Anda di halaman 1dari 39

Proposal Tesis

DETEKSI MOLEKULER SEKUEN EKSON 1 GEN BETA GLOBIN


DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION-SINGGLE
STRAND CONFORMATION POLYMORPHISM (PCR-SSCP)
PADA PASIEN THALASEMIA BETA MAYOR
DI RSUD DR. SOEROTO NGAWI

Oleh :
Agus Supriadi
SBF 091510113

PROGRAM STUDI S2 ILMU FARMASI


FALKUTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Protein hemoglobin (Hb) yang terkandung dalam sel darah merah sangat

penting bagi kehidupan manusia. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen (O2)

dan karbondioksida (CO2) ke jaringan dalam tubuh. Selain itu hemoglobin juga

berfungsi sebagai buffer atau penyangga pH yaitu mengurangi perubahan pH jika

suatu asam atau alkali memasuki atau dihasilkan oleh sel darah merah (Bain,

2006). Hemoglobin mengandung 4 molekul heme yang masing-masing terikat

dengan rantai globin. Pada orang dewasa terdapat 4 rantai globin, yaitu rantaiα, β,

δ dan γ. Kombinasi keempat rantai globin tersebut menghasilkan 3 tipe Hb, yaitu

HbA (α2β2), HbA2 (α2δ2) dan HbF (α2γ2), dengan konsentrasi masing-masing lebih

dari 95%;3-4% dan kurang dari 2% (Kiswari,2014). Kelainan dan kegagalan

fungsi hemoglobin dalam mengikat oksigen disebabkan adanya mutasi pada gen

pengkode rantai globin. Beberapa kelainan yang disebakan oleh mutasi pada gen

globin antara lain thalasemia dan hemoglobinopati (varian Hb).

Thalasemia merupakan kelainan akibat mutasi gen yang bersifat autosumal

resesif yang disebabkan kekurangan sintesis rantai globin pembentuk hemoglobin

darah dengan gejala mirip anemia (Handayani dan Onggo, 2014). Berdasarkan

letak mutasinya, thalasemia dapat digolongkan menjadi 2 yaitu thalasemia α dan

thalasemia β. Thalasemia α disebabkan adanya mutasi pada gen HBA (gen yang

menyandi α globin) yang berada pada kromosom nomor 16 (Harteveld and


Higgs, 2010). Sedangkan thalasemia β disebabkan adanya mutasi pda gen HBB

(gen yang menyandi β globin) yang berada kromosom nomor 11 (Galanello dan

Origa, 2010). Penyakit thalasemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gejala

klinis yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut thalasemia minor atau

thalasemia trait (carier= pengemban sifat) hingga yang paling berat (bentuk

homozigot) yang disebut thalasemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan dari

salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit thalasemia, sedangkan bentuk

homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit

thalasemia (Ghanie 2005).

Penyakit thalasemia tersebar luas di seluruh wilayah Mediterania, Timur

Tengah, sebagian Afrika, anak benua (Subcontinent) India, dan seluruh Asia

tenggara yang membentang dari Cina selatan ke semenanjung Malaysia dan

pulau-pulau di Indonesia (Weatherral, 1997). Selain itu tersebar di berbagai

wilayah, thalasemia juga mempunyai pola mutasi yang berbeda antara satu

wilayah dengan wilayah yang lainnya (Cao dan Ganello, 2010). Lebih dari 200

jenis mutasi gen β-globin telah diidentifikasi, di mana sebagian besar dari mereka

adalah substitusi atau delesi satu nukleotida, atau insersi oligonukleotida

(Handayani dan Purwanto, 2015). Ada beberapa jenis mutasi yang umum

ditemukan diIndonesia, yaitu mutasi IVSl-nt5 (G-> C), IVSl-nt1 (G→ T),Cd 8-9

(+ G), Cd 15 (TGG →TAG), Cd 41-42 (del CTTT), Cd 35 (del), IVS2-nt654 (C

→T), serta mutasi untuk HbE (Cd 26, GAG → AAG). Dimana prevalensi

tertinggi adalah mutasi pada IVS1-nt5. (Lie-Injo, et al, 1989; Setianingsih, et al,

1998; Hernanda, et al, 2012; Rujito, et al, 2015).


Angka kejadian thalasemia dan varian Hb di berbagai belahan dunia terus

meningkat, hal ini disebakan adanya pola migrasi dan pernikahan antar suku.

World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak

kurang dari 25x107 penduduk di dunia adalah carier thalasemia (Wetherall and

Clegg, 2001). Indonesia memiliki penduduk 200 juta, dengan tingkat kelahiran

tahunan 0,16%. Frekuensi pembawa dari β-thalassemia adalah antara 6% dan 10%

(Setianingsih, et al, 1998). Data dari Perhimpunan Orang Tua Thalasemia

Indonesia (POPTI) dan Yayasan Thalasemia Indonesia (YTI) dalam Temu

Nasional POPTI 2, Januari 2015 jumlah penyandang thalasemia di Indonesia

sampai tahun 2014 adalah 6647. Di Kabupaten Ngawi terdapat 22 pasien

thalasemia beta mayor yang melakukan transfusi darah di RSUD Dr. Soeroto

Ngawi.

Program pencegahan termasuk deteksi pembawa aktif dan diagnosis

prenatal belum pernah dilakukan di Indonesia, sebagian karena ketidakpastian

frekuensi pembawa dan profil mutasi yang berbeda di masing-masing daerah

(Setianingsih, et al, 1998). Tingginya angka pembawa thalasemia disebabkan

karena pembawa sifat thalasemia bersifat asimtomatik dan tidak menunjukan

adanya gejala klinis secara fenotip bagi seorang pembawa sifat (Wintrobe, 2009).

Pemeriksaan hematologis rutin yang dilanjutkan dengan deteksi letak mutasi

sangat efektif untuk menekan jumlah populasi penyandang thalasemia (Handayani

dan Onggo, 2014). Metode deteksi mutasi thalasemia telah banyak dikembangkan

terutama yang berkaitan dengan substitusi basa, insersi/delesi kecil. Untuk deteksi

terhadap sampel yang berasal dari populasi dengan spektrum mutasi gen globin
yang telah diketahui dapat menggunakan metode langsung, seperti Polymerase

Chain Reaction-Amplification Refractory Mutation System (PCR-ARMS).

Sedangkan untuk spektrum mutasi yang belum diketahui atau heterogen

menggunakan metode tidak langsung, seperti Polymerase Chain Reaction-Singgle

Strand Conformation Polymorphism (PCR-SSCP) dan dikombinasikan dengan

pengurutan DNA (sekuensing DNA) (Sunarto, 1996).

PCR-SSCP merupakan teknik penentuan mutasi DNA yang cepat dan

sederhana, tidak memerlukan peralatan yang rumit, visualisasinya tidak

menggunakan bahan radioaktif (Konstantinos, et al. 2008; Hayashi,1992). PCR-

SSCP dapat melihat perubahan satu sekuens basa nukleotida melalui interpretasi

perbedaan migrasi pita DNA pada eletroforesis dengan gel polyakrilamide. PCR-

SSCP digunakan untuk mendeteksi mutasi pada penyakit genetik (Thalasemia β,

Cytic fibrosis) (Konstantinos et al, 2008). PCR-SSCP dipilih sebagai metode

untuk mendeteksi mutasi pada pasien thalasemia beta mayor karena metode ini

telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya mutasi pada pembawa sifat

thalasemia (Priyambodo, 2014).

B. Perumusan masalah

Individu yang terdiagnosa β thalasemia mayor di RSUD Dr. Soeroto

Kabupaten Ngawi dilakukan pemeriksaan Hb elektroforesis untuk penentuan

diagnosanya dan belum dilakukan pemeriksaan molekuler untuk memastikan letak

dan mutasinya pada gen β globin. Skrining terhadap pembawa β thalassemia

dengan metode PCR-SSCP menunjukan adanya mutasi pada gen β globin


(Priyambodo, 2014). Sehubungan dengan hal tersebut maka dirumuskan

permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana letak mutasi pada ekson 1 gen β globin pada individu thalassemia

β mayor?

2. Bagaimana jenis mutasi pada ekson 1 gen β globin pada individu thalassemia

β mayor?

3. Apakah mutasi ekson 1 gen β globin pada individu thalassemia β mayor

menyebabkan pengaruh perubahan susunan asam amino terhadap protein dan

tingkat keparahan thalasemia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui letak mutasi pada ekson 1 gen β globin pada individu thalassemia

β mayor.

2. Mengetahui jenis mutasi pada ekson 1 gen β globin pada individu thalassemia

β mayor.

3. Mengetahui pengaruh mutasi yang ditemukan pada ekson 1 gen β globin pada

individu thalassemia β mayor terhadap susunan asam amino karakter protein β

globin dan tingkat keparahan penyakit.


D. Keaslian Penelitian

Penelitiaan deteksi molekuler mutasi pada ekson 1 gen β globin pada pasien

thalassemia β mayor di RSUD Dr.Seoroto, Kabupaten Ngawi dengan metode

PCR-SSCP belum pernah dilakukan.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan informasi mengenai letak dan jenis mutasi gen HBB pada

individu thalassemia β mayor.

2. Memberikan rekomendasi untuk dilakukannya identifikasi jenis mutasi

berdasarkan letak mutasi yang telah diketahui dengan metode PCR-SSCP.

3. Memberikan informasi tingkat keparahan penyakit thalasemia berdasarkan

letak dan jenis mutasi pada gen beta globin.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Darah

1. Hematologi Darah

Sistem hematologi terdiri dari semua sel-sel darah, sumsum tulang tempat

sel-sel tumbuh matang dan jaringan limfoid tempat sel darah disimpan jika tidak

bersirkulasi. Sistem hematologi dirancang untuk membawa oksigen dan nutrisi,

mengangkut hormon, membuang produk sampah dan menghantarkan sel-sel

untuk mencegah infeksi, menghentikan perdarahan dan memfasilatasi proses

penyembuhan. Darah juga memungkinkan tubuh memberi makan dan

menyembuhkan dirinya serta menghubungkan antara bagian-bagian tubuh

(Corwin, 2009).

Darah terdiri dari sekitar 45% komponen sel dan 55% plasma. Komponen

sel tersebut adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan

keping darah (trombosit). Sel darah merah berjumlah 99% dari total komponen

sel; sisanya 1% sel darah putih dan platelet. Plasma terdiri dari air 90% dan

sisanya 10% sisanya dari protein plasma, elektrolit gas terlarut berbagai produk

sampah metabolism, nutrien, vitamin, dan kolesterol. Protein plasma terdiri dari

albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin merupakan protein plasma yang

paling banyak dan membantu mempertahankan tekanan osmotik plasma dan

volume darah. Globulin mengikat hormon yang tidak larut dan sisa plasma

lainnya agar dapat larut. Fibrinogen merupakan komponen penting dalam proses

pembekuan darah (Corwin, 2009).


Sel darah merah, sel darah putih dan platelet dibentuk di hati dan proses

limpa pada janin dan di dalam sumsum tulang setelah lahir. Proses pembentukan

sel darah disebut hematopoisis.

2. Eritrosit

Sel darah merah atau eritrosit tidak memiliki inti (nukleus), mitokondria

atau ribosom.nukleus eritrosit terlepas pada saat meninggalkan sumsum tulang.

Sel darah merah diproduksi di dalam sumsum tulang yang berespon terhadap

faktor pertumbuhan hemopoetik terutatama eritropoietin dan memerlukan zat besi,

asam folat serta vitamin B12 untuk melakukan sintesis. Pada saat sel darah merah

hampir matang, sel akan dilepaskan keluar dari sumsum tulang dan mencapai fase

matang di dalam aliran darah dengan masa hidup sekitar 120 hari. Selanjutnya, sel

ini akan mengalami disintegrasi dan mati. Sel darah merah yang mati diganti sel-

sel baru yang dihasilkan dari sumsum tulang. Jika sel darah merah yang mati

dalam jumlah berlebihan, sel darah merah yang belum matang akan dilepas dalam

jumlah yang lebih banyak dari normal; akibatnya meningkatkan kadar retikulosit

yang bersirkulasi yang dikenal sebagai anemia (Corwin, 2009).

Eritrosit berbentuk bikonkaf, berdiameter 7-8 µ. Bentuk bikonkaf

menyebabkan eritrosit bersifat fleksibel sehingga dapat melewati lumen pembuluh

darah yang sangat kecil. Eritrosit berjumlah paling banyak dibandingkan sel darah

lainnya. Dalam 1 mililiter terdapat kira-kira 4,5-6 juta eritrosit, itu sebabnya darah

berwarna merah (Kiswari, 2014)

Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen dari jaringan paru ke

jaringan perifer, mengangkut CO2 dari jangan ke paru dan berperan dalam
pengangkutan dan metabolism nitrit oksida (NO) sehingga membantu

pembentukan NO dan vasodilatasi pada kondisi hipoksia (Bain, 2014).

Kandungan utama eritrosit yang bertanggung jawab mengangkut oksigen

dan berkontribusi mengangkut CO2 serta berinteraksi dengan NO adalah

hemoglobin. Hemoglobin adalah protein yang mengandung besi dan terdiri dari 4

rantai globin (Bain, 2014).

B. HEMOGLOBIN

Hemoglobin adalah protein yang mengandung besi dan terdiri dari empat

polipeptida , yang dikenal sebagai rantai globin. Hemoglobin mengandung 4

molekul heme yang masing-masing terikat dengan rantai globin. Heme

merupakan struktur yang melibatkan empat atom besi dalam bentuk fe 2+

dikelilingi oleh cincin protoporfirin IX. Protoporfirin IX adalah produk akhir

dalam sintesis molekul heme. Besi bergabung dengan portoporfirin untuk

membentuk heme molekul lengkap. Cacat pada salah satu produk antara dapat

merusak fungsi hemoglobin. Globin terdiri dari asam amino yang dihubungkan

bersama untuk membentuk rantai polipeptida. Posisi khas dari asam amino dalam

setiap rantai, serta kekhususan dari asam amino itu sendiri, adalah penting untuk

fungsi normal dari molekul hemoglobin. Kelainan struktural dari rantai protein

dapat menyebabkan cacat hemoglobin. Heme dan globin dari molekul hemoglobin

dihubungkan dengan ikatan kimia (Kiswari, 2014)

Hemoglobin mulai disintesis pada tahap normoblast polikromatik dalam

eritropoiesis. Sintesis ini ditunjukan dengan perubahan warna sitoplasma dari biru
tua menjadi ungu. Sebanyak 65% dari hemoglobin disintesis sebelum inti eritrosit

menghilang, dan 35% disintesis pada tahap retikulosit. Eritrosit matang normal

mengandung hemoglobin yang lengkap (Kiswari, 2014).

Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen (O2) dan karbondioksida

(CO2) ke jaringan dalam tubuh. Selain itu hemoglobin juga berfungsi sebagai

buffer atao penyangga pH yaitu mengurangi perubahan pH jika suatu asam atau

alkali memasuki atau dihasilkan oleh sel darah merah (Bain, 2006).

Pada orang dewasa terdapat 4 rantai globin, yaitu rantai α, β, δ dan γ.

Kombinasi keempat rantai globin tersebut menghasilkan 3 tipe Hb, yaitu HbA

(α2β2), HbA2 (α2δ2) dan HbF (α2γ2), dengan konsentrasi masing-masing lebih dari

95%; 3-4% dan kurang dari 2% (Kiswari, 2014). Kelainan dan kegagalan fungsi

hemoglobin dalam mengikat oksigen disebabkan adanya mutasi pada gen

pengkode rantai globin. Beberapa kelainan yang disebakan oleh mutasi pada gen

globin antara lain thalasemia dan hemoglobinopati.

C. THALASEMIA

1. Definisi Thalasemia

Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang

dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama

kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan

oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun

1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita yang menderita pembesaran

limfa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya, anemia ini dinamakan Anemia splenic
atau eritoblastosis atau anemia mediteranean atau anemia cooley sesuai nama

penemunya (Ghanie,2005).

Thalasemia merupakan kelainan genetik akibat mutasi gen yang bersifat

aotosumal resesif yang disebabkan kekurangan sintesis rantai globin pembentuk

hemoglobin darah dengan gejala mirip anemia (Handayani dan Onggo, 2014).

Talasemia merupakan kelompok kelainan yang diturunkan karena terjadi

mutasi atau delesi pada gen yang menyandikan salah satu rantai globin sehingga

terjadi penurunan kecepatan sintesis atau ketiadaan sintesis dari rantai globin. Hal ini

menyebabkan penurunan kecepatan sintasis hemoglobin dan terjadi mikrositis

(Bain,2014).

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh sintesis

globin yang tidak seimbang sehingga mengakibatkan kerusakan hemoglobin dan

diturunkan secara resesif menurut hukum Mendel (Syamsudin, 2007).

2. Epidemiologi

Penyakit Thalasemia tersebar luas di seluruh wilayah Mediterania, Timur

Tengah, sebagian Afrika, anak benua (Subcontinent) India, dan seluruh Asia

tenggara yang membentang dari Cina selatan ke semenanjung Malaysia dan

pulau-pulau di Indonesia (Weatherral, 1997). Daerah-daerah tersebut lazim

disebut sebagai sabuk thalasemia, dengan kisaran prevalensi thalasemia sebesar

2,515 % (Atmakusumah, et al, 2010). Saat ini thalasemia didapatkan hampir di

semua belahan dunia, akibat terjadinya migrasi populasi hingga ke Eropa,

Amerika dan Australia (Weatherall and Clegg, 2001). Thalasemia α terjadi secara

luas di Mediterania, Asia Tenggara, Afrika, Timur Tengah dan di anak benua

India. Selama beberapa dekade terakhir insiden thalassemia alpha di negara-


negara Eropa Utara dan Amerika Utara telah meningkat karena perubahan

demografi (Harteved and Higgs, 2010). Sedangkan talasemia β banyak ditemukan

negara-negara Mediterania,Timur Tengah, Asia Tengah, India, China bagian

selatan dan Timur Jauh serta negara-negara di sepanjang pantai utara Afrika dan

di Amerika Selatan. Frekuensi pembawa tertinggi dilaporkan di Siprus (14%),

Sardinia (10,3%) dan Asia Tenggara (Galanello and Origa, 2010)

World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa

tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total

penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot). Dari jumlah tersebut

sebanyak 80-90 juta adalah pembawa sifat thalassemia β dan sisanya adalah

pembawa sifat thalassemia α dan jenis lain pembawa sifat hemoglobin varian

seperti HbE, HbS, HbO dan lain-lain. Saat ini sekitar 7% dari total penduduk

dunia adalah pembawa sifat kelainan ini (Atmakusumah, et al, 2010).

Di Indonesia kasus talasemia disebabkan oleh adanya migrasi penduduk

dan percampuran penduduk. Keseluruhan populasi ini tersebar di Kalimantan,

Sulawesi, pulau Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores. Jumlah pembawa sifat

thalasemiadi Indonesia diperkirakan sekitar 3-5% dari jumlah populasi. Di

beberapa daerah di Indonesia mencapai 10% sedangkan angka pembawa sifat

HbE berkisar antara 1,5-36% (Atmakusumah, et al, 2010). Hasil Riset Kesehatan

Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional talasemia adalah 0,1%,

dengan 8 propinsi yang menunjukkan prevalensi di atas prevalensi nasional yaitu

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (1,34%), DKI Jakara (1,23%), Sumatera

Selatan (0,54%), Gorontalo (0,31%), Kep. Riau (0,3%), Nusa Tenggara Barat
(0,26%), Papua Barat (0,22%) dan Maluku (0,19%). Prevalensi terendahterdapat

di Provinsi Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara masing-masing

sebesar 0,01%. Di Bali prevalensi talasemia didapatkan 0,04% (Anonim, 2008).

3. Etiologi

Talasemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal

resesif menurut hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit

talasemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gejala klinis yang paling ringan

(bentuk heterozigot) yang disebut talasemia minor atau talasemia trait (carrier

atau pembawa sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut

talasemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tuanya

yang mengidap penyakit talasemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan oleh

kedua orang tuanya yang mengidap penyakit talasemia. Permasalahan talasemia

akan muncul jika talasemia trait kawin dengan sesamanya sehingga kemungkinan

yang bisa terjadi adalah 25% dari keturunannya menurunkan talasemia mayor,

50% anak mereka menderita talasemia trait dan hanya 25% anak mempunyai

darah normal (Regar, 2009).

Sindrom talasemia akibat dari sejumlah besar kelainan molekul yang

mengubah ekspresi dari satu atau lebih dari gen globin (Pignati and Galanello,

2003). Semua gen thalassemia yang telah dipelajari untuk saat ini telah ditemukan

mengandung mutasi yang langsung mengubah struktur gen dan kemudian fungsi

gen (Turgeon, 2012). Kelainan cacat genetik pada thalasemia disebabkan oleh

beberapa proses mutasi, antara lain : 1) Sebuah mutasi nonsense mengarah ke

awal penghentian sintesis rantai globin; 2) Sebuah mutasi noncoding pada bagian
intron (intervening sequences) pada rantai gen globin yang menyebabkan tidak

efisien splicing mRNA; 3) Sebuah mutasi di daerah promotor yang menurunkan

tingkat ekspresi gen; 4) Sebuah mutasi pada pemutusan gen yang mengarah ke

perpanjangan rantai globin dengan penambahan asam amino; mRNA menjadi

tidak stabil dan menyebabkan pengurangan dalam sintesis globin; 5) Sebuah

deplesi total atau sebagian dari gen globin, mungkin sebagai akibat dari

persilangan yang tidak seimbang di kromosom (Turgeon, 2012).

4. Kalsifikasi

Berdasakan sintesis rantai globin thalasemia dibagi menjadi 2 yaitu thalasemia

beta dan thalasemia alfa.

a. Thalasemia Beta

Sindrom thalassemia beta adalah kelompok keturunan kelainan darah yang

ditandai dengan berkurangnya atau tidak ada sintesis rantai beta globin, sehingga

mengurangi produksi hemoglobin di dalam sel darah merah (RBC), penurunan

produksi sel darah merah dan menyebabkan anemia. Kebanyakan thalassemia

diwariskan sebagai sifat resesif. (Galanelo dan Origa, 2010).

Pemeriksaan hematologis rutin terlihat anemia mikrosister, dengan

parameter indeks eritrosit sebagai berikut : MCV < 75 fl dan MCH < 23 pg.

Hemoglobin elektroforesis mengungkapkan peningkatan Hb F dan penurunan Hb

A. Bentuk thalassemia beta homozigot menunjukkan tidak ada Hb A, peningkatan

Hb A2, dan penurunan Hb F. Hb elektroforesis HbA2 > 4% an Hb F > 2%. Tidak

adanya Hb A karena tidak adanya sintesis rantai beta globin. Pemeriksaan serum
feritin sensitif sebagai penanda akurat dalam penentuan status besi di dalam tubuh

(Turgeon, 2012; Notopuro 2004).

Pada analisis DNA, jenis mutasi yang diketemukan pada thalasemia beta

biasanya terutama oleh karena mutasi titik dan hanya sebagian kecil oleh karena

delesi atau insersi beberapa pasang basa sampai ribuan pasang basa. Sehingga

strategi analisis DNA dipakai teknik sebagai berikut : Dot Blot dilanjutkan

hibridisasi dengan ASOP (Allele Specific Oligonucleotide Probes); amplifikasi

PCR dengan primer spesifik (ARMS : Amplification Refractory Mutation System);

enzim retriksi pada hasil PCR; DGGE (Denaturing Gradient Gel Electrophoresis)

atau SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) dilanjutkan dengan

sekuensing DNA dan gap PCR (untuk jenis delesi) (Notopuro, 2004). Lebih dari

200 mutasi titik baik di dalam atau sekitar gen beta globin diketahui menyebabkan

penurunan produksi beta globin (Turgeon, 2012).

Mutasi gen pada thalasemia β dibagi menjadi bentuk (Pignati and

Galanello, 2003) :

1. Delesi, sedikitnya 17 delesi berbeda ditemukan pada talasemia β. Yang sering

ditemukan adalah delesi 619 bp pada ujung akhir 3’ gen globin β, pada

populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Bentuk homozigot delesi ini

menyebabkan talasemia β° sedangkan heterozigotnya menimbulkan

peningkatan HbA2 dan HbF.

2. Non delesi, terjadi transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik:

 Region promoter

 Mutasi transkripsional pada lokasi CAP


 Mutasi prosesing RNA : intron-exon boundaries, polyadenilation signal,

splice site consesnsus sequences, cryptic sites in exons, cryptic sites in

introns.

 Mutasi yang menyebabkan translasi abnormal RNA messenger: inisiasi,

nonsense dan mutasi frameshift.

 Bentuk mutasi lain seperti talasemia β yang diwariskan dominan, varian

globin β tidak stabil, thalasemia β tersembunyi, mutasi talasemia yang

tidak terkait kluster gen globin β dan bentuk variasi talasemia β.

Berdasarkan keadaan klinis thalasemia beta dibedakan menjadi :

1. Talasemia β minor (thalasemia trait) yaitu thalasemia pembawa sifat,

diturunkan dari salah satu orang tua sehingga bersifat heterozigot. Klinis dapat

tanpa gejala atau disertai anemia mikrositik ringan yang tidak memerlukan

transfusi darah.

2. Talasemia β intermedia merupakan kelompok kelainan heterogen dengan

derajat berat kelainan bervariasi. Menunjukkan fenotip klinis di antara

talasemia mayor dan minor. Pasien dapat mengalami splenomegali, dan kadar

hemoglobin stabil pada 60-90 g/dL tanpa tranfusi.

3. Talasemia β mayor, atau anemia Colley merupakan talasemia akibat

penurunan sintesis rantai γ dan rantai β. Pada saat lahir anak normal, namun

saat usia 6-12 bulan dimana terjadi penurunan hemoglobin akan

membutuhkan tranfusi darah teratur (Weatherall, 2005; Turgeon, 2012).


b. Thalasemia alfa

Berbeda dengan thalassemia beta, dengan sebagian besar kasus disebabkan

oleh mutasi titik, penyebab utama dari thalassemia alfa adalah penghapusan

(delesi) bahwa menghapus satu atau dua gen globin pada kromosom 16 (Turgeon,

2012). Thalasemia alfa ditandai dengan penekanan sintesis globin alfa sebagian

atau seluruhnya sehingga terjadi thalasemia α+ atau thalasemia α0. Berkurangnya

sintesa globin alfa menyebabkan kelebihan globin β, terbentuk tetramer β4 suatu

HbH dan tertramer γ4 suatu Hb Barts, sedangkan HbF dan HbA2 kadarnya

normal atau sedikit menurun. Terjadinya anemia pada thalasemia alfa terutama

oleh karena hemolisis eritrosit dini (Notopuro, 2004).

Pada pemeriksaa hematologis rutin terdapat ; MCH < 75 fl dan MCH < 23

pg sedangkan pemeriksaan Hb elektroforesis, kadar HbF dan HbA2 normal atau

sedikit menurun. Pada analisis DNA mutasi yang sering terjadi pada thalasemia

alfa oleh karena persilangan tidak seimbang (unequal crossing over) sehingga

jenis mutasi yang diketemukan adalah delesi besar gen globin alfa (sampai

beberapa ribu pasangan basa) dan hanya sebagian kecil oleh karena mutasi titik.

Strategi analisis DNA yang dipakai adalah GAP PCR, Southern Blot dilanjutkan

hibridisasi dengan pelacak, sedangkan untuk jenis nondelsesi (oleh karena mutasi

titik atau delesi/insersi kecil beberapa pasang basa) dapat dengan PCR dilanjutkan

hidrolisis enzim retriksi endonuklease pada hasil PCR atau dilanjutkan dengan

sekuensing DNA (Notopuro, 2004).


Sedangkan pada talasemia α, mutasi gen yang terjadi berbentuk :

1. Delesi, mencakup satu gen (-α) atau kedua (--) gen globin α. Pada talasemia-

α°, terdapat 14 delesi yang mengenai gen α, sehingga produksi rantai α hilang

sama sekali dari kromosom abnormal. Bentuk umum –α+ yang paling umum

(-α3,7 dan –α4,2) mencakup delesi satu atau duplikasi gen globin α lainnya.

2. Non delesi, kedua haplotip gen α utuh (αα).ekspresi gen –α2 lebih kuat 2-3

kali dari ekspresi gen –α1 sehingga sebagian besar mutasi non delesi

ditemukan predominasi pada ekspresi gen-α2.

Thalassemia dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis atas dasar

genotipe dan jumlah total yang abnormal gen yang dihasilkan : 1) Thalasemia alfa

silent carrier (satu gen yan tidak aktif); 2) thalasemia alfa trait (dua gen yang tidak

aktif); 3) Penyakit hemoglobin H (HbH) (tiga gen yang tidak aktif); 4) Thalasemia

alfa Hydrop fetalis dengan Hb Bart (ada empat gen yang tidak aktif).

Talasemia diwariskan secara autosomal resesif, berdasarkan penurunan

sifatnya genotif talasemia dibedakan menjadi :

1. Talasemia homozigot, terjadi kerusakan pada kedua kromosom homolog

sehingga kehilangan rantai globin ganda. Pada talasemia β rantai β tidak

diproduksi sama sekali sehingga hemoglobin A tidak dapat diproduksi. Pada

talasemia α rantai α sama sekali tidak diproduksi sehingga terbentuk rantai

globin γ4 yang disebut Hb Bart’s.

2. Talasemia heterozigot, kerusakan terjadipada salah satu kromosom homolog.


D. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Reaksi polymerase berantai atau dikenal sebagai polymerase chain

reaction (PCR), merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk

mengamplifikasi nukleotida secara in vitro. Metode PCR dapat meningkatkan

jumlah urutan DNA sebanyak ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula,

sekitar 106 – 107 kali. Pada setiap n siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya

DNA target. Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan bagaimana

cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan meminimalkan amplifikasi

urutan non target. Proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi

denaturasi; annealing adalah langkah pengenalan primer ke pita DNA yang sesuai;

dan ekstansi oleh enzim DNA polymerase. Sepasang primer oligonukleotida yang

spesifik digunakan untuk membuat hybrid dari ujung-5’ menuju ujung-3’ untai

DNA target dan mengamplifikasi untuk urutan yang diinginkan. Dasar siklus PCR

ada 30-35 siklus meliputi: 1) Denaturasi : 950C, 30 detik; 2) Annealing : 55-600C,

30 detik; 3) Ekstansi : 720C, waktu tergantung panjang pendeknya ukuran DNA

yang diinginkan sebagai produk amplifikasi (Fatchiyah, et al, 2011).

Penggunaan PCR telah bekembang secara cepat seiring dengan

perkembangan bilogi molekuler. PCR digunakan untuk mengidentifikasi penyakit

genetik, infeksi oleh virus, diagnosis dini penyakit seperti AIDS, profil genetic

dalam forensic, aplikasi dalam biodiversitas, evolusi biologi, mutasi gen secara

langsung dan mengukur kuantifikasi ekspresi mRNA di dalam sel atau jaringan

(Fatchiyah, et al, 2011).


Hampir semua metode analisis DNA di hemoglobinopati dan penyakit

genetik yang sedang digunakan didasarkan pada teknik PCR. Saat ini, banyak

teknik PCR yang digunakan dalam deteksi mutasi. Beberapa teknik tersebut

antara lain :

1. Allele Specific Oligonucleotide Probes (ASO)

Metode ini digunakan pada sintetis molekul DNA kecil, yang disusun

untuk mendeteksi titik mutasi danterdiri dari sekitar 20 nukleotida.

Oligonukleotida probe menjalani hibridisasi dengan sepenuhnya untuk

melengkapiurutan. Posisi modifikasi terletak ditengah molekul. Biasanya, dua

probe yangdisintesis per mutasi diselidiki. Yang pertama adalahmelengkapi

urutan normal dan yang kedua adalahmelengkapi satu yang bermutasi. Kemudian,

produk PCRditransfer dalam membran hibridisasi nilon danmengalami hibridisasi

dengan probe(Konstantinos et al, 2008).

2. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Enzim restriksi memiliki kemampuan untuk mengenali danmembelah

DNA di urutan DNA tertentu untuk menghasilkan sebuah kelompokfragmen yang

lebih kecil.Sering, mutasi titik darigen mengarah ke penghapusan atau

pembentukan titik pengenalan potongan enzim restriksi. Misalnya, pada anemia

sel sabit, perubahan basa A dengan basa T dalam gen β-globin hasil substitusi dari

β6 asam amino (valin ke glutamat). Dan dihancurkan pada titik pengenalan oleh

enzim restriksi MstII (CCT-N-AGG).Dalam kasus tersebut, titik mutasi mudah

dikenali setelah perbanyakan bagian dari DNA, yang meliputi mutasi dan inkubasi

dengan enzim restriksi yang tepat. Kemudian, produk inkubasi dipisahkan dengan
elektroforesis gel agarosa menggunakan ethidium romide sebagai pewarna

pewarnaan dan langsung dikembangkan dengan radiasi UV. Jumlah dan ukuran

fragmen DNA dipengaruhi oleh adanya mutasi(Konstantinos et al, 2008).

3. Amplification Refractory Mutation System (ARMS)

Secara singkat, untuk setiap sampel DNA, empat reaksi PCR diatur, yang

berisi sekelompok primer umum, yang berfungsi sebagai kontrol internal untuk

efisiensi PCR dan kelompokprimer kedua, yang umum dan satu spesifiksetiap

urutan mutasi yang diselidiki. Dengan kontrol yang tepat, mutasi dapat diketahui

atau sampel normal, setelah sama-sama diamplifikasi. Produk PCR dianalisis pada

gel agarosa 2% untukukuran fragmen yang sesuai(Konstantinos et al, 2008).

4. Single-Strand Conformation Polymorphism (SSCP) Analysis

PCR-SSCP digunakan untuk mengasumsikan bahwa perubahan atau

mutasi yang terdapat pada fragmen DNA akan mempengaruhi konformasi

fragmen DNA untai tunggal walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida pada

eletroforesis dengan gel polyakrilamide (Konstantinos et al, 2008). Proses SSCP

melibatkan PCR amplifikasi fragmen sasaran, denaturasi produk PCR untai ganda

dengan panas dan formamida (atau denaturan lainnya misalnya, natrium

hidroksida, urea dan methylmercury hidroksida) dan non denaturasi elektroforesis

pada gel poliakrilamida. Mutasi ini terdeteksi dalam bentuk pita atau band-band

baru yang terlihat setelah dilakukan pewarnaan dengan pewarnaan perak. Mutasi

deteksi untuk PCR-SSCP umumnya tinggi > 80%-90% dalam menentukan DNA

untai tunggal untuk fragmen pendek dari 200-400 pb (Hayashi, 1992). Menurut
Mahdieh dan Rabbani PCR-SSCP dapat medeteksi mutasi 80-90% pada 150-200

bp fragmen DNA.

Kelebihan dari metode PCR-SSCP ini antara lain teknik penentuan mutasi

DNA yang cepat dan sederhana, tidak memerlukan peralatan yang rumit,

visualisasinya tidak menggunakan bahan radioaktif (konstantinos, et al. 2008;

Hayashi,1992), PCR-SSCP dapat mendeteksi lebih banyak mutasi sampai ratusan

basa bila dibandingkan dengan metode yang lain (± 20 basa) (Hayashi 1992).

E. Landasan Teori

Darah sirkulasi terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih

(leukosit) dan keping darah (trombosit). Eritrosit berjumlah 99% dari total

komponen sel; sisanya 1% sel darah putih dan platelet (Corwin, 2009). Fungsi

utama eritrosit adalah mengangkut oksigen dari jaringan paru ke jaringan perifer,

mengangkut CO2 dari jangan ke paru dan berperan dalam pengangkutan dan

metabolisme nitrit oksida (NO) sehingga membantu pembentukan NO dan

vasodilatasi pada kondisi hipoksia. Kandungan utama eritrosit yang bertanggung

jawab mengangkut oksigen dan berkontribusi mengangkut CO2 serta berinteraksi

dengan NO adalah hemoglobin(Bain, 2014). Hemoglobin adalah protein yang

mengandung besi dan terdiri dari empat polipeptida , yang dikenal sebagai rantai

globin. Hemoglobin mengandung 4 molekul heme yang masing-masing terikat

dengan rantai globin(Kiswari, 2014). Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen

(O2) dan karbondioksida (CO2) ke jaringan dalam tubuh (Bain, 2006). Kelainan

dan kegagalan fungsi hemoglobin dalam mengikat oksigen disebabkan adanya


mutasi pada gen pengkode rantai globin. Beberapa kelainan yang disebakan oleh

mutasi pada gen globin antara lain thalasemia dan hemoglobinopati.

Thalasemia merupakan kelainan genetik akibat mutasi gen yang bersifat

aotosumal resesif yang disebabkan kekurangan sintesis rantai globin (Handayani

dan Onggo, 2014). Penyakit Thalasemia tersebar luas di seluruh wilayah

Mediterania, Timur Tengah, sebagian Afrika, anak benua (Subcontinent) India,

dan seluruh Asia tenggara yang membentang dari Cina selatan ke semenanjung

Malaysia dan pulau-pulau di Indonesia (Weatherral, 1997). Thalassemia beta

adalah kelompok keturunan kelainan darah yang ditandai dengan berkurangnya

atau tidak ada sintesis rantai beta globin, sehingga mengurangi produksi

hemoglobin di dalam sel darah merah (Galanelo dan Origa, 2010). Jenis mutasi

yang diketemukan pada thalasemia beta biasanya terutama oleh karena mutasi

titik dan hanya sebagian kecil oleh karena delesi atau insersi. Lebih dari 200

mutasi titik baik di dalam atau sekitar gen beta globin diketahui menyebabkan

penurunan produksi beta globin (Turgeon, 2012).

Pemeriksaan hematologis rutin yang dilanjutkan dengan deteksi letak

mutasi sangat efektif untuk menekan jumlah populasi penyandang thalasemia

(Handayani dan Onggo, 2014). Pemeriksaan hematologis meliputi MCV, MCH

dan feritin. Untuk deteksi mutasi gen beta globin pada spektrum mutasi yang

belum diketahui atau heterogen menggunakan metode tidak langsung, seperti

Polymerase Chain Reaction-Singgle Strand Conformation Polymorphism (PCR-

SSCP) dan dikombinasikan dengan pengurutan DNA (sekuensing DNA) (Sunarto,

1996). Metode PCR-SSCP merupakan teknik penentuan mutasi DNA yang cepat
dan sederhana, tidak memerlukan peralatan yang rumit, visualisasinya tidak

menggunakan bahan radioaktif (konstantinos, et al. 2008; Hayashi,1992). Mutasi

deteksi untuk PCR-SSCP umumnya tinggi > 80%-90% dalam menentukan DNA

untai tunggal untuk fragmen pendek dari 200-400 pb (Hayashi, 1992). PCR-SSCP

dapat melihat perubahan satu sekuens basa nukleotida melalui interpretasi

perbedaan migrasi pita DNA pada eletroforesis dengan gel polyakrilamide. PCR-

SSCP digunakan untuk mendeteksi mutasi pada penyakit genetik (Thalasemia β,

Cytic fibrosis) (Konstantinos et al, 2008).

F. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Metode PCR-SSCP dilanjutkan sekuensing DNA dapat mendeteksi letak

mutasi sekuen ekson 1 gen beta globin pada penyandang thalasemia beta

mayor.

2. Metode PCR-SSCP dilanjutkan sekuensing DNA dapat mendeteksi jenis

mutasi sekuen ekson 1 gen beta globin pada penyandang thalasemia beta

mayor.

3. Mutasi pada sekuen exon 1 gen beta globin akan mempengaruhi susunan asam

amino pembentuk protein.

4. Mutasi pada sekuen exon 1 gen beta globin akan berpengaruh terhadap tingkat

keparahan penyakit thalasemia.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah pasien

yang terdiagnosa thalasemia beta mayor di RSUD Dr. Soeroto Kabupaten Ngawi.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah pasien yang

rutin melakukan transfusi di RSUD Dr. Soeroto Kabupaten Ngawi.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang direncanakan untuk diteliti yang

mempunyai pengaruh terhadap variabel tergantung. Variabel bebas dalam

penelitian ini adalah sampel darah penderita thalasemia.

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variable

bebas dan variabel terkendali. Variabel tergantung dalam penelitian ini yaitu letak,

mutasi dan perubahan susunan asam amino dari gen beta globin pada penderita

thalasemia beta mayor.


3. Variabel Kendali

Variabel terkendali adalah variabel yang mempengaruhi veriabel

tergantung sehingga diperlukan kualifikasinya agar hasil yang diperoleh tidak

tersebar dan dapat diulang oleh peneliti lain secara tepat. Variabel kendali dari

penelitian ini yaitu komponen PCR, metode penelitian deteksi mutasi dengan

PCR-SSCP, skuensing DNA.

C. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi serangkaian alat gelas

berupa gelas beker, gelas ukur, Erlenmeyer, pipet tetes, corong, pengaduk, pipet

ukur beserta pipet pump berfungsi untuk preparasi larutan baik bahan, sampel dan

reagen, microcentrifuge tube (mictotube) 1,5 mL dan 0,2 mL sebagai tempat

penyimpanan sampel, mikropipet untuk mengambil sampel dan bahan dalam skala

microliter, neraca analitik untuk menimbang bahan, Erlenmeyer untuk tempat

pencampuran bahan, vorteks untuk homogenasi larutan, sentrifuge untuk

memisahkan komponen larutan berdasar berat jenis, incubator sebagai tempat

inkubasi, microwave untuk pembuatan gel agarose, lemari pendingin sebagai

tempat penyimpanan bahan, rangkaian alat elektroforator horizontal untuk

memisahkan komponen atau molekul berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya

dalam sebuah medan listrik, UV transiluminator untuk visualisasi pita DNA,

thermocycler untuk amplifikasi DNA, spektrofotometer untuk mengukur

konsentrasi sampel, program Chromas Lite 2.1 untuk membaca DNA hasil
sekuensing, software MEGA 6.0 untuk alignment dan analisis sekuen DNA, dan

kamera digital untuk dokumentasi selama penelitian.

2. Bahan

Sampel uji yang digunakan dalam penelitian yaitu 10 darah penyandang

beta thalassemia yang rutin melakukan tranfusi di RSUD Dr. Soeroto Kabupaten

Ngawi, disimpan dalam tube BD vacutainer EDTAdan satu sampel normal atau

control negative digunakan sebagai pembanding dalam penelitian ini. Bahan yang

digunakan pada penelitian ini meliputi akuades steril, Geneaid Genomic DNA

Mini Kit (Blood/Cultured Cell), PCR master mix KAPA 2G fast ready mix, primer

forward dan reverse spesifik untuk pada gen beta globin, DNA loading dye,

Geneaid100bp plus DNA ladder, fluoroceft, gel agarosa, ethanol absolut 96%,

buffer Tris Borat EDTA (TBE), loading buffer (campuranbromo phenol blue,

formamide, EDTA, gliserol), gel poliakrilamid (acrylamide:bis-acrylamide 29:1).

ethidium bromide dan pipet tip.


A,jβ
-SK
R
EktfgbuPC
A
N
ldrhIoD
enyiapsm
1. Diagram Alur Penelitian
D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini berfokus untuk melakukan deteksi mutasi pada penyandang

beta thalassemia dengan metode PCR-SSCP kemudian dilakukan sekuensing

untuk konfirmasi. Langkah-langkah penelitian sebagai berikut :


2. Pengambilan Sampel

Sampel darah diperoleh dari darah pasien thalasemia yang rutin

melakukan transfusi di RSUD Dr. Soeroto kabupaten Ngawi. Sampel darah

disimpan dalam tabung vacutaine EDTA 3 ml dan dimasukan dalam freezer-200C.

3. Isolasi DNA

Isolasi DNA sampel dilakukan dengan mengunakan Genomic DNA mini

kit for blood and tissue, dengan prosedur sesuai dengan protocol kit. Langkah-

langkah isolasi DNA sebagai berikut :

a. Penlisisan Sel

Sampel darah sebanyak 200 μL dimasukkan ke dalam microtube 1,5 mL

dan ditambahkan 30 μL Proteinase K (20 mg.mL) kemudian divorteks agar

homogen. Selanjutnya, sampel diinkubasi pada suhu 600C selama 20 menit

kemudian ditambahkan 200 μL GB buffer dan dihomogenasi dengan vorteks.

Sampel diinkubasi kembali pada suhu 600C selama 18 menit, selama inkubasi

microtube dibolak-balik selama tiga menit.

b. Pengikatan DNA

Setelah proses inkubasi, sampel ditambah dengan 200 μL etanol absolut

dingin lalu divorteks kemudian dipindahkan ke dalam purification column (GD

column) yang telah diletakkan pada collection tube 2 mL. Sampel disentrifuge

dengan kecepatan 12.000 rcf selama 7 menit kemudian larutan hasil sentrifugasi

dibuang dan GD column ditempatkan pada collection tube yang baru.


c. Pencucian

Sebanyak 400 μL wash buffer 1 ditambahkan ke dalam GD column lalu

disentrifugasi pad 12.000 rcf selama 2 menit. Larutan sisa pencucian pada

collection tube dibuang, kemudian GD column dimasukkan kembali ke dalam

collection tube. Sebanyak 600 μL wash buffer II ditambahkan ke dalam GD

column dan disentrifugasi pada 12.000 rcf selama 2 menit. Larutan sisa pencucian

pada collection tube dibuang, kemudian GD column dimasukkan kembali ke

dalam collection tube. Sampel disentrifugasi kembali pada 12.000 rcf selama 4

menit.

d. Pengelusian

GD column dipindahkan ke dalam microtube 1.5 mL baru lalu

ditambahkan 50 μL elution buffer yang telah diinkubasi pada suhu 600C. Setelah

itu, larutan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit kemudian dilakukan

sentrifugasi pada 12.000 rcf selama 2 menit. Proses elusi diulangi 2 kali untuk

memaksimalkan pelepasan DNA dari silica gel pada GD column. Selanjutnya, GD

column dikeluarkan dari microtube 1.5 mL dan disimpan di dalam lemari

pendingin.

4. Spektrofotometri dan Elektroforesis DNA

Uji Kuantitatif dilakukan dengan metode spektofotometri UV-Vis, kemurnian

DNA diperoleh dari nilai absorbansi 260 nm dibagi dengan nilai absorbansi 280

nm (Å260/Å280), dan nilai kemurnian DNA berkisar 1.8-2.0. Selanjutnya, uji

kualitatif dengan elektroforesis pada gel agarosa 0.8%. Mula-mula sebanyak 0.32

gram agarosa ditimbang kemudian ditambahkan 40 mL Tris Borate-EDTA (TBE)


1X dan digojog sampai homogen. Larutan tersebut dipanaskan dalam microwave

selama 50 detik. Setelah sedikit dingin ditambahkan fluoroceft sebanyak 2 μL dan

digojog hingga homogen. Gel dituang pada cetakan yang telah diberi sisir untuk

sumuran. Gel didiamkan hingga menjendal lalu sisir dilepas dan gel dipindahkan

ke dalam mesin elektroforesis dan ditambahkan dengan TBE 1x hingga gel

terendam.

Sumuran pertama diisi dengen sebanyak 3 μL ladder/marker berupa 100 bp

DNA ladder . Hasil isolasi DNA diambil sebanyak 5 μL dan dicampur dengan 1

μL (6x) loading dye. Campuran DNA dan loading dye dimasukkan dalam

sumuran gel agarosa. Running DNA dilakukan dengan menghubungkan katoda

dan anoda pada sumber tegangan 100 volt selama 30 menit. Pengamatan pita

DNA dilakukan dengan menggunakan UV Transiluminator.

5. Amplifikasi Fragmen Gen Beta Globin

Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction

(PCR). PCR dilakukan berdasarkan prosedur KAPA Biosystem (2013). PCR mix

dibuat dengan menggunakan PCR Master mix KAPA2G fast ready mix, yang

ditambahkan primer dan DNA template. Primer yang digunakan dapat dilihat

pada Tabel 1 dan Gambar

Tabel 1. Sekuen primer untuk amplifikasi gen β-globin (Gupta dan Agrawal, 2003)
Primer Sekuen Ukuran amplikon
Primer F 5’ CCAAGGACAGGTACGGCTGTCATC 3’
322 bp
Primer R 5’ CTATTGGTCTCCTAAACCTGTCTTG 3’
Representasi daerah amplifikasi primer pada panajng 322 bp meliputi daerah 5’

upstream, ekson 1 dan IVS 1. (Gupta dan Agrawal, 2003).

PCR mix dibuat dengan volume total 25 μL untuk setiap reaksi. Sampel

diamplifikasi dengan 35 siklus. Komponen untuk setiap PCR mix dan proporsinya

ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen PCR untuk amplifikasi fragmen gen beta globin (KAPA Biosystem,
2013)
Konsentrasi Volume yang
Komponen Reaksi Konsentrasi
No Akhir Per Ditambahkan
PCR Stok Awal
Reaksi (μL)
1 KAPA PCR Master Mix 2X 1X 12,5
2 Primer forward 10 μM 0,5 μM 1,25
3 Primer reverse 10 μM 0,5 μM 1,25
5 DNA template - ¬ 100 ng 5
6 ddH2O - - 5
Volume Total 25

Setiap komponen dimasukkan ke dalam PCR tube dan dihomogenasi.

Setiap tube sampel dimasukkan kedalam mesin thermal cycler. Mesin diatur

dengan kondisi untuk reaksi seperti yang dicantumkan pada Tabel 3 :


Tabel 3.Kondisi siklus pada reaksi PCR beta globinfragmen gen

No Tahapan Temperature (0C) Waktu Siklus


1 Pre-Denaturasi 95 3 menit 1
2 Denaturasi 95 45 detik
3 Annealing 5,5 30 detik 35
4 Elongasi 72 45 detik
5 Post-Elongasi 72 5 menit 1
6 Cooling 4 4 menit 1

6. Elektroforesis Produk PCR

Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa dengan konsentrasi 2%.

Sebanyak 0.8 gram agarosa ditimbang kemudian ditambahkan 100 mL Tris

Borate-EDTA (TBE) 1X dan digojog sampai homogen. Larutan tersebut

dipanaskan dalam microwave selama 50 detik. Setelah sedikit dingin ditambahkan

fluoroceft sebanyak 2,5 μL dan digojog hingga homogen. Gel dituang pada

cetakan yang telah diberi sisir untuk sumuran. Gel didiamkan hingga menjendal

lalu sisir dilepas dan gel dipindahkan ke dalam mesin elektroforesis dan

ditambahkan dengan TBE 1x hingga gel terendam.

Sumuran pertama diisi dengen sebanyak 3 μL ladder/marker berupa 100

bp DNA ladder. Sampel diambil sebanyak 5 μL dan dimasukkan dalam sumuran

gel agarosa. Running DNA dilakukan dengan menghubungkan katoda dan anoda

pada sumber tegangan 50 volt. Elektroforesis dihentikan setelah migrasi DNA

mencapai 2/3 panjang gel yang ditunjukkan dengan warna biru pada gel agarosa.

Pengamatan pita DNA dilakukan dengan menggunakan UV Transiluminator.


7. Analisis PCR-SSCP

Analisis polymerase chain reaction-single strand conformation

polymorphism (PCR-SSCP) dilakukan berdasarkan metode priyambodo (2009)

dengan modifikasi sebagai berikut :

a. Pembuatan gel

Larutan gel disiapkan dengan Erlenmeyer 125 ml yang terdiri atas 5,6 ml

aquabides 2,6 ml polyacrylamide 30% (acrylamide : bisacrylamide 29:1), 1 ml

TBE 10x, 0,68 ml gliserol 87%, 45 μl ammonium persulphat 10%, dan 10 μl

TEMED (tetramethyl ethylenediamine). Secepatnya setelah TEMED

ditambahkan, larutan gel diaduk/digoyang, lalu dituangkan dengan menggunaakan

mikropipet kedalam cetakan. Sisir dipasang pada cetakan dan gel dibiarkan

selama 60 menit.

Setelah 60 menit, gel dipasang pada tangki elektroforator vertical dan

ditambahkan TBE 1,5x hingga mencapai batas kolom. Sisir diangkat dengan hati-

hati dan dilakukan pre-running selama 20 menit.

b. Penyiapan sampel

Sebanyak 10 μl produk PCR ditambahkan 15 μl loading buffer dihomogenasi

dengan vortex. Campuran sampel dan loading buffer dipanaskan dalam waterbath

pada suhu 950C selama 10 menit untuk denaturasi. Setelah proses denaturasi,

sampel segera dimasukkan freezer suhu -200C selama 10 menit. Setelah proses

thawing, sebanyak 25 μl campuran tersebut dimasukkan kedalam masing-masings

umuran gel. Elektroforesis dilakukan dengan TBE 0,5x pada 100V 50mA selama

100 menit.
c. Pewarnaan

Gel dilepas dari gelas, lalu diencerkan dalam ethidium bromide selama 45

menit dan diamati dengan UV transiluminator. Hasil didokumentasikan dengan

kamera digital.

d. Interpretasi hasil

Interpretasi data dilakukan dengan mendeskripsikan pita hasil SSCP dengan

membandingkan perbedaan jarak migrasi pita (single strand DNA) subjek yang

diteliti dengan individu normal. Individu yang memiliki genotip homozigot, baik

homozigot dominan maupun resesif akan menunjukkan dua pita DNA pada gel,

sedangkan individu heterozigot akan menunjukan tiga atau empat pita DNA.

8. Sekuensing DNA

Sekuensing DNA menggunakan metode Sanger (dideoxynucleotide chain

terminator) melalui Laboratorium 1st BASE di Singarupa. Sekuensing dilakukan

terhadap fragmen gen beta globin yang menunjukkan pita ganda DNA pada hasil

PCR-SSCP, yang dikirim melalui PT Genetica Science Indonesia di Jakarta.

E. Analisis Data

Data sekuen DNA gen hasil sekuensing selanjutnya di-alligment

(disejajarkan) menggunakan software DNA baser dengan cara membandingkan

urutan nukleotida hasil sekuensing dengan gen normal β-globin dari data base.

Software Chromas digunakan untuk mengecek hasil sekuensing. Selanjutnya,


mencari letak mutasinya dan efek perubahan pada asam amino yang

ditranslasikan.
DAFTAR PUSTAKA

Atmakusumah, T.,D., et al, 2010, Pencegahan Thalasemia, Hasil Kajian Konvensi


HTA, Jakarta, 16 Juni.
Anonim, 2008, Riset Kesehatan Dasar 2007, Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Bain, B.,J., 2006, Haemoglobinophaty Diagnosis, Second edition, Publishing
Blakwell.
Bain, B.,J.,2014, Hematologi, Kurikulum Inti, alih bahasa Anggraini Iriani,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Corwin, E.J., 2009, Buku Saku Patofisiologi, Edisi Revisi 3, Alih bahasa Niken
Budhi Subekti, penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Fatchiyah, et al, 2011, Biologi Molekular, Prinsip Dasar Analisis, penerbit
Erlangga, hal 48-57.
Gupta, A. and Agrawal, S., 2003, Efficiency and Cost Effectivennes : Page-SSCP
versus MDE and Phast Gels for the Indentification of Unknown β-
Thalasemia Mutation, Jurnal Molecular Pathology, 56, 237-239.
Ganie, R.A., 2005, Thalasemia : Permasalahan dan Penanganannya, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap, Universitas Sumatera Utara.
Galanello, R., and Origa, R., 2010, Beta Thalasemia, Orphanet Journal of Rare
Disease, 5:11.
Harteved, C.,L., and Higgs, D.,R.,2010, Alpha Thalasemia, Orphanet Journal of
Rare Disease, 5:13.
Handayani,N.S. dan Onggo, A.T., 2014, Identifikasi Mutasi Gen β Globin Ekson
1 pada Pembawa Thalasemia, Jurnal Biogenesis, Vol. 2,I, hal. 63-69.
Handayani,N.S.N. dan Purwanto, R., 2015, CD35 (del C) Frameshit Mutation in
Exon 2 of β Globin Gene on β Thalasemia Carriers, Biomedical
Engineering, vol 1(1), 19-23.
Hayashi, K., 1992, PCR-SSCP : A Method for detections of Mutations, GATA,
9(3), 73-79.
Hernanda, Y. P., et al, 2012, Towards a Prevention program for β-Thalasemia.
The Molecular Spectrum in East Java, Indonesia, Hemoglobin, vol. 36(1),
1-6.
Kiswari, R, 2014, Hematologi dan Transfusi, Penerbit Erlangga.
Konstantinos, K.,V., et al, 2008, PCR-SSCP : A Method for Molekuler Analysis
of Genetic Disease, Mol. Biotechnol, 38, 155-163.
Lie-Injo, L.E., et al, 1989, β-Thalasemia Mutation in Indonesia ang Their Linkage
to β Haplotypes, American Journal Human Genetics, 45 : 971-975.
Mahdieh, N. and Rabbani, B., 2013, An Overview of Mutation Detection
Methodes In Genetics Disorder, Journal Iran Pediatric, vol 23(4), 375-
388).
Notopuro, H., 2004, Thalasemia dan Permasalahan dari Pendekatan Biologi
Molekuler ke aplikasi Klinik, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Bidang Ilmu Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Pignati, C.B. and Galanello, R., 2003, Thalasemias and Related Disorders :
Quantitatif Disoder of Hemoglobin Synthesis, In : Grer, J.P., et al,
Wintrobes Clinical Haematology, Ed. 11th, Publisher Lippincot Williams
& Wilkins.
Priyambodo dan Handayani, N.S.N., 2014, Deteksi mutasi Ekson 2 Gen β-Globin
dan Daerah Pengapitnya Pada Pembawa Sifat β-Thalasemia dengan
Metode Polymerase Chain Reaction-Singgle Strand Conformation
Polymorphism(PCR-SSCP), Prosiding Seminar Nasional dan Rapat
Tahunan Bidang MIPA, Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor.
Rujito, L., et al, 2015, Molecular Scanning of β-Thalasemia in the Southern
Region of Central Java, Indonesia ; a Step Towards a Local Prevention
Program, Hemoglobin, vol 39(5), 330-333.
Regar, J., 2009, Aspek Genetik Talasemia, Jurnal Biomedik, vol. 1(3), 151-158.
Setianingsih, I, et al, 1998, Molecular Basis of β-Thalasemia in Indonesia :
Aplication to Prenatal Diagnosis, Molecular Diagnosis, vol. 3 (1), 11-20.
Sunarto, 1996, Diagnostik Molekular Thalasemia, Jurnal Berkala Ilmu
Kedokteran, vol.26(1), 44-51.
Syamsudin, 2007, Beberapa Kelainan Genetik yang Bersifat Protektif Terhadap
Infeksi Malaria, Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol. 5,I, hal. 45-48.
Turgeon, M,L., 2012, Hemoglobinopathies and Thalasemias, In Clinical
Haematology, Theory and Prosedur, Ed. 5th, Publisher Lippincot Williams
& Wilkins, hal 220-224.
Weatherall, D.,J., and Clegg, J.,B.,2001, Thallasemia Syndromes, 4th edition,
Blackwell Science.
Weatherall, D.,J.,1997, The Thallasemias, Fortnightly Review, British Medical
Journal, 314, 1675-1678.
Waetherall, D.,J., 2005, Haemoglobin and The Inherited Disorder of Globin
Synthesis, In Hofbrand, A.,V., et al, Postgraduate Heamatology, 5 th,
edition, Blacwell Science publishing.

Anda mungkin juga menyukai