Anda di halaman 1dari 117

ISBN : 978 602 8557 51 1

GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN


INTERNASIONAL
Dr. Agus Budi Santosa, M.Si.

BADAN PENERBITAN UNIVERSITAS STIKUBANK


GLOBALISASI DAN
PERDAGANGAN INTERNASIONAL

ISBN :
978 602 8557 51 1

Penulis :
DR. AGUS BUDI SANTOSA, M.SI

Penerbit:
BADAN PENERBITAN
Universitas Stikubank Semarang
Jl. Kendeng V Bendan Ngisor Semarang
Telp. (024) 8414970 Fax. (024) 8441738

1
KATA PENGANTAR

Perkembangan perdagangan internasional saat ini mengalami perkembangan


yang sangat pesat, hal ini dilihat dari peningkatan baik volume perdagangan
internasional dan nilai perdagangan internasional. Indikator peningkatan tersebut
dapat dilihat pada neraca pembayaran maupun neraca perdagangan. Perdagangan
internasional membawa pengaruh besar terhadap perekonomian suatu Negara
termasuk Indonesia.
Buku ini akan memberikan kajian baik teori dan maupun penelitian empiris
tentang teori perdagangan internasional dan pengaruhnya terhadap perekonomian
dalam negeri. Kajian teori dilihat dari beberapa aspek atau sudut pandang sehingga
diharapkan akan memperkaya kajian terhadap perdagangan internasional. Selain itu
buku ini juga dilengkapi dengan penelitian empiris yang dilakukan oleh penulis yang
berkaitan dengan topik bahasan untuk menunjang teori-teori.
Untuk mempermudah konsep, pada setiap akhir bab disajikan pertanyaan atau
bahan diskusi. Hal tersebut dimaksudkan bisa membuat mahasiswa melakukan
analisis lebih lanjut terhadap konsep teori .
Penulis mengucapkan terimakasih kepada BP Universitas Stikubank yang
telah menerbitkan buku ajar ini. Agar menjadi lebih baik, saran dan komentar dari
pembaca sangat kami harapkan untuk lebih sempurnanya buku ajar ini.

Semarang , Februari 2017

Agus Budi Santosa

2
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab I : PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN
EKONOMI
a. Strategi Pembangunan Ekonomi : Big Push Theory, Balance
Growth dan Unbalance Growth . hal 1
b. “Closure rule” dan Two gab Model hal 5
Bab II : TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
a. Comparative Cost Theory hal 8
b. Hecksher – Ohlin Theory (HO) hal 9
c. Teori Perdagangan Internasional Baru hal 12
Bab III : PERDAGANGAN DAN PERTUMBUHAN
a. Pendahuluan hal 13
b. Kebijakan Untuk Mempengaruhi “Terms of Trade” hal 15
c. Efektivitas Kebijakan Proteksi Tariff hal 17
d. Liberalisasi Perdagangan hal 19
Bab IV : NERACA PEMBAYARAN DAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN
a. Pendahuluan hal 21
b. Neraca Pembayaran dan Neraca Transaksi Berjalan hal 24
c. Analisis Neraca Transaksi Berjalan hal 25
d. Peneltian Terdahulu hal 29
Bab V : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MONETER INDONESIA
a. Pendahuluan hal 31
b. Dampak Deregulasi Keuangan Terhadap Efektifitas

3
Kebijakan Moneter hal 34
c. Suku Bunga Sebagai sasaran Operasional hal 36
d. Konsep Pengendalian Moneter Dengan Menggunakan hal 38
Bab VI : Penelitian Empiris : Kemampuan Model Purchasing Power Parity
Dalam Menjelaskan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS
a. Pendahuluan hal 41
b. Rumusan Masalah hal 42
c. Kajian Teori hal 42
d. Hipotesis hal 43
e. Metode Penelitian hal 43
f. Analisis Data dan Pembahasan hal 45
g. Simpulan hal 49
Bab VII : Penelitian Empiris Evisiensi Pasar Valuta Asing di Indonesia
a. Pendahuluan hal 50
b. Rumusan Masalah hal 51
c. Metode Penelitian hal 51
d. Pembahasan : Efisiensi Pasar Valuta Asing hal 53
e. Simpulan hal 54
Bab VIII : KETERBUKAAN EKONOMI INDONESIA : KRITIK
DAN SUPPORT
a. Pendahuluan hal 55
b. Landasan Teori hal 56
c. Kasus Indonesia hal 61
d. Support hal 64
e. Kritik hal 70
Bab IX : REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INDUSTRI
a. Pendahuluan hal 73
b. Reformasi Kebijakan, Penyesuaian Struktural dan bank Dunia hal 74
c. Apa Yang Harus Di Reformasi hal 76

4
d. Dasar Pemikiran Dari Reformasi Kabijakan hal 76
e. Menginterprestasikan Kembali Pengalaman Asia Timur hal 82
f. Model Baru Persaingan Tidak Sempurna hal 85
g. Isu dan Strategi Reformasi hal 88
h. Konstelasi Jelas Dari Suatu Kebijakan hal 89
i. Kesimpulan hal 92
Bab X : INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
a. Pendahuluan hal 93
b. Perspektif Teoari Alternatif hal 94
c. Model-Model hal 97
d. Pola Industrialisasi hal 99
e. Perusahaan Multinasional dan Struktur Industri hal 100
f. Pengaruh Kuat Hasil Perdagangan Pada Hasil Industri hal 101
g. Penutup hal 107
DAFTAR PUSTAKA

5
BAB I
PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN
PEMBANGUNAN EKONOMI

A. Strategi Pembangunan Ekonomi : Big Push Theory, Balance Growth dan


Unbalance Growth .
Sebagian besar negara sedang berkembang melakukan perdagangan
internasional dengan tujuan untuk meningkatkan akumulasi kapital yang nantinya
dapat digunakan untuk mengimpor barang-barang kapital dan barang lain yang
tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Pelaksanakan perdagangan internasional
memerlukan kebijakan yang diadopsi dari teori-teori perdagangan internasional.
Penentuan kebijakan atau kombinasi kebijakan dalam kaitannya dengan
pembangunan ekonomi disebut dengan Strategi Pembangunan ( Blitzer, 1975).
Strategi pembangunan tersebut akan menentukan instrumen-instrumen apa yang
akan digunakan dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Rosenstein-Rodan (1943,1961) mengemukakan Big Push Theory untuk
menjelaskan proses pembangunan di suatu negara. Teori Big Push bertitik tolak
dari kondisi perekonomian negara sedang berkembang yang mengalami stagnasi.
Hal itu tercermin pada kondisi pasar yang tidak sempurna. Akibatnya, investasi
pada negara sedang berkembang mengandung resiko yang relatif besar karena
adanya unsur ketidakpastian. Sehingga investor dalam melakukan investasi
cenderung “terpecah” dan dalam skala yang kecil, hal ini mengakibatkan
perekonomian tidak mampu keluar dari kondisi stagnasi. Untuk mengatasinya
diperlukan investasi dalam skala yang besar dan pada berbagai bidang yang

6
beragam. Hal itu merupakan faktor pendorong yang besar (big push) untuk
mengatasi masalah stagnasi.
Ide mengenai big push theory tidak sama dengan konsep pembangunan
berimbang (balance growth) tetapi keduanya saling berhubungan. Balance
growth ditambah kondisi economic of scale identik dengan big push. Pemikiran
balance growth dikembangkan oleh Ragnar Nurske (1953) dengan memberikan
ide pembangunan secara frontal yang meliputi berbagai macam investasi yang
saling berkaitan dalam berbagai macam industri komplementer. Dengan adanya
investasi dalam skala besar akan meningkatkan produktifitas dan pendapatan riil.
Dampak selanjutnya terjadi peningkatkan tabungan masyarakat sehingga
memungkinkan terjadinya pertumbuhan. Sejalan dengan proses tersebut, kenaikan
pendapatan akan meningkatkan permintaan agregatif. Hal ini mendorong
kecenderungan melakukan investasi yang pada akhirnya menjadikan akumulasi
modal. Secara eksplisit, Nurske juga menjelaskan mengapa negara kecil yang
miskin tidak mendorong ekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif
(barang primer) dan mengimpor barang yang disebut dengan “balance diet”. Hal
ini disebabkan bahwa keseimbangan itu bersifat global, sehingga apabila
kebijakan perdagangan diterapkan secara umum akan terjadi kelebihan penawaran
dan yang pada akhirnya memperburuk term of trade.
Konsep big push theory dan balance growth, bukan tanpa kelemahan.
Permasalahan yang muncul, bahwa investasi dalam skala besar yang digunakan
untuk proses pembangunan harus tersedia pada waktu yang sama. Bagi negara
sedang berkembang, kondisi seperti itu sulit dipenuhi mengingat investasi
diperoleh dari tabungan masyarakat (dalam negeri) dimana tingkat pendapatan
masyarakat masih rendah, sehingga kemampuan menabung juga rendah. Langkah
yang ditempuh oleh negara sedang berkembang dengan mendatangkan modal dari
luar negri baik berupa investasi langsung atau berupa pinjaman. Tetapi
pengalaman empiris menunjukkan bahwa pengerahan dana dari luar negeri akan
mendatangkan masalah tersendiri dan sangat rumit.

7
Kritik lain dikemukakan oleh Little (1982) terhadap asumsi bahwa
perekonomian dapat mengimport barang untuk proses pembangunan dimana
dalam proses produksinya comparative advantage-nya kecil. Sedangkan
pengabaian kemungkinan terhadap pasar eksport menyebabkan lebih banyak
ketidakmerataan dalam pembangunan. Menurut Little, perencanaan pembangunan
harus mempertimbangkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran,
sehingga dapat dihindari beban suatu sektor yang ditimbulkan oleh sektor lain
dalam jangka pendek. Selain itu perusahaan yang ada harus tergolong dalam skala
cukup besar, untuk mendapatkan keuntungan dari economic of scale dalam
perekonomian terbuka.
Konsep yang mengarah pada kesimpulan yang sama dikemukakan oleh
Leibenstein (1957) dengan mengemukakan ide tentang “minimum critical effort”.
Mekanisme utama yang memungkinkan mempercepat pembangunan ekonomi
memerlukan supply tabungan tinggi yang menggambarkan share pendapatan
dihubungkan dengan tingkat pertumbuhan
Keberatan lain juga dikemukakan oleh Hirshman (1958), yang
mengemukakan : sangat tidak mungkin pada kenyataannya bagi negara sedang
berkembang untuk melakukan lompatan pada semua sektor secara simultan.
Pembangunan seharusnya dilihat sebagai suatu rangkaian yang disequilibrium
melalui mekanisme backward linkages dan forward linkages. Maka dikemukakan
teori Hirschman’s Unbalance Growth (HUG).
Konsep pemikiran HUG didasari oleh suatu kenyataan bahwa di negara
sedang berkembang sudah tersedia investasi (dalam skala kecil) dari masa lampau
yang terbatas pada sektor tertentu (biasanya dilakukan pada sektor yang sudah
agak maju). Akibatnya terjadi ketimpangan (unbalance) antar sektor.
Pembangunan (investasi) tetap dilaksanakan pada sektor yang agak maju, tetapi
hasil dari investasi tersebut semakin diprioritaskan pada sektor lainnya.
Hirschman juga mengemukakan adanya keterkaitan (linkage) antar sektor baik
melalui mekanisme :

8
1. Forward linkage, yaitu keterkaitan dengan industri tahap menyususul
(industri hilir)
2. Backward linkage, yaitu keterkaitan dengan industri tahap sebelumnya
(industri hulu).
Dengan mekanisme seperti itu ketimpangan (unbalance) akan dapat dikurangi
secara bertahap. Jadi strategi pembangunan tidak perlu dilaksanankan berimbang,
tetapi yang lebih penting menentukan secara selektif sasaran utama (prioritas) dari
tahap pembangunan.
Pertanyaan yang muncul apakah perdagangan internasional akan
memperngaruhi pertumbuhan negara sedang berkembang ?. Pertanyaan tersebut
dijawab oleh beberapa ahli dengan melakukan suatu studi empiris. Menurut
Roternberg (1987) mengemukakan bahwa kebijakan perdagangan internasional
dengan mendorong strategi promosi ekspor hanya akan berhasil meningkatkan
kemakmuran masyarakat (dalam jangka panjang) apabila sektor ekspor tersebut
merupakan sektor dominan dalam struktur ekonomi baik dalam pengertian nilai
tambah atau kesempatan kerja.
Jung Marshall (1985) melakukan pengujian hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dengan pertumbuhan ekspor. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 37
negara sedang berkembang, didapatkan 22 negara (60%) menunjukan data
ekonomi bahwa sektor ekspor secara statistik tidak mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Hal ini disebabkan, sektor ekspor yang didorong secara ekonomi tidak
efisien, karena produk ekspor tersebut sangat tergantung pada input yang diimport
dan diberi keringanan dengan subsidi. Akibatnya biaya ekonomi untuk devisa
untuk mendorong produk ekspor nontradisional lebih tinggi dari biaya ekonomi
devisa untuk sektor ekspor tradisional
Pendapat tersebut didukung oleh Staelin (1974) yang melakukan studi kasus
di India. Ia mengemukakan, dalam dua dekade dalam periode sekarang, biaya
ekonomi yang dipikul oleh perekonomian India untuk memperoleh devisa dari

9
kegiatan ekspor non-tradisional hampir dua kali lipat dari biaya ekonomi yang
diperlukan untuk memperoleh devisa dari kegiatan ekspor produk tradisional.
Dari beberapa hasil penelitian di atas, muncul pertanyaan apakah
implikasinya bagi strategi perdagangan internasional NSB ?. Pengembangan
industri yang berorientasi pada ekspor dapat menimbulkan misallocation of
resource yang memperburuk perekonomian negara seandainya tidak
memperhitungkan domestic resource cost yang berkaitan dengan sektor ekspor
yang dikembangkan.
B. “Closure rule” dan Two gab Model
Terminologi “closure rule” , menurut Sen (1963), menjelaskan mengenai
model pertumbuhan umum yang dispesifikasikan dalam model tertutup. Dua
bentuk closure akan tampak berbeda, walaupun secara matematis sama. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan cara pemecahannya atau mekanisme
penyesuaiannya. Pemilihan model yang paling baik sesuai dengan kriteria
complete dan consistent sebagai suatu persamaan.
Closure mempunyai hubungan yang erat dengan gab. Apabila suatu model
tidak memiliki pemecahan terhadap full employment, maka kemungkinan model
tersebut terdapat labor demand gab. Model yang sangat berpengaruh dalam
pembangungan ekonomi adalah Two Gab Model ( Little, 1960 ; Mc Kinnon,
1964, Williamson, 1983). Tujuan dari model ini, untuk mengetahui apakan
bantuan luar negeri dapat berperan dalam suatu perekonomian. Bantuan luar
negeri mempunyai peran yang jelas, yaitu (1) memungkinkan negara sedang
berkembang mengakumulasikan barang tanpa dibiayai dengan tabungan, (2)
bantuan luar negeri memungkinkan adanya transfer devisa pada neraca
pembayaran yang terbatas, sehingga memungkinkan melakukan import. Two Gab
Model dapat dijelaskan menggunakan variabel sebagai berikut :
Yo : kapasitas output g : tingkat pertumbuhan

10
E : permintaan eksport a : A/ Yo
A : bantuan LN e : E/ Yo
S : Propensity to save
u(v) : investasi – output ratio barang LN

Semua kuantitas absolut diukur dengan harga dalam negeri. Asumsi yang
digunakan, investasi hanya untuk import. Tingkat pertumbuhan (g) merupakan
target yang akan dicapai. Produksi dalam negeri dalam kondisi full employment.
Investasi merupakan kelebihan jumlah tabungan dalam negri dan luar negeri.
Sehingga :
(𝑢 − 𝑣 )𝑔 𝑌𝑜 ≤ 𝑠 𝑌𝑜 + 𝐴 (1)
dibagi dengan Yo
(𝑠+𝑎)
𝑔 ≤ (𝑢−𝑎) (2)

import tidak melebihi ekspor ditambah bantuan luar negeri


𝑣𝑔 𝑌𝑜 ≤ 𝐸 + 𝐴 (3)
dibagi dengan Yo, menghasilkan :
(𝑒+𝑎)
𝑔 ≤ (4)
𝑣

Pada persamaan (2) dan (4) terdapat 2 kendala independen terhadap tingkat
pertumbuhan, yaitu : tabungan dan balance of payment. Maka sesuai dengan
ketentuan terdapat saving gab dan foreign exchange gab.
Untuk mendapatkan nilai a dan g positif, dimana ekonomi tumbuh sama
dengan investasi dan equilibrium balance of payment, maka :
𝑠 𝑒
>𝑣 (5)
(𝑢+𝑣)

Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari tingkat pertumbuhan pada
persamaan (2) dan (4), berarti bantuan luar negri lebih efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada level yang rendah dan dapat
mengurangi foreign exchange gab. Sedangkan pada level yang lebih tinggi akan
meningkatkan augmented domestic saving.

11
Dengan mempertimbangkan kendala balance of payment, persamaan
(4), dimana nilai g rendah (yang diakibatkan nilai a rendah) maka pada full
employment capacity ada kecenderungan tabungan lebih besar dari investasi.
Pada kondisi ini, pemerintah terhadap neraca pembayaran, tidak memungkinkan
menciptakan permintaan efektif. Closure rule yang mungkin pada kasus ini
adalah mekanisme Keynesian Adjustment dimana income dalam negri turun
dibawah kapasita Yo sampai gab tidak ada, sehingga :

(u + v) g Y = s Y + A
vgY = E + A …………………………………… (6)
Joshi (1970) mempunyai keberatan terhadap dengan two-gab model dalam
konteks optimalisasi model, walaupun kesimpulannya sama. Menurutnya, model
tersebut memperlihatkan kekakuannya dibandingkan dengan kenyataannya. Harga
bukan merupakan variabel yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan. Dia
memberikan contoh, besarnya permintaan eksport mungkin berhubungan dengan
nilai tukar mata uang asing atau besarnya tabungan dalam jangka pendek. Apabila
tabungan dalam negeri meningkat, kenaikan nilai tukar dapat dilakukan dengan
biaya yang sama. Mekanisme ini akan meyebabkan harga dalam negeri
menyesuaikan diri (tidak kaku).
Tetapi model yang dikemukakan oleh Findlay (1971) berbeda.
Menurutnya, kekakuan dalam kasus di atas disebabkan ketidak mudah
bergeraknya “ikatan” eksport yang digunakan dalam perdagangan barang
investasi. Dengan propensity to save atas pendapatan tetap, maka bila kendala
eksport diikat tambahan tabungan tidak efektif dalam meningkatkan
pertumbuhan.

12
BAB II
TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1. Comparative Cost Theory


Teori comparative cost dan keuntungan perdagangan internasional secara
intensif dikemukakan dan dilakukan penelitian oleh Chenery (1961), Bhagwati
(1969) dan Meier (1969). Teori ini dimunculkan oleh David Ricardo (1817)
sebagai tanggapan atas teori Absolute Advantage dari Adam Smith. Pengertian
cost dalam teori ini adalah opportunity cost dalam produksi DN yang
didefinisikan sebagai technical production possibilities, yang disebut juga dengan
istilah technical transformation rate. Sedangkan pengertian opprtunity cost,
menurut Gottfried Haberler, adalah jumlah barang kedua yang harus dikorbankan
agar memperoleh sumber daya yang cukup untuk memproduksi tambahan 1 unit
barang pertama. Asumsi yang digunakan untuk memembahas teori comparative
advantage adalah :
(a) hanya terdapat 2 barang dan 2 negara,
(b) biaya produksi konstan
(c) pasar dalam kondisi persaingan sempurna
(d) tidak terdapat perubahan teknologi
(e) tidak terdapat biaya transportasi
(f) perdagangan bersifat bebas.

13
Terhadap teori ini, Anand dan Joshi (1979) menjelaskan bahwa
pengoptimalan nilai produksi DN pada harga internasional, sesuai dengan teori
comparative cost, menyebabkan perbedaan terhadap hasil (pendapatan) yang
diterima. Pekerja yang bekerja pada sektor unggulan akan menerima pendapatan
yang lebih besar dibandingkan pekerja pada sektor non-unggulan. Hal ini
menyebabkan terjadinya distorsi dalam distribusi pendapatan.
Keberatan terhadap teori ini disampaikan oleh Kemp (1964) dan Baldwin
(1986) yang mengemukakan bahwa teori comparatif advantage dalam konteks
perencanaan pembangunan dinilai terlalu statis. Padahal teori ini tergantung
mutlak pada struktur harga internasional, dan harga tersebut termasuk
“pembangunan” yang terus berkelanjutan (dinamis ). Selain itu teori ini gagal
menjelaskan perbedaan antara market intertemporal idealized dari general
equilibrium theori dengan perluasan sistem harga yang melekat pada pasar di
NSB.
Pengujian empiris terhadap teori comparative cost dilakukan oleh Mac
Daugall (1951, 1952) dengan melakukan penelitian pada industri-industri di
Amerika Serikat (AS) dan Inggris dengan menggunakan data tahun 1937. Hasil
yang diperoleh dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa industri yang
memiliki produktifitas tenaga kerja lebih tinggi di AS dibandingkan industri
Inggris adalah industri yang memiliki ratio ekspor AS terhadap Inggris yang lebih
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa AS lebih banyak mengekspor barang-barang
dari industri yang mempunyai produktifitas lebih tinggi (comparative advantage).
Hasil pengujian tersebut diperkuat oleh pengujian oleh Bela Ballsa dengan
menggunakan data tahun 1950 dan Stern dengan data tahun 1959.
Meskipun secara pengujian empiris teori ini sudah dapat dibuktikan
kebenarannya, tetapi terdapat beberapa kelemahan, yaitu ; (1) teori ini tidak
memberikan penjelasan mengenai terjadinya perbedaan produktivitas pada faktor
produksi dan keunggulan komparatif antar negera. (2) tidak memberikan

14
penjelasan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap faktor
produksi.
2. Hecksher – Ohlin Theory ( HO )
Kelemahan dalam teori comparative cost, disempurnakan oleh Eli Hecksher
dan Bertil Ohlin yang kemudian dikenal dengan Teori Hecksher-Ohlin (HO) atau
Factor Proportion Factor. Teori ini menjelaskan sebab-sebab munculnya
keunggulan komparatif suatu negara dan dampak perdagangan internasional
terhadap pendapatan faktor produksi. Menurut teori ini, perdagangan
internasional timbul karena adanya perbedaan comparative advantage antara
negara satu dengan lainnya. Munculnya perbedaan comparative advantage
dipengaruhi oleh kelimpahan relatif faktor produksi ( factor abudance ) dan
intensitas relatif penggunaan faktor-faktor produksi (factor intensity). Untuk
mendefinisikan kelimpahan faktor produksi, ada 2 cara, yaitu : (1) mendasarkan
pada jumlah unit faktor produksi, (2) atas dasar harga-harga relatif faktor
produksi. Sedangkan yang dimaksud dengan intensitas faktor produksi adalah
faktor produksi (bahan) yang digunakan untuk membuat suatu barang adalah
sama, tetapi intensitasnya (jumlahnya) berbeda antara negara satu dengan negara
lainnya. Perbedaan intensitas tersebut disebabkan oleh endowment factor.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori ini sebagai berikut :
(a) hanya terdapat 2 barang dan 2 negara
(b) tingkat teknologi sama
(c) komoditi-1 padat modal/karya sedangkan komoditi-2 padat karya/ modal
(d) constant return to scale
(e) spesialisasi pada satu komoditi
(f) preferensi konsumen sama
(g) mobilitas faktor produksi sempurna.
Pengujian empiris terhadap teori ini dilakukan oleh Leontief (1954) dengan
data perekonomian AS pada tahun 1947. Dari hasil pengujian diperoleh, bahwa
substitusi import hanya 30% lebih padat modal dibandingkan ekspornya. Hal ini

15
berarti AS cenderung mengekspor produk padat tenaga kerja dan mengimpor
produk padat modal. Kesimpulan yang diperoleh bertentangan dengan teori H-O,
sehingga dikenal dengan istilah paradoks leontief. Tetapi, munculnya paradoks
tersebut menurut beberapa ekonom dikarenakan keterbatasan metodologi dan
kelemahan analisa. Selain ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya
paradoks tersebut, yaitu ;
(1) tahun 1947 bukan merupakan profil yang tepat pada perdagangan AS,
karena adanya PD-II
(2) model yang digunakan leontief hanya 2 faktor dan tidak mencerminkan
gambaran perdagangan sebenarnya
(3) pemerintah AS mengenakan proteksi tariff yang tinggi.
Deardorff (1980, 1982) menganalisa prediksi dengan model H-O yang hasilnya
tidak sesuai dengan model dasar sederhana. Dia mencoba menguji rumusan ide
tentang hubungan antara content factor dari barang ; endowment factor dari suatu
negara dan pola perdagangan. Hasil pengujiannya diperoleh kesimpulan bahwa
hubungan tersebut tidak sesuai dengan kondisi di NSB. Artinya, pembuatan
barang-barang untuk tujuan ekspor di NSB tidak banyak menggunakan input-
input (constant factor) yang banyak terdapat di NSB (endowment factor)
Salah satu asumsi dalam model H-O adalah undistorted economy dalam
perekonomian suatu negara. Dalam kenyataanya banyak negara mengenakan
tariff sebagai proteksi industri DN. Menurut Travis (1972), adanya tariff tersebut
justru menyebabkan perbedaan penting dalam aliran perdagangan dan
perekonomian menjadi distorted.
Model yang lebih relevan dalam hal factor price equalization dalam kasus
NSB adalah model Rybszynski (1955). Ide model ini didasarkan pada ekspansi
supply factor yang dihubungkan dengan perluasan sektor yang menggunakan
faktor tersebut . Apabila terjadi kenaikan supply tenaga kerja (factor) maka
konsekuensinya terjadi perubahan produksi lebih besar pada sektor tersebut dan

16
intensitas tenaga kerja pada tingkat nasional meningkat. Variabel yang digunakan
dalam model ini :
P : harga barang
A : matrik faktor requirement unit produksi
X : vector produksi
F : vector dari domestic supply
Produksi akan mencapai optimal :
Max X  P . X subject to A . X <+ F
A.X=F
Maka, shadow price tenaga kerja :
P. A –1 . u L …………………………………………. (7)
Sesuai dengan model ini, kenaikan supply tenaga kerja pasti menyebabkan
kenaikan produksi lebih besar dari intensitas kenaikan tenaga kerja. Apabila harga
DN tidak berubah dan foreign trade meningkat, perubahan produksi DN
menyebabkan kenaikan export yang sama dengan intensitas tenaga kerja.
3. Teori Perdagangan Internasional Baru
Teori perdagangan internasional telah berkembang pesat akhir-akhir ini, dan telah
banyak model yang berbeda-beda dapat menjelaskan teori baru tersebut. Krugman
(1989) mengemukan suatu teori : bahwa proteksi import merupakan promosi ekspor.
Mekanisme pemikirannya sebagai berikut : terdapat 2 perusahaan, masing-masing
sebagai produksen penjual di pasar dalam negeri. Marginal cost (MC) tiap
perusahaan turun sejalan dengan produksinya. Apabila pemerintah melakukan
intervensi dengan membatasi/ melarang import, maka perusahaan tersebut akan
mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri dengan membagi pasar sehingga produksi
akan naik dan MC turun. Dengan adanya intervensi tersebut, perusahaan luar negeri
hanya dapat menjual barang dalam jumlah sedikit dan MC perusahaan luar negeri
naik. Jadi dengan pemberlakuan intervensi berupa proteksi dengan membatasi import
akan menyebabkan penjualan meningkat.

17
Pada kenyataannya, pengaruh terhadap konsumen dalam negeri sangat
ambigius. Penghilangan persaingan dari perusahaan luar negeri akan menyebabkan
harga barang meningkat (merugikan konsumen), tetapi penurunan MC perusahaan
dalam negeri menguntungkan bagi produksen.

BAB III
PERDAGANGAN DAN PERTUMBUHAN

PENDAHULUAN
Dalam pelbagai litelatur ekonomi banyak dijumpai definisi mengenai
pertumbuhan yang berbeda-beda antar ekonom. Menurut Johnson (1955)
pertumbuhan diartikan sebagai ekspansi yang menyebabkan kenaikan production
possibility frontier atau faktor availability. Dalam steady state model, perbedaan yang
menonjol terlihat antara produktivitas dan besarnya kegiatan ekonomi dalam jangka
panjang, yaitu sebagai faktor eksogen atau sebagai faktor endogen. Sedangkan dalam
model Solow-Swan, tingkat pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh
pertumbuhan supply tenaga kerja dan tingkat perubahan teknologi.
Menurut Coves (1965), hubungan antara perdagangan dan pertumbuhan dapat
dilihat dalam model vent for surplus. Konsep model ini sebagai berikut : suatu negara
memiliki faktor endowment yang masing-masing berbeda. Dalam model
perekonomian tertutup (tidak ada perdagangan internasional) pangsa pasar produk
terbatas di dalam negeri. Akibatnya banyak faktor produksi yang tidak digunakan
karena permintaan sedikit, sehingga terdapat surplus faktor produksi. Kemudian
terjadi perdagangan internasional (perekonomian terbuka) sehingga pangsa pasar

18
menjadi luas (eksport) dan permintaan meningkat. Sehingga surplus faktor produksi
yang dulunya “menganggur” digunakan untuk meningkatkan produksi . Jadi adanya
perdagangan internasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Penjelasan lain tentang perdagangan dan pertumbuhan dikemukakan oleh
Findlay dengan menggunakan Model von Newman . Analisa model ini mempunyai
hubungan yang erat dengan model dari Deardorff (1973) yang menjelaskan bahwa
fungsi tabungan adalah sama dan dampak dari perekonomian terbuka terhadap
perdagangan akan meningkatkan tingkat akumulasi modal melalui surplus investasi.
Dalam model von Newman dijelaskan, bahwa kondisi negara memiliki perekonomian
kecil dan aktivitas kegiatan ekonomi linier. Variabel yang digunakan untuk
menjelaskan model tersebut :
P : harga internasional
A : input faktor produksi
B : output faktor produksi
A dan B : mencerminkan kemungkinan produksi domestik sektor formal
x : aktivitas kegiatan ekonomi.
Sehingga input requirement : A . x dan output requirement : B . x . Kemudian
variabel-variabel tersebut diaplikasikan dalam suatu model pembangunan yang
menunjukkan tingkat pertumbuhan Steady-State maksimal g* untuk beberapa
aktivitas x* dalam perekonomian tertutup sebagai berikut :
A.x* ( 1 + g* ) <= B. x* ………………………. (8)
Dalam perekonomian terbuka dimana terdapat perdagangan internasional, variabel
harga akan terpengaruh oleh harga internasional. Pengaruh terhadap harga sama
dengan tambahan aktivitas secara linier yang tercermin pada A dan B.
Effect dari perdangan internasional terhadap pembangunan dalam model von
Newman dapat disimpulkan :
1. g* dapat ditingkatkan menjadi maksimum dan tambahan pada variabel A
dan B tidak mensyaratkan solusi untuk mencapai tingkat maksimum

19
2. The turnpike result akan diaplikasikan untuk memperbaiki sistem dan
efisiensi pertumbuhan . Perdagangan internasional dapat meningkatkan
tingkat pertumbuhan steady-state dalam sektor formal.
Perdagangan internasional dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan dalam steady-
state dalam sektor formal, sedangkan diluar steady-state perdagangan internasional
mungkin meningkatkan tingkat pertumbuhan yang diukur dengan capital stock.
Seperti model lainnya, model von Newman ini bukan tanpa kelemahan yang dapat
berkembang menjadi masalah serius. Kelemahan tersebut tampak dalam hal :
1. Dalam memaksimalkan tingkat pertumbuhan, model mengabaikan
pertimbangan penting yaitu kreativitas tenaga kerja.
2. Tingkat tabungan yang memasukkan surplus supply cost of labour dinilai
tidak realistis
3. Model juga mengabaikan faktor produksi lain seperti tanah dan sumber
non-produkstif lainnya
4. Teknologi dalam model von Newman mencerminkan diseconomis dan
menolak adanya eksternalitas dalam ekonomi
5. Model mengasumsikan bahwa sektor formal direncanakan

Kebijakan Untuk Mempengaruhi “Terms of Trade”


Negara sedang berkembang secara umum tidak dapat memperluas produksi
produk primer tanpa menderita kerugian dalam perdagangan internasional.
Kesimpulan bahwa terms of trade akan turun seculary terhadap produksi produk
primer harus dibedakan dari kesimpulan pada North-South Model ( Chichilinsky -
1980,1981). Dalam paper pertamanya disebutkan : transfer dari negara maju ke
negara miskin, disebabkan beberapa pergerakan (perubahan) dalam term of trade
yang membuat negara menerima dampak buruk (transfer paradox). Sedangkan dalam
paper kedua dijelaskan : kenaikan kurva demand dalam eksport model North-South
mungkin menyebabkan hal yang lebih buruk dalam term of trade.

20
Terdapat perbedaan mendasar antara peningkatan dalam rata-rata term of
trade yang disetujui di NSB dan pengurangan fluktuasi dalam terms of trade.
Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan variabel stabilisasi dan peningkatan term
of trade. Corden (1984) mengemukakan, peningkatan term of trade dapat dilakukan
dengan :
1. Optimum tariff
Permasalah yang muncul : (a) tindakan pembalasan dari negara lain yang
dikenakan tariff ; (b) meningkatkan elastisitas harga permintaan jangka
panjang; (c) pengikisan market share, sehingga mengganggu usaha
mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek.
2. Control terhadap produksi
Usaha ini melibatkan banyak perusahaan. Apabila produksi tidak diawasi
dan harga barang meningkat, akan menyebabkan terjadinya konflik
kepentingan antara konsorsium dengan kepentingan individu dalam
kelompok. Hal ini menyebabkan munculnya free rider dan terjadinya over
supply.
Kebijakan yang mungkin di implementasikan untuk mempengaruhi term of
trade di NSB dengan menggunakan commodity price stabilitation. Messell (1970),
menggunakan simple partial equilibrium model dengan supply dan demand untuk
menjelaskan optimal price stabilitation bagi produsen. Model tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Notasi demand : b – c. p dan notasi supply :  +  . p1 – z . 
Dimana : z : variabel random dengan nilai 1 atau –1 dengan probabilitas 0,5
Harga tanpa intervensi dari pemerintah :
[ (b - ) - z .  ] / c +  ……………………………. (9)
Asumsi marginal propensity to income adalah konstan ( =1). Dengan menggunakan
Roy’s identity, maka fungsi harga :
a – b . p + 0,5 c . p2 …………………………… (10)

21
Persamaan (9) dan (10) disubstitusikan, sehingga menjadi :
a – b [[ (b - ) - z .  ] / c + ] + 0,5 c . [ [(b - ) - z .  ] / c + ] 2 (11)
Maka harga dengan intervensi dari pemerintah :
P = (b - ) / c +  ……………………………
(12)
Optimalisasi produksen dapat dilihat pada laba perusahaan. Fungsi laba :
 + (  + z .  ) p + 0,5 p2 ……………………………
(13)
Nilai laba tanpa stabilisasi :
 + (  + z .  ) . [[ (b - ) - z .  ] / c + ] + 0,5  . [[ (b - ) - z .  ] / c + ] 2 (14)
Nilai laba dengan stabilisasi :
 +  . [(b - ) / c + ] + 0,5  [(b - ) / c + ] 2 ………………. (15)
Perbedaan antara laba yang diharapkan tanpa stabilisasi dan dengan stabilisasi dapat
dilihat dari ketentuan :
 2 [ { / (c + ) 2 } – 2 (c + )] ……………………………. (16)
Apabila nilainya negatif, maka produksen mengalami kerugian pada saat fluktuasi
dan mengalami keuntungan pada saan stabilisasi. Hal ini juga berarti, jika fluktuasi
berasal dari demand side, konsumen mendapatkan keuntungan dari stabilisasi,
sebaliknya produksen mengalami kerugian.
Efektivitas Kebijakan Proteksi Tariff
Untuk melindungi industri dalam negeri (infant industry) terhadap persaingan
dari industri luar negeri yang sejenis , NSB biasanya menerapkan Kebijakan Proteksi.
Kebijakan tersebut dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : (1) Tariff Barrier, yaitu proteksi
yang dilakuka oleh suatu negara dengan mengenakan tariff tertentu ( ad valerum atau
ad specific ) pada suatu barang, (2) Non-tariff Barrier, yaitu kebijakan proteksi yang
dilakukan oleh suatu negara selain berupa tariff, misalnya : quota, subsidi import,
dsb.

22
Salah satu cara untuk mengevaluasi proteksi dengan menggunakan effective
protection rate (EPR) yang didefinisikan sebagai tambahan value added domestk
(termasuk input aktivitas ekonomi) sebagai proporsi dari value added harga
internasional. Pengaruh proteksi tariff terhadap aktifitas ekonomi menyebabkan
harga domestik berubah menjadi lebih tinggi dari value added aktivitas ekonomi. Hal
ini dimaksudkan untuk mendorong dampak yang lebih besar pada kanaikan produksi
atau hambatan dari aktivitas ekonomi tersebut. Pada kenyataannya dampak buruk
berupa hambatan dalam aktivitas ekonomi lebih besar. Dengan menggunakan EPR
diharapakan dapat mengukur tambahan “resources” yang akan digunakan untuk
mendorong aktivitas ekonomi yang telah ditentukan.
EPR juga didesain untuk mengukur effek tariff terhadap aktivitas ekonomi,
tetapi beberapa aktivitas tidak masuk dalam fungsi kesejahteraan (welfare function)
walaupun keuntungan yang ditimbulkan dimasukkan. Kesepakatan ini mengalami
kesulitan dalam cara memberikan intepretasi kesejahteraan dengan tepat dari
pengukuran EPR.
Menurut Bhagwati dan Srinivasan (1978, 1979) EPR dapat digunakan untuk
mengukur domestic resources cost yang ditentukan oleh struktur tariff dalam nilai
produksi domestik di pasar harga internasional. Domectic resources cost dari suatu
aktivitas merupakan nilai shadow price, yaitu biaya oportunity sosial dari resources
yang digunakan dalam aktivitas untuk mengahasilkan 1 unit nilai tambah
internasional.
Corden (1984) menjelaskan hubungan antara biaya proteksi dengan kegiatan
ekonomi, dalam konteks kerugian nilai pada harga internasional. Dari hasil
penelitiannya dapat diestimasikan dengan menggunakan indikator efektifitas proteksi,
yaitu perbedaan antara ERP kegiatan ekonomi satu dengan yang lainya.
Bhagwati dan Desai (1970) membahas tentang distorsi dalam system lisensi
import. Perusahaan bersikap rasional akan menginvestasikan modalnya pada bidang
usaha yang diyakini bahwa penambahan kapasitas produksi akan membantu
memperoleh nilai lisensi import yang tinggi, contohnya : rent-seeking yang

23
dihadapikan pada nilai resources dimasukkan pada penentuan “rent” yang
ditimbulkan oleh proteksi atau intervensi yang lain. Hal yang paling nyata bahwa
rent-seeking mungkin menaikkan secara besar biaya proteksi dan biaya intervensi
lainnya. ( dalam Kruger’s Model ).
Dengan adanya perdagangan internasional dimungkinkan terjadinya perluasan
kemungkinan produksi dalam negeri dari sektor publik. Sektor ini dapat efisien jika
sektor dapat memaksimalkan nilai produksinya pada harga internasional. Menurut
Diamond dan Mirralees (1971), optimalisasi harga internasional merupakan relatif
shadow price untuk keputusan produksi sektor publik. Shadow price mendorong
produksi set pada tingkat optimal dan sebagai pertukaran pada harga internasional
relatif.
Little dan Mirralees (1979), Joshi (1972), Dasgupta-Stiglits (1974)
menjelaskan bahwa shadow price untuk perdagangan tidak ditentukan dalam angka,
tetapi dalam unit dimana serial cost benefit accounting dihitung. Dalam perdagangan
barang shadow price proporsional terhadap harga internasional. Kritik terhadap
shadow price dikemukakan oleh Stewart-Streeten (1972) yang menyoroti
permasalahan :
(1) validity dari penggunaan harga internasional sebagai shadow price.
(2) bagaimana shadow price untuk perdagangan jasa harus dihitung.
Liberalisasi Perdagangan
Sistem perdagangan internasional telah lama menjadi bahan perbincangan
diantara ekonom. Perbincangan tersebut menyeangkut pendekatan mana yang sesuai
digunakan untuk memformulasikan tata perdagangan internasional sehingga
menimbulkan manfaat yang signifikan baik negara maju atau NSB.
Pendekatan Neo-Klassik mengemukakan bahwa perdagangan internasional
yang bebas, dimana setiap negara melakukan spesialisasi pada barang yang
mempunyai keunggulan komparatif, akan menimbulkan kemakmuran yang relatif
optimal. Dalam perdagangan internsional yang bebas diharapkan akan muncul :

24
1. Perdagangan bebas tanpa proteksi akan menghindari kondisi X-
inefficiency dalam proses produksi, yaitu inefisiensi yang ditimbulkan
karena produksen “bersikap manja” dengan adanya proteksi dari
pemerintah. Dengan tanpa proteksi, produksen dituntut untuk melakukan
alokasi sumber ekonomi secara efisien.
2. Mampu menghindarkan atau meminimumkan ketidakstabilan
perekonomian makro.
3. Perdagangan bebas yang mampu mendorong terjadinya economic of scale
sehingga barang makin kompetitif di pasar internasional.
Usaha-usaha untuk menghilangkan hambatan tersebut memunculkan adanya
GATT (general equilibrium on tariff and trade), yaitu persetujuan negara-negara
untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional yang berupa tariff.
Dalam GATT terdapat 3 prinsip, yaitu :
1. Most fafoured nation (MFN), yaitu bila suatu negara memberi perlakukan
instimewa kepada satu partner dagangnya, maka negara tersebut harus
memberikan hal yang sama kepada negara lain.
2. Reprocity, yaitu penurunan atau penghapusan tariff oleh suatu negara
terhadap negara lain harus dirundingkan terlebih dahulu.
3. Non-discrimination, yaitu setiap barang yang masuk suatu negara (barang
impoet) diperlakukan sama dengan barang domestik.
Tetapi dalam pelaksanaanya, GATT mengalami banyak penyimpangan yang
dilakukan oleh negara pesertanya (dengan argumennya sendiri) serta tidak konsisten.
Kecenderungan pengurangan hambatan juga tampak dalam proses globalisasi
perekonomian dunia dengan munculnya blok-blok perdagangan, misal : AFTA (asean
free trade area), NAFTA ( north american free trade area), EC (european
community). Didalam blok perdagangan tersebut, hambatan perdagangan baik berupa
tariff atau non-tariff disetui untuk dihilangkan. Dalam pelaksanaanya dilakukan
secara bertahap, untuk kasus AFTA dikenal dengan Fast track dan Normal track.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, blok-blok perdagangan tersebut

25
membentuk kawasan regional bersama dimana hambatan dalam perdagangan
dihilangkan (secara bertahap), misal : APEC. Munculnya blok perdagangan
mempunyai dampak :
1. Trade creating effect, yaitu dampak positif bagi suatu negara yang ikut
dalam blok perdagangan
2. Trade deverting effect, yaitu dampak negatif dengan adanya blok
perdagangan (bagi negara yang tidak ikut dalam blok perdagangan).

BAB IV
NERACA PEMBAYARAN DAN
NERACA TRANSAKSI BERJALAN

PENDAHULUAN

Adanya keterbukaan perekonomian memiliki dampak pada neraca


pembayaran suatu negara yang menyangkut arus perdagangan dan lalu lintas modal.
Arus perdagangan dapat dipengaruhi oleh kebijakan nilai tukar dalam upaya untuk
menjaga daya saing ekspor dan menekan impor untuk mengurangi defisit transaksi
berjalan. Pengaruh kebijakan nilai tukar terhadap perekonomian berjalan melalui dua
sisi, yaitu permintaan dan penawaran.

Pada sisi permintaan, depresiasi nilai tukar akan menyebakan harga barang
luar negeri relatif lebih tinggi dibandingkan harga barang dalam negeri. Hal tersebut
akan berdampak pada peningkatan permintaan terhadap barang dalam negeri, baik
dari permintaan domestik maupun dari permintaan luar negeri (ekspor meningkat).
Analisis sisi permintaan ini diperkaya dengan konsep elastisitas harga Marshall-
Lerner Condition, dimana depresiasi nilai tukar akan meningkatkan ekspor netto
apabila jumlah elastisitas harga ekspor dan impor lebih besar dari satu.

26
Sedangkan dari sisi penawaran, depresiasi nilai tukar akan meningkatkan
biaya bahan baku impor yang selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output
produksi dan akan memicu kenaikan harga secara umum ( inflasi ). Interaksi antara
sisi permintaan dan sisi penawaran secara langsung akan mempengaruhi arus
perdagangan internasional, yang dalam indikator makro tercermin pada neraca
perdagangan ( ballance of trade ).
Dengan mengamati perkembangan kinerja perdagangan internasional
Indonesia selama ini, terlihat bahwa nilai tukar masih digunakan sebagai alat oleh
otoritas moneter untuk mendorong ekspor (Waluyo dan Siswanto, 1998). Devaluasi
di Indonesia pada saat menganut sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate )
semula dilakukan untuk meningkatkan daya saing ekspor yang selanjutnya dapat
menanggulangi defisit neraca traksaksi bejalan. Setelah beberapa kali dilakukan,
kebijakan devaluasi tidak signifikan meningkatkan ekspor. Hal tersebut dikarenakan
kenaikan penerimaan ekspor yang cukup berarti, khususnya dari sektor non-migas
menjadi terkikis karena cepatnya penyesuaian harga domestik akibat terlalu
rendahnya nilai rupiah terhadap Dollar AS.
Sebenarnya cukup jelas arahnya bahwa kebijakan devaluasi atau depresiasi,
menurut teori ekonomi internasional dan sejumlah studi empiris, menunjukkan bahwa
kebijakan tersebut ditujukan untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan suatu
negara. Sebagaimana disampaikan oleh Adelman (1999), bahwa apresiasi mata uang
domestik akan menurunkan daya saing ekspor dan pada gilirannya akan menambah
defisit transaksi berjalan, demikian pula sebaliknya.
Tabel 1.1
Perkembanngan Nilai Neraca Transaksi Berjalan dan
Kurs Rupiah Terhadap Dollar AS

Neraca Transaksi Kurs IDR terhadap


Tahun Bulan Berjalan USD
( juta USD )
2004 Maret -1992 8587
Juni 973 9415
September 2038 9170
Desember 544 9290

27
2005 Maret 209 9480
Juni 436 9713
September -1165 10310
Desember 797 9830
2006 Maret 2804 9075
Juni 1717 9300
September 3524 9235
Desember 1891 9020
2007 Maret 3020 9118
Juni 2460 9054
September 2899 9137

Sumber : Bank Indonesia.

Grafik 1.1.
Perkembangan Nilai Neraca Transaksi Berjalan (juta USD)

4000
3000
2000

juta USD 1000


0
-1000
-2000
Jun.

Jun.

Jun.

Jun.
Mar.

Dec.
Mar.

Dec.
Mar.

Dec.
Mar.
Sep.

Sep.

Sep.

Sep.

tahun 2004-2007

Grafik 1.2.
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS

28
12000

10000

8000

6000

4000

2000

Nov.
Jun.

Jun.

Jun.

Jun.
Mar.

Sep.
Dec.
Mar.

Sep.
Dec.
Mar.

Sep.
Dec.
Mar.

Sep.
2004 2005 2006 2007

Namun demikian, studi empiris yang dilakukan oleh Leonars dan Stockman
(2001) menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara nilai tukar, transaksi
berjalan dan gross domestic product (GDP) riil. Sependapat dengan itu, menurut
Rajan (2003) bahwa depresiasi dan apresiasi mata uang bukan cara efektif untuk
mengkoreksi ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan.
Pertentangan antara kedua kajian di atas membawa kepada isu yang menarik
dan perlu dilakukan studi bagaimana dampak sebenarnya dari fluktuasi (depresiasi
dan aprediasi) mata uang rupiah terhadap perubahan neraca transaksi berjalan
Indonesia.
Neraca Pembayaran dan Neraca Transaksi Berjalan.
Neraca pembayaran dapat didefinisikan sebagai sebuah catatan yang
sistematis tentang semua transaksi ekonomi antar negara dalam suatu periode
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan transaksi ekonomi adalah nilai dari suatu
aktifitas pertukaran yang melibatkan transfer pemilik barang atau jasa dan pemilik
auang atau asset. Hal yang harus ditekankan, bahwa transaksi ekonomi tersebut
haruslah transaksi ekonomi yang bersifat internasional yang melibatkan hubungan
antar negara.
Stuktur neraca pembayaran menurut IMF (International Monetary Fund)
memiliki komposisi sebagai berikut :
1. Current Account

29
Terdiri dari transfer barang dan jasa (baik ekspor maupun impor) dan
unilateral transfer. Dalam konteks Indonesia, current account merupakan
rekening neraca transaksi berjalan, yang merupakan nilai netto aktifitas ekspor
dan impor barang atau jasa serta unilateral transfer.
2. Capital Account
Meliputi semua transfer financial kecuali unilateral tranfer. Sub account dari
elemen ini adalah long term capital dan short term capital.
3. Official Reserve Account
Mencatat transfer financial dari otoritas moneter suatu negara. Sub Account
ini ditujukan untuk mempengaruhi nilai tukar suatu negara melalui intervensi
otoritas moneter pada kasus floating exchange rate system. Sedangkan pada
suatu kasus dimana sistem moneter internasionalnya fixed exchange rate
system, account ini ditujukan untuk kompensasi penyesuaian nilai tukar
domestik terhadap nilai tukar pasar (compensatory compensation).

4. Error and Omissions


Sub Account ini merupakan pos penyesuaian terhadap transaksi-transaksi
yang tidak mampu terdeteksi dalam kurun waktu yang dimiliki oleh laporan
neraca pembayaran (1 tahun).
2. Analisis Neraca Transaksi Berjalan
Analisis neraca transaksi berjalan lebih menekankan pada aktifitas ekspor dan
impor. Dalam kajian teori, analisis neraca perdagangan dapat dijelaskan melalui
pendekatan elastisitas dan pendekatan Absorbsi.
2.1. Pendekatan elastisitas
Konsep analisis ini menekankan pada peranan penting analisis tentang
aktivitas ekspor dan impor dalam memahami neraca pembayaran. Pendekatan ini
memberi tekanan pada konsep neraca perdagangan sebagai perbedaan antara ekspor

30
dan impor. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan dampak devaluasi (fluktuasi
nilai tukar) melalui pembedaan bagaimana dan bagaimana perubahan nilai tukar
tersebut akan mempengaruhi nilai tukar berpengaruh pada terms of trade, dan
bagaimana perubahan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi ekspor dan impor.
Dengan demikian pendekatan elastisitas sangat erat kaitannya dengan konsep
Marshall-Lerner Condition.
Marshall-lerner Condition menyatakan bahwa tingkat stabilitas pasar valuta
asing sangat tergantung pada elastisitas harga permintaan untuk barang impor dan
permintaan barang untuk ekspor. Apabila jumlah elastisitas keduanya lebih besar dari
1 (satu) maka pasar valuta asing bersifat stabil. Pasar valuta asing dikatakan tidak
stabil bila jumlah elastisitas keduanya kurang dari satu, sedangkan bila jumlah
elastisitasnya sama dengan 1 (satu) maka dikatakan pasar valuta asing tidak banyak
berperan sebagai faktor perubah neraca pembayaran. (Salvatore, 1994).
Dengan demikian, berdasarkan kondisi Marshall-Lerner, fluktuasi nilai tukar
baik dalam bentuk apreisiasi maupun depresiasi, akan bermanfaat untuk
mempengaruhi neraca transaksi berjalan apabila jumlah elastisitas permintaan untuk
barang ekspor dan impor lebih besar dari pada 1 (satu). Namun demikian, angka
elastisitas bukan merupakan faktor penentu satu-satunya. Skala produksi suatu negara
dalam perdagangan internasional juga menentukan. Apabila negara tersebut memiliki
skala produksi yang besar sehingga pasar internasional dipengaruhinya, maka
fluktuasi nilai tukar akan berpengaruh pada perekonomian negara tersebut.
Sebaliknya bagi suatu negara yang skala produksinya relatif kecil di perdagangan
internasional, maka kebijakan perubahan nilai tukar hanya akan merubah nilai barang
secara absolute. Dampak bagi negara kecil tersebut, apabila melakukan devaluasi
hanyalah terjadi peningkatan penerimaan ekspor, namun juga disertai peningkatan
pengeluaran untuk impor.
2.2. Pendekatan Absorbsi.
Pendekatan ini lebih memberikan tekanan pada dampak devaluasi (perubahan
nilai tukar) terhadap neraca transaski berjalan yang didefinikan sebagai perbedaan

31
antara pendapatan (Y) dengan absorbsi (A). Dalam konsepnya, devaluasi memiliki
kecenderungan untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan hanya apabila devaluasi
tersebut mampu mengurangi tingkat pengeluaran relatif terhadap pendapatan. Dari
hubungan identitas pendapatan nasional diperloleh persamaan :
Y=C+I+X–M
Dimana : Y : pendapatan nasional X : ekspor
C : konsumsi M : impor
I : investasi
Sedangkan absorbsi ( A ) domestik diformulasikan :
A=C+I
Dengan melakukan substitusi antara dua persamaan tersebut diperoleh :
Y–A = X–M
Persamaan tersebut dapat ditafsirkan apabila tingkat absorbsi lebih besar dari
pada tingkat pendapatan, sehingga perbedaan antara keduanya harus ditutupi dengan
impor, maka neraca transaksi berjalan akan defisit.
Disisi lain, absorbsi dapat juga dikaitkan dengan penggunaan keseimbangan
saving-investment atau leankage-injection.
S + M = X + I atau S – I = X - M
Dimana : S : tabungan
Apabila tabungan domestik tidak mencukupi untuk kebutuhan investasi, maka
perlu untuk mengimpor tabungan dari luar negeri yang berupa investasi asing (If)
dimana :
If = X- M
Dari kelima persamaan di atas, dapat dibuat sebuah persahaan tunggal :
X – M = S – I = Y – A = If
Jadi apabila pendapatan suatu negara lebih kecil dari tingkat absorbsinya, maka
investasi akan lebih besar daripada tabungan, dan membawa konsekuensi terjadinya
defisit neraca transaksi berjalan. Sehingga diperlukan pembiayaan yang berasal dari
investasi asing dalam bentuk aliran modal ke dalam negeri (capital inflow).

32
2.3. Pendekatan Moneter
Pendekatan moneter terhadap neraca pembayaran (Monetary Approach
Ballance of Payment) secara umum menyatakan bahwa neraca transaksi berjalan dan
tingkat cadangan internasional dapat dijelaskan melalui analisis pasar uang. Dalam
pendekatan ini terdapat dua versi, yaitu Equilibrium Monetary Approach Ballance of
Payement (EMABP) dan Dis-equilibrium Monetary Approach Ballance of
Payment.(DMABP). ( Miller, 1978).
EMABP meyatakan bawa pasar uang memiliki bentuk model flow, dan pasar
uang diasumsikan bersifat stabil. Dalam suatu perekonomian negara yang relatif
kecil, yang dianggap tidak terdapat pertumbuhan ekonomi dan tingkat harga serta
tingkat bunga relatif tetap terhadap besaran internasional, maka rasio antara
perubahan cadangan internasional dengan perubahan asset domestik dari pada bank
sentral sama dengan – 1 (negatif satu).
Versi DMABP secara pasti menyatakan bahwa persamaan pasar uang bersifat
flow dan memandang pasar uang sebagai pasar yang berada pada posisi tidak
seimbang. Ketidakseimbangan tersebut dapat bersumber dari ketidakseimbangan
permintaan pada pasar barang dalam bentuk terjadinya exess demand, dan
ketidakseimbangan yang berasal dari kendala anggaran yang dihadapi dalam suatu
perekonomian. Ada beberapa asumsi dalam versi DMABP ini, yaitu :
a. Penawaran domestik dianggap sebagai exess supply dalam pasar barang
domestik.
b. Pemerintah tidak memiliki penerimaan maupun pengeluaran.
c. Komponen asing untuk permintaan adalah neraca perdagangan dan aliran
modal netto.
d. Uang domestik hanya dipegang oleh penduduk domestik.
e. Tidak terdapat uang asing yang dipegang penduduk, sehingga permintaan
netto atas uang asing sama dengan 0 (nol).
2.4. Pendekatan Global Monetary Approach Ballance of Payment (GMABP)

33
Ada dua elemen penting dalam GMABP, yaitu pertama digunakannya
pemikiran mazhab monetaris dalam analisis neraca transaksi berjalan disequilibrium
yang lebih menekankan pada penawaran dan permintaan uang. Kedua, GMABP
menempatkan asumsi terintegrasinya perekonomian dunia, terutama pada pasar
komoditi.
Mazhab monetaris global beranggapan bahwa komoditi-komoditi yang
dihasilkan oleh negara yang berbeda-beda tetap memiliki sifat subtitusi, sehingga
dalam perdagangan bebas pertukan akan mengacu pada hukum satu harga (the law of
one price). Terdapat tiga hal penting mengenai pandangan mazhab ini :
1. Adanya asumsi substitusi sempurna di pasar barang dunia sehingga
memungkinkan digunakannya konsep Purchasing Power Parity (PPP).
2. Elemen moneteris yang baku membawa konsekuensi pada proposionalnya
perubahan yang terjadi pada jumlah uang beredar dan tingkat harga.
3. Dalam kondisi nilai tukar tetap, penawaran uang domestik memiliki
kecondongan untuk bersifat endogen daripada eksogen.
4. Ekses permintaan uang memiliki peran penting dalam memfungsikan semua
pasar ( pasar uang dan pasar komoditi ) dalam perekonomian.
Keseimbangan neraca transaksi berjalan dalam pendekatan ini didefinisikan sebagai
adanya kesamaan antara penerimaan dunia dengan pengeluaran dunia, atau adanya
kesamaan tingkat hoarding dalam negeri dengan tingkat dishoarding di luar negeri.
(Hallwood dan McDonald, 1995). Dalam kasus fluktuasi nilai tukar, dalam hal ini
devaluasi, dampak yang terjadi adalah meningkatnya hoarding luar negeri
proposional dengan tingkat devaluasi yang terjadi. Kenaikan tersebut didasari oleh
adanya pergerakan tingkat harga sebesar perubahan devaluasi.
4. Penelitian Terdahulu
Studi yang dilakukan oleh Djiwandono (1980) mengenai pendekatan moneter
terhadap analisis neraca pembayaran dalam konteks perekonomian Indonesia yang
terbuka, menunjukkan bahwa : (1) Perubahan yang terjadi pada pendapatan nasional
dan tingkat harga, secara bersama-sama akan memperbaiki posisi neraca transaksi

34
berjalan, (2) Kebijakan devaluasi memiliki dampak positif terhadap neraca transaksi
berjalan dalam jangka pendek, (3) Dengan menganggap variabel pembentuk model
yang lain pada model penelitian sebagai variabel eksogen, maka terdapat bukti yang
signifikan bahwa proporsi antara penawaran uang dengan cadangan internasional
(dalam neraca pembayaran) memiliki sifat proposional negatif.
Penelitian lain dilakukan oleh Nopirin (1983) menganalisis dampak kebijakan
nilai tukar terhadap pendapatan nasional, neraca transaksi berjalan dan harga di
Indonesia. Model penelitian yang digunakan adalah model analisis neraca transaksi
berjalan jangka pendek yang dikembangkan oleh Frankel dan Glyfason (1992). Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan moneter selama periode penelitian
menunjukkan kebijakan moneter menyeluruh yang merupakan kombinasi antara
kebijakan pengeluaran pemerintah yang dikombinasikan dengan kebijakan nilai tukar
akan meningkatkan pendapatan nasional, keseimbangan neraca transaksi berjalan dan
stabilitas harga.
Waluyo dan Siswanto (1998) menunjukkan bahwa elastisitas nilai tukar riil
terhadap ekspor non-migas yang cukup besar dan signifikan mengimplikasikan
kebijakan nilai tukar (depresiasi rupiah) yang terjadi di Indonesia mempengaruhi
kinerja ekspor non-mogas, namun pengaruhnya tidak segera tetapi membutuhlan lag.
Selain itu, hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa pengaruh nilai tukar dalam
mendorong ekspor semakin besar dan cepat dalam rentang waktu sebelum krisis
moneter tahun 1997.
Ma dan Cheng (2003) melakukan penelitian terhadap efek dari fluktuasi nilai
tukar terhadap perdagangan internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek
dari fluktuasi nilai tukar pada masa saat krisis mata uang tahun 1997 berdampak
negatif terhadap impor, sedangkan terhadap ekspor berdampak positif. Merosotnya
mata uang domestik akan mengurangi impor dalam jangka pendek dan menstimulasi
ekspor dalam jangka panjang.

35
BAB V
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN
Kebijakan-kebijakan dalam perekonomian secara garis besar dapat ditinjau dari
dua sisi, yaitu kebijakan untuk mempengaruhi Sisi Penawaran Agregate (misal:
kebijakan perdagangan, kebijakan perindustrian) dan kebijakan yang mempengaruhi
Sisi Permintaan Agregate (misal: kebijakan moneter, kebijakan fiskal). Kedua macam
kebijakan tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun secara simultan akan
mempengaruhi sasaran yang akan dicapai dalam kebijakan ekonomi, seperti tingkat
inflasi, pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran.
Dalam setiap kebijakan ekonomi, mengandung tiga komponen yaitu: Instrumen,
sasaran, serta hubungan antara instrumen dan sasaran. Uraian berikut ini akan
mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas
kebijakan moneter dengan melihat kinerja ketiga komponen tersebut.

36
Permasalahan akan muncul, apabila dalam merancang kebijakan ekonomi
sasaran akhir yang akan dicapai berganda (misal: inflasi, pertumbuhan ekonomi,
neraca pembayaran). Dalam kondisi tersebut kesesuaian antara Policy Mix dan
ketetapan Policy Assignment sangat penting. Landasan teori dari konsep kesesuaian
Policy Mix dikenal lewat ekonom dari Belanda, yaitu Jan Tinberger (2004)
Sedangkan konsep teori tentang ketetapan Policy Assignment di kemukakan oleh ahli
ekonomi moneter dari Amerika Serikat, Robert Muldell. (2006)
Konsep dasar dari teori Tinbergen mendasarkan pada asumsi adanya hubungan
linear antara intrument dengan sasaran akhir, untuk itu setiap intrumen harus
independent terhadap intrumen yang lain. Di dalam kerangka kerja dari Tinberger,
penyebab ketidak efektivan kebijakan moneter dapat dilihat dari beberapa aspek :
Dari analisanya, dikemukakan ada beberapa aspek yang menjadi penyebab
ketidak efektifan dari kebijakan moneter:
1. Jumlah instrumen kebijkan yang tersedia minimal sama dengan jumlah
sasaran
Dalam konteks perekonomian Indonesia, ada 3 sasaran kebijakan ekonomi
makro yang akan dicapai yaitu inflasi yang rendah, pertumbuahn ekonomi
yang cukup tinggi dan keseimbangan neraca pembayaran. Ketiga sasaran
tersebut didekati dengan menggunakan tiga intrument yaitu kebijakan
moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan nilai tukar.
2. Pembatasan ruang gerak kebijakan moneter
Untuk kasus di indonesia tidak ada pembatasan secara eksplisit terhadap
variabel-variabel moneter, namun secara implisitruang gerak kebijakan
moneter sangat dibatasi oleh sasaran nilai tukar.
3. Hubungan sebab akibat antara berbagai sasaran akhir
Hal ini terjadi dalam perekonomian Indonesia. Pencapaian sasaran akhir
pertumbuhan ekonomi seringkali mempengaruhi pencapaian sasaran tingkat
inflasi.
4. Kesesuaian antara Policy Mix dengan Policy Setting

37
Dalam kondisi seperti sekarang ini pembebanan tugas yang berlebihan pada
kebijakan moneter untuk mencapai berbagai sasaran ekonomi makro akan
mendorong timbulnya ekonomi biaya tinggi (khususnya bersumber dari
tingginya nilai suku bunga), mendorong masuknya modal asing jangka
pendek yang bersifat spekulatif dan mendorong industri keuangan untuk
melakukan usaha dengan pembiayaan yang berisiko tinggi.

Sedangkan konsep dasar teori ketepatan Policy Assignment berkaitan dengan


pembagian tugas diantara berbagai kebijakan yang tersedia dan dikenal dengan
Mundells Assgnment Rule. Berdasarkan teori tersebut efektifitas kebijakan
tergantung pada beberapa faktor, pertama kesesuaian pembagian tugas dengan
keunggulan komparatif dari masing-masing kebijakan. Apabila kebijakan moneter
diyakini lebih berpengaruh terhadap laju inflasi dari pada kebijkan fiskal dan
kebijakan fiskal diyakini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi, maka
seyogyanya kebijakan moneter hanya digunakan untuk pengendalian laju inflasi
sedangkan untuk pertumbuhan produksi dikendalikan menggunakan kebijakan
fiskal.
Kedua, efektifitas kebijakan moneter juga ditentukan oleh kemampuan
otoritas moneter dalam mengendalikan instrumen-instrumen yang ada. Indikator
yang digunakan untuk menilai kemampuan tersebut adalah kemampuan otoritas
moneter dalam mengendalikan uang primer. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi (mengurangi) efektifitas pengendalian uang primer:
1. Derasnya arus keluar masuk modal jangka pendek
Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia dengan
menggunakan Koefisien Ofset, yaitu koefisien yang mengukur pengaruh bersih
operasi pasar terbuka (OPT) terhadap jumlah uang beredar, didapatkan nilai
sebesar 75%. Ini mengandung arti bahwa setiap Rp 1,- jumlah uang yang
tersedot melalui OPT hanya 25 % (Rp 0,25,-) yang benar-benar masuk,

38
sedangkan 75 % (Rp 0,75,-) mengalir kembali kepada masyarakat melalui
peningkatan arus masuk modal dari luar negeri jangka pendek.
2. Masih rendahnya tingkat kedalaman pasar uang
Dalam analisa permintaan dan penawaran, kondisi tersebut tercermin pada
kurva permintaan yang tidak elastis. Dalam keadaan tersebut, adanya tekanan
yang berupa pesatnya arus keluar masuk modal maupun tekanan likuiditas akan
mempengaruhi perubahan tingkat suku bunga dan nilai tukar. Sebagai
konsekuensinya suku bunga dan nilai tukar menjadi sangat fluktuatif.
3. Adanya segmentasi sektor perbankan yang menimbulkan perbedaan perilaku
diantara berbagai kelompok bank. Hal ini terkait dengan kebijakan bank dalam
menentukan pangsa pasar dalam kegiatan operasionalnya.
4. Buruknya Sistem Perbankan
Hal ini tampak dalam perbedaan bank-bank pemerintah dan swasta dalam
menyikapi sinyal-sinyal kebijakan moneter.

Ketiga, tingkat kredibilitas otoritas pengambil kebijakan. Konsep


yangberkaitan dengan kredibilitas pengambil kebijakan adalah konsel Time
Concistency. Dalam konsep ini suatu kebijakan untuk diambil berdasarkan prinsip
discretionary akan mendorong pengambil kebijakan untuk mengambil yang berbeda
dengan ekseptasi pasar. Jika dilihat dari sisi pengambil kebijakan , tindakan ini
adalah optimal karena mampu memaksimalkan manfaat dari kebjakan yang
diambil. Namun bila kebijakan tersebut dilakukan berulang-ulang maka tingkat
kredibilitas kebijakan yang diambil akan turun dimata pelaku pasar ( misal
perubahan tingkat bunga dan revisi APBN ). Akibatnya masyarakat akan
membentuk persepsi yang berbeda dengan yang dinginkan oleh pemerintah dan
sasaran kebijakan makro menjadi tidak tercapai.
Dari uraian di atas tentang Policy Mix dan Policy Assigment dapat
disimpulkan bahwa Indonesia sebenarnya sedang mengalami proses transformasi
ekonomi dan keuangan. Proses tersebut akan menyebabkan adanya perubahan

39
paradigma pengendalian moneter sebagai dampak dari deregulasi dan globalisasi di
sektor keuangan.
B. DAMPAK DEREGULASI KEUANGAN TERHADAP EFEKTIVITAS
KEBIJAKAN MONETER.

Deregulasi dan globalisasi pada sektor keuangan yang dilakukan oleh


pemerintah Indonesia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan
ekonomi khususnya bidang moneter. Menurut Milton Friedman, terdapat tiga
kemungkinan dampak deregulasi keuangan terhadap kebijakan moneter.
1. Deregulasi dalam suku bunga dan nilai tukar serta integrasi ke dalam
pasar keuangan dunia akan mengubah transmisi kebijakan moneter
2. Inovasi dalam bidang keuangan akan menyebabkan tidak stabilnya
hubungan antara harga (inflasi) dan uang (besaran moneter
3. Semakin meningkatnya mobilitas modal akan mempersulit dua
sasaran akhir, yaitu stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar dalam
waktu yang bersamaan.
Dari pengalaman beberapa negara maju, seperti Kanada dan Australia,
menunjukkan bahwa setelah adanya deregulasi sektor keuangan terdapat hubungan
yang cenderung tidak stabil antara pertumbuhan jumlah uang beredar (JUB) dan
kegiatan ekonomi (inflasi, pertumbuhan ekonomi). Akibatnya pertumbuhan JUB
tidak mampu lagi mengontrol perkembangan inflasi dan tingkat produksi nasional.
Hal ini menyebabkan banyak negara tidak lagi menggunakan besaran moneter JUB
sebagai sasaran kebijakan moneter, tetapi beralih kepada besaran moneter tingkat
bunga.
Di Indonesia, pencapaian sasaran jumlah uang beredar ( M0,M1 dan M2)
mempunyai kecenderungan tidak sesuai dengan target. Seiring dengan menurunnya
kinerja pencapaian jumlah uang beredar, maka sasaran akhir inflasi dan neraca
pembayaran juga sulit tercapai. Hal yang perlu diperhatikan disini, bahw
aderugulasi sktor moneter yang dimulai sejak tahun 1983 mengakibatkan perubahan
struktural pada:

40
1. Pembebasan penentuan tingkat suku bunga kepada pasar. Hal ini
berdampak terhadap perubahan portofolio keuangan masyarakat yang
tercermin pada perubahan kompisisi uang kartal, uang giral dan simpanan
berjangka.
2. Batas antara M1 dan M2 menjadi tipis karena semakin dekatnya
substitusi antara uang kuasi khususnya tabungan (komponen M2) dengan
M1
3. Perubahan portofolio aset-aset keuangan mengakibatkan perubahan
tingkat sensitifitas permintaan aka uang terhadap perubahan pendapatan
dan suku bunga
Dengan adanya perubahan –perubahan tersebut semakin menyakinkan bahwa
kebijakan moneter melalui tingkat bunga lebih penting dibandingkan melalui
jumlah uang beredar.
C. SUKU BUNGA SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL
Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui pengendalian jumlah uang
beredar (sasaran kuantitas) yang dipelopori aliran monetaris dan tingkat suku bunga
(sasaran harga) yang dipelopori oleh aliran keynesian.
Aliran monetaris percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap permintaan
uang relatif rendah dan elastisitas terhadap permintaan barang relatif tinggi. Selain
itu, mereka juga percaya bahwa velocity of circulation dan jumlah uang beredar
bersifat eksogen. Hal ini mengakibatkan uang tidak bersifat netral, karena uang
dapat mempengaruhi tingkat produksi nasional dan harga dalam jangka pendek.
Sehingga aliran ini sangat mendukung penggunaan sasaran jumlah uang beredar
dalam kebijakan moneter.
Sedangkan aliran keynesian mempercayai bahwa elastisitas tingkat suku
bunga terhadap permintaan uang relatif tinggi, elastisitas suku bunga terhadap
investasi (barang) relatig rendah. Terhadap velocity of circulation, menurut aliran
Keynesian, tidak stabil dan sangat fluktuatif. Jumlah uang beredar merupakan
faktor endogen. Dari pandangan tersebut, aliran keynesian menyimpulkan bahwa

41
mekanisme transmisi kebijakan moneter bersifat tidak langsung, yaitu melalui
tingkat suku bunga. Oleh karena itu, aliran ini lebih menekankan pada penggungaan
suku bunga sebagai sasaran kebijakan moneter. Transmisi kebijakan moneter
menggunakan sasaran suku bunga dapat melalui beberapa jalur :
1. Intertemporal Substitution
Perubahan suku bunga akan mengubah biaya pinjaman atau pendapatan
dari tabungan. Hal ini akan berdampak pada pengeluaran baik untuk
investasi maupun untuk konsumsi.

2. Exchange Rate Effect


Didalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga (ceteris
paribus) akan berpengaruh pada apresiasi nilai tukar mata uang domestik
dalam jangka pendek. Ini mengakibatkan harga barang impor relatif
menjadi lebih murah dan inflasi akan menurun. Dilain pihak kegiatan
ekspor akan menurun, karena harga barang ekspor menjadi relatif mahal.
3. Cash Flow Effect
Dengan meningkatnya tingkat suku bunga nominal simpanan, maka
pendapatan nominal debitur (lembaga keuangan bank) akan menurun.
Dampak selanjutnya akan perpengaruh terhadap tingkat likuiditas lembaga
keuangan tersebut, sehingga mau tidak mau lembaga keuangan akan
mengurangi jumlah pengeluarannya (misal: melakukan rasionalisionalisasi
tenaga kerja)
4. Wealth Effect
Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagi faktor diskonto dari
ekspektasi pendapatan uantuk masa yang akan datang akan mengubah
nilai aset finansial dan aset riil. Perubahan nilai aset tersebut
mengakibatkan perubahan tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi dan pada

42
gilirannya akan mempengaruhi keputusan dalam bidang konsumsi,
investasi dan produksi.
5. Credit Rational Effect
Penngkatan suku bunga simpanan akan mendorong lembaga keuangan
bank untuk meningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada
debitur (baik lama atau baru) sebagai akibat dari kekhawatiran turunnya
kapasitas debitur dalam membayar hutang-hutangnya. Implikasinya, suku
bunga kredit meningkat dan suplay kredit menurun.

D. KONSEP PENGENDALIAN MONETER DENGAN MENGGUNKAN


SUKU BUNGA SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL UNTUK
INDONESIA
Kebijakan moneter di Indonesia memiliki beberapa sasaran, yaitu : (1)
pertumbuhan ekonomi yang tinggi,(2) penyediaan lapangan kerja yang cukup,(3) laju
inflasi rendah, dan (4) keseimbangan neraca pembayaran. Dalam pelaksanaannya,
Bank Indonesia mengalami kesulitan untuk mencapai seluruh sasaran karena adanya
“conflicting target” antara satu sasaran dengan sasaran lainnya. Untuk itu perlu
dipertimbangkan sasaran tunggal yaitu suku bunga sebagai sasaran operasional.
Adapun mekanismenya sebagai berikut :

SBI-SBPU Excess PUAB Suku Bunga Dep.


rate Reserve Dan Nilai Tukar

Inflasi GDP > Potensial GDP


Meningkat Output

43
Dalam gambar di atas, dijelaskan bahwa untuk mencapai sasaran akhir
tunggal yaitu pengendalian inflasi menggunakan sasaran operasional suku bunga
Pasar Uang Antar Bank ( PUAB ). Untuk mengendalikan suku bunga PUAB
instrumrn kebijakan moneter yang digunakan adalah Operasi Pasar Terbuka ( OPT )
melalui jual/ beli SBI dan SBPU. Perubahan suku bunga SBI/ SBPU selanjutnya
diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar ( dengan sistem nilai tukar
mengambang ). Kedua variabel tersebut selanjutnya akan ditransmisikan ke sektor riil
melalui tingkat output nasional. Perbedaan antara output aktual dengan output
potensial akan mempengaruhi laju inflasi.
Penentuan sasaran akhir dan sasaran operasional perlu dilakukan karena pada
kenyataannya tidak ada pelaku ekonomi (termasuk Bank Indonesia) memiliki
informasi yang lengkap mengenai jalannya kebijakan moneter dalam perekonomian.
Selain itu, seringkali terjadi pengaruh dari faktor lain muncul yang justru
menyebabkan tidak tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter.
Dalam masalah implementasi kebijakan, biasanya policy makers dihadapkan
pada dua persoalan :
1. Efek apakah yang perlu dihasilkan dalam mencapai tujuan akhir , misalnya
untuk mencapai tujuan menurunkan harga atau perluasan kesempatan kerja,
apakah jumlah uang beredar harus turun, tetap atau naik. Dalam hal ini, suatu
indikator kebijakan moneter akan memberikan informasi mengenai efek apa
yang harus dihasilkan.
2. Cara mengubah atau memanipulasi instrumen kebijakan untuk menghasilkan
efek tersebut ? Dalam hal ini, operasional target akan menunjukkan metode
yang digunakan.

Yang dimaksud dengan indikator kebijakan moneter adalah variabel ekonomi


yang bisa memberikan informasi mengenai : arah perubahan sektor moneter,
termasuk pengaruh tindakan Bank Indonesia terhadap pencapaian tujuan akhir.
Indikator yang baik adalah indikator yang bisa memberikan informasi yang konsisten

44
dan meyakinkan, indikator dalam hal ini kebijakan moneter yang mencakup variabel
moneter.
Sedangkan target operasional dari kebijakan moneter adalah variabel ekonomi
yang setiap saat dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia melalui operasi pasar
terbuka. Suatu target operasional yang baik harus memenuhi kriteria dasar sebagai
berikut :
1. Besaran harus dapat diukur oleh Bank Indonesia secara akurat dalam jangka
pendek.
2. Dapat dikontrol atau dikendalikan oleh Bank Indonesia dengan cara
mengubah instrumen kebijakan moneter.
3. Perubahan besarnya target operasional dalam jangka menengah seharusnya
mendominasi perubahan-perubahan dalam variabel ekonomi yang dipilih
sebagai indikator.

45
BAB VI
PENELITIAN EMPIRIS

KEMAMPUAN MODEL PURCHASING POWER PARITY DALAM


MENJELASKAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA
SERIKAT

1.1. PENDAHULUAN
Globalisasi perekonomian sering didefinisikan sebagai proses semakin
menghilangnya atau menipisnya “batas”` ekonomi antar negara. Sejalan dengan
berkemban gnya proses globalisasi perekonomian, maka dibidang perdagangan
internasionalpun restriksi semakin berkurang. Hal ini membawa dampak
meningkatnya volume dan nilai perdagangan internasional .
Dalam melakukan perdagangan internasional, nilai ( harga ) suatu komoditi
dinyatakan dalam satuan mata uang tertentu, bisa mata uang domestik maupun mata
uang luar negeri. Permasalahan muncul dalam kaitannya dengan harga, karena nilai
valuta asing sering mengalami fluktuasi. Perubahan nilai tersebut disebabkan oleh
banyak hal, diantaranya : perubahan tingkat inflasi, perubahan tingkat suku bunga,
perubahan tingkat pendapatan serta seberapa besar peran pemerintah dalam
perekonomian (Madura, 2000)

46
Nilai valuta asing tercermin dalam variabel kurs yang sebenarnya merupakan
perbandingan mata uang domestik dengan valuta asing, sehingga kurs dapat
digunakan untuk mengetahui daya beli suatu valuta. Perbedaan daya beli antara mata
uang suatu negara dengan negara yang lain akan memberikan kesempatan bagi pelaku
ekonomi untuk mengambil keuntungan melalui arbitrage. Aktivitas atbitrage akan
berhenti dengan sendirinya ketika semua kesempatan yang menguntungkan telah
habis, yang berarti bahwa selain biaya untuk melakukan perpindahan dari satu tempat
lainnya, juga termasuk berbagai tarif, pada akhirnya menyebabkan harga komoditi di
pasar (negara) yang berbeda menjadi sama. (Maurice D Levi, 2001).
Sehubungan dengan fakta di atas, para ekonom mengemukakan tentang the
law of one price ( hukum satu harga ), dimana nilai tukar antara mata uang domestik
dan komoditi domestik seharusnya sama dengan nilai tukar antara mata uang
domestik dengan komoditi luar negeri (Salvatore, 1997).
Teori Purchasing Power Parity ( PPP ) merupakan suatu teori yang langsung
menerapkan hukum satu harga untuk membandingkan pasar barang dan jasa antar
negara. Pada dasarnya teori PPP menekankan hubungan jangka panjang antara kurs
valuta asing dengan harga komoditi secara relatif. Menurut teori PPP bentuk relatif
(relative form ) laju perubahan indeks harga, yang juga merupakan inflasi, di dua
negara akan hampir sama jika diukur memakai valuta yang sama. (Jeff Madura, 1995)
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keberlakuan teori PPP, dalam hal ini
variabel inflasi relatif, dalam memprediksi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika Serikat .
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah
variabel inflasi relatif dalam model PPP dapat menjelaskan perilaku nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat ?
2. KAJIAN TEORI
2.1. Teori Purchasing Power Parity ( PPP )

47
Teori PPP diperkenalkan oleh Gustav Cassel yang menjelaskan hubungan
antara harga komoditi dalam mata uang domestik ( lokal ) dengan dengan nilai tukar.
Teori ini menyatakan bahwa nilai tukar akan meyesuaikan diri dari waktu ke waktu
untuk mencerminkan selisih inflasi antara dua negara, akibat adanya daya beli
konsumen untuk membeli produk domestik akan sama dengan daya beli untuk
membeli produk luar negeri. Asumsi utama yang mendasari teori PPP adalah pasar
komoditi merupaka pasar yang efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan
harga dan informasi. ( Tucker, 1991).
Oleh karena itu, bila indeks harga di kedua negara identik, the law of one
price menjustifikasi teori PPP ( Baillie dan McMahon, 1990 ). Artinya bila produk
yang sama dijual pada pasar yang berbeda dan tidak ada hambatan dalam penjualan
maupun biaya transportasi, maka harga produk cenderung sama pada dua pasar
tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua negara berbeda, harga produk biasanya
dinyatakan dala mata uang yang berbeda, namun harga produknya tetap masih sama.
Perbandingan harga hanya memerlukan suatu konversi satu mata uang ke mata uang
lain.
Teori PPP dibedakan benjadi dua, yaitu bentuk Absolute dan bentuk Relatif.
Teori PPP Absolute menyatakan bahwa harga dari dua produk homogen di negara-
negara yang berbeda akan sama jika diukur dalam valuta yang sama. Kurs valuta
asing dinyatakan dalam nilai harga kedua negara :
S t = P t / P t*
Dimana P t dan P t* menunjukkan harga rata-rata tertimbang dari komoditi di dua
negara ( tanda * menunjukkan luar negeri ).
Dengan kata lain , teori PPP absolute menerangkan kurs spot ditentukan oleh
harga relatif dari sejumlah barang yang sama ( ditunjukkan oleh indeks harga ).
Dalam kaitannya dengan inflasi ( kenaikan harga produk secara umum) dapat
disimpulkan bahwa menurut teori ini suatu negara yang mata uangnya mengalami
tingkat inflasi yang tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap
mata uang negara lain yang tingkat inflasinya lebih rendah.

48
Sementara itu, teori PPP Relative mengatakan persentase perubahan kurs
nominal akan sama dengan perbedaan inflasi di antara kedua negara. Apabila
dinyatakan dalam konteks future, harapan perubahan kurs valuta asing sama dengan
harapan perbedaan inflasi :
 S e t =  P e t -  P e* t
dimana  S e t = harapan perubahan kurs
Bentuk ini mengakui bahwa karena keberadaan ketidaksempurnaan pasar,
harga dari produk yang sama di negara yang berbeda bisa jadi tidak sama jika diukur
melalui valuta yang sama. Tetapi, laju perubahan harga produk seharusnya tidak jauh
berbeda jika diukur memakai valuta yang sama, sepanjang biaya transportasi dan
proteksi perdagangan tidak berubah.
2.9. Hipotesis
Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan yang bersifat sementara
tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, yang akan
dibuktikan melalui uji statistik. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan diatas,
maka dapat diangkat hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
Variabel inflasi relatif dapat menjelaskan perilaku nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika Serikat
3. METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh indikator atau variabel makro
perekonomian di Indonesia dan Amerika Serikat. Tetapi dalam penelitian ini variabel
makro yang digunakan sesuai model Purchasing Power Parity yang meliputi variabel
Kurs, Indeks Harga Konsumen, Tingkat Bunga, Tingkat Output dan Money Supply.
Sedangkan periode waktu penelitian mulai tahun 1998.1 – 2005.4 dengan
menggunakan data kuartalan
2.3. Definisi Variabel
Variabel-variabel tersebut dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut :

49
1. Kurs ( S t ) yaitu nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Diukur
dengan berapa rupiah yang diperlukan untuk mendapatkan satu Dollar
Amerika Serikat.
2. Indeks Harga Konsumen ( P ) , yang secara operasional adalah rasio dari
indeks harga konsumen di Amrika Serikat dan Indonesia.
3. Tingkat Bunga ( r ), yaitu rasio tingkat bunga di Amerika Serikat dan
Indonesia. Dalam penerlitian ini tingkat bunga yang diginakan adalah SBII
dan Federal Reserve.
4. Tingkat Output ( y ), merupakan rasio antara tingkat Groos Domestic Product
Amerika Serikat dan Indonesia atas dasar harga konstan.
5. Money Supply ( m ) yaitu rasio antara jumlah uang beredar ( M2 ) di Amerika
Serikat dan Indonesia.
3.4. Teknik Analisis Data
Untuk menguji apakah konsep inflasi dalam model PPP dalam menjelaskan
perilaku nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat maka digunakan teknis
analisa dengan Error Correction Model ( ECM ).
3.5. Perumusan Model Purchasing Power Parity
Model PPP yang digunakan dalam penelitian ini mengikut sertakan variabel
jangka pendek ke dalam dinamika jangka panjang adalah sebagai berikut :
D ln S t = a 0 + a 1 D ln( P* t-1 / P t-1) + a 2 D ln (r * t-1 / r t-1) + a 3 D ln(y * t-1 / y t-1)
+ a 4 D ln (m * t-1 / m t-1 ) + a 5 ECT
Dimana : DSt = perbedaan nilai kurs aktual
a0 = intercept
a 1,2,3,4 = koefisien
P* / P : rasio IHK di luar negeri dan dalam negeri
r* / r : rasio tingkat bunga luar negeri dan dalam negeri
y* / y : rasio GDP luar negeri dan dalam negeri
m*/ m : rasio jml. Uang beredar luar negeri dan dala negeri
ln : natural logaritma , ECT : error correction term

50
Dengan menggunakan model ECM maka mampu menjelaskan perilaku data
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk pengaruh jangka pendek dapat
dilihat dari variabel independent yang didiferensikan.

4. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


4.1. Estimasi ECM Model Purchasing Power Parity.
Model koreksi kesalahan merupakan salah satu alternatif untuk menguji
kemungkinan berkointegrasinya variabel yang diamati. Apabila error corection term
(ECT) pada hasil regresi signifikan berarti model koreksi kesalahan adalah model
yang sahih (valid), dan variabel yang diamati berkointegrasi atau residual hasil
regresi adalah stasioner.
Model ECM yang mengikut sertakan variabel jangka pendek ke dalam
dinamika jangka panjang adalah sebagai berikut :
D ln S t = a 0 + a 1 D ln ( P* t-1 / P t-1 ) + a 2 D ln (r * t-1 / r t-1 )
+ a 3 D ln ( y * t-1 / y t-1 ) + a 4 D ln (m * t-1 / m t-1 ) + a 5 ECT
Hasil pengolahan data menunjukkan hasil sebagai berikut :

Dependent Variable: LKURS


Method: Least Squares
Date: 09/24/07 Time: 20:06
Sample(adjusted): 1990:1 2000:3
Included observations: 68 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1.19E-1 4 9.28E-15 1.284626 0.2069
INF 2.35E-17 2.14E-17 1.097221 0.2796
SB -1.87E-14 3.61E-15 -5.187999 0.0000
JUB 5.12E-14 4.99E-14 1.025844 0.3116
GDP 1.19E-14 5.85E-15 2.035174 0.0490
ECT 1.000000 9.92E-16 1.01E+15 0.0000
R-squared 0.897650 Mean dependent var 8.064516
Adjusted R-squared 1.000000 S.D. dependent var 0.664688
S.E. of regression 2.64E-15 Sum squared resid 2.57E-28
F-statistic 5.34E+29 Durbin-Watson stat 0.523135
Prob(F-statistic) 0.000000

51
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai probabilitas ECT : 0.0000
mengindikasikan hasil regresi signifikan, berarti model ECM adalah valid dan
variabel yang diamati berkointegrasi. Apabila dilihat dari nilai R-square yang
mempunyai nilai: 0,897 mengandung arti bahwa seluruh variasi variabel dependent
(Kurs) mampu dijelaskan oleh variasi himpunan variabel pendapatan nasional,
jumlah uang beredar, inflasi dan harga sebesar 89,76 %.
Sedangkan nilai F-stat : 5,34E+29 yang lebih besar dari F tabel : 4.98
signifikan pada 1 % mengimplikasikan bahwa secara bersama-sama variabel
independent mempengaruhi variabel dependent.
Selanjutnya dalam analisa jangka pendek menunjukkan bahwa hanya variabel
independent suku bunga ( SB ) dan pendapatan nasional (GDP) signifikannya
mempengaruhi variabel dependent (Kurs) dengan tingkat signifikansi 95 %.
Sedangkan variabel Inflasi (INF) dan jumlah uang beredar (JUB) tidak signifikan
mempengaruhi variabel Kurs, dengan tingkat signifikansi 72,14 % dan 68,84 %.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa teori Purchasing Power Parity yang
menjelaskan bahwa inflasi dapat menjelaskan perilaku nilai tukar (kurs) tidak
terbukti, karena dalam jangka pendek inflasi tidak berpengaruh terhadap kurs.
4.5. Analisis Koefisien Regresi Jangka Panjang
Hasil perhitungan terhadap variabel dalam model dalam analisis koefisien
regresi jangka panjang dapat disajikan sebagai berikut :
Hasil Pengujian Regresi Jangka Panjang

Kurs - 18301,79 + 1,13341 GDP + 1,13165JUB + 22,1276 INF - 3,71668 SB


t-hit 0,00026 5,2199 3,934 0,0797 0,0423

Bedasarkan hasil analisis jangka panjang yang diperoleh dari estimasi dengan
menggunakan model koreksi kesalahan dapat disimpulkan bahwa variabel
pendapatan nasional ( GDP ) dan jumlah uang beredar ( JUB ) dalam jangka panjang
mempengaruhi variabel Kurs dengan derajat signifikansi 99 %. Sedangkan variabel
inflasi ( INF ) dan suku bunga ( SB ) tidak signifikan terhadap variabel Kurs. Hal ini

52
sesuai dengan analisis dalam jangka pendek bahwa inflasi tidak dapat menjelaskan
perilaku nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
4.7. Pembahasan
4.7.1. Analisis Jangka Pendek.
Berdasarkan hasil estimasi terhadap model Purchasing Power Parity
menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa variabel Inflasi (INF ) yang mampu
menjelaskan variasi variabel Kurs dengan tingkat signifikansi 72,14 %. Sedangkan
koefisien inflasi positif menunjukkan kenaikan jumlah uang beredar sebesar 1 % akan
mendorong penurunan mata uang Rupiah (depresiasi) sebesar 2,35E-17 %.
Hubungan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut, inflasi merupakan suatu
kondisi dimana harga-harga barang secara keseluruhan meningkat secara umum dan
berlangsung terus-menerus. Dalam teori kuantitas ( Irving Fisher ), inflasi disebabkan
karena kenaikan jumlah uang beredar, kenaikan jumlah uang beredar dalam negeri
(relatif terhadap stok uang luar negeri ) akan meyebabkan kelebihan penawaran uang
(exess supply ). Dalam masa krisis ekonomi, hal tersebut menyebabkan kenaikan
permintaan mata uang asing (US Dollar ) untuk mengamankan likuiditasnya atau
untuk mendapatkan keuntungan. Dampak selanjutnya yang terjadi adalah penurunan
mata uang dalam negeri (depresiasi ).
Dalam jangka pendek, perilaku nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS tidak
dapat dijelaskan dengan variabel inflasi, ini berarti tidak sesuai dengan teori
Purchasing Power Parity. Hal ini dapat dijelaskan karena asumsi-asumsi ( tidak ada
biaya transportasi, barang homogen) yang mendasari dari teori ini dalam realitas riil
tidak terpenuhi, metode penghitungan inflasi ). Dampaknya inflasi pada berbagai
negara tidak mencerminkan perilaku harga yang sama pada banyak negara, sehingga
teori One Low Price yang mendasari tidak terbukti. Selain itu realitas riil
menunjukkan bahwa biaya transportasi barang antar negara pasti ada, sehingga harus
diperhitungkan dalam penghitungan inflasi ( dalam teori PPP tidak diperhitungkan).
4.7.2. Analisis Jangka Panjang.

53
Analisis jangka panjang menunjukkan kesimpulan yang sama pada hubungan
antara inflasi dengan nilai tukar ( koefisien positif ) yang berarti kenaikan inflasi
dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan dilai tukar Rupiah terhadap
Dollar Amerika Serikat. Nilai koefisensi sebesar 0,0797 menjelaskan bahwa
kenaikan harga ( inflasi ) sebesar 1 % akan menyebabkan depresiasi rupiah sebesar
22.127 %.
Kesimpulan yang sama dengan analisis jangka pendek juga didapatkan pada
ketidakmampuan inflasi dalam menjelaskan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika Serikat. Ini dapat dilihat pada nilai t-hit variabel inflasi dalam analisis
jangka panjang sebesar 0,0797 berada pada daerah penerimaan Ho, sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap nilai tukar (kurs).
Penjelasan teoritik yang dipakai, dalam jangka panjang menurut JM Keynes
semua kembali pada posisi equlibrium dalam arti tidak terdapat laba. Sehingga harga-
harga dalam jangka panjang relatif tetap, ini berarti tingkat inflasi tidak ada (sangat
kecil). Karena inflasi relatif tetap maka tidak mempunyai kemampuan dalam
menjelaskan perilaku nilai tukar. Dampak berikutnya dalam pasar uang (pasar valas)
tidak mungkin terjadi tindakan dari pelaku ekonomi yang mengambil keuntungan dari
perubahan (fluktuasi) nilai tukar atau spekulasi.
Jika dilihat dari konsidi antar negara, maka dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan terjadinya perbedaan harga dalam jangka panjang juga kecil. Ini dapat
dilihat dari fenomena globalisasiyang muncul dalam beberapa dekade yang lalu.
Kecenderungan globalisasi dalam jangka panjang menyebabkan hambatan
perdagangan menjadi kecil sehingga menyebabkan harga barang “relatif” sama ,
maka inflasi menjadi relatif tetap.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Estimasi Model teori purchasing power parity dengan menggunakan Error
Correction Model menunjukkan bahwa hasil ECT nilai Probabilitas sama

54
dengan angka nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan
valid dan dapat digunakan untuk analisis jangka panjang.
2. Dalam analisis jangka pendek variabel inflasi tidak dapat menjelaskan
perilaku nilai tukar, demikian pula variabel jumlah uang beredar. Tetapi
variabel pendapatan nasional dan suku bunga dapat menjelaskan perilaku nilai
tukar
3. Hasil analisis yang sama juga diperoleh dapam analisis jangka panjang, yaitu
bahwa inflasi tidak dapat menjelaskan perilaku nilai tukar.

BAB VII
PENELITIAN EMPIRIS
EFISIENSI PASAR VALUTA ASING DI INDONESIA
(Studi Kasus Rupiah Indonesia dan Dollar Amerika Serikat )

1. Pendahuluan :
Beralihnya sistem nilai tukar di Indonesia dari sistem mengambang terkendali
(managed floating system) menjadi sistem yang mengambang penuh atau bebas
(freely floating system) menyebabkan posisi nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing
ditentukan oleh mekanisme pasar. McGregor (2000) mengemukakan : “ ... in a
floating rate system, the exchange rate is determined directly by market forces, and is
liable to fluctuate continually, as dictated by changing market condition”. Dalam
konteks pengertian di atas, nilai tukar rupiah secara bebas ditentukan oleh kekuatan
interaksi antara permintaan dan penawaran valuta asing. Disamping itu, dalam sistem
nilai tukar mengambang bebas, diasumsikan tidak ada kewajiban Bank Indonesia

55
untuk melakukan intervensi secara sistematis di pasar valuta asing, sehingga nilai
tukar Rupiah bebas bergerak dalam merespon kekuatan pasar.
Dengan semakin leluasanya kekuatan pasar dalam menentukan nilai tukar
Rupiah, maka perilaku pasar menjadi lebih sulit untuk diprediksi secara langsung.
Nilai tukar di pasar uang tidak semata mencerminkan kekuatan permintaan dan
penawaran valuta asing untuk memenuhi underlying transaction (transaksi-transaksi
pokok), melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi
ekspektasi pelaku ekonomi yang erat kaitannya dengan unsur ketidakpastian.
Nilai tukar Rupian pasca sistem mengambang bebas, ditentukan oleh tiga
faktor utama. Pertama, ekspektasi jangka pendek pelaku pasar (sentimen pasar) yang
sering tercermin pada fluktuasi nilai tukar dalam jangka pendek. Kedua, faktor
fundamental meliputi variabel-variabel makro ekonomi, yang didalamnya termasuk
permintaan dan penawaran mata uang. Ketiga, struktur mikro valuta asing yaitu
kondisi finansial lembaga keuangan bank dan corporate. ( Miranda SG dan Doddy Z,
1998 )
Dengan mengacu pada pemaparan di atas, penulis mencoba melakukan
pengujian beberapa model penentuan nilai tukar untuk memilih model yang sesuai
bagi penentuan nilai tukar Rupiah. Penelitian ini juga melakukan penerapan aplikatif
terhadap model yang terpilih untuk melakukan peramalah (forecasting) terhadap nilai
tukar Rupiah. Untuk lebih terintegrasinya analisis penelitian akan dimasukkan juga
analisis mengenai efisiensi pasar valuta asing di Indonesia, sehingga dapat diketahui
rasionalitas dan ekspektasi pelaku pasar valuta asing dalam menentukan nilai tukar
Rupiah.
2. Rumusan Masalah
Salah satu indikator untuk mengetahui kestabilan nilai tukar adalah efisiensi
Pasar Valuta Asing. Suatu Pasar Valuta Asing dikatakan efisien apabila nilai tukar
spot rate suatu valuta asing sama dengan nilai expected valuta asing tersebut,
sehingga expected return dari valuta asing melalui aktivitas spekulasi sama dengan
nol. ( Fama, 1981, hal. 277-289).

56
Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

Apakah Pasar Valuta Asing di Indonesia efisien ?


3. Metode Penelitian
3.1. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari dokumen/ tulisan yang disusun oleh badan/ pihak yang dapat
dipertanggungjawabkan kevaliditasannya. (Erwan Agus dan Dyah Ratih, 2007)
Adapun sumber data diperoleh dari : International Financial Statistics ; Laporan
Bank Indonesia ; Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia dan Biro Pusat
Statistik.

3.2. Diskripsi Data


Untuk menganalisa efisiensi pasar valuta asing data yang diperlukan adalah sebagai
berikut :
1. Nillai Tukar Spot ( S t ) dan Nilai Tukar Expected ( S t+1 )
Nilai tukar expected dalam penelitian ini adalah nilai tukar yang terjadi
pada satu hari berikutnya ( t+1), data ini dapat diketahui dari data nilai tukar
spot. Sedangkan untuk nilai tukar spot sama dengan yang di atas. Dalam data
IFS nomor kodenya : rf .
2. Tingkat Suku Bunga ( r )
Data diambil dari tingkat suku bunga pasar uang ( money market ) yang
berasal dari IFS dengan kode : 60b. Suku bunga tersebut mencerminkan suku
bunga dalam jangka pendek sesuai dengan penelitian ini yang mengekspektasi
nilai tukar dalam jangka pendek ( t+1). Dalam penelitian ini, data suku bunga
digolongkan menjadi 2, yaitu suku bunga Indonesia ( r d) dan suku bunga
Amerika Serikat (Rf ).
3.3. Model Penelitian : Martingale Models

57
Untuk mengetahui efisiensi Pasar Valuta Asing digunakan model dasar yang
dikenal dengan Martingale Models ( Ricard Baille dan Patrick Mc Mahon, hal 44-
45). Dalam model tersebut dijelaskan, bahwa Pasar Valuta Asing dikatakan efisien
apabila expected return yang diharapkan melalui spekulasi sama dengan 0 (nol), atau
:
E ( Z t+1 |  t ) = 0 ................................................... (3.15)
Hal ini berarti nilai spot rate sama dengan expected spot rate, sehingga :
s t+1 - E ( Z t+1 |  t ) = 0 .................................................... (3.16)
Sedangkan expected spot rate adalah :
E ( Z t+1 |  t ) = [ 1 + r dt / 1 + rft ] s t ..................................... (3.17)
Dimana : r dt = tingkat suku bunga dalam negeri
rft = tingkat suku bunga luar negeri
3.4. Metode Analisis

Merupakan analisis data dengan memberikan informasi mengenai data yang


diamati dan tidak bertujuan menguji hipotesis serta manarik kesimpulan yang
digeneralisasikan terhadap populasi. Analisis ini dapat dilakukan dengan menyajikan
tabel frekuensi maupun grafik dan penjelasannya sehingga diperoleh suatu informasi
yang lebih mudah dipahami. ( Erwan Agus dan Dyah Ratih, 2007)
4. Pembahasan : Efisiensi Pasar Valuta Asing

Konsep dasar pemikiran efisiensi pasar valuta asing didasari pada


“kesempurnaan” informasi dalam artian apakah informasi yang tersedia pada pasar
valuta asing dapat diperoleh pelaku-pelaku. Suatu pasar valuta asing dikatakan efisien
apabila terjadi informasi sempurna ( perfect information ) sehingga pelaku pasar
dapat menggunakan informasi tersebut untuk memprediksi nilai tukar pada hari
berikutnya (n + 1) . Dengan demikian suatu pasar yang efisien tidak dimungkinkan
adanya spekulasi, karena expected exchange rate sama dengan spot rate n + 1 .

58
Dalam penelitian ini hipotesa yang digunakan adalah Random Walk Hypothesis
(RWH) dimana expected rate ( t+1) dipengaruhi oleh spot rate ( t ). Pengambilan
keputusannya dengan melihat selisih antara nilai Kurs Spot Rate ( t+1) dengan
Expected Spot Rate ( t+1 ), apabila selisihnya sama dengan 0 ( nol ) maka dikatakan
bahwa pasar valuta asing efisien.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Martingale Model,


dapat disimpulkan bahwa pasar valuta asing sangat tidak efisien. Sebab, selisih spot
rate dan expected spot rate tidak sama dengan 0 (nol), bahkan nilai selisihnya sangat
tinggi. Dari 52 data, hanya 1 data ( 1985.4) yang prosentasenya dibawah 10 %,
sedangkan data lainnya diatas 10 %. Hal ini menunjukkan bahwa variabel spot rate
(t) dan tingkat bunga saja tidak cukup digunakan untuk memprediksi expected spot
rate (t+1 ), sehingga diperlukan variabel lain, misalnya : forward rate. Perbedaan
paling tinggi terjadi pada periode terakhir tahun 1997 ( 386 % ) dimana berlangsung
krisis nilai tukar paling parah, sehingga ekspektasi terhadap nilai tukar sangat sulit
dilakukan.

Grafik : Pergerakan Nilai Tukar Spot dan Expected Spot Rate

Pergerakan Spot dan Expected Spot Rate


Spot - Expec. Spot Rate

25000
20000
Expected
15000 Spot. Rate
10000
Spot Rate
5000
0
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 Data

59
Hal yang perlu diperhatikan dalam menganalisa efisiensi pasar valuta asing
(pergerakan nilai tukar) adalah kondisi dimana faktor-faktor diluar ekonomi sangat
mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, terutama dimasa krisis. Sentimen negatif dari
faktor non-ekonomi berpengaruh sangat besar terhadap nilai tukar.

5. Simpulan

Analisia pasar valuta asing di Indonesia dengan Mortingale Model

mengindikasikan bahwa pasar sangat tidak effisien, dasar pemikirannya adalah selisih

antara expected spot rate dan spot rate sangat besar ( tidak sama dengan nol ).

Sehingga untuk mengekspektasi nilai tukar diperlukan variabel lain selain tingkat

bunga dan nilai tukar spot, misalnya : nilai tukar forward, neraca pembayaran.

BAB VIII

KETERBUKAAN EKONOMI INDONESIA :


KRITIK DAN SUPPORT

1. Pendahuluan
Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari
setiap Negara, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness)
maupun keterbukaan disektor finansial (financial openness). Keterbukaan ekonomi
menggambarkan semakin hilangnya hambatan dalam perdagangan, baik berupa tariff
maupun non-tariff, dan semakin lancarnya mobilitas modal antar Negara.

Secara teori, keterbukaan ekonomi menjanjikan keuntungan bagi suatu Negara


yang terlibat didalamnya.Three (2002) menyimpulkan bahwa keterbukaan ekonomi
dapat dipandang sebagai kesempatan atau peluang guna lebih mengoptimalkan
keuntungan baik itu keuntungan statis atau keuntungan dinamis dari perdagangan luar

60
negeri, serta dampak positif dari penanaman modal asing. Salvatore (1997)
menjelaskan keuntungan dari perdagangan internasional suatu Negara diantaranya
berupa pembukaan akses pasar yang lebih luas, pencapaian tingkat efisiensi dan daya
saing ekonomi yang lebih tinggi, serta peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih
besar. David Dollar dan Aart Kraay (2000) membuktikan bahwa Negara-negara yang
lebih terbuka (globalisers) mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sekitar
2,9 persen pada tahun 1970an menjadi 3,5 persen pada tahun 1980an, dan menjadi 5
persen paada tahun 1990an.

Namun demikian, manfaat yang diterima oleh setiap Negara dari keterbukaan
ekonomi tidak menunjukkan pola dan besaran yang sama. Data empiris menunjukkan
bahwa globalisasi cenderung memperkaya Negara-negara maju, yang telah
menguasai sumberdaya ekonomis strategis seperti modal, teknologi dan informasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Birdsell dalam Halwani (2005) menyatakan bahwa
penduduk miskin dunia yang populasinya mencapai 80 persen, hanya menikmati 20
persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, sedangkan 20 persen penduduk
kaya telah menguasai 80 persen PDB dunia pada tahun 1995.

Studi yang dilakukan oleh Buckman (2005) mennunjukkan dekade 1980an


peningkatan PDB Negara maju lebih besar dibandingkan Negara berkembang, namun
demikian pada dekade 1990an Negara berkembang mencapai peningkatan lebih
tinggi. Negara-negara di Afrika belum banyak mendapatkan keuntungan dari
keterbukaan perekonomian dan integrasi ekonomi.

Tabel 1
Perubahan dalam PDB tahun 1980an dan 1990an (dalam persen)

Wilayah 1981 -1990* 1991 – 1999*


Negara Maju 22,6 9,8
Negara Berkembang 12,0 30,1
Amerika latin -6,4 13,1

61
Afrika -8,4 -5,4
Asia Timur 46,2 29,1
Asia Barat -35,4 0
Asia Selatan 28,6 17,1
Ekonomi Transisi** 12,2 -29,1
Catatan : * mengindikasikan perubahan PDB diukur dalam paritas daya beli
** menunjukkan perekonomian di Negara-negara Eropa Timur
Sumber : Buckman (2005)

2. Landasan Teori
Konsep teori yang menjelaskan keterbukaan ekonomi adalah sequencing of
economic liberalisation theory yang mengukur keterbukaan ekonomi melalui variabel
perdagangan internasional dan variabel aliran modal. Sequencing of economic
liberalisation theory pertama kali dikemukakan oleh McKinnon (1982) dengan
mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi di Chile tahun 1972 – 1973 dan
Argentina tahun 1975 – 1976. McKinnon menintik beratkan pada empat hal yang
perlu dilakukan untuk merubah kondisi ekonomi yang didominasi oleh campur
tangan pemerintah yang tinggi atau dikenal dengan istilah “repression” menjadi suatu
perekonomian yang lebih terbuka. Konsep dasar teori keterbukaan ekonomi dari
McKinnon memperlihatkan pendekatan liberalisasi ekonomi dengan cara bertahap.
Keempat hal tersebut yaitu :

1. Stabilisasi ekonomi makro merupakan persyaratan yang utama (necessary)


yaitu dengan cara menjaga keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran
pemerintah.
2. Membuang semua distorsi dalam pasar barang, pasar modal dan pasar tenaga
kerja sebelum menggabungkan diri kedalam ekonomi global.
3. Melakukan liberalisasi perdagangan internasional yaitu dengan cara merubah
hambatan non tarif menjadi tarif, dan mengurangi tarif yang ada.

62
4. Melakukan liberalisasi aliran modal (external capital account) yaitu dengan
cara membebaskan control terhadap nilai tukar dan membiarkan nilai tukar
berfluktuatif.
Pandangan McKinnon dan Swan mengenaikan kebijakan represi keuangan
(financial repression) yang terjadi dalam perekonomian ditandai dengan adanya
batasan dalam tingkat bunga (suku bunga riil rendah) dalam perekonomian justru
menyebabkan rendahnya minat masyarakat untuk menyimpan dananya di bank dan
pada akhirnya supply dana investasi berkurang, dampaknya pertumbuhan ekonomi
melambat.

Guna mengatasi hal tersebut, McKinnon dan Swan merekomendasikan


kebijakan liberalisasi keuangan yaitu dengan adanya kebijakan tingkat bunga yang
sesuai dengan mekanisme pasar. Kenaikan tingkat bunga berarti adanya peningkatan
intensif yang dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga akan mendorong masyarakat
menyimpan dananya di bank. Hal ini berarti adanya akumulasi modal yang dapat
digunakan untuk pertumbuhan ekonomi. Secara lebih rinci uraian tersebut dapat
dijelaskan dalam gambar berikut :

Grafik 1 :
Hubungan Tingkat Tabungan, Tingkat Investasi dan Tingkat Bunga Riil

Tingkat bunga
riil riiiilReal
Sy
0 Sy1

Sy2

r3

r2 F’

r1

r0
F

I
63

I0 I1 I2 tingkat
tabungan,
tingkat investasi
Tingkat tabungan S(yo) pada tingkat pendapatan yo merupakan fungsi dari
tingkat bunga. Notasi F menunjukkan pembatasan keuangan (financial constraint)
dan notasi Io menunjukkan tingkat investasi pada tingkat awal dan r o merupakan
tingkat bunga riil pada tingkat awal. Dalam hal ini kondisi represi keuangan terjadi
pada tingkat bunga riil ro. Tingkat tabungan pada keadaan ini ditunjukkan pada kurva
S(yo). Sehingga tingkat investasi yang ada hanya terbatas pada Io.
Liberalisasi keuangan dapat dilihat dari pergerakan ke atas dari garis F
menjadi garis F’. Hal ini menyebabkan suku bunga riil lebih tinggi dari tingkat
sebelumnya, baik r o maupun r1. Kenaikan dalam tingkat bunga riil ini akan diikuti
dengan adanya kenaikan dalam tingkat tabungan yang dapat dihimpun oleh bank dari
masyarakat. Meningkatnya tingkat tabungan dalam perbankan ini dapat dimanfaatkan
oleh investor untuk membiayai proyeknya, sehingga dapat meningkatkan kegiatan
ekonomi dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Tingkat
tabungan meningkat dari S(yo) menjadi S(y1), S(y2) dan seterusnya seiring dengan
kenaikan dalam tingkat bunga. Sedangkan tingkat investasi akan meningkat dari I o
menjadi I1, I2 dan seterusnya. Secara lebih rinci perkembangan tersebut menjadi :
ro,S(yo),Io  r1,S(y1),I1  r2,S(y2),I2  pertumbuhan ekonomi.
Konsep dasar teori keterbukaan ekonomi dari McKinnon bukannya tanpa
kelemahan. Beberapa kritik muncul terhadap sequencing of economic liberalisation
theory. Pertama , Pemerintahan yang tidak kredibel dapat menghambat proses
reformasi. Kedua, pendekatan gradual memungkinkan kelompok-kelompok tertentu
yaitu kepentingan bercokol untuk bertahan atau bahkan menghambat proses
reformasi. Ketiga, pada prinsipnya pengendalian terhadap modal (capital control)

64
adalah hal yang lebih mudah untuk dilakukan. Dengan demikian pertumbuhan
ekonomi dapat dilakukan dengan melakukan liberalisasi modal terlebih dahulu.

Menanggapi kritik tersebut, maka kemudian muncul adanya konsensus yang


berkembang berkaitan dengan sequencing of economic liberalisation theory ,
konsensus tersebut menyangkut :

1. Stabilisasi ekonomi makro


2. Liberalisasi pasar uang dalam negeri dengan cara :
a. Menjaga kestabilan ekonomi makro dan mengimplementasikan
pengawasan yang hati-hati terhadap perbankan dan mengawali dengan
membangun skema asuransi deposito.
b. Deregulasi suku bunga dalam negeri
c. Membiarkan bank-bank baru untuk masuk pasar setelah proses
liberalisasi finansial.
3. Deregulasi untuk mengambangkan perdagangan internasional dan pasar
modal.

Keterbukaan perekonomian tidak dapat dilepaskan dari globalisasi dan


integrasi ekonomi diberbagai kawasan yang kemudian memunculkan free trade area.
Studi yang dilakukan oleh UNDP (2005) menjelaskan adanya tiga alasan yang
mendorong semakin tingginya kegiatan antar Negara dalam blok perdagangan, yaitu :
perubahan kebijakan domestik yang dikombinasikan dengan berkembangnya
teknologi baru, berkurangnya hambatan dalam perdagangan internasional,
menurunnya biaya transportasi, komunikasi dan teknologi informatika. Rodrik (2001)
mengungkapkan letak geografis akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam
free trade area melalui pembangunan kelembagaan dan integrasi pasar global.
Menurut Krugman dan Obsfelt (2004) pada dasarnya keterbukaan ekonomi
suatu Negara melalui perdagangan internasional karena dua alasan, yaitu adanya
perbedaan scarcity antar Negara dan untuk mencapai economics of scale dalam

65
kegiatan produksi. Keuntungan yang diperoleh melalui perdagangan internasional
dapat dikenal sebagai gains of trade yang ditunjukkan pada jarak D-E pada gambar-2
berikut :
Grafik 2 : Gains of Trade

C
X

X
E

3. Kasus Indonesia
Pada kasus Indonesia, keterbukaan ekonomi juga merupakan bagian dari
kehidupan perekonomian Indonesia. Data perekonomian Indonesia, sebagaimana
dipublikasikan secara internasional terlihat dalam gambar-3.

Keterbukaan ekonomi Indonesia seperti pada gambar-3 dirumuskan dalam


dua bentuk keterbukaan, yaitu keterbukaan berdasarkan harga konstan (Openk) dan
keterbukaan berdasarkan harga berlaku (Openc). Dari kedua pendekatan tentang
keterbukaan tersebut terlihat bahwa hubungan ekonomi dengan dunia internasional
melalui perdagangan, baik ekspor maupun impor, merupakan sesuatu yang tidak
terelakkan. Adanya relevansi antara harga domestik dengan tingkat keterbukaan

66
ekonominya, bisa menyebabkan harga domestik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berperan dalam mengubah struktur perdagangan internasional, yang salah satunya
adalah stabilitas harga negara partner dagang dan stabilitas faktor fundamental
ekonomi negara partner dagan (Agung Nusantara).

Grafik 3 : Derajat Keterbukaan Ekonomi


120

100
% [(X+M)/ GDP]

80

60

40

20

0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Openc 49.06 49.9 52.85 50.52 51.88 53.96 52.26 55.99 96.19 64.04 76.39 76.85 65.09 56.93 63.28
Openk 66.25 71.32 73.56 72.66 79.31 85.9 85.56 92.32 102.38 65.71 76.39 77.99 72.03 70.57 81.71

Dengan demikian karena perekonomian Indonesia adalah perekonomian


terbuka maka, akan terkena imbas apabila negara partner dagangnya mengalami
permasalahan ekonomi, demikian juga jika perekonomian global mengalami masa
sulit, baik disebabkan oleh partner dagang Indonesia maupun negara lain.

Indikator keterbukaan perekonomian lain diproksi dengan rasio total ekspor


dan impor dengan PDB. Rasio keterbukaan perekonomian Indonesia dapat dilihat
pada tabel 2, yang menunjukkan nilai positif dan memiliki kecenderungan meningkat.
Hal ini mengindikasikan bahwa keterbukaan perekonomian bagi Indonesia
menguntungkan karena nilai neraca transaksi perdagangan (balance of trade) surplus.

67
Tabel 2 :
Indikator Perekonomian Makro Indonesia
Tahun 1990-2010 (%)

Tahun Pertumbuhan Financial Keterbukaan


Ekonomi Development Perekonomian
1990 9,0 39 475
1991 8,9 40 550
1992 7,2 42 613
1997 4,7 57 951
1998 -13,1 60 762
1999 0,8 59 727
2000 4,9 53 956
2008 6,0 38 2663
2009 4,6 38 2133
2010 6,1 39 2934
Sumber : Asian Development Bank,2011, diolah

Keuntungan lain dari terbukanya perekonomian Indonesia dapat ditunjukkan


pada indikator pertumbuhan ekonomi yang memiliki nilai positif (kecuali tahun 1998
karena dampak krisis ekonomi tahun 1997). Ini menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pendapatan penduduk Indonesia sebagai akibat dari keterbukaan
perekonomian, sehingga dapat pula disimpulkan daya beli meningkat dan terjadi pula
peningkatan kesejahteraan.

Namun demikian, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan


perdagangan internasional yang semakin meningkat dan memiliki rasio positif, tidak
diikuti dengan perkembangan sektor keuangan (financial development) yang diukur
dari rasio jumlah uang beredar (M2) dengan produk domestik bruto. Perkembangan
pada tahun 2010 menunjukkan bahwa angka financial development (FD) kembali
pada tingkatan pada tahun 1990. Penurunan angka FD mengandung arti tingkat
monetesasi yang terjadi dalam perekonomian nasional mengalami penurunan. Hal ini
terjadi karena beberapa hal : (1) instrument keuangan di sektor keuangan terbatas

68
(baik jumlah maupun jenisnya), (2) insentif yang diberikan sektor keuangan kecil
dibandingkan dengan insentif dari sektor lainnya, (3) instrumen keuangan di Negara
lain lebih profitable, (4) kurang adanya kepercayaan masyarakat terhadap sektor
keuangan dalam negeri.

4. Support
Perekonomian Indonesia mengamali fluktuasi dalam
perkembangannya pada dua dasawarsa terakhir. Konstelasi perekonomian dunia yang
sangat dinamis membawa dampak pada kejutan-kejutan dalam bentuk kontraksi dan
ekspansi perekonomian domestik. Hal ini terjadi karena pada dasarnya perekonomian
nasional sudah banyak melakukan keterbukaan ekonomi. Kondisi ini dapat berakibat
pada semakin derasnya aliran ekonomi dan perdagangan baik dari luar negeri ke
Indonesia atau dari Indonesia ke luar negeri. Proses keterbukaan ekonomi yang
terjadi membawa dampak pada ketergantungan perekonomian pada negara-negara
yang terlibat di dalamnya. Krisis keuangan yang terjadi di Asia dan dunia pada
umumnya berdampak pada kontraksi ekonomi di Indonesia. Stabilitas perekonomian
dan trend pertumbuhan ekonomi yang positif ternyata tidak mampu menjaga angka
pertumbuhan ekonomi pada level yang positif. Krisis keuangan yang terjadi
mempengaruhi kinerja berbagai perusahaan di Indonesia yang mengalami koreksi
atas situasi yang terjadi.
Namun apabila dilihat pada indikator lainnya, penurunan pertumbuhan
ekonomi pada tahun 1998 tersebut tidak paralel dengan perkembangan pada indikator
perkembangan sektor keuangan dan kegiatan perdagangan secara internasional. Dua
indikator tersebut masih memiliki trend perkembangan yang positif dan bahkan
sektor keuangan masih mampu memberikan kontribusi positif pada penyediakan
likuiditas keungan bagi masyarakat Indonesia. Masih kuatnya posisi financial
deepening Indonesia pada tahun 1998 tersebut menunjukkan bahwa sektor keuangan
masih menjadi pilihan penting dalam pelaku ekonomi domestik dalam menjalankan
kegiatan ekonomi dan perdagangannya.

69
Grafik 4 : Rasio Hutang Terhadap PDB

Indikator rasio hutang luar negeri Indonesia terhadap PDB menunjukkan


penurunan, sehingga bisa dijelaskan bahwa keterbukaan ekonomi setelah terjadinya
krisis menyebabkan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap luar negeri semakin
berkurang.
Grafik 5 : Pertumbuhan Ekonomi

70
Indikator pertumbuhan ekonomi juga mengalami peningkatan setelah
terjadinya krisis ekonomi, hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah
berkaitan dengan keterbukaan ekonomi bisa meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam perkembangan perekonomian nasional pasca krisis keuangan pada
tahun 1998, kondisi perekonomian domestik mengalami pencerahan. Siklus bisnis
(gelombang konjungtur) yang terjadi secara bertahap tapi pasti bergerak pada
tingkatan kestabilan ekonomi yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang positif.
Selama periode 1999-2010 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup siginifikan. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan
ekonomi pemerintah dengan keterbukaan ekonomi dapat mendorong adanya ekspansi
pada sumber daya ekonomi secara global dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.
Sebagai akibatnya mesin pertumbuhan ekonomi bergerak secara dinamis dalam
memanfaatkan peluang usaha dan keunggulan bersaing. Pergerakan ekonomi yang
positif ini diikuti dengan kegiatan perdagangan internasional yang semakin meluas
(rasion ekspor dan impor terhadap PDB). Seiring dengan implementasi free trade
area dalam bentuk asean economic community dan kerjasama ekonomi regional
lainnya dapat mendorong arus lalu lintas perdagangan menjadi semakin terbuka
peluangnya.
Kestabilan perekonomian yang diikuti dengan kinerja perekonomian yang
positif membutuhkan peran sektor keuangan yang semakin berkembang. Sektor
keuangan yang semakin berkembang akan dapat mendorong kegiatan ekonomi
bergerak secara lebih leluasa dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi dan dalam
upaya untuk merespon permintaan pasar terhadap output yang ada. Dalam hal ini
menurut McKinnon (1973) and Shaw (1973) sektor keuangan merupakan faktor
penting dalam proses akumulasi modal yang direfleksikan dalam bentuk tabungan,
investasi dan produktifitasnya. Selanjutnya menurut King and Levine (1993) efisiensi
merupakan faktor penting dalam sektor keuangan yang memiliki peran penting dalam
pembangunan dari pada dampak dari sejumlah investasi yang ada.

71
Grafik 6 : Penanaman Modal Asing dan Domestik

Sumber : BPS

Keterbukaan ekonomi juga memberikan dampak positif dari aspek penanaman


modal asing yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Ini mengindikasikan
bahwa kenaikan PMA bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan merujuk pada
Grafik 5 .
Tinjauan secara empiris menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hasil penelitian oleh
Amiruddin, dkk (2007) menunjukkan adanya hubungan antara perkembangan sektor
keuangan dengan pertumbuhan ekonomi di negara Malaysia. Hasil penelitian tersebut
memperkuat temuan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan adanya
hubungan positif antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan
ekonomi (King and Levine,1993 ; Levine,dkk,2000; Nourzad,2002).
Selain keterkaitan antara sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi,
literatur ekonomi juga membahas keterkaitan antara keterbukaan ekonomi yang
tercermin dalam indikator perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi.

72
Dalam hal ini pemahaman teori Klassik dalam bidang perdagangan internasional
mengarahkan pada suatu teori bahwa perdagangan internasional akan dapat
mendorong kegiatan ekonomi suatu negara. Dengan semakin terbukanya
perekonomian suatu negara, maka akan semakin membuka peluang setiap negara
untuk dapat melakukan kegiatan perdagangan internasionalnya.

Grafik 7 : Perkembangan Ekspor-Import

Sumber : Bank Indonesia

Perkembangan nilai ekspor dan impor selama periode 2000 sampai 2010
menunjukkan grafik yang meningkat dengan perilaku data yang sama, ini
menunjukkan aspek lain nilai positif dari keterbukaan ekonomi.

Namun demikian, patut pula dicermati bahwa keterbukaan perekonomian di


kawasan ASEAN menjadi kawasan ekonomi tunggal ASEAN juga dapat berdampak
pada keterbukaan sektor keuangan masing-masing negara terhadap penetrasi dari
negara lain di ASEAN. Secara teoritis, keterbukaan sektor keuangan tersebut dapat
menyebabkan persaingan di sektor keuangan menjadi semakin ketat. Pasar keuangan
domestik yang ditandai dengan perkembangan sektor perbankan akan menghadapi
pilihan investor baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri di kawasan ASEAN.
Dalam hal ini kegiatan ekspor dan impor akan semakin mudah dan cepat manakala

73
ditopang oleh perkembangan sektor keuangan yang semakin dinamis dalam
memberikan pelayanan kepada pelaku ekonomi. Dalam hal ini menurut Kletzer and
Bardhan (1987) negara dengan perkembangan sektor keuangan yang baik (well-
developed financial sector) memiliki keunggulan komparatif dalam industri dan
sektor yang berhubungan dengan keuangan eksternal. Semakin berkembangnya
sektor keuangan akan dapat mendorong pelaku ekonomi untuk mengembangkan
usahanya melalui pembiayaan dari perbankan. Perlauasan usaha yang terjadi pada
akhirnya juga dapat mengakibatkan adanya peningkatan kapasitas output baik untuk
keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun untuk keperluan memenuhi
pasar luar negeri (ekspor).

Beberapa indikator ekonomi yang dijelaskan di atas menjelaskan pentingnya


atau terdapatnya pengaruh positif dari keterbukaan ekonomi pada perekonomian
Indonesia. Dengan semakin menguatnya indikator makro perekonomian, maka
stabilitas perekonomian Indonesia juga dapat dijaga. Ini dapat diketahui pada
indikator ekonomi nilai tukar IDR yang merupakan variable ekonomi paling sensitif
terhadap gejolak ekonomi maupun non ekonomi sebagai akibat dari kerterbukaan
ekonomi. Indeks nilai tukar IDR menunjukkan grafik yang relatif stabil setelah
terjadinya krisis ekonomi.
Grafik 8 : Indeks Nilai Tukar IDR

74
5. Kritik
Pengaruh positif pada variabel-variabel makro ekonomi Indonesia sebagai
akibat dari semakin terbukanya perekonomian Indonesia bukannya tidak
menimbulkan masalah. Terdapat tiga permasalahan struktural yang dihadapi oleh
perekonomian Indonesia dalam hubungannya dengan keterbukaan ekonomi. Pertama,
masih belum berartinya kontribusi total faktor produktivitas di dalam memacu
pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia lebih banyak didorong oleh akumulasi modal dan juga masih tingginya
intensitas produksi yang berbasis penggunaan teknologi rendah dan lemahnya
kemampuan tenaga kerja. Kedua, rendahnya dasar kemampuan tenaga kerja pada
industri manufaktur dan timpangnya struktur industri. Sektor manufaktur Indonesia
memiliki derajat ketergantungan yang tinggi terhadap input import untuk semua
tingkatan industri manufaktur, ini mengindikasikan lemahnya keterkaitan industri
dalam negeri. Selain itu, sektor manufaktur masih terkonsentrasi di kota-kota besar di
wilayah Jawa yang berdampak pada ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.
Ketiga, rendahnya kemampuan teknologi yang tercermin dari indikator rendahnya
kelulusan mahasiswa pendidikan tinggi khususnya bidang ilmu alam, teknik dan ilmu
kedokteran. Selain itu, jumlah peneliti dan teknisi per penduduk sangat jauh
dibandingkan Negara China, Korea, Malaysia dan Singapura. Ketiga hambatan
struktural tersebut merupakan faktor dominan yang mempengaruhi keterbukaan
perekonomian Indonesia dilihat dari perubahan ekspor khususnya di lingkup pasar
ASEAN yaitu competitive factor dibandingkan dengan demand dan diversify factors.

Kritik terhadap keterbukaan ekonomi di Indonesia didukung oleh penelitian


yang dilakukan Buckman (2005) yang menyimpulkan bahwa telah terjadi
pemahaman yang salah atas dampak keterbukaan ekonomi bagi pertumbuhan.
Buckman memberikan dua kritik :

75
1. Tidak cukup bukti yang kuat yang mengatakan semakin kecil hambatan tariff
semakin besar pertumbuhan ekonomi. Studi lain memperlihatkan bahwa
volume perdagangan tidak memiliki hubungan yang kuat dengan
pertumbuhan.
2. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi banyak variabel ekonomi dan non
ekonomi, jadi tidak hanya oleh perdagangan semata.
Kritik lain berkaitan dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang didorong
oleh keterbukaan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dimana
kebijakan dilakukan dengan menitik beratkan pada pendekatan reformasi pasar
(market reform) dengan cara “big bang”. Kebijakan tersebut kurang tepat karena
tidak memperhatikan hal-hal teknis dalam kaitannya dengan orientasi kelembagan
pasar, sehingga dalam masa transisi ekonomi sangat dimungkinkan terjadi market
failure yang ditandai dengan adanya monopoli, rigiditas pasar tenaga kerja, alokasi
subsidi industri yang tidak efisien. Kesemuanya itu justru berdampak pada turunnya
pertumbuhan ekonomi dan turunnya pendapatan perkapita, dimana keduanya
merupakan cost of economics reform yang merupakan biaya dari keterbukaan
ekonomi.

Krisis ekonomi Asia Tenggara yang terjadi pada pertengahan tahun 1997
melalui contagion effect menyebabkan krisis multidimensional di Indonesia, juga
mendasari kritik terhadap keterbukaan ekonomi. Krisis yang berawal dari krisis
finasial sektor swasta di Thailand berkembang/ meyebar sehingga menyebabkan
depreasi nilai tukar IDR yang sangat tajam, inflasi yang tinggi, pengangguran
meningkat dan banyak perusahaan gulung tikar. Hal tersebut memperlihatkan bahwa
leberalisasi finansial yang terlalu berlebihan ternyata memberikan dampak yang
sangat berbahaya bagi perekonomian suatu Negara.

76
77
BAB IX
REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INDUSTRI

I. PENDAHULUAN
Pada awal tahun 1980-an perlu diingat adanya 2 peristiwa yang penting.
Pertama, banyak dari negara-negara berkembang, termasuk mayoritas negara-negara
di Amerika Latin dan Afrika dilanda krisis hutang dan krisis ekonomi makro dalam
jumlah yang besar. Kemudian pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang
jarang tumbuh dan bahkan di beberapa negara justru terjadi penurunan. Peristiwa
diatas menyebabkan pada masa tersebut dikenal sebagai “the lost decade” dalam
pembangunan.
Tetapi mungkin tidak semua hilang. Peristiwa penting yang kedua adalah
kritik dari para pembuat kebijakan setelah melalui penelitian yang cermat terhadap
kebijakan inward looking, kebijakan substitusi impor, kritik tersebut pun datang dari
pemimpin pemerintah yang sama dimana sebelumnya sangat antusias dalam
mengimplementasikan kebijakan seperti itu. Pada akhir dekade tersebut, kelompok
anti ekspor dan anti pengusaha swasta menjadi bias dan telah kehilangan
kepercayaan. Pengusaha pemerintah, promosi industrial, dan proteksi perdagangan
telah ditinggalkan, dan privatisasi (swastanisasi), deregulasi industri dan era
perdagangan bebas telah dimulai.
Tulisan ini berusaha mengulas apa konsekuensi adanya reformasi kebijakan
perdagangan dan industri tersebut dengan mengkombinasikan penjelasan secara
teoritis dan kenyataan agar lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan mengenai apa
yang terjadi disekitar kita. Penelitian mengenai reformasi ini tidak hanya terbatas
pada kajian teoritis atau berdasarkan kenyataan semata, tetapi telah dilakukan uji
empirikal yang sistematis terhadap konsekuensi reformasi tersebut pada lingkungan

78
sekitarnya. Dan reformasi ini dibatasi pada reformasi kebijakan perdagangan dan
industri ; meskipun isu stabilisasi makro ekonomi dibahas sekilas tetapi hanya ang
berkaitan langsung dengan masalah diatas. Dan dalam proses reformasi ini terlibat
pula Bank Dunia dengan program yang ditawarkan berupa Structural Adjustment
Loans (SAL’s). untuk lebih jelasnya maaka akan dipaparkan dibawah ini.

II. REFORMASI KEBIJAKAN, PENYESUAIAN STRUKTURAL DAN


BANK DUNIA

Selama tahun 1980-an, structural adjustment menjadi nama lain dari reformasi
kebijakan. Hampir semua reformasi kebijakan selama periode tersebut pada negara
berkembang diilhami dan atau didukunng oleh SAL’s dari Bank Dunia. Reformasi
tersebut tidak terlepas dalam konteks dialog antara pemerintah dengan Bank Dunia-
yang terkadang juga dengan IMF. Adanya campur tangan dari Bank Dunia dan IMF,
termasuk didalamnya dalam masalah pembiayaan kegiatan tersebut, telah
menyebabkan adanya keseragaman dalam karakteristik agenda reformasi tersebut.
Dan kata “structural adjustment” telah menjadi kode yang digunakan untuk
menggambarkan dan melegitimiasikan reformasi, sedangkan liberalisasi dan orientasi
keluar (outward oriented) jadikan strategi utama dalam pembangunan. Mungkin
hanya Cina yang tidak melakukan hal tersebut, karena Bank Dunia dan IMF telah
menyekat kebijakan pembangunannya. Reformasi kebijakan secara terus menerus
mempunyai arah pergerakan yang jelas dalam perekonomian menuju penggunaan
mekanisme pasar yang besar dan insentif swasta, serta pada orientasi ekspor yang
lebih luas dan aturan main yang ditetapkan oleh Bank Dunia dalam reformasi ini telah
menjadi bagian dari sejarah dan dianalisa di sejumlah sumber yang berbeda,
khususnya oleh staf Bank Dunia itu sendiri.
Keterlibatan Bank Dunia dalam SAL’s adalah adanya peningkatan yang tajam
terhadap pinjaman negara-negara bekembang tersebut sebagai akibat rasa frustasi
yang mereka rasakan akibat oil shocks yang kedua. Yang melatar belakangi Bank
Dunia untuk memberikan pinjaman adalah untuk mengembangkan kapasitas ekspor

79
yang lebih besar. Pada awalnya Bank Dunia cenderung naif melihat distori yang
cukup besar pada pengembangan strategi di banyak negara berkembang. Negara
sedang berkembang harus mulai untuk memindahkan atau bergerak dari distori
insentif harga yang sangat tinggi dan kerangka investasi untuk sesuatu yang lebih
stabil dan lebih berorientasi pada harga yang ditetapkan pada sistem pasar, dan
perekonomian menjadi lebih terbuka serta mengurangi proteksi – proteksi yang ada.
Pada dasarnya SAL’s ini diawali adanya krisis pembayaran eksternal
disebabkan adanya dua putaran oil shocks, perhatian Bank Dunia diarahkan untuk
memperbaiki distrosi mikro ekonomi. Hal tersebut menjadi pemandangan yang biasa
tentang adanya krisis hutang sebagai salah satu dari simpul distrosi tersebut.
Tujuan pembentukan SAL’s adalah menutupi stabilitasi makro dan reformasi
mikro. Ada dua jenis respons dari kebijakan, keduanya dinamakan “adjustment”,
guna mengatasi shock eksternal pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Yang pertama
adalah stabilisasi dalam mengatur pengurangan pengeluaran dari sebuah penyesuaian
permintaan domestik akan sumber daya yang memungkinkan di suatu negara. Kedua
adalah structural adjustment atau perubahan harga relatif dan mendesain
kelembagaan guna menciptakan perekonomian yang semakin efisien, lebih fleksibel,
dan dapat mengalokasikan sumber daya yang lebih baik serta menjaga agar terus
terjadi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.”
Definisi lain menjelaskan structural adjustment sebagai inti dari
pembangunan adalah structural adjustment ; dari pedesaan ke perkotaan ; dari
pertanian ke industri ; dari produksi untuk konsumsi rumah tangga ke produksi untuk
pasar ; dari perdagangan domestik yang besar ke rasio perdagangan luar negeri yang
lebih besar. Jadi secara umum, pembangunan sinonim dengan structural adjustment.”
Dalam tulisan ini ini structural adjustment akan difokuskan pada kebijakan
structural adjustment, contoh kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
ekonomi dan pertumbuhan jangka panjang. Kebijakan stabilisasi makro ekonomi
yang ditujukan untuk stabilisasi harga dan secara keseluruhan keseimbangan antara
sumber-sumber daya ekonomi dengan pengeluaran.

80
81
III. APA YANG HARUS DI REFORMASI ?

Dari sejumlah daftar mengenai kebijakan apa yang perlu di reformasi, maka
yang paling menonjol adalah masalah rezim insentif industri bagi negara-negara yang
melakukan kebijakan subtitusi impor. Pada kebijakan perdagangan, reformasi
langsung ditujukan pada masalah perijinan dan hambatan-hambatan kuantitatif
lainnya, tingkat tarif yang sangat tinggi dan sangat bervariasi, pajak ekspor dan surat-
surat kelengkapan yang berkaitan dengan birokrasi perbatasan. Dalam kebijakan
industri, targetnya adalah efisiensi dan pengusaha pemerintah yang tidak optimal,
hambatan untuk masuk dan keluar bagi pengusaha swasta untuk bergerak dibidang
tertentu, kontrol harga, kebijakan pendeskripsian pajak dan subsidi dan kendala biaya
yang ringan.
Gambaran mengenai proteksi perdagangan di negara-negara berkembang
dengan menggambarkan masalah hambatan tarif dan non tarif pada sekitar 50 negara
berkembang pada pertengahan tahun 1980-an menyajikan daftar tingkat tarif rata-
rata, pengukuran rasio untuk non tarif, kuota dan deposit impor. Dan masih banyak
pula penelitian yang berusaha menggambarkan bagaimana proteksi perdagangan di
negara berkembang sebelum dilakukannya reformasi.
Penelitian terbaru dilakukan secara lengkap melalui studi multi-volume pada
kebijakan harga produk petanian dimana dikatakan bahwa hal itu perlu di lakukan
untuk produk pertanian dimana dapat diberlakukan pula bagi kebijakan perdagangan
sektor industri pada awal perkembangannya. Mereka menjelaskan bahwa dampak
intervensi kebijakan pada sektor pertanian, dimasukkan dalam perhitungan efek
langsung (contoh campur tangan spesifik sektor) dan efek tidak langsung (contoh
peningkatan pembatasan perdagangan pada produk manufaktur dan untuk mendorong
perubahan nilai tukar keseimbangan).
IV. DASAR PEMIKIRAN DARI REFORMASI KEBIJAKAN
Studi yang memperhatikan masalah kebijakan perdagangan dan industrialisasi
secara bertahap sudah mulai ditegakkan dalam rangka reformasi kebijakan di negara

82
sedang berkembang. Tidak dapat disangkal bahwa kesuksesan Korea Selatan,Taiwan,
Singapura dan Hongkong yang lebih ditekankan pada kebijakan orientasi pasar.
Mungkin yang menentukan keberhasilan mereka adalah krisis pembayaran eksternal
yang diawali dari kegagalan hutang membuat perubahan kebijakan yang tidak dapat
dihindarkan. Perubahan yang diambil pembuat kebijakan didorong guna menghadapi
krisis neraca pembayaran akibat adanya penetapan kuota dan berdampak pada
rasionalisasi nilai tukar mata uang asing. Kemudian pada tahun 1980-an para
pembuat kebijakan telah belajar dari pengalaman sebelumnya dalam menghadapi
krisis minyak yang pertama. Dan alasan lain yang juga mempengaruhi reformasi
tersebut adalah :
1. Bank Dunia dan IMF secara kondisional ikut mengatur dalam
pembiayaan eksternal yang keberadaanya sangat membantu
berlangsungnya reformasi tersebut.
2. krisis makro ekonomi yang dalam dan terus menerus diatasi dengan
memperhatikan pendistribusian di second place dimana ditahannya
reformasi mikro ekonomi pada waktu normal yang lebih banyak.
Ada 4 argumen dasar yang memungkinkan terjadinya reformasi kebijakan
orientasi pasar :
a. Liberalisasi ekonomi mengurangi peningkatan efisiensi statis dari mis-
alokasi dan pemborosan sumber daya.
b. Liberalisasi ekonomi mempertinggi pengetahuan, perubahan teknologi
dan pertumbuhan ekonomi.
c. Ekonomi yang berorientasi ke luar adalah lebih baik dalam mengatasi
adanya ekstermal shocks.
d. Sistem ekonomi yang didasarkan atas pasar cenderung kurang dalam
aktivitas yang senantiasa mencari celah yang bermanfaat (rent
seeking).

83
4.1. Efek Statis ; Miss-alokasi Sumber Daya
Biaya efisiensi dari kebijakan subtitusi impor meliputi sebagian besar proteksi
perdagangan pada tingkat yang tinggi dan pengaturan industrial, dimana hal tersebut
telah didokumentasikan secara ekstensif dalam studi yang dilakukan. Kebijakan-
kebijakan telah mendorong untuk mengembangkan sektor industri dimana diperlukan
biaya tinggi dan melakukan sedikit untuk memastikan bahwa produktifitas akan
meningkat sepanjang waktu. Maka dihasilkan pola spesialisasi menjadi dipisahkan
dari masalah keunggulan komparatif. Dari perspektif alokasi sumber daya tersebut,
dampak-dampaknya adalah munculnya anti ekspor ; anti pertanian ; anti tenaga kerja
dan anti pendatang baru di sektor industri.
Sementara antara argumen secara teori dan empirikal untuk biaya mis-alokasi
sumber daya dari sindrom substitusi impor adalah sangat kuat, hal itu lebih keras lagi
untuk membuat kasus yang memaksakan besarnya biaya-biaya tersebut.
4.2. Efek Dinamis ; Perubahan Teknologi, Pengetahuan dan
Pertumbuhan
Kebijakan industrialisasi substitusi impor pada awalnya dilakukan dengan
harapan dapat meningkatkan kemampuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi
negara tersebut, akan tetapi kedua hal tersebut tidak pernah terealisasi dalam
kenyataan. Sementara itu negara-negara Asia Timur yang berorientasi keluar
(outward looking) dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat
yang memuaskan. Sejak awal banyak ahli ekonomi mengatakan bahwa posisi industri
yang tergolong infant industry tidak dapat dipertahankan, karena jika hal itu terus
dipertahankan yang terjadi justru kemunduran dibidang industri itu sendiri. Maka
kelompok anti ekspor dan anti persaingan sudah tidak berlaku lagi, yang ada adanya
upaya untuk melakukan pemotongan biaya yang tidak efisien (menekan high cost
economy), akuisisi dari kemampuan teknologi dan pertumbuhan yang
berkesinambungan. Koreksi dari kebiasan tersebut dipindahkan dengan disintensif
teknologi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Balassa (1988) :

84
“Hal tersebut sering diteliti bahwa (monopoli dan oligopoli) lebih kepada
“quite life” daripada kegiatan inovatif, dimana diperlukan resiko dan
ketidakpastian. Pada gilirannya persaingan yang harus dirancang (carrot and
stick) memberikan dorongan pada perubahan teknoogi. Untuk satu hal, dalam
penciptaan persaingan untuk produk-produk dalam negeri di pasar rumah
tangga, insentif terhadap import-import untuk perusahaan eksportir terus
berusaha untuk mengikuti teknologi modern dalam kegiatan produksinya
untuk memelihara atau meningkatkan posisi pangsa pasarnya.”
Pandangan tersebut menjadi kebijaksanaan konvensional dalam menjelaskan
hal-hal yang berhubungan pada masa lalu (retrospektif) dari kesuksesan Asia Timur,
sebaik argumen prospektif untuk memindahkan distrosi tersebut pada negara-negara
sedang berkembang lainnya.
Distrosi harga relatif, seperti pajak perdagangan dan subsidi investasi adalah
hal yang pertama. Beberapa dampak distrosi relatif profitabilitas terhadap industri dan
sektor-sektor. Konsekuensinya, meskipun perubahan pada sektor ya g
menguntungkan dapat dikatakan mempunyai konsekuensi yang jelas untuk kegiatan
inovatif, dan perubahan neto pada inovasi lebarnya ekonomi (economic wide) tetap
tidak dapat diprediksi. Kegiatan inovatif dapat dikurangi di beberapa sektor, tetapi
ditingkatkan di sektor lain.
Argumen tersebut dapat diidentikkan dengan X-efisiensi ; jika tarif
mendorong kelambatan pengusaha dalam sektor persaingan impor karena
peningkatan hal tersebut pada beberapa sektor harga relatif dengan logika yang sama
mereka harus mengurangi kelambatan sektor yang berorientasi ekspor.
Kebijakan perdagangan dan industri memiliki kejelasan yang mengganggu
konsentrasi kemampuan pengetahuan dan teknologi. Beberapa contoh yang
terkemuka dijelaskan berikut ini. Kontrol harga domestik pada komoditas industri
seperti baja menghambat inovasi dan peningkatan kualitas karena selalu terjadi
kelebihan permintaan ; dalam menghadapi kelebihan permintaan, pemerintah menjadi
tidak perlu meningkatkan permintaan untuk meningkatkan produksinya. Hambatan

85
untuk masuk dan keluarnya suatu industri, akan lebih mudah dan efisien jika
pendatang baru tersebut sebagai free riding atau membeli lisensi daripada membuat
baru.
Ada 3 jenis bukti empirik yang berhak disebutkan yang berkaitan dengan
sebab dan dampak antara perfoman proteksi dan teknologi yang mengkhawatirkan,
yaitu :
(1). Studi kasus level industri,
(2). Studi industri silang dari perubahan efisiensi teknik dan produktifitas,
dan,
(3). Studi negara silang dari pertumbuhan ekonomi.

4.3. Respon dari Eksternal Shocks


kasus reformasi industri diperkuat dengan argumen bahwa negara-negara
yang berorientasi ekspor mempunyai posisi yang lebih baik dalam menghadapi shock
eksternal negatif daripada negara-negara yang berorientasi ke dalam. Argumentasi
tersebut telah dianalisa dari perbandingan pengalaman beberapa negara berdasarkan
pada periode saat terjadi oil shock, Balassa menghitung dampak nilai tukar pada
perdagangan luar negeri dan shock permintaan eksport untuk beberapa negara. Dia
membagi shock agregat kedalam 4 jenis yang disebutnya sebagai “respon kebijakan”
:
(1). Tambahan pembiayaan eksternal neto,
(2). Meningkatkan pangsa pasar ekspor,
(3). Subtitusi impor
(4). Efek impor terhadap penurunan pertumbuhan GNP.
Untuk negara-negara promosi ekspor. Negara-negara promosi ekspor, tidak
seperti negara berorientasi ke dalam, mampu untuk meningkatkan pangsa pasar
dunia, yang pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

86
Analisis komparatif pengalaman di Asia Timur dan Amerika Latin dalam
memperbaiki krisis hutang yang berlarut-larut dengan memberikan bagian yang
cukup besar terhadap GNP-nya.
Ekonomi terbuka lebih baik dalam menghadapi shock eksternal yang negatif.
Hal itu berguna untuk membedakan antara dampak dari shock dan keluar dari masa
transisi. Pengurangan dari arus modal eksternal berpengaruh pada negara yang
berpartisipasi aktif pada pasar modal internasional daripada yang tidak. Dampak
shocks negatif eksternal menjadi suram pada kebanyakan negara yang menganut
ekonomi terbuka seperti Korea dan Chili , tetapi relatif tidak berpengaruh pada negara
tertutup seperti India.
Jadi tidak hanya negara-negara yang berorientasi keluar yang kebal terhadap
shock, tetapi mereka juga mempunyai waktu yang lebih singkat untuk keluar dari
krisis. Tetapi hal diatas merupakan masalah konseptual saja. Jika untuk memahami
orientasi keluar tersebut melihat keberadaan distrosi mikro ekonomi akan menjadi
insentif yang bias dari ekspor, hal tersebut sulit untuk melihat bagaimana distorsi
tersebut dapat dapat berhubungan sebab akibat antara krisis neraca pembayaran yang
biasanya mengikuti eksternal shocks. Pada perekonomian subsisten (simple),
hambatan perdagangan menurunkan ekspor dan impor, dan tidak memiliki implikasi
pada keseimbangan antara keduanya. Keseimbangan perdagangan ditunjukkan
dengan kebijakan makro ekonomi, seperti kebijakan pengeluaran dan kebijakan nilai
tukar. Respon yang benar dari shock neraca pembayaran merupakan kombinasi dari
pengurangan pengeluaran dan kebijakan switching pengeluaran seperti kebijakan
nilai tukar.

4.4. Efek Kelembagaan ; Mengurangi rent seeking


Pembentukan kelembagaan dibawah kebijakan substitusi impor mempunyai
jenis cara kerja yang memperlebar variasi distorsi insentif dan mis-alokasi sumber
daya di mana secara bersamaan disebut rent seking. Biaya sumber daya dari distorsi
yang besar menjadi berlipat ganda dengan adanya eksistensi dari beberapa aktivitas.

87
Selama pemerintah ada dan mengimplementasikan kebijakannya, individu-individu
dan kelompok-kelompok akan menggunakan kekuatan politik untuk mengambil
manfaat bagi dirinya sendiri.
V. MENGINTERPRETASIKAN KEMBALI PENGALAMAN ASIA
TIMUR

Cerita kesuksesan Asia Timur, sebagai contoh tingkat pertumbuhan yang


mengagumkan yang dialami oleh Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan
Hong Kong, meningkatkan tantangan tentang bagaimana pengalaman tersebut dapat
diikuti oleh negara lainnya. Para ekonomi yang mengajukan keterbukaan dan
liberalisasi di bidang harga bagi negara-negara berkembang sebagaimana yang
digambarkan dari pengalaman Asia Timur dengan tajam dikemukakan oleh para
spesialis di Asia Timur itu sendiri. Gambaran yang umumnya ditampilkan mengenai
keajaiban meminimisasi distorsi harga, memberikan kebebasan penuh pada sistem
pasar, dan menonjolkan ekspor. Pada kasus Korea dan Taiwan, ditekankan pada
reformasi dimana terjadi pengurangan hambatan besar-besaran terhadap masalah
keuangan, dan mendirikan rejim perdagangan bebas terhadap bagi para eksportir.
Tetapi apa yang dilakaukan di Asia Timur tidak seperti menyerupai apa yang
dilakukan oleh negara Amerika Latin. Penelitian yang menggambarkan kemajuan
liberalisasi di Jepang, Korea dan Taiwan menyimpulkan kemajuan liberalisasi di
Jepang tidak sampai tahun 1960 dalam membatasi bagian terbesar dari hambatan
kuantitatif yang formal ; nilai rasio liberalisasi impor nominal diperluas dari kurang
70 % pada tahun 1976. mirip juga dengan Taiwan tidak membatasi bagian terbesar
terhadap hambatan kuantitatif formal sampai awal tahun 1970-an ; rasio liberalisasi
impor nominal meningkat dari 61,5 % pada tahun 1970 menjadi 96,5 % pada tahun
1973. Korea dijadwalkan untuk mengurangi bagian terbesar dari batasan kuantitatif
tersebut selama periode 1984-1988.
Mengacu pada studi yang dilakukan oleh Korean Development Institute
(KDI), rata-rata tingkat efektif pada hambatan di Korea (untuk penjualan domestik
saja) kenyataannya meningkat dari 30 % pada 1963 menjadi 38 % pada 1978, setelah

88
itu menjadi 24 % pada tahun 1970, dimana kondisi tersebut merupakan refleksi dari
peningkatan proteksi pada sektor pertanian, akan tetapi untuk barang-barang industri
properti, tingkat efektifitasnya menurun dari 26 % pada tahun 1963 menjadi 13 %
pada tahun 1978. kontras dengan peningkatan dan no-hold-barred liberalisasi yang
terjadi di Chile pada pertengahan kedua tahun 1970, dan di Bolivia, Mexico dan
Argentina pada tahun 1980 sangat mengejutkan.
Pemerintah Korea menggunakan proteksi perdagangan, menseleksi subsidi
kredit, target eksport (bagi perusahaan individu), kepemilikan swasta di sektor
perbankan, subsidi ekspor, dan kontrol harga – semuanya menyebarkan pemikiran
tunggal dari akuisis jasa dari kapabilitas teknologi dan membangun industri-industri
yang pada akhirnya akan meningkatkan daya kompetisi di pasaran dunia. Kebijakan
pemerintah menjadi sukses tidak disebabkan karena tepatnya penetapan harga, tetapi
disebabkan karena tepatnya penetapan harga, tetapi disebabkan tujuan dari kebijakan
tersebut yang salah. Sehingga elemen yang paling strategis adalah pertukaran dari
subsidi pemerintah dan proteksi perdagangan oleh pemerintah juga membentuk
standar performan yang keras. Perusahaan dimana performannya mengkhawatirkan
maka mereka akan menjadi subjek program “rasionalisasi”.
Adanya elemen-elemen dalam pasar bebas (seperti di Hong Kong) mengikuti
strategi Taiwan, dimana Taiwan dikatakan menguasai ekonomi pasar, dengan
karakteristik sebagai berikut :
(i). Tingkat investasi yang tinggi,
(ii). Lebih banyak investasi pada industri-industri kunci daripada
membiarkan keberadaan campur tangan pemerintah,
(iii). Menyebar luaskan banyak industrinya pada persaingan di dunia
internasional.
Perembesan dari insentif dan kontrol dari perusahaan swasta menembus
hambatan impor, syarat untuk masuk (entry), syarat kandungan lokal, insentif
investasi fiskal, dan konsensional kredit. Dikatakannya pula bahwa Taiwan memiliki

89
konsistensi dalam mengantisipasi keunggulan komparatif di beberapa sektor seperti
kain tekstil, plastik, metal dasar, pembuatan kapal, mobil dan industri elektronik.
Akan tetapi pengalaman keberhasilan di Asia Timur tidak bisa atau tidak sama
jika diterapkan di negara-negara Amerika Latin, atau di negara Asia lainnya.
Kebijakan dalam kuota impor dan lisensi subsidi kredit, pembebasan pajak,
kepemilikan publik, dan selanjutnya. Sebagai contoh, subsidi ekspor yang bekerja
dengan baik di Korea ternyata tidak efektif dan menjadi sumber rent seeking di
Kenya, Bolivia dan Senegal. Hipotesa yang masuk akal untuk menjelaskan hal
tersebut karena adanya perbedaan jalan dalam interaksi pemerintah dengan sektor
swasta. Di Asia Timur pemerintah sebagai pengikut stackelberg dalam berhadapan
dengan sektor swasta di banyak negara berkembang di dunia.
Jika apa yang terjadi dalam pengalaman di Asia Timur menjadi revisionist
(yang melakukan perbaikan) dan liberalis dapat disetujui, maka mungkin dpat diikuti
sebagai berikut :
(a). Terdapat banyak campur tangan pemerintah dan kebijakan perdagangan
yang aktif dan industri,
(b). Tetapi campur tangan mengambil tempat yang terpenting dalam konteks
kebijakan stabilitas makro ekonomi dalam bentuk anggaran defisit dan
manajemen nilai tukar yang realistis,
(c). Juga penting, pemerintah menekankan pada komitmen penuh pada
ekspor dengan membantu meminimisasi biaya sumber daya dan insentif
problem,
(d). Juga, campur tangan mengambil tempat dalam karakteristik
pembentukan kelembagaan dengan “hard” state dan disiplin
pemerintahan yang kuat terhadap sektor swasta,
(e). Dan akhirnya membentuk kekurangan di banyak negara berkembang
lainnya.

90
VI. MODEL-MODEL TERBARU PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA

Satu dari argumentasi yang biasanya terdapat dalam tipe kebijakan industri di
Asia Timur adalah pemerintah mungkin tidak dapat membuat keputusan-keptusan
yang menghalangi perkembangan industri menjadi sukses dan sebab itu patut
didukung. Jadi sifat kebijakan pemerintah tersebut senantiasa memelihara persaingan
yang mendukung keunggulan komparatif potensial.
Pendapat tersebut tidak lagi menjadi jelas dalam model perdagangan yang
terbaru dengan increasing return to scale dan persaingan yang tidak sempurna.
Diasumsikan bahwa banyak operasional perusahaan yang dibawah increasing return
to scale. Juga dianggap bahwa produksi industrial memperagakan permintaan atau
technological spillovers, dimana perluasan suatu perusahaan mendorong untuk
meningkatkan permintaan akan barang tersebut, dan dengan skala produksi seperti itu
biaya produksi perusahaan akan semakin berkurang. Masalah diatas tidak lepas dari
gaung teori yang dikemukakan oleh Rosenstein Rodan (1943), Nurske (1953) dan
Hirschman (1958), sebagaimana konsep “big push”, “balance growth” dan
“linkages”.
Seberapa penting persaingan tidak sempurna dalam negara sedang
berkembang ? Persaingan tidak sempurna sering merupakan konsekuensi dari
kebijakan pemerintah itu sendiri ; pembatasan masuk dan keluar, lisensi kapasitas dan
hambatan jumlah barang yang diperdagangkan ditentukan dalam suatu kebijakan.
Keadaan return to scale pada kenyataannya sangat terbatas. Biasanya tidak ditemukan
jejak yang signifikan mengenai kondisi return to scale, tidak satupun dari industri-
industri yang pernah diteliti (sampai tiga digit industri) yang menunjukan kondisi
constant return, dan hanya dua dari empat digit yang diestimasi menunjukkan
increasing return to scale.
Mungkin dari literatur akhir-akhir ini kontribusi utamanya adalah munculnya
alat-alat analisis yang baru. Alat analisis dikelompokkan menjadi tiga isu ; interaksi
strategi diantara perusahaan ; eksternalitas ukuran pasar ; dan keseimbangan pada saat

91
return to scale dan learning by doing dari internal perusahaan. Tiga jenis kebijakan
tersebut adalah :
(1). Kebijakan perdagangan strategis (contoh kebijakan profit shifting)
Banyak dari modeling kebijakan yang diperhatikan akhir-akhir ini mengenai
pembentukan persaingan tidak sempurna meningkat pada kebijakan
perdagangan strategis. Model ini didasarkan dari dua oligopoli di negara yang
berbeda, persaingan pada pasar ketiga dan biaya operasi dibawah konstan.
Untuk industri yang bertujuan pada pasar persaingan tidak sempurna potensi
untuk mempertahankan kelebihan keuntungan, paling tidak jika industri yang
masuk dibatasi.
Secara sistematis analisa kebijaksanaan dalam wilayah perdagangan dan
investasi asing langsung telah menyajikan akses keuntungan, dan kesimpulan
yang berguna pada implikasinya bagi negara berkembang. Dan pelajaran yang
dapat diambil dari kebijakan seperti ini adalah :
a. Persaingan dari perusahaan asing diperlukan meskipun tidak selalu
menguntungkan,
b. Import dapat mengakibatkan perusahaan berada di bawah laissex-faire,
c. Investasi luar negeri dapat menjadi menyenangkan, meskipun dibawah
perdagangan bebas,
d. Kebijakan dimana terdapat diskriminasi bagi perusahaan yang dimiliki
oleh domestik akan dapat bermanfaat,
e. Ditentukan peristiwa empirik yang memungkinkan, persaingan tidak
sempurna pada sektor industri bagi negara berkembang tidak harus
pada tingkat tarif nominal yang lebih dari 15%,
f. Persaingan tidak sempurna pada sektor industri di negara berkembang
bukan argumen yang melanggar pengukuran liberalisasi perdagangan.
(2). Kebijakan untuk mempromosikan industri dengan skala ekonomis
Dalam teori perdagangan yang baru campur tangan kebijakan potensial
dimana perusahaan domestik beroperasi pada tingkat kapasitas sub optimal.

92
Pada saat ini increasing return to scale, biaya rata-rata perusahaan harus
menunjukkan gap antara harga dan marginal cost (meskipun excess profit
sama dengan nol). Pada prinsipnya, gap dapat diperkecil melalui kebijakan
subsidisasi dan proteksi perdagangan dengan meningkatkan skala produksi
yang ada.
Jika pemerintah mampu mengambil keuntungan dari pasar dunia, maka perlu
melepaskan ketergantungan dari demand spillovers di sektor lain pada
perekonomian yang sama. Pada saat kebijakan pemerintah sering menghadapi
rintangan yang besar dibidang perdagangan, argumen dapat dibaca dengan
jelas sebagai salah satu hal dari perdagangan bebas daripada campur tangan
pemerintah. Proteksi perdagangan dapat menyebabkan perusahaan untuk
meningkatkan output dan mengurangi biaya per unit. Dalam liberalisasi
perdagangan, harga domestik pada industri-industri persaingan impor menjadi
rendah, dimana dampak tingkat penurunan dari biaya rata-rata pada
keseimbangan baru.
(3). Kebijakan untuk mempromosikan pengetahuan dan pertumbuhan
Model akhir-akhir ini dari pertumbuhan endogen ditekankan bagaimana
kegiatan pengetahuan dan purposive R & D yang mengendalikan
pertumbuhan ekonomi mendobrak kreasi produk-produk baru. Tidak seperti
model neo klasik solow, tingkat pertumbuhan dalam jangka panjang dlam
model tersebut menekan dengan forever diminishing marginal productivity of
capital, dan dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Perdagangan internasional memiliki tiga konsekuensi utama yaitu
1. keunggulan komparatif atau efek alokasi,
2. pangsa pasar atau efek integrasi,
3. efek redundasi (kelebihan).

Penelitian tradisional yang disajikan untuk mengklarifikasi hubungan antara


produktifitas pertanian, keterbukaan dan pertumbuhan oleh Matsuyama (1992)

93
memperlihatkan bagaimana efek produktifitas pertanian pada pertumbuhan sebagai
perantara pada keterbukaan ekonomi. Untuk itu diperlihatkan kunci-kunci sebagai
berikut :
i. ada dua sektor pertanian dan industri,
ii. adanya learning by doing dalam sektor industri, yang mendorong
pertumbuhan, dan
iii. elastisitas pendapatan dari permintaan untuk output pertanian kurang
dari satu.
Dalam perekonomian tertutup, model memprediksikan bahwa pertanian
berhubungan positif dengan pertumbuhan ; semakin produktif sektor pertanian,
semakin tinggi sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh indusrti, dan tingkat
pengetahuan dan pertumbuhan semakin cepat. Pada perekonomian terbuka, makin
produktif pertanian semakin berperan ekonomi untuk menspesialisasikan di sektor
pertanian dan hasilnya dijadikan sumber bagi industri, dimana indusrti sebagai mesin
pertumbuhan.

VII. ISU DARI STRATEGI REFORMASI

Pengenalan rezim perdagangan dan industri di negara berkembang terasa


membutuhkan adanya reformasi, sebaik pengalaman pertumbuhan dengan reformasi
telah menyebabkan berkembangnya literatur yang membahas tentang reformasi.
Beberapa isu dilibatkan seperti reformasi yang bertahap- memiliki tradisi panjang
yang panjang dalam menganalisa ekonomi. Yang lainnya adalah analisa kredibilitas
kebijakan dan interaksi dengan stabilisasi dan sebagainya.
7.1 Teori Reformasi yang Bertahap
Teori tentang reformasi ini berkembang secara alami sedikit demi sedikit dari
teori the second best. Seandainya semua distrosi kebijakan tidak dapat dipindahkan
sekalipun ; akapah reformasi dapat meningkatkan pendapatan agregat ? untuk melihat
hal tersebut didukung oleh literatur tentang :

94
(1). Kesamaan penurunan presentasi dari semua peninkatan distrosi
pendapatan agregat (disebut “radial” mthod),
(2). Pengurangan distorsi dari kebanyakan tarif pajak yang tinggi untuk
barang meningkatkan pendapatan agregat (disebut “concertina”
method).
7.2 Penyeragaman Tingkat Pajak atau Tarif
Adanya penyeragaman tarif ditujukan untuk mengurangi tingkat penyebaran.
Akan tetapi tidak adanya penyeragaman struktur tarif menjadi lebih baik daripada
penyeragaman tarif. Untuk barang-barang yang bersaing dengan barang impor
diproteksi dengan tingkat tarif yang tinggi untuk menghindarkan distorsi konsumsi.
Penyeragaman tarif akan optimal hanya jika ditujukan bagi kebijakan untuk
menurunkan impor agregat pada tingkat tertentu.
7.3 Interaksi dengan Kebijakan Stabilisasi
Lebih signifikan bahwa reformasi perdagangan dan harga sering dalam
kenyataan merupakan program tambahan dari stabilisasi. Manajemen ekonomi makro
diukur melalui difisit fiskal, overvalutioin dari nilai tukar, dan tingkat suku bunga riil
yang negatif membuat perbedaan signifikan dari produktifitas proyek investasi.
Adanya inflasi yang tinggi dapat meniadakan keuntungan dari reformasi struktural.

VIII. KONSEKUENSI JELAS DARI REFORMASI KEBIJAKAN


Sejak reformasi pada tahun 1980-an maka perlu kita evaluasi hasil dari
reformasi tersebut perlu dilaporkan. Sebagai tambahan, hasil dari reformasi struktural
telah ditunda dengan adanya ketidakstabilan lingkungan makro ekonomi. Untuk
alasan yamg sama, konsekuensi dari reformasi mikro ekonomi adalah sulit untuk
menguraikan dari efek kebijakan stabilisasi.
8.1 Respon sisi Penawaran dan Restrukturisasi
Staf Bank Dunia selalu menjadi orang yang berada di garis depan dalam
mengevaluasi konsekuensi kebijakan reformasi. Dan analisanya difokuskan pada
negara-negara yang menerima SAL’s. Sekali shok eksternal dikontrol, kecenderungan

95
penerima SAL menjadi lebih baik dibandingkan negara yang tumbuh sisi ekspor dan
ekonominya tetapi buruk dalam masalah investasi. Pengurangan dalam investasi
menimbulkan teka teki, dan disarankan bahwa peningkatan pertumbuhan akan
semakin besar selama dampak dari tambahan impor dibuat memungkinkan dengan
pembiayaan dari luar.
Argumen untuk mendapatkan tingkat harga yang tepat diprediksi pada
ekstensi yang tidak dapat diabaikan terhadap respons suplay terhadap perubahan
harga. Bagi ekspor, jelas bahwa dapat dengan jelas usaha seperti itu akan
meningkatkan harga penawaran barang yang akan diekspor, dan dampaknya akan
terasa cepat terhadap permintaan barang tersebut.
Kemudian hal lain bahwa ekspor boom secara umum akan mengakibatkan
devaluasi mata uang asing dengan tajam dan akibatnya pada subsidi ekspor. Hal itu
dialami oleh industri komponen elektronika da Malaysia, tekstil di Bangladesh dan
Srilanka dan Maquiladora di Meksiko.
Satu dari peraturan yang ketat pada performan ekspor pada negara-negara
tersebut diberlakukan, sekali menentukan meningkatkan ekspor maka hal tersebut
memberikan efek histeris yang kuat, karena dapat dianggap sebagai dorongan yang
kuat untuk mendapatkan ekspor keluar. Tetapi apa yang terjadi tidak dapat disama
ratakan dengan negara lain.Untuk negara yang mskin, seperti di Afrika yang
merupakan negara pertanian, respon sisi penawaran lebih terbatas daripada di
Amerika Latin atau di negara Asia. Elastisitas penawaran barang pertanian cenderung
rendah dalam jangka pendek. Survey dari respon penawaran agregat pada pertanian
diharapkan pada jangka panjang elastisitas harga dari penawaran akan berkisar 0.3 –
0.9, dengan negara-negara yang lebih rendah dari range tersebut.
8.2 Konsekuensi untuk Efisiensi Statis dan Dinamis
Konsekuensi produktifitas pada reformasi di Cina mengalami mpeningkatan
yang relatif tinggi. Dikatakan bahwa di Cina insentif reformasi telah membiarkan
Total Factor Production tumbuh dengan cepat dan penurunan TFP dibeberapa

96
perusahaan yang berbeda. Dikatakannya, pertumbuhan TFP mempunyai korelasi
positif terhadap bagian keuntungan yang ditahan bagi suatu perusahaan.
Data sistematis yang jelas mengenai efisiensi konsekuensi dari reformasi
perdagangan datang dari penelitian James Tybout dari bank dunia. Mereka merakit
sekelompok panel data dari beberapa negara berkembang, dan mempunyai subjek
yang dianalisa secara statistik, dengan memperhatikan isu secara konseptual dan
ekonometrik. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan :
1. Apakah liberalisasi perdagangan telah menyebabkan penurunan price-
cost margin pada sektor Import competing? Diketahui bahwa semakin
tinggi penetrasi impor dihubungkan dengan markup price-cost yang
rendah ( pengontrolan terhadap rasio output kapital dan efek tetap ) Gap
antara price-cost diturunkan dalam industri persaingan yng tidak sempurna
dengan peurunan proteksi yang dialami sebelumnya, sementara mereka
ditingkatkan atau tetap terhadap yang lain.
2. Apakah adanya reformasi tersebut telah menjadikan perusahaan
mengambil keuntungan yang lebih baik dari sisi skala ekonomi ke arah
rasionalisasi industri? Tybout melihat kasus Chili pada periode 1979-
1985, dikatakan tidak ada hubungan antara persaingan impor dengan exit
rate. Pengawasan terhadap efek industri dan negara, membuka
perdagangan dengan lebih tinggi berhubungan positif dengan ukuran lahan
pertanian yang lebih kecil dalam jangka panjang.
3. Apakah reformasi telah meningkatkan efisiensi secara teknik?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Foroutan ( 1992 ) dilaporkan
bahwa pertumbuhan dalam penetrasi impor dihubungkan dengan TFP di
Turki. Performan TFP lebih baik bagi industri yang berdasarkan
pengalamannya menurunkan proteksi dengan besar. Hal itu terjadi di
Meksiko dimana penurunan proteksi yang dramatik telah meningkatkan
efisiensinya.

97
IX. KESIMPULAN

Beberapa kelompok tidak setuju bahwa adanya perubahan kebijakan telah


membawa suatu negara bergeser kearah yang lebih baik seperti yang dialami oleh
negara Asia Timur, contohnya di Bolivia dan Ghana. Pengalaman di Asia Timur
menunjukkan adanya distorsi harga relatif, dan analisa dari padanya, dan secara
institusional dilebih-lebihkan. Yang terjadi pada ekonomi di Korea Selatan dan
Taiwan menjadi makmur dengan adanya karakteristik kebijakan lingkungan dengan
restriksi perdagangan kuantitatif, subsidi yang diseleksi, dan beberapa negara yang
mencoba mengikuti langkah yang mirip dilakukan oleh negara-negara di Asia Timur
itu tidak dimiliki oleh negara berkembang yang lain. Perbedaan itu antara lain,
masalah disiplin di Asia Timur dalam sektor swastanya.
Kesimpulan minimal dari pembuat kebijakan dari negara yang ingin
mengikuti jejak negara Asia Timur itu harus mendapatkan harga yang tepat, tetapi
bukan memberdayakan reformasi tersebut berhenti sampai disitu. Reformasi yang
sejati harus mampu menciptakan interaksi dari kelompok yang baru antara
pemerintah dengan sektor swasta, mempu menciptakan kebijakan stabilitas
lingkungan dan dapat diprediksi, kemudian kegiatan rentseeking, dan meningkatkan
kemampuan pemerintah mendisiplinkan sektor swasta. Atau dengan kata lain,
perubahan tidak semata- mata diperlukan suatu kebijakan tetapi juga bagaimana
pembuat kebijakan tersebut. Pengalaman Asia Timur tersebut penuh dengan petunjuk
yang harus dikaji lebih lanjut.

98
BAB X
INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN
Industri di negara-negara sedang berkembang (Less Developed Countries,
LDCs) seusai perang dunia II adalah sebuah pencapaian hasil yang sangat
mengesankan. Proses industrialisasi selama tiga dasa warsa silam di negara yang
sedang berkembang (LDCs) telah melahirkan revolusi industri kedua dan telah
mengubah perekonomian dunia lebih radikal dari pada perubahan yang terjadi di
Inggris pada akhir abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas. Dalam kurun
waktu 1060 – 1981, output industri LDCs tumbuh lebih cepat daripada produk
domestik bruto (GDP) dengan akibat meningkatnya pangsa industri dalam GDP.
Akan tetapi, sebagian besar kegiatan usaha manufaktur diantara LDCs sangat tidak
merata, 10 negara sedang berkembang mempunyai nilai tambah usaha manufaktur
(manufacturing value added, MVA) terbesar menguasai 70% dari MVA seluruh
LDCs pada tahun 1980.
Meningkatnya kepentingan kegiatan industri LSCs tercermin dalam
perubahan yang terjadi dalam struktur perdagangan barang-barang yang dihasilkan.
Dalam kurun Pasca Perang Dunia, perdagangan dunia secara keseluruhan tumbuh
lebih cepat daripada output dunia, dengan kata lain berbagai negara cenderung lebih
terbuka dan saling bergantung termasuk negara berkembang.
Pertumbuhan sektor manufaktur mempunyai efek keuntungan tidak langsung
dalam tingkat kelahiran, tingkat kesehatan umum, dan pendidikan. Dalam beberapa
kasus sektor manufaktur mampu memberikan input yang produktif atau barang-
barang konsumen dengan tepat daripada apa yang akan didapatkan pasar dunia.
Tulisan ini mengkonsentrasikan pada gambaran umum teori-teori Industri
terkemuka, perusahaan multinasional dan struktur industri, penentu pertumbuhan
industri paling penting, produktivitas dan hubungannya dengan orientasi perdagangan

99
dunia, efisiensi pada perusahaan individual, efek tenaga kerja industrialisasi, serta
jalan keluar bagi LDCs.
Tulisan ini juga mencoba mengkaji kontribusi perdagangan di LDCs terhadap
proses industrialisasi di LDCs, dimana industrialisasi merupakan sasaran pokok
kebijakan dan industri dianggap perlu karena untuk menopang pertumbuhan
ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan modernisasi.
Istilah industrialisasi dalam tulisan ini adalah pertumbuhan output industri-
industri yang secara bersama-sama membentuk sektor industri. Istilah perdagangan
adalah interaksi dagang antara LDCs dengan negara lain termasuk berbagai macam
kebijakan perdagangan LDCs yang secara langsung mempengaruhi neraca
pembayaran LDCs.
II. PERSPEKTIF TEORI ALTERNATIF
Beberapa macam prespektif analisa dapat digunakan untuk membahas
pengalaman pelaksanaan kebijakan perdagangan dan industrialisasi LDCs. Dalam
bagian ini, kita memperbincangkan tiga perspektif analisa pokok yang kita jumpai
dalam literatur pembangunan – neo klasik, struktural, dan radikal.
2.1. Perspektif Neoklasik
Dalam pendekatan Neo Klasik, tolok ukur melakukan penilaian ekonomi
adalah efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Sebuah perekonomian dianggap
efisien dalam produksi bila penawaran tiap barang atau jasa tidak dapat dinaikkan,
tanpa mengurangi penawaran barang lainnya. Satu cara terpenting yang dapat
ditempuh oleh berbagai perekonomian agar barang-barang dapat diperoleh adalah
mengekspor beberapa barang untuk ditukar dengan barang-barang lain, efisiensi juga
berarti bahwa sebuah negara memanfaatkan dengan sebaik-baiknya peluang
perdagangan luar negerinya (World Bank, 1993). Alokasi sumber daya yang efisien
untuk barang dan jasa yang diperdagangkan secara internasional ditetapkan oleh
marginalnya pada harga internasional. Dan hal itu harus dicapai melalui operasi
mekanisme pasar yang tidak terkekang, dengan harga pasar yang berlaku untuk
mengalokasikan sumber daya secara efisien sesuai dengan keunggulan komperatif.

100
Untuk mencapai tujuan itu maka distorsi pasar dalam negeri harus dihapuskan dan
adanya kebebasan perdagangan internasional termasuk dalam pasar mata uang asing
(Balassa, 1982).
Menurut kaum neoklasik tindakan proteksionis yang besar dalam perdagangan
akan menurunkan tingkat perekonomian yang bersangkutan. Perdagangan bebas yang
didasarkan pada keunggulan komperatif akan menuntun masing-masing kearah
spesialisasi produksi ekspor. Partisipasi yang lebih besar dalam perdagangan
internasional dan integrasi yang lebih erat ke dalam perekonomian internasional
bermanfaat bagi perekonomian nasional.
2.2. Perspektif Strukturalis
Penganut strukturalis mengecam analisa neo klasik tentang perdagangan dan
industrialisasi. Pendukung strukturalis berpendapat bahwa mekanisme harga di LDCs
tidak bekerja sesuai dengan model persaingan sempurna, karena itu tidak dapat
diterapkan di LDCs. Kaum strukturalis berpendapat bahwa kecenderungan jangka
panjang perdagangan bergerak merugikan produksi-produksi primer hasil pabrik,
sehingga LDCs perlu beralih dari ketergantungan pada ketergantungan perdagangan
dan ekspor barang primer ke industrialisasi yang mengandalkan pasar dalam negeri.
Perdagangan internasional sesudah perang dunia tidak dapat lagi bertindak sebagai
motor pertumbuhan bagi LDCs sehingga pelu dicari alternatifnya dalam bentuk
industrialisasi subtitusi impor.
Dalam model “dua celah” dijelaskan bahwa sasaran tingkat pertumbuhan
dapat terhalang oleh kurangnya devisa yang tersedia, sehingga LDcs perlu akan
bantuan luar negeri untuk mengurangi bahkan mengatasi kendala devisa. Proses
industrialisasi yang cepat akan menciptakan kebutuhan modal yang besar dan impor
barang antara yang hanya dapat dibeli dengan penerimaan ekspor yang terbatas, jika
barang konsumsi dibatasi
Banyak kecaman yang dilontarkan oleh kaum strukturalis terhadap pendapat
yang pro-perdagangan ditujukan pada sifat statis teori neoklasik utamanya tentang
analisa yang mengabaikan kesulitan yang mungkin dihadapi oleh sebuah negara

101
dalam upayanya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan keunggulan komperatif
dari waktu ke waktu. Penyesuaian dengan pola perubahan pada permintaan
internasional tidak pernah tanpa pergesekan, sementara kemampuan ekspor yang
berdasarkan pada keunggulan komperatif adalah kecil dapat menimbulkan
ketidakstabilan penerimaan dan penyesuaian struktural jangka panjang.
Strukturalis juga mengatakan bahwa teknologi itu tidak statis dan mempunyai
sifat yang tidak sama antara satu negara dengan negara lain, karena teknologi akan
terus menerus berubah dan saluran untuk mendapatkannya tidak sempurna.
Kemampuan untuk memperoleh dan memakai teknologi yang berubah itu merupakan
faktor yang sangat penting untuk menentukan hubungan antara perdagangan dan
pembangunan industri.
Kaum strukturalis juga berpendapat bahwa ketidak sempurnaan dipasar dunia
secara sistematis cenderung membagi keuntungan dari perdagangan dengan
merugikan mitra-mitra tawar-menawar yang lebih lemah, yakni LDCs. Karena itu
diperlukan hal-hal seperti campur tangan yang bertujuan untuk mengoreksi berbagai
ketidak sempurnaan dan pengalihan keuntungan dari perdagangan ke LDCs.
2.3. Perspektif Radikal
Gagasan pokok dalam paradigma radikal adalah bahwa perdagangan
internasional antara “Pusat” dan “Pinggiran” menghalangi kemajuan ekonomi LDCs.
Para penulis memusatkan perhatian mereka pada dampak hubungan perdagangan
kolonial dimana industri milik asing menghasilkan barang ekstraktif, hanya
mempunyai pertalian yang sangat sedikit dengan perekonomian dalam negeri. Dalam
kegiatan ini sebagian besar input diimpor dan output diekspor. Penguasaan asing
memastikan bahwa surplus yang diperoleh dalam industri itu ditransfer ke negara
induk yang maju. Kemerdekaan tetap melestarikan ketergantungan ekonomi atau
dengan kata lain neokolonialisme sama sekali tidak berubah.
Dengan meluasnya industrialisasi di dunia ketiga perhatian penulis radikal
beralih ke peranan modal asing dalam proses industrialisasi. Ketergantungan pada
perusahaan Transnasional memperbesar hubungan ketergantungan LDCs melaui

102
beberapa cara, dan yang terpenting terkait dengan masalah ketergantungan teknologi.
Dikemukakan bahwa LDCs secara khas mengimpor jenis teknologi yang tidak tepat
dengan kondisi faktor yang ada dalam perekonomian yang sedang berkembang.
Pilihan teknologi pada gilirannya berhubungan dengan pemilihan produk industri,
dan perusahaan transnasional dipandang sebagai produsen yang hanya memenuhi
permintaan kelompok yang berpendapatan tinggi, yang tidak cocok dengan
kebutuhan sebagian besar kebutuhan penduduk. Praktek-praktek monopoli yang
dilakukan oleh TNCs seperti pemberian harga transfer dan kekuasaannya atas saluran
pemasaran dan distribusi untuk ekspor, dipandang sebagai cara-cara tambahan yang
melestarikan situasi ketergantungan pada modal asing.
Kaum radikal tidak sependapat terhadap kemingkinan berkurangnya
ketergantungan LDCs dan akan tercapainya industrialisasi yang independen.
Pembinaan kemampuan teknologi dalam negeri yang pada gilirannya menuntut
adanya kemampuan lokal untuk memproduksi barang modal dipandang sebagai
langkah penting ke arah industrialisasi yang independen. Bentuk pengembangan
industri yang lebih mengandalkan kekuatan sendiri sangat diperlukan disamping
adanya transformasi struktur ekonomi dan politik yang radikal agar ketergantungan
dapat dihapuskan.
III. MODEL-MODEL
3.1. Model Lintas Negara
Sejumlah analis telah menguji analisa cross-section aturan export dalam
menjelaskan pertumbuhan ekonomi. Dalam formula ini pertumbuhan output antar
negara, dijelaskan melaui perubahan permintaan angkatan karja, persediaan negara ,
dan eksport, dengan tindakan export sebagai sebuah shift faktor, Hicks Rental.
Walaupun detail dari berbagai study tidak bertentangan, khususnya mewakili
pertumbuhan persediaan modal. Tiada alasan yang mutlak untuk percaya kesalahan
pengukuran, jika dibenarkan akan menghilangkan signifikansi export.
Koefisien eksport akan selalu positif dan signifikan. Bagaimanapun
interpretasinya menyatakan dilema yang sama seperti dalam menjelaskan signifikansi

103
waktu trend permintaan. Export mungkin akan menghasilkan dampak yang
menguntungkan sebagai gambaran spesialisasi yang lebih, namun meningkatkan
keuntungan kapasitas bahkan pada sektor yang bukan pokok untuk mendapatkan
pengembalian seperti hasil kemampuan pertukaran luar negeri. Export menyokong
pendapat bahwa dalam pertukaran memaksa secara ekonomis, meningkatkan rata-rata
kegunaan yang membawa keuntungan besar dari orientasi export. Hal ini dan
penjelasan pendukung koefisien export dalam cros-section study lainnya tidak
mengimplikasikan bahwa total faktor produktifitas yang lebih meluas secara
konvensional akan menurunkan syarat-syarat unit input dengan fungsi porduksi yang
telah diberikan adalah hasil export.
Pertumbuhan eksport sebagai variabel bebas yang menjelaskan pertumbuhan
harga lintas negara sebuah realokasi sektoral export dan barang-barang non eksport,
variabel ini ditemukan dan diyakini menjadi faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan LDCs, hal ini mendukung argumen tentang realokasi sektoral dalam
proses pertumbuhan.
Pembuktian melalui penelitian dengan studi kasus di Korea menyediakan
salah satu penjelasan micro economic tentang hubungan antara produktifitas dan
pertumbuhan export. Badan usaha export diuntungkan oleh kesadaran untuk
mentransfer teknologi, dan membentuk design produk serta pemasaran yang bagus,
termasuk anjuran pada produk engineering. Pengalaman Korea Selatan
memperlihatkan studi tentang pentingnya transfer teknologi yang berpengaruh kuat
terhadap perdagangan luar negeri.
3.2. The Large Country Puzzle
Fenomena perkembangan yang paling membuat tanda tanya besar adalah
persistensi rendahnya produktifitas seperti dibuktikan oleh sumber biaya domestik
yang tinggi (DRCs) di negara-negara besar dalam kompetisi internal. Banyak negara
yang dianalisa secara detail atas pengaruh kuat yang telah dibawa regime
perdagangan adalah besar secara demografi dan ukuran permintaan terhadap ukuran
pasar domestik. Brazil, India, Meksiko dan Filipina adalah contoh yang menunjukkan

104
rendahnya ratio pemusatan dalam banyak industri seperti tekstil yang benar-benar
infisien. Bahkan dalam sektor yang dikarakteristikkan oleh pemusatan substansial
ratio, posisi monopoli yang mampu di proteksi tidak akan penting bagi badan usaha
yang mengambil jarak atas keuntungan dalam bentuk pengurangan usaha.
Seperti dalam keputusan-keputusan behavioral terdapat pendapatan dan
dampak subtitusi dan usaha besar untuk menambah efisiensi yang akan menaikkan
keuntungan. Dalam negara yang menggunakan subtitusi import secara besar, biaya
usaha untuk menaikkan produktifitas dapat dialokasikan melalui pertimbangan output
domestik dan keuntungan potensial umuran absolut dari bea penurunan usaha akan
menjadi kokoh. Pertimbangan matang akan menghitung usaha R & D secara
signifikan dalam negara-negara pen-substitusi import yang lebih besar di Amerika
Latin dan India
IV. POLA INDUSTRIALISASI
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menganalisa dalam kerangka kuantitatif
, perubahan-perubahan struktural yang terjadi selama proses pengembangan industri,
dengan tujuan untuk mengidentifikasi pola industrialisasi yang baku. Hipotesis
dasarnya adalah bahwa sementara pendapatan perkapita naik, industrialisasi
berlangsung dengan tingkat keseragaman yang cukup di seluruh negeri untuk
menghasilkan pola perubahan alokasi sumber daya yang konsisten, penggunaan
faktor dan gejala lain yang terkait.
Berbagai study empiris memperlihatkan terdapat hubungan antara perubahan
sektor usaha manufaktur (baik dalam ukuran maupun komposisi relatif) dan tingkat
pendapatan perkapita. Secara khusus perubahan struktural bermula dengan pangsa
usaha manufaktur yang kecil dalam GDP pada tingkat pendapatan perkapita yang
rendah. Laju perubahan struktur itu meningkat cepat pada tingkat pendapatan
menengah. Pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi (diatas 1000 US$/kapita)
pangsa sektor manufaktur terus tumbuh, tetapi dengan laju yang lebih lamban,
sementara negara yang bersangkutan masuk ke tahap dewasa.

105
Di samping itu, pola perkembangan industrialisasi masing-masing negara di
pengaruhi oleh sejarah ekonomi dan politiknya sendiri, hubungannya dengan negara
lain, dan oleh perubahan di lingkungan ekstern. Campur tangan aktif pemerintah pun
pada gilirannya dapat membentuk dan mempengaruhi sifat hubungan tersebut.
Identifikasi terhadap industri membedakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu
industri tahap awal memenuhi pemintaan negara-negara berpendapatan rendah akan
barang-barang kebutuhan pokok, dengan menggunakan teknologi sederhana, namun
tidak memperbesar pangsa dalam GNP diatas tingkat pendapatan perkapita yang
relatif rendah. Industri menengah tumbuh cepat bersamaan dengan naiknya
pendapatan perkapita dari tingkat yang amat rendah, tetapi pangsanya tumbuh dengan
lamban pada saat tingkat pendapatan menengah perkapita sudah tercapai. Industri
tahap akhir terus tumbuh lebih cepat daripada GNP sampai ke tingkat pendapatan
yang tertinggi, dan industri ini berciri khas melipatgandakan pangsanya dalam GNP
pada tahap akhir industri.
V. PERUSAHAAN MULTINASIONAL DAN STRUKTUR INDUSTRI
Dampak perusahaan multinasional (Multinasional enterprises, MNEs)
terhadap konsentrasi industri dalam perekonomian LDCs adalah sangat kontroversial.
Akibat jangka pendek masuknya MNEs pada mulanya mungkin memperendah
konsentrasi industri dalam negeri yang beroperasi di dalamnya. Penurunan
konsentrasi akan lebih besar apabila :
1. MNEs masuk dengan berbagai fasilitas baru bukan hanya mengambil alih
pabrik milik lokal yang sudah ada.
2. Jika masuknya MNEs mempelopori satu bidang industri menjadikan
pesaing-pesaing utama ikut masuk pula.
Dengan mekanisme Miniature Replica Effect (efek tiruan mini) , bahwa dalam
sebuah industri yang didominasi oleh sekelompok kecil oligopolis yang bersaing di
segenap penjuru dunia masuknya salah satu perusahaan itu ke dalam pasaran baru
dapat merangsang dilakukannya langkah struktur industri DC.

106
Meningkatnya GNP perkapita sebuah negara (diatas tingkat minimum tertentu
yang pada tingkat ini keterlibatan asing melalui investasi jadi bermanfaat), negara itu
akan beralih dari kedudukannya sebagai penerima arus modal netto ke kedudukan
baru sebagai pengirim modal netto ke luar negeri. Peralihan ini dapat dihubungkan
dengan MNEs lokal di LDC yang cepat tumbuh, walaupun bentuk MNEs asal LDCs
tidak sama dengan MNEs asal DCs.
VI. PENGARUH KUAT PERDAGANGAN PADA HASIL INDUSTRI
6.1. Produktifitas Industri Sebuah Kunci Variabel
Rata-rata pertumbuhan produktifitas dalam sektor industri telah dianggap
sebagai fenomena kunci dalam penjelasan evolusi sektoral industri ekonomi pada
masa sekarang. Teori perdagangan internasional menunjukkan implikasi adanya
perbedaan rata-rata pertumbuhan produktifitas sektoral. Analisa dari teori tersebut
dapat digunakan untuk menemukan implikasi terhadap perbedaan pertumbuhan
produktifitas 2 sektor ekonomi dimana permintaan perdagangan inter sektoral
ditentukan oleh domestik. Pemanfaatan secara banyak LDC, termasuk yang
kecil/sederhana, model ekonomi tertutup timbul secara layak atas sejumlah campur
tangan pemerintah yang menghalangi dunia harga dari penentuan pokok harga-harga
intersektoral.
Laju pertumbuhan dalam produktifitas industri mempunyai implikasi yang
besar atas transformasi struktural pada pengembangan ekonomi sekarang. Pertama,
pendapatan ekonomi ditingkatkan dari proses akselerasi produktifitas yang lebih
tinggi sejauh mungkin seperti elastisitas penghasilan atas permintaan barang industri
yang lebih banyak terhadapnya daripada agricultural. Kedua, memberikan harga yang
relatif kompetitif.. produktifitas tersebut meningkat sebagai refleksi menurunnya
hubungan harga barang-barang industri kepada masalah-masalah tersebut dimana
sektor agricultural yang dominan mempunyai pertumbuhan TFP rata-rata lebih
rendah. Menurunnya harga relatif diperlukan insentif untuk expansi secara luas pada
agricultural seperti harga antara konsumen dan produsen yang dibeli dari kota-kota
yang produk-produk agriculturalnya relatif jatuh (murah). Akhirnya, penurunan harga

107
relatif produk-produk industri ditingkatkan jumlah permintaan atas barang-barang
tersebut melalui permintaan elastisitas harga yang tinggi, menolong percepatan
pergeseran antara output dan alokasi terhadap sektor industri pedesaan.
Strategi substitusi impor dapat dilihat sebagai salah satu desain untuk
mempercepat proses transformasi struktural melalui penciptaan permintaan yang
diperbanyak atas barang-barang industri domestik, daripada mengandalkan pada
memperlambat proses pergerakan antar sektor dalam merespon untuk mengubah
produktifitas relatif dan differensiasi elastisitas pendapatan.
6.2. Biaya-biaya Perlindungan
Penghitungan atas kedua biaya produksi yang efektif dan harga sumber daya
domestik (DRCS) telah dinyatakan untuk menstabilkan besarnya harga-harga
tersebut. Belajar pada OECD, Bank Dunia dan National Burean of Economy
Research telah terdokumentasikan secara hati-hati dan teranalisa dampaknya
mengenai pengaruh tarif dan non tarif. Total harga atas pengaruhnya berkisar dari
mendekati 0 (Malaysia) hingga 10% GNP di Brasil. Penurunan kecil GNP meskipun
terukur tidak efisien dengan sektor perusahaan yang merefleksikan pembagian output
industri pada GNP, harga-harga relatif bertambah nilai industri adalah semakin besar.
Dalam sebuah variasi yang menarik pada argumen harga proteksi
konvensional, bahwa dampak yang merugikan ketidak efisiensian ISI adalah
hilangnya kebiasaan penghitungan jika penghitungan manufaktur setara 5% dari
GNP, sektor ini menerima keuntungan lebih dari produksinya dalam pendapatan (atau
tabungan) pertukaran luar negeri, sektor lain harus menghasilkan pendapatan dengan
perhitungan yang sama atas pertukaran luar negeri dalam akses faktor penerimaan
pembayaran. Jika tidak akan memunculkan ketidakseimbangan pembayaran. Karena
itu, pertumbuhan sektor manufaktur tidak sepadan dengan pertumbuhan produktifitas
yang berimplikasi kebutuhan akan subsidi yang berkembang pada perbandingan
harga. Sektor pajak export harus tumbuh untuk mengadakan tambahan subsidi. Jika
sektor export 15% dari GNP, 5 persen bobot mati hilang secara tidak langsung, 33%
pajak harus ditempatkan pada exportir. Meskipun pajak tak langsung dibebankan

108
pada sewa, akan menjadikan respon supply negatif sebaik pada kemunduran incentive
untuk meng-invest. Dalam rumus Lewis penghitungan konvensional atas bobot mati
hilang secara signifikan dalam pengaruh biaya proteksi sesungguhnya.
ERPS dan DRCS mengukur ketidak efisiensi alokasi seperti indikasinya
perhitungan faktor alokasi kepada sektor import yang tak dapat bersaing dengan
import ketika keduanya dimunculkan ke pasar bebas. Teknik yang tak efisien muncul
bila industri-industri tidak mampu bersaing dengan import dibawah rejim
perdagangan bebas yang menggunakan lebih banyak input-input per unit dari output
daripada pentingnya teknik. Keberadaan pekerjaan mengestimasi ERP dan informasi
saran tentang yang mana sektor di Brazil dan negara lain jatuh kedalam kategori
“tanpa harapan” dan “dapat ditebus”.
Penelitian mengenai biaya-biaya perlindungan, menyimpulkan bahwa 5 dari 6
negara yang diujinya, ketidakefisiensi secara teknis adalah sungguh-sungguh lebih
besar daripada ketidak efisiensi alokasi. Sementara hasil-hasil numeric yang speific
tergantung pada pengkategorian sektor dan asumsi-asumsi khusus mengenai bentuk
kurva supply industri, variasi-variasi yang masuk akal dalam asumsi-asumsi ini tidak
akan mencabangkan kepentingan relatif dua sumber ketidak efisienan. Perkiraan yang
menyeluruh, bagaimanapun juga menunggu model-model aplikasi penghitungan
umum equilibrium pada issue ini.
6.3. Orientasi Perdagangan dan Pertumbuhan Faktor Total Produktivity
Awal dukungan atas substitusi import didasarkan pada kebijakan tertentu
dalam alasan-alasan awal industri dan laju pertumbuhan produktifitas yang mereka
harapkan selama masa dimana kemampuan industrial diciptakan dan teknologi
modern diunggulkan. Asumsi pokoknya bahwa periode proteksi akan
menguntungkan untuk menaikkan teknik efisiensi dan menuju harga-harga
internasional yang kompetitif daripada menyederhanakan inti sewa daripada bentuk
waktu luang atau pendapatan yang terlalu banyak proteksi tingkat tinggi
mengingatkan dalam gerakan setelah dua atau tiga dekade industrialisasi yang
kebanyakan negara optimis yang tidak terjamin.

109
Meskipun tidak demikian, negara-negara yang melakukan pendekatan
substitusi import dapat merealisasikan perfoman yang lebih baik dengan kebijakan-
kebijakan yang lebih fleksibel. Sebagai contoh Korea dan Taiwan memulai usaha
industrialisasi dengan biaya proteksi yang tinggi dan menentukan import beberapa
produk. Mereka membedakan dari negara lain yang menggunakan ISI dalam transisi
kecepatan pelaksanaan export dan menginginkan untuk menghilangkan proteksi saat
industri mengalami persaingan internasional setelah periode proteksi. Keinginan dan
kemampuan sistem politik untuk menutup ketidak berhasilan enterprises dan
pengganti-penggantinya adalah sangat penting dan dimensi unexplered dari
keberhasilan Asia Timur. Dengan prospek kompetisi international setelah masa
periode pelaksanaan proteksi, badan-badan usaha di negara-negara tersebut
mempunyai pilihan sedikit untuk menjalankan investasi dalam pemanfaatan
kemampuan teknologi demi menaikkan produktifitas secara kontras dibanding model
ISI yang menggunakan “learning-by-doing” adalah mekanisme memajukan
kemajuan yang terbaik.
Pengaruh dari suatu orientasi eksternal mungkin terletak pada pengaruh
alokatif dan tehnisnya, pengaruh-pengaruh alokatif yang merusak relatif kecil
dibandingkan dari GNP sedangkan pengaruh teknisnya tampak lebih besar. Di satu
sisi, kedua pengaruh eksternal tersebut telah mempengaruhi pertumbuhan GNP
negara-negara yang telah diteliti selama hampir 1,5 tahun. Disisi lain pengaruh
kumulatif GNP tiap tahun selama 2 dekade tidak menyebabkan yang serius tapi tidak
bisa dianggap sepele. Para pendukung rejim perdagangan bebas berpendapat bahwa
realokasi anggaran belanja akibat pengaruh ISI adalah tetap/statis. Dalam konteks
yang intertemporal keuntungan-keuntungan dari pengembangan efisiensi teknis yang
wajar dari pengaruh-pengaruh yang tercatat dalam paragraf sebelumnya seharusnya
dibarengi dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lebih netral. Para pendukung ISI
memiliki satu pandangan yang sama tentang keuntungan-keuntungan teknis yang
efisien dari pemberlakuan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka walaupun mereka
cenderung mengabaikan efisiensi alokatif. Pengujian empiris dari persaingan-

110
persaingan ini menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh dinamis dari ISI, secara
prinsip, mungkin dipakai dalam analisa sumber-sumber pertumbuhan.
Sejumlah besar studi telah dilakukan pada sumber-sumber pertumbuhan LDC
dengan menggunakan metode yang berbeda mulai dari metode Denison-Kendrick-
Sohone. Sebelum menguji hasilnya, perlu dikemukakan dua hal yang tidak
dibicarakan secara eksplitis yaitu struktur-struktur lama serta faktor-faktor domestik
yang menentukan pertumbuhan produktifitas.
6.3.1 Struktur-struktur lama
Para pendukung rezim perdagangan netral mengharapkan pertumbuhan TFP
lebih besar bila diikuti dengan satu kebijaksanaan perdagangan bebas dibandingkan
dengan kebijaksanaan ISI. Spesifikasi dari struktur-struktur lama yang benar adalah
mengkhawatirkan tapi memperoleh perhatian yang kecil. Suatu pengamatan dari
pertumbuhan TFP setelah liberalisasi terjadi dapat diartikan sebagai dampak lama
dari resim subsidi impor sebelumnya. Atau kegagalan dari pertumbuhan TFP
berlanjut dengan liberalisasi mungkin berawal dari dampak-dampak yang merugikan
dari penerapan ISI dengan sebuah ketertinggalan.
6.3.2 Faktor-faktor Domestik yang menentukan pertumbuhan produktifitas
Meski kekuatan-kekuatan persaingan internasional diyakini sebagai satu
katalisator penting bagi pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya faktor-faktor domestik
lebih banyak berperan. Perkembangan negara berkembang yang dipengaruhi
pertumbuhan produktifitas menekankan pada upaya-upaya internal perusahaan
termasuk R & D dan penciptaan lingkungan kerja yang harmonis. Pengaruh-pengaruh
dari pendidikan, kesehatan, nurtisi, dan hubungan-hubungan industri pada
produktifitas tenaga kerja telah ditetapkan untuk mendesak beberapa dampak pada
produktifitas. Sumber utama dari keberhasilan penampilan para exportir Asia Timur
adalah dengan menjadikan tenaga kerja dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan besar.

111
6.4. Bukti Empiris
6.4.1 Total Faktor Produktifitas dan Rejim Perdagangan
Karena belum ada sejumlah studi mengenai produktifitas di tiap negara yang
ruang lingkup pertanyaannya di dekati dengan satu dasar yang konsisten dan tidak
ada study yang secara sistematis mempelajari faktor-faktor penentu domestik.
Penelitian yang ada hanya memfokuskan penelitiannya pada keakuratan
penghitungan output dan input serta produktifitas. Oleh karena itu, tidak dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada bidang produktifitas
perdagangan. Datu perbedaan utama antara LDC dan DC tampaknya ada pada
pertumbuhan yang awalnya dihitung.
Study yang baru-baru ini diadakan di Turki dibuat untuk meneliti hipotesa
tentang industri-industri yang baru berdiri dan hubungan antara satu resim yang lebih
netral dan pertumbuhan produktifitas. Para penulis tidak dapat menyimpulkan
pendapat tentang industri yang baru tersebut terhadap struktur yang lama dan
pengaruh sektoral. Dari hasil penghitungan yang mereka lakukan diketahui bahwa
dihampir setiap sektor, perusahaan-perusahaan umum menunjukkan tingkatan-
tingkatan yang lebih rendah dari total faktor produktifitas dan dikatakan bahwa
keuntungan potensial besar diperoleh dari kepemilikan pribadi atau disiplin pasar.
Bagi sektor-sektor perusahaan pribadi,mendapat dukungan dari hasil hipotesa
bahwa di Korea total faktor produktifitas tumbuh jauh lebih cepat daripada
perusahaan-perusahaan internal di Turki dan Yugoslavia. Hampir semua sisa sektor
perusahaan bangsa Korea dihapus oleh satu perbaikan demi perubahan-perubahan
dalam penggunaan kapasitas. Sedangkan penggunaan yang bertambah sebenarnya
merupakan satu keuntungan yang berasal dari promosi ekspor.
Oleh karena itu, hingga sekarang tidak ada pengesahan yang jelas dari
hipotesa tentang negara-negara dengan orientasi eksternal mendapat keuntungan dari
pertumbuhan yang lebih besar dalam efisiensi teknis sektor-sektor komponen
perusahaan.

112
VII. PENUTUP
Laju pertumbuhan industrial seperti LDCs dalam periode pasca perang dunia
adalah diluar kewajaran standar historis, kemudian tidak jelas bahwa LDC
melembaga sebagai sebuah “revolusi” sehingga negara-negara tersebut dapat
menyerap teknologi baru dan meningkatkan pertumbuhan produktifitas yang dapat
digunakan sebagai dasar untuk menaikkan standar kehidupan. Beberapa negara
pertumbuhan export didasarkan pada perbandingan keuntungan secara equal dengan
laju transformasi sektor paternal pendapatan dan faktor alokasi-proses pertumbuhan
industri di negara-negara tersebut adalah pantas, tercermin kenaikan laju
pertumbuhan tenaga kerja oleh realisasi intensive tenaga kerja di bidang export dan
teknologi memilih tanpa batas segmentasi faktor pasar. Kewajara, efficiency dan
pertumbuhan adalah pelengkap, menghindari keinginan perhatian terhadap kebijakan
explisit menjadi distribusi pendapatan atau kebutuhan dasar.
Dalam jangka panjang, faktor realokasi tidak dapat menyediakan produktifitas
sebagai mesin pertumbuhan. Sekarang banyak faktor desequilibrium yang mengikuti
tujuan realokasi telah dihapuskan di negara-negara Asia Timur dan tujuan pokok
yang lain dari pendapat ini yang nyata harus berasal dari pertumbuhan produktifitas.
Sementara keuntungan potensial dari orientasi external adalah direalisasikan kepada
bagian terbesar orientasi kedalam dari LDCs. Rendahnya pertumbuhan negara-negara
DECD menyarankan bahwa meskipun dengan penambahan secara cepat kebijakan
resim LDC, ekonomi internasional tidak akan diterima sebagai pencontohan
penampilan the bangh of flour. Laju pertumbuhan akan semakin tergantung, seperti
anjuran lewis, pada pemberdayaan pertumbuhan produktifitas dalam agricultural dan
industri. Faktor-faktorkontribusi berkembang dalam produktifitas agricultural adalah
sangat mudah dimengerti seperti pentingnya kebijakan untuk merealisasikannya.
Bagaimanapun juga pertumbuhan produktifitas dalam perusahaan (dan
keahlian usaha pada sektor industri) adalah tidak dikenal dengan baik. Orientasi
eksport, tidak memunculkan pendapatan total pertumbuhan produktifitas lebih tinggi
kemudian melakukan subtitusi impor. Perbandingan total pertumbuhan faktor

113
produktifitas diantara negara-negara menunjukkan perbedaan orientasi perdagangan
internasional tapi tidak memunculkan perbedaan sistematis dalam pertumbuhan
produktifitas perusahaan. Tidak pula mempunyai pengalaman khusus di sektor ini.
Barangkali masalah pengukuran yang mengagetkan menangani hasil yang oleh
kebanyakan ekonomi kelihatan tidak ada bentuk yang diterima. Namun semua itu
memberikan pemahaman komprehensif yang lemah. Untuk menjelaskan produktifitas
di negara berkembang seperti perkembangan terakhir menghasilkan pola-pola premir
namun data-data begitu rendah lebih lagi data-data mengenai badan usaha
dikumpulkan untuk memprediksi produksi awal adalah bisa diterima dan sebagai
konfirmasi untuk stabilisasi pada level-level yang lebih tinggi dan banyak.
Bisa jadi penekanan industrialisasi adalah ikhtisar terbaik atas laju faktor
transfer ke sektor perusahaan yang berhasil mengembangkan kedewasaan dan
menambah dukungan pertumbuhan produktifitas dan tercatat sebagai sejarah tak bisa
dihindarkan dalam periode yang minim. Kalau pintas menuju industri yang maju
mungkin tidak ada meskipun berbagai usaha lain untuk mengidentifikasi hal-hal yang
menentukan produktifitas adalah penting. Pertumbuhan yang lebih cepat dalam
produktifitas industri menemukan penguatan pertumbuhan bersama antara
agricultural dan industri yang boleh jadi menjadi bahan kritikan yang terus menerus
dari pada ketika Lewis mengeluarkan pandangan ke empatnya pada pertengahan
1970.
Meskipun harga minyak turun tahun 1980-an, tidak ada isyarat / tanda
keuntungan dalam pertumbuhan lambat di bidang ekonomi-industri, bahkan dengan
perkembangan yang lebih lambat dalam perdagangan dunia, kesempatan ekspor
meningkat dan tereksploitasi tetapi perubahan struktural dalam pola produksi dan
faktor alokasi di bawah yang tidak secepat pada awal 1973. produktifitas akan
memainkan peranan yang lebih besar daripada permulaan periode dalam peningkatan
standar kehidupan pada LDC3.

114
DAFTAR PUSTAKA

Amir M.S., 2013, Ekspor Impor Teori dan Penerapannya, Penerbit Lembaga
Manajemen PPM, Jakarta Pusat
Arsyad, Lincolin, 2004, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,
Yogyakarta: BPFE.
Apridar. 2009. Ekonomi Internasional : Sejarah, Teori, Konsep, Permasalahan Dalam
Aplikasinya. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Ashad, 2012. Teori Moderinas Dan Globalisasi, Sidoarjo: Kreasi Wacana
Eiteman, Stonehill, Moffett, 201, Manajemen Keuangan Multinasional, Jakarta
Erlangga
Eun,Cheols. and Resnick, Bruce g. 2011. International Financial Management.Global
Edition. New York: Mcgraw-hill,Inc.
Hendra Halwani, H.Prijono Tjiptoherijanto, 1993, Perdagangan Internasional
Pendekatan Ekonomi Mikro Makro, Ghalia Indonesia, Jakarta
IKENSEN, D, 2009, "Made on Earth – How Global Economic Integration Renders
Trade Policy Obsolete", December 2009, No. 42, CATO Institute
Mansour, Fakih. 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:
Insist Press dan Pustaka Pelajar
Ma, A.C., Van Assche, A., Hong, C. ,2008, "Global Production networks and
China's Processing Trade", Journal of Asian Economics
MILBERG, W., 2007, "Export Processing Zones, Industrial Upgrading and
Economic Development: A Survey", New School for Social Research
Ratya Anindita dan Michael R. Reed, 2008, Bisnis Dan Perdagangan Internasional,
Andi Offset, CV. Andi Offset, Yogyakarta
Sukirno Sadono, 2010, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan, Jakarta: Kencana

115
Todaro, Michael P., 2003, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Edisi Keenam,
Jakarta: Erlangga.
YI, K.M., 2003, "Can Vertical Specialization Explain the Growth of World Trade?",
Journal of Political Economy, 111(1)

116

Anda mungkin juga menyukai