelelahan, pucat atau sianosis, kuku
datar, pucat pada membran mukosa dan bibir.

2. Diagnosa keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisiologis: iskemi miokard


b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas (mis:
nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
d. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
e. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen

70
3. Intervensi keperawatan
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1 Nyeri akut berhubungan dengan agen Setelah dilakukan perawatan Manajemen nyeri
pencedera fisiologis selama 1x24 jam diharapkan Observasi
Data mayor tingkat nyeri menurun dengan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi,
Ds: kriteria hasil: frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
 Mengeluh nyeri 1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
Do: (menurun) 3. Identifikasi skala nyeri non erbal
 Tampak meringis 2. Meringis (menurun) 4. Identifikasi faktor yang memperberat nyeri
 Bersifat protektif 3. Sikap protektif 5. Monitor efek samping penggunaan
 Gelisah (menurun) analgesik
 Frekuensi nadi meningkat 4. Gelisah (menurun) Teraupetik
 Sulit tidur 5. Kesulitan tidur 1. Berikan teknik non farmakologi untuk
Data minor (menurun) mengurangi nyeri
Ds: 6. Pola nafas (membaik) 2. Kontrol lingkungan yang memperberat
- 7. Tekanan darah nyeri
Do: (membaik) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
(PPNI, 2019, p.145) Edukasi
 Tekanan darah meningkat
1. Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Pola nafas berubah
2. Anjurkan memonitor secara mandiri
 Nafsu makan berubah 3. Anjurkan menggunakan analgetik secara
 Proses berpikir terganggu tepat
 Menarik diri 4. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk
 Berfokus pada diri sendiri mengurangi nyeri
 Diaforesis Kolaborasi
(PPNI, 2017, p.172) 1. Kolaborasi dalam pemberian analgesik
(PPNI, 2018, p.201-202)
2 Pola nafas tidak efektif berhubungan setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Nafas
dengan hambatan upaya nafas keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi :
Data Mayor: maka pola nafas membaik 1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman,
Ds: dengan kriteria hasil: usaha nafas)

71
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
 Dispnea 1. Ventilasi 2. Monitor bunyi nafas tambahan
Do: semenit(meningkat) 3. Monitor sputum
 Penggunaan otot bantu pernapasan 2. Dispnea (menurun) Terapeutik :
 Fase ekspirasi memanjang 3. Penggunaan otot bantu 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Pola nafas abnormal nafas (menurun) 2. Posisikan semi fowler atau fowler
4. Pemanjangan fase ekspirasi 3. Berikan minuman hangat
Data Minor (menurun) 4. Lakukan penghisapan lendir jika perlu
Ds: 5. Frekuensi nafas (membaik) 5. Berikan oksigen untuk mempertahankan
 Ortopnea 6. Kedalaman nafas saturasi oksigen
(membaik) Kolaborasi
Do: (PPNI, 2019, p. 95) 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
 Pernapasan pursed-lip ekspektoran, mukolitik, jika perlu
(PPNI, 2018, p. 186-187)
 Pernapasan cuping hidung
 Ventilasi semenit menurun
 Kapasitas vital menurun
 Tekanan ekspirasi menurun
 Tekanan inspirasi menurun
(PPNI, 2017, p. 26)
3 Penurunan curah jantung berhubungan setelah dilakukan intervensi Label intervensi: perawatan jantung
dengan perubahan afterload, perubahan keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi :
frekuensi jantung, perubahan irama maka curah jantung meningkat 1. Identifikasi tanda dan gejala primer
jantung, perubahan kontraktilitas, dengan kriteria hasil: penurunan curah jantung
perubahan preload: 1. kekuatan nadi perifer (dispnea,kelelahan,edema,ortopnea)
(meningkat) 2. Monitor tekanan darah
Data mayor 2. palpitasi (menurun) 3. Monitor intake dan output cairan
DS: 3. takikardi (menurun) 4. Monitor saturasi oksigen
1. Perubahan irama jantung 4. gambaran EKG aritmia Terapeutik :
 Palpitasi (menurun) 1. Posisikan pasien semi fowler atau fowler
5. Perubahan preload 5. lelah (menurun) 2. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi
 lelah 6. dispnea (menurun) stres

72
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
6. Perubahan afterload 7. edema (menurun) 3. Berikan dukungan emosional dan spiritual
 dispnea 8. distensi vena jugularis 4. Berikan oksigen untuk mempertahankan
7. Perubahan kontralktilitas (menurun) saturasi oksigen
 Proximal nocturnal dyspnea 9. CRT (membaik) Edukasi :
DO: (PPNI, 2019, p. 20) 1. Ajarkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
1. Perubahan irama jantung 2. Ajarkan beraktivitas secara bertahap
 Takikardia Kolaborasi
 Gambaran EKG aritmia 1. Kolaborasi pemberian antiaritmia
5. Perubahan preload (PPNI, 2018, p. 317-318)
 Edema
 Distensi vena jugularis
6. Perubahan afterload
 Tekanan darah meningkat
 Nada perifer teraba lemah
 CRT > 3 detik
7. Perubahan kontralktilitas
 Terdengar suara jantung S3 atau
S4
 Ejection franction (EF) menurun

Data Minor
DS:
 Cemas
 Gelisah
DO:
2. Perubahan preload
 Murmur jantung
 Berat badan bertambah
(PPNI, 2017, p.34)

73
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
4 Perfusi perifer tidak efektif berhubungan Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama:
dengan penurunan aliran arteri/vena keperawatan selama 3x24 jam. Perawatan sirkulasi (PPNI. 2018,p.345)
Perfusi perifer meningkat. Obervasi:
Data mayor: dengan kriteria hasi: 1. Periksa sirkulasi perifer
Ds:- 1. Denyut nadi perifer 2. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
Do: (meningkat) bengkak pada ekstremitas
 Pengisian kapiler > 3 detik 2. Penyembuhan luka Terapeutik:
 Nadi perifer menurun atau tidak (meningkat) 1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
teraba 3. Sensasi (meningkat) darah diarea keterbatasan perfusi
 Akral teraba dingin 4. Warna kulit pucat 2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
 Warna kulit pucat (menurun) daerah keterbatasan perfusi
 Turgor kulit menurun 5. Nyeri ekstremitas 3. Hindari penekanan dan pemasangan torniquet
(menurun) pada daerah cidera
Tanda minor: 6. Nekrosis (menurun) 4. Lakukan perawatan kaki dan kuku
Ds: 7. Kram otot (menurun) 5. Lakukan pencegahan infeksi
 Parastensia 8. Pengisian kapiler 6. Lakukan hidrasi
(membaik) Edukasi:
 Nyeri ekstremitas (klaudikasi
9. Kelemahan otot (menurun) 1. Anjurkan berolahraga rutin
intermiten)
10. Turgor kulit (membaik) 2. Anjurkan perawatan kulit yang tepat
Do:
(PPNI. 2019.p.84) Kolaborasi:
 Edema
1. Kolaborasi pemberian transfusi
 Penyembuhan luka lambat
 Bruit femoral

(PPNI. 2017, p. 37)

5 Intoleransi Aktivitas b.d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Energi


Ketidakseimbangan antara suplai dan keperawatan selama 3 x 24 Monitor
kebutuhan oksigen. jam maka Toleransi Aktivitas 1. Monitor kelelahan fisik dan emosional
meningkat dengan kriteria 2. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
Data Mayor hasil : selama melakukan aktivitas

74
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
Ds: 1. Kemudahan dalam Teraupetik
 Mengeluh lelah melakukan aktivitas 1. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika
Do: sehari- hari (meningkat) tidak dapat berpindah atau berjalan
 Frekuensi jantung meningkat > 2. Kecepatan berjalan 2. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
20% dari kondisi istirahat ( meningkat) stimulus
3. Keluhan lelah (menurun) Edukasi
4. Dispnea saat atau setelah 1. Anjurkan tirah baring
Data Minor: 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara
Ds: aktivitas dari sedang
(menurun) bertahap
 Dispnea saat/setelah beraktifitas 3. Anjurkan menghubungi perawat jika
5. Tekanan darah(membaik)
 Merasakan tidak nyaman setelah tanda dan gejala kelelahan tidak
6. Ekg dari sedang (membaik)
beraktivitas berkurang
(PPNI,2019,p.149)
 Merasa lemah 4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
Do: kelelahan
 Tekanan darah berubah >20% Kolaborasi
dari kondisi istirahat 1. Kolaborasi dalam pemberian obat dengan
tim farmasi
 Gambaran EKG menunjukan
aritmia saat/setelah beraktivitas
 Gambaran EKG menunjukan
Iskemik
 Sianosis
(PPNI, 2017,p. 128)

75
4. Implementasi keperawtan
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang
sudah dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien.

5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, proses yang


kontinue yang penting untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang
diberikan, yang dilakukan dengan meninjau respon pasien untuk
menentukan

keefektifan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tujuan dari


evaluasi adalah menilai keberhasilan dari tindakan perawatan, respon klien
terhadap tindakan yang telah diberikan dan mencegah masalah-masalah yang
mungkin timbul lagi. Ada dua evaluasi yang ditemukan yaitu sebagai berikut :
a. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk
menilai hasil dari tindakan yang telah dilakukan.
b. Evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir dari keseluruhan tindakan yang
dilakukan dan disesuaikan dengan kriteria waktu yang telah ditetapkan.

6. Discharge planning

a. Aktivitas fisik lakukan 30-45 menit/hari, 7 hari/minggu


b. Sesuaikan berat badan : BMI 18,5-24,9
c. Berhenti merokok dan hindari paparan asap rokok
d. Kendalikan tekanan darah
e. Manajemen lipid
f. Manajemen diabetes

76
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER: STROKE

A. Konsep dasar medik


1. Definisi
Stroke merupakan keadaan perubahan neurologis yang terjadi akibat adanya
gangguan suplai darah ke bagian dari otak (Black and Hawks, 2014, p. 615).
Menurut Muttaqin (2011, p. 234) Stroke merupakan suatu kelainan fungsi otak
yang terjadi kepada siapa dan kapan saja yang timbul mendadak akibat adanya
gangguan peredaran darah otak yang mengakibatkan cacat berupa kelumpuhan,
anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat. Stroke Non
Hemoragic merupakan adanya penutupan aliran darah ke sebagian otak tertentu
yang mengakibatkan terjadi proses patologik pada daerah iskemik (Lewis et al.,
2011, p. 1468).

2. Anatomi fisiologi

(Sumber Evelyn C. Pearce, 2011)

Otak merupakan organ vital yang terdiri dari 100-200 miliar sel aktif
yang berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual.
Otak terdiri dari dari sel-sel saraf (neuron), sel penunjang (sel glia), cairan
otak (serebrospinal), dan pembuluh-pembuluh darah. Otak mengonsumsi
oksigen sekitar 20% dan glukosa sebanyak 50% dari total energi tubuh. Otak

77
tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan sari makanan dan oksigen
dalam jumlah yang signifikan sehingga untuk dapat berfungsi otak
memerlukan pasokan darah secara konstan 24 jam dari arteri, supaya
berfungsi dengan normal otak harus menerima satu liter darah per menit,
yaitu sekitar 15% jumlah darah total yang dipompa jantung saat istirahat.
Pasokan darah dialirkan melalui dua arteri karotis (kiri dan kanan) yang ada
dileher menuju ke bagian depan otak (sirkulasi arteri serebrum anterior),
yang kedua melalui sistem tulang belakang (vertebrobasilar) yang memasok
darah ke otak bagian belakang otak (sirkulasi arteri serebrum posterior).
(Junaidi, Iskandar 2011, p. 3-4).
Menurut Ross and Wilson (2014, p. 80-90) bagian-bagian otak terdiri
dari serebrum, otak tengah (midbrain), pons, medula oblongata dan
serebelum sebagai berikut :
a. Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari
sepasang hemisfer kanan dan kiri. Pada tiap hemisfer serebrum dibagi
menjadi lobus yang terdiri dari lobus frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Bagian superfisial serebrum terdiri atas badan sel saraf yang
membentuk korteks serebri.
Korteks serebri memiliki fungsi sebagai berikut:
1) Aktivitas mentalyang terlibat dalam memori, inteligensia, berpikir,
rasionalisasi , rasa bertanggung jawab, moral, dan belajar.
2) Persepsi sensori, meliputi persepsi nyeri, suhu, sentuhan, penglihatan,
pendengaran, pengecapan, dan penghidu.
3) Inisiasi dan kontrol kontraksi otot rangka (Volunter).
Tipe area fungsional korteks serebri sebagai berikut:
1) Area Motorik
a) Area motorik primer : berada di lobus frontal diarea anterior sulkus
sentral.
b) Area Broca : berada di lobus frontal diatas sulkus lateral yang
mengendalikan pergerakan otot yang diperlukan untuk bahasa,
dominan pada orang yang menggunakan tangan kanan.

2) Area Sensoris

78
a) Area somatosensoris : berada dibelakang sulkus sentral, yang
berhubungan dengan persepsi sensasi nyeri, suhu, tekanan dan
sentuhan, kesadaran gerakan otot dan posisi sendi.
b) Area auditorius : berada di lobus temporal dibawah sulkus lateral,
yang menerima dan menginterpretasikan impuls yang dihantarkan
dari telinga dalam oleh bagian koklear (auditori) saraf
vestibulokoklear.
c) Area olfaktorius (penghidu) : berada didalam lobus temporal,
impuls dari hidung dihantarkan melalui saraf olfaktorius diterima
dan diinterpretasikan
d) Area pengecapan : berada diatas sulkus lateral dilapisan area
somatosensori, impuls dari reseptor sensoris pada papila
pengecapan diterima dan dipersepsikan sebagai rasa.
e) Area visual : berada dibelakang sulkus parietooksipital dan bagian
lobus oksipital yang lebih besar, saraf optik melalui mata ke area
ini yang diterima dan diinterpretasikan sebagai kesan visual.
3) Area Asosiasi
a) Area asosiasi saling berhubungan dengan area lain dari korteks
serebri yang menerima, mengoordinasi, dan menginterpretasikan
impuls dari korteks sensori dan motorik yang memungkinkan
kemampuan kognitif yang lebih tinggi.
b) Area premotorik : berada dilobus frontal anterior, mengoordinasi
gerakan yang diinisiasi oleh korteks motorik primer yang
memastikan pola gerakan yang dipelajari dapat diulang.
c) Area prefrontal : berada disisa area lobus frontal, fungsi
intelektual, persepsi, kemampuan mencegah kejadian dan kontrol
emosi yang normal.
d) Area wernicke : berada di lobus temporal berdekatan dengan area
parietooksipitotemporal, bahasa yang terucapkan dipersepsikan
(pemahaman bahasa).
e) Area parietooksipitemporal : berada dibelakang area
somatosensoris, berperan dalam kesadaran spasial, menafsirkan
bahasa tulisan, dan kemampuan menyebutkan objek.
4) Area lain di Serebrum

79
a) Basal ganglia : berada didalam hemisfer serebri berhubungan
dengan korteks serebri dan talamus. Berperan dalam inisiasi,
kontrol gerakan kompleks halus dan mempelajari aktivitas
terkoordinasi.
b) Talamus : terdiri dari dua massa sel saraf dan serat yang berada
dihemisfer serebri dibawah korpus kolosum. Berperan dalam input
sensori dari kulit, organ visera dan indra khusus disampaikan ke
talamus sebelum didistribusikan ulang ke serebrum.
5) Hipotalamus
Hipotalamus terdiri atas sejumlah kelompok sel saraf yang
berada dibawah dan didepan talamus, diatas kelenjar hipofisis.
Hipotalamus terhubung dengan lobus posterior kelenjar hipofisis oleh
serat saraf dan dengan lobus anterior oleh sistem kompleks pembuluh
darah. Melalui hubungan ini, hipotalamus mengendalikan pengeluaran
hormon dari lobus kelenjar, mengendalikan sistem saraf otonom
seperti rasa lapar dan kenyang, haus dan keseimbangan cairan, suhu
tubuh, reaksi emosional (senang, takut, marah), perilaku seksual
(mencari pasangan dan membesarkan anak), jam biologis atau irama
sirkadian (siklus tidur-bangun), dan sekresi sebagian hormon.
b. Batang Otak
1) Otak Tengah (Mid Brain)
Otak tengah berada di sekitar akuaduktus serebri antara serebrum
dan pons. Otak tengah terdiri atas nuklei dan serat saraf yang
menghubungkan serebrum dengan bagian bawah otak an dengan
medula spinalis. Nuklei berperan dalam penyiar serat saraf asendens
dan desendens.
2) Pons
Pons berada di depan serebelum, di bawah otak tengah. Pons
terdiri atas serat saraf yang membentuk jembatan antara dua hemisfer
serebelum dan serat yang melalui antara posisi otak yang lebih tinggi
dan medula spinalis. Terdapat nuklei yang membentuk pusat
pneumotaksik dan apnustik yang berhubungan dengan pusat
pernapasan di medula oblongata.
3) Medula Oblongata

80
Medula oblongata memanjang dari pons hingga meudla spinalis.
Panjang sekitar 2,5 cm, terletak didalam kranium diatas foramen
magnum. Pusat vital terdiri atas kelompok sel (nuklei) yang
berhubungan denganaktivitas refleks otonom, yang merupakan pusat
kardiovaskular, pusat napas, pusat refleks muntah, batuk, bersin, dan
menelan.
c. Cerebellum
Cerebellum berada di belakang pons dan di bawah bagian posterior
serebrum yang ditempati fossa kranial posterior. Cerebellum berbentuk oval
dan memiliki dua hemisfer yang dipisahkan oleh suatu garis tengah yang
sempit (vermis). Cerebellum berperan dalam koordinasi gerakan otot
volunter, postur, dan keseimbangan, terlibat dalam proses bahasa dan
belajar. Kerusakan area ini menyebabkan gerakan otot yang tidak
terkoordinasi.
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron. Sistem saraf
dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer/tepi.
Sistem saraf perifer/tepi terdiri dari saraf spinal, saraf kranial, dan saraf
otonom. Saraf kranial terdapat 12 pasang yang terdiri dari sebagai berikut :
(Ross and Wilson, 2014, p. 89)
1) Saraf Olfaktorius (Sensoris)
Saraf olfaktorius berperan dalam indra penghidu/penciuman
2) Saraf Optikus (Sensoris)
Saraf otpik berperan dalam indra penglihatan
3) Saraf Okulomotorik (Motorik)
Saraf okulomotorik berperan dalam menggerakan bola mata,
mengonstriksi pupil, dan mengangkat kelopak mata atas.
4) Saraf Troklear (Saraf Motorik)
Saraf troklear berperan dalam gerakan mata ke bawah dan ke dalam
5) Saraf Trigeminus (Campuran)
Saraf trigeminus mengandung serat sensoris dan motorik.
Serat sensoris mengendalikan saraf sensoris di wajah dan kepala
(termasuk rongga mulut, hidung, dan gigi) menerima impuls nyeri, suhu
dan sentuhan.
Serat motorik menstimulasi otot mastikasi (pengunyah), mengatupkan

81
rahang.
6) Saraf Abdusens (Motorik)
Saraf abdusens berperan dalam deviasi lateral mata.
7) Saraf Fasial (Campuran)
Saraf Fasial mengandung serat sensoris dan motorik.
Serat sensoris menyampaikan impuls dari papila pengecap di
duapertiga anterior lidah ke area persepsi pengecapan di korteks
serebri (merasakan asin, manis, asam dan pahit pada lidah).
Serat motorik mempersarafi otot-otot ekspresi wajah (ekspresi wajah,
menutup mata, menutup mulut)
8) Saraf Vestibulokoklear/Auditorius (Sensoris)
Saraf vestibulokoklear terdiri dari saraf vestibular dan koklear
Saraf vestibular berperan dalam mempertahankan postur dan
keseimbangan tubuh. Saraf koklear berperan dalam menyampaikan
impuls kearea pendengaran
9) Saraf Glosofarinegeal (Campuran)
Saraf glosofaringeal mengandung serat sensoris dan motorik.
Serat sensoris menyampaikan impuls ke korteks serebri dari lidah
posterior, tonsil, dan faring serta dari papila pengecap di lidah dan
faring (menelan)
Serat motorik menstimulasi otot lidah dan faring serta sel sekretorik
kelenjar parotis (saliva).
10) Saraf Vagus (Campuran)
Saraf vagus mengandung serat sensoris dan motorik.
Serat sensoris menyampaikan impuls dari membrean yang melapisi
struktur yang sama di otak.
Serat motorik mempersarafi otot polos dan kelenjar sekresi faring,
laring, trakea, jantung, esofagus, lambung, usus halus, pankreas
eksokrin, kandung empedu, duktus biliaris, limpa, ginjal, ureter, dan
pembuluh darah di rongga toraks juga abdomen.
11) Saraf Aksesorius (Motorik)
Saraf aksesorius mempersarafi otot sternokleidomastoid dan trapezius
12) Saraf Hipoglosal (Motorik)
Saraf hipoglosal mempersarafi otot lidah dan otot di sekitar tulang

82
hioid yang berperan dalam proses menelan dan bahasa.

3. Klasiikasi
Menurut Junaidi, Iskandar (2011 p. 137-138) klasifikasi pada Stroke
yaitu sebagai berikut :
a. Stroke Non Hemoragik
1) Trombosis serebri, terjadi penyempitan lumen pembuluh darah otak perlahan
karna proses arterosklerosis cerebral dan perlambatan sirkulasi serebral.
2) Embolisme serebral, penyempitan pembuluh darah terjadi mendadak akibat
abnormalitas patologik pada jantung. Embolus biasanya menyumbat arteri
cerebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral.
b. Stroke Hemoragik
1) Perdarahan Intraserebral (PIS)
Pecahnya pembuluh darah dan darah masuk ke dalam jaringan yang
menyebabkan sel-sel otak mati sehingga berdampak pada kerja otak
berhenti. Penyebab tersering adalah hipertensi.
2) Perdarahan Subarachnoid (PSA)
Pecahnya pembuluh darah yang berdekatan dengan permukaan otak dan
darah bocor diantara otak dan tulang tengkorak. Penyebabnya bisa berbeda-
beda tetapi biasanya karena pecahnya aneurisma.

4. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.


Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan local (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant dan
jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak.
Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah.

83
Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh
pembuluh darah dan edema dan kongesti di sekitar area yang menyebabkan
disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang
dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis
biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh
darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis.
Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan
terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah
yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur. Perdarahan
pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi pembuluh darah.
Perdarahan intraserebral yang sangat luas menyebabkan kematian di karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi
batang otak, hernisfer otak, dan perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke
ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus,
talamus, dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
serebral: Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk
waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia
serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti
jantung (Black and Hawks, 2014, pp. 616–618)

5. Etiologi
Menurut Black and Hawks (2014, pp. 615–616) etiologi terjadinya stroke adalah
sebagai berikut :
a. Trombosis
Trombus atau penggumpalan terjadi karena adanya kerusakan pada
bagian garis endotelial dari pembuluh darah. Ateroskeloris menyebabkan zat
lemak tertumpuk dan membentuk plak pada dinding pembuluh darah. Plak
tersebut akan membesar dan menyebabkan penyempitan (stenosis) pada
arteri.
Stenosis menghambat aliran darah yang biasanya lancar pada arteri.

84
Darah akan berputar-putar dibagian permukaan yang terdapat plak,
menyebabkan penggumpalan melekat pada plak tersebut. Rongga pembuluh
darah menjadi tersumbat. Penyumbatan juga dapat terjadi karena inflamasi
pada arteri (arteritis atau vaskulitis). Trombus dapat terjadi di semua bagian
sepanjang arteri karotid utama ke bagian dalam dan luar dari arteri karotid.

b. Embolisme
Sumbatan pada arteri serebral disebabkan oleh embolus yang
menyebabkan strok embolik. Embolus terbentuk di bagian luar otak,
kemudian terlepas dan mengalir melalui sirkulasi serebral sampai embolus
tersebut melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri. Embolus yang
paling sering terjadi adalah plak. Trombus dapat terlepas dari arteri karotis
bagian dalam pada bagian luka plak dan bergerak ke dalam sirkulasi
serebral. Kejadian fibrilasi atrial kronik dapat berhubungan dengan
tingginya kejadian stroke embolik, yaitu darah terkumpul di dalam atrium
yang kosong. Gumpalan darah yang sangat kecil terbentuk dalam atrium kiri
dan bergerak menuju jantung dan masuk ke dalam sirkulasi serebral. Pompa
mekanik jantung buatan memiliki permukaan yang lebih kasar dibandingkan
otot jantung yang normal dan dapat juga menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya penggumpalan. Endokarditis yang disebabkan oleh bakteri
maupun yang nonbakteri dapat menjadi sumber terjadinya emboli. Sumber-
sumber penyebab emboli lainnya adalah tumor, lemak, bakteri dan udara.
Emboli bisa terjadi pada seluruh bagian pembuluh darah serebral. Kejadian
emboli pada serebral meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia.

6. Tanda gejala
Menurut Dewit and Kumagai (2013, p. 529) manifestasi Klinis atau gejala
yang muncul pada Stroke Non Hemoragik yaitu :

85
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi

I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya


penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Gerak mata; kontriksi Diplopia (penglihatan
Okulomotorius pupil; akomodasi kembar),
ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Hilangnya kemampuan
umum pada platum dan mengecap
telinga luar; sekresi
kelenjar lakrimalis,
submandibula dan
sublingual; ekspresi wajah
VIII: Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging terus
Vestibulokoklea keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
ris
IX: Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya pengecapan
Glosofaringeus pada faring dan telinga; pada sepertiga posterior
mengangkat palatum; lidah; anestesi pada farings;
sekresi kelenjar mulut kering sebagian
parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan
pada farings, laring dan menelan) suara parau;
telinga; menelan; fonasi; paralisis palatum
parasimpatis untuk
jantung dan visera
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan otot
Spinal leher dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah

Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese pada Pendeita stroke non
hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian
juga terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non hemoragik yang mengalami
hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian
tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
Menurut Kemenkes, (2018) gejala stroke non hemoragik dapat dilihat dari
(SEGERA KE RS) sebagai berikut :

86
1. Senyum tidak simetris
2. Gerakan tangan dan kaki menjadi lemah
3. Bicara menjadi pelo/ sulit bicara/ tidak nyambung/ tidak mengerti kata-kata
4. Kebas/ baal-baal sesisi tubuh, rabun/gangguan penglihatan, sempoyongan/
vertigo/ pusing berputar/ gerakan sulit dikoordinasi, gangguan menelan, gangguan
daya ingat.

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan kimia darah : stroke akut dapat terjadi hiperglikemia, gula darah
dapat mencapai 250 mg dalam serum dan berangsur-angsur turun kembali.
b. Angiografi Serebri
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler.
c. Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragik pada subarakhnoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses
inflamasi.
d. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisi. Hasil pemeriksaan
didapatkan hiperdens fokal yang masuk ke ventrikel atau menyebar ke
permukaan otak.
e. Magnetic Imaging Resonance (MRI)
Menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik.
f. USG Doppler
Mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis)

g. EEG
Melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark
sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.

87
8. Komplikasi
Menurut Muttaqin (2011, pp. 251–252) komplikasi stroke sebagai berikut:
a. Imobilisasi : infeksi pernapasan, nyeri tekan, konstipasi dan tromboflebitis.
b. Paralisis : nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas dan
terjatuh.
c. Kerusakan otak : epilepsi dan sakit kepala
d. Trombosis (bekuan darah) : mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan.
e. Embolisme paru : bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan
darah ke paru.
f. Dekubitus : bagian tubuh yang sering mengalami memar, jika tidak dirawat
akan terjadi ulkus dekubitus dan infeksi
g. Pneumonia : pasien stroke tidak mampu batuk dan menelan dengan sempurna
sehingga menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan mengakibatkan
pneumonia.
h. Depresi dan kecemasan : reaksi emosional dan fisi yang tidak diinginkan
karena terjadi perubahan dan kehilangan fungsi tubuh.

9. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2011, pp. 251–252) penatalaksanaan stroke sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan Medis
1) Menstabilkan tanda-tanda vital dengan cara :
a) Mempertahankan saluran napas yang paten dengan melakukan
pengisapan lendir, oksigenasi, trakeostomi, membantu pernapasan.
b) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2) Menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3) Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4) Menempatkan klien dengan posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin. Posisi klien harus diubah tiap 2 jam dan dilakukan latihan-
latihan gerak pasif.

b. Pengobatan konservatif

88
1) Vasodilator meningkatkan aliran darah serebri (ADS).
2) Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin
intraarterial.
3) Medikasi antitrombosit dapat diresepkan karena trombosit memainkan
peran sangat penting dalam pembentukan trombus dan embolisasi.
Antiagregasi trombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi trombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
4) Antikoagulan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya trombosis atau
embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskular

c. Pengobatan pembedahan
1) Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2) Revaskularisasi
3) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4) Ligasi arteri karotis komunis dileher khususnya pada aneurisma.

d. Penatalaksanaan Non Medis


Menurut Dit. P2PTM Kemenkes RI, 2019, tata laksana yang optimal pada
fase akut penyakit stroke akan menentukan proses perbaikan pasca stroke dan
mengurangi kecacatan. Penanganan segera pada pasien stroke dapat
meringankan kerusakan otak yang diakibatkan stroke. Penanganan stroke
dapat efektif jika stroke diketahui dan didiagnosis dalam periode emas 4,5 jam
setelah gejala pertama muncul. Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk
segera dibawa ke rumah sakit.
1) Periksa kesehatan secara rutin dan ikuti anjuran dokter
2) Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur
3) Tetap diet sehat dengan gizi seimbang
4) Upayakan beraktivitas fisik dengan aman (melakukan fisioterapi)
5) Hindari rokok, alkohol dan zat karsinogenik lainnya.

B. Konsep dasar keperawatan


1. Pengkajian
Anamnesis

89
a. Identitas klien
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosis medis.
b. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke non hemoragik berlangsung secara akut yang dapat terjadi
saat klien sedang melakukan aktivitas. Gejala yang timbul nyeri kepala,
mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran, kelumpuhan separuh atau
sebagian badan dan gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau
perubahan pola tingkat kesadaran disebabkan perubahan didalam
intrakranial.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang
lama, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif dan kegemukan. Pemakaian obat-obat yang sering dikonsumsi klien
seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta dan
penggunaan obat kontrasepsi oral.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, riwayat stroke.
f. Pengkajian psikososial dan spiritual
Peranan pasien dalam keluarga, status emosi meningkat, interaksi
meningkat, interaksi sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan
dan apakah pasien rajin dalam melakukan ibadah.
g. Aktivitas sehari-hari
1) Nutrisi
Makan sehari-hari pasien apakah makanan yang mengandung lemak,
atau makanan yang mengandung garam, santan, gorengan, jeroan, dan
bagaimana nafsu makan klien.
2) Eliminasi
Inkontinensia urin pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat

90
penurunan peristaltik.
3) Aktivitas dan latihan
Biasanya tidak dapat beraktivitas karena mengalami kelemahan,
kehilangan sensori, hemiplegia atau kelumpuhan.
4) Tidur dan istirahat
Biasanya mengalami kesukaran untuk beristirahat karena adanya
kejang otot/nyeri otot.
h. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, baik secara inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to
toe dan review of system.
1) Keadaan Umum
Klien yang mengalami gangguan muskuloskeletal keadaan umumnya
lemah. Timbang berat badan klien, adakah gangguan penyakit karena
obesitas atau malnutrisi
2) Kesadaran
Pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran somnolen, apatis,
sopor, soporo coma dengan GCS <3 pada awal terserang stroke.
Sedangkan pada saat pemulihan biasanya memiliki tingkat kesadaran
latergi dan compos mentis GCS 13-15.
3) Tanda-tanda vital
a) Tekanan darah sistolik >140 mmHg dan diastole >80 mmHg
b) Nadi normal dan Suhu normal
c) Pernafasan pada stroke hemoragik mengalami gangguan pada
bersihan jalan napas
4) Pemeriksaan Head to toe
a. Pemeriksaan kepala dan muka
Pada pemeriksaan Nervus V (Trigeminal) biasanya pasien bisa
menyebutkan lokasi usapan dan pada pasien koma, ketika diusap
kornea mata dengan kapas halus, klien akan menutup kelopak mata.
Pada Nervus VII (Facialis) biasanya alis mata simetris, dapat
mengangkat alis, mengerutkan dahi, mengernyitkan hidung,
menggembungkan pipi, saat pasien menggembungkan pipi tidak
simetris kir dan kanan tergantung lokasi lemah dan saat diminta

91
mengunyah pasien kesulitan untuk mengunyah.
b.Mata
Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor,
kelopak mata tidak oedema. Nervus II (optikus) biasanya luas
pandang baik 90 derajat. Nervus III (Okulomotorius) reflek kedip
dapat dinilai jika pasien bisa membuka mata. Nervus IV
(Troklearis) pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke atas dan
ke bawah. Nervus VI (abdusen) pasien dapat mengikuti arah tangan
perawat ke kiri dan ke kanan.
c. Hidung
Simetris kiri dan kanan, tidak ada pernafasan cuping hidung.
Nervus I (Olfaktorius) bisa menyebutkan bau yang diberikan
perawat namun ada juga yang tidak, ketajaman penciuman antara
kiri dan kanan biasanya berbeda. Nervus VIII (akustikus) pada
pasien yang tidak lemah anggota gerak atas dapat melakukan
keseimbangan gerak tangan-hidung.
d.Mulut dan gigi
Pada pasien apatis, sopor, soporo koma hingga koma akan
mengalami masalah bau mulut, gigi kotor, mukosa bibir kering.
Nervus VII (Facialis) lidah mendorong pipi kiri dan kanan, bibir
simetris, dan dapat menyebutkan rasa manis dan asin. Nervus IX
(Glosofaringeal) ovula yang terangkat tidak simetris, mencong
kearah bagian tubuh yang lemah dan pasien dapat merasakan rasa
asam dan pahit. Nervus XII (Hipoglasus) pasien dapat menjulurkan
lidah dan dapat dipencongkan ke kiri dan kanan namun artikulasi
kurang jelas saat bicara.Telinga
Daun telinga sejajar kiri dan kanan. Nervus VIII (Akustikus)
pasien kurang bisa mendengar gesekan jari dari perawat tergantung
dimana lokasi kelemahan dan pasien hanya dapat mendengar jika
suara keras dan dengan artikulasi yang jelas.
e. Leher
Bentuk leher, ada atau tidak pembesaran kelenjar thyroid, tidak
ada pembesaran vena jugularis. Umumnya tidak terdapat gangguan.
f. Dada (thorax)

92
Pemeriksaan bentuk dada, retraksi, suara nafas, suara tambahan,
suara jantung tambahan, ictus cordis dan keluhan yang dirasakan.
Umumnya tidak terdapat gangguan.
g.Abdomen
Pemeriksaan bentuk perut, ada atau tidak nyeri tekan, supel,
kembung, keadaan bising usus, keluhan yang dirasakan. Umumnya
tidak terdapat gangguan.
h.Genetalia
Kebersihan genetalia, terdapat rambut pubis atau tidak, terdapat
hemoroid atau tidak. Umumnya tidak terdapat gangguan.
i. Ekstremitas
Keadaan rentang gerak biasanya terbatas, tremor, edema, nyeri
tekan, penggunaan alat bantu, biasanya mengalami penurunan
kekuatan otot (skala 1-5)
Kekuatan otot :
0 : lumpuh
1 : ada kontraksi
2 : melawan gravitasi dengan sokongan
3 : melawan gravitasi tapi tidak ada lawanan
4 : melawan gravitasi dengan tahanan sedikit 5 : melawan gravitasi
dengan kekuatan penuh
j. Integumen
Warna kulit sawo matang/putih/pucat, kulit kering/lembab, terdapat
lesi atau tidak, kulit kotor atau bersih, CRT < 2 detik, keadaan turgor
kulit.
B1 (Breathing)
d) Inspeksi : batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pernapasan. Pada
klien dengan compos mentis tidak ada kelainan, palpasi thoraks
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri, auskultasi tidak
ada bunyi napas tambahan.
e) Auskultasi : bunyi napas tambahan (ronchi pada klien dengan
peningkatana produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun,
stroke dengan penurunan tingkat kesadaran).

93
B2 (Blood)
Terdapat renjatan (syok) hipovolemik, tekanan darah meningkat dan
adanya hipertensi masif >200 mmHg.
B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis tergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah yang tersumbat), ukuran area perfusinya tidak adekuat,
aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori).
B4 (Bladder)
Terjadi inkontinensia urine sementara akibat konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk menggunakan
urinal akibat kerusakan kontrol motorik dan postural.
B5 (Bowel)
Kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase
akut. Terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
B6 (Bone)
Kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak.
Hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh. Jika klien
kekurangan oksigen maka kulit akan tampak pucat, kesukaran untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau
paralisis/hemiplegia, mudah lelah dapat menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa keperawatan

Menurut Black and Hawks (2014, p. 634-637) diagnosa yang sering


muncul pada pasien dengan stroke adalah sebagai berikut :
1) Risiko Perfusi Serebral tidak efektif d.d hipertensi
2) Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot, gangguan neuromuskular.
3) Gangguan menelan b.d gangguan serebrovaskular, gangguan saraf kranialis,
paralisis serebral.

4) Defisit perawatan diri b.d gangguan neuromuskuler, kelemahan


5) Risiko jatuh d.d kekuatan otot menurun, usia >65 tahun, riwayat jatuh,
gangguan keseimbangan, penurunan tingkat kesadaran, neuropati.

94
6) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
7) Risiko aspirasi d.d gangguan menelan, penurunan tingkat kesadaran
8) Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan neuromuskuler, penurunan
sirkulasi serebral.

95
3. Intervensi keperawatan
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

1 Risiko Perfusi Serebral tidak Efektif ditandai Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan
dengan Hipertensi, embolisme selama 3 x 8 jam maka Perfusi Serebral Intrakranial
meningkat dengan kriteria hasil : Monitor
Kondisi terkait: 1. Sakit kepala (menurun) a. Monitor tanda/gejala
 Stroke 2. Gelisah (menurun) peningkatan TIK
 Hipertensi 3. Tekanan darah sistolik (membaik) b. Monitor status pernapasan
(PPNI, 2017, p. 51) 4. Tekanan darah diastolik ( membaik) Monitor intake dan output cairan
(PPNI, 2019, P. 86) c. Identifikasi penyebab
peningkatan TIK (Lesi,
Gangguan metabolism, edema
serebral)
Teraupetik
a. Berikan posisi semi fowler
b. Pertahankan suhu tubuh normal
c. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang.
Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
b. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
Kolaborasi
a. Kolaborasi dalam pemberian
obat dengan tim farmasi
b. Kolaborasi dengan tim gizi
(PPNI, 2018,p.2018)

96
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

2 Gangguan Mobilitas Fisik b.d Penurunan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Pemantauan Neurologis
kekuatan otot, gangguan neuromuskular. selama 3 x 8 jam maka Mobilitas Fisik Monitor
meningkat dengan kriteria hasil : a. Monitor tanda-tanda vital
(PPNI, 2018,p. 124) 1. Pergerakan ekstremitas dari sedang (3) b. Monitor kekuatan pegangan
menjadi meningkat (5). c. Monitor kesimetrisan wajah
2. Kekuatan Otot dari sedang (3) menjadi d. Monitor keluhan sakit kepala
meningkat (5). e. Monitor karakteristik bicara :
3. Kelemahan fisik dari sedang (3) menjadi kelancaran, kehadiran afasia atau
menurun (5). kesulitan mencari kata
4. Rentang gerak (ROM) dari sedang (3) f. Monitor parestesi
menjadi meningkat (5). g. Monitor respons Babinski
Teraupetik
(PPNI, 2019,p. 64) a. Tingkatkan frekuensi
pemantauan neurologis
(PPNI, 2018,p. 124)Setelah
dilakukan intervensi b. Hindari aktivitas yang dapat
keperawatan selama 3 x 8 jam maka Status meningkatkan tekanan
Neurologis membaik dengan kriteria hasil : intrakranial
1. Tekanan darah sistolik dari cukup c. Atur interval waktu pemantauan
memburuk (2) menjadi membaik (5). sesuai dengan kondisi pasien.
2. Sakit kepala dari cukup memburuk (2) Edukasi
menjadi menurun (5). a. Anjurkan melakukan aktivitas
(SLKI DPP PPNI, 2018, p. 120) secara bertahap
Setelah dilakukan intervensi keperawatan b. Jelaskan tujuan dan prosedur
selama 3 x 8 jam maka Koordinasi pemantauan serta informasikan
Pergerakan meningkat dengan kriteria hasil : hasil pemantauan.
1. Kekuatan otot dari sedang (3) menjadi Kolaborasi
meningkat (5). a. Kolaborasi dalam pemberian
2. Keseimbangan gerakan dari sedang (3) obat dengan tim farmasi
menjadi meningkat (5). b. Kolaborasi dengan tim gizi
3. Gerakan dengan kecepatan yang (SIKI DPP PPNI, 2018, pp. 245)
diinginkan dari sedang (3) menjadi

97
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

meningkat (5).
(SLKI DPP PPNI, 2018, p. 61)

98
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

3 Risiko Jatuh b.d Kekuatan otot menurun Setelah dilakukan intervensi keperawatan Pencegahan Jatuh
(SDKI DPP PPNI, 2018, p. 306) selama 3 x 8 jam maka Tingkat Jatuh Monitor
menurun dengan kriteria hasil : a. Identifikasi faktor risiko jatuh
1. Jatuh dari tempat tidur dari menurun (5) b. Monitor kemampuan berpindah
menjadi dipertahankan menurun (5). dari tempat tidur ke kursi roda
2. Jatuh saat berdiri dari dari menurun (5) dan sebaliknya
menjadi dipertahankan menurun (5). c. Identifikasi faktor lingkungan
3. Jatuh saat berjalan dari menurun (5) yang meningkatka risiko jatuh
menjadi dipertahankan menurun (5). (lantai licin, penerangan kurang)
4. Jatuh saat dipindahkan dari menurun (5) Teraupetik
menjadi dipertahankan menurun (5). a. Pastikan roda tempat tidur dan
(SLKI DPP PPNI, 2018, p. 140) kursi roda selalu dalam kondisi
terkunci
b. Pasang handrail tempat tidur
c. Atur tempat tidur mekanis pada
posisi terendah
d. Dekatkan bel pemanggil dalam
jangkauan pasien
Edukasi
a. Anjurkan cara menggunakan bel
pemanggil untuk memanggil
perawat.
b. Anjurkan memanggil perawat
jika membutuhkan bantuan untuk
berpindah
Kolaborasi
Kolaborasi dengan keluarga pasien
dalam mendampingi pasien.
(SIKI DPP PPNI, 2018, pp. 279)

99
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

4 Defisit Perawatan Diri b.d Kelemahan, Setelah dilakukan intervensi keperawatan Dukungan Perawatan Diri
Gangguan Neuromuskuler selama 3 x 8 jam maka Perawatan Diri Monitor
(SDKI DPP PPNI, 2018, p. 240) meningkat dengan kriteria hasil : a. Monitor tingkat kemandirian
1. Kemampuan mandi dari cukup menurun b. Identifikasi kebutuhan alat bantu
DS : (2)menjadi meningkat (5). kebersihan diri, berpakaian dan
DO: 2. Kemampuan mengenakan pakaian dari makan
cukup menurun (2) menjadi meningkat c. Identifikasi kebiasaan aktivitas
(5). perawatan diri
3. Kemampuan makan dari cukup menurun
(2)menjadi meningkat (5). Teraupetik
4. Kemampuan ke toilet (BAB dan BAK) a. Damping dalam melakukan
dari cukup menurun (2) menjadi perawatan diri sampai mandiri
meningkat (5). b. Fasilitasi untuk menerima
keadaan ketergantungan
(SLKI DPP PPNI, 2018, p. 81) c. Fasilitasi kemandirian, bantu jika
tidak mampu melakukan
Setelah dilakukan intervensi keperawatan perawatan diri
selama 3 x 8 jam maka Tingkat Keletihan
membaik dengan kriteria hasil : Edukasi
1. Kemampuan melakukan aktivitas rutin Anjurkan melakukan perawatan diri
dari sedang (3) menjadi meningkat (5). secara konsisten sesuai kemampuan
2. Sakit kepala dari cukup sedang (3)
menjadi menurun (5). Kolaborasi
(SLKI DPP PPNI, 2018, p. 141) Kolaborasi dengan keluarga pasien
mendampingi pasien dalam
perawatan diri seperti makan,
berpakaian dan BAB & BAK.

(SIKI DPP PPNI, 2018, pp.36)

100
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

5 Gangguan Persepsi Sensori b.d hipoksia Setelah dilakukan intervensi keperawatan Edukasi teknik mengingat
serebral, usia lanjut. selama 3 x 8 jam maka Fungsi Sensori Monitor
Data Subjektif : membaik dengan kriteria hasil : a. Identifikasi kesiapan dan
- Respons tidak sesuai 1. Perbedaan rasa dari cukup menurun (2) kemampuan menerima informasi
- Distorsi sensori menjadi meningkat (5). b. Identifikasi pengetahuan teknik
2. Perbedaan bau dari cukup menurun (2) memori
Data Objektif : menjadi meningkat (5). Teraupetik
- Disorientasi waktu, tempat, orang atau 3. Ketajaman penglihatan dari cukup a. Berikan kesempatan untuk
situasi menurun (2) menjadi meningkat (5). bertanya
(SDKI DPP PPNI, 2018, p. 190) 4. Ketajaman pendengaran dari cukup b. Jadwalkan pendidikan kesehatan
menurun (2) menjadi meningkat (5). sesuai kesepakatan
Edukasi
(SLKI DPP PPNI, 2018, p. 28) a. Anjurkan menggunakan media
tulis atau gambar sebagai
pengingat letak barang.
b. Ajarkan teknik memori seperti
konsentrasi, mengulang
informasi
Kolaborasi
Kolaborasi dengan keluarga pasien
mendampingi pasien untuk
menciptakan lingkungan yang
konsisten

(SIKI DPP PPNI, 2018, pp.111)


6 Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan menelan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Pemberian makanan Enteral
makanan. selama 3 x 8 jam maka status nutrisi a. Monitor posisi nasogastric tube
Data Subjektif : membaik dengan kriteria hasil : dengan memeriksa residu,
- Berat badan menurun minimal 10% 1. Kekuatan otot menelan dari cukup lambung atau mengauskultasi
dibawah rentang ideal menurun (2) menjadi meningkat (5). hembusan udara

101
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

Data Objektif : 2. Kekuatan otot pengunyah dari cukup b. Monitor rasa penuh, mual,
- Otot pengunyah lemah menurun (2) menjadi meningkat (5). muntah
- Otot menelan lemah 3. Berat badan dari cukup memburuk (2) c. Monitor residu lambung tiap 4-6
menjadi membaik (5). jam selama 24 jam pertama,
(SDKI DPP PPNI, 2018, p. 56) 4. Membrane mukosa dari cukup kemudian tiap 8 jam selama
memburuk (2) menjadi membaik (5). pemberian makan via enteral
d. Monitor pola buang air besar
(SLKI DPP PPNI, 2018, p. 121) setiap 4-8 jam
Teraupetik
a. Gunakan teknik bersih dalam
pemberian makanan via selang
b. Tinggikan kepala tempat tidur
30-45 derajat selama pemberian
makan
c. Ukur residu sebelum pemberian
makan
d. Berikan tanda pada selang untuk
mempertahankan lokasi yang
tepat
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan langkah
prosedur
Kolaborasi
b. Kolaborasi pemilihan jenis dan
jumlah makanan enteral
(SIKI DPP PPNI, 2018, pp.256
7 Gangguan Menelan b.d gangguan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Pencegahan Aspirasi
serebrovaskular, gangguan saraf kranialis, selama 3 x 8 jam maka status menelan Monitor
paralisis serebral. membaik dengan kriteria hasil : a. Monitor tingkat kesadaran,
Data Subjektif : 1. Reflek menelan dari cukup menurun (2) batuk, muntah dan kemampuan

102
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

- Mengeluh sulit menelan menjadi meningkat (5). menelan


Data Objektif : 2. Kemampuan mengunyah dari cukup b. Monitor status pernapasan
- Makanan jatuh dari mulut menurun (2) menjadi meningkat (5). c. Periksa residu gaster sebelum
- Sulit mengunyah 3. Frekuensi tersedak dari cukup meningkat memberi asupan oral
- Tersedak (2) menjadi menurun (5). d. Periksa kepatenan selang
- Makanan tertinggal di rongga mulut 4. Regurgitasi dari cukup meningkat (2) nasogastric sebelum memberi
menjadi menurun (5). asupan oral
Teraupetik
(SDKI DPP PPNI, 2018, p. 142) (SLKI DPP PPNI, 2018, p.118 a. Posisikan semi fowler 30 menit
sebelum memberi asupan oral
b. Lakukan penghisapan jalan
napas, jika produksi secret
meningkat
c. Berikan makanan dengan ukuran
kecil atau lunak
d. Berikan obat oral dalam bentuk
cair
Edukasi
a. Anjurkan makan secara perlahan
b. Ajarkan teknik mengunyah atah
menelan
Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan farmasi
dalam pengobatan dan ahli gizi
untuk diet makanan pasien

(SIKI DPP PPNI, 2018, pp.273)


8 Gangguan Komunikasi Verbal b.d gangguan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Promosi Komunikasi Defisit
neuromuskuler, penurunan sirkulasi serebral. selama 3 x 8 jam maka Komunikasi Verbal Bicara
Data Subjektif : meningkat dengan kriteria hasil : Monitor

103
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

- Tidak mampu berbicara atau mendengar 1. Kemampuan berbicara dari cukup a. Monitor kecepatan, tekanan,
- Menunjukkan respon tidak sesuai menurun (2) menjadi meningkat (5). kuantitas, volume dan diksi
Data Objektif : 2. Kemampuan mendengar dari cukup bicara.
- Afasia menurun (2) menjadi meningkat (5). b. Monitor proses kognitif,
- Disfasia 3. Kontak mata dari cukup menurun (2) anatomis dan fisiologi yang
- Pelo menjadi meningkat (5). berkaitan dengan bicara
- Tidak ada kontak mata 4. Kesesuaian ekspresi wajah/tubuh dari c. Identifikasi perilaku emosional
- Sulit memahami komunikasi cukup menurun (2) menjadi meningkat dan fisik sebagai bentuk
- Sulit menggunakan ekspresi wajah atau (5). komunikasi
tubuh 5. Afasia dari cukup meningkat (2) menjadi Teraupetik
menurun (5). a. Gunakan metode komunikasi
(SDKI DPP PPNI, 2018, p. 264 6. Disfasia dari cukup meningkat (2) menjadi alternative (isyarat tangan,
menurun (5). menulis, mata berkedip)
7. Pelo dari cukup meningkat (2) menjadi b. Ulangi apa yang disampaikan
menurun (5). pasien
Edukasi
a. Anjurkan berbicara perlahan
Kolaborasi
(SLKI DPP PPNI, 2018, p.49) a. Kolaborasi dengan keluarga
pasien mendampingi pasien
(SIKI DPP PPNI, 2018, pp.373

104
4. Implementasi keperawtan
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang
sudah dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien.

5. Evaluasi keperawatan
a. Risiko Perfusi Serebral tidak efektif d.d hipertensi
Tekanan darah sistolik dan diastolik normal, tidak ada sakit kepala.
b. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot, gangguan
neuromuskular. Rentang gerak bebas, kekuatan otot meninkat, mampu
mengerakan semua anggota badan, tidak ada kelemahan fisik.
c. Gangguan menelan b.d gangguan serebrovaskular, gangguan saraf
kranialis, paralisis serebral.
Mampu menelan makanan dan minuman, tidak tersedak saat makan,
tidak ada makanan yang tertinggal di rongga mulut, tidak batuk setelah
makan atau minum
d. Defisit perawatan diri b.d gangguan neuromuskuler, kelemahan
Mampu melakukan aktivitas secara mandiri seperti makan, mandi,
berpakaian.
e. Risiko jatuh d.d kekuatan otot menurun, usia >65 tahun, riwayat jatuh,
gangguan keseimbangan, penurunan tingkat kesadaran, neuropati.
Tidak pusing atau sakit kepala, mampu berdiri, berjalan secara mandiri,
tidak ada kelemahan pada ektremitas tubuh.
f. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
Tidak ada penurunan berat badan, mampu menelan makanan, adanya nafsu
makan, tidak ada mual dan muntah.
g. Risiko aspirasi d.d gangguan menelan, penurunan tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran compos mentis GCS 15, mampu makan melalui mulut
tidak terpasang Naso Gastric Tube, mampu menelan.
h. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan neuromuskuler, penurunan
sirkulasi serebral.
Mampu berbicara dan mendengar, menunjukkan respon yang sesuai, tidak
ada tanda pelo ataupun afasia.

105
6. Discharge planning
a. Memberikan informasi kepada pasien terkait tanda peringatan stroke (seperti
kebas mendadak atau kelemahan pada wajah, lengan atau tungkai, masalah
dalam berbicara atau memahami sesuatu, kesulitan berjalan, kehilangan
keseimbangan atau masalah dalam penglihatan pada satu atau kedua mata
secara mendadak, sakit kepala)
b. Mengurangi konsumsi garam yang berlebih, istirahat yang cukup, kendalikan
emosi.
c. Mengkonsumsi asupan buah, sayuran dan serat. Mengganti lemak jenuh (susu,
daging) menjadi lemak tak jenuh (kacang kedelai, ikan, margarin cair).
d. Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan fisik yang teratur Ubah posisi
lengan dan tungkai setiap 1-2 jam sepanjang siang dan malam hari .
e. Kontrol tepat waktu.
f. Cek kesehatan secara rutin, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet
seimbang, istirahat cukup, kelola stres.
g. SEGERA KE RS (senyum tidak simetris, gerak separuh anggota tubuh
melemah tiba-tiba, bicara pelo atau tiba-tiba tidak dapat bicara atau tidak
mengerti kata- kata/bicara, kebas atau baal, rabun, sakit kepala hebat yang
muncul tiba-tiba dan gangguan fungsi keseimbangan)

106
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN SISTEM RESPIRATORI: ASMA

A. Konsep dasar medik


1. Definisi
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada jalan napas ditandai dengan
episode mengi, sesak napas, kekakuan dada dan batuk berulang (LeMone et al.,
2015, p. 1525). Asma merupakan keadaan dimana saluran napas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat berulang (Nurarif & Kusuma,
2015, p. 65). Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada jalan napas yang
disertai dengan gejala mengi, sesak napas, batuk terutama pada malam hari dan
pagi hari(Lewis et al., 2014, p. 561).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas asma merupakan gangguan inflamasi
kronik pada jalan napas yang ditandai dengan mengi, sesak napas, kekakuan dada,
batuk terutama pada malam hari dan pagi hari.

2. Anatomi fisiologi
a. Anatomi

Respirasi atau pernapasan merupakan suatu mekanisme pertukaran gas oksigen


(O²) yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme sel dengan karbondioksida
(CO²) yang dihasilkan dari metabolisme. Sistem respirasi terdiri dari dua
bagian yaitu 1) saluran nafas bagian atas, udara yang masuk pada bagian ini
dihangatkan, disaring dan dilembabkan, dan 2) saluran nafas bagian bawah
(paru), merupakan tempat pertukaran gas. Pertukaran gas terjadi di
paru.Alveoli merupakan tempat terjadinya pertukaran gas antara O2 dan CO2

107
di paru. Pompa muskuloskeletal yang mengatur pertukaran gas dalam proses
respirasi terdapat pada rongga pleura dan dinding dada. Rongga pleura
terbentuk dari dua selaput serosa, yang meliputi dinding dalam rongga dada
yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura veseralis.
Saluran napas bagian atas terdiri dari (Wahyuningsih & Kusmiyati, 2017, p.
44) :
a. Hidung
Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai
dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi).Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu,
dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung. Bagian depan terdapat
nares (cuping hidung) anterior dan di belakang berhubungan dengan
bagian atas farings (nasofaring). Rongga hidung terbagi menjadi 2 bagian
yaitu vestibulum, merupakan bagian lebih lebar tepat di belakang nares
anterior, dan bagian respirasi.Permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit
yang memiliki kelenjar sabesea besar, yang meluas ke dalam vestibulum
nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut
yang kaku dan besar. Rambut pada hidung berfungsi menapis benda-benda
kasar yang terdapat dalam udara inspirasi
b. Faring
faring merupakan saluran otot yang terletak tegak lurus antara dasar
tengkorak (basis kranii) dan vertebra servikalis VI. Faring merupakan
tempat persimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan. Letaknya
berada dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut
sebelah depan ruas tulang leher, ke atas berhubungan dengan rongga
hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus
fausium, ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke
belakang lubang esofagus. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat,
juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening.Perkumpulan getah
bening ini dinamakan adenoid.Di sebelahnya terdapat 2 buah tonsil kiri
dan kanan dari tekak.Di sebelah belakang terdapat epiglottis (empang
tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan.

108
Faring dibagi menjadi tiga, yaitu 1) Nasofaring, yang terletak di bawah
dasar tengkorak, belakang dan atas palatum molle. Pada bagian ini terdapat
dua struktur penting yaitu adanya saluran yang menghubungkan dengan
tuba eustachius dan tuba auditory.Tuba Eustachii bermuara pada
nasofaring dan berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membrane timpani. Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk
membuka tuba ini, orang harus menelan.Tuba auditory yang
menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah. 2) Orofaring
merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak dan tulang hyodi.
Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus digestif menyilang dimana
orofaring merupakan bagian dari kedua saluran ini.Orofaring terletak di
belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah.Dasar atau pangkal
lidah berasal dari dinding anterior orofaring, bagian orofaring ini memiliki
fungsi pada sistem pernapasan dan sistem pencernaan.Refleks menelan
berawal dari orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong
masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan secara stimulant, katup menutup
laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran
pernapasan.Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces.Fauces adalah
tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila palatina, tonsila
faringeal, dan tonsila lingual.3)Laringofaring terletak di belakang larings.
Laringofaring merupakan posisi terendah dari farings.Pada bagian bawah
laringofaring sistem respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif.Udara
melalui bagian anterior ke dalam laring dan makanan lewat posterior ke
dalam esophagus melalui epiglottis yang fleksibel.

Saluran napas bagian bawah , terdiri dari (Wahyuningsih & Kusmiyati, 2017,
pp. 47–49):
c. Laring
Laring merupakan pangkal tenggorokan berupa saluran udara, yang
terletak di depan faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk
ke dalam trakea dibawahnya mempunyai fungsi untuk pembentukan suara.
Bagian ini dapat ditutup oleh epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang
rawan yang berfungsi menutupi laring pada waktu kita menelan makanan.
Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain 1)Kartilago tiroid (1 buah)

109
terletak di depan jakun sangat jelas terlihat pada pria; 2)Kartilago
ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker; 3)Kartilago krikoid (1 buah)
yang berbentuk cincin; dan 4)Kartilago epiglotis (1 buah). Laring dilapisi
oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi
oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2012; Anderson, 1999). Pada
proses pembentukan suara, suara terbentuk sebagai hasil dari kerjasama
antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah, dan bibir. Pada pita
suara palsu tidak terdapat otot, oleh karena itu pita suara ini tidak dapat
bergetar, hanya antara kedua pita suara tadi dimasuki oleh aliran udara
maka tulang rawan gondok dan tulang rawan bentuk beker tadi
diputar.Akibatnya pita suara dapat mengencang dan mengendor dengan
demikian sela udara menjadi sempit atau luas.Pergerakan ini dibantu pula
oleh otot-otot laring, udara yang dari paru-paru dihembuskan dan
menggetarkan pita suara.Getaran itu diteruskan melalui udara yang
keluarmasuk.Perbedaan suara seseorang bergantung pada tebal dan
panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara
wanita
d. Trakea
Trakea merupakan batang tenggorokan lanjutan dari laring, terbentuk
oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan.Panjang trakea 9-
11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot
polos.Dinding-dinding trakea tersusun atas sel epitel bersilia yang
menghasilkan lendir.Lendir ini berfungsi untuk penyaringan lanjutan udara
yang masuk, menjerat partikel-partikel debu, serbuk sari dan kontaminan
lainnya. Sel silia berdenyut akan menggerakan mukus sehingga naik ke
faring yang dapat ditelan atau dikeluarkan melalui rongga mulut. Hal ini
bertujuan untuk membersihkan saluran pernapasaan. Trakea terletak di
depan saluran esofagus, mengalami percabangan di bagian ujung menuju
ke paru-paru, yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan
disebut karina
e. Bronkus
Bronkus merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat
percabangan ini disebut karina. Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan
dan kiri, bronkus lobaris kanan terdiri 3 lobus dan bronkus lobaris kiri

110
terdiri 2 lobus.Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus
segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus
segmental.Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus
subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri,
limfatik dan syaraf. Berikut adalah organ percabangan dari bronkus yaitu
1)Bronkiolus, merupakan cabang-cabang dari bronkus segmental.
Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir
yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan
nafas.2)Bronkiolus terminalis, merupakan percabagan dari bronkiolus.
Bronkiolus terminalismempunyai kelenjar lendir dan silia.3)Bronkiolus
respiratori, merupakan cabang dari bronkiolus terminalis. Bronkiolus
respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain jalan nafas
konduksi dan jalan udara pertukaran gas. 4)Duktus alveolar dan sakus
alveolar. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus
alveolar dan sakus alveolar, kemudian menjadi alveoli
f. Paru-Paru
Letak paru-paru di rongga dada, menghadap ke tengah rongga dada
atau kavum mediastinum.Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru
atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus
oleh selaput yang bernama pleura.Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, pleura
visceral (selaput pembungkus) yang langsung membungkus paru-paru dan
pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Pada
keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru
dapat mengembang mengempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat)
yang berguna untuk melumasi permukaanya (pleura), menghindarkan
gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan
bernapas .Paru-paru merupakan bagian tubuh yang sebagian besar terdiri
dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli).Gelembung alveoli ini
terdiri dari sel-sel epitel dan endotel.Jika dibentangkan luas permukaannya
kurang lebih 90 m².
Alveoli merupakan tempat pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah
dan CO2 dikeluarkan dari darah.Banyaknya gelembung paru-paru ini
kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Paru-paru
terbagi menjadi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus yaitu lobus

111
pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus
terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai
10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen
pada inferior.
Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada
lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen
pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi
belahan-belahan yang bernama lobulus.Di antara lobulus satu dengan yang
lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah, getah
bening dan syaraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus.Di dalam
lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut
duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2-0,3 mm. Persyarafan pada pernapasan disuplai
melalui Nervus Phrenicus dan Nervus Spinal Thoraxic. Nervus Phrenicus
mensyarafi diafragma, sedangkan Nervus Spinal Thoraxic mempersyarafi
intercosta.Paru juga dipersyarafi oleh serabut syaraf simpatis dan para
simpatis.Pada paru terdapat peredaran darah ganda.Darah yang miskin
oksigen dari ventrikel kanan masuk ke paru melalui arteri
pulmonalis.Selain sistem arteri dan vena pulmonalis, terdapat pula arteri
dan vena bronkialis, yang berasal dari aorta, untuk memperdarahi jaringan
bronki dan jaringan ikat paru dengan darah kaya oksigen.Ventilasi paru
(bernapas) terdiri otot-otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot-otot
interkostal.Selain ini ada otot-otot pernapasan tambahan eperti otot-otot
perut.Volume udara pernapasan terdiri dari atas volume tidal (VT), volume
kemplemen (VK), volume suplemen (VS), volume residu (VR), kapasitas
vital (KV), dan kapasitas total (KT). Volume tidal (VT) adalah volume
udara yang keluar masuk paru-paru sebagai akibat aktivitas pernapasan
biasa (500 cc).Volume komplemen (VK) adalah volume udara yang masih
dapat dimasukkan secara maksimal ke dalam paru-paru setelah inspirasi
biasa (1500 cc).Volume suplemen (VS) adalah volume udara yang masih
dapat dihembuskan secara maksimal dari dalam paru-paru setelah
melakukan ekspirasi biasa (1500 cc).Volume residu (VR) adalah volume
udara yang selalu tersisa di dalam paru-paru setelah melakukan ekspirasi
sekuatkuatnya (1000 cc). Kapasitas vital (KV) adalah volume udara yang

112
dapat dihembuskan sekuatkuatnya setelah melakukan inspirasi sekuat-
kuatnya (KV = VT + VK + VS) 3500 cc. Kapasitasi total (KT) adalah
volume total udara yang dapat tertampung di dalam paru-paru (KT = KV +
VR) 4500 cc

b. Fisiologi
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandungoksigen serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.Penghirupan udara
ini disebut inspirasi dan penghembusannya disebut ekspirasi.Jadi, dalam paru-
paru terjadi pertukaran zat antara oksigen yang masuk kedalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah secara osmosis.CO2 dikeluarkan melalui traktus
respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam tubuh melalui kapiler-
kapiler vena pulmonalis kemudian masuk ke serambi kiri jantung (atrium
sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan
sel-sel), di sini terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa dari pembakaran
adalah CO2 dan dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung
(serambi kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan (ventrikel dekstra)
dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan paru-paru
Pernapasan terdiri dari 2 mekanisme yaitu inspirasi (menarik napas)
dan ekspirasi (menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan inpirasi
dan eskpirasi secara bergantian, teratur, berirama, dan terus menerus.Bernapas
merupakan gerak refleks yang terjadi pada otot-otot pernapasan.Refleks
bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum
penyambung (medulla oblongata).Oleh karena seseorang dapat menahan,
memperlambat, atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa refleks
bernapas juga dibawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka
terhadap kelebihan kadar CO2 dalam darah dan kekurangan dalam darah.
Inspirasi terjadi bila muskulus diafragma telah mendapat rangsangan dari
nervus frenikus lalu mengerut datar.Muskulus interkostalis yang letaknya
miring, setelah mendapat rangsangan kemudian mengerut dan tulang iga
(kosta) menjadi datar.Dengan demikian jarak antara sternum (tulang dada) dan
vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada membesar maka pleura akan

113
tertarik, yang menarik paru-paru sehingga tekanan udara di dalamnya
berkurang dan masuklah udara dari luar
Ekspirasi, pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma akan
menjadi cekung,muskulus interkostalis miring lagi) dan dengan demikian
rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi proses
respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara
rongga pleura dan paru-paru. Pada pernapasan dada, pada waktu seseorang
bernapas, rangka dada terbesar bergerak.Ini terdapat pada rangka dada yang
lunak, yaitu pada orang-orang muda dan pada perempuan.Pada pernapasan
perut, jika pada waktu bernapas diafragma turun naik, maka ini dinamakan
pernapasan perut. Kebanyakan pernapasan perut terdapat pada orang tua,
karena tulang rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi yang disebabkan
oleh banyak zat kapur yang mengendap di dalamnya dan banyak ditemukan
pada laki-laki.

3. Patofisiologi
Menurut (Black & Hawks, 2014, pp. 277–278), Asma terjadi karena klien
terpapar oleh allergen ekstrinsik dan iritan ( misalnya debu, serbuk sari, asap,
tungau, obat-obatan, dll) saluran napas akan meradang sehingga menyebabkan
kesulitan bernapas, dada terasa sesak dan mengi. Reaksi fase cepat (early-phase)
berkembang dengan cepat dan bertahan sekitar satu jam.
Ketika seseorang terpapar allergen, immunoglobulin E (IgE) akan di produksi
oleh limfosit B. antibody IgE akan melekat pada sel mast dan basophil di dinding
bronkus. Sel mast akan mengosongkan dirinya dan melepaskan mediator
peradangan kimia, seperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan substansi
reaksi lambat (slow racting substance/ SRS-A). Zat-zat ini merangsang
menyebabkan edema saluran napas dalam usaha untuk menyingkirkan allergen
serta menginduksi kontriksi saluran napas untuk menutupnya sehingga tidak
menghirup allergen lebih banyak lagi. Sekitar setengah dari seluruh tubuh pasien
akan mengalami reaksi fase lambat ( late-phase). Meskipun tanda dan gejala sama
yang dirasakan pada fase awal tetapi reaksi fase lambat akan dimulai 4-8 jam
setelah paparan dan dapat beratahn selama beberapa jam dan hari.
Pada kedua fase tersebut, pelepasan fase mediator kimia menyebabkan respon
pada saluran pernapasan.Pada respon fase lambat mediator menraik sel-sel radang

114
lainnya dan membuat siklus obstruksi, serta inflamasi yang terus
menerus.Peradangan kronis ini menyebabkan saluran napas jadi
hiperresponsif.saluran napas yang hiperresponsif menyebabkan episode
berikutnya seperti kelelahan fisik, frekuansi dan gejala klinis dapat meningkat.
Reseptor alfa-adrenergik dan beta-adrenergik dari system saraf simpatis dapat
ditemukan di bronkus.Rangsangan terhadap reseptor alfa-adrenergik
menyebabkan kontriksi bronkus, sebaliknya rangsangan pada respetor beta-
adrenergik menyebabkan dilatasi bronkus.

4. Etiologi
Factor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya asma (Lewis et al., 2014, p.
562)(Susanto Dwi et al., 2018, p. 166):
a. Infeksi saluran pernapasan
Infeski saluran pernapasan sering menjadi penyebab terjadinya serangan
asma akut. Infeksi akut bisa menyebabkan penyempitan saluran napas dan
hiperresponsif saluran napas.Perubahan sel epitel yang diinduksi virus,
peningkatan akumulasi sel inflamasi, edema dinding saluran napas, dan
paparan ujung saraf saluran napas berkontribusi terhadap perubahan fungsi
saluran napas. Perubahan fungsi saluran napas ini dapat memperburuk asma
b. Makanan dan obat
Makanan dan obat dapat menjadi pemicu terjadinya asma karena terdapat
kandungan senyawa seperti tetrazine, β-Adrenergic blockers, dan
lainnya.Seperti kandungan β-Adrenergic blockers bisa memicu terjadinya
bronkospasme.
c. Polusi udara
Polusi udara dapat menyebabkan stres oksidatif melalui mekanisme
deplesi antioksidan sehingga menyebabkan kerusakan saluran napas dan
menimbulkan asma. Polusi udara dapat berinteraksi dengan dinding saluran
napas menyebabkan perubahan struktur pada saluran napas atau remodelling
saluran napas sehingga menyebabkan asma melalui berbagai cara. Polusi
udara juga dapat mempengaruhi ekspresi mediator inflamasi dan
keseimbangan respons imun serta meningkatkan sensitisasi alergen tipikal dan
partikel dalam polutan berinteraksi dengan antigen sehingga lebih alergenik,

115
meningkatkan permeabilitas epitel sehingga lebih banyak sel yang terpajan
menyebabkan respon imun yang bersifat adjuvan terhadap allergen
d. Factor Psikologis
Banyak orang yang menderita kekambuhan asma dikarenakan factor
stress.Factor psikologis dapat menyebabkan bronkokontriksi via stimulasi
reflek kolinergik.

5. Tanda gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada Asma, yaitu (Digiulio et al., 2014, p. 95):
1. Suara napas tambahan (mengi) sepanjang siklus pernapasan. Mengi terjadi
karen a adanya inflamasi pada saluran pernapasan yang membuat udara sukar
bergerak melalui jaringan napas yang menyempit sehingga menimbulkan
suara.
2. Dypsnea. Dypsnea terjadi karena penyempitan saluran pernapasan karena
adanya inflamasi. Gejala ini progresif berkembang seiring dengan inflamais
berkembang.
3. Frekuensi napas > 20 x/menit (Tacypnea). Ini merupakan usaha tubuh untuk
memperoleh oksigen lebih banyak masuk ke dalam paru-paru
4. Penggunaaan otot bantu pernapasan. Penggunaaan otot bantu pernapasan
dilakukan oleh tubuh ketika tubuh mencoba lebih keras untuk mendapatkan
lebih banyak oksigen ke dalam paru-paru.
5. Denyut jantung > 100 x/menit (Takikardi) . Tubuh berusaha mendapatkan
oksigen lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan jaringan.

6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada asma (LeMone et al., 2015, p. 1528):
a. Pemeriksaan fungsi paru (Pulmonary Function Test, PFT)
Digunakan untuk mengevaluasi derajat obstruksi jalan napas.Pemeriksaan
fungsi paru dilakukan setelah dan sebelum penggunaan aerosol.
b. Analisa Gas Darah (AGD)
Pemeriksaan AGD dilakukan untuk mengetahui kadar oksigenasi, karbon
dioksida, dan status asam basa. Pada kasus asma , AGD awalnya
menunjukkan hipoksemia dengan PO2 rendah dan alkalosis respiratorik

116
dengan peningkatan pH dan PCO 2 rendah akibta takipnea. Obstruksi jalan
napas hebat menyebabkan hipoksemia signifikan dan asidosis respiratorik
(pH , 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg), mengindikasikan gagal napas dan
kebutuhan untuk ventilasi mekanis.
c. Pemeriksaan kulit
Pemeriksaan kulit dapat dilakukan untuk mengetahui allergen spesifik
pemicu terjadinya serangan asma.
d. Foto Thoraks
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain selain asma

7. Kompllikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita asma yakni status asmatikus.
Status asmatikus merupakan komplikasi yang berta dan mengancam nyawa.
Episode akut spasme bronkus yang terjadi cenderung meningkat.Dengan spasme
bronkus berat, beban untuk bernapas meningkat menjadi 5-10 kali lebih berat,
sehingga menyebabkan kor-pulmonal akut (gagal jantung kanan yang disebabkan
oleh penyakit paru).Saat udara terjebak, denyut paradoksikal (missal, penurunan
tekanan darah >10mmHg selama inspirasi) terjadi akibat obstruksi aliran balik
vena. Bila satus asmatikus berlanjut maka akan terjadi hopoksemia dan semakin
memberat akan terjadi asidosis. Bila keadaan ini tidak ditangani dengan segera
maka akan terjadi henti napas dan henti jantung.

8. Penatalaksanaan
Focus tindakan adalah menjaga kepatenan jalan napas untuk mengendurkan
spasme bronkus dan memberrsihkan spasme bronkus dan memebrersihkan secret
yang berlebih maupun tertahan , menjaga pertukaran udara yang efektif,
mencegah komplikasi seperti stautus asmatikus sampai gagal napas akut
Tata laksana serangan asma dapat dilakukan di rumah maupun di sarana
kesehatan (rumah sakit).Tata laksana di rumah dapat dilakukan oleh orangtua
dengan memberikan obat pereda (β-agonis) dalam bentuk hirupan atau oral yang
setiap saat dapat digunakan.Obat dalam bentuk hirupan diberikan dapat dengan
nebulisasi, MDI (metered dose inhaler) dengan spacer atau dengan DPI (dry
powder inhaler) sebanyak 2-3 dosis sebanyak 2 kali pemberian dengan jarak 20-
30 menit. Apabila dengan cara tersebut tidak ada perbaikan yang nyata bahkan

117
memburuk maka dianjurkan mencari pertolongan ke rumah sakit(Pardede et al.,
2013, p. 149).
Pasien asma yang datang ke UGD (Unit Gawat Darurat) dalam keadaan
serangan langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai
dengan fasilitas yang tersedia. Tata laksana serangan asma di rumah sakit
tergantung derajat serangannya(Pardede et al., 2013, p. 149).
1) Serangan Ringan
Apabila prediksi awal berupa serangan asma ringan diberikan β- agonis
saja.Pada pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) pada
pemberian nebulisasi awal dilakukan observasi selama 1 jam.Jika respons
tersebut bertahan (klinis tetap baik) pasien dapat dipulangkan dengan
membekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam.
Apabila alat nebuliser tidak tersedia, maka sebagai alternatif lain dapat
digunakan MDI dengan spacer. Pada pasien dengan serangan ringan tidak
memerlukan kortikosteroid oral kecuali jika pencetus serangannya adalah
infeksi virus dan ada riwayat serangan asma berat.serangan asma
berat.Kortikosteroid oral (yang dianjurkan golongan metilprednisolon dan
prednison) diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dalam jangka pendek (3-
5 hari).Pemberian maksimum 12 kali (episode) pertahuntidak mengganggu
pertumbuhan anak.1,5 Pasien dianjurkan kontrol ke KlinikRawat Jalan dalam
waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tata laksana. Apabila dalam kurun waktu
observasi gejala timbul kembali, maka pasien diperlakukan sebagai serangan
sedang.
2) Serangan sedang
Pada pasien yang diprediksi mengalami serangan sedang atau
menunjukkan respons parsial (incomplete response) pada tata laksana awal
dianggap sebagai derajat serangan sedang yaitu diberikan oksigen, nebulisasi
dilanjutkan dengan β-agonis + antikolinergik dan kortikosteroid
oral.Pemberian inhalasi dapat diulang setiap 2-4 jam. Selanjutnya dilakukan
observasi selama 12 jam (dapat dilakukan di ruang rawat sehari). Apabila
dalam 12 jam klinis tetap baik maka pasien dipulangkan dengan dibekali obat
yang biasa digunakan namun apabila responsnya tetap tidak baik maka pasien
dialih rawat ke Ruang Rawat Inap dan dianggap sebagai serangan berat.

118
3) Serangan berat
a) Pemberian oksigen
Kortikosteroid intravena diberikan secara bolus tiap 6-8 jam, dengan
dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari.
b) Nebulisasi β-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2
jam, jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.1,2,5,14
c) Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: – bila pasien belum
mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial)
sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-30 menit. Tetapi jika pasien telah
mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis awal aminofilin diberikan
1/2nya (3-4 mg/kgBB).
– selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/
kgBB/jam.
– sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20
mcg/ml.2,3,5
d) Terapi suportif apabila terdapat kelainan berupa dehidrasi dan asidosis
yaitu pemberian cairan intravena dan koreksi gangguan asam-
basanya.3,5,15
e) Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga
24 jam. Kortikosteroid dan aminofilin dapat diberikan peroral.
f) Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat β- agonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan teofilin
yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Kortikosteroid dilanjutkan
peroral hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam
untuk reevaluasi tata laksana. Obat yang biasa digunakan sebagai
controller tetap diberikan.
g) Jika dengan tata laksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien
menunjukkan tanda ancaman henti napas, maka pasien dialihrawat ke
Ruang Rawat Intensif.

119
B. Konsep dasar keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan :
Gejala saat ini kekakuan dada, sesak napas, durasi serangan saat ini, tindakan
yang dilakukan meredakan gejala dan efek yang ditimbulkan, medikasi saat
ini, alergi yang diketahui
b. Pemeriksaan fisik:
Tingkat distress yang tampak, warna, TTV, kecepatan pernapasan dan eksursi,
suara napas di seluruh lapang paru, nadi apical.
c. pemeriksaan diagnostic :
Analisa Gas Darah (AGD)

2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas berhubungan dengan Bronkospasme
b. Ketidakefektifan Pola Napas berhubungan dengan Kecemasan
c. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Perubahan Membrane
Alveolus-Kapiler

120
3. Intervensi keperawatan

NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

1. Bersihan Jalan Napas tidak efektif berhubunganSetelah dilakukan asuhan keperawtan Manajemen jalan napas
dengan spasme jalan nafas selama 1x 24 jam maka bersihan jalan nafas
meningkat dengan kriteria hasil: Observasi :
Data mayor : 1. batuk efektif (meningkat) 1. Monitor pola napas
Ds:- 2. produksi sputum (menurun) 2. Monitor bunyi napas
Do: 3. mengi (menurun) 3. Monitor sputum
 batuk tidak efektif 4. dispnea (menurun)
 tidak mampu batuk 5. gelisah (menurun) Teraupetik
 seputum berlebihan 6. frekuensi napas (membaik) 4. Pertahankan kepatenan jalan
 mengi, whezing dan atau ronkhi kering 7. pola nafas (membaik) napas dengan head tilt chin lift
Data minor atau jaw trust
Ds: (PPNI, 2019, P. 18) 5. Posisikan semifowle atau fowler
 dispnea 6. Berikan minum air hangat
 sulit bicara 7. Lakukan fisioterapi dada
8. Lakukan penghisapan lendir
 ortopnea
kurang dari 15 detik
Do:
9. Lakukan hiperoksigenisasi
 gelisah
sebelum penghisapan
 sianosis endotrakeal
 bunyi nafas menurun 10. Berikan oksigen
 frekuensi nafas berubah
 pola nafas berubah Edukasi
11. Anjurkan asupan cairan 2000
(PPNI, 2017, p. 18) ml/hari
12. Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

121
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

(PPNI, 2018a, p. 187):


2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen asma
hambatan upaya nafas selama 3 x 24 jam maka pola nafas membaik
Data Mayor: dengan kriteria hasil: Observasi :
Ds: 1. Ventilasi semenit(meningkat) 1. Monitor dan frekuensi dan
 Dispnea 2. Dispnea (menurun) kedalaman napas
Do: 3. Penggunaan otot bantu nafas (menurun) 2. Monitor tanda dan gejala
 Penggunaan otot bantu pernapasan 4. Pemanjangan fase ekspirasi (menurun) hipoksia
 Fase ekspirasi memanjang 5. Frekuensi nafas (membaik) 3. Monitor bunyi napas
 Pola nafas abnormal 6. Kedalaman nafas (membaik) 4. Monitor saturasi O2
(PPNI, 2019, p. 95)
Data Minor Terapeutik :
Ds: 6. Berikan posisi semi fowler 30-40
 Ortopnea derajat
7. Pasang oksimetri nadi
Do: 8. Berikan O2 6-15 ltr untuk
 Pernapasan pursed-lip mempertahankan Spo2
9. Pasang jalur intravena untuk
 Pernapasan cuping hidung
pemberian obat dan hidrasi
 Ventilasi semenit menurun
10. Ambil sample darah untuk
 Kapasitas vital menurun pemeriksaan darah lengkap dan
 Tekanan ekspirasi menurun AGD
 Tekanan inspirasi menurun
Kolaborasi
(PPNI, 2017, p. 26) 11. Anjurkan meminimalkan ansietas
yang dapat meningkatkan

122
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

kebutuhan oksigen
12. Anjurkan bernapas lambat dan
dalam

Edukasi
13. Kolaborasi pemberian
bronkodilator sesuai indikasi

(PPNI, 2018, p. 186-187)

3 Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan setelah dilakukan intervensi keperawatanTerapi oksigen (PPNI, 2018a, p. 431)
Perubahan Membrane Alveolus-Kapiler selama 1 x 24 jam maka pertukaran gasObservasi
membaik dengan kriteria hasil: 1. monitor kecepatan aliran oksigen
Data Mayor: 1. Dispnea (menurun) 2. monitor tanda-tanda hipoventilasi
Ds: 2. Bunyi nafas tambahan (menurun) 3. monitor tanda dan gejala toksikasi
 Dispnea 3. Pusing (menurun) oksigen dan atelectasis
Do: 4. Pengelihatan kabur (menurun) 4. monitor tingkat kecemasan akibat
 PCO2 meningkat/menurun 5. Diaforesis (menurun) terapi oksigen
 PO2 menurun 6. Gelisah (menurun) 5. monitor posisi terapi oksigen
 Takikardia 7. PO2 (membaik) 6. moitor efektifitas terapi oksigen
 PH arteri meningkat/menurun 8. Takikardia (membaik)
 Bunyi nafas tambahan 9. PH arteri (membaik) Teraupetik
10. Sianosis (membaik) 7. bersihkan secret pada mulut,
Data Minor 11. Pola nafas (membaik) hidung dan trakea, jika perlu
Ds: 12. Warna kulit (membaik) 8. pertahankan kepatenan jalan
napas
 Pusing
9. siapkan dan atur peralatan
 Pengelihatan kabur
(PPNI, 2019, p.94) pemberian oksigen
Do:
 Sianosis

123
NO Diagnosa keperawatan SLKI SIKI

 Diaforesis Edukasi
 Gelisah 10. ajarkan pasien dan keluarga cara
 Napas cuping hidung menggunakan oksigen di rumah
 Pola nafas abnormal 11. kolaborasi penggunaan oksigen
 Warna kulit annormal saat beraktivitas atau tidur
 Kesadaran menurun
(PPNI, 2018a, p. 431)
(PPNI, 2017, p. 26)

124
4. Implementasi keperawtan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi keperawatan
yang telah di rencanakan mulai dari tindakan observasi, teraupetik, kolaborasi
dengan tim medis, edukasi. Pada tahap ini perawat dalam melaksanakan tindakan
keperawatan menerapkan hubungan saling percaya dan komunikasi antara
pasien, keluarga pasien. dalam tahap pelaksanaan implementasi keperawatan
yang telah di rencanakan sebelumnya, Perawat juga melibatkan keluarga pasien
selama dalam masa pemberian tindakan di rumah sakit.

5. Evaluasi keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
Mengi dan wheezing tidak etrdengar lagi di kedua lapang paru, frekuensi napas
= 20 x/menit, nadi = 100x/menit, tidak merasa sesak napas (dypsnea), tidak
tampak sianosis.
b. Pola napas tidak efektif
Tidak merasa sesak napas (dypsnea), tidak menggunakan otot bantu
pernapasan, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung, kedalaman
pernapasan membaik.
c. Gangguan pertukaran gas
Nilai pH, PCO2, pO2 dalam keadaan normal, bunyi napas tambahan tidak
terdengar, pusing tidak dirasakan lagi, tidak tampak sianosis.

6. Discharge planning
a. Kenali allergen yang akan muncul yang mengakibatkan asma
b. Pelajari cara penanganan pertama pada asma dan cara menggunakan obat-obat
asma (inhalasi)
c. Pelajari cara control kecemasan, takut dan stress saat serangan asma
d. Gunakan obat asma secara teratur
e. Hubungi dokter jika serangan asma tidak membaik setelah minum obat
kortikosteroid atau inhalasi

125
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN

C. Konsep dasar medik


9. Definisi
10. Anatomi fisiologi
11. Klasiikasi
12. Patofisiologi
13. Etiologi
14. Tanda gejala
15. Pemeriksaan diagnostik
16. Kompllikasi
17. Penatalaksanaan
18. patway
D. Konsep dasar keperawatan
f. Pengkajian
g. Diagnosa keperawatan
h. Intervensi keperawatan
i. Implementasi keperawtan
j. Evaluasi keperawatan
k. Discharge planning

126

Anda mungkin juga menyukai