TINJAUAN PUSTAKA
https://www.google.com/search?q=sumsum+tulang&safe
https://www.google.com/search?q=kelenjar+timus&safe
https://www.google.com/search?q=limpa&safe
Limpa adalah organ sistem kekebalan tubuh yang terdiri dari sel-T, sel-
B, sel-sel pembunuh alami, makrofag sel dendritik dan sel darah merah.
Limpa terdiri dari 2 bagian, yaitu pulp merah dan pulp putih. Limfosit
yang baru dibuat di pulp putih mula-mula dipindahkan ke pulp merah,
lalu mengikuti aliran darah. Tugas limpa, seperti berkontribusi pada
produksi sel, fagositosis, perlindungan sel darah merah dan
pembangunan kekebalan.
Limpa bertindak sebagai filter imunologi darah dan menjebak benda
asing, yaitu antigen dari aliran darah yang melewati limpa. Ketika
makrofag dan sel dendritik membawa antigen ke limpa melalui aliran
darah, sel-sel B dalam limpa bisa diaktifkan dan menghasilkan antibodi
dalam tingkat yang besar. Dengan demikian, limpa juga dapat dikenal
sebagai pusat konferensi imunologi. Selain itu, limpa juga membentuk
lokasi kehancuran sel darah merah yang lama.
4) Kelenjar Getah Bening
https://www.google.com/search?q=kelenjar+getah+bening&safe
https://www.google.com/search?q=adenoid&safe
adenoid terletak di belakang rongga hidung, di mana bagian dari rongga
hidung memenuhi faring. Adenoids muncul sebagai satu rumpun dari
jaringan spons yang membentuk garis pertahanan pertama dalam tubuh.
Fungsi adenoids adalah untuk menghentikan bakteri dan organisme
penyebab infeksi lainnya dari menginfeksi organ tubuh lainnya. Ini
terdiri dari jaringan limfoid terutama yang bertindak sebagai filter
dalam tubuh, dengan menjebak bakteri dan virus. Antibodi yang hadir
dalam adenoid membantu melawan infeksi. Pada anak-anak organ ini
sangat bermanfaat, namun itu menyusut pada saat anak memasuki
remaja dan tidak pada orang dewasa.
2) Amandel atau tonsil
https://www.google.com/search?q=amandel&safe
Natura/innate/alamiah Apadtif/acquired/didapat
Pertahanan terdepan = primer Memori = sekunder
Untuk semua mikroorganisme Spesifik untuk mikroorganisme
yang merangsang
Komponen terbentuk sejak lahir Komponen terbentuk THD ag
Terdiri dari: fisik, mekanik, Terdiri dari humoral, seluler
biokimia, humoral, sel
Sel utama: fagosit,sel N K, sel K Sel utama: limfosit
Molekul: lisozim komplemen, Molekul: antibodi, sitokin
CRP, IFN
Tabel 2.1
a. Sel-Sel Imun Non Spesifik
Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah agen
pencetus pernah atau belum dijumpai. Reaksinya pun tidak perlu
diaktivasi terlebih dahulu seperti pada sistem imun spesifik. Lebih jauh
lagi respon imun non spesifik merupakan lini pertama pertahanan
terhadap berbagai faktor yang mengancam. Sel-sel yang berperan dalam
sistem imun non-spesifik adalah sel fagosit (fagosit agranulosit dan
fagosit garnulosit), sel nol dan sel mediator.
1) Sel fagosit agranulosit (fagosit mononuclear)
Sel monosit
https://www.google.com/search?q=sel+monosit&safe
https://www.google.com/search?q=sel+makrofag&safe
https://www.google.com/search?q=sel+neutrofil&safe
Neutrofil adalah sel darah putih yang berukuran besar, yang dapat
mencerna mikroba dan antigen lainnya. Neutrofil memiliki granula
yang mengandung enzim untuk menghancurkan antigen yang makan
olehnya. Neutrofil ditemukan di dalam darah dan dapat masuk ke
dalam jaringan dengan adanya rangsangan khusus. Jumlahnya
sekitar 60-70% dari semua sel darah putih (leukosit).
Sel Eusinofil
https://www.google.com/search?q=sel+eosinofil&safe
Sel eusinofil berasal dari sel bakal myeloid. Ukuran sel ini sedikit
lebih besar daripada neutrofil dan berfungsi juga sebagai fagosit.
Eosinofil berjumlah 2-5% dari sel darah putih. Peningkatan eosinofil
di sirkulasi darah dikaitkan dengan keadaan-keadaan alergi dan
infeksi parasit internal.
Sel Nol
https://www.google.com/search?q=sel+NK&tbm
Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak
mengandung petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh
karena itu disebut sel nol. Sel ini beredar dalam pembuluh darah
sebagai limfosit besar yang khusus, memiliki granular spesifik yang
memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal,
seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan
penting dalam imunitas non spesifik patogen intraseluler.
Sel mediator
Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast dan
trombosit. Sel tersebut disebut sebagai mediator dikarenakan
melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam sistem imun.
https://www.google.com/search?q=sel+limfosit&tbm
limfosit adalah sel utama dari sistem kekebalan tubuh, dan
bertanggung jawab atas keragaman, spesifisitas dan penciptaan
memori. Semua limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi
mereka mengalami penuaan di dua tempat yang berbeda. Limfosit
yang mengalami penuaan di sumsum tulang disebut limfosit B
atau sel B. Limfosit ini membuat zat antibodi yang beredar
melalui darah dan cairan tubuh lain.
2) Sel T
https://www.google.com/search?q=sel+T&safe
Nama Fungsi
T11 Penanda bahwa sel T sudah matang
T4 dan T8 T4 berfungsi sebagai pengenalan molekul kelas II
MHC dan T8 dalam pengenalan kelas I MHC
T3 Respitor yang diperlukan untuk perangsangan sel
T
CD Menentukan sinyal aktivasi yang datang dari luar
ke dalam sel
TcT Untuk menemukan pre T cell
Penanda Berkemampuan mengikat dan merangsang banyak
fungsional klon limfoid untuk poliferasi dan diferensiasi
Tabel 2.2
3) Sel B
https://www.google.com/search?q=sel+antibodi&tbm
https://www.google.com/search?q=HIV&safe
Hiv (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui
sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Hiv
merusak sistem ketahanan tubuh, sehingga orang-orang yang menderita
penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan
penyakit berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV belum tentu
mengidap AIDS. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus
merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya
tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun
tubuh.
Hiv akan menyerang sel-sel darah putih jika HIV masuk ke dalam peredaran
darah seseorang. Sel darah putih akan mengalami kerusakan yang
berdampak pada melemahnya kekebalan tubuh seseorang. Hiv/aids
kemudian akan menimbulkan terjadinya infeksi opportunistic lesi
fundamental pada AIDS ialah infeksi limfosit T helper (CD4+) oleh HIV
yang mengakibatkan berkurangnya sel CD4+ dengan konsekuensi
kegagalan fungsi imunitas.
2. Etiologi
Hiv biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang
mengidap virus itu, dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk
darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui
luka atau lecet pada mulut rahim atau vagina. Begitu pula virus memasuki
aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka atau lecet. Hubungan seks
melalui dubur beresiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga melalui vagina
dan oral. Inilah yang dapat menyebabkan hiv sebagai berikut :
a. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
b. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi
HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bila
menularkan HIV.
c. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV
sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
d. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba sangat berpotensi menularkan
HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama
juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos
obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.
e. Dengan melakukan hubungan seks
Seseorang bisa terinfeksi HIV jika memiliki hubungan seks dengan
vagina, anal/oral dengan pasangan yang terinfeksi baik darah, air
mani/cairan vagina masuk ke dalam tubuh pasangan. Virus bisa dapat
masuk ke dalam tubuh melalui luka mulut yang terkadang berkembang di
rectum atau vagina saat melakukan aktivitas seksual.
3. Klasifikasi
a. Klasifikasi WHO
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit
klinis dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor
dan minor. WHO Mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa
menjadi 4 stadium klinis sebagai berikut:
1) Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut dan negatif berubah
menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh
sampai test antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window
period. Lamanya window period antara sat sampan tiga bulan, bahkan
ada yang data berlangsung sampai enam bulan. Aktivitas normal dan
dijumpai adanya Limfadenopati generalisata.
2) Stadium kedua: asimptomatik (tanpagejala)
Asimtomatik berarti bahwa dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi
tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala.Keadaan ini dapat berlangsung
rata-rata 5-10 tahun.Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat
ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. Aktivitas normal,
berat badan menurun<10%, terdapat kelainan kulit dan mukosa yang
ringan, seperti dermatitis seroboik, prorigo, onikomikosis, ulkus yang
berulang dan khelitisangularis, herpes zoster dalam 5 tahun
terakhir,serta adanya infeksi saluran naps bagian atas, seperti sinusitis
bakterialis.
3) Stadium ketiga
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur<50%,
berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung
lebih dari 1 bulan, deman berkepanjangan lebihdari 1 bulan, terdapat
kandidiasi sorofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir infeksi
bacterial yang berat seperti pneumonia dan piomiositis.Pembesaran
kelenjar limfe secara menetap dan merata (PGL), tidak hanya muncul
pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih satu bulan.
4) Stadium keempat; AIDS
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur >50%,
terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi
oportunistik, seperti pneumonia pneumocystis carinii,
toksoplasmosis.Keadaan ini disertsia danya bermacam-macam
penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit saraf, dan
penyakit infeksi sekunder.
b. Klasifikasi Menurut CDC
Mengklasifikasi HIV/AIDS padaremaja (> 13 tahun dan dewasa)
berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan
tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis.Jumlah supresi
kekebalan tubuh ditunjukkan limfosit CD4+.CD4+ adalah jenis sel
darah putih atau limfosit.Sel tersebut adalah bagian yang terpenting dari
sistem kekebalan tubuh kita. Sel CD4+ kadang kala disebut sebagai sel
T. Ada 2 macam sel T yaitu sel T-4, yang juga disebut CD4 dan kadang
kala sel CD4+, adalah sel ‘pembantu’. Sel T-8 (CD8) adalah sel
penekan, yang mengakhiri tanggapan kekebalan.Sel CD8 juga disebut
sebagai sel pembunuh, karena sel tersebut membunuh sel kankeratau sel
yang terinfeksi virus.
Sel CD4 dapat dibedakan dari sel CD8 berdasarkan protein tertentu
yang ada di permukaan sel. Sel CD4 adalah sel-T yang mempunyai
protein CD4 pada permukaannya. Protein itu bekerja sebagai reseptor
untuk HIV. HIV mengikat pada reseptor pada CD4 itu seperti kunci
dengan gembok.
HIV umunya menulari sel CD4. Kode genetik HIV menjadi bagian dari
sel itu. Waktu sel CD4 menggandakan diri (bereplikasi) untuk melawan
infeksi apapun, sel tersebut juga membuat tiruan HIV. Setelah kita
terinfeksi HIV dan belum mulai terapi antiretroviral (ART), jumlah sel
CD4 kita semakin menurun. Ini tanda bawah sistem kekebalan tubuh
kita semakin rusak.Semakin rendah jumlah CD4 semakin mungkin kita
akan jatuh sakit.
Ada jutaan keluarga sel CD4. Setiap keluarga dirancang khusus untuk
melawan kuman tertentu. Waktu HIV mengurangi jumlah sel CD4,
beberapa keluarga dapat diberantas, kalau itu terjadi, kita kehilangan
kemampuan untuk melawan kuman yang seharusnya dihadapi oleh
keluarga tersebut. Jika ini terjadi mungkin mengalami infeksi
oportunistik. Jumlah CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem imun
kekebalan tubuh.Semakin rendah jumlahnya, semakin kerusakan yang
diakibatkan HIV.Jika kita mempunyai jumlah CD4 dibawah 200/
presentase CD4 dibawah 14% kita dianggap AIDS, berdasarkan definisi
kemenkes.Jumlah CD4 dipakai bersama dengan viral load untuk
meramalkan berapa lama kita akan tetap sehat. Jumlah CD4 juga
dipakai untuk menunjukkan kapan beberapa macam pengobatan
termasuk ART sebaiknya dimulai.Hasil tes CD4 biasanya dilaporkan
sebagai jumlah sel CD4 yang ada dalam suatu millimeter kubik darah
(biasanya ditulis mm3).Jumlah CD4 yang normal berkisar antara 500
dan 1.600.Infeksi lain dapat sangat berpengaruh pada jumlah CD4. Jika
tubuh kita menyerang infeksi, maka jumlah sel darah putih (limfosit)
naik dan jumlah CD4 juga naik.
4. Patofisiologi
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas
seluler dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan
imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan derajat dan resiko keparahan
infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Dari semua orang yang
terinfeksi hiv, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun
pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100%
pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun. Dalam tubuh
ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian
pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk
pada 3-6 minggu setelah infeksi . kondisi dikenal dengan infeksi primer.
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali
masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten)
akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada
tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2
mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R) dan antibodi upregulation (gp 120,
anti p24; Ig A). Induksi sel T-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk
mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun seperti T8 sitotoksik,
sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan
tubuh menurunsehingga pasien jatuh ke dalam stadium lebih lanjut. Saat
ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang
berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau
plasma per milimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi
sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari
sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual,
dan muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan
timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya 2-4 minggu setelah
infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah infeksi, kemudian hilang
atau menurun setelah beberapa hari dan sering terdeteksi sebagai influenza
atau infeksi monomukleosis.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus
selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan
mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus
untuk memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan Enzim
Linked Imunoabsorbent Assay (ELISA) yang menunjukkan hasil positif.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala)
masa tanpa gejala ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2
tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opportunistik (penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur,herpes, dan lain-lain). Pada fase ini disebut dengan
imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan
adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap poliferasi sel T. Adanya
supresif pada poliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi
limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respons terhadap
mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar
CD4+, sitokin, antibodi down regulation.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya
penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih
cepat.
5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi hiv pada bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi
pada umur muda karena sebagian besar (> 80%) AIDS pada anak akibat
transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak
berumur < 1 tahun dan 82% berumur < 3 tahun. Meskipun demikian ada
juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan
gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh
mikrooganisme yang ada di lingkungan. Oleh karena itu, manifestasinya
pun beberapa non spesifik berupa:
a. Berat badan menurun
b. Anemia
c. Limfadenopati
d. Hepatosplenomegali
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya
infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau
protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit kepada orang yang
sistem kekebalan tubuhnya normal. Karena adanya penurunan fungsi
imun, terutama imunitas selular, maka akan menjadi sakit bila terpajan
pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering
berulang, penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat
menyebar ke esofagus, radang paru karena pneumocystis carinii, radang
paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila
terserang Mycrobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat
dengan kelainan luas pada paru dan otak.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan adalah pneumonia
interstisialis limfostik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan
oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa :
a. Hipoksia
b. Sesak napas
c. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral,
terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah dinamakan ensefalopati kronik
yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran
keterampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi
mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer
infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan
kadangkala terdapat klasifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada
jaringan susunan saraf pusat atau cairan selebrospinal.
6. Komplikasi
a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek,sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis,
Peridonitis HIV, leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak
putih seperti krim dalam rongga mulu. Jika tidak diobati, kandidiasis
oral akan berlanjut mengenai esophagus dan lambung. Tanda dan gejala
yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di
balik sternum (nyeri retrosternal).
b. Neurologik
Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS.
Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan
dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong
hiperefleksi parapesis, spastic, psikosis,halusinasi, tremor,
inkontenensia, dan kematian.
Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit
kepala, malaise, kaku duduk, mual, muntah, perubahan status mental
dan kejang-kejang. Diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan
serebospinal.
c. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikut sertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup
penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari
30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau
menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma kaposi. Dengan efek penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri
dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat ilegal, alkoholik. Dengan
anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam aritis.
Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dam inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi
Pneumocystic carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai
pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium
Intracellualare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis
seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan
pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit.
Moloskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai ruam yang difus, bersisik dengan
indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga
dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit
yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti
ekzema dan psoriasis.
7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menguji HIV. Tes ini meliputi tes
Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisan dan latex
agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau
tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot.
Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24
(polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka
dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan
ibu HIV.
8. Penatalaksanaan
a. Perawatan
1. Supportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
2. Menanggulangi infeksi oportunistik atau infeksi lain serta keganasan
yang ada
3. Mengatasi dampak psikososial
4. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
b. Pengobatan
Pengobatan medika mentosa mencakupi pemberian obat-obatan
profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan
mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan
kesimpulan rekomendasi pemberian kotromoksasol pada penderita HIV
yang berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar
CD4< 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat parasit
pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai
profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan.
Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk
menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan
metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap
bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural
sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan
kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang tidak.
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida,
primetamin, untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat
lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada
penderita.
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV, riset
menegenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang
mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium
dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS
sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran
molekul virus dimana tidak ada homolog manusia. Obat pertama
ditemukan pada tahun 1990, yaitu azidothymidine (AZT) suatu analog
nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja
enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara
bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa
bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakit HIV tidak
dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus
HIV berevolusi membentuk muatan yang resisten terhadap obat.