DISUSUN OLEH:
Maya Cindiati
21/490262/PBI/01809
Saat ini ilmu pengetahuan dalam bida ng biologi terutama bioteknologi berkembang
secara pesat dan telah membawa pengaruh besar dalam membantu menyelesaikan masalah
yang dihadapi manusia. Perkembangan bioteknologi ini telah memanfaatkan organisme pada
tingkat molekulernya yang terkait dengan rekayasa genetika dengan memanipulasi gen pada
organisme tertentu sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik seperti di bidang pertanian,
kesehatan, lingkungan, industri (Smith 2009).
Terutama perkembangan bioteknologi bidang kesehatan membuat para ahli kesehatan
mulai mengembangkan metode pengobatan yaitu berupa terapi gen sebagai salah satu
alternatif solusi masalah kesehatan. Pengobatan dengan terapi gen dimulai dengan
berhasilnya para ahli melakukan perbanyakan gen pada tahun l980an. Selanjutnya para ahli
mulai mencari suatu metode untuk memproduksi protein yang ditujukan untuk pengobatan
penyakit yang diakibatkan oleh ketidakmampuan tubuh dalam menyintesis protein secara
alami. Terapi gen dapat digunakan untuk terapi pada penyakit genetik maupun yang tidak.
Pengobatan yang berbasis pada terapi gen diyakini memiliki banyak keuntungan yang tidak
dimiliki oleh pengobaran konvensional (Syahrizal 2008 dan Widyastuti 2017).
Salah satu penyakit genetik yang dapat diobati dengan metode terapi gen adalah
hemofilia. Hemofilia merupakan penyakit gangguan hemostasis yang menyebabkan
perdarahan abnormal yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah, trombosit, atau faktor
koagulasi (Purwanto 2012), sehingga dapat menyebabkan sukar terjadinya proses pembekuan
darah saat terjadi pendarahan. Seperti halnya dengan penyakit keturunan lainnya, hemofilia
diturunkan dari gen X resesif yang dapat diturunkan dari Ibu (sebagai carrier) kepada anak
laki-lakinya sejak dilahirkan. Hemofilia dapat dibagi menjadi hemofilia A dan B yang
disebabkan oleh mutasi dari gen faktor koagulasi VIII dan IX (Kiswari 2014). Berdasarkan
data World Federation of Hemophilia (WFH) ada sekitar 400 ribu penyandang hemofilia di
dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah kasus hemofilia diperkirakan berjumlah 25,000 orang,
namun yang tercatat pada Perhimpunan Hemofilia dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI)
hanya 1,025 pasien per tahun 2016 (Desideria 2016).
Dalam perawatan terhadap penyakit ini, pasien diberikan pengobatan untuk mengatasi
perdarahan berlebih dengan pemberian faktor koagulasi VIII dan IX. Selain pemberian faktor
pembekuan tersebut dapat diberikan juga berupa DDVAP/desmopressin (hanya dapat
diberikan pada hemofilia A), antifibrinolitik, dan fibrin glue. Namun, terapi gen dapat
menjadi pendekatan ideal untuk pengobatan terhadap hemofilia. Pada saat ini sudah terdapat
beberapa uji klinis/studi yang menunjukkan perbaikan pada pasien dengan hemofilia yang
diberikan dengan metode terapi gen ini.
Sehingga dengan adanya terapi gen ini dapat memberikan pilihan bagi penderita
penyakit tertentu terutama hemofilia untuk memilih metode pengobatan. Maka dari itu,
penulisan makalah ini akan memaparkan mengenai penyakit hemofilia, metode terapi gen,
dan mekanisme kerja aplikasi terapi gen dalam pengobatan penyakit hemofilia. Diharapkan
tulisan ini dapat memberikan informasi dasar mengenai kemajuan teknologi terapi gen dalam
pengobatan hemofilia sehingga dapat memberikan pengertian yang tepat dalam memahami
mekanisme yang terlibat dalam terapi gen.
Penyakit Hemofilia
Darah di dalam tubuh kita memiliki regulasi hemostasis dalam melakukan
pemberhentian dari pendarahan yang disebabkan oleh pembuluh darah yang cedera. Untuk
memperbaiki kerusakan dinding pembuluh darah dan mencegah/mengurangi kehilangan
darah yang berlebih, hemostasis melakukan tiga cara langkah utama yaitu, (1) spasme
pembulu darah, (2) pembentukan platelet plug, dan (3) koagulasi darah. Koagulasi darah
adalah transformasi darah dari cairan menjadi suatu gel yang solid. Proses koagulasi ini dapat
terjadi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik. Faktor XII, XI, IX, dan VIII adalah bagian dari
jalur instrinsik sedangkan faktor III dan VII adalah bagian dari ekstrinsik. Jalur ekstrinsik dan
intrinsik kemudian bertemu pada faktor X (10) dan kemudian lanjut berjalan sehingga
fibrinogen dapat menjadi fibrin (Susanto & Kurniawan 2016).
Gangguan hemostasis yang menyebabkan perdarahan abnormal dan sukar terjadinya
proses pembekuan darah saat terjadi pendarahan dapat disebabkan oleh kerusakan pembuluh
darah, trombosit, atau faktor koagulasi (Purwanto 2012), gangguan ini disebut dengan
hemofilia. Hemofilia adalah kelainan pendarahan genetik yang disebabkan oleh kekurangan
dalam faktor koagulasi dalam pembekuan darah. Penyakit ini dapat diturunkan karena mutasi
gen yang mengakibatkan perubahan dalam untaian DNA (kromosom) X resesif sehingga
membuat proses pembekuan darah dalam tubuh tidak berjalan dengan normal. Sebagian besar
penyakit ini diderita oleh laki-laki yang niasa diturunkan dari ibunya sebagai carrier (Kiswari
2014).
Kedua gen F8 dan F9 terletak pada kromosom X, gen F8 berada di ujung lengan
panjang kromosom Xq285 dan gen F9 IX di lengan panjang kromosom Xq27. Gen F8 sangat
besar (sekitar 180 kb) dan kompleks secara struktural (26 ekson), sedangkan gen F9 jauh
lebih kecil (sekitar 34 kb panjangnya) dan secara struktural lebih sederhana, hanya
mengandung delapan ekson, yang terbesar hanya 1.935 bp panjang (Castaman & Matino
2019).
Penyakit hemofilia dapat dikelompokkan menjadi dua tipe berdasarkan defisiensi pada faktor
koagulasinya yaitu Hemofilia A (HA) dan Hemofilia B (HB),
1. Hemofilia A : Biasa disebut juga dengan hemofilia klasik. Tipe hemofilia ini terjadi
akibat kekurangan faktor koagulasi dalam pembekuan darah VIII (FVIII / faktor anti-
hemofilik). Jumlah faktor VIII yang menurun ini dapat disebabkan karena memang
jumlah faktor VIII yang diproduksi menurun, terdapatnya protein yang abnormal dan
tidak fungsional, atau keduanya (Susanto & Kurniawan 2016 dan Purwanto 2012).
2. Hemofilia B : Dikenal dengan Christmas Disease. Hemofilia B terjadi karena
kekurangan faktor IX (FIX) yang merupakan protein pada darah yang menyebabkan
masalah pada proses pembekuan darah. (Susanto & Kurniawan 2016 dan Purwanto
2012).
Ringkasan mengenai perbedaan antara hemofilia A dan B disajikan pada Gambar 1 dibawah
ini,
Gambar 2
Perbedaan terapi gen somatik berdasarkan gen yang diintroduksi pada pasien
(Sumber : https://www.differencebetween.com/difference-between-ex-vivo-and-vs-in-vivo-
gene-therapy/amp/)
Pada In Vivo, gen yang telah dimodifikasi diintroduksi secara langsung ke dalam sel-sel
jaringan tertentu di dalam tubuh pasien untuk mengobati penyakit genetik. Sedangkan pada
Ex Vivo, sel pasien dimodifikasi di luar tubuh dengan cara dikultur di laboratorium dan gen
fungsional dimasukkan ke dalam vektor untuk mengobati penyakit. Kemudian sel yang telah
dimodifikasi tersebut diintroduksi kembali ke dalam tubuh pasien. Terapi gen ex vivo hanya
dapat diterapkan untuk jenis sel tertentu atau jaringan tertentu. Sel sumsum tulang adalah sel
yang sering digunakan untuk terapi gen ex vivo (Syahrizal 2008).
Aplikasi Terapi Gen Dalam Pengobatan Hemofilia
Dalam artikel Gene Therapy (2010) dijelaskan bahwa terapi gen dapat dijadikan sebagai
pengobatan penyakit cacat genetik. Terapi ini akan mengintroduksi gen secara langsung ke
sel manusia, dengan fokus pada penyakit yang disebabkan oleh cacat gen tunggal, seperti
cystic fibrosis, distrofi otot, anemia sel sabit, dan termasuk juga hemofilia. Pemberian infus
protein telah menjadi pengobatan andalan bagi para penderita hemofilia saat ini. Para ahli
juga telah menjalani uji klinis terhadap pengobatan terbaru yang dapat memperbaiki cacat
genetik oleh penderita. Oleh karena itu, dengan adanya terapi gen, penderita dapat menerima
infusi gen faktor koagulasi yang fungsional. Hasilnya, gen tersebut akan terekspresi dengan
normal dan menjadi bagian dari tubuh penderita. Terapi Gen ini masih akan terus
dikembangkan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Terapi pada pasien hemofilia
dilakukan dengan penggantian faktor koagulasi yang diberikan secara intravena (intravenous
factor replacement therapy). Terapi ini dapat diberikan saat perdarahan ataupun sebagai
profilaksis untuk mencegah terjadinya perdarahan. Konsentrat faktor VIII dapat diberikan
berupa plasma cryoprecipitate dari darah donor atau rekombinan FVIII (Sysmex Indonesia
2019).
Uji klinis awal untuk pengobatan transfer gen hemofilia Antara tahun 1998 dan 2001, lima uji
klinis fase I yang berbeda dimulai untuk pengobatan hemofilia dengan transfer gen (Kay et
al, 2000; Roth et al, 2001; Manno et al, 2003; Powell et al, 2003 dalam Murphy & High
2008). Beberapa vektor gen yang berbeda digunakan dalam uji klinis ini, yaitu vektor
retrovirus, adenovirus, adeno-assosiated virus dan metode non-viral. Retrovirus adalah RNA
virus yang menggunakan transkripsi terbalik untuk menghasilkan intermediet DNA beruntai
ganda selama replikasi. Vektor retroviral ini mengandung genom RNA yang ditranskripsi
terbalik dan diintegrasikan ke dalam genom DNA sel inang/pasien. Dibandingkan dengan
vektor sebelumnya, adenovirus biasanya sering digunakan dalam studi transfer gen praklinis
hemofilia. Keuntungan dari vektor DNA untai ganda ini adalah tingkat ekspresi transgen
yang tinggi dan kemampuan untuk mentransduksi hepatosit yang sangat efisien dalam proses
terapi gen in vivo. Tetapi biasanya generasi awal dari vektor ini hanya terekspresi secara
sementara saja, karena adanya sifat imunogenik dari vektor adenoviral itu sendiri.
Selanjutnya, vektor ketiga yang digunakan dalam kelompok uji klinis pertama ini adalah
vektor adeno-associated virus (AAV). AAV adalah virus DNA kecil beruntai tunggal yang
bereplikasi secara alami. Itu bergantung pada fungsi produk gen virus penolong, seperti
adenovirus atau herpesvirus untuk menyelesaikan siklus replikasinya. Tidak ada gejala atau
penyakit yang diketahui terkait dengan infeksi AAV (Murphy & High 2008).
Dalam uji klinis yang dilakukan di Amerika Serikat, gen terapeutik diintroduksi ke organ hati
pasien, yang kemudian memperoleh kemampuan untuk memiliki waktu pembekuan darah
yang normal. Namun efek terapeutiknya bersifat sementara karena sel-sel hati yang dikoreksi
secara genetik diakui sebagai zat asing dan ditolak oleh sistem kekebalan tubuh yang sehat
pada pasien. Masalah yang sama yang dihadapi oleh pasien setelah melakukan transplantasi
organ. Oleh karena itu, terapi gen merupakan salah satu cara pengobatan penyakit hemofilia
dengan memperbaiki kerusakan genetik yaitu melalui penyisipan gen yang fungsional.
Pengobatan melalui terapi gen ini tidak dapat secara menyembuhkan penyakit secara
permanen dan masih harus dilakukan secara perkembangan secara berkala dengan uji klinis
terhadap penderita hemofilia.
Pada uji klinis ini, tim ahli Rangarajan et al. (2017) menginfus 1 dosis intravena tunggal
dengan vektor adeno-associated serotipe 5 yang mengkodekan gen faktor VIII (AAV5-
hFVIII-SQ) pada 9 pria dengan hemofilia A golongan berat. Peserta terdaftar secara
berurutan menjadi satu dari tiga kelompok dosis yaitu dosis rendah (diikuti satu partisipan],
dosis sedang (satu partisipan) dan dosis tinggi (tujuh partisipan) yang diikuti sampai 52
minggu. Hasilnya yaitu tingkat aktivitas faktor VIII tetap pada 3 IU atau kurang per desiliter
di penerima dosis rendah atau menengah. Dalam kelompok dosis tinggi, tingkat aktivitas
faktor VIII dinilai lebih dari 5 IU per desiliter antara minggu 2 dan 9 setelah transfer gen di
semua 7 partisipan, dan tingkat dalam 6 partisipan meningkat ke nilai normal (> 50 IU per
desiliter) yang dipertahankan pada 1 tahun setelah menerima dosis. Efek samping yang
terjadi setelah dilakukan terapi gen yaitu peningkatan kadar alanine aminotransferase menjadi
1,5 kali lebih atau kurang dari kisaran normal. Perkembangan artropati kronis sudah ada
dalam satu pasien adalah satu-satunya efek samping yang serius. Tidak ada antibodi penawar
terhadap faktor VIII yang terdeteksi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Infus berupa AAV5-
hFVIII-SQ selama periode 1 tahun, dimana 6 dari 7 partisipan yang menerima dosis tinggi,
mengalami stabilisasi hemostasis dan pengurangan berat pada Faktor VIII pada ketujuh
partisipan. Maka dari itu infus gen dengan dosis tinggi yang digunakan pada uji klinis ini
dapat mengurangi pendarahan berlebih karena regulasi hemostasis dalam darah partisipan
sudah lebih stabil dari pada sebelum dilakukan terapi gen tersebut.
Selanjutnya uji klinis yang dilakukan pada penderita hemofilia B. Uji klinis ini bertujuan
untuk menyelidiki penggunaan metode terapi gen baru pada penderita (Nathwani et al. 2011),
menentukan daya tahan ekspresi transgen, hubungan dosis-respons vektor, dan tingkat
toksisitas persisten atau terlambat pada hemofilia B (Nathwani et al. 2014). Pada uji klinis
yang dilakukan oleh Nathwani et al. (2011), 6 partisipan diberikan dosis tunggal serotype-8–
pseudotyped AAV yang mengekspresikan FIX transgen (scAAV2 / 8-LP1-hFIXco) melalui
vena perifer dengan 3 kelompok dosis yang berbeda selama 6 samapi 16 bulan tanpa
pemberian imunosupresif. Sedangkan, pada uji klinis Nathwani et al. (2014), 6 partisipan
diberikan 3 kelompok dosis yang berbeda dan 4 partisipan tambahan diberikan dosis yang
tinggi. Kemudia seluruh partisipan menjalani pemantauan klinis. Hasilnya, infus perifer dari
vena scAAV2 / 8-LP1-hFIXco menghasilkan ekspresi transgen FIX pada tingkat yang cukup
untuk meningkatkan fenotip perdarahan, dengan sedikit efek samping (Nathwani et al. 2011).
Hal yang sama juga terlihat pada partisipan dalam uji klinis Nathwani et al. (2014). 10
partisipan yang terlibat mengalami peningkatan dosis yang tergantung pada faktor IX yang
bersirkulasi ke tingkat 1 sampai 6% dari nilai normal selama periode rata-rata 3,2 tahun
dengan pengamatan berkelanjutan. Maka dsri itu infus vektor AAV8 dosis tunggal
menghasilkan ekspresi faktor IX terapi jangka panjang terkait dengan perbaikan klinis.
Dengan masa tindak lanjut hingga 3 tahun, tidak ada efek toksik yang terlambat dari terapi
yang dilaporkan.
Kemudian uji klinis pada hemofilia B lainnya juga dilakukan oleh George et al. (2017).
Sepuluh Partisipan yang mengikuti uji klinis ini diintroduksi vektor AAV yang telah
dimodifikasi dengan transgen FIX Padua (FIX-R338L) dengan dosis 5 x 1011 genom vektor
per kilogram berat badan. Kemudian hasil laboratorium, frekuensi perdarahan, dan konsumsi
konsentrat faktor IX secara prospektif dievaluasi setelah infus vektor dan dibandingkan
dengan nilai awal. Hasilnya tidak ada efek samping serius yang terjadi selama atau setelah
infus vektor. Aktivitas koagulan faktor IX yang diturunkan dari vektor dipertahankan pada
semua partisipan, dengan rata-rata (± SD) aktivitas koagulan faktor IX 33,7 ± 18,5% (kisaran,
14 hingga 81). Sebanyak 9 dari 10 tidak memiliki perdarahan setelah pemberian vektor.
Peningkatan kadar enzim hati yang asimptomatik berkembang pada 2 partisipan dan
diselesaikan dengan terapi prednison jangka pendek. Maka pada uji klinis ini, terapi gen
dilakukan pada 10 partisipan tersebut mengalami peningkatan aktivitas FIX yang diturunkan
dari transgen memungkinkan penghentian profilaksis dasar dan hampir tidak ada pendarahan.
Dari semua uji klinis yang telah dilakukan oleh para ahli terhadap penderita hemofilia A dan
hemofilia B dengan menggunakan metode terapi gen dinilai cukup berhasil dalam
mengekspresikan maupun meningkatkan aktivitas faktor koagulan FVIII dan FIX untuk
melakukan regulasi hemostasis saat terjadi pendarahan. Kebanyakan dari uji klinis yang
dilakukan menggunakan adeno-associated virus sebagai vektor gen fungsional yang
diintroduksikan kepada penderita. Hal ini menjadi sebuah bukti bahwa terapi gen dapat
dijadikan pengobatan yang cukup efektif terhadap penyakit hemofilia walaupun tidak dapat
menyembuhkan penyakit secara keseluruhan. Sehingga para penderita hemofilia tidak perlu
takut lagi untuk memilih metode terapi gen sebagai pengobatan atau terapi yang baik agar
para penderita dapat hidup normal seperti yang lainnya. Hal yang perlu diperhatikan dalam
memilih terapi gen sebagai pengobatan yaitu kita harus mengetahui prosedur atau mekanisme
yang dilakukan oleh para ahli. Selain itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut dari para ahli
agar terapi gen dapat dijadikan pengobatan jangka panjang bagi penderita hemofilia.
DAFTAR PUSTAKA
Castaman G. & Matino D. 2019. Hemophilia A and B: molecular and clinical similarities and
differences. Haematologica 104(9):1702-1709.
Desideria B. 2016. Prediksi penyandang hemofilia di Indonesia sekitar 25 ribu (Liputan 6).
Diakses melalui https://www.liputan6.com/health/read/2675564/prediksi-penyandang-
hemofilia-di-indonesia-sekitar-25-ribu/ (10 Juni 2020).
Gene Therapy. Diakses melalui http://www.genetherapynet.com/JoomlaTest2/index.php?
option=com_content&view=article&id=164:diseases-treated-with-gene-therapy-
&catid=97:patient-information&Itemid=14 (10 Juni 2020).
George LA, Sullivan SK, Giermasz A, et al. 2017. Hemophilia B Gene Therapy with a High-
Specific-Activity Factor IX Variant. N Engl J Med 377(23): 2215–2227.
Hematology Advisor. 2019. Diakses melalui
https://www.hematologyadvisor.com/home/topics/bleeding-disorders/ overview-of-
and-challenges-in-gene-therapy-for-hemophilia/ (10 Juni 2020).
Hemophilia News. Diakses melalui https://hemophilianewstoday.com/
gene-therapy/#:~:text=What%20is%20gene%20therapy%3F,their%20own
%20clotting%20factor%20normally/ (10 Juni 2020).
Kachroo, S., & Gowder, S. J. T. 2016. Gene therapy: An overview. Gene Technology, 5,1.
Kiswari, Rukman. 2014. Hematologi dan Transfusi. Jakarta:Erlangga.
Misra, S. 2013. Human gene therapy: a brief overview of the genetic revolution. Journal of
the Association of Physicians of India, 61, 41-47.
Murphy, SL and High, KA. 2008. Gene therapy for haemophilia. British Journal of
Haematology, 140, 479–487.