Anda di halaman 1dari 13

PCR Sebagai Metode Diagnostik Penyakit

Adjie Prakoso Adianto, Aghnia Lutfi Imadanti, Apta Devi Nurul Nafisa, Azkia Rachmah,
Azzahra Khoirunnisa, Bela Mahayu Pratiwi, Debita Istifadah Devaningrum

A. PCR untuk diagnosis Anemia Sel Sabit


Anemia sel sabit adalah kelainan gen tunggal secara resesif autosomal
yang disebabkan produksi hemoglobin abnormal, yang berikatan dengan
molekul hemoglobin abnormal lain di dalam sel darah merah yang
menyebabkan deformasi sel yang kaku menyerupai bulan sabit (Lonergen et
al., 2001). Bentuk paling umum ditentukan oleh keberadaan dalam kodon 6,
dari mutasi E6V (GAG> GTG; Hemoglobin S; Hb S) pada kedua alel (anemia
sel sabit) dan co-inheritance Hb S dan Hb C (mutasi E6K; GAG> AAG; Hb)
sickle cell disease (Housni et al., 2007). Hal ini menyebabkan peningkatan
adhesi eritrosit diikuti oleh pembentukan agregat heteroseluler, yang secara
fisik menyebabkan oklusi pembuluh darah kecil (Sedrak dan Kondamudi,
2019). Penyakit ini menyebabkan sindrom sistemik yang ditandai dengan
anemia kronis, episode nyeri akut, infark organ, dan kerusakan organ kronis
serta penurunan signifikan dalam harapan hidup (Chakravorty dan Williams,
2015). Perkiraan untuk prevalensi kelahiran penyakit sel sabit homozigot
adalah 112 per 100.000 kelahiran hidup, dengan prevalensi kelahiran di
Afrika 1125 per 100.000 dibandingkan dengan 43,12 per 100.000 di Eropa
(Wastnedge et al., 2018).
Satu-satunya obat yang tersedia untuk pasien dengan penyakit sel sabit
adalah transplantasi sel induk (stem cell), namun pasien yang tidak menjalani
pengobatan masih dapat hidup dengan normal (Gardner, 2018). Meskipun saat
ini transplantasi sel induk sudah dilakukan, masih banyak komplikasi,
kesulitan, dan kontroversi yang terjadi (Al-Khabori, Al-Huneini and Al-
Rawas, 2016). Sehingga sangat penting untuk melakukan deteksi dini, di
mana kurangnya diagnosis yang tepat waktu dan akurat menghasilkan
kematian dini dalam beberapa tahun pertama kehidupan bagi sebagian besar
bayi yang terkena (McGann dan Hope, 2017).
Ada banyak analisis dan prosedur skrining yang dikembangkan untuk
mendeteksi anemia sel sabit di usia awal kelahiran, salah satunya
menggunakan PCR untuk amplifikasi gen yang mengalami mutasi dari darah
tali pusat (Rahman et al., 2017). Metode PCR lebih spesifik dalam mendeteksi
hemoglobin C dan β-thalassemia serta dapat membedakan karier dan
penderita sel sabit dibandingkan tes cepat pasca kelahiran (Ayatollahi dan
Haghshenas, 2004). Penelitian oleh Rahman et al. mengunakan PCR untuk
mendeteksi mutasi gen sel sabit dengan menggunakan 2 pasang primer yang
dirancang untuk amplifikasi 517 pasangan basa dari gen β normal dan yang
mengalami mutasi serta amplifikasi 267 pasangan basa dari DNA yang
mengalami mutasi homozigot. Hasil penelitian menunjukan jika terdpaat
amplifikasi 267 dan 517 pasangan basa, maka orang tersebut mengalami
sickle trait, dan jika terdapat hanya 517 pasangan basa maka orang tersebut
dinyatakan sehat. Penelitian oleh Ayatollahi dan Haghshenas pada tahun
2004 menggunakan primer 5' - ACACAACTGTGTTCAC TAGC, and 5'-
CAACTTCATCCACGTTCACC yang akan menghasilkan amplifikasi dari
110 pasangan basa, kemudian menggunakan enzyme MS II akan memotong
110 pasangan basa menjadi 54 dan 56 pasangan basa pada orang yang
memiliki gen beta-globin yang normal, sedangkan pada orang yang memiliki
gen beta-globin abnormal tidak akan memotong 110 pasangan basa tersebut.
B. PCR untuk Diagnosis Thalassemia
Thalasemia merupakan kelainan bawaan pada produksi hemoglobin
yang ditandai dengan berkurangnya sintesis rantai globin yang menyebabkan
ketidak seimbangan rantai globin tersebut (Siriratmanawong et al., 2001).
Ketidak seimbangan ini menyebabkan maturasi sel darah merah yang
abnormal, mengakibatkan mikrositosis yang khas pada pemeriksaan
laboratorium (Sabath, 2017). Thalasemia dapat dibedakan menjadi thalasemia
alpha dan beta, serta minor dan mayor berdasarkan gejala klinisnya (Suryani,
Wiharto dan Wahyudiani, 2015). Secara umum, thalasemia memiliki gejala
anemia kronis yang parah , pembesaran limpa dan hati, pertumbuhan yang
tehambat serta perubahan pada tulang yang menghasilkan wajah khas yaitu
facies thalassemia (Riyanti et al., 2013). Thalasemia yang banyak ditemukan
adalah thalasemia beta mayor, termasuk di Indonesia (Suryani, Wiharto dan
Wahyudiani, 2015). Setiap wilayah tempat asal thalasemia memiliki ciri
mutasi gen beta globin tertentu. Thalasemia beta mayor ditandai dengan
rusaknya sel darah merah dan perubahan morfologi yang meliputi bentuk dan
ukuran sel, ditandai dengan adanya sel abnormal seperti sel mikrositik,
eritroblast, small fragment dan sel target (Suryani, Wiharto dan Wahyudiani,
2015). Kebanyakan penderita thalasemia mengalami alfa atau beta thalasemia,
namun dapat terjadi interaksi yang menyebabkan compleks alfa-beta
thalasemiasindrom (Siriratmanawong et al., 2001). Jumlah pasti penderita
thalasemia masih belum dapat diketahui. Hanya pada beberapa negara jumlah
penderita dapat tercatat, selain itu banyak anak yang meninggal sebelum
berhasil terdiagnosa. Perkiraan kasus kelahiran pertahun secara global adalah
60.000 kasus (Angastiniotis and Lobitz, 2019).
Untuk membedakan diagnosis thalasemia alfa dan thalasemia beta
dapat digunakan pemeriksaan PCR untuk deteksi gen thalasemia alfa (tipe
SEA) dan thalasemia beta (Siriratmanawong et al., 2001). PCR juga
digunakan untuk mendeteksi mutasi spesifik yang terjadi pada beta thalasemia
dengan menggunakan allele-spesific PCR (Sabath, 2017). Dapat juga
dilakukan pemeriksaan gen yang terlibat dalam keparahan tulang penderita,
salah satunya yaitu TGF B1, yang merupakan gen pengatur pertumbuhan dan
pengontrol proliferase, diferensiasi dan kelangsungan hidup beberapa tipe sel.
PCR-RFLP menggunakan enzim spesifik dengan primers yang digunakan
untuk C-509T adalah: froward 5’CAGACTCTAGAGACTGCTAG3’ reverse
3’GCTACCAGAGAAAGAGGAC5’ (Riyanti et al., 2013).
C. Diagnosis Herpes Simplex Virus dengan PCR

Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2) adalah virus
rantai ganda yang termasuk dalam family Herpetoviridae. HSV-1 dan HSV-2
memiliki struktur genom yang sama dengan 40% sekuens homolognya
mencapai 83% homologi dari region pengkode protein. Genom HSV-1 dan
HSV-2 mengkode setidaknya 80 polipeptida struktural dan non-struktural,
termasuk 10 glikoprotein virus yang berbeda. Sebagian besar respons antibodi
terhadap infeksi HSV ditingkatkan oleh glikoprotein tersebut, contohnya,
glikoprotein gB, gC, gD, dan gE yang memicu respons imun potensial
(Whitley & Roizman, 2001). Berbeda halnya dengan glikoprotein gG pada
HSV-1 dan HSV-2 yang menunjukkan perbedaan. Pada HSV-1, glikoprotein
gG-1 mengandung 238 asam amino, sedangkan glikoprotein gG pada HSV-2
mengandung 669 asam amino (McGeoch & Moss, 1987). Persamaan dan
perbedaan genom HSV-1 dan HSV-2 itulah yang dijadikan dasar uji
molekular untuk keperluan deteksi maupun kuantitasi (Burrows et al., 2002).
Ditinjau dari gejala klinisnya, HSV-1 umumnya muncul di sekitar
bibir, namun dapat juga muncul di daerah genitalia meskipun insidensinya
lebih jarang, maka dari itu HSV-1 lebih dikenal dengan fever blisters. HSV-2,
atau yang lebih dikenal dengan herpes genitalia lebih umum muncul di sekitar
vagina atau penis. HSV-2 dapat juga ditemukan pada bayi yang dilahirkan
secara normal melalui ibu yang terinfeksi herpes genitalia. HSV-2 umumnya
tersebar melalui hubungan seksual (Marshall et al., 2018).
Penegakan diagnosis HSV dapat dilakukan melalui pemeriksaan
penunjang yaitu kultur jaringan. Cara ini sering digunakan namun juga sering
menunjukkan hasil negatif palsu. Selain kultur jaringan, diagnosis HSV juga
dapat ditegakkan melalui uji deteksi antigen virus herpes. Deteksi dimulai
dengan mengambil sampel dari lesi pasien yang kemudian dipulaskan ke slide
mikroskop, kemudian dideteksi ada tidaknya antigen pada permukaan sel
yang diduga terinfeksi virus Herpes (Folusakin, 2018). Cara lain adalah
dengan melakukan uji antibodi, namun hasil uji antibodi tidak lebih akurat
daripada kultur jaringan. Uji antibodi tidak dapat membedakan infeksi akut
ataupun rekuren. Terakhir, mekanisme penegakan diagnosis HSV yang kini
sedang gencar dikembangkan adalah teknik polymerase chain reaction (PCR).
PCR dapat dilakukan terhadap sel dari lesi kering maupun sel yang
terdapat pada cairan tubuh manusia, seperti cairan spinal. PCR dapat
menemukan materi genetik HSV sehingga dapat membedakan HSV-1 dengan
HSV-2. PCR telah menjadi standar diagnostik infeksi HSV pada sistem saraf
pusat seperti HSV ensefalitis. Pada HSV ensefalitis, PCR mampu membantu
penegakan diagnosis secara non invasif namun menunjukkan hasil dengan
sensitivitas yang sama baiknya dengan biopsi otak. PCR juga telah
dimanfaatkan untuk mendeteksi meningitis rekuren (Mollaret) yang
disebabkan oleh HSV-2. Selain pada infeksi sistem saraf pusat, teknik PCR
juga dinilai lebih sensitif dalam menegakkan diagnosis infeksi okular
(Folusakin, 2018). Hingga saat ini, kultur jaringan masih menjadi gold
standard untuk diagnosis infeksi HSV genital, namun tidak menutup
kemungkinan di masa depan uji PCR akan lebih umum digunakan sebagai
gold standard penegakan diagnosis HSV terlepas dari lokasi anatomis dari
lesi ataupu tipe virusnya (Strick & Wald, 2006).

D. PCR sebagai Metode Diagnosis Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini hanya dapat hidup dan
berkembang biak dalam tubuh manusia dan merupakan patogen yang sangat
adaptif dalam tubuh inangnya (Chai, Zhang dan Liu, 2018). Bakteri
tuberkulosis juga mempunyai mekanisme tahan asam untuk proteksi diri
(Vandal, Nathan and Ehrt, 2009). Sistem organ yang paling sering terkena
meliputi sistem pernapasan, sistem gastrointestinal (GI), sistem
lymphoreticular, kulit, sistem saraf pusat, sistem muskuloskeletal, sistem
reproduksi, dan hati. (Adigun dan Singh, 2019. Manifestasi yang paling sering
terjadi dalam infeksi TB adalah pada paru karena droplet aerosol yang
mengendap di permukaan alveolar paru-paru. (Smith, 2003).
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama lebih dari
2 minggu. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang selama lebih dari satu bulan. (Kemenkes RI, 2018). Menurut WHO
(2019), secara global pada tahun 2018 terdapat 2,4 juta insidensi TB yang
setara dengan 231 kasus per 100.000 populasi. Secara geografis, kasus TB
paling banyak terjadi di India (27%), China (9%), Indonesia (8%), Filipina
(6%), Pakistan (6%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%) dan Afrika Selatan
(3%).
Secara umum, TB dapat didiagnosa dengan metode konvensional
seperti pemeriksaan mikroskopis sputum, temuan radiografik pada dada, serta
dengan dilakukan kultur bakteri. (Amin et al., 2011). Pemeriksaan bakteri
tahan asam juga merupakan salah satu metode diagnostik konvensional,
namun metode ini memiliki berupa kurang sensitif, sedangkan metode kultur
memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil diagnosis karena
lamanya proses inkubasi. (Wei et al., 2019). Dalam beberapa tahun terakhir,
teknologi PCR sedang meningkat dengan perkembangan RT-PCR untuk
mendeteksi infeksi myobacterium, keunggulan PCR dibanding metode
konvensional adalah PCR memiliki kecepatan, otomatisasi, sensitivitas dan
spesifitas tinggi dalam diagnosis, serta memiliki resiko rendah dalam
kontaminasi silang. (Miller et al., 2002). PCR dilakukan dengan mendeteksi
regio 123-bp dari kompleks spesifik myobacterium tuberculosis. Amplifikasi
PCR dilakukan dengan mendeteksi TB dengan forward primer (5’-CCT GCG
AGC GTA GGC GTC GGT-3’) dan reverse primer (5’-CTC CTC CAG CCC
CCC CTT CCC-3’). (Amin et al., 2011).

E. PCR untuk diagnosis HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang


dan melemahkan sistem pertahanan tubuh manusia dengan cara merusak
fungsi dari sel imun sehingga perlahan-lahan individu yang terinfeksi HIV
akan menjadi imunodefisiensi (NACO, 2015). Kondisi tersebut
meningkatkan kemungkinan pasien akan mengalami infeksi-infeksi lain,
kanker, dan bahkan penyakit lain yang dapat dilawan oleh individu dengan
kondisi imun yang sehat (WHO, 2019). Dalam waktu 2 hingga 15 tahun, pada
individu dengan infeksi HIV yang tidak mendapat pengobatan akan
mengalami Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (NACO, 2015).
AIDS merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
lanjut dari infeksi HIV yang ditandai dengan adanya 20 atau lebih infeksi
oportunistik atau kanker yang berkaitan dengan HIV (WHO, 2017). Infeksi
HIV merupakan salah satu penyebab terbanyak dari penyakit kronis yang
terjadi di Dunia (Easterbrook et al, 2016). Pada akhir tahun 2018 terdapat
37,9 juta orang dengan infeksi HIV di Dunia (WHO, 2019). Penularan HIV
dapat terjadi dengan hubungan seksual yang beresiko antara individu yang
terinfeksi dengan yang lainnya baik itu heteroseksual maupun homoseksual,
transfusi darah yang terkontaminasi virus HIV, penggunaan jarum suntik yang
bergantian, serta infeksi dari ibu ke anak ketika hamil dan melahirkan
(NACO, 2015).
HIV merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga
diagnosis dini penting dilakukan agar dapat segera mendapat penanganan dan
penularan lebih lanjut dapat dicegah (CDC, 2018). Seperti penyakit infeksi
lainnya, diagnosis HIV dilakukan dengan cara melihat keberadaan virus atau
viral products di dalam host, atau dengan cara mendeteksi respons host
terhadap virus (NACO, 2015). Nucleic Acid Test (NAT) adalah tes yang
sensitif untuk mendiagnosis HIV, tes ini dilakukan dengan menggunakan
metode polymerase chain reaction’s (PCR) untuk mendeteksi keberadaan
berbagai struktur gen HIV dalam host (NACO, 2015). Pada studi sebelumnya
dilaporkan bahwa NAT memiliki sensitivitas sebesar 99,3% dan spesivitas
sebesar 96% (NACO, 2015). PCR adalah test of choice yang digunakan dalam
berbagai situasi seperti pada diagnosis awal pada bayi dan saat window
period (Chun et al 2012). Spesimen yang dapat digunakan dalam tes ini
adalah plasma, serum, cerebrospinal fluid (CSF), sekret dari cervix, semen,
dan spot darah kering (PHLN, 2015). Prinsip dari tes ini adalah HIV reverse
transcriptase memproduksi DNA dari RNA genom virus, selanjutnya untai
komplemen dari DNA diproduksi melalui polimerase DNA virus untuk
membentuk untai ganda DNA virus (NACO, 2015). Kemudian DNA ini, baik
yang berintegrasi dalam genom inang maupun yang tidak terintegrasi dalam
sitoplasma dapat diamplifikasi oleh PCR dan dapat dideteksi (NACO, 2015).

F. PCR untuk Diagnosis HCV

Setiap tahunya, 350 000 orang meninggal karrena infeksi kronik HCV
yang mengakibatkan sirosis hepatitis maupun karsinoma sel hati dan
diperkirakan 3% dari populasi dunia telah terinfeksi HCV (Balayan, 1997;
Abubakar, Tillmann and Banerjee, 2015). Masyarakat sering kali tidak
menyadari telah terinfeksi Hepatitis C karena bersifat kronis dan
asimptomatik sampai kondisi yang lebih parah muncul (Denniston et al.,
2012). Tes diagnosis awal untuk HCV yaitu tes serologis yang dilakukan pada
kelompok berisiko tinggi, salah satunya menggunakan EIA / Enzym Immuno
Assay untuk mendeteksi anti-HCV atau antibodi yang terbentuk sebagai
respon terhadap virus Hepatitis C. Pemeriksaan yang positif dapat
menunjukkan tiga hal, yaitu : infeksi aktif, pernah terinfeksi HCV, atau hasil
positif palsu (Alter, Kuhnert and Finelli, 2003). EIA yang sering digunakan
adalah EIA generasi ke tiga, mendeteksi antibodi yang mengikat antigen
rekombinan dari 4 region virus yaitu inti, NS3, NS4, dan NS5. EIA generasi
ke-tiga memiliki sensitivitas sebesar 98% dan mendeteksi antibodi lebih cepat
setelah terinfeksi dibandingkan generasi sebelumnya, tepatnya setelah 8
minggu pasca infeksi (Colin et al., 2001; Forman and Valsamakis, 2011).
CDC pada 2003 juga merekomendasikan signal to cut off (S/CO)
ratio untuk menentukan perlunya test tambahan. S/CO ratio adalah titer anti-
HCV pada serum pasien. Untuk ELISA/ EIA diestimasikan 3.8 dan
Chemilunensence Immunoassay (CLIA) dengan S/CO 8 memprediksi viremia
sesungguhnya sebesar 95 – 98%. Tes molekuler selanjutnya diperlukan untuk
mendeteksi replikasi aktif HCV RNA yaitu dengan NAT atau Nucleic A cid
Test sebagi gold standart tes suplementari setelah tes anti-HCV positif sebagai
keperluan diagnosis. Tidak hanya untuk diagnosis, NAT juga digunakan
untuk monitoring terapi HCV. NAT juga dapat dikombinasikan dengan tes
laboratorium yang lain untuk menunjang pemeriksaan infeksi akut HCV.
NAT dapat mendeteksi infeksi akut HCV karena dapat mendeteksi RNA
paling cepat 1 mingu setelah paparan melalui tusukan jarum maupun transfusi
darah atau sedikitnya 4 – 6 minggu sebelum serokonversi dalam berbagai
sistem transmisi (CDC, 1998; Ren et al., 2005; Forman and Valsamakis,
2011). Terdapat dua macam NAT yaitu secara kualitatif dan kuantitatif :
1. NAT kualitatif
Menunjukkan adanya viremia (khususnya viremia tingkat
rendah) atau HCV RNA pada sampel darah, baik yang telah
menunjukkan hasil positif mengandung anti-HCV maupun sampel
darah yang akan digunakan untuk transfusi. Sehingga, tes ini tidak
dapat digunakan untuk monitoring terapi HCV karena tidak dapat
mendeteksi secara kuantitatif (Scott and Gretch, 2007).
2. NAT kuantitatif
Terdapat banyak metode dalam pengukuran HCV RNA
secara kuantitatif, yang sering digunakan ialah qRT-PCR /
Realtime PCR kuantitatif dan branched deoxyribonucleic acid
(bDNA). NAT kuantitatif tidak direkomendasikan FDA sebagai
alat diagnostik, tetapi perkembangan NAT kuantitatif sekarang
bisa mendeteksi sedikitnya 5 copies/mL membuat NAT kuantitatif
telah mencapai level sensitivitas yang sama dengan NAT kualitatif
yaitu memiliki sensitivitas sebesar 99% dan spesifitas 98-99%.
Dengan begitu, banyak dokter yang menggunakan NAT kuantitatif
untuk tes diagnosis, penting juga untuk menggunakan metode yang
sama dalam menghitung HCV RNA saat monitoring terapi (Scott
and Gretch, 2007; Ghany et al., 2009).
Daftar Pustaka

Abubakar, I., Tillmann, T. and Banerjee, A. (2015) ‘Europe PMC Funders Group
Global , regional , and national age-sex specific all-cause and cause-specific
mortality for 240 causes of death , 1990-2013 : a systematic analysis for the
Global Burden of Disease Study 2013’, Lancet, 385(9963), pp. 117–171. doi:
10.1016/S0140-6736(14)61682-2.Global.
Adigun R, Singh R. Tuberculosis. [Updated 2019 Feb 6]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/
Al-Khabori, M., Al-Huneini, M. and Al-Rawas, A. (2016). Stem Cell Transplantation
in Patients with Sickle Cell Disease. Sickle Cell Disease - Pain and Common
Chronic Complications.
Alter, M. J., Kuhnert, W. L. and Finelli, L. (2003) ‘Guidelines for Laboratory Testing
and Result Reporting of Antibody to Hepatitis C Virus’, Centers for Disease
Control and Prevention, 52, pp. 1–13, 15.
Amin, I., Idrees, M., Awan, Z., Shahid, M., Afzal, S. and Hussain, A. (2011). PCR
could be a method of choice for identification of both pulmonary and extra-
pulmonary tuberculosis. BMC Research Notes, 4(1).
Angastiniotis, M. and Lobitz, S. (2019). Thalassemias: An Overview. International
Journal of Neonatal Screening, 5(1), p.16.
Ayatollahi, M. dan Haghshenas, M. (2004). Application Of The Polymerase Chain
Reaction To The Diagnosis Of Sickle Cell Disease In Iran. Archive of Iranian
Medicine, 7(2): 84 – 88
Balayan, M. (1997) ‘Epidemiology of hepatitis E virus infection’, Journal of Viral
Hepatitis, 4, pp. 155–165.
CDC ( Centers for Disease Control and prevention). 2018. About HIV/AIDS.
https://www.cdc.gov/hiv/basics/whatishiv.html?CDC_AA_refVal=https%3A
%2F%2Fwww.cdc.gov%2Factagainstaids%2Fbasics%2Fwhatishiv.html
diakses pada 21 november 2019
CDC (1998) ‘Recommendations for prevention and control of hepatitis C virus
(HCV) infection and HCV-related chronic disease.’, MMWR Recommendations.
Chai, Q., Zhang, Y. and Liu, C. (2018). Mycobacterium tuberculosis: An Adaptable
Pathogen Associated With Multiple Human Diseases. Frontiers in Cellular and
Infection Microbiology, [online] 8. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5962710/pdf/fcimb-08-
00158.pdf [Accessed 4 Dec. 2019].
Chakravorty, S., & Williams, T. N. (2015). Sickle cell disease: a neglected chronic
disease of increasing global health importance. Archives of disease in
childhood, 100(1), 48–53.
Chun, H.M., et al., Hepatitis B virus coinfection negatively impacts HIV outcomes in
HIV seroconverters. J Infect Dis, 2012. 205(2): p. 185-93.
Colin, C. et al. (2001) ‘Sensitivity and speci ® city of third-generation hepatitis C
virus antibody detection assays : an analysis of the literature’.
Denniston, M. M. et al. (2012) ‘HHS Public Access’, Hepatology, 55(6), pp. 1652–
1661. doi: 10.1002/hep.25556.Awareness.Easterbrook, Philippa., Johnson,
Cheryl., Figueroa, Carmen., and Baggaley, Rachel. 2016. HIV and Hepatitis
Testing: Global Progress, Challenges, and Future Directions. Geneva: HIV
Departement, WHO.
Folusakin O Ayoade (2018). Herpes Simplex Workup. LSU Health Science
Center. https://emedicine.medscape.com/article/218580-workup#c5 – Diakses
4 Desember 2019.
Forman, M. and Valsamakis, A. (2011) Hepatitis C virus, Murray’s Manual of
Clinical Microbiology. doi: 10.1177/0192623316672073.
Gardner R. V. (2018). Sickle Cell Disease: Advances in Treatment. The Ochsner
journal, 18(4), 377–389.
Ghany, M. G. et al. (2009) ‘Diagnosis , Management , and Treatment of Hepatitis C :
An Update’, Hepatology, pp. 1335–1374. doi: 10.1002/hep.22759.
Housni, H., Vandesompele, J., Vannuffel, P., Gulbis, B., Parma, J. and Cochaux, P.
(2007). Rapid and easy prenatal diagnosis of sickle cell anemia using double-
dye LNA probe technology. British Journal of Haematology, 136(3), pp.509-
510.
Kementrian Kesehatan RI. (2018). Pusat Infodatin : Tuberkulosis. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.Lonergan, G., Cline, D. and Abbondanzo, S. (2001).
Sickle Cell Anemia. RadioGraphics, 21(4), pp.971-994.
LeGoff, J., Péré, H. & Bélec, L. Diagnosis of genital herpes simplex virus infection in
the clinical laboratory. Virol J 11, 83 (2014) doi:10.1186/1743-422X-11-83
Marshall, S.A., Thompson E.G., Husney A., Gabica M.J., Kiley K.C. (2018). Herpes
Tests. Michigan Medicine. https://www.uofmhealth.org/health-
library/hw264763 - Diakses 4 Desember 2019.
McGann, P. and Hoppe, C. (2017). The pressing need for point-of-care diagnostics
for sickle cell disease: A review of current and future technologies. Blood
Cells, Molecules, and Diseases, 67, pp.104-113.
Miller, N., Cleary, T., Kraus, G., Young, A., Spruill, G. and Hnatyszyn, H. (2002).
Rapid and Specific Detection of Mycobacterium tuberculosis from Acid-Fast
Bacillus Smear-Positive Respiratory Specimens and BacT/ALERT MP Culture
Bottles by Using Fluorogenic Probes and Real-Time PCR. Journal of Clinical
Microbiology, 40(11), pp.4143-4147.
NACO (National AIDS Control Organisation). 2015. National Guidelines for HIV
Testing. New Delhi: Ministry of Health & Family Welfare, Government of
India
PHLN (Public Health Laboratory Network). 2015. HIV Laboratory Case Definition.
https://www1.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/F0B1B857E0
B579B6CA257FD300072984/$File/HIV2016.pdf diakses pada 21 November
2019
Rahman, S., Rahaman, M., Shipa, S., Rana, M., Khan, R., Mahmud, M., Noor, J.,
Sultana, F. and Miah, M. (2017). Detection of β-Hemoglobin Gene and Sickle
Cell Disorder from Umbilical Cord Blood. Journal of Biosciences and
Medicines, 05(10), pp.51-63.
Ren, F. et al. (2005) ‘Transfusion complications’, 45(November), pp. 1816–1822.
doi: 10.1111/j.1537-2995.2005.00611.x.
Riyanti, E., Oewen, R., Haroen, E., Maskoen, A. and Satari, M. (2013). METODA
PEMERIKSAAN POLYMERASECHAIN REACTION RESTRICTION
FRAGMENTLENGTH POLYMORPHISM PADA DETEKSI GENOTIP
POLIMORFISME C-509T GEN TRANSFORMING GROWTH FACTOR
BETA 1PENDERITA THALASSEMIA BETA MAYOR. Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Padjadjaran.
Sabath, D. (2017). Molecular Diagnosis of Thalassemias and Hemoglobinopathies.
American Journal of Clinical Pathology, 148(1), pp.6-15.
Scott, J. D. and Gretch, D. R. (2007) ‘Molecular Diagnostics of Hepatitis C Virus
Infection: A Systematic Review’, JAMA, 297(7).
Sedrak, A. and Kondamudi, N. (2019). Sickle Cell Disease. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482384/ [Accessed 4 Dec. 2019].
Siriratmanawong, N., Fucharoen, G., Sanchaisuriya, K., Ratanasiri, T. and
Fucharoen, S. (2001). Simultaneous PCR detection of β – thalassemia and α –
thalassemia 1 (SEA type) in prenatal diagnosis of complex thalassemia
syndrome. Clinical Biochemistry, 34(5), pp.377-380.
Smith, I. (2003). Mycobacterium tuberculosis Pathogenesis and Molecular
Determinants of Virulence. Clinical Microbiology Reviews, 16(3), pp.463-496.
Strick, L.B. & Wald, A. Mol Diag Ther (2006) 10: 17.
https://doi.org/10.1007/BF03256439
Suryani, E., Wiharto, dan Wahyudiani, K. (2015). Identifikasi Anemia Thalasemia
Betha Mayor Berdasarkan Morfologi Sel Darah Merah. Scientific Journal of
Informatics, 2(1), pp.1-14.
Vandal, O., Nathan, C. and Ehrt, S. (2009). Acid Resistance in Mycobacterium
tuberculosis. Journal of Bacteriology, [online] 191(15), pp.4714-4721.
Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2715723/pdf/0305-09.pdf
[Accessed 4 Dec. 2019].
Wastnedge, E., Waters, D., Patel, S., Morrison, K., Goh, M. Y., Adeloye, D., &
Rudan, I. (2018). The global burden of sickle cell disease in children under five
years of age: a systematic review and meta-analysis. Journal of global
health, 8(2), 021103. doi:10.7189/jogh.08.021103
Wei, Z., Zhang, X., Wei, C., Yao, L., Li, Y., Zhang, X., Xu, H., Jia, Y., Guo, R., Wu,
Y., Yang, K. and Gao, X. (2019). Diagnostic accuracy of in-house real-time
PCR assay for Mycobacterium tuberculosis: a systematic review and meta-
analysis. BMC Infectious Diseases, 19(1).
WHO (World Health Organization). 2017. HIV/AIDS: Q&A.
https://www.who.int/features/qa/71/en/ diakses pada 21 November 2019
WHO (World Health Organization). 2019. HIV/AIDS: Key Facts.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hiv-aids diakses pada 21
November 2019
WHO (World Health Organization). (2019). Global tuberculosis report. [online]
Available at: https://www.who.int/tb/publications/global_report/en/ [Accessed
4 Dec. 2019].

Anda mungkin juga menyukai