Anda di halaman 1dari 36

CULTURAL STUDIES;

MEDIA, REKAYASA SOSIAL DAN


MORALITAS DALAM ANALISIS
PERUBAHAN KONTEMPORER
Prof. Dr. H. Iswandi Syahputra, M.Si.
Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Disampaikan pada:
Latihan Kader (LK) II dan Latihan Khusus Kohati (LKK)
HMI Cabang Yogyakarta
Balai PMD Yogyakarta, 27 Desember 2022
§ Tema tersebut terlalu luas dan lebar, sehingga justru dapat menjauh dari
esensi dan dapat kehilangan akar aktualitas kontemporernya.
§ Padahal, aktualitas saat ini adalah munculnya CYBER CULTURE.

§ Cyber Culture ini memiliki kekuatan memaksa untuk menghidupkan


menjadi mati,mematikan yang hidup, yang asli menjadi palsu, yang palsu
menjadi asli, yang paling parah… yang benar menjadi salah dan yang
salah menjadi benar.

§ Tidak ada lagi yang eksis karena esensi kehilangan eksistensi. Bahkan
eksistensi menjadi ekstasi. Semua melebur dalam ke-NIHIL-an.
Ini berat….
Saat ini kita hidup dalam realitas virtual yang termediasi melalui internet,
khususnya media baru.
Kehadiran media baru menandakan era peralihan dan perubahan dari budaya
material ke budaya virtual (digital) atau bahkan menihilkan keduanya.
New Media, New Relations: Chaotic Order
MEMAHAMI CULTURAL STUDIES
ü Cultural Studies= Kajian Budaya
Ø Budaya apa yang dikaji?
Ø Mengapa dikaji?

ü Lepaskan semua pemikiran tentang Budaya yang dimaksud adalah


pemahaman konvensional sebagai:
Ø Akar kata Sansekerta, Buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang
diartikan sebagai budi atau akal.
Ø Dipahami sebagai semua produk dari olahan Budi dan Akal manusia
dalam bentuk material seperti; KERIS, CANDI, TARIAN dll.
Ø Bahasa Latin dari Budaya adalah Cultura, sehingga Budaya=Kultur.
§ Cultural Studies merupakan kumpulan pemikiran yang memandang
realitas diproduksi melalui pengetahuan sebagai praktik relasi kuasa.
§ Cultural Studies menempatkan budaya sebagai tempat (arena)
perebutan kekuasaan antara sistem representasi yang bersaing dan
cara hidup yang didukungnya.
§ Cultural Studies bukan tentang mahzab keilmuan tertentu yang sudah
mapan sebelumnya sebagai sebuah disiplin, interdisiplin, atau
multidisiplin ilmu pengetahuan.
§ Melampaui itu, Cultural Studies ingin mengambil posisi POST DISIPLIN
bahkan ANTI DISIPLIN.
§ Secara konsisten Cultural Studies fokus pada isu berbagai relasi
kekuasaan, politik dan kebutuhan akan perubahan.
PENDEKATAN DALAM CULTURAL STUDIES
Budaya sebagai praktik
Etnografi/Netnografi eksploitasi/relasi
kekuasaan.

Budaya sebagai teks


semiotis yang
CULTURAL STUDIES Kajian Teks Budaya
menyimpan makna
berbagai relasi kuasa

Budaya sebagai relasi


Resepsi Khalayak aktif
konsumen/audiens.
MEMAHAMI CYBER CULTURE
ü Cyber Culture= Budaya Siber
Ø Konstruksi budaya popular yang di mediasi oleh internet dalam segala
bentuknya, khususnya media baru.
Ø Muncul seiring perjalanan teknologi informasi dan komunikasi.
Ø Data menjadi penting (big data) karena data sebagai sain.
ü Secara lebih spesifik dalam konteks politik:
Ø Eksplorasi tentang bagaimana orang menggunakan internet untuk
mengembangkan konsepsi baru tentang identitas, membangun
komunitas virtual, dan memengaruhi perubahan politik.
ü Dari perspektif teori, melampaui teori modenitas dan menentang teori
kritis dengan menghadirkan era post modernitas.
Pemetaan Media Koran

CETAK Buletin/Tabloid

Majalah
TRADISIONAL

Radio Publik

ELEKTRONIK
MEDIA
Televisi Komersial/Swasta

BLOG/WEB
BARU Twitter
Berlangganan

MICROBLOG Facebook
IG, dll
MEDIA BARU dan SITUASI TERBARU
§ Dunia jungkir balik, terjadi pergeseran dari realitas sosial pada realitas virtual.
§ Sesuatu yang sepi di dunia real, dapat menjadi ramai (viral) di media sosial.
Sesuatu yang ramai di media sosial, dapat menjadi sepi di dunia real.
§ Semakin banyak orang bicara di media sosial tentang suatu isu, maka semakin
dianggap penting, semakin ingin diketahui dan semakin perlu untuk direspon.
§ Sehingga dalam kehidupan media sosial saat ini, kekuatan daya tahan suatu
negara dan politik sering diadu, diuji dan dipertentangan di media sosial oleh
masyarakat secara online (Fuchs & Trottier, 2015).
§ Ini fenomena global, tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga di dunia
(Pohjonen & Udupa, 2017).
Yang beralih dan yang berubah

to/from to/from
from Opinion Leader Influencer/Buzzer from Consumption Distribution
Opinion Maker Production

from Street to Tweet from Party to Personality

from Privat to Public from Boom to/from Doom Gloom

FROM MANUAL TO DIGITAL


Pola komunikasi yang kacau

BICARA SALURAN KEPADA DAMPAK


SIAPA? Komunikator Pesan Media Komunikan Efek
APA? APA? SIAPA? APA?
KOMUN
SIAPA?
IKATOR

DAMPAK BICARA KONTE


APA? APA? EFEK
N

SIAPA?

KEPADA SALURAN KOMUN MEDIA


SIAPA? APA? IKAN BARU
DAMPAK BICARA
APA? APA?

KEPADA SALURAN
SIAPA? APA?
KEKACAUAN SEBAGAI FENOMENA
POST TRUTH/DISRUPTION
Post Truth merujuk pada keadaan dimana fakta objektif tidak dapat
berpengaruh pada pembentukan opini publik dibandingkan dengan
emosi dan keyakinan personal.
“Saya percaya suatu ‘kebenaran’ walaupun fakta menunjukkan sesuatu
itu tidak benar”.

Kebohongan sebagai seni manipulasi. Pada era disrupsi, manipulasi


tersebut berlangsung melalui pemberitaan media massa dan media
sosial.
Muncul pada akhir 2016 sebagai fenomena politik global.
Ciri-ciri:
§ Merebaknya hoaks yang diproduksi sebagai komoditas (Wahid & Syahputra, 2020).
§ Maraknya pertumbuhan echo camber (ruang gema) (Grömping, 2014).
§ Hadirnya spiral of anxiety (spiral kecemasan) (Syahputra, 2019).
§ Menguatnya buzzer regim (Syahputra, 2021).
§ Hilangnya privasi.
§ Polarisasi opini yang keras (Syahputra, 2017; 2021).
§ Content is King, Packacing is Queen (Graham, et.al, 2015; Robinson, 2017) dan
Distribution in Kingkong.
§ Munculnya artificial intelligence (kecerdesan buatan).
§ Kebimbangan media konvensional dan jurnalisme (Ritonga & Syahputra, 2019).
Dampak bagi kualitas nilai kehidupan

§ Absennya kebenaran (Kakutani, 2018).


§ Matinya kepakaran (Nichols & Sean, 2017).
§ Kehilangan kualitas waktu
§ Terbentuknya realitas palsu
§ Lenyapnya otentisitas
§ Bergesernya otoritas
§ Lunturnya demokrasi
MEMAHAMI JENIS ‘KEBOHONGAN’
DALAM BUDAYA MEDIA BARU
§ HOAKS, merupakan informasi salah tetapi sengaja diproduksi seperti kebenaran
atau menutupi kebenaran (Silverman, 2015).

§ PRANK, lucu-lucuan atau gila-gilaan untuk ngerjain orang. Sebuah prank


mengandung unsur iseng untuk mencari kesenangan belaka.

§ RUMOR, pernyataan-pernyataan yang tidak atau belum terverifikasi yang beredar


dan muncul dalam konteks ambiguitas.
§ SCAM, usaha menipu pihak lain untuk mendapatkan keuntungan.
§ SATIRE, strategi retoris yang cerdik dalam berbagai medium untuk memicu reaksi
emosional dan intelektual mengenai permasalahan yang menonjol di tengah publik.
MEMAHAMI HATE SPEECH
DALAM BUDAYA MEDIA BARU
§ Penghinaan atas identitas suatu kelompok guna menindas anggota-anggotanya
serta mengurangi hak-hak mereka (George, 2017).
§ Penggunaan kosa kata diskriminatif dan selektif yang sangat tepat yang mencoba
untuk melegitimasi pemikiran negatif tentang semua orang yang bukan ‘kita’,
mereka yang adalah ‘orang lain’ (Lenkova, 1998).
§ Penghinaan berbasis identitas, terlepas dari bagaimana seseorang
menggunakannya atau bagaimana hal itu mempengaruhi targetnya (Simpson,
2013).
§ Komunikasi apa pun yang merendahkan seseorang atau kelompok atas dasar
beberapa karakteristik seperti ras, warna kulit, etnis, jenis kelamin, orientasi
seksual, kebangsaan, agama, atau karakteristik lainnya (Syahputra, 2019).
MEDIA BARU SEBAGAI ARENA
§ Internet akan menjadi alat komunikasi lain bagi para rasis dan “pembenci”
untuk menyebarkan pesan mereka (Spiegel, 1999).
§ Internet menjadi sangat penting bagi mereka yang ingin menyebarluaskan
pesan kebencian (Nemes, 2002).
§ Internet atau web merupakan kontributor dalam budaya kebencian dan
kekerasan (Duffy, 2003).
§ Internet berfungsi sebagai ruang di mana kebencian rasial dan pembicaraan
diskriminasi diselenggarakan. Aktivitas tersebut terjadi pada blog dan berbagai
forum percakapan online. Para pembenci saling berinterkasi dan terhubung
(Commaerts, 2009).
HOAKS DAN HATE SPEECH
SEBAGAI KATEGORI POLITIK DI INDONESIA
§ Politik kebencian yang muncul di Indonesia tidak terlepas dari
fenomena global yang terjadi di dunia.
Ø Dinamika politik yang terjadi di Timur Tengah yang kemudian
dikenal sebagai Arab Spring tahun 2010.
Ø Fenomena Brexit (British Exit) tahun 2016.
Ø Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada pemilu
tahun 2016.
§ Ketiga fenomena tersebut dapat diidentifikasi sebagai pemicu
terbentuknya aktivitas politik tidak sehat yang sangat agresif dalam
kultur media baru (media cyber) di Indonesia saat ini.
§ Sebagai sebuah kategori politik, ujaran kebencian baik yang
disampaikan secara verbal dan langsung maupun menggunakan
metonim.
Ø Ujaran yang bermuatan cercaan, hinaan, ejekan atau bersifat
merendahkan yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap
orang atau kelompok lain karena perbedaan pilihan politik dengan
maksud membungkam agar tidak bersuara, menyudutkan agar
tertekan, atau menciptakan emosi, perasaan malu, perasaan
bersalah dan berbagai kondisi atau perasaan tidak nyaman lainnya
pada orang lain untuk mempertahankan, menjatuhkan dan meraih
kekuasaan politik dalam segala bentuknya.
§ Di Indonesia fenomena politik kebencian tersebut muncul sebagai
dampak persaingan politik pada kultur media baru.
§ Lim (2017) menjelaskan fenomena di Indonesia tersebut sebagai
freedom to hate.
§ Syahputra (2017) menjelaskan fenomena tersebut sebagai perang siber
yang terjadi dalam aktivitas di media sosial pada kultur media baru.
§ Pengaruh media sosial, terutama twitter di Indonesia saat ini
merupakan contoh bagaimana aktor politik dan warga negara dan
sesama netizen menggunakan media sosial dalam proses politik
(Caplan, 2013; Johansson, 2016).
LIBERTY DIPAHAMI SEBAGAI FREEDOM
REZIM BUZZER DAN INFLUENCER
§ Mengacu pada Lim (2017) istilah "buzzer” menggambarkan seorang netizen yang
dibayar oleh sebuah perusahaan untuk menyebarluaskan informasi promosi
produk atau merek tertentu di situs media sosial.
§ Dalam politik, buzzer direkrut untuk mempromosikan isu-isu yang
menguntungkan kandidat tertentu. Buzzer tersebut merupakan micro-selebrity
yang memiliki banyak pengikut di media sosial.
§ Influencer adalah pendukung pihak tertentu yang membentuk perilaku audiens
melalui blog, tweet, dan penggunaan media sosial lainnya (Freberg et. al., 2011).
§ Influencer adalah netizen mempromosikan produk atau jasa tertentu, namun
beberapa diantaranya terlibat dalam pembahasan isu terkini dengan sudut
pandang yang sengaja dibuat berbeda dari pembahasan media arus utama.
§ Prak%k penggunaan buzzer ini menggambarkan konteks
baru komunikasi poli%k.
§ Mengacu pada Tchubykalo, Manfredi-Sánchez and Sánchez-
Giménez (2019), konteks baru komunikasi poli%k ini
memanfaatkan tren yang muncul dalam strategi komunikasi
dengan merangkul kemampuan diseminasi media sosial.
§ Kemampuan media sosial tersebut digunakan oleh think
tank poli%k untuk penetapan agenda dan tujuan melalui
wacana yang disebarkan di media sosial.
TERBENTUKNYA POLARISASI POLITIK #1
§ Buzzer dan influencer yang digunakan dalam praktik politik menjadikan
politik sebagai industri produksi wacana.
§ Industri produksi wacana ini berdampak pada terbentuk dan menguatnya
polarisasi sosial berdasarkan identitas.
§ terbentuknya polarisasi tersebut melibatkan buzzer politik dari masing-
masing kubu yang kemudian dikenal sebagai Cyber Troops/Armies (Hui,
2020).
§ Cyber Troops/Armies merujuk pada aktor yang mewakili kepentingan
partai politik atau kandidat yang bertanggung jawab untuk memanipulasi
opini publik secara online di media sosial (Bradshaw dan Howard, 2017).
PETA NETIZEN DALAM POLARISASI POLITIK
§ Pertama, ada netizen yang bertobat (Nugraha & Faris, 2020). Kelompok ini
menyadari polarisasi berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Mereka Kembali netral dalam beraktivitas di media sosial.

§ Kedua, ada netizen yang berbalik menyerang kelompok yang sebelumnya


mereka dukung.
§ Ketiga, ada netizen yang tetap bertahan dalam kelompok yang mereka
dukung.
§ Ketiga, kelompok netizen ini merupakan kondisi aktual politik Indonesia
saat ini yang sedang kami teliti sebagai fenomena melarikan diri dari
polarisasi media sosial.
TERBENTUKNYA POLARISASI
POLITIK NETIZEN DI INDONESIA
Konteks Kebebasan Berbicara

to doom

Afeksi Ingkar janji kandidat Menyerang balik Berpindah dari Kelempok netizen
kandidat terpilih polarisasi eksisting kontra pemerintah
setelah Pemilu setelah Pemilu selesai ke polarisasi sadar

Polarisasi politik Melarikan diri dari


netizen di polarisasi politik Polarisasi baru
media sosial eksisting karena:

Mengkritik kandidat Berubah dari


Jenuh dan Pemilu terpilih setelah Kelompok netizen
Pemilu selesai, tapi polarisasi eksisting pro pemerintah
Ideologi sudah selesai
tetap mendukung ke polarisasi tidur

from boom toward gloom

Konteks Media Baru


KASUS KHUSUS ADE ARMANDO #1
§ Dalam konteks polarisasi politik dan pemetaan aktivitas netizen di media sosial,
Ade Armando dapat disebut sebagai buzzer/influencer.
§ Aktivitas politiknya di media sosial yang selalu kritis pada ajaran Islam atau
kelompok muslim menunjukkan posisinya berada dalam salah satu kelompok
polarisasi.
§ Hal ini membuktikan penjelasan sebelumnya tentang fenomena post truth yang
melenyapkan otentisitas dan otoritas. Keyakinan dan kepercayaan agama yang
sudah mapan sebelumya digugat dan dipertentangkan secara terbuka melalui
aktivitas di media sosial.
§ Dalam perspektif aktivitas baru politik, fenomena ini saya sebut sebagai Public
Participation in the Era of New Media in Indonesia: From Street to Tweet (Ritonga
and Syahputra, 2019).
KASUS KHUSUS ADE ARMANDO #2
§ Namun, sejak Ade Armando mengalami kekerasan fisik pada aksi demo mahasiswa
menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden di
depan Gedung DPR RI pada 11 April 2022 lalu, fenomena From Street to Tweet
berbalik menjadi From Tweet to Strreet.
§ Fenomena From Tweet to Strreet ini dapat dibaca sebagai eksplosi demokrasi yang
yang sebelumnya sudah mengalami proses polarasasi yang sangat kuat dan tajam
dalam aktivitas netizen di media sosial.
§ Hukum sosial sedang mengalami proses uji coba melalui tarik menarik kekuatan
politik dan wacana untuk menjelaskan dan menjawab:
ü Apakah kekerasan tersebut dapat dibenarkan?
ü Apakah kekerasan tersebut implikasi sosial-politik yang wajar?
ü Bagaimana akhir dari proses polarisasi virtual tersebut?
MASA DEPAN (SURAM) DEMOKRASI

• Masa depan demokrasi mengarah pada democracy panic, rasa ketakutan


yang menyebar dalam banyak orang karena demokrasi sudah sangat
mengancam ketertiban dan keteraturan sosial. Kepanikan tersebut dipicu
oleh pandemi informasi (infodemi).
• Istilah infodemi (Larson, 2018; McCauley, et.al. 2013) muncul untuk
menguraikan bahaya dari media sosial tentang informasi yang salah
(Atlani-Duault, 2003). Bahkan kepanikan di media sosial dapat berjalan
lebih cepat daripada penyebaran COVID-19 (Wilson and Chen, 2020).
DAFTAR PUSTAKA:
Atlani-Duault, L., Ward, J. K., Andrew, M. R., & Morin, C. (2020). Tracking online heroisaDon and blame in epidemics. Lancet Public Health, 5(3), 137–138.
Cammaerts, B. (2009). Radical Pluralism and Free Speech in Online Public Spaces: The cCse of North Belgian Extreme Right Discourses. Interna3onal Journal of Cultural Studies, 1(6), 555-
575.
Duffy, M.E. (2003). Web of Hate: A Fantasy Theme Analysis of the Rhetorical Vision of Hate Groups Online. Journal of Communica3on Inquiry, 27(3), 291-312.
George, C. (2017). Hate Spin: the Manufacture of Religious Offense and its Threat to Democracy. Cambridge: The MIT Press.
Graham, et.al. (2015). Content is King: News Media Management in the Digital Age. New York: Bloomsbury Publishing, Inc.
Grömping, M. (2014). Echo Chambers’ Par3san Facebook Groups during The 2014 Thai Elec3on. London: SAGE PublicaDons.
Kakutani, M. (2018). The Death of Truth. London: William Collins, An Imprint of Harpercollins Publishers.
Larson, H. (2018). The biggest pandemic risk? Viral misinformaDon. Nature, 562(7727), 309.
Lenkova, M. (ed). (1998). Hate Speech in the Balkans. Athens : ETEPE.
Lim, M. (2017). Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal NaDonalism in Indonesia. Cri3cal Asian Studies, 49(3), 411–427.
McCauley, M., Minsky, S., & Viswanath, K. (2013). The H1N1 pandemic: Media frames, sDgmaDzaDon and coping. BMC Public Health, 13, 1116.
Nemes, I. (2002) RegulaDng Hate Speech in Cyberspace: Issues of Desirability and Efficacy. Informa3on & Communica3ons Technology Law, 11(3), 193-220.
Nichols, T.M & Prag, S. (2017). The Death of ExperDse: The Campaign against Established Knowledge and Why it magers. Old Saybrook: Tantor Media
Robinson, D. (2017). Content Delivery Networks: Fundamentals, Design, and Evolu3on. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Silverman, C. (2015). Lies, Damn Lies, and Viral Content. Tow Center for Digital Journalism: A Tow/ Knight Report. Tersedia di:
hgps://academiccommons.columbia.edu/doi/10.7916/D8Q81RHH
Simpson, R.M. (2013). Dignity, Harm and Hate Speech. Law & Philosophy, 32(6), 701-728.
Spiegel, M.L. (1999). Hate Speech, Civil Rights, and the Internet: The JurisdicDonal and Human Rights Nightmare. Albany Law Journal of Science & Technology, 9(2), 375-399.
Syahputra, I. (2017). Demokrasi Virtual dan Perang Siber di Media Sosial: PerspekDf NeDzen Indonesia, Jurnal ASPIKOM, 3(3), 457-475.
Syahputra, I. (2017). Paradigma Komunikasi Profe3k; Gagasan dan Pendekatan. Bandung: Simbiosa Rekatama.
Syahputra, I. (2019). Expressions of Hatred and the FormaDon of Spiral of Anxiety on Social Media in Indonesia. SEARCH, 11(1), 94-111.
Syahputra, I. (2021). The Rise of PoliDcal Hatred in Twiger ConversaDons of Indonesian NeDzens. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 6 (1), 22-31.
Syahputra, I., et.al. (2021). Pandemic PoliDcs and CommunicaDon Crisis: How Social Media Buzzers Impaired the Lockdown AspiraDon in Indonesia. SEARCH, 13(1), 31-46.
Tchubykalo, E., Manfredi-Sánchez, J., & Sánchez-Giménez, J. A. (2019). Think tanks and poliDcal influence. How influencer networks and the specializaDon of power are represented on
Twiger. Tripodos, 45, 111–131.
Wahid, U. & Syahputra, I. (2020). Hoax Logic in the PoliDcal AcDviDes of Indonesian NeDzens on Twiger. Interna3onal Journal of Innova3on, Crea3vity and Change, 14(2), 1415-1432.
Wilson, M. E., & Chen, L. H. (2020). Travellers give wings to novel coronavirus (2019-nCoV). Journal of Travel Medicine, 27(2), 1–3.
PROF. DR. H. ISWANDI SYAHPUTRA, M.SI.
Guru Besar Ilmu Komunikasi/Wakil Rektor I UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
email: iswandi.syahputra@uin-suka.ac.id - HP/WA: 08128280321

Anda mungkin juga menyukai