Anda di halaman 1dari 35

BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM IMUNOLOGI

2.1 Pengertian Imunologi (Smelzer & Bare)

Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibodi, dan fungsi pertahanan
tubuh penjamu yang diperantai oleh sel, terutama berhubungan imunitas terhadap penyakit,
reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan jaringan.
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan
organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini
akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker
dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi
tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus virus yang
menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga
memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah
dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
2.2 Fungsi sistem imun (George &Hademenos, 2006)
a. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus,
serta tumor) yang masuk kedalam tubuh.
b. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan jaringan.
c. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
Sasaran utama yaitu bakteri patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun utama
(disamping sel plasma, makrofag dan sel mast).
Pembentukan antigen dengan cara masuk ke dalam tubuh akan berkaitan dengan reseptor sel
limfosit B. pengikatan tersebut menyebabkan sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel
plasma. Sel plasma kemudian akan membentuk antibody yang mampu berikatan dengan
antigen yang merangsang pembentukan antibody itu sendiri. Tempat melekatnya antibody
pada antigen disebut epitop, sedangkan tempat melekatnya antigen pada antibody disebut
variabel.
A. Organ Limfatik Primer
1. Sumsum tulang
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum tulang. Sumsum
tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih, (termasuk limfosit, makrofag, dan
platelet). Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain. Sumsum tulang merah
merupakan jaringan penghasil limfosit. Sel-sel limfosit yang dihasilkan tersebut akan mengalami
perkembangan. Limfosit yang berkembang didalam sumsum tulang akan menjadi limfosit B.
sedangkan limfosit yang berkembang di dalam kelenjar timus akan menjadi limfoit T. Limfosit-
limfosit ini berperan penting untuk melawan penyakit.
2. Thymus
Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit yang kemudian
bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit dapat berespon terhadap benda asing.
Thymus mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan
aktivitas T limfosit.
1. Limfosit T sitotoksik
Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T sitotoksik memonitor sel di
dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai sel dengan antigen permukaan yang abnormal.
Bila telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel abnormal.
2. Limfosit T Helpar
Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika distimulasi oleh
antigen presenting sel seperti makrofag, T helpar melepas faktor yang menstimulasi poliferasi
sel B limfosit.
3. Limfosit B
Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang diperantarai antibodi/humoral.
Ketika di stimulasi oleh antigen spesifik limfosit & akan berubah menjadi sel memori dan sel
plasma yang memproduksi antibodi.
4. Sel plasma
Klon limfosit dari sel & yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit lain, memiliki
retikulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak aktig memproduksi antibodi.
B. Organ Limfatik Sekunder
1. Limpa

Limpa merupakan organ limfoid yang paling besar. Kelenjar yang dihasilkan dari limpa
berawarna ungu tua. Limpa terletak di belakang lambung. Fungsi limpa antara lain :
Membunuh kuman penyakit, membentuk sel darah putih (leukosit) dan antibodi, menghancurkan
sel darah merah yang sudah tua. Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam
darah, merusak eritrosit tua dan sebagai penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe
jaringan yaitu pulpa merah dan pulpa putih.
a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit
b. Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag, benda asing di dalam darah yang melalui pulpa
putih dapat menstimulasi limfosit.
2. Nodus Limfa

Nodus limfa berbentuk kecil lonjong atau seperti kacang dan terdapat sepanjang pembuluh limfe.
Nodus limfe terbagi menjadi ruangan yang lebih kecil yang disebut nodulus. Nodulus terbagi
menjadi ruangan yang lebih kecil lagi yang disebut sinus. Didalam sinus terdapat limfosit dan
makrofag. Fungsi nodus limfa adalah untuk menyaring mikroorganisme yang ada di dalam limfa.
Kelompok-kelompok utama terdapat di dalam leher, axial, thorax, abdomen, dan lipatan paha.

3. Nodulus Limfatikus
.
Tonsil terdapat di tenggorokan, folikel limpatik terdapat di permukaan dinding usus halus. Letak
nodulus limfatikus sangat strategis untuk berperan dalam respon imun melawan zat asing yang
masuk dalam tubuh melalui pencernaan atau pernafasan. Nodus limfatikus (limfonodi terletak
sepanjang sistem limfatik). Nodus limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan
makrofag yang berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfa bergerak
melalui sinus, sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat germinal merupakan produksi
limfosit.

4. Getah Bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perjalanan limfatik.
Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selengkangan, dan para aorta daerah.

5. Tonsil
Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan nasofaring. Tiga
kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual, dan tonsil pharyngeal.

C. Mekanisme pertahanan
a. Mekanisme pertahanan Non Spesifik dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non
spesifik disebut juga respons imun alamiah. Terdiri dari kulit dan kelenjarnya, lapisan mukosa
dan enzimnya, serta kelenjar lain beserta enzimnya, contoh kelenjar air mata. Kulit dan silia
merupakan system pertahan tubuh terluar. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit,
polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan.
b. Mekanisme pertahanan spesisifik bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasiinvasi
mikroorganisme, maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah
mekanisme pertahanan yang diperankan oleh limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen
sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplomen.
Dilihat dari cara diperolehnya, mekanisme pertahanan spesifik disebut juga sebagai respons imun
didapat.
1. Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit B dengan atau tanpa bantuan
dari imuno kompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobin yang
disekresi oleh plasma. Terdapat 5 kelas imunoglobin yang kita kenal, yaitu IgE, IgM, IgA,
IgD, dan IgE.
Pembagian antibodi (imunoglobin)
Antibodi (antibody, gamma globulin) adalah glikopotrein dengan struktur yang disekresi dari
pencerap limfosit B yang telah teraktivasimenjadi sel plasma, sebagai respon dari antigen
tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut. Pembagian Imunoglobin.
a. Antibodi A (Imunoglobin A, IgA) adalah antibodi yang memainkan peran penting dalam
imunitas mukosis.
b. Antibodi D (Imunoglobin D, IgD) adalah sebuah monomer dengan fragmen yang dapat
mengikat 2 epitop.
c. Antibodi E (Imunglobin E, IgE) adalah sejenis antibodi yang hanya dapat ditemukan pada
mamalia.
d. Antibodi G (Imunoglobin G, IgG) adalah antibodi monomeris yang terbentuk dari dua
rantai berat dan rantai ringan, yang saling mengikat dengan ikatan disufida, dan
mempunyai dua fragmen antigen-binding.
e. Antibodi M (Imunoglobin M, IgM, macroglobulin) adalah antibodi dasar yang berada
pada plasma B.
2. Imunitas seluler di definisikan sebagai suatu respon imun terhadap suatu antigen yang
diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya.
Menurut Behman, Kilegman dan Arvin (1996-695-696) terdapat beberapa sel pada sistem
imun :
a. Sel-T : fungsi utama dari sel-T atau limfosit T untuk mengintensifkan respon sistem
kekebalan tubuh. Melakukan ini dengan mengeluarkan faktor khusus, yang pada
gilirannya mengaktifkan sel-sel darah putih lainnya, untuk melawan infeksi. Sel-T dibagi
lagi ke dalam jenis yang berbeda. Salah satu subdivisi tersebut adalah sel T-pembunuh
yang memainkan peran membunuh sel tumor tertentu dan bahkan parasit.
b. Sel Natural Killer : sel-sel ini bertindak seperti sel-T pembunuh dan berfungsi sebagai sel
efektor, yang secara langsung menghancurkan sel-sel tumor dan sel yang terinfeksi virus.
Namun, tidak seperti sel-T, sel-sel pembunuh alami ini tidak memiliki sebuah perjumpaan
sebelumnya pada organ limfoid sebelum membunuh target mereka.
c. Sel-B : fungsi utama dari sel-sel ini adalah produksi antibodi. Mereka menghasilkan
antibodi dalam menanggapi berbagai bakteri, virus, sel-sel tumor, dll.
d. Granulosit : sel-sel ini terdiri dari 3 jenis sel. Mereka adalah neutrofil, eosinofil dan
basofil, yang diidentifikasi berdasarkan pewarnaan mereka. Sel-sel ini sebagian besar
bertanggungjawab untuk menghilangkan parasit dan bakteri dari tubuh, dengan menelan
dan mendegradasi mereka.
e. Makrofag : sel-sel ini disebut sebagai pemulung, karena mengambil dan menelan benda
asing dan kemudian mempresentasikannya ke sel T dan sel B dari sistem kekebalan tubuh.
Langkah ini adalah langkah yang sangat penting dalam inisiasi respon sistem kekebalan
tubuh.
f. Sel dendritik : sel-sel ini sebagian besar ditemukan pada kompartemen struktural organ
sistem kekebalan tubuh. Mereka menelan antigen dan hadir jika sebelum organ-organ ini,
untuk inisiasi dari sistem kekebalan tubuh.
Faktor penyebab menurunnya sistem imun :
a. Cara hidup yang tidak sehat
b. Kekurangan zat makanan
c. Pencemaran udara atau alam sekitar
d. Kurang berolahraga
e. Penggunaan antibiotik yang berlebihan.

Apabila sistem imun menurun, maka lebih mudah untuk mendapat jangkitan. Orang yang
mempunyai sistem imun yang rendah mudah berasa letih, tidak bersemangat, senantiasa
selesema, jangkitan usus (makanan yang tidak sesuai akan menyebabkan muntah dan
mual), luka sukar untuk sembuh, alergi dan sebagainya. Selain itu, sistem imun yang tidak
teratur juga menyebabkan kecederaan pada sel.

D. Cara Kerja Sistem Imun


Sistem imun merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang berperan dalam mengenali atau
mengidentifikasi senyawa asing yang masuk dalam tubuh. Banyak organ tubuh yang penting bagi
pembentukan komponen sistem imun, di antaranya Thymus, limpa, kelenjar getah bening, dan sum-
sum tulang. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut akan mempertahankan tubuh manusia
melawan infeksi, dengan bekerja dalam dua cara, yaitu sistem imun alami dan sistem imun adaptif.
Sistem imun alami
Pertahanan tuuh yang pertama kali bekerja saat terdapat invasi. Sistem imun ini umumnya aktif
sampai 12 jam pertama sejak invasi organisme. Sel yang berperan dalam sistem imun alami
diantaranya adalah makrofag dan natural killer cell. Sel-sel tersebut dinamakan fagosit karena akan
melawan invasi dengan cara fagositosis (penelanan organismeasing).
Selain fagositosis, salah satu mekanisme lain dalam sistem imun alami adalah dengan produksi
‘antibiotik alami’ berupa interferon dan lysozyme berperan dalam mengeblok replikasi dari virus
yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan lysozyme berperan dalam menyerang dinding sel bakteri.

Sistem imun adaptif


Apabila invasi bakteri tidak dapat diatasi dengan sistem imun alami, saat tersebut akan diaktifkan
sistem imun lainnya, yaitu sistem imun adaptif. Pada sistem imun adaptif, antigen pertama kali akan
difagositosis oleh antigen presenting cells (APC), misalnya makrofag. Hasil dari pencernaan tersebut
akan dibawa ke sel-T untuk dikenalkan. Dari proses tersebut dapat terjadi dua macam mekanisme
berdasarkan jenis sel T.
Pertama, sel T akan mengaktifkan sel B menjadi sel plasma. Selanjutnya, sel plasma i ni akan
memproduksi antibodi yang spesifik untuk melawan antigen. Sel T yang terlibat pada jenis ini
disebut sel T helper, atau dapat juga sel T langsung melawan antigen tersebut. Sel T yang demikian
disebut sel T sitotoksik (toksik terhadap sel yang telah terinfeksi).
Mekanisme sistem imun alami dan adaptif terutama berbeda dalam waktu yang diperlukan. Imunitas
alami merupakan mekanisme pertahanan pertama dengan bermacam-macam cara, misalkan dinding
epitel (kulit, mukosa), serta fagosit. Sementara itu respon imun adaptif akan muncul selanjutnya atas
inisiasi sel respon alami juga. Limfosit dan produk-produknya akan bekerja, seperti antibodi yang
memblok infeksi. Selain itu sel T akan bersifat sitotoksik.

Kesimpulan :
Ketika sel T dan sel B, Neutrofil dan Makrofag, MHC dan molekul costimulasi, sitokin dan kemokin,
antibodi bekerja sama, sistem kekebalan tubuh bekerja. Antigen memasuki tubuh dan kemudian
dideteksi oleh berbagai sel kekebalan. Mereka merespon dan menghasilkan antibodi setelah memicu
limfosit B. Antigen ini kemudian terkunci ke oleh protein khusus. Ketika antibodi dihasilkan, tetap
dalam tubuh. Hal ini akan membangun kekebalan. Misalnya, setelah seseorang telah berjuang cacar
air, ia akan mempertahankan antibodi yang digunakan untuk melawannya dan ini mencegah orang
dari mengembangkan cacar air lagi, dalam banyak kasus. Ini adalah bagaimana cara imunisasi dan
vaksin bekerja. Setelah seseorang menerima, itu memicu tubuh untuk menghasilkan antibodi yang
diperlukan untuk mencegah penyakit tertentu.
Contoh kasus bagaimana sistem imun tubuh bekerja bagi tubuh :
1. Misalnya pada waktu tangan kita tersayat pisau, segala macam bakteri dan virus masuk ke dalam
tubuh melalui kulityang terluka tersebut. Sistem imun tubuh kita langsung mereseponnya dan
menghalangi penyerang itu sambil kulit berusaha untuk menyembuhkan dirinya dan menutup
lukanya. Terkadang kuman-kuman yang harus dihadapi lebih banyak dan sistem imun tubuh
dalam kondisi tidak optimal sehingga ada kuman bisa juga lolos. Maka jadilah luka yang infeksi,
bernanah dan bengkak. Nanah dan bengkak itu juga menandakan bahwa sistem imun tubuh
sedang harus bekerja.
2. Setiap hari kita menghirup ribuan kuman-kuman (bisa bakteri dan virus) yang ada di udara.
Sistem tubuh kita bisa menanganinya tanpa masalah. Contoh pilek/batuk, ini menandakan dengan
jelas dan nyata bahwa sistem imun tubuh kita gagal menghalangi penyerang masuk ke dalam
tubuh.
3. Setiap hari kita memakan ratusan kuman melalui makanan yang kita makan, dan kebanyakan dari
kuman itu mati di air liur atau di keasaman lambung. Tetapi terkadang, ada juga kuman yang
lolos, sehingga kita menjadi diare atau muntah-muntah.
4. Ada juga penyakit yang disebabkan oleh karena sistem imun yang bekerja tidak sesuai harapan
atau dengan cara yang salah sehingga menimbulkan masalah, misalnya alergi, alergi hanyalah
sebuah reaksi terhadap rangsangan tertentu di mana bagi orang lain tidak mempunyai reaksi sama
sekali.
5. Ada lagi penyakit autoimun (sistem imun yang menyerang tubuh yang seharusnya dia lindungi),
disebabkan karena adanya kesalah sistem imun.
Sel-sein imun menyebar diseluruh tubuh, termasuk kulit, node limpa dan darah. Dari masalah
terkecil, seperti luka kecil pada kulit sampai skala besar seperti melawan efek dari radikal bebas,
ketepatan dan keefektifan komunikasi dan koordinasi antar sel menjadi kunci kesehatan sistem
imun. Walaupun beberapa produk di pasaran menyediakan nutrisis untuk sel –sel imun, namun
apa yang sebenarnya sistem imun butuhkan (dan apa yang telah 4life transfer factor berikan)
adalah mendidik dan mengarahkan sistem imun agar bekerja optimal dalam menjaga tubuh kita.
Ketika sistem imun tubuh dalam kondisi prima, efeknya tubuhpun dalam kondisi prima, tetapi
ketika fungsi sistem imun melemah karena kurang tidur, lingkungan yang tidak ramah, diet yang
buruk, atau tingkat stres yang tinggi, sistem imun tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Dan
ketika sistem imun tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka saat itu tubuh akan merasakan
akibatnya.

E. Penyakit Imun
1. Penyakit imun ada 2 jenis : penyakit imunodefisiensi (respon imun kurang memadai) atau
serangan imun yang tidak sesuai (respon imun yang berlebihan atau salah sasaran).
2. Pada penyakit imunodefisiensi, sistem imun gagal mempertahankan tubuh secara normal dari
infeksi bakteri atau virus, masing-masing akibat defisit pada sel B atau sel T.
3. Pada serangan imun yang tidak pada tempatnya, sistem imun berlaku berlebihan.
Terdapat tiga kategori dalam kelompok ini :
a. Pada penyakit autoimun, sistem imun secara salah menyerang jaringan tubuh sendiri yang
tidak lagi dikenalnya dan tidak dianggap bagian dari diri.
b. Pada penyakit kompleks imun, jaringan tubuh mengalami kerusakan akibat pembentukan
kompleks antigen-antibodi yang terlalu banyak dan mengaktifkan komplemen secara
berlebihan. Pengaktifan ini merusak sel normal sekitar selain antigen pemicu.
c. Alergi atau hipersensitivitas, terjadi ketika sistem imun secara salah melancaran serangan
yang merusak tubuh dan menimbulkan gejala terhadap alergen yang biasanya adalah antigen
lingkungan yang tidak berbahaya :
- Hipersensitivitas tipe cepat melibatkan pembentukan antibodi IgE oleh sel B yang
memicu pelepasan berbagai bahan kimia inflamatorik kuat dari sel mast dan basofil untuk
menghasilkan respon cepat terhadap alergen.
- Hipersensitivitas alergen yang menimbulkan gejala dan berlangsung lebih lambat.

B. Asuhan Keperawatan Systemic Lupus Erythematosus


1. Tinjauan Pustaka
2.3 Definisi
Lupus adalah salah satu penyakit yang paling dikenal diantara seratusan penyakit aotoimun.
Istilah medisnya adalah lupus eritematosus sitem (LES), eritema berarti kemerahan
sedangkan sistemik artinya tersebar ke berbagai organ tubuh. Dalam keadaan normal sistem
imun (kekebalan tubuh), bertugas mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar seperti
bakteri, virus, parasit, atau jamur tetapi pada penyakit otoimun terjadi sebaliknya. Sistem
imunnya menyerang organ-organ tubuhnya sendiri.
Sampai sejauh ini dikenal 2 jeniss lupus :
 lupus diskoid, yaitu bercak kemerahan seperti uang logam dikulit muka atau bagian
badan lainnya termasuk kulit kepala. Jenis lupus ini

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan
adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun,
sehingga mengakibatan kerusakan jaringan. Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti
anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-
merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan
anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan
manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi
pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah
penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada
beberapa organ tubuh.
2.4 Etiologi
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar
dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya
SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki
korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya
HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.
HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada
HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal. Selain itu, kekurangan pada
struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel
T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
1. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen
menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
2. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit
ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri,dapat
berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein
Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah
berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi
imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau
bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara
sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien
yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

2.5 Anatomi Sistem Imun


2.6 Patofisiologi
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan faktor
pencetus yang ada di lingkunagan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif.
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
 Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin di
dalam tubuh
 Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
 Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk kompleks imun .
kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-
obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit
SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

2.7 Pathway
2.8 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
 Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya
apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
 Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
 Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

2.9 Manifestasi Klinis

 Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.Penurunan berat badan
dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya
nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal. Demam sebagai salah satu gejala
konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh
lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat
LES biasanya tidak disertai menggigil.
 Integumen
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous
Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat
pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia,
fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak
dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak
atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
 Muskuloskeletal
Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering muncul. Pembekakan
sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim, disertai dengan
kekakuan pada pagi hari.
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat
berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis
dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai
manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris.
Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan kelainan deformitas.1 Pada 50%
kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan
terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat
ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapisteroid dan kloroquin. Osteoporosis
sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
 Paru-paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini
terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila
merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan
tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian
sitostatika.
 Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang
memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.17Perikarditis harus dicurigai apabila
dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada
foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali
tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai
endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus
dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko
penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita
yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
 Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi
setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1,
dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal
pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum
dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO
membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik
dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi
ginjal.
 Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai
akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun
tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas.
Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada
mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.Nyeri abdominal
dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula
didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan
serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
 Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit
ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
 Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang
begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan
psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan
menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-
fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan
psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan
psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali
tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran
yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya
infark atau perdarahan.
2.10 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Tes Anti ds-DNA
 Batas normal : 70 – 200 IU/mL
 Negatif : < 70 IU/mL
 Positif : > 200 IU/mL
\Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan
pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit
SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada
dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA
(anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti
ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak
hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem
komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun
sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b. Tes Antinuclear antibodies (ANA)
 Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu
sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif
terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja
karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA
yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga
jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum
tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan
tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya
dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP
(anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and
Pagana, 2002).
c. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive
Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and
Pagana, 2002).
d. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel
darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.
h) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
i) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin
j) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
k) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
l) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
m) Foto polos thorax
Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring
Setiap 3-6 bulan bila stabil
Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

2.11 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi. Penderita
dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan
ataupun simultan, selama observasi.
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1. Malar rasherythema yang fixed,datar/meninggi.Letaknya pada malar,biasanya tidak mengenai
lipatan nasolabial.
2. Discoid rash
Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic.Kadang tampak scar yang atofi.
3. Fotosensitivitas.
Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4. Ulkus oral
Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.
5. Arthritis
nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan
nyeri,bengkak,atau efusi.
6. Serositis
Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural,pleural friction rub,efusipleura.Pada
pericarditis tampak pada ECG,gesekan pericard,efusi pericard.
7. Gangguan Renal
proteinuria >0,5 g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit,hemoglobin
granular,tubular,atau campuran.
8. Kelainan neorologis
psikosis,kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9. Kelainan hematologis
anemia hemolitic
leukopenia(<4000/μL)
limfopenia (<1500/μL)
trombositopenia (<100.000/μL).
10. Kelainan imunologis
Anti ds-DNA , Anti-Sm(antibody terhadap antigen otot polos),Antifosfolipid antibody,STS
false positve.
11. Antibodi antinuclear
ANA test +.
DIAGNOSIS BANDING
-Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.
-Endokarditis bacterial subacute.
-Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi kulit.
-Drug eruption.
-Limfoma.
-Leukemia.
-Trombotik trombositopeni purpura.
-Sarcoidosis.
-Lues II
-Bacterial sepsis.
Diagnosa Keperawatan pada klien SLE adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis.
2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri terhambat.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan, tidak familiar dengan
sumber informasi.
4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas, kelelahan otot
pernapasan, defornitas dinding dada.
5. Hipertermia berhubungan dengan penyakit.
6. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.

2.12 Penatalaksanaan Medis


1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)(metilprednisolon1000
mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukantapering off).
2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4) Siklofospamid,diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m
luaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

2.13 Penatalaksanaan Keperawatan


Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan keperawatan untuk
pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan” pada “Artritis reumatoid”).
Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan, membuat integritas kulit gangguan
citra tubuh, dan defisiensi pengetahuan.
 Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan proses
penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi dalam kelompok
pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai penyakit, tips
penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.
 Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet atau
untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.
 Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan pasien
tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas untuk
meningkatkan kesehatan.
 Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.
 Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah
diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang
cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.
 Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka berisiko
tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.

2. Asuhan Keperawatan
2.14 Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.Lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di
ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
2.15 Diagnosa
a. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit
b. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat penting
untuk tubuh
c. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
e. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret
2.16 Intervensi

1) Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit

a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati
perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.

b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian mengeringkannya


dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.R/:
mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.

c. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko
kerusakan dermal.

d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis,
duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses
penyembuhan.

d. Kolaborasigunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi. R/: digunakan pada


perawatan lesi kulit.
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.

a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi mulut,tenggorok dan
esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien mengolah makanan
dan mengurangi keinginan untuk makan.

b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi. Hindari
obat kumur yang mengandung alcohol.R/: Mengurangi ketidaknyamanan yang berhubungan
dengan mual/muntah, lesi oral, pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih
meningkatkan nafsu makan.

c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi pemasukan cairan
dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi. R/: lambung yang penuh akan akan
mengurangi napsu makan dan pemasukan makanan.

d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan napsu makan dan
perasaan sehat.

e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat mendekati
waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan energi untuk aktivitas
makan. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses menelan dan
mengurangi resiko aspirasi.

Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau alternative
metode pemberian makanan.

h. KolaborasiKonsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/: Menyediakan diet


berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat

3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL

MANDIRI

 Kaji kemampuan pasien untuk  Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.


melakukan tugas /AKS normal, catat
laporan kelelahan , keletihan, dan
kesulitan menyelesaikan tugas.

 Kaji kehilangan / gangguan  Menunjukkan perubahan neurologi karena


keseimbangan gaya jalan, kelemahan defisiensi vitamin B mempengaruhi
otot. keamanan pasien/risiko cedera.

 Manifestasi kardiopulmonal dari upaya


jantung dan paru-paru untuk membawa
 Awasi TD, nadi, pernafasan, selama
jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
dan sesudah aktivitas. Catat respons
terhadap tingkat aktivitas ( mis,
peningkatan denyut jantung/TD,
disritmia, pusing, dispnea, takipnea,
dan sebagainnya).  Meningkatkan istirahat untuk menurunkan
kebutuhan oksigenn tubuh dan menurunkan
 Berikan lingkungan tenang.
regangan jantung dan paru.
Pertahankan tirah baring bila
diindikasikan. Pantau dan batasi
pengunjung, telepon dan gangguan
 Hipotensi postural atau hipoksia serebral
berulang tindakan yang tak
dapat menyebabkan pusing, berdenyut , dan
direncanakan.
peningkatan risiko cedera.
 Ubah posisi pasien dengan perlahann
 Mempertahankan tingkat energi dan
atau pantau terhadap pusing.
meningkatkan regangan pada pasien jantung
dan pernapasan.

 Prioritaskan jadwal asuhan  Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan


keperawatan untuk meningkatkan bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
istirahat. Pilih periode istirahat
dengan periode aktivitas.
 Meningkatkan secara bertahap tingkat
 Berikan bantuan dalam
aktivitas sampai normal dan memperbaiki
aktivitas/ambulasi bila perlu,
tonus otot/stamina tanpa kelemahan.
memungkinkan pasien untuk
Meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
melakukannya sebanyak mungkin.
 Mendorong pasien melakukan banyak
 Rencanakan kemajuan aktivitas
dengan membatasi penyimpangan energi
dengan pasien, termasuk aktivitas
dan mencegah kelemahan.
yang pasien pandang perlu.
Tingkatkan tingkat aktivitas sesuai  Regangan /stres kardiopulmonal
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/: Memberikan
pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,
meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/: merangsang pelepasan
endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/: memberi kesempatan
untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.
e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan tempat tinggal.R/:
memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan
kemandirian.
5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

INTERVENSI RASIONAL

 Auskultasi bunyi napas . Catat  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi


adanya bunyi napas misalnya dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak
mengi, krekels, ronchi. dimanifestasikan adanya bunyi napas
adventisius. Misalnya penyebaran , krekels
basah (bronkitis); bunyi napas redup
dengan ekspirasi mengi (emfisema); atau
tak adanya bunyi napas (asma berat).

 Takipnea biasanya ada pada beberapa


derajat dan dapat ditemukan pada
 Kaji atau pantau frekuensi penerimaan atau selama stres/adanya
pernapasan. Catat rasio proses infeksi akut. Pernapasan dapat
inspirasi/ekspirasi. melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibanding ekspirasi.

 Disfungsi pernapasan adalah variabel yang


tergantung pada tahap proses kronis selain
proses akut yang menimbulkan perawatan
di rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi
 Catat adnya/ ]derajat dispnea.
Misalnya keluhan “lapar udara”,
gelisah, ansietas, distres alergi.
pernapasan, penggunaan otot
 Peninggian kepala tempat tidur
bantu napas.
mempermudah fungsi pernapasan dengan
 Memposisikan pasien semi menggunakan gravitasi. Namun pasien
fowler. dengan distres berat akan mencari posisi
yang paling mudah untuk bernapas.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal
dan lain-lain membantu menurunkan
kelemahan otot dan dapat sebagai alat
ekspansi dada

 Memberikan pasien beberapa cara untuk


mengatasi dan mengontrol dispnea

 Dorong/bantu pasien untuk


melakukan napas
abdomen/bibir.

2.17 Implementasi
Laksanakan rencana tindakan pada renpra diatas. Dahulukan tindakan yang dianggap
prioritas/masalah utama.

2.18 Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan yang telah dilakukan kepada pasien.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan
organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini
akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan
zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh
juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus virus yang menyebabkan
demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh.

Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan
sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga
yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet,
obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan
hormon estrogen.
Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu
untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.
3.2 Saran

Supaya makalah ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembaca, maka kami
menyarankan :
 Jagalah pola hidup sehat agar tidak mudah terserang penyakit
 Perhatikanlah setiap makanan yang akan dikonsumssi
 Jagalah kebersihan lingkungan sekitar.

Anda mungkin juga menyukai