GURU PEMBIMBING
Rizky Rahmadani, S.Pd
Disusun Oleh:
1. Gressia Melani Panjaitan
2. Hayla Intan Purnama
3. Imel Rafesya Lubis
4. Juwita Lestari
5. Keisya Ray Athaya Salwa
6. Leila Salma Salsbila
7. Muhamad Raihan
8. Muhamad Rizky
9. Muhammad Ilham Yudotomo
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nyalah kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Pemilihan Umum Pertama”.
Makalah yang kami susun ini memiliki aspek tujuan. Tujuan kami adalah untuk belajar dan
bediskusi bersama mengenai materi “Pemilihan Umum Pertama”. Selain itu, makalah ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca.
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada guru
pembimbing dan teman teman kelompok 2 sudah saling bekerja sama dan juga saling membantu
memberi ide dan pendapatnya dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah kami masih banyak memiliki kekurangan, Oleh karena
itu, kritik dan saran para pembaca sangat kami harapkan untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun guna untuk menyempurnakan pembuatan makalah di waktu yang akan
datang.
2
DAFTAR ISI
BAB I ..............................................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................................4
BAB II .............................................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN .............................................................................................................................................................5
2.3 Partai Politik Yang Berperan Dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia ..............................9
.............................................................................................................................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................................................13
PENUTUP .....................................................................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya bangsa yang baru merdeka biasanya menetapkan pemilihan umum sebagai
program politiknya. Demikian juga Indonesia stelah bebrapa lama berada di bawah kekangan
pemerintah kolonial. Salah satu agenda politik adalah menyelenggarakan pemilihan
umum . Hal ini menunjukan euphoria politik karena sebagai bangsa yang baru merdeka yang ingin
menikmati pesta demokrasi yang belum pernah dialami pada masa- masa sebelumnya.
Pemilihan umum di Indonesia yang pertama diselanggarakan satu setengah bulan setelah
terbentuknya kabinat Burhanuddin Harahap. Sebagai ketua lembaga pemilihan umum adalah
Menteri Dalam Negeri waktu yaitu Mr. Sunaryo, yang berasaskan langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dalam pelaksanaanya, puluhan partai politik bersaing memperebutkan kursa dewan
Perwakilan rakyat anggota konstituante. Pada waktu itu wilayah Indonesia dibagi menjadi 16
wilayah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139 ke kecamatan dan 434529 Desa
( Sekretariat NegaraRI, 1986: 88).
1.2 Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka kami merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Sejarah terjadinya pemilihan umum di Indonesia pada 1955
2. Jelaskan sistem pemilihan umum di Indonesia pada 1955 di Indonesia ?
3. Apa saja partai politik yang berperan dalam pemilihan umum 1955 di Indonesia?
4. Bagaimana proses pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955 di Indonesia ?
5. Bagaimana persentase hasil pemilihan umum tahun 1955 di Indonesia. ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
PEMBAHASAN
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh
Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang
ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam.
Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun, tidaklah berarti
bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu,
pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa
pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu.
Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian
diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan
bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan
tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu
5
itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi
distorsi. Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi
Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.
Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari
Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu
Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan
nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian,
pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari
Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950
menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu
tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo
dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang
menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12
tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak
berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan
dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian
dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai
politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
a. Revolusi fisik / Perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk memfokuskan diri
pada usaha mempertahankan kemerdekaan. Tanda gambar peserta pemilu tahun 1955.
b. Pertikaian internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintahan cukup menguras energi
dan perhatian.
c. Belum adanya UU Pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu (UU Pemilu baru
disyahkan tanggal 4 April 1953 yang dirancang dan disyahkan oleh kabinet Wilopo). Sekalipun
masa kampanye dilakukan pada masa kabinet Ali, namun pemilu baru dapat dilaksanakan oleh
kabinet Burhanuddin Harahap.
6
2.1.1 Asas Pemilihan Umum
a. Jujur, artinya bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan
per-undangan yang berlaku
b. Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal
dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
c. Berkesamaan, artinya bahwa semua warga negara yang telah mempunyai hak pilih
mempunyai hak suara yang sama, yaitu masing-masing satu suara.
d. Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan
diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
e. Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati
nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
f. Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-
ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
2.2 Sejarah Terjadinya Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia
pemilu 1955 yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota
DPR yang melibatkan lebih dari 39 juta penduduk Indonesia dalam memberikan suaranya dan
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante berada di bawah
rezim hukum konstitusi Pasal 1 Ayat 1, Pasal 35, Pasal 56 s.d. Pasal60, Pasal 134 dan Pasal 135
UUDS 1950 yang kemudian diderivasi dalamUU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum.
Pemilu tersebut berada dalam konteks sistem ketatanegaraan kabinet parlementer dengan sistem
multi partai (Poesponegoro, dkk. 2008:317).
Pemilihan umum pertama tahun 1955 ini diselenggarakan dengan 100 tanda gambar, hal ini
menunjukan bahwa antosias masyarakat dengan beragam partainya masing-masing cukup tinggi.
Namun setelah diadakan penyederhanaan, akhirnya pemilihan umum ini diikuti 28 partai.
Sebagaimana diketahui bahwa, pemilihan umum ini dapat dilaksanakan sesuai dengan jadual yang
telah di tetapkan. Sejumlah 37.875. 299 penduduk yang berhak menggunakan hak pilihnya, dari
jumlah ini 43. 104. 464 menggunakan hak pilihnya, ini berarti 87,65 persen menggunakan hak
pilihnya ( Rais, 1986: 183).
Dilihat dari persentase rakyat yang menggunakan hak pilihnya, partisifasi rakyat cukup besar
karena situasi dan kondisi pada waktu itu, dimana saranadan prasarananya masih sulit terutama
didaerah pedesaan, dan juga masih banyaknya gerakan-gerakan pengacau keamanan di berbagai
daerah Indonesia seperti Darul Islam (DI). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
7
pemilihan umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilihan umum tahun
1955 dapat berjalan dengan baik.
Sistem ini merupakan sistem penilaian yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis ini biasa disebut distrik, yang mencakup suatu wilayah kecil
yang mempunyai satu wakil dalam parlemen.
Dalam sistem distrik, yang paling penting diperlukan puralitas suara (suara terbanyak) untuk
membentuk suatu pemerintah, dan bukan mayoritas (50 % plus 1). Oleh karena itu, berapapun
suara yang diperoleh jika ia tampil sebagai pemenang, maka dapat membentuk kabinet tanpa
koalisi, pemerintah semacam ini dinamakan minority government. Ciri khas yang melekat pada
sistem distrik ini yaitu kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional
dan jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen.
a. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik
sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebh erat.
b. Sistem ini lebih mendorong kea rah integrasi partai- partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam sistem distrik pemilihan hanya satu.
c. Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat dibendung, malah
sistenm ini dapat mendorong kea rah penyederhanaan partai secara alamiah dan tanpa paksaan.
d. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen ,
sehingga tidak perlu diadakan koalisis dengan partai lain.
a. System ini kurang memperhitungkan adanya partai- partai kecil dan golongan minoritas, apa
lagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
b. Sistem ini kurang refresentatif dalam arti bahwa partai yang calonya kalah dalam suatu distrik,
kehilangan suara yang telah mendukungnya.
c. Ada kemungkinan seseorang wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik
serta warga distriknya dari pada kepentingan nasional.
8
d. Umumnya dianggap bahwa system distrik kurang efektif dalam masyarakat yang heterogen
karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu
kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan pra syarat
bagi suksesnya sistem ini.
Sistem ini biasanya digunakan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik.
Dalam sistem ini jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan
jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat.
Sistem proporsional sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur antara lain dengan
sistm daftar (list sistem).
a. Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena asas one
man one vote dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang hilang.
b. Sistem proporsional diianggap representatife karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai
dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilihan umum.
b. Sistem ini kurang mendorong partai-mmpartai untuk berintegrasi satu sama lain dan
memanfaatkan persamaan yang ada.
c. Sistem proporsional member kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui Sistem daftar.
d. Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan warga yang telah memilihnya.
Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi satu partai untuk meraih mayoritas dalam
parlemen yang dperlukan untuk membrntuk pemerintah (Sair, 2005: 46).
2.3 Partai Politik Yang Berperan Dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 di
Indonesia
Jika diperhatikan perkembangan kehidupan kepartaian di Indoensia, maka segera diketahui bahwa
pengalaman berpartai masyarakat
9
Indonesia berlumlah begitu lama. sebelum tercapainya kemerdekaan, khususnya pada masa
Hindia Belanda, kaum pergerakan mendirikan sejumlah partai yangantara lain dipakai sebagai
wahanan untuk pendidikan politik dan
mobilisasi politik dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Sebelum tahun 1930kehidupan
kepartaian dapat dicirikan sebagai radikal dan konservatif, dengan pengertian yang berani
menentang Belanda secara terang-terangandan yang lain melakukan perjuangan politik melalui
cara persuasif
dengan pemerintah kolonial. Tetapi setelah partai komunis dibubarkan pemerintah kolonial
Belanda menyusul pmberontakan yang gagal tahun 1926/1927 olehkomunis, kehidupan kepartaian
mengalami masa suram. Penyesuaian gayakemudian dilakukan disana sini dan baru mulai menjadi
radikal lagi menjelang Jepang mendarat di Indonesia.
Jika melihat jumlah partai yang diwakili dalam parlemen. Sekurang-kurangnya terdapat 27
partai politik. Partai-partai tersebut adalah:
1. Masyumi (kemudian pecah : PSII menjadi partai politik sendiritahun 1947 dan NU tahun 1952).
2. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
3. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
4. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO).
10
5. Partai Katolik.
6. Partai Nasional Indonesia (PNI).
7. Persatuan Indonesia Raya (PIR).
8. Partai Indonesia Raya (PARINDRA).
9. Partai Rakyat Indonesia (PRI).
10. Partai Demokrasi Rakyat (BANTENG).
11. Partai Rakyat Nasional (PRN)
12. Partai Wanita Rakyat (PWR).
13. Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI).
14. Partai Kedaulatan Rakyat (PKR).
15. Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) .
16. Ikatan Nasional Indonesia (INI).
17. Partai Rakyat Djelata (PRD).
18. Partai Tani Indonesia (PTI).
19. Demokrasi Indonesia (WDI.
20. Partai Komunis Indonesia (PKI).
21. Partai Sosialis Indonesia (PSI).
22. Partai Murbaw.
23. Partai Buruh (dua buah).
24. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI).
25. Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI).
26. Partai Indo Nasional (PIN).
Kampanye Pemilu yang sangat sengit pada tahun 1955 berlangsung lama sekali yang
memperuncing konflik sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang mencolok pada
masa kamanye itu menjadi jelas lagi pada masa pasca Pemilu, yaitu pada masa kabinet
Ali Sastroamidjojo kedua (Maret 1956-Maret 1957). Dari empat partai yang keluar sebagai
pemenang dalam Pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili
dalam kabinet Ali itu.Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan terus di dalam kabinet itu,
sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu menyuburkan lahan bagi beberapaaktor
politik yang dari dulu merasa diri dikesampingkan oleh sistem demokrasi parlementer. Yang
paling nyata Presiden Soekarno dan pimpinan tentara. Menarik pula perilaku para politikus saat
berkampanye.
Semua politikus, termasuk PM Burhanudin Harahap dan para menteri yang menjadi calon
anggota DPR, tidak pernah menggunakan fasilitas negara maupun memanfaatkan otoritasnya
sebagai pejabat negara. Mereka juga tidak pernah meminta pejabat di bawahnya
untuk menggiring masyarakat masyarakat pemilih untuk mengambil sikap yang menguntungkan
11
partainya. Sebab, mereka tak menganggap
sesama pejabat negara sebagai pesaing yang menakutkan. Selain itu, tak ada gelagat dari pejabat
negara tertentu untuk menghalalkan segala cara selama mengikuti kampanye. Teladan para pejabat
pada masa lalu inilah yang kita rindukan bersama saat ini. Tidak diketahui pasti berapa lama masa
kampanye pada Pemilu 1955.Ditinjau dari pelaksanaannya, pemilihan umum ini dapat dikatakan
berjalan secara bersih, jujur, aman dan tertib (Sair, 2005: 44).
Dari 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang berhasil
memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional
Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan
Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%). Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257
kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden.
Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan
demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.
12
2.5.2 Hasil Pemilu Tahap 2 (15 Desember 1955)
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi diIrian Barat yang memiliki
jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota
Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara
Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-
kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Sebenarnya hasil pemilihan tahun 1955 itu memperlihatkan keampuhan strategi yang
dikembangkan PKI, yang muncul sebagai pemenang no.4, Ini membuktikan, upaya
PKI ,meluaskan pengaruhnya melalui penggalangan masa sangat berhasil. Dari hasil perolehan
suara itu, kekuatan PKI ternyata terdapat di Jawa ( seperti halnya PNI dan NU). Keberhasilan itu
juga karena PKI merangkul bung Karno dalam setiap permasalahan politik. Kebetulan Bung Karno
tidak sejalan dengan pemikiran Hatta dalam masalah politik dan ekonomi sangat menguntungkan
PKI yang memandangmaslah itu dari sudut ediologinya sendiri (Sair, 2005: 44).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir sejak bulan Agustus 1950 mewarisi sistem
multi partai. Jika melihat jumlah partai yang diwakili dalam parlemen. sekurang-kurangnya
terdapat 27 partai politik. Pemilu 1955 berlansung dengan sistem proporsional
(multimember constituency ) yang dikombinasikan dengan sistem daftar (listsystem) diikuti oleh
lebih dari 30 Partai Politik dan lebih dari 100 organisasi atau perkumpulan dan perseorangan
untuk memilih257 anggota DPR. Dariempat partai yang keluar sebagai pemenang dalam Pemilu
1955, PNI,Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinetAli
Sastroamidjojo. Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-
undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan
disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah
pemilihan. Pendaftaran pemilih
dilakukanpada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yangsesuai
dengan syarat masuk bilik suara.
3.2 Saran
13
Sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan kami yakin para pembaca juga
ingin lebih mengerti tentang pemilihan umun pada tahun 1955 di Indonesia, maka kami
menyarankan para pembaca memperbanyak membaca dari sumber-sumber yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/3623682/Pemilu_1955_ Pesta_Demokrasi_Pertama_Indonesia,
diakses pada tanggal 17 Maret 2015 Pukul 23.55 WIB
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka,
halaman 317.
Sair, Alian. 2005. Sejarah Nasional Indonesia VI. Palembang: Perpustakaan Prodi Sejarah FKIP
Universitas Sriwijaya, halaman 40-50.
14