Anda di halaman 1dari 4

Soetomo

Biodata Soetomo
Nama Soetomo

Panggilan Bung Tomo

Tempat dan Tanggal Lahir Nganjuk, Jawa Timur pada 30 Juli 1888

Wafat Surabaya, Jawa Timur 30 Mei 1938

Agama Islam

Ayah: Raden Suwaji

Orang Tua Ibu: Soedarmi Soewajipoetro

Pasangan Everdina Broering

Anak -

Gelar Pahlawan Nasional


.
Soetomo atau Bung Tomo tepatnya lahir di Desa Ngepeh, Jawa Timur. Beliau
pernah bersekolah di School tot Opleding van Indische Artsen (STOVIA) pada tahun 1903.
Sekolah tersebut merupakan Sekolah Kedokteran atas saran ayahnya.
Di sekolah STOVIA, Soetomo terkenal sebagai anak yang nakal, malas belajar dan
suka menyontek. Tapi setelah tiga tahun pendidikannya, Soetomo berubah drastis

Saat bersama teman-temannya di STOVIA, ia mendirikan sebuah organisasi bernama


Budi Utomo pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter
pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera.

Budi Utomo merupakan sebuah organisasi pergerakan pertama di Indonesia yang


berdiri pada 20 Mei 1908. Hingga saat ini, setiap tanggal 20 Mei yang kemudian
diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Organisasi Budi Utomo ini juga salah
satu yang berpengaruh dan berperan menuju Kemerdekaan Indonesia.

Banyak sekali cabang sekolah yang didirikan oleh ISC, seperti sekolah tenun, bank,
koperasi dan sebagainya. Kemudian pada tahun 1931, ISC berganti nama menjadi
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI).

PBI dipimpin oleh Soetomo dan mulai berkembang pesat. Kemudian pada Januari
1934, tekanan dari pemerintah Belanda terhadap pergerakan Nasional semakin keras.

Kemudian organisasi Budi Utomo dan PBI digabungkan menjadi satu dengan nama
Parindra pada tahun 1935. Parindra diketuai oleh Soetomo, organisasi tersebut
bergerak di bidang politik dan kedokteran serta di bidang jurnalis dan memimpin
berbagai surat kabar.

Masa Kecil dan Pendidikan Soetomo


Pada saat masih kecil, ayahnya bekerja sebagai wedana di Maospati, Madiun,
kemudian kerja menjadi ajun jaksa di Madiun. Saat itu, Soetomo kecil bersekolah di
Sekolah Rendah Bumiputera, setelah itu berpindah ke Bangil, Jawa Timur.

Pada saat di Bangil, Jawa Timur, Soetomo ikut pamannya di sana agar dapat masuk ke
sekolah Europeesche Lagere School (ELS). Karena pernah ditolak di ELS, akhirnya
ayahnya menyarankan untuk Soetomo bersekolah di STOVIA.
Ketika bersekolah di STOVIA, Soetomo terkenal nakal dan tidak mau belajar. Hari demi
hari berlalu, setelah kepergian ayahnya, Soetomo mendadak berubah secara drastis
dan merubah hidupnya menjadi lebih baik.
Organisasi yang Pernah Diikuti oleh Soetomo

Berikut ini adalah beberapa organisasi yang pernah diikuti oleh Soetomo semasa
hidupnya:
 Budi Utomo (20 Mei 1908)
 ISC (1924)
 Partai Indonesia Raya (1935)
 Persatuan Bangsa Indonesia (1931)
Akhir Hayat Soetomo
Soetomo menghembuskan nafas terakhirnya dan wafat di Surabaya pada 30 Mei 1938. Jenazah beliau
dikebumikan di belakang Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Bubutan, Surabaya.

Karena jasa-jasanya untuk bangsa dan kemerdekaan Indonesia, Soetomo dianugerahi sebagai Pahlawan
Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.657 Tahun 1961 tanggal 27 Desember.

Selain itu, nama Soetomo juga digunakan sebagai nama jalan, gedung, perguruan tinggi hingga rumah
sakit umum yang terletak di Surabaya, Jawa Timur.

Itulah biografi singkat Soetomo atau biasa dikenal dengan nama Bung Tomo, seperti itulah sejarah hidup,
pendidikan hingga kariernya hingga ia bisa disebut menjadi Pahlawan Nasional.

Tags: sejarah indonesia bung tomo 

Masa muda[
Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, priyayi golongan menengah
yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah, staf perusahaan swasta, asisten kantor pajak, hingga pegawai
perusahan ekspor-impor Belanda. Kartawan mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pengikut
dekat Pangeran Diponegoro.
Ibu Sutomo bernama Subastita, seorang perempuan berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura anak
seorang distributor lokal mesin jahit Singer di wilayah Surabaya yang sebelum pindah ke Surabaya pernah jadi polisi
kotapraja dan anggota Sarekat Islam.
Sutomo sulung dari 6 orang bersaudara. Adiknya masing-masing bernama Sulastri, Suntari, Gatot Suprapto, Subastuti,
dan Hartini.[2]
Walaupun dibesarkan dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan, namun pada usia 12 tahun, Sutomo terpaksa
meninggalkan bangku MULO akibat tdampak Despresi Besar yang melanda dunia. Untuk membantu keluarga, ia mulai
bekerja secara serabutan. Meski begitu, belakangan Sutomo bisa masuk HBS secara korespondensi dan tercatat sebagai
murid yang dianggap lulus meski tidak secara resmi.
Sutomo lalu bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Pada usia 17 tahun, ia menjadi berhasil menjadi
orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942,
peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Perjuangan Bung Tomo pada Pertempuran 10 November 1945[


Sutomo muda lebih banyak berkecimpung dalam bidang kewartawanan. Ia antaranya menjadi jurnalis lepas untuk
harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.
Baru setelah ia mulai bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial.
Pada 1944, ia terpilih menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru dan pengurus Pemuda Republik Indonesia di
Surabaya.yang disponsori Jepang. Bisa dibilang, inilah titik awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November.
Dengan posisinya itu, ia bisa mendapatkan akses radio yang lantas berperan besar untuk menyiarkan orasi-orasinya
yang membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia. Terlebih, sejak 12 Oktober 1945 Bung
Tomo juga memimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya.
Meskipun pada akhirnya pihak Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November 1945, namun rakyat Surabaya
dianggap berhasil memukul mundur pasukan Inggris untuk sementara waktu dan kejadian ini dicatat sebagai salah satu
peristiwa terpenting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Setelah kemerdekaan[sunting | sunting sumber]


Antara 1950-1956, Bung Tomo masuk dalam Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Negara
Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran, merangkap Menteri Sosial (Ad Interim). Sejak 1956 Sutomo menjadi anggota
anggota Konstituante mewakili Partai Rakyat Indonesia. Ia menjadi wakil rakyat hingga badan tersebut
dibubarkan Sukarno lewat Dekrit Presiden 1959.
Sutomo memprotes keras kebijakan Sukarno tersebut, termasuk membawanya ke pengadilan meski akhirnya kalah.
Akibatnya perlahan ia menarik diri dari dunia politik dan pemerintahan.
Di awal Orde Baru, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh yang mulanya mendukung Suharto. Namun sejak awal 1970-
an, ia mulai banyak mengkritik program-program Suharto, termasuk salah satunya proyek pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah. Akibatnya pada 11 April 1978 ia ditangkap dan dipenjara selama setahun atas tuduhan melakukan
aksi subversif.
Sekeluar dari penjara Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal pada pemerintah dan memilih
memanfaatkan waktu bersama keluarga dan mendidik kelima anaknya. Selain itu Sutomo juga menjadi lebih bersungguh-
sungguh dalam kehidupan imannya.
Pada 7 Oktober 1981, Sutomo meninggal dunia di Padang Arafah saat sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan
tradisi memakamkan jemaah haji yang meninggal di tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa pulang ke tanah air. Sesuai
wasiatnya, Bung Tomo tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai