Anda di halaman 1dari 14

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DIERA CYBER

Makalah Ini Dibuat Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Komunikasi lintas budaya

DOSEN PENGAMPU : liana hutapea, M.Kom.I

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK IX

DANA AGESTRI HSB 0105183418

MHD PANDU FATAH PERMADI 0105183389

NAUFAL DICKI INDRAWAN 0105183395

YOVALDI PRAYOGI 0105183400

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI - 1

SEMESTER IV

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

JALAN WILIEAM ISKANDAR, PERCUT SEITUAN, PASAR V

MEDAN ESTASE

2020/2020
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DIERA CYBER”
tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Aamiin.

           kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini di
kemudian hari. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Aamiin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Komunikasi AntarBudaya............................................................. 2
2.2 Budaya Siber : Internet dan Interaksi Simbolik............................ 3
2.3 Masyarakat Jejaring....................................................................... 6
2.4 Komodifikasi Budaya Siber.......................................................... 7

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan.................................................................................. 10
3.2. Saran............................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioal ekonomi, atau gabungan
dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh
sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.

Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan ruang dimana kultur yang terjadi itu
diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana sifat dasar perspektif ini yang
mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata yang ada di tengah masyarakat, cultural studies
memberikan semacam perlawanan dari sebuah kemampanan strukturasi kelas sosial. Gerakan-
gerakan sosial seperti feminisme menandakan bahwa sebuah kultur tidak hanya diciptakan oleh
kelas tertentu, dalam pandangan Marx misalnya oleh kaum borjuis, namun bisa dihasilkan oleh
masyarakat bahkan individu yang merupakan agen-agen sosial.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana Penjelasan Tentang Komunikasi Antarbudaya Di Era Siber?
2. Bagaimana Penjelasan Tentang Budaya Siber : Internet dan Interaksi Simbolik?
3. Bagaimana Penjelasan Tentang Masyarakat Jejaring?
4. Bagaimana Penjelasan Tentang Komodifikasi Budaya Siber?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Komunikasi AntarBudaya

Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang


memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari
semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh
sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.

McLuhan (dalam Infante et.al, 1990 : 371) menyatakan bahwa dunia saat ini telah
menjadi “Global Village” yang mana kita mengetahui orang dan peristiwa yang terjadi di negara
lain hampir sama seperti layaknya seorang warga negara dalam sebuah desa kecil yang menjadi
tetangga negara – negara lainnya.

Perubahan sosial adalah hal lain yang berpengaruh dalam komunikasi antar budaya
adalah dengan makin banyaknya perayaan - perayaaan budaya sebuah etnis dalam sebuah
negara.

Perbedaan budaya dalam sebuah negara menciptakan keanekaragaman pengalaman, nilai,


dan cara memandang dunia. Keanekaragaman tersebut menciptakan pola – pola komunikasi yang
sama di antara anggota – anggota yang memiliki latar belakang sama dan mempengaruhi
komunikasi di antara anggota – anggota daerah dan etnis yang berbeda.

Perusahaan – perusahaan yang memiliki cabangnya di luar negeri, tentunya merupakan


syarat mutlak bagi para karyawannya untuk memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai
situasi dan kondisi budaya yang akan dihadapinya (intercultural competence), salah – salah jika
mereka gagal berkomunikasi dengan budaya yang dihadapinya, perusahaan hanya akan bertahan
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.1

Tujuan Komunikasi Antar Budaya adalah :

1
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Lintas Budaya, (Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2015), hlm.38.

2
 Memahami perbedaan budaya yang mempengaruhi praktik komunikasi
 Mengkomunikasi antar orang yang berbeda budaya
 Mengidentifikasikan kesulitan – kesulitan yang muncul dalam komunikasi
 Membantu mengatasi masalah komunikasiyang disebabkan oleh perbedaan budaya
 Meningkatan ketrampilan verbal dan non verbal dalam komunikasi
 Menjadikan kita mampu berkomunikasi secara efektif

Hakikat Komunikasi Antarbudaya

a. Enkulturasi

Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur
ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman,
sekolah, lembaga ke-agamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama
dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.

b. Akulturasi

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui


kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Misalnya, bila sekelompok imigran
emudian berdiam di AS (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh
kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari
kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang
sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.2

2.2 Budaya Siber : Internet dan Interaksi Simbolik

Budaya Sibermerupakan sebuah budaya yang lahir dari interaksi antara manusia dengan
internet.cyberculture sebagai cara berpikir tentang bagaimana orang dan teknologi digital
berinteraksi, bagaimana kita hidup bersama. Kerangka berpikir Bell justru lebih khusus dimana

2
Ibid

3
ruang maya dimanfaatkan antar individu sebagai wadah untuk membicarakan cara bagaimana
mereka memenuhi kebutuhan hidup.

Cyberculture adalah budaya yang telah muncul, atau terbentuk dari penggunaan jaringan
komputer untuk komunikasi, hiburan, dan bisnis. Itu juga merupakan studi tentang berbagai
fenomena sosial yang terkait dengan internet dan bentuk-bentuk baru lain dari komunikasi
jaringan, seperti komunitas online, secara online multi-player game, game sosial, media sosial,
augmented reality, dan SMS, dan mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan identitas,
privasi, dan pembentukan jaringan.

identitas baru dalam cyberculture berbeda dengan identitas didunia nyata. Identitas
didunia maya, tidak lebih dibatasi oleh kulit atau tubuh. Mereka disebarluarkan, tersebar, dan
ditambahkan melalui koneksi difasilitasi dan tidak terbatas pada tubuhnya.3

a. Internet

Internet, mengutip penjelasan Hine (2007), bias didekatidalam dua aspek, yakni
internet sebagai kultur (budaya) dan internet sebagai artefak kultural (peninggalan
kebudayaan).Perbedaan ini berimplikasi khususnya untuk para peneliti etnografi kepada
perbedaan metodelogi dalam penelitian di suatu sisi maupun secara tegas memaparkan
keuntungan maupun kelemahan disisi lain.

Sebagai sebuah budaya (culture), pada awalnya internet merupakan model


komunikasi yang sederhana bila dibandingkan dengan model komunikasi secara langsung
atau face to face (Baym, 1998). Bahwa interaksi face to face tidak hanya melibatkan teks
sebagai symbol atau tanda yang berinteraksi semata.Ekspresi wajah, tekanan suara, cara
memandang, posisi tubuh, agama, usia, ras dan sebagainya ini merupakan tanda-tanda yang
juga berperan dalam interaksi antar individu. Adapun komunikasi termediasi computer
(computer mediated communication) interaksi terjadi berdasarkan teks semata bahkan emosi
pun ditunjukan dengan menggunakan teks, yakni dengan symbol-simbol emoticon.

3
A liliweri, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, (yogyakarta: lkiS,2007), hlm.78

4
b. Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik merupakan salah satu pendekata yeng bias di lakukan dengan
cultural studies. Menurut ( Norman Danzin, 1912:34) menekan kan bahwa semestinya kajian
terhadap interaksi simbolik memainkan peranan penting dalam cultural studies yang
memusatkan perhatian pada tiga masalh yang terkait satu dengan lainya, yakni produksi
makna kultural, analisis makna makna dan studi kebudayaan yang di jalani dan pengalaman
yang di jalani. Namun dalam tataran praktis Denzin melihat adanya kecenderungan dari
intraksionisme simbolik untuk mengabaikan gagasan yang menghubungkan “symbol” dan
:interaksi’.

c. Perspektif

Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan ruang dimana kultur yang
terjadi itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana sifat dasar perspektif ini
yang mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata yang ada di tengah masyarakat, cultural
studies memberikan semacam perlawanan dari sebuah kemampanan strukturasi kelas sosial.
Gerakan-gerakan sosial seperti feminisme menandakan bahwa sebuah kultur tidak hanya
diciptakan oleh kelas tertentu, dalam pandangan Marx misalnya oleh kaum borjuis, namun
bisa dihasilkan oleh masyarakat bahkan individu yang merupakan agen-agen social.

Jika memakai term ekonomi-politik, maka kultur merupakan komoditas yang


diproduksi. Artinya, pendekatan cultural studies dalam melihat budaya siber yang ada di
internet memberikan arah untuk melihat bagaimana proses komodifikasi itu terjadi di ruang
virtual; dengan tentu saja mengabaikan kajiannya berdasarkan perdedaan kelas hingga
hubungan pekerja-pemodal sebagaimana hal ini menjadi sentral awal diskursus tentang
ekonomi-politik.4

Jika ekonomi-politik mengawali pembahasannya melalui “macrosocial organization of


power” atau organisasi kekuasaan, maka cultural studies mendekatinya melalui “local
organization of power” dimana kekuasaan itu berada didalam diri subyek atau individu itu
sendiri (intersubjective). Bagi Mosco, fokus dari cultural studies terletak pada teks sebagai salah
satu titik awal untuk melihat bagaimana fenomena sosial itu terjadi.
4
ibid

5
2.3 Masyarakat Jejaring

Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa jejaring sosial (social networking)
adalah sebuah masyarakat.Dalam sosiologi, masyarakat didefinisikan sebagai: kumpulan dari
beberapa atau banyak individu yang melakukan interaksi dengan aturan tertentu.Kalau kita
perhatikan syarat sederhana tadi,jejaring sosial sudah memenuhi kriteria layak disebut sebagai
masyarakat.Masyarakat dalam jejaring sosial agak berbeda dengan masyarakat pada umumnya
karena tidak dibatasi oleh faktor geografis.Dengan kata lain facebook atau twitter memiliki
karakteristik sendiri, yakni dunia maya.Sebuah perwujudan yang mengabaikan faktor ruang,
meski masih dibatasi oleh waktu.

Jejaring sosial dalam perwujudannya di dunia maya juga melakukan interaksi.Dengan


facebook atau twitter, masyarakat ternyata mampu melakukan hal-hal yang juga dilakukan oleh
masyarakat konvensional.Misalnya:berbisnis, saling tukar informasi, melakukan perkenalan,
bertemu dengan teman lama dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan.Masyarakat dalam
jejaring sosial oleh media sering dijadikan sebagai bahan dalam pemberitaan.Kasus Prita dan
Bibit-Candra misalnya, merupakan contoh yang pernah diolah oleh media, yang akhirnya
mempengaruhi kebijakan penegak hukum dalam mengambil kebijakan atas keduanya.5

Dengan kamajuan teknologi , masyarakat dalam facebook atau twitter lambat laun akan
membentuk kebiasaan yang dinamakan budaya atau kebudayaan.Dalam bentuk yang lain, tidak
seperti budaya sebelumnya.Bahkan, pola yang ada dalam masyarakat konvensional sejak lama
dapat dirubah dengan melakukan interaksi manggunakan provider jejaring sosial.Ditambah lagi
pola interaksi masyarakat konvensional yang sudah mengalami banyak kendala sekaligus
hambatan.Persoalan kemacetan di jalan salah satunya.Meskipun sekarang baru mendominasi
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Medan, nantinya juga akan menimpa kota-kota
lain di Indonesia.Kemacetan merupakan persoalan seruis dalam negara.Akibat kemacetan, roda
perekonomian maupun pemerintahan sangat terganggu.Kecepatan dan ketepatan waktu sering
terbuang sia-sia dengan adanya kemacetan.

Komunitas virtual adalah kumpulan pengguna user yang di bentuk secara online yang
masing-masing menggunakan identitas nyata atau rekaan (avatar) serta informasi online tertentu

5
Deddy mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.48.

6
untuk melakukan komunikasi atau interaksi secara terus-menerus melalui mediasi jaringan
komputer.Dari komunitas ini tentu saling berinteraksi dan berkomunikasi, dan pada akhirnya dari
interaksi inilah muncul sebuahkebudayaan siber atau cyber culture.

2.4 Komodifikasi Budaya Siber

Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, Mosco memformulasikan tiga bentuk
komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.6

1. Komodifikasi isi (content)

Komodifikasi isi menjelaskan bagaimana konten atau isi media yang diproduksi
merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikasi ini berawal dengan mengubah
data-data menjadi sistem makna oleh pelaku media menjadi sebuah produk yang akan dijual
kepada konsumen, khalayak maupun perusahaan pengiklan (hlm.146-147). Artinya, media
tidak hanya berhenti pada proses pembentukan kultur semata melalui konten yang
didistribusikan, melainkan juga menjadikan budaya itu sebagai sebuah komoditas yang bisa
dijual.

Sejalan dengan konteks ini, Adorno dan Hokheimer menyodorkan tesis tentang
industri budaya. Bahwa media dan hiburan yang disajikan melalui media massa pada
dasarnya telah menjadi industri di era kapitalisme pasca-Perang Dunia ke-2 baik dalam
mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia
(Hokheimer dan Adorno, 1972 dalam Agger 2009:180). Industri budaya pada dasarnya juga
menjelaskan bagaimana budaya menjadi sesuatu yang memanipulasi kesadaran manusia.
Budaya pop, sebagaimana dicontohkan Hokheimer dan Adorno, bukanlah menjadi media
akhir dan paling tinggi yang bisa digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap
hegemoni kapitalis sebagaimana diulas oleh Marx, melainkan budaya pop itu sendiri
mengandung iklan dan hiburan yang diberikan kepada khalayak hanya sebagai kedok untuk
menutupi aktivitas kapital melalui media massa (hlm.182-183).

6
Rulli nasrullah, Komunikasi Antarbudaya: Di Era Budaya Siber,( Jakarta: Kencana), hlm.58.

7
2. Komodifikasi khalayak

Dengan memakai wacana yang dipopulerkan oleh Smythe (1977) dalam the audience
commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana sebenarnya khalayak tidak
secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya yang didisytribusikan
melalui media.Khalayak pada dasarnya merupakan entitas komoditi itu sendiri yang bisa
dijual. Sebagai misal, dalam industri media massa saat ini, dicontohkan Smythe dengan
berbagai program acara di industri pertelevisian, ada tiga entitas yang saling mempengaruhi
yakni perusahaan media, pengiklan, dan khalayak itu sendiri.

Khalayak mendapatkan program tayangan yang dapat menghibur hingga memberikan


informasi secara gratis dari perusahaan televisi.Perusahaan media membuat program untuk
disaksikan oleh khalayak dan selanjutnya jumlah khalayak yang menonton dan juga waktu
yang disediakan untuk menonton inilah yang dijual kepada pihak pengiklan. Sementara
pengiklan membayar biaya iklan produk mereka dan menayangkan melalui media dengan
harapan mendapatkan perhatian khalayak yang pada akhirnya khalayak akan menggunakan
produk tersebut.7

3. Komodifikasi pekerja (labour).

Bahwa perusahaan media massa pada kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-
pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi konten dan mendapatkan penghargaan
terhadap upaya menyenangkan khalayak melalui konten tersebut, melainkan juga
menciptakan khalayak sebagai pekerja yang terlibat dalam mendistribusikan konten sebagai
sebuah komoditas (Mosco, 1996:158).

Kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu contoh bagaimana tanpa sadar
khalayak juga mentransformasikan dirinya tidak sekadar menjadi konsumen atau objek
komoditas kepada pengiklan, melainkan juga sudah menjadi produsen dalam industri budaya.
Fenomena user content generated di internet menjelaskan bagaimana khalayak memproduksi
konten media dan sekaligus mendistribusikan serta menjadi konsumen dari konten tersebut.
Misalnya, kehadiran informasi pengguna seperti status, foto, dan sebagainya yang ada social
media seperti Facebook atau Twitter.Informasi inilah yang didistribusikan dan bisa
7
ibid

8
dikonsumsi oleh khalayak yang terkoneksi ke social media tersebut dan pada akhirnya
melalui simulasi jejaring khalayak yang pada mulanya menjadi konsumen perlahan berubah
menjadi produsen.8

BAB III

PENUTUP

8
ibid

9
3.1 KESIMPULAN
Melakukan perubahan kebudayaan merupakan hal yang sulit, namun
bukan hal yang tidak mungkin.Selama kita berusaha untuk merubah, maka hal itu
pasti dapat terlaksana.Maka bukan hal yang tidak mungkin jika kelak bangsa
Indonesia dapat ikut berperan dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu
Kebudayaan Cyber.
3.2 SARAN

Dengan berakhir nya diskusi tentang komunikasi lintas budaya di era


cybersemoga para pembaca dapat menambahkan referensi bahan bacaan dan
adpat menambahkan paham-paham baru tentang pelajaran komunikasi lintas
budaya ini. Dan para pemateri juga meminta maaf jika ada kesalahan dalam
bediskusi ataupun saat memaparkan materi diskusi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antarbudaya: Di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana

Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya

Liliweri, A. (2007). Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat


Multikultur. Yogyakarta : LkiS.

Shoelhi, mohammad. 2015. Komunikasi Lintas Budaya: Bandung: Simbiosa Rektama


Media.

11

Anda mungkin juga menyukai